4 (2020): 1007-1048
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
The disputes over land ownership and utilization of Grondkaart for Railway activities
between the government and PT KAI should not have occurred due to both having the
same vested interest for the state. However, the reality shown that land ownership dan
agreement status on land use with the third party. Through the qualitative analysis,
the research findings: First, land originating from Grondkaart at the location still
belongs to the goverment due to the land still holding the status of the right to use or
’Hak Pakai’ during the course of the time the land used by the Government and the
land participation as a capital in PT KAI before the process of handling the right of
land ownership; Second, there is a difference in the legalty of the land use agreement
with a third party, namely the agreement made by PT KAI that does not fulfill 2 (two)
legal requirements within the agreement, namely the ability to act and on the
agreement and the legality of the clauses, meanwhile the agreement taht should be
enacted by the government should fulfill all the valid requirements of the agreement..
Keywords: Railways, Land use, Agreement.
Abstrak
Sengketa kepemilikan dan pemanfaatan tanah Grondkaart untuk kegiatan
Perkeretaapian antara Pemerintah dengan PT KAI seharusnya tidak terjadi karena
keduanya mempunyai kepentingan yang sama bagi Negara. Namun realitanya telah
terjadi sehingga menarik untuk diteliti dengan fokus pada permasalahan: status
kepemilikan tanah dan status perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga.
Melalui analisis kualitatif, temuan penelitian: Pertama, tanah yang berasal dari
Grondkaart di lokasi masih kepunyaan/aset pemerintah karena tanah berstatus Hak
Pakai Selama Digunakan yang hanya dapat dipunyai Pemerintah dan penyertaan tanah
sebagai modal di PT KAI belum disertai dengan proses pemindahtanganan hak
kepemilikan atas tanah; Kedua, terdapat perbedaan keabsahan dari perjanjian
pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga yaitu perjanjian yang dilakukan oleh PT KAI
tidak memenuhi 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan bertindak dan kausa
yang halal, sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah memenuhi semua
syarat sahnya perjanjian.
Kata Kunci: Perkeretaapian, Pemanfaatan Tanah, Perjanjian.
I. PENDAHULUAN
1
Irsyan Hasyim, 2017, Tempo.com, PT KAI dan Ditjen Perekeretapian Berebut Lahan di
Stasiun Depok, <https://bisnis.tempo.co/read/1040714/pt-kai-dan-ditjen-perkeretapian-berebut-lahan-di-
stasiun-depok>, diakses pada 13 Maret 2020.
2
Emir Fajar Saputra, 2020, bumn.go.id, Sekilas Tentang Aset PT KAI (Persero) Wilayah
Sumatera, <http://bumn.go.id/keretaapi/berita/1-Sekilas-Tentang-Aset-PT-KAI-Persero-Wilayah-
Sumatera->, diakses pada 13 Maret 2020.
3
Ch.N. Latief, et.al., 1997, Sejarah Perkeretaapian Indonesia-Jilid I, Cetakan Pertama,
Angkasa, Bandung, hal. 167.
4
Emir Fajar Saputra, Loc.Cit.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1009
5
Vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1958 tentang Pokok-
Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda
6
Emir Fajar Saputra, Op.CIt.
7
Vide Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api.
8
Vide Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api.
9
Surat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI kepada Direksi PT
Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor KU.008/184/K1/DJKA/X/12 tanggal 25 Oktober 2012 yang
secara resmi diterima oleh secretariat PT KAI pada tanggal 29 Oktober 2012.
10
Alsadad Rudi, 2017, Kompas.com, Giliran Stasiun Pondok Cina Jadi Lokasi Rusun TOD,
<https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/02/08400481/giliran-stasiun-pondok-cina-jadi-lokasi-
rusun-tod.>, diakses pada 13 Maret 2020.
1010 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
III. PEMBAHASAN
11
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hal. 94.
12
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105. Lihat juga
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 13-14;
13
Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3, Sage
Publication Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13. Lihat juga Saepul Rahmat Pupu, 2009,
“Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Equilibrium, Volume 5, Nomor 9, PGRI, Madiun, hlm. 7;
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 77; Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 27; Asep Saepul Hamdi, 2014, Metode
Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan, Deepublish, Yogyakarta, hal 4.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1011
Status kepemilikan tanah yang berasal dari tanah Grondkaart yang digunakan
untuk kegiatan perkeretaapian dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu :
1. Kajian Dari Aspek Subyek Pemegang Hak
Ada 4 (empat) kelompok periode terutama setelah Indonesia merdeka : Pertama,
periode pengelolaan & pengoperasian perkeretaapian yang langsung dilakukan oleh
Pemerintah melalui pembentukan satu unit kerja di lingkungan Kementerian/
Departemen Perhubungan yang disebut Djawatan Kereta Api Republik Indonesia yang
dibentuk pada Tahun 1946 dan Djawatan Kereta Api yang dibentuk pada tahun 1950
dan berlangsung sampai 1963. Artinya, subyek yang menguasai dan mengurus
kekayaan berupa tanah adalah kementerian/departemen perhubungan;
Kedua, periode pengelolaan & pengoperasian perkeretaapian dilaksanakan oleh
perusahaan yaitu Perusahaan Negara KA selama periode 1963-1971 dan kemudian
Perusahaan Jawatan KA selama periode 1971-1990 namun orientasi kegiatannya lebih
pada penyediaan pelayanan kebutuhan publik di salah satu bidang transportasi darat.
Perusahaan belum mempunyai kedudukan yang mandiri sebagaimanahalnya sebuah
perusahaan berbadan hukum. Pada periode ini, sudah dianut asas tidak adanya
pemisahan kekayaan antara kekayaan perusahaan dengan kekayaan (aset)
Kementerian/Departemen Perhubungan;
Ketiga, periode transisional dari periode penyediaan jasa pelayanan publik ke
periode kegiatan usaha murni dalam pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian
melalui pergantian Perusahaan Jawatan KA menjadi Perusahaan Umum (PERUM) KA
selama periode 1990 – 1998. PERUMKA berada dalam kedudukan semi-mandiri yang
ditandai dengan : (1) ada 2 fungsi yang masih harus dijalankan oleh PERUMKA yaitu
fungsi pemberian pelayanan jasa angkutan dengan harga pelayanan yang disubsidi
oleh Negara dan fungsi pencarian keuntungan melalui kegiatan usaha lain; (2)
sebagian kekayaan PERUMKA sudah diserahkan kepada Perumka sebagai kekayaan
yang dipisahkan & penyerahannya didasarkan pada asas penyerahan nyata atau fisik.
Sebagian kekayaan PERUMKA terutama tanah tetap menjadi kekayaan pemerintah cq.
Departemen/Kementerian Perhubungan; (4) khusus tanah yang sudah diwarisi dari Pra
Kemerdekaan termasuk yang dibeli dari anggaran pemerintah tetap berlaku Asas
Tidak Adanya Pemisahaan Kekayaan sehingga menjadi kepunyaan Pemerintah cq.
Departemen/Kementerian Perhubungan.
Keempat, periode kemandirian penuh sebagai pelaku kegiatan usaha dalam
pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian yaitu dengan adanya pergantian
PERUMKA menjadi Perusahaan Perseroan KA Indonesia (PT KAI) yang dimulai
pada tahun 1998 melalui PP No.19 Tahun 1998 sampai sekarang. Kemandirian penuh
itu menunjuk pada kedudukan PT KAI yang secara normatif sebagai subyek hukum
dengan kekayaannya sendiri yang terpisah.
Dari keempat Periode pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian
setelah kemerdekaan tersebut pada intinya dilihat dari hubungan hukum antara subyek
dengan kekayaan terutama benda tetap yaitu tanah, dapat dibedakan ke dalam 2 (dua)
periode :
a. Pada 3 (tiga) periode pertama unit kerja dan perusahaan yang mengelola dan
mengoperasikan kegiatan pelayanan dan kegiatan usaha belum berkedudukan
sebagai subyek yang mandiri karena masih ditempatkan di bawah kewenangan
Pemerintah cq. Departemen atau Kementerian yang membawahi perkeretaapian.
