Anda di halaman 1dari 18

MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM

DAN PEMENUHAN HAK


MASYARAKAT HUKUM ADAT
Webinar GTRA Summit Karmun 2023
Sesi Keynote Speech Dr. Raja Juli Antoni
• Titik masalah adalah peraturan turunan dan operasionalisasinya yang masih menyebabkan ada banyak konflik
kepentingan
• Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Keputusan MK no. 31 Tahun 2007. Pasal 18B ayat 2 UUD 1945
fondasi yang sangat solid untuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat
• hak-hak penguasaan tanah secara bersama oleh masyarakat hukum adat diakui sepanjang kenyataannya masih
ada sesuai kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan hukum dan aturan
• Pengakuan subyeknya menjadi kewenangan Kemendagri, sementara tanah ulayat sebagai obyek menjadi
kewenangan ATR/BPN.
• Permen ATR/BPN no. 18 tahun 2019 tentang tatacara penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hu kum
adat untuk direvisi karena adanya saran dan kritik terhadap permen ini.
• Revisi Permen ini menerjemahkan secara konkret landasan normatif sehingga Tidak ada aturan baru, pranata
baru dan menjadi bentuk birokratisasi baru yang menghalang-halangi pengakuan terhadap hak tanah ulayat
tersebut.
• Kami bekerjasama dengan beberapa universitas di Indonesia yang memiliki concern terhadap hak tanah ulayat
(Uncen, Unand, USU, UGM, Universitas Syiah Kuala, dan Unhas).
• Kementerian ATR/BPN berharap pada akhir Oktober 2024 bisa memiliki bukan hanya roadmap namun juga
menghasilkan sesuatu yang konkret berkenaan dengan masyarakat hukum adat.
Sesi I: Masnaidi (Perwakilan Masyarakat Adat
Malalo Tigo Jurai, Tanah datar, Sumatera Barat)
• masyarakat adat Malalo Tigo Jurai berada di Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera
Barat.
• eksistensi dan hak-hak masyarakat adat Malalo Tigo Jurai diakui oleh Pemerintah Daerah lewat penerbitan Perda
No. 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
• Malalo asal usulnya dari kata “melalui.” Wilayah yang masuk ke dalam kawasan adat Malalo Tigo Jurai secara historis
memang merupakan wilayah penghubung antara Pagaruyung dengan pesisir.
•Tiga jurai tersebut adalah sebagai berikut:
 Jurai Guguak : Jambak, Kampuang Tangah, Pisang Koto, Kampuang Sapuluah, Nyiua, Muaro Basa, Baringin
Kaciak, Galapuang, Baringin Gadang, Pauh, Simauang
 Jurai Padang Laweh : Koto, Jambak, Sikumbang, Panyalai
 Jurai Tanjung Sawah : Panyalai, Malayu, Pauh (3), Sun Tangah, Tanjung Sawah, Sikumbang, Chaniago, Simauang
 Ketiga Jurai tersebut secara administratif dibagi menjadi 2 Nagari/Desa yaitu Guguak Malalo dan Padang Laweh
Malalo

