Anda di halaman 1dari 10

SENGKETA TANAH PT KERETA API INDONESIA

Studi Kasus Sengketa Tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dengan
PT. Arga Citra Kharisma (PT. ACK)

PAPER
HUKUM PROPERTI DAN BISNIS

Dosen :
Dr. RUDY HAPOSAN SIAHAAN, SH, SPn, MKn

OLEH
BUDI WIDODO / 207048007
KELAS EKSEKUTIF

PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN PENILAIAN DAN PROPERTI
PASCA SARJANA
UNIERSITAS SUMATERA UTARA
2021
BAB I. PENDAHULUAN

Sengketa pertanahan di Indonesia bukan merupakan hal yang baru dan masih terjadi
sampai saat ini. Pada awalnya sengketa pertanahan hanya terjadi antara para pihak
perseorangan, tetapi saat ini sengketa pertanahan sudah terjadi di semua sektor kehidupan
masyarakat, seperti sektor kehutanan, sektor infrastruktur, sektor pertambangan sampai pada
wilayah tambak/pesisir.

Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan disebutkan, sengketa tanah ialah: “Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut
Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara perseorangan, badan hukum, atau lembaga
yang tidak berdampak luas.”

Sengketa lahan secara umum dapat dikatakan sebagai konflik untuk memperebutkan
hak atas lahan, baik lahan pertanian, perkebunan, maupun tambang, antara rakyat yang
selama ini menjadi penggarap, dengan pihak pemerintah serta swasta yang terkait dengan
pengelolaan lahan tersebut. Konflik juga diartikan sebagai suatu bentuk interaksi sosial ketika
dua individu mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara
keduanya dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari- hari (Zakie, 2016).

Di Indonesia masalah sumber daya alam diatur dalam konstitusi sebagaimana terlihat
dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi landasan hukum bahwa
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
diperguna- kan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Lebih lanjut, tanah diatur
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960). Pasal 2 Ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa “Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam di dalamnya pada
tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun
1960 ialah :

a. hak milik,

b. hak guna-usaha,

c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah,

g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam pasal 53.

Tanah PT. KAI yang disengketakan merupakan bagian dari Gronplan atau Grondkart
No. I K.6 D.S.M.W.W tertanggal 13 Agustus 1931 dan Peta Tanah No. 2476/01245 yang
merupakan gabungan dari ex. Eigendom Verponding No. 9 dan No. 33 yang terdaftar pada
Kantor Pertanahan Kota Medan atas nama Het Government Nederland Indie, yang telah
diberikan kepada Deli Spoorweg Matschappij (“DSM”) di Indonesia pada tahun 1918 dengan
Hak Konsesi, merupakan bagian dari 12 (dua belas) perusahaan kereta api swasta milik
Belanda yang beroperasi di wilayah Sumatera Utara yang tergabung dalam Vereniging Van
Nederlands Indische Spoor en Tramweg Maatschappij atau disebut juga Verenigde
Spoorwegbedrijft (“VS”), disamping keberadaan Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah
Belanda yang disebut Staats Spoorwegen (“SS”). Kemudian setelah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka berdasarkan Maklumat Kementerian Perhubungan RI
Nomor 1/KA tanggal 23 Oktober 1946 dibentuklah Perusahaan Kereta Api yang dikelola oleh
Djawatan Kreta Api Republik Indonesia (“DKARI”).