Dengan kedudukan yang belum mandiri sebagai subyek hukum mempunyai 2
(dua) konsekuensi hukum yang berbeda mengenai hubungan hukum antara Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengelola dan
1012 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
mengoperasikan kereta api dengan benda yang bergerak dan dengan benda tetap
yaitu tanah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Terhadap benda
bergerak, Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum berkedudukan
sebagai pemilik atas benda bergerak dan hal ini sesuai dengan Asas Hukum
bahwa subyek yang menguasai benda bergerak secara fisik, maka dialah yang
berkedudukan sebagai pemilik atas benda bergerak. Karena Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum telah menguasai benda bergerak
seperti gerbong kereta api dan peralatan kantor secara fisik, maka Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum dapat dinyatakan sebagai pemilik
atas benda-benda bergerak, kecuali benda bergerak yang berfungsi sebagai
prasarana pokok seperti bangunan kantor, bangunan instalasi, dan bangunan rel
yang masih ditetapkan sebagai milik pemerintah. Artinya, terhadap benda
bergerak tersebut berlaku Asas Pemisahan Kekayaan yaitu kepemilikan atas
benda bergerak tersebut sudah dilepaskan dan dipindahtangankan dari
Pemerintah kepada Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum;
Kedua, Sebaliknya, terhadap benda tetap yaitu tanah dan benda bergerak
tertentu yang disebutkan dalam PP No.57 Tahun 1990 yang dikategorikan dan
difungsikan sebagai Prasarana Pokok masih dimiliki oleh Pemerintah atau
kepemilikannya tidak diserahkan dan dipindahtangankan oleh Pemerintah
kepada Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengoperasikan
kereta api. Artinya, terhadap kepemilikan tanah berlaku Asas Tidak Adanya
Pemisahan Kekayaan yaitu Pemerintah tetap menyatakan dirinya sebagai
pemegang hak kepemilikan atas tanah. Begitu juga terhadap benda bergerak
tertentu yang berfungsi sebagai Prasarana Pokok seperti bangunan kantor,
bangunan instalasi, dan bangunan rel, meskipun secara fisik dikuasai oleh Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengoperasikan kereta api,
berlaku Asas Tidak Adanya Pemisahan Kekayaan.
Jika dicermati ada konsistensi penggunaan Asas Tidak Adanya Pemisahan
Kekayaan terhadap benda tetap khususnya tanah. Artinya, selama periode ini
benda tetap khususnya tanah tetap dipunyai oleh Pemerintah serta tidak
diserahkan dan tidak dipindahtangankan kepada Unit Kerja/Perusahaan yang
mengoperasikan kereta api. Sebaliknya, ada ketidakkonsistenan (dalam arti
bersikap mendua/ ambiqu) penggunaan Asas terhadap benda bergerak yaitu
benda bergerak tertentu diberlakukan Asas Pemisahan kekayaan dalam artian
diserahkan dan dipindah-tangankan kepada Unit Kerja/Perusahaan yang
mengoperasikan kereta api namun terhadap benda bergerak tertentu lainnya
diberlakukan Asas Tidak Adanya Pemisahan Kekayaan.
b. Pada periode terakhir yaitu sejak terjadinya perubahan bentuk perusahaan
menjadi Perusahaan Perseroan pada tahun 1998 berdasarkan PP No.19 Tahun
1998, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) sudah berkedudukan sebagai subyek
hukum yang mandiri. Dengan kedudukannya yang demikian, PT KAI secara
normatif sebenarnya sudah dapat berstatus sebagai subyek pemilik atas semua
kekayaan baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap yaitu tanah yang
sudah dipisahkan dan diserahkan oleh Pemerintah kepada PT KAI. Namun
secara empiris, kekayaan berupa benda tetap yaitu tanah belum diikuti dengan
tindakan pemisahan dan penyerahan dari Pemerintah sebagai pendiri Perusahaan
Perseroan kepada PT KAI sebagai subyek hukum yang mandiri.
Konsekuensinya, kekayaan berupa tanah masih tetap hak kepemilikannya
berada di tangan Pemerintah, sedangkan PT KAI sudah menganggap dirinya
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1013
sebagai pemilik hak atas tanah karena secara normatif sudah ada penyerahan
kekayaan kepada dirinya. Dalam konteks ini terdapat dualisme pandangan antara
instansi pemerintah sebagai pendiri PT KAI dengan PT KAI sendiri sebagai
subyek atau badan hukum yang mandiri. Dualisme pandangan di antara 2 (dua)
badan hukum yang berbeda membuka potensi terjadinya konflik mengenai
subyek yang berhak atas kekayaan khususnya tanah yang sudah dipisahkan.
Jika dicermati baik dari sisi normatif maupun empiris, faktor yang
menyebabkan terjadinya kondisi pandangan yang dualistis tersebut, yaitu adanya
inkonsistensi penggunaan asas hukum yang dijadikan dasar dalam pengaturan
dan pelaksanaan pengelolaan aset pemerintah dan badan usaha milik negara
khususnya tanah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di
bidang UU Perbendaharaan Negara beserta peraturan pelaksanaannya
dibandingkan dengan asas hukum yang pada umumnya berlaku. Konsekuensi
hukum baik secara normatif maupun implementasinya menimbulkan anggapan
yang berbeda tentang subyek hukum yang berhak atas tanah yaitu Pemerintah
sebagai pendiri atau PT KAI sebagai perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah.
Inkonsistensi penggunaan asas hukum tersebut dapat dicermati dari beberapa
fakta adanya tumpang tindih asas hukum yang digunakan sebagai dasar
pengaturan dan pelaksanaan. Istilah ”tumpang-tindih”menunjuk pada adanya
perbedaan asas hukum dan norma hukum yang menjadi jabarannya sebagai
dasar pengaturan satu perilaku atau kondisi atau keadaan yang sama. Perbedaan
itu akan berakibat pada tidak adanya kepastian hukum karena para subyek
hukum yaitu instansi pemerintah/ pemerintah daerah dan badan usaha milik
negara/daerah dihadapkan pada adanya pilihan hukum. Sebagai subyek hukum
yang rasional, masing-masing subyek akan memilih ketentuan hukum yang
paling sesuai dengan kepentingan dirinya namun akibat lanjutannya adalah
terjadinya benturan kepentingan atau konflik kepentingan berupa penilaian
bahwa dirinyalah yang berhak sebagai subyek sebagaimana terjadi antara pihak-
pihak dalam penelitian ini. Ada beberapa tumpang tindih asas hukum yang
dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu :
1) Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap versus Asas
Pembedaan Antara Keduanya
Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap merupakan suatu
pedoman berperilaku yang mengarahkan untuk menempatkan barang
bergerak dan benda tetap dalam kedudukan yang sama dan berbagai
konsekuensi yang mengikutinya yaitu adanya kesamaan cara penentuan
subyek yang berhak serta bentuk dan cara pemindahtanganan dan
penyerahan hak kepemilikan atas barang. Sebaliknya, Asas Pembedaan
Barang Bergerak dengan Barang Tetap merupakan pedoman berperilaku
yang menempatkan keduanya dalam kedudukan yang berbeda termasuk
adanya perbedaan tentang cara penentuan subyek yang berhak serta bentuk
dan cara pemindahtanganan dan penyerahan hak kepemilikan atas kedua
barang. Jika mengacu pada hukum yang berlaku sekarang, maka Barang
Bergerak meliputi mobil, kereta api, bangunan apapun bentuknya, tanaman,
mesin termasuk yang melekat pada tanah sedangkan Barang Tetap ber tanah,
kapal dengan tonase tertentu, dan pesawat terbang.
Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap dianut dalam UU
No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai pengganti
Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448)
1014 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
14
Peraturan Menteri BUMN No.02/MBU/2010 dan peraturan sebelumnya yaitu Instruksi
Menteri BUMN No.01-MBUMN/2002 dan istilah ”Aset Tetap” sebagaimana digunakan dalam
Peraturan Menteri BUMN No.PER-13/MBU/09/2014 dan Peraturan Menteri BUMN No.PER-
03/MBU/08/2017
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1015
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1998 dan adanya Berita Acara Serah
Terima Kekayaan serta telah dikuasainya secara fisik, kepemilikan semua
barang bergerak maupun barang tetap termasuk tanah sudah berpindah
kepada PT KAI. Padahal menurut hukum pertanahan dan hukum perjanjian
kepemilikan tanah belum beralih karena belum mengikuti mekanisme yang
diatur dalam ketiga bidang tersebut masih terbuka untuk dianggap sebagai
miliknya Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan; (b) Pemerintah dan PT
KAI sama-sama menyatakan sebagai pihak yang berhak dengan dasar
hukum yang berbeda sebagai landasannya; (c) adanya benturan kepentingan
atau konflik tentang status kepemilikan atas sebidang tanah terbuka untuk
terjadi sebagai akibat penyamaan asas-asas hukum yang berlaku atas barang
bergerak dan barang tetap.