• Penguasaan ulayat seluas 10 ribu hektar dibagi menjadi tiga, yaitu Ulayat kaum, Ulayat suku, Ulayat nagari.
Sesi I: Masnaidi (Perwakilan Masyarakat Adat
Malalo Tigo Jurai, Tanah datar, Sumatera Barat)
• tanah ulayat Malalo Tigo Jurai yang luas itu peruntukkannya dibagi menjadi empat, yaitu: Hutan atau
rimbo, yaitu wilayah ulayat nagari yang didominasi oleh kayu-kayuan, hewan dan ekosistem.
• Paladangan (letaknya ada di patok Boswesen) hutan yang berisi kayu-kayuan yang ditanami oleh
masyarakat dengan tanaman cengkeh, pala, kopi dan tanaman lain yang bernilai ekonomis.
• Areal pasawahan adalah wilayah kelola yang berada di bawah parak yang ditanami padi dan sudah terbagi
kepada kaum-kaum.
• Areal perumahan adalah areal yang relatif datar dan dekat dengan tepi danau singkarak dan
dimanfaatkan sebagai pemukiman.
 Tantangan yang dihadapi masyarakat adat Malalo Tigo Jurai: Pemerintah, lewat Dinas Kehutanan
melakukan pemancangan sepihak dari Dinas Kehutanan atas batas hutan lindung dengan kawasan kelola
oleh masyarakat setempat. sehingga Hutan Ulayat Malalo Tigo Jurai diklaim menjadi Hutan Lindung (HL)
seluas 3.590 (34%) dan cagar alam bukit barisan I seluas 4.766 Ha dan Masyarakat tidak dapat melakukan
aktifitas dalam Kawasan tersebut.
 Pengusaha, Kurang lebih 60 hektar tanah ulayat di sertifikatkan sepihak oleh pengusaha melalui praktek
mafia tanah dengan terbitnya 22 persil seritifikat atas nama pribadi orang lain yang bukan warga Malalo
Tigo Jurai. Dan ada 100 hektar lagi yang sudah siap terbit dan akan ditandatangani oleh kantor
Pertanahan BPN Kab Tanah Datar.
Sesi I: Masnaidi (Perwakilan Masyarakat Adat
Malalo Tigo Jurai, Tanah datar, Sumatera Barat)
 Konflik Horizontal, Perampasan Ulayat Malalo Tigo Jurai untuk dijadikan Perluasan wilayah adminstratif
Desa/nagari lain di daerah bersepadan.
 Upaya Penegasan hak MHA Malalo Tigo Jurai: . Pertama, mereka mengajukan uji Materi UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Keluar Putusan MK No. 35 tahun 2012,
 Kedua, MHA Malalo Tigo Jurai mengusulkan Pengakuan Hutan Adat dengan dasar Perda Tanah Datar No.
4 Tahun 2008 tentang Nagari. Usulan ini ditolak oleh Kementerian LHK dengan alasan Perda kurang detal
memuat pengakuan Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai.
 Ketiga, MHA Malalo Tigo Jurai meminta Bupati dan DPRD Tanah Datar untuk Menyusun perda Pengakuan
Hutan Adat Malalo Tigo Jurai.
 Keempat, melakukan Upaya Hukum di Pengadilan untuk membatalkan 1 persil sertifikat yang terbit
diatas tanah ulayat Malalo Tigo Jurai
 Kelima, melakukan Kerjasama dan musyawarah Penetapan Batas Ulayat dengan nagari/Desa yang
bersepadan
Sesi II Arah Kebijakan Penatausahaan Tanah Ulayat
Iskandar Syah S.E., M.P.A
• Pada 2025 kami bisa mendaftarkan seluruh bidang tanah di Indonesia

• pengaturan tanah ulayat belum optimal: belum ada data komprehensif dari keberadaan tanah ulayat dan belum adanya
ketentuan tatacara untuk menentukan tanah ulayat.
• Sebagai langkah awal melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat untuk mendapatkan potensi tanah ulayat dan
bidang tanah yang bisa dipersilkan
• Beberap provinsi sudah melakukan bekerjasama dengan Unand, Unhas, Uncen, USU, UGM. Dari pilot project tindak lanjut
ini, akan dilakukan pengukuran dan pemetaan, dan apabila bisa diterbitkan HPL-nya maka kita bisa menerbitkan HPL-nya.
• Prioritas nasional 2021-2024 outputnya memuat obyek, subyek, dan informasi lainnya yang terkait dengan tanah ulayat.
Obyeknya adalah data lokasi dari tanah ulayat. Subyeknya adalah masyarakat hukum adat (MHA) yang mengelola dan
memanfaatkan tanah ulayat. Sedangkan informasi lainnya terkait pemanfaatan tanah, kawasan hutan dan mpendaftaran
tanah.
• Obyek pendaftarannya ada tiga, yaitu: tanah hak, tanah negara, dan tanah ulayat.

