Reforma agraria juga menjadi kegiatan prioritas yang selanjutnya diturunkan dalam
beberapa item kegiatan, antara lain :
1. Terlaksananya inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
dengan indikator adalah jumlah tanah yang di inventarisir dari tahun ke tahun adalah
1,161 juta hektar tahun pertama, dan masing-masing 1 juta hektar untuk tahun
kedua hingga tahun kelima sehingga total luasan yang di inventarisir adalah 5,161
juta hektar;
2. Terlaksananya tindaklanjut penertiban tanah terlantar dengan indikator jumlah
bidang tanah terlantar yang ditertibkan dari tahun ke tahun adalah 11.400 hektar
setiap tahunnya hingga tahun kelima. Target total tanah terlantar yang ditertibkan
57.000 hektar;
3. Teridentifikasinya data HGU habis, tanah tidak termanfaatkan, dan pelepasan
sebagian dengan indikatornya adalah jumlah bidang tanah hasil pengendalian HGU
habis, tanah tidak termanfaatkan, dan pelepasan sebagian dari tahun ke tahun seluas
15.000 hektar dengan total hingga tahun kelima seluas 75.000 hektar;
4. Terlaksananya pelepasan kawasan hutan untuk TORA dengan indikatornya adalah
luas kawasan hutan yang dilepaskan untuk TORA adalah 130.000 hektar di tahun
pertama dan tahun kedua hingga tahun kelima masing-masing 600.000 hektar. Total
luasan 2,53 juta hektar;
Nasib WP3K Pasca Terbit UU Cipta Kerja ??
Kewenangan ??
Kewenangan pemerintah daerah tetap penting untuk diberikan, mengingat begitu banyak provinsi di
Indonesia yang karakteristiknya justru di dominasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebanyak
24 provinsi telah memiliki Perda RZWP3K dan untuk menghasilkan perda tersebut, tidak sedikit
biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan sebuah perda. Meski proses dan partisipasi publik
dalam penyusunan RZWP3K tersebut juga bermasalah. Pemerintah daerah sangat penting untuk
menentukan skala prioritas dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, karena secara
karakteristik dan potensi pemerintah daerah lebih memahami dari pemerintah pusat;
UU Cipta Kerja sebagai Lex Generalis (tata ruang darat dan laut jadi satu)???
Perlu pencermatan lebih mendalam dengan dijadikannya UU Cipta Kerja sebagai lex generalis,
apalagi dengan menggunakan justifikasi “terpadu” dan “komprehensif”. Pola perencanaan tata
ruang laut dan darat sangat-sangat berbeda karakteristik dan kompleksitasnya. Ruang permukaan,
ruang kolom perairan dan ruang dasar laut tidak ditemukan di darat yang hanya menerapkan satu
pola ruang.
Apabila UU Cipta Kerja dianggap sebagai lex generalis, maka seharusnya UU yang diubah melalui
UU tersebut tetap dianggap sebagai lex spesialis, karenanya ketentuan dalam UU yang tidak diubah
dalam UU Cipta Kerja dapat menyimpangi UU tersebut. Secara perumusan, maka UU Cipta Kerja
justru melahirkan ambiguitas harmonisasi perundang-undangan.
Sumber : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Akar Masalah
Edo Rakhman
081356208763