2) Asas Penyerahan Nyata versus Asas Penyerahan Yuridis
Asas Penyerahan Nyata atau Feitelijke Levering memberikan
pedoman bahwa satu barang bergerak yang diperoleh melalui alas hak yang
sah atau hubungan hukum yang sah seperti perjanjian jual beli, hibah, tukar-
menukar, dan penyertaan modal akan berpindah hak kepemilikan atas
barang bergerak itu kepada pembeli, penerima hibah, penerima penukaran,
dan penerima penyertaan modal setalah dilakukan penyerahan nyata barang
bergerak oleh penjual, pemberi hibah, pemberi penukaran, dan pemberi
penyertaan modal. 15 Asas Penyerahan Nyata dianut dalam
pemindahtanganan hak kepemilikan atas barang bergerak yaitu dari tangan
ke tangan seperti penyerahan kunci mobil, kunci bangunan yang didalamnya
terdapat mesin pabrik, kunci bangunan rumah, atau rangkaian kereta api.
Pemberlakuan Asas Penyerahan Nyata terhadap pemindahtanganan barang
bergerak mempunyai peranan penting karena terkait juga dengan Asas
hukum lain yaitu subyek yang menguasai secara fisik atas barang bergerak
yang didasarkan pada adanya alas hak atau hubungan hukum yang sah,
maka subyek inilah yang berkedudukan sebagai pemilik barang bergerak.
Asas Penyerahan Yuridis atau Juridische Levering 16 memberikan
pedoman bahwa suatu barang tetap yang diperoleh melalui alas hak atau
hubungan yang sah seperti perjanjian jual beli, hibah, tukar menukar, dan
penyertaan modal akan berpindah hak kepemilikannya setelah dilakukan
penyerahan secara yuridis sesuai dengan persyaratan dan prosedur yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika barang tetap itu
berupa tanah, maka penyerahan secara yuridis itu harus memenuhi, yaitu :
Pertama, pemindahtanganannya dilakukan sesuai ketentuan PP No.24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu dengan akte pemindahtangan
yang dibuat di hadapan dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan
diikuti dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan untuk dilakukan; atau
Kedua, pemindahtanganannya tidak boleh dilakukan secara langsung
seperti jual beli atau penyertaan modal namun harus sesuai dengan
katentuan PP No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai dan
Pemennag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan yaitu: (1) ada
pelepasan hak atas tanah kepada Negara yang dituangkan dalam Akta
15
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 79-88
16
Ibid
1016 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
17
Lihat Keputusan Menteri Keuangan No.470/ KMK.01/1994 tentang Tata Cara Penghapusan
dan Pemanfaatan Barang Milik/Kekayaan Negara, PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara dan Daerah, Peraturan Menteri Keuangan No.96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Millik Negara,
PP No.27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah, dan Peraturan Menteri
Keuangan No.111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pemindahtanganan Barang Milik Negara.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1017
surat ukur. Penelusuran macam hak atas tanah dalam dokumen Grondkaart
mempunyai peranan penting untuk menentukan macam hak atas tanah yang tepat pada
saat sekarang dari tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh PT KAI sebagai
bagian dari penyertaan modal Pemerintah kepada PT KAI. Jika ditelusuri secara
historis berdasarkan data normatif (data yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan), maka ada beberapa periode, yaitu :
a. Periode Sebelum Tahun 1953 (PP No.8 Tahun 1953)
Pada Periode ini, tanah-tanah yang digunakan oleh Staats Spoorwegen yang
disingkat SS sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan pelayanan atau usaha
angkutan perkeretaapian berstatus sebagai ”Tanah in Beheer” yaitu bagian dari
tanah Hak Milik (Domein) Negara yang diserahkan ”dalam penguasaan SS
sebagai salah satu Unit Kerja Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya adalah
untuk digunakan langsung bagi kegiatan yang dilaksanakan oleh SS bagi
penyelenggaraan angkutan perkeretaapian. Artinya, SS harus menggunakan tanah
yang diserahkan ”dalam penguasaannya” hanya untuk mendukung
penyelenggaraan kegiatan angkutan perkeretaapian.
”Tanah in Beheer” atau Tanah Dalam Penguasaan SS tersebut diberikan
berdasarkan Staatsblad (S) 1911 No.110 tentang Penguasaan Benda Tidak
Bergerak, Gedung-Gedung, dan Lain-Lain Bangunan Milik Negara, yang sudah
diubah beberapa dan perubahan terakhir dengan S 1940 No.430.18 Staatsblad ini
menjadi dasar bagi penyerahan tanah Hak Milik (Domein) Negara sebagai salah
bentuk Benda Tidak Bergerak kepada berbagai Departemen dan Jawatan termasuk
SS sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda. Tanah yang diserahkan ”Dalam
Penguasaan (in Beheer)” unit kerja tersebut dituangkan dalam peta yang berisi
letak lokasi tanah, luas dan batas tanah yang dikenal dengan sebutan Grondkaart
atau dalam istilah sekarang sebagai surat ukur. Hal ini berbeda dengan dokumen
Meetbrief yang berfungsi sebagai surat ukur bagi tanah yang diberikan dengan hak
atas tanah tertentu yaitu Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak Opstal kepada
warga perseorangan atau badan hukum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda.
Tanah-tanah yang berada Dalam Penguasaan (in Beheer) SS di sekitar
Jakarta-Depok-Bogor pada mulanya tidak seluruhnya berasal dari tanah yang
sudah berstatus Hak Milik (Domein) Negara, namun sebagian dibeli dari
perusahaan kereta api yang dipunyai Swasta yaitu NV Nederlands Indische
Spoorweg Maatschappij yang disingkat NIS. 19 Perusahaan NIS ini sudah
membangun transportasi kereta api Jakarta – Bogor pada 1870 berdasarkan
S.1870 No.4. Tanah yang digunakan oleh NIS untuk penyelenggaraan transportasi
kereta api di Jakarta – Bogor berstatus Hak Opstal yang diberikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda di atas Tanah Hak Milik (Domein) Negara dengan
jangka waktu tertentu.20 Ketika perusahaan kereta api kepunyaan NIS dibeli oleh
18
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional, dalam Jurnal
Mimbar Hukum, volume 24 Nomor 2, Juni 2012 halaman 278; Lihat juga, Arie Soekanti Hutagalung,
tanpa tahun, Hak Pengelolaan, makalah; Lihat juga Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada
Menteri Keuangan No.500-1255, tanggal 4 Mei 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara
Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertipikat Tanah yang Dikuasai Instansi Pemerintah.
19
………., 2000, Tanah Kereta Api : Suatu Tinjauan Historis, Hukum Agraria/Pertanahan, dan
Hukum Perbendaharaan Negara, hal. 2
20
Djoko Marihandono, dkk, 2018, Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril Konsesi NV NISM Di Jawa
Tengah, 1863 – 1958, Penerbit Aset Non Railway – Direktorat Aset Tanah dan Bangunan – PT Kereta
Api Indonesia (Persero), Bandung, hal. 54-57 dan 78-82
1018 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
SS pada tahun 1913 berdasarkan S.1913 No.469, semua tanah yang semula
berstatus Hak Opstal berubah kembali menjadi bagian dari Tanah Hak Milik
(Domein) Negara. Tanah dan semua infrastruktur penyelenggaraan kegiatan
pelayanan/usaha yang berasal dari NIS diserahkan Dalam Penguasaan (in Beheer)
SS.
Penggunaan istilah ”in Beheer (Dalam Penguasaan)” terhadap tanah yang
diserahkan kepada SS dan bukan hak atas tanah sebagaimana Hak Opstal yang
diberikan kepada perusahaan kereta api kepunyaan swasta seperti NIS didasarkan
pada pertimbangan, yaitu : Pertama, SS itu berkedudukan sebagai perusahaan
negara yang sama kedudukannya dengan unit kerja Pemerintah Hindia Belanda
yaitu Departemen atau Jawatan. Dengan kedudukan yang demikian, SS tidak
ditempatkan sebagai badan hukum yang berdiri sendiri sepertihalnya perusahaan
swasta. Konsekuensinya, SS dinilai tidak mempunyai kekayaan tersendiri namun
kekayaannya termasuk tanah merupakan bagian dari kekayaan Negara
(Pemerintah) Hindia Belanda; Kedua, tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan
SS masih tetap berstatus sebagai Tanah Hak Milik (Domein) Negara.
Sebagaimana ditentukan dalam Agrariche Wet (S.1870 No.55) dan Agrarisch
Besluit (S.1870 No.118) bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai
Hak Eigendom (termasuk Hak Eigendom Agraris) perseorangan atau badan
hukum dinyatakan sebagai Hak Milik (Domein) Negara. Dengan kedudukan
sebagai Hak Milik (Domein) Negara, tanah yang diserahkan kepada Departemen
atau Jawatan termasuk SS sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda tidak
mungkin diberi status hak atas tanah seperti Hak Eigendom atau Hak Opstal atau
Hak Erfpacht namun hanya digunakan istilah in Beheer (Dalam Penguasaan).