Selanjutnya, berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan, Tenaga Kerja dan


Pekerjaan Umum Nomor 2 tanggal 6 Djanuari 1950, dinyatakan bahwa sejak tanggal 1
Januari 1950 DKARI dan SS/VS digabungkan menjadi satu Djawatan dengan nama
Djawatan Kereta Api (“DKA”). Kemudian DKA diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta
Api (“PNKA”) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1963. Lalu diubah kembali
menjadi Perusahaan Djawatan Kereta Api (“PJKA”) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
61 tahun 1971. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 1990, PJKA
diubah kembali menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (“Perumka”). Dan pada akhirnya
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1998, Perumka diubah menjadi PT Kereta
Api Indonesa (Persero) hingga saat ini.
BAB. II. PERMASALAHAN

Konsep awal tersebut bermula pada tahun 1981 dimana akibat kekurangan modal,
KAI pada waktu itu mencari pola lain dalam pembangunan tersebut yakni kerja sama dengan
pihak swasta yaitu PT Inanta. Namun saat itu Pemerintah tidak mengizinkan melepas hak atas
tanah ke swasta mitra KAI. Pemerintah hanya dapat menyetujui apabila pelepasan hak
dilakukan dengan pemerintah. KAI yang kala itu bernama Djawatan Kereta Api kemudian
melepaskan hak atas tanah kepada Pemerintah Kota Medan yang kemudian mengajukan HPL
atas tanah tersebut pada tahun 1982 yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun
yang sama. Dalam perjalanan waktu, antara tahun 1982 hingga tahun 1994, terjadi
perubahan-perubahan atas perjanjian. Salah satu perubahan yaitu pengalihan hak dan
kewajiban PT Inanta kepada PT Bonauli pada tahun 1989, kemudian perubahan lokasi
pembangunan perumahan karyawan pada tahun 1990. Hingga tahun 1994, PT Bonauli yang
telah menerima pengalihan hak dan kewajiban dari PT Inanta tersebut tidak juga melakukan
pembangunan perumahan karyawan sebagaimana dalam perjanjian.

Namun, anehnya, PT Bonauli pada waktu itu dapat memperoleh HGB atas tanah HPL
meskipun telah tegas diatur dalam perjanjian bahwa pihak PT Bonauli tidak dapat
memperoleh HGB apabila kewajiban para pihak yaitu untuk membangun perumahan
karyawan belum dilakukan. Lebih lanjut bahwa tanpa persetujuan PT KAI, pada tahun 2002
PT Bonauli kemudian mengalihkan hak dan kewajibannya kepada PT ACK.

Permasalahan sengketa itu berawal pada 2011 ketika PT Agra Citra Kharisma (PT
ACK) menggugat PT KAI, Pemerintah Kota Medan dan Badan Pertanahan Nasional atas
lahan seluas ± 35,955 m2 di Pengadilan Negeri (PN) Medan. Gugatan tersebut terkait upaya
PT ACK untuk merebut tanah dari PT KAI. Gugatan PT ACK ke beberapa pihak disebabkan
PT ACK tidak kunjung mendapat Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan tersebut yang sudah
melaksanakan perjanjian MOU dengan pihak Pemko Medan selaku pemegang Hak
Pengolahan Lahan (HPL). Banyak kejangalan dan keanehan ketika dalam proses sampai
putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan PT Agra Citra Kharisma.

Pada bulan Januari  2012, PT KAI mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Sumut.
Namun sayangnya, upaya tersebut kandas karena PT KAI dikalahkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Sumut. Tidak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi Sumatra Utara, PT
KAI mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA). Yang sangat
mengejutkan ternyata MA menolak Kasasi yang diajukan oleh PT KAI.

PT. KAI mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan PK tersebut dikabulkan oleh
Mahkamah Agung dengan Putusan Mahkamah Agung No. 125 PK/Pdt/2014 tanggal 21 April
2015 dan membatalkan putusan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Negeri Medan
tanggal 12 September 2011 Nomor 314/ Pdt.G/2011/PN.Mdn yang dikuatkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Medan tanggal 12 Januari 2012 Nomor 415/PDT/2011/PT.MDN dan
Judex Juris Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040K/Pdt/2012 tanggal 5 November 2012.
BAB. III. PEMBAHASAN