• peraturan yang sedang direvisi. Permen ATR/K.BPN no. 18 tahun 2019 tentang tatacara penatausahaan tanah ulayat
kesatuan MHA (tidak lagi menggunakan istilah hak komunal melainkan tanah ulayat) dan PP no. 18 tahun 2021 tentang hak
pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun dan pendaftaran tanah (tanah ulayat dapat diberi hak pengelolaan.
• Draft revisi Permen 18 Tahun 2019: 1. Pelaksanaan penguasaan tanah ulayat dan tanah
komunal masyarakat hukum adat. 2. Tatacara inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat dan
tanah komunal MHA. 3. Tatacara penatausahaan tanah ulayat dan tanah komunal MHA; dan 4.
Pendaftaran tanah ulayat dan tanah komunal MHA.
• Poin-poin perubahan revisi Permen ATR/BPN no. 18 tahun 2021

No. Permen ATR/BPN no. 18 tahun 2021 Draf Revisi


1 Hanya mengatur 1 subyek hak yaitu kesatuan MHA. Terdapat dua subyek yaitu Kesatuan MHA dan Anggota MHA.

2 Hanya mengatur 1 obyek hak yaitu tanah ulayat. Terdapat dua obyek hak yaitu Tanah ulayat dan tanah komunal.

3 Tidak mengatur mengenal tanggungjawab penyelenggaraan administrasi pertanahan untuk Ditegaskan bahwa penyelenggaraan administrasi pertanahan untuk mewujudkan
mewujudkan pendaftaran tanah lengkap. pendaftaran tanah lengkap merupakan tanggungjawab negara.