Artinya, dengan istilah in Beheer, SS hanya menguasai tanah secara fisik untuk
digunakan sebagai tempat lokasi penyelenggaraan kegiatan pelayanan/usaha
perkeretaapian.
Dengan demikian, Tanah in Beheer atau Tanah Dalam Penguasaan tidak
berstatus sebagai hak atas tanah seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak
Opstal karena hak atas tanahnya masih berstatus sebagai Hak Milik (Domein)
Negara dan penyerahan Tanah Dalam Penguasaan lebih bersifat fisik untuk
digunakan sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya. Penggunaan
tanah sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya merupakan kewajiban
dari Departemen atau Jawatan sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda,
meskipun kewajiban tersebut tidak ditentukan secara tegas dalam S.1911
No.110.21 Adanya kewajiban tersebut bersumber dari Nilai Budaya Kedisiplinan
dan Asas Kepatuhan/Ketaatan pada Hukum yang telah tertanam pada para
Pegawai dan Pejabat di Pemerintahan Hindia Belanda bahwa setiap ada
pemberian tugas tertentu pasti dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan dan
kepatuhan terhadap nilai budaya dan asas hukum yang berlaku.
SS sebagai unit kerja yang diberi tugas untuk menyelenggarakan
pelayanan/kegiatan usaha bidang transportasi kereta api telah menjalankan
tugasnya dengan penuh kedisiplinan dan kepatuhan. SS telah melaksanakan
penggunaan tanah yang diserahkan Dalam Penguasaannya dengan kedisiplinan
dan kepatuhan. Setiap bagian tanah yang berada Dalam Penguasaannya telah
digunakan secara intensif untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan
pelayanan/usaha transportasi kereta api. SS tidak menelantarkan tanah yang
21
Lihat Penjelasan Umum PP No.8 Tahun 1953 angka 3, alinea terakhir
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1019
pada prinsip yang sama, yaitu : Pertama, tanah yang sudah diserahkan Dalam
Penguasaan tetap berstatus sebagai Tanah Hak Milik (Domein) Negara
sebagaimana yang dianut dalam S. 1911 No.110 yaitu asas Domeinverklaring
yang diatur dalam Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit; Kedua, tanah yang
digunakan untuk menyelenggarakan kepentingan dan tugas dari departemen dan
jawatan termasuk DKA sebagai unit kerja dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah masih berstatus sebagai Tanah Dalam Penguasaan (sebagai terjemahan
dari ”in Beheer”) yang hanya bersifat penguasaan fisik dalam rangka pelaksanaan
tugas. Dalam konteks tanah yang diserahkan untuk digunakan penyelenggaraan
pelayanan/usaha transportasi kereta api, tanah yang berada Dalam Penguasaan
diserahkan kepada Kementerian yang membawahi DKA yaitu Kementerian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum. Artinya, tanah tersebut diserahkan
Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum dan
bukan DKA karena DKA berkedudukan sebagai unit kerja dalam lingkungan
Kementerian tersebut.
Upaya penataan melalui PP No. 8 Tahun 1953 dilaksanakan dalam ujud, yaitu:
Pertama, penegasan mengenai penguasaan atas Tanah Milik (Domein) Negara :
(1) tanah-tanah yang secara riil dikuasai dan digunakan untuk kepentingan
menjalankan tugas Kementerian, Jawatan, atau Pemerintah Daerah pada saat
berlakunya PP No.8 Tahun 1953 tetap berada Dalam Penguasaan Kementerian,
Jawatan, atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Jika tanah untuk
penyelenggaraan kegiatan transportasi kereta api masih digunakan untuk
mendukung kegiatan transportasi dimaksud, maka tanah tersebut ditempatkan
sebagai Tanah Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan
Pekerjaan Umum yang membawahi DKA; (2) tanah-tanah yang secara riil tidak
dikuasai dan digunakan untuk kepentingan menjalankan tugas Kementerian,
Jawatan, atau Pemerintah Daerah tertentu ditempatkan Dalam Penguasaan
Menteri Dalam Negeri, yang mempunyai kewenangan untuk menyerahkan tanah-
tanah dimaksud Dalam Penguasaan Kementerian, Jawatan, atau Pemerintah
daerah yang membutuhkan;
Kedua, Pembebanan kewajiban kepada kementerian, jawatan, atau
pemerintah daerah yang diserahi Tanah Dalam Penguasaan termasuk DKA yang
berkedudukan sebagai unit kerja Kementerian Perhubungan, Tenaga dan
Pekerjaan Umum, yaitu: (1) penyerahan tanah itu wajib digunakan sebagai tempat
melaksanakan kepentingan atau tugas yang dibebankan kepada kementerian,
jawatan, atau pemerintah daerah yang bersangkutan; (2) luas tanah yang
diserahkan Dalam Penguasaan tidak melebihi keperluan untuk melaksanakan
kepentingan atau tugasnya; (3) kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah
yang diserahi Tanah Dalam Pengawasan wajib memelihara dan mempergunakan
tanah sebagaimana mestinya atau dengan kata lain tidak menelantarkan tanah.
Ketiga, adanya kemungkinan tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan di
samping wajib digunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas yang
dibebankan, juga : (1) kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah, sebagaimana
ketentuan Pasal 9 PP No.8 Tahun 1953 diberi kewenangan untuk memberi izin
memakai tanah kepada pihak lain selama kementerian, jawatan, atau pemerintah
daerah belum mempergunakannya bagi pelaksanaan kepentingan atau tugas.
Dalam konteks tanah yang dipergunakan untuk penyelenggaraan transportasi
kereta api, izin pemakaian oleh pihak lain harus diberikan oleh Kementerian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum karena DKA merupakan unit kerja
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1021
26
Lihat Pasal 28 ayat (2), Pasal 37 huruf a, Pasal 41 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1), serta
Penjelasan Umum angka (2) UU No.5 Tahun 1960
1022 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
bagian dari Tanah Hak Milik (Domein) Negara sedangkan Tanah Hak Milik
(Domein) Negara sudah dinyatakan hapus oleh UUPA karena bertentangan
dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945; Kedua, UUPA sendiri
baik dalam Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokoknya maupun dalam Ketentuan-
Ketentuan Konversinya tidak menyebut dan mengatur secara tegas Tanah Dalam
Penguasaan yang digunakan oleh kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah
sebagaimana tanah-tanah yang berstatus Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak
Opstal yang secara tegas (eksplisit) disebut dan diatur dalam Ketentuan-Ketentuan
Konversi.
Meskipun secara tegas/eksplisit UUPA tidak menyebut dan mengatur Tanah
Dalam Penguasaan, namun secara tersirat atau implisit UUPA memberi peluang
untuk diakuinya status Tanah Dalam Penguasaan tersebut. Ada 2 (dua) fakta
menjadi dasar pemberian peluang untuk diakui : Pertama, fakta normatif yaitu
Ketentuan Peralihan dalam UUPA khususnya Pasal 58 yang berbunyi : ”Selama
peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi
dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas
tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 58 UUPA membuka bagi berlakunya semua
peraturan perundang-undangan yang tidak dicabut atau bertentangan dengan
UUPA dan harus disesuaikan dengan prinsip dalam UUPA. PP No.8 Tahun 1953
yang mengatur Tanah Dalam Penguasaan tetap berlaku. Jika PP No.8 Tahun
1953 diakui keberlakuannya, maka Tanah Dalam Penguasaan harus tetap dijaga
keberlangsungannya termasuk yang berada dalam penguasaan Kementerian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum yang digunakan oleh unit kerjanya
yaitu Djawatan Kereta Api (DKA) yang pada tahun 1960 berubah menjadi
Perusahaan Negara (PN) Kereta Api untuk penyelenggaraan transportasi kereta
api;
Kedua, fakta empiris yaitu Tanah Dalam Penguasaan kementerian, jawatan,
atau pemerintah daerah baik sebagian maupun seluruhnya masih digunakan
sebagai tempat penyelenggaraan kepentingannya atau tugas yang dibebankan
kepada masing-masing kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah. Tanah
Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum
(pada tahun 1963 berubah menjadi Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata) secara faktual masih digunakan sebagai tempat
menyelenggarakan transportasi kereta api. Fakta empiris ini harus diakomodasi
agar mendapatkan kepastian hukum.