PT. KAI sebagai Pihak Penggugat akhirnya berhasil memenangkan perkara kasus
sengketa tanah pada tingkat PK Mahkamah Agung melawan Pihak Tergugat I yaitu PT. ACK
dan pihak Tergugat II yaitu BPN Medan serta Tergugat III yaitu Pemko Medan. Dasar yang
memperkuat posisi kepemilikan PT. KAI adalah :

1. Bahwa lahan objek sengketa merupakan tanah negara milik PT KAI yang berasal dari
aset kekayaan Deli Spoorweg Matschappij yang diuraikan dalam Grondplan Nomor I
K.6b D.S.M. W.W. tanggal 18 Oktober 1888 dan dan Peta Tanah Deli Spoorweg
Matschappij Emplacement Medan Nomor I J135d D.S.M. W.W. sebagai akibat
hukum dari proses nasionalisasi berdasarkan Maklumat Kementerian Perhubungan RI
Nomor 1/KA tanggal 23 Oktober 1946 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun
1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan Kereta- Api dan Tilpon Milik Belanda, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1998;

2. PT. KAI telah mengganti rugi / uang pindah kepada masyarakat penghuni yang telah
tinggal diatas tanah sengketa sebesar Rp. 54.143.630.000,- untuk mengosongkannya.

3. Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-1069/HK.03/1990 tertanggal 4


September 1990, Perihal: Penertiban Tanah Hasil Konversi Hak Barat Yang
Dikuasai/dimiliki Instansi Pemerintah/ Badan-badan Negara dan BUMN yang berisi
Dalam rangka pembinaan hak baru atas tanah asal konversi hak barat, maka untuk
pengamanan aset kekayaan negara Menteri Keuangan meminta Kepala Badan
Pertanahan Nasional untuk mengambil langkah- langkah sebagai berikut :

 Terhadap tanah-tanah Hak Barat yang dikuasai atau dimiliki oleh BUMN yang
telah berakhir haknya berdasarkan Keppres 32/79 agar tetap dimantapkan
statusnya menjadi milik negara;

 Apabila tanah-tanah tersebut akan diberikan hak baru kepada pihak lain,
terlebih dahulu memperoleh ijin Menteri Keuangan;

4. Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 530.22-134 tertanggal 9 Januari


1991, perihal: Penertiban tanah asal konversi Hak Barat yang dikuasai/dimiliki
instansi Pemerintah/Badan-Badan Negara dan BUMN.
Bahwa mengenai tanah-tanah Instansi Pemerintah (termasuk BUMN) yang telah
berakhir haknya, dan diatasnya terdapat bangunan milik pihak lain secara fisik
menguasainya, apabila assetnya akan dihapus dari kekayaan instansi yang
bersangkutan, terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan Menteri Keuangan, dan
apabila tanahnya akan dipergunakan sendiri berkewajiban menyelesaikan mengenai
bangunan tersebut dengan ketentuan:

 Apabila dalam tanah tersebut berdiri bangunan milik Instansi


Pemerintah/Departemen lain, tanahnya akan diberikan kepada Instansi
Pemerintah/ Departemen tersebut setelah mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan

 Apabila dalam tanah tersebut berdiri bangunan orang lain atau badan hukum
swasta, tanahnya tetap diberikan kepada instansi Pemerintah pemegang hak
semula, adapun hubungan hukum dengan pemilik bangunan dan
penyelesaiannya didasarkan kepada perjanjian antara kedua belah pihak.

