PULAU PARI
Sudah dua tahun lebih berlalu sejak PT Bumi Pari Asri mengklaim
kepemilikan atas tanah yang kini ditinggali warga. Sudah dua tahun
pula warga Pari diselimuti takut akan kehilangan tempat tinggal,
tanah, serta mata pencahariannya sekaligus. Warga bukannya tidak
mau mengurus sertifikat. Mereka bercerita pada 1980 sempat ditawari
Badan Pertanahan Nasional untuk mengubah girik mereka menjadi
sertifikat hak milik (SHM). Warga menyerahkan girik yang dimiliki
ke Kelurahan di Pulau Tidung dalam rangka diputihkan. Tetapi proses
pemutihan tidak pernah terjadi. Malah, sampai sekarang surat girik
warga tak pernah dikembalikan. Strategi yang kini diupayakan KSPP
adalah mempertanyakan legalitas proses penerbitan akta dan sertifikat
kepemilikan perusahaan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang,
Ombudsman, hingga Kantor Staf Presiden. Proses jual beli selama
1990-1991 dipersoalkan antara lain karena hanya melibatkan satu ahli
waris. Ombudsman mengamini adanya kejanggalan pada proses
peralihan kepemilikan lahan di Pulau Pari. Lembaga pemantau
kebijakan publik itu sampai sekarang masih fokus mengumpulkan
temuan terkait kasus ini. Ada penyimpangan dan maladministrasi
dalam kasus Pulau Pari yakni dalam penerbitan 62 Sertifikat Hak
Milik (SHM) dan 14 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Pulau
Pari.
PRINCIPIUM IDENTITATIS
◈ Yang terjadi pada kasus pulau pari adalah warga yang bertempat
tinggal disana sudah menempati lahan tanah tersebut sejak lama
dan membayar pajak tanah. Dan pada kasus sengketa tanah
masyarakat cot rambong dengan PT. Fajar Baizury & Brothers
juga masyarakat cot rambong tersebut sudah menempati sejak
lama dan membayar pajak tanah.
◈ Pada kasus yang pertama dan kedua adanya intimidasi dari salah
satu pihak yang mengklaim bahwa tanah tersebut adalah
miliknya.
◈ UUD 1945, mengamanatkan rakyat berhak atas tempat tinggal
dan penghidupan layak. Itu “hak konstitusi” warga Negara
Republik Indonesia.
◈ Jika berkaca pada UUPA No 5 Tahun 1960, tanah digunakan
untuk kesejahteraan rakyat dan berhak menempati ketika
dimanfaatkan.
PRINCIPIUM CONTRADICTIONIS
◈ Pada kasus yang pertama ada penyimpangan dan
maladministrasi dalam kasus Pulau Pari yakni dalam penerbitan
62 Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 Sertifikat Hak Guna
Bangunan (SHGB) di Pulau Pari. Pada penyimpangan SHM,
penerbitan 62 SHM tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam
ketentuan Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4 serta Pasal 26 Ayat 1, 2,
dan 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
◈ Pada kasus yang kedua, penguasaan lahan HGU perkebunan
kelapa sawit PT Fajar Baizuri & Brothers di Kab. Nagan Raya
berdasarkan izin usaha perkebunan yang ditetapkan dalam surat
keputusan Nomor 6 Tahun 1990 seluas 9311,08 Ha, yang terdiri
dari: 4.335 Ha terletak di Kec. Kuala, Kuala Pesisir, dan Tadu
Raya sedangkan 4.956 Ha terletak di Kec. Tripa Makmur (Luas
lahan yang digarap perusahaan sudah lebih dari izin HGU yang
dikeluarkan pemerintah).