Ketidakjelasan/ketidakpastian mengenai status hukum Tanah Dalam
Penguasaan harus diakhiri. Upaya untuk mengakhiri ketidakpastian tersebut
dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Agraria dengan menetapkan dan
memberlakukan Peraturan Menteri Agraria (PMA) No.9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-
Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. PMA ini memberikan penegasan
beberapa hal, yaitu :
1) Penegasan status Tanah Dalam Penguasaan berkedudukan sebagai hak atas
tanah. Penegasan sebagai hak atas tanah dituangkan dalam Bagian
Menimbang : ”bahwa untuk menyelenggarakan penertiban dalam rangka
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1023
mendapatkan Sertipikat (Pasal 3 PMA No.9 Tahun 1965 jo. PMA No.1
Tahun 1966). Kewajiban untuk datang mendaftarkan tersebut tidak
ditentukan batas waktunya, sehingga sepenuhnya diserahkan pada kemauan
pemegang Hak Pakai Selama Digunakan.
3) Penegasan subyek yang dapat mempunyai Hak Pakai Selama Digunakan
dan Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi Hak Penguasaan termasuk
yang tertuang dalam Grondkaart. Pada prinsipnya sesuai ketentuan Pasal 1
PMA No.9 Tahun 1965, subyek yang diberi hak atas tanah yang berasal dari
konversi tersebut adalah instansi-instansi pemerintah yaitu departemen-
departemen, direktorat-direktorat, dan daerah-daerah swatantra (pemerintah
daerah). Direktorat-direktorat yang disebutkan tersendiri dalam PMA No.9
Tahun 1965 sebenarnya sama kedudukannya dengan ”jawatan-jawatan”
yang disebutkan dalam PP No.8 Tahun 1953. Baik direktorat maupun
jawatan merupakan bagian dari organisasi departemen atau kementerian
dengan tugas khusus, diberi anggaran tersendiri namun tetap berinduk pada
anggaran departemen/kementerian, dan pimpinan direktorat/jawatan harus
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan keuangannya kepada
Menteri. Dengan disebutnya secara tersendiri, direktorat sebenarnya terbuka
untuk menjadi subyek tersendiri dari Hak Pakai Selama Digunakan atau
Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi Hak Penguasaan karena
direktorat berstatus sebagai instansi pemerintah (Pasal 1 jo. Pasal 4 dan
Pasal 5 PMA No.9 Tahun 1965).
Penyelenggaraan angkutan kereta api, pada waktu berlakunya PMA
No.9 Tahun 1965 dilaksanakan oleh Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).
Kedudukan PNKA pada waktu itu, sesuai dengan PP No.22 Tahun 1963
adalah sebagai unit kerja dari Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata. Struktur Departemen ini terdiri dari :
Menteri yang menjadi pimpinan di Departemen, Direktorat Jenderal yang
dipimpin oleh Direktur Jenderal, dan Direktorat yang dipimpin oleh
Direktur. Kedudukan PNKA sebagai unit kerja dari Departemen
Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata ditegaskan dalam
PP No.22 Tahun 1963, yaitu : Pertama, kegiatan PNKA dilaksanakan oleh
Direksi yang terdiri dari Direktur Jenderal sebagai pemimpin dan dibantu
oleh beberapa Direktur dan beberapa Direktur Muda; Kedua, Direktur
Jenderal sebagai pimpinan PNKA bertanggungjawab kepada Menteri
Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata serta Para
Direktur bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal; Ketiga, Gaji dan
penghasilan lain dari anggota Direksi ditetapkan oleh Menteri berdasarkan
Anggaran yang sudah disetujui oleh Menteri; Keempat, Direktur Jenderal
mewakili PNKA didalam dan diluar pengadilan; Kelima, Direktur Jenderal
mengurus dan menguasai kekayaan PNKA.
Dengan kedudukan sebagai salah satu bagian dari struktur
Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata,
PNKA tidak mungkin menjadi subyek pemegang Hak Pakai Selama
Digunakan yang berasal dari Konversi Hak Penguasaan. Dengan kata lain,
subyek yang dapat menjadi pemegang Hak Pakai Selama Digunakan adalah
nama instansi pemerintah yaitu Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 jo. Pasal 4
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1025
dan Pasal 5 PMA No.9 Tahun 1965 bahwa Hak Pakai Selama Digunakan
yang berasal dari konversi Hak Penguasaan hanya dapat dipunyai oleh
subyek yang berstatus sebagai instansi pemerintah. Badan hukum yang
bukan instansi pemerintah tidak mungkin dapat menjadi subyek hak atas
tanah yang dimaksud.
Penegasan subyek yang dapat mempunyai hak atas tanah yang berasal
dari konversi Hak Penguasaan dan tertuang dalam Grondkaart seharusnya
menjadi titik awal bagi kebijakan selanjutnya berkenaan dengan subyek dan
macam hak atas tanah dimaksud. Artinya, kepastian hukum mengenai
subyek pemegang hak yaitu Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata serta mengenai macam hak atas tanah yaitu
Hak Pakai Selama Digunakan yang telah ditetapkan berdasarkan PMA No.9
Tahun 1965 harus menjadi pijakan bagi kebijakan dan pelaksanaan terhadap
tanah-tanah yang termuat dalam Grondkaart untuk penyelenggaraan
angkutan atau transportasi kereta api.
Meskipun penetapan subyek pemegang hak dan macam hak atas tanah
yang berasal dari konversi Hak Penguasaan yang tertuang dalam
Grondkaart, namun dalam perkembangannya terdapat ketidakkonsistenan
kebijakan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum lagi
mengenai status kepemilikan tanah dalam Grondkaart untuk
penyelenggaraan angkutan kereta api. Di antara kebijakan yang tidak
konsisten, di antaranya yaitu : Pertama, ada tanah-tanah dari Grondkaart
yang kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Pakai (Selama Digunakan) Tahun
1987 dan Tahun 1998 atas nama Departemen Perhubungan yaitu di Stasiun
Pondok Cina dan Stasiun Depok (Baru) serta ada yang diterbitkan Sertipikat
Hak Pakai Tahun 1988 atas nama Perusahaan Jawatan Kereta Api yaitu di
Stasiun Tanjung Barat. 27 Penerbitan Sertipikat Hak Pakai atas nama dua
subyek yang berada dalam hubungan struktural menyebabkan terjadinya
ketidakpastian hukum karena masing-masing berpandangan bahwa masing-
masing subyek menilai dirinya berhak menjadi pemegang hak atas tanah;
Kedua, penerbitan 3 (tiga) Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan
mencantumkan 2 (dua) subyek yaitu Departemen Perhubungan cq.
Perusahaan Jawatan Kereta Api. Pencantuman 2 (dua) subyek itu menambah
ketidakpastian hukum karena menimbulkan tafsir yang berbeda mengenai
subyek yang berstatus sebagai pemegang Hak Pakai Selama Digunakan.
Perbedaan tafsir itu yaitu kedua subyek itu memiliki Hak Pakai Selama
Digunakan secara bersama-sama atau pemegang haknya adalah Departemen
Perhubungan atau Perusahaan Jawatan Kereta Api;
Ketiga, ketidakpastian hukum tersebut diperkuat oleh Kebijakan
Penyertaan Tanah Sebagai Modal Pemerintah kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang tidak jelas. Letak ketidakjelasannya yaitu apakah
modal yang disertakan itu nilai ekonomi/nilai manfaat tanah yang disertai
dengan penyerahan tanah secara fisik untuk dikuasai dan dimanfaatkan oleh
BUMN tanpa disertai pemindahtanganan hak atas tanah atau disertai dengan
pemindahtanganan hak atas tanahnya kepada BUMN. Ketidakjelasan
27
Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
No.1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 tentang Permohonan Bantuan Penerbitan Hak
Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia (Persero) di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung
Barat
1026 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
28
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
29
Pasal 4 ayat (4) jo. Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara. Lihat pula Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas
dan Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
30
Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara
pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1027
34
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 76 dan 80
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1029
35
Boedi Harsono, 1971, UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA : Sejarah Penyusunan, Isi,
dan Pelaksanaannya, penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 49
1030 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Aspek ini berkaitan dengan syarat kedua dari sahnya perjanjian yaitu
kecakapan bertindak sebagai syarat subyektif di samping adanya kesepakatan
antara para pihak. Syarat kecakapan bertindak bermakna bahwa subyek yang
menjadi pihak dalam perjanjian harus mempunyai kewenangan untuk bertindak
terhadap tanah yang akan dijadikan obyek perjanjian pemanfaatan. Ada asas hukum
bahwa subyek yang dinilai mempunyai kewenangan untuk bertindak terhadap tanah
adalah pemegang hak atas tanah atau subyek yang mendapatkan kuasa atau
delegasi/mandat /atas perintah dari pemegang hak atas tanah.