Putusan PK Mahkamah Agung No. 125 PK/Pdt/2014 tanggal 21 April 2015 yaitu :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menguatkan Putusan Provisi yang telah diputuskan dalam Perkara ini

3. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan melawan hukum

4. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan;

5. Menyatakan Penggugat adalah pemilik satu-satunya atas 2 (dua) areal tanah terperkara
yang terletak di Jalan Jawa/Jalan Veteran Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan
Timur, Kota Medan

6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II atau siapa-pun yang memperoleh haknya


daripada mereka untuk mengosongkan tanah sengketa selanjutnya menyerahkannya
kepada Penggugat selaku pemilik yang sah dalam keadaan baik dan berharga

7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II atau siapa-pun yang memperoleh haknya


daripada mereka untuk mengosongkan tanah sengketa selanjutnya menyerahkannya
kepada Penggugat selaku pemilik yang sah dalam keadaan baik dan berharga;

8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk secara tanggung renteng membayar tunai
kerugian Penggugat sebesar Rp126.053.630.000,00
9. Menyatakan demi hukum alas hak Tergugat I dan Tergugat II atas tanah objek perkara
dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum

10. Menyatakan Permohonan HPL oleh Tergugat II tertanggal 15 Februari 2004 dan Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah Nomor 20/PKM/2004, tanggal 25 Februari 2004 tidak
berkekuatan hukum

11. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng membayar uang paksa
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari keterlambatan menjalankan
putusan ini

12. Menyatakan demi hukum alas hak Tergugat I dan Tergugat II atas tanah objek perkara
dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum

13. Menyatakan Putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu ( uit voerbaar bij voorraad)
meskipun terdapat upaya hukum Perlawanan, Banding, Kasasi, maupun Peninjauan
Kembali
BAB. IV. KESIMPULAN

Permasalahan sengketa tanah antara PT KAI dari PT ACK melalui proses pajang yang
melewati peradilan tingkat I dan II sampai tingkat Kasasi yang dimenangkan oleh PT. ACK,
serta pengajuan PK oleh PT. KAI menghasilkan Putusan PK Mahkamah Agung No. 125
PK/Pdt/2014 tanggal 21 April 2015 yang memenangkan gugatan PK Pihak PT KAI terhadap
tanah yang di sengketakan. Hal ini menggambarkan :

1. Lemahnya pihak Negara Cq. PT. KAI dalam mengelola dan menguasai asset sehingga
timbul konflik terhadap pihak ketiga yang telah menempati dan merasa menguasai
asset tersebut.

2. Alas hak kepemilikan yang tidak jelas atau lemah dan mudah di perselisihkan oleh
pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan.

3. Terjadi ketidak patuhan hukum dari BPN Kota Medan dalam menerbitkan HGU
diatas lahan sengketa yang tidak sesuai peruntukannya berdasarkan UUPA N0. 5
Tahun 1960 yaitu :

Pasal 28 : “Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam
pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”.

Pasal 29 : “Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai
investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai
dengan perkembangan zaman”

4. Kondisi lahan milik PT KAI yang diserobot PT ACK itu kini sudah berdiri mall, ruko,
apartemen, harus ada win-win solution dari pihak PT. KAI dan PT ACK dalam
melaksanakan putusan pengadilan agar pihak investor tidak menderita kerugian lebih
dalam lagi.

5. Solusinya adalah pengikatan Kerjasama (MoU) antara PT. KAI dan PT. ACK, melalui
perjanjian kerja sama selama 20 tahun, dan itu dapat diperpanjang dengan terlebih
dahulu mendapat izin pemerintah. Sehingga bangunan yang berada diatasnya tidak
perlu dirubuhkan dan pihak PT. KAI memeroleh pendapatan dari MoU tersebut.

BAB. V. DAFTAR PUSTAKA

Mukmin, Zakie. (2016). Konflik Agraria yang Tak Pernah Ada, Legality, Vol. 24, No.1,
Maret 2016.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan
disebutkan, sengketa tanah

Putusan Mahkamah Agung No. 125 PK/Pdt/2014 tanggal 21 April 2015

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria;

https://regional.kompas.com/read/2015/04/25/09541071/MA.Kabulkan.Pengamanan.Aset.PT
.KAI.di.Medan?page=all.

http://ptkaiaddres.blogspot.com/2015/10/penahanan-direktur-pt-ack-pt-kai.htmlß

Anda mungkin juga menyukai