4 Belum terdapat pengaturan mengenai tatacara investasi dan identifikasi tanah ulayat dan tanah Penyesuaian ruang lingkup Rapermen meliputi:
komunal. 1. Pelaksanaan penguasaan tanah ulayat dan tanah komunal MHA.
5 Belum terdapat pengaturan secara rinci mengenai tahapan penatausahaan tanah ulayat dan tanah 2. Tatacara investasi dan identifikasi tanah ulayat dan tanah komunal MHA; dan 3
komunal 3. Tatacara penatausahaan tanah ulayat dan tanah komunal MHA; dan
6 Tanah ulayat hanya sampai tahapan penatausahaan tidak sampai dilakukan pendaftaran 4. Pendaftaran tanah ulayat dan tanah komunal MHA.
(pensertifikatan)
• Tahapan kegiatan pilot project 2023 (pekerjaan yang dilakukan baru sampai di tahap lima)
1. Persiapan: Penyiapan data awal, Koordinasi ke Kanwil BPN dan Kantah, Rapat pembahasan di Jakarta, Kontrak
dengan project supplier
2. Koordinasi: FGD koordinasi di Jakarta 12 April 2023 dengan Kemendagri, KLHK, Unand, LKAAM, DPMD Kab/Kota,
Kabiro Advokasi Adat dan Syarah dan Perundang-Undangan Kanwil dan Kantor pertanahan , SK Tim Pelaksana Pilot
Project
3. Peninjauan lapangan tahap I: Rapat pembahasan di Jakarta, Kunjungan ke Bupati Tanah Datar, Bupati Lima puluh
Kota, dan Bupati Agam
4. Peninjauan lapangan Tahap II: Peninjauan lapangan tahap II dan sosialisasi ke 5 lokasi KAN bersama Kemendagri,
DPMD, Kanwil, diskusi bersama LKAAM, Niniak Mamak, Ketua KAN dan anggota KAN, Pembentukan SK Panitia dan
penetapan MHA
5. Penatausahaan Tanah Ulayat: Sosialisasi pemasangan tanda batas, Pemasangan tanda batas, Pengukuran, Output
5 bidang tanah ulayat yang direkomendasikan untuk dilakukan penerbitan HPL (ini yang sedang dilakukan)
6. Pendaftaran HPL: Permohonan, Pemeriksaan Berkas Permohonan, Penitian pemeriksaan Tanah A, Pemberian SK
penegasan HPL, Penerbitan Sertifikat HPL
• tindak lanjut kegiatan penatausahaan tanah ulayat yang akan berjalan adalah dengan melakukan pendaftaran
sertifikat HPL di Provinsi Papua Barat (Manokwari) dan Provinsi Papua (Kabupaten Jayapura).
Sesi III Kepastian Hukum Tanah Ulayat dan Tanah Milik
Komunal Masyarakat Hukum Adat
Prof. Kurnia Warman
• Kepastian hukum hak kebendaan dibagi menjadi dua, yaitu hak kebendaan untuk benda tetap dan hak
kebendaan untuk benda bergerak.
• status kepemilikan benda bergerak tidak memerlukan bukti hak karena yang penting fisiknya dikuasai.
• Kepastian kepemilikan atas benda tetap adalah penguasaan yuridis. status kepemilikan atas benda tetap
adalah bukti hak.
• diperlukan pendaftaran tanah tanah yang bisa memberikan kepastian hukum kepada kepemilikan tanah,
termasuk tanah ulayat atau tanah komunal yang dimiliki secara adat.
• Pasal 19 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960, Pasal ini memberikan basis legal bagi pemerintah untuk melayani
pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
• Pasal 9 PP no. 24 1997 menegaskan bahwa obyek tanah yang didaftarkan ada enam obyek. enam obyek ini,
jika dihubungan dengan entitas tanah dalam UUPA belum lengkap karena masih minus tanah ulayat dan
mungkin juga minus tanah komunal.
• Obyek pendaftaran tanah meliputi : (a) bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai; (b) tanah hak pengelolaan; (c) tanah wakaf; (d) hak milik atas satuan
rumah susun; (e) Hak tanggungan; (f) tanah Negara.
• PP 18/2021 memberi peluang tanah ulayat didaftarkan dan dikonversi menjadi hak pengelolaan. Ini
melengkapi PP no 24 1997
• Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2019 dinilai cukup sulit ditindaklanjuti pengadministrasian tanah
ulayat: Pemerintah Pasif dan Persyaratannya Berat.
• Permen ini masih berasumsi bahwa masyarakat adat kita adalah orang yang menyadari dan butuh
bukti-bukti hak. MHA kita belum menyadari arti pentingnya data-data, apa implikasinya, dan belum
terbangun kesadaran hukumnya.
• Permen ATR/BPN Tahun 2019 ini cukup sulit ditindaklanjuti karena belum detailnya tahapan
penatausahaan tanah ulayat sehingga perlu penambahan metode salah satunya Invent Tanah Ulayat,
termasuk Tanah Komunal.
• Ketiga, karena belum diaturnya pengaturan soal tanah komunal dan tata cara pengadministrasiannya
• Tanah Ulayat di bagi menjadi dua, yaitu tanah ulayat MHA dan Tanah hak.
• Tanah Ulayat MHA proses pendaftarannya adalah dengan kesatuan MHA dan Badan Hukum sehingga
status tanahnya adalah HPL.
• tanah hak dibagi menjadi dua jenis yaitu tanah hak anggota MHA dan pihak luar
• Bagi tanah hak anggota MHA maka status tanahnya adalah tanah hak milik, sedangkan bagi pihak luar
status tanahnya adalah HGU, HGB dan HP.