Dalam konteks perjanjian pemanfaatan bagian tertentu dari tanah dalam
Grondkaart di Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat, subyek yang
mempunyai kewenangan untuk menyerahkan pemanfaatan tanah kepada pihak
ketiga masih disengketakan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta
Api Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Persaingan Menempatkan Diri Sebagai Pihak Yang Berwenang
Persaingan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api untuk
menempatkan diri masing-masing sebagai pihak yang berwenang
menyerahkan pemanfaatan bagian tanah di 3 (tiga) Stasiun memang menarik
karena melibatkan 2 lembaga yang berkedudukan sebagai kepanjangan
Pemerintah. Seharusnya, antara sesama lembaga pemerintah harus saling
bersinerji untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada masing-masing
agar tercapai tujuan yang dikehendaki. Namun demikian, semangat
liberalisme dan mendapatkan nilai manfaat ekonomis yang optimal bagi
dirinya telah mendominasi masing-masing lembaga.
Persaingan antara kedua lembaga pemerintah sebagai bagian dari alat
perlengkapan negara untuk menempatkan dirinya sebagai subyek yang
berwenang menyerahkan bagian tanah dalam Grondkaart kepada pihak ketiga
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tanah di Stasiun Depok Baru
Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Depok Baru,
ada 2 (dua) kelompok data, yaitu 36 : Pertama, berasal dari Tanah in
Beheer dan termuat dalam Grondkaart tanggal 26 September 1926 No.20.
Tanah ini sesuai dengan ketentuan Konversi Peraturan Menteri Agraria
No.9 Tahun 1965 telah dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan.
Pendaftaran hak atas tanah sebagai proses mendapatkan Sertipikat baru
dilakukan pada tahun 1987 dan kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Pakai
Selama Digunakan Nomor 2/1987 dengan luas 49.930 M2 sebagaimana
tertuang dalam Gambar Situasi Nomor 15652/1987 dan 15653/1987.
Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan tersebut diterbitkan atas nama
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia c.q. Perusahaan Jawatan
Kereta Api; Kedua, berasal dari pembebasan tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah pada tahun 1983 dengan menggunakan Anggaran Departemen
Perhubungan untuk pengembangan dan pembangunan Stasiun Depok Baru
yang diresmikan pada tahun 1988. Tanah tersebut kemudian pada tahun
1998 dimohonkan Hak Pakai (Selama Digunakan) dan diberikan
36
Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
No.1776/27.1/600 /VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak
Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat;
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal
Perkeretaapian kementerian Perhubungan
1034 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
37
Irsyan Hasyim dan Ariyani Yakti Widyastuti, 2017, Sengketa KAI-Kemenhub : BPN Ukur
Ulang Lahan Di Stasiun Depok Baru, dalam Tempo.Co, Jakarta, 19 Desember 2017
38
Dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Antara PT Kereta Api Dengan PT Andyka Investa No :
23/HK/V3/III/2005 dan No 08/NK-KAI/04/2005 tertanggal 30 Maret 2005 tentang Kerja Sama
Pemanfaatan Aset Milik PT Kereta Api Di Stasiun Depok Baru Untuk Pengembangan Stasiun dan
Pembangunan Kawasan Pertokoan; Perjanjian Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan PT Andyka
Investa No HK.221/XI/9/KA-2012 dan No 017/AI/DIR/XI/12 tentang Persewaan Lahan PT Kereta Api
Indonesia Di Stasiun Depok Baru Untuk Park and Ride
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1035
39
Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019, Berita Acara Kesimpulan Rapat Penyelesaian
Tanah yang Terletak di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta
Selatan Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia,
tertanggal 26 Pebruari 2019, halaman 5 yang dinyatakan bahwa tanah di Stasiun Lenteng Agung yang
diperebutkan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia dahulu merupakan
bagian dari Kalurahan Tanjung Barat; Lihat juga Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, nomor 1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018,
perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area
Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat, halaman 2 dinyatakan adanya Sertipikat Hak Pakai Selama
Digunakan No.50/1988 di Tanjung Barat atas nama Perusahaan Jawatan Kereta Api; Lihat juga
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal
Perkeretaapian kementerian Perhubungan
40
Draf Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
DKI Jakarta, dan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, perihal Penyelesaian Tanah Antara PT
Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
1036 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
41
Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
No.1776/27.1/600 /VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak
Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat;
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal
Perkeretaapian kementerian Perhubungan; Lihat juga Safyra Primadhyta, 2017, Perumnas-KAI
Groundbreaking Rusun Tanjung Barat Rp 750 Milyar, Berita CNN Indonesia, Selasa 15 Agustus
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1037
2. Pembolehan Status Hak Atas Tanah Menjadi Obyek Perjanjian Sebagai Syarat
Kausa Yang Halal
Perjanjian yang berobyekkan hak atas tanah sebagai barang tidak bergerak
tidak sepenuhnya tunduk pada Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana perjanjian
yang berobyekkan barang bergerak.43 Dalam perjanjian yang berobyekkan hak atas
tanah di Indonesia terdapat pembatasan-pembatasan berdasarkan ketentuan UUPA
dan peraturan pelaksanaannya. Di antara pembatasan tersebut adalah berkaitan
42
RiauMandiri, 2018, PT KAI Tak Berwenang Lakukan Tindakan Hukum Atas Tanah Yang
Dipakai, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2018
43
Dalam perjanjian yang berobyekkan barang bergerak seperti bangunan, kendaraan bermotor,
atau barang bergerak lainnya terdapat kebebasan bagi para pihak. Seseorang dapat menjual barang
apapun yang menjadi miliknya dan bebas menjual kepada siapapun yang memberi keuntungan, para
pihak dapat membuat kesepakatan apapun yang dikehendaki selama disepakati di antara mereka selama
tidak bertentangan dengan nilai sosial, asas hukum, dan norma hukum yang ada, serta hukum yang ada
tidak memberikan pembatasan terhadap kesepakatan para pihak sesuai dengan asas bahwa negara
menyerahkan hukum yang berlaku dalam hubungan keperdataan kepada kehendak dan kesepakatan para
pihak dan asas bahwa kesepakatan di antara para pihak berfungsi sebagai undang-undang bagi mereka.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1041
dengan status hak atas tanah tertentu tidak boleh atau dilarang untuk dijadikan
obyek perjanjian tertentu. Larangan yang dimaksud, di antaranya yaitu : (a) Hak
Milik atas Tanah dilarang dijadikan obyek perjanjian peralihan hak atas tanah yang
dilakukan dengan Warga Negara Asing atau badan hukum; (b) Hak Pakai Selama
Digunakan dilarang dijadikan obyek perjanjian peralihan hak atas tanah kecuali
melalui Ruilslag atau tukar bangun dan bukan tukar-menukar, kecuali ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan; (c) Hak Pakai Selama Digunakan dan
Hak Pengelolaan dilarang untuk dijadikan obyek perjanjian pemberian Hak
Tanggungan atau dengan kata lain dilarang untuk dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hak tanggungan; (d) Hak Pakai Selama Digunakan sepertihalnya Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Dengan Jangka Waktu dilarang
dijadikan obyek perjanjian yang membebani hak atas tanah tersebut dengan hak
atas tanah lainnya. Hak atas tanah yang boleh dijadikan obyek perjanjian
pembebanan hak atas tanah lain adalah Hak Milik dan Hak Pengelolaan.
Larangan-larangan yang ditentukan dalam UUPA dan peraturan
pelaksanaannya tersebut merupakan bentuk campur tangan negara untuk membatasi
kebebasan kehendak dari warga negara termasuk para pihak dalam perjanjian.
Pertimbangan UUPA adalah : (a) semua warga negara membutuhkan tanah baik
untuk tempat tinggal maupun tempat kegiatan usaha dan kegiatan lain namun
ketersedian tanah relatif terbatas dibandingkan jumlah manusia yang
membutuhkan; (b) distribusi kepemilikan tanah tidak diserahkan kepada
mekanisme pasar melalui asas kebebasan berkontrak namun dilaksanakan melalui
pembatasan oleh negara untuk terujudnya pemerataan kepemilikan tanah.
Larangan-larangan tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari salah satu syarat
sahnya perjanjian yaitu Kuasa yang Halal. Jika larangan tersebut tidak dipenuhi
atau dilanggar, maka perjanjian yang dilakukan dinyatakan tidak memenuhi syarat
Kuasa yang Halal sebagai syarat obyektif dan berakibat batal demi hukum.
Tanah yang berada di areal Stasiun Depok Baru, Lenteng Agung, dan
Tanjung Barat dan menjadi obyek perebutan atau sengketa antara Kementerian
Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia berstatus Hak Pakai Selama
Digunakan. Pelekatan status Hak Pakai Selama Digunakan didasarkan pada fakta
yuridis historis bahwa tanah tersebut berasal dari Tanah in Beheer yang dituangkan
dalam Grondkaart yang oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965
dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan baik kemudian sudah diterbitkan
Sertipikat maupun belum. Adanya tindakan pembebasan tanah yang dilakukan oleh
Departemen Perhubungan pada tahun 1988 – 1990 di Stasiun Lenteng Agung dan
Tanjung Barat dapat dimaknai 2 (dua) kemungkinan yaitu : Pertama, jika
pembebasan itu lebih ditujukan pada penguasaan tanah secara fisik oleh warga
masyarakat yang menduduki tanah pemerintah, maka status haknya tetap Hak Pakai
Selama Digunakan yang dipunyai Pemerintah cq. Departemen Perhubungan;
Kedua, jika pembebasan itu lebih ditujukan pada kepemilikan hak atas tanah yang
sudah dipunyai warga masyarakat, maka setelah dilepaskan haknya oleh warga
masyarakat tanah tersebut berstatus sebagai Tanah Yang Dikuasai Langsung
Negara sampai diajukan permohonan dan diberikan hak atas tanah yaitu Hak Pakai
Selama Digunakan atau Hak Pengelolaan oleh Departemen (Kementerian)
Perhubungan.
Dengan status tanah Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal dari konversi
Hak Penguasaan baik sudah bersertipikat maupun belum, kehendak untuk
menempatkan tanah dimaksud sebagai obyek perjanjian pemanfaatan dengan pihak
1042 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
ketiga tergantung pada faktor kegiatan yang menjadi tujuan dari perjanjian
pemanfaatan tersebut. Penjelasan mengenai kegiatan yang menjadi tujuan ini akan
menjadi dasar analisis terhadap keabsahan Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang
dilakukan dengan pihak ketiga baik oleh Kementerian Perhubungan maupun PT
Kereta Api Indonesia. Analisis ini dilakukan terlepas dari Perjanjian yang ada
sudah dilaksanakan atau belum.
Ada 2 (dua) rujukan yang menyediakan model perjanjian pemanfaatan hak
atas tanah, yaitu :
a. Perjanjian pemanfaatan tanah tanpa disertai dengan pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga dan pihak lain yang menerima peralihan dari pihak
ketiga.
Model ini merujuk pada ketentuan PP No.27 Tahun 2014 yang
diamandemen dengan PP No. 28 Tahun 2020 beserta peraturan
pelaksanaannya baik dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan maupun
dalam Peraturan Menteri BUMN. Dalam model ini, semua hak atas tanah
termasuk Hak Pakai Selama Digunakan dapat dijadikan obyek perjanjian
pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga. Bentuk perjanjian pemanfaatan tanah
berupa : perjanjian sewa tanah, perjanjian pinjam pakai tanah, perjanjian kerja
sama pemanfaatan tanah, dan perjanjian bangun-guna-serah atau bangun-
serah-guna.
Dalam perjanjian-perjanjian pemanfaatan tanah dalam bentuk yang
manapun yaitu perjanjian sewa tanah, perjanjian pinjam pakai tanah,
perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah, dan perjanjian bangun-guna-serah
atau bangun-serah-guna, pihak ketiga hanya diberi kewenangan untuk
memanfaatkan tanah untuk kepentingan sesuai dengan isi perjanjiannya. Jika
perjanjian dengan pihak ketiga berupa : (1) Pinjam Pakai tanah, maka hanya
memberi kewenangan kepada pihak ketiga untuk memanfaatkan untuk
kegiatan yang sudah disepekati dalam waktu tertentu; (2) Bangun-Guna-
Serah atau Bangun-Serah-Guna, maka pihak ketiga hanya diberi kewenangan
untuk membangun bangunan tertentu seperti perkantoran atau komersiil
dan/atau Rumah Susun dan menyewakan bangunan kepada pihak lain. Pada
akhir perjanjian seluruh bangunan itu menjadi milik instansi pemerintah
termasuk pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan instansi pemerintah
pemegang Hak Pakai Selama Digunakan dan hubungan hukum sewa dengan
pihak lain harus dilakukan dengan instansi pemerintah; (3) Kerja Sama
Pemanfaatan Tanah, pihak ketiga diberi kewenangan untuk kegiatan usaha
yang sudah disepakati termasuk membangun bangunan tertentu dan selama
perjanjian pihak ketiga hanya bisa mencari keuntungan dari pemanfaatan
tanah dan/atau bangunan atau menyewakan kepada pihak lain atau menjual
bangunan namun tidak boleh menjual tanahnya.
Dalam konteks ini, Perjanjian Pinjam Pakai tanah yang berstatus Hak
Pakai Selama Digunakan di Stasiun Depok Baru antara Kementerian
Perhubungan yang sudah disetujui oleh Menteri Keuangan dengan
Pemerintah Kota Depok dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan mengikat
karena tidak melanggar Kausa yang Halal dan tidak diikuti dengan pemberian
hak atas tanah kepada Pihak Ketiga (Pemerintah Kota Depok). Sebaliknya,
Perjanjian Pinjam Pakai tanah yang berstatus Hak Pakai Selama Digunakan di
Stasiun Depok Baru antara PT Kereta Api Indonesia dengan PT Andyka
Investa tidak dapat dilakukan karena PT Kereta Api Indonesia sebagai
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1043
Perusahaan Berbadan Hukum tidak dapat menjadi Subyek Hak Pakai Selama
Digunakan sehingga Perjanjian tersebut bertentangan dengan syarat Kausa
yang Halal
b. Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang disertai pemberian hak atas tanah
tertentu kepada Pihak Ketiga dan Pihak Lain yang menerima peralihan dari
Pihak Ketiga
Model Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang ini merujuk pada ketentuan
UUPA, PP No. 40 Tahun 1996, PP No.24 Tahun 1997, dan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.2 Tahun 2013 serta berpedoman sebagai
referensi pada ketentuan Permendagri No.1 Tahun 1977. Dengan merujuk
pada peraturan perundang-undangan tersebut, penggunaan model Perjanjian
ini hanya dimungkinkan jika tanah kepunyaan Instansi Pemerintah atau
Badan Usaha Milik Negara berstatus Hak Pengelolaan. Hanya Hak
Pengelolaan, di samping Hak Milik, yang dapat dibebani dengan hak atas
tanah lainnya yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Dengan
Jangka Waktu (HPDW).
Dalam model ini, setiap Hak Pengelolaan yang dipunyai oleh Instansi
Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara dapat dijadikan obyek Perjanjian
Pemanfaatan Tanah yang disertai dengan pemberian HGB atau HPDW
kepada Pihak Ketiga. HGB atau HPDW dapat
diperalihkan/dipindahtangankan oleh Pihak Ketiga kepada Pihak Lain
termasuk bangunan atau Satuan Rumah Susun yang ada di atasnya. Namun
demikian, Perjanjian Pemanfaatan Tanah dan Pemberian HGB atau HPDW
kepada Pihak Ketiga hanya dapat dilakukan jika Hak Pengelolaan sudah
diberikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan sudah diterbitkan
Sertipikat HGB atau HPDW. Jika Hak Pengelolaan belum lahir, maka
Instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara belum diperbolehkan
melakukan Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang disertai pemberian hak atas
tanah karena belum ada kewenangan keperdataan terhadap tanah yang
menjadi obyek.
Dalam konteks ini, Perjanjian Pemanfaatan Tanah di Stasiun Lenteng
Agung dan Tanjung Barat yang disertai pemberian hak atas tanah antara PT
Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional
seharusnya belum boleh dilakukan. Hal ini disebabkan : (1) tanah yang
menjadi obyek Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang dimiliki oleh Instansi
Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara belum berstatus Hak
Pengelolaan; (2) bentuk perjanjiannya berupa Bangun-Guna-Serah yang
menurut ketentuan PP No.27 Tahun 2014 tidak dapat disertai dengan
pemberian hak atas tanah kepada Pihak Ketiga. Dengan demikian Perjanjian
Pemanfaatan Tanah berupa Bangun-Guna-Serah tersebut tidak memenuhi
syarat Kausa yang Halal
3. Dampak Perjanjian Pemanfaatan Tanah Oleh PT Kereta Api Indonesia Terhadap
Konsumen Rumah Susun
Kajian mengenai dampak perjanjian pemanfaatan tanah oleh PT. Kereta Api
Indonesia terhadap konsumen rumah susun akan dilihat dari dari dua aspek.