• konteks tanah ulayat dan tanah komunal, tahapan pendaftarannya berbeda dan status hukum
kepemilikannya juga berbeda
• sertifikat dari hak ulayat ini adalah sertifikat HPL dan subyek nya kesatuan MHA dan Badan
Hukum.
• tanah komunal, haknya adalah hak milik bersama dan jenis sertifikatnya adalah sertifikat hak
milik bersama.
• Subyeknya adalah anggota MHA dan dengan demikian tidak perlu instrumen hukum sebagai
subyek hukum, kemungkinan tanah komunal ini bidang tanahnya lebih besar daripada tanah
ulayat.
Sesi IV Menuju Kepastian Pasca Penetapan hak Hutan Adat
MHA:Pengalaman dari Sulawesi Tengah
Amran Tambaru (Perwakilan Koalisi Hutan Adat Sulawesi Tengah)
• Sampai Agustus 2023 ada enam hutan adat yang telah diberikan kepada MHA di Sulawesi Tengah,
dengan total luasan 17.500 hektar lebih. potensi hutan adat yang ada di Sulawesi Tengah jauh lebih
besar, yaitu sekitar 78 hektar
• 4 upaya memperkuat kepastiann hak pasca penetapan hak hutan adat: memfasilitasi rencana
kelola hutan adat yang sudah ada dan melakukan dialog multipihak tatakelola HA di level Kabupaten,
memastikan areal hutan adat yang telah ditetapkan tersebut bisa didelineasi untuk mempertegas
batas-batas areal hutan adat, Bagaimana mendorong pemprov untuk memasukkan hutan adat
dalam Perda RTRW, dan Perlu mendorong penegasan batas-batas hutan adat di lapangan.
• Advokasi Hutan Adat ke dalam RTRW Provinsi Sulawesi Tengah: melakukan upaya-upaya
advokasi melalui bedah naskah Ranperda untuk memastikan hak-hak areal hutan adat agar bisa
diintegrasikan dengan RTRW Provinsi,
• Tantangan: Pertama Tata Batas HA: Tidak ada petunjuk teknis terkait Tatacara penataan batas HA
misalnya dalam bentuk Perdirjen PKTL,
• Kedua, Status tanah pada areal HA. Apakah tanah pada areal HA masuk kategori obyek pajak/pajak
bumi dan bangunan? karena masih ada sebagian aparat desa/kecamatan yang bernafsu menarik
pajak atas tanah di areal hutan adat
Sesi V Urgensi Wali Data dan IGT (Informasi Geospasial Tematik)
Wilayah Adat di Kebijakan Satu Peta
Imam Mas’ud (Kepala Divisi advokasi dan kampanye JKPP)
• Sampai saat ini, tidak ada wali data atau informasi geospasial tematik untuk wilayah adat dalam
kebijakan satu peta. Urgensi Wali data dan IGT untuk mengakui dan melindungi hak wilayah adat
dan masyarakatnya
• kebijakan satu peta merupakan arahan strategis untuk perwujudan peta yang mengacu pada satu
referensi geospasial, satu standar dan satu basis data dan satu geoportal tujuannya agar menjadi
acuan pelaksanaan berbagai kegiatan dan perumusan kebijakan berbasis spasial.
• 4 kegiatan kebijakan satu peta: kompilasi, integrasi, sinkronisasi, berbagi data dan IG melalui JIGN
• Wali Data adalah kementerian/lembaga yang memiliki tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan
IGT tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan
• Dalam perpres No. 23 Tahun 2001, Wali data saat ini hanya ada di kemenerian dan Lembaga.
• IGT wilayah adat dalam konteks kebijakan satu peta dipersepsikan menjadi tiga sektor. wilayah
MHA perairan wali datanya KKP. Untuk hutan adat wali datanya ada di KLHK. Hak ulayat wali
datanya ada di ATR/BPN.
• Pola penyelesaian tumpang tindih: RTRW yang belum selaras melalui revisi dan RTRW yang
sudah selaras pola keterlanjuran dan pola penyelesaian atas pelanggaran.
• Rekomendasi: (1) Kementerian Dalam Negeri mengambil peran aktif sebagai Wali Data IGT
Wilayah Adat.
• (2) Ada dua kategori yang bisa dilekatkan pada IGT Wilayah Adat: wilayah adat sudah disahkan
IGT Wilayah Adatnya merupakan IGT Status
• Wilayah Adat yang belum mendapatkan pengesahan perda dll, maka status IGT-nya adalah IGT
Potensi
Sesi VI Mewujudkan Kepastian Hukum dan Pemenuhan Hak
Masyarakat Hukum Adat di wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil
Prof. Farida Pattiting
• setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing
yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu
• Hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing telah ada di sana sejak ratusan tahun lalu, termasuk
hukum adat untuk mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
• 4 faktor untuk memastikan adanya masyarakat hukum adat: adanya satu kesatuan manusia yang teratur,
mempunyai penguasa, menetap di suatu daerah tertentu, dan mempunyai kekayaan berwujud dan tidak
berwujud,
• Pengertian Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir dan PPK: masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari
masyarakat adat (masyarakat hukum adat), masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang bermukim di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
• Bentuk Perlindungan Hukum : Permen ATR/BPN 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. pasal 5 ayat 1 (d) disebutkan bahwa Hak Atas Tanah bagi Masyarakat Hukum Adat
dapat diberikan pada bangunan yang harus ada di wilayah Pesisir Pantai, berupa TEMPAT TINGGAL bagi MHA
atau anggota masyarakat yang secara turun temurun sudah bertempat tinggal di wilayah tsb.
• Hak Atas Tanah bagi Masyarakat Hukum Adat dapat diberikan pada bangunan yang harus ada di wilayah
Perairan, berupa pemukiman di atas air [Pasal 5 ayat 2 (c)], dengan syarat bahwa bangunan yang sifatnya
TETAP (tidak terapung)
• Pemberian hak kepada MHA berdasarkan Permen ini berkarakter INDIVIDUAL.
• PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak
atas Tanah
• Pasal 17 jelas disebutkan bahwa a)Hak atas tanah yang diterbitkan di wilayah perairan sebelum berlakunya PP
ini dinyatakan tetap berlaku
• Menatausaha TANAH ULAYAT/TANAH KOMUNAL di Wilayah Perairan Pesisir dan PPK: Permen ATR/BPN
Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
menyebutkan Wilayah Perairan Pesisir dan PPK
• apakah masyarakat yang bermukim adalah MHA. Berkaitan dengan wilayah perairan pesisir, Wilayah
Adat/Wilayah Kelola MHA, selain tempat tinggal (bangunan rumah tinggal/tetap), juga termasuk wilayah
perairan pesisir disekitarnya
• Kasus terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan: ada 3 indikator dalam memutuskan kepemilikan kedua pulau
tersebut, yaitu:
1. Keberadaan terus-menerus (continuous presence) dari masyarakat yang mendiami pulau tersebut.
2. Penguasaan secara efektif (effective occupation), termasuk aspek administrasi. Dalam hal ini hadirnya
pemerintah yang menjalankan fungsi-fungsi administratif negara harus jelas.
3. Perlindungan dan pelestarian ekologis (maintenance and ecology preservation), baik yang dilakukan
pemerintah maupun masyarakat hukum adat yang mendiami pulau-pulau tersebut. Poin ini bisa
diperbandingkan dengan Asas Rechtsverwerking.
Catatan Moderator
• landasan konstitusional telah termuat cukup kuat tentang hak-hak MHA, namun peraturan operasional
justru mengaburkan substansi yang tertuang dalam uandang-undang dasar.
• Kementerian ATR/BPN mempunyai target sampai Oktober 2024 akan ada roadmap terkait RA dan hak
MHA
• masih sangat sedikit wilayah yang teridentifikasi sebagai wilayah tanah ulayat MHA
• masyarakat dalam pola penguasaan dan pemanfaatan ruang saat ini terancam kebijakan atau klaim
sepihak melalaui berbagai ijin yang dikeluarkan oleh negara
• proses pendaftaran tanah ulayat dan tanah komunal yang tentu saja akan menjadi pegangan kita
bersama dalam proses-proses di lapangan
• status kepastian hak pasca penetapan hutan adat. Poinnya adalah bagaimana yurisdiksi kelanjutannya
wilayah HPL tersebut.
• kita mempunyai kode etik tentang mana data yang bisa diakses dan mana yang tidak bisa diakses ketika
dikeluarkan oleh BIG
• penegasan hak baik individual maupun komunal dalam wilayah pesisir. Misalnya, untuk wilayah
petuanan laut Orang ambon sering menegaskan bahwa wilayah penguasaan l;autnya akan sampai pada
wilayah terjauh batas air surut.
Catatan Umum
• Berkaitan dengan sertifikasi tanah komunal juga akan masukkan ke draf revisi Permen.
• di Kabuaten Makassar dan Maros, ada yang memperlakukan langsung sebagai penegasan hak ada
juga yang menganggap itu tanah negara sehingga mereka menggunakan asas hak prioritas, yaitu
siapa yang mendaftarkan pertama yang akan mendapatkan prioritas kepemilikan hak.
• Ada anggapan kalau tanah adat bisa dijual kalau sudah didaftarkan, itu sebenarnya asumsi yang
keliru. Perilaku menjual tanah itu ada pada pemilik sertifikatnya.
• pendaftaran komunal adalah pendaftaran yang dilakukan oleh lebih dari satu subyek hukum.
Pendaftaran tanah milik komunal ini sudah dilayani sejak tahun 1961.
• Untuk menjadi komunal ada 3 sebab, misalnya secara komunal genealogis, komunal yang
ditunjukkan secara territorial, dan komunal karena kepentingan tertentu, misalnya sistem subak di
Bali.
• Ada juga komunal karena sistem yang lebih maju, misalnya tanah komunal rumah susun
• Kalau tanah komunal didaftarkan atas nama koperasi, itu bukan tanah komunal karena koperasi
merupakan badan hukum. Bagi kelompok tertentu yang tidak masuk ke dalam kategori komunal
tersebut di atas, maka tanah komunal itu bisa didaftarkan atas nama koperasi sebagai badan hukum

Anda mungkin juga menyukai