Pertama, dari aspek pola kerjasama PT. Kereta Api Indonesia dengan pihak ketiga
dan kedua, aspek kewenangan bertindak mitra kerjasama PT. Kereta Api Indonesia
dengan konsumen rumah susun. Kedua aspek ini akan menentukan dampak bagi
1044 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
menyebabkan batal pula perjanjian jual beli rumah susun antara Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional dengan konsumen.
b. Dasar kewenangan bertindak Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional
dengan konsumen rumah susun
Batalnya perjanjian kerjasama antara PT. Kereta Api Indonesia dengan
Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional membawa akibat Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional tidak mempunyai kewenangan bertindak
mengadakan hubungan hukum (menjual) rumah susun kepada konsumen.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa Perusahaan Pembangunan
Perumahan Nasional telah menjual rumah susun kepada konsumen. Penjualan
dilakukan melalui instrumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang
dibuat secara notariil, karena jual beli secara formal dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) belum bisa dilakukan.
Dalam akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah susun yang dibuat,
sebenarnya secara implisit menunjukkan bahwa pihak penjual (Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional) tidak mempunyai kewenangan bertindak
untuk menjual rumah susun. Hal ini tampak dalam premis akta yang
menyebutkan :
“Bahwa Pihak Pertama adalah perusahaan pengembang atau perusahaan
pembangunan perumahan dan pemukiman yang sedang/telah membangun
bangunan-bangunan Rumah Susun di atas tanah Hak Guna Bangunan
atas nama Perumnas di atas Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) yang terletak di .............”.
Premis di atas menunjukkan ketidakpastian lokasi obyek perjanjian (rumah
susun) karena tidak menyebut nomor Hak Guna Bangunan (HGB) dan nomor
Hak Pengelolaan (HPL) yang disebut. Sebagai akta notariil hal tersebut tidak
boleh dilakukan karena keterangan atau fakta yang menjadi dasar dibuatnya
suatu perjanjian menjadi tidak jelas. Fakta demikian menunjukkan ada
kemungkinan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pengelolaan
(HPL) yang disebut memang belum ada. Ketidakjelasan tempat atau lokasi
tanah berdirinya rumah susun dapat membawa konsekuensi batalnya
perjanjian karena : (1) Tidak terpenuhinya syarat “suatu hal tertentu”; (2)
Pihak penjual tidak wenang bertindak karena tidak ada “kausa yang halal”
sebagai dasar bertindak.
Berdasarkan 2 (dua) aspek di atas maka jelas bahwa perjanjian jual beli rumah
susun antara Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional dengan konsumen
berpotensi batal demi hukum (null and void) karena tidak memenuhi syarat
“kausa yang halal” dan “suatu hal tertentu”. Perjanjian kerjasama pemanfaatan
tanah antara PT. Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan
Perumahan Nasional berpotensi masuk dalam ranah hukum publik yang
berdampak kepada konsumen. Bentuk perlindungan hukum konsumen dalam
posisi semacam ini adalah klasifikasi sebagai “pembeli yang beritikad baik”
sehingga tidak ikut bertanggung jawab jika terjadi kesalahan menurut hukum
publik.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1046 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
dengan pemindahtanganan benda tetap berupa tanah sesuai dengan asas hukum
yang sudah dijelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Alsadad Rudi, 2017, Kompas.com, Giliran Stasiun Pondok Cina Jadi Lokasi Rusun
TOD, <https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/02/08400481/giliran-
stasiun-pondok- cina- jadi-lokasi-rusun-tod.>, diakses pada 13 Maret 2020
Arie Soekanti Hutagalung, tanpa tahun, Hak Pengelolaan, makalah
Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta
Asep Saepul Hamdi, 2014, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan,
Deepublish, Yogyakarta
Badan Pertanahan Nasional, 1992, Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada
Menteri Keuangan No.500-1255, tanggal 4 Mei 1992 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Tata Cara Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertipikat Tanah yang
Dikuasai Instansi Pemerintah
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta
Boedi Harsono, 1971, UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA : Sejarah
Penyusunan, Isi, dan Pelaksanaannya, penerbit Djambatan, Jakarta, halaman 49
-----------, 1983, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, penerbit Djambatan, Jakarta
Ch.N. Latief, et.al., 1997, Sejarah Perkeretaapian Indonesia-Jilid I, Cetakan Pertama,
Angkasa, Bandung
Djoko Marihandono, dkk, 2018, Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril Konsesi NV NISM
Di Jawa Tengah, 1863 – 1958, Penerbit Aset Non Railway – Direktorat Aset
Tanah dan Bangunan – PT Kereta Api Indonesia (Persero), Bandung
Emir Fajar Saputra, 2020, bumn.go.id, Sekilas Tentang Aset PT KAI (Persero)
Wilayah Sumatera, <http://bumn.go.id/keretaapi/berita/1-Sekilas-Tentang-Aset-
PT-KAI-Persero-Wilayah-Sumatera->, diakses pada 13 Maret 2020
HarianHaluan.com, 2018, DPD RI Desak Penuntasan Sengketa Lahan PT KAI, Kamis
18 Oktober
Irsyan Hasyim dan Ariyani Yakti Widyastuti, 2017, Sengketa KAI-Kemenhub : BPN
Ukur Ulang Lahan Di Stasiun Depok Baru, dalam Tempo.Co, Jakarta, 19
Desember 2017
Irsyan Hasyim, 2017, Tempo.com, PT KAI dan Ditjen Perekeretapian Berebut Lahan
di Stasiun Depok, <https://bisnis.tempo.co/read/1040714/pt-kai-dan-ditjen-
perkeretapian-berebut-lahan-di-stasiun-depok>, diakses pada 13 Maret 2020.
Kementerian agraria dan Tata Ruang, 2018, Surat Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional No.1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni
2018 tentang Permohonan Bantuan Penerbitan Hak Pengelolaan atas nama PT
Kereta Api Indonesia (Persero) di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat
-----------, 2019, Berita Acara Kesimpulan Rapat Penyelesaian Tanah yang Terletak di
Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta
Selatan Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia, tertanggal 26 Pebruari 2019
-----------, tanpa tahun, Draf Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Kepala
1048 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta, dan Direktur
Utama PT Kereta Api Indonesia, perihal Penyelesaian Tanah Antara PT Kereta
Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset
Direktorat Jenderal Perkeretaapian kementerian Perhubungan
------------, 2012, Surat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan
RI kepada Direksi PT Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor
KU.008/184/K1/DJKA/X/12 tanggal 25 Oktober 2012 yang secara resmi diterima
oleh secretariat PT KAI pada tanggal 29 Oktober 2012.
Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3,
Sage Publication Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 94.
PT Kereta Api Indonesia 2000, Tanah Kereta Api : Suatu Tinjauan Historis, Hukum
Agraria/Pertanahan, dan Hukum Perbendaharaan Negara
-----------, 2005, Dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Antara PT Kereta Api Dengan
PT Andyka Investa No : 23/HK/V3/III/2005 dan No 08/NK-KAI/04/2005
tertanggal 30 Maret 2005 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Aset Milik PT Kereta
Api Di Stasiun Depok Baru Untuk Pengembangan Stasiun dan Pembangunan
Kawasan Pertokoan;
-----------, 2012, Perjanjian Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan PT Andyka
Investa No HK.221/XI/9/KA-2012 dan No 017/AI/DIR/XI/12 tentang Persewaan
Lahan PT Kereta Api Indonesia Di Stasiun Depok Baru Untuk Park and Ride
RiauMandiri, 2018, PT KAI Tak Berwenang Lakukan Tindakan Hukum Atas Tanah
Yang Dipakai, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2018
Saepul Rahmat Pupu, 2009, “Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Equilibrium, Volume
5, Nomor 9, PGRI, Madiun,
Safyra Primadhyta, 2017, Perumnas-KAI Groundbreaking Rusun Tanjung Barat Rp
750 Milyar, Berita CNN Indonesia, Selasa 15 Agustus
Siti Nurjanah1, Bambang Wahyudi2, Purwanto3, 2019, Resolusi Konflik Lahan Pt
Kereta Api Indonesia (Persero) Dengan Warga Rw 12 Kelurahan Manggarai
Jakarta Selatan Dalam Perebutan Lahan Di Wilayah Daerah Operasi 1 Jakarta,
Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, Agustus 2019, Volume 5 Nomor 2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional,
dalam Jurnal Mimbar Hukum, volume 24 Nomor 2, Juni 2012
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105.
Lihat juga Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.