Anda di halaman 1dari 42

Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No.

4 (2020): 1007-1048
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

STATUS KEPEMILIKAN DAN PEMANFAATAN TANAH GRONDKAART DI


STASIUN DEPOK BARU, LENTENG AGUNG, DAN TANJUNG BARAT
Sulistiowati*, Nurhasan Ismail**, Taufiq El Rahman***
* Professor, Business Law Department
**,*** Associate Professor, Civil Law Department
Korespondensi: tiosulisgold@gmail.com; nurhasan.ismail@gmail.com; elrahman@mail.ugm.ac.id
Naskah dikirim: 19 Agustus 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Nopember 2020

Abstract
The disputes over land ownership and utilization of Grondkaart for Railway activities
between the government and PT KAI should not have occurred due to both having the
same vested interest for the state. However, the reality shown that land ownership dan
agreement status on land use with the third party. Through the qualitative analysis,
the research findings: First, land originating from Grondkaart at the location still
belongs to the goverment due to the land still holding the status of the right to use or
’Hak Pakai’ during the course of the time the land used by the Government and the
land participation as a capital in PT KAI before the process of handling the right of
land ownership; Second, there is a difference in the legalty of the land use agreement
with a third party, namely the agreement made by PT KAI that does not fulfill 2 (two)
legal requirements within the agreement, namely the ability to act and on the
agreement and the legality of the clauses, meanwhile the agreement taht should be
enacted by the government should fulfill all the valid requirements of the agreement..
Keywords: Railways, Land use, Agreement.

Abstrak
Sengketa kepemilikan dan pemanfaatan tanah Grondkaart untuk kegiatan
Perkeretaapian antara Pemerintah dengan PT KAI seharusnya tidak terjadi karena
keduanya mempunyai kepentingan yang sama bagi Negara. Namun realitanya telah
terjadi sehingga menarik untuk diteliti dengan fokus pada permasalahan: status
kepemilikan tanah dan status perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga.
Melalui analisis kualitatif, temuan penelitian: Pertama, tanah yang berasal dari
Grondkaart di lokasi masih kepunyaan/aset pemerintah karena tanah berstatus Hak
Pakai Selama Digunakan yang hanya dapat dipunyai Pemerintah dan penyertaan tanah
sebagai modal di PT KAI belum disertai dengan proses pemindahtanganan hak
kepemilikan atas tanah; Kedua, terdapat perbedaan keabsahan dari perjanjian
pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga yaitu perjanjian yang dilakukan oleh PT KAI
tidak memenuhi 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan bertindak dan kausa
yang halal, sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah memenuhi semua
syarat sahnya perjanjian.
Kata Kunci: Perkeretaapian, Pemanfaatan Tanah, Perjanjian.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2868
1008 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


“Pembuktian yuridis itu adalah pembuktian yang historis”. Demikian pendapat
yang dikemukakan oleh H.Drion dan menjadi menarik untuk dibahas dalam kaitannya
dengan sengketa tanah antara Direktorat Jenderal Perkeretapian Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia (disingkat Ditjen Perkeretapian) dengan PT Kereta
Api Indonesia (disingkat PT KAI) di beberapa stasiun di wilayah Depok Baru,
Lenteng Agung, dan Tanjung Barat. Pada tahun 2017, Ditjen Perkeretapian dan PT
KAI saling mendaku kepemilikan tanah di ketiga Stasiun dengan alas hak yang
berbeda. 1 Ditjen Perekeretaapian mendasarkan pada Sertifikat Hak Pakai dan Surat
Pelepasan Hak, sedangkan PT KAI mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor
57 Tahun 1990 dan Sertifikat Hak Pakai.
Aset perkeretapian yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia dan dan bukti
kepemilikannya seringkali menjadi permasalahan tersendiri.2 Berdasarkan sejarahnya,
perkeretaapian Indonesia ditandai dengan pembangunan jalan kereta api yang
dilaksanakan oleh Perusahaan Kereta Api Negara atau Staat Spoorwegen (disingkat SS)
yang beroperasi sejak tahun 1878 dan berkantor pusat di Bandung serta Perusahaan
Kereta Api Swasta atau Verenigde Spoorwegbedrijf (disingkat VS) yang beroperasi
sejak tahun 1867 dan berkantor pusat di Semarang.3
Sebelum dilaksanakan pembangunan jalan kereta api oleh SS, terlebih dahulu
dilakukan penyerahan penguasaan (bestemming) tanah negara kepada SS berdasarkan
Peraturan (ordonantie) yang dimuat dalam Staatsblad masing-masing. 4 Penguasaan
tanah pada saat itu ditandai dengan grondkaart. Grondkaart merupakan surat ukur
atau gambar teknis dan memiliki dasar hukum berupa keputusan (besluit) dan atau
penetapan (beschikking) yang bisa digunakan sebagai referensi awal bagi proses
pembuktian hak kepemilikan lahan.
Tanah-tanah yang sudah dikuasakan kepada SS lalu diukur, dipetakan dan
diuraikan dalam grondkaart dengan menggunakan teknik geodesi oleh Landmester
(Petugas Pengukuran/Kadaster). Lalu untuk memenuhi legalitas dan peraturan yang
berlaku, maka setiap grondkaart disahkan oleh Kepala Kantor Kadaster dan Residen
setempat. Tanah-tanah yang diuraikan dalam grondkaart tersebut statusnya merupakan
Tanah Domein (Milik) Negara, dan ditempatkan sebagai aset SS (berdasarkan
penyerahan penguasaan/ bestemming), sehingga terhadap tanah tersebut berlaku
peraturan perundang-undangan perbendaharaan negara (komptabel). Tanah tersebut
tidak dapat diberikan kepada pihak lain sebelum mendapat izin dari Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara dan Pembina Umum Kekayaan Negara. Berdasarkan
azas domain dalam hukum agraria sebagaimana yang temuat dalam Agrarische Wet
(Staatsblad 1870 N0. 55) dan Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No. 118), kepada
instansi pemerintah tidak diberikan surat tanda bukti hak atas tanah, namun dibuatkan
Grondkaart seperti yang dimiliki oleh sebagai surat tanda bukti hak.

1
Irsyan Hasyim, 2017, Tempo.com, PT KAI dan Ditjen Perekeretapian Berebut Lahan di
Stasiun Depok, <https://bisnis.tempo.co/read/1040714/pt-kai-dan-ditjen-perkeretapian-berebut-lahan-di-
stasiun-depok>, diakses pada 13 Maret 2020.
2
Emir Fajar Saputra, 2020, bumn.go.id, Sekilas Tentang Aset PT KAI (Persero) Wilayah
Sumatera, <http://bumn.go.id/keretaapi/berita/1-Sekilas-Tentang-Aset-PT-KAI-Persero-Wilayah-
Sumatera->, diakses pada 13 Maret 2020.
3
Ch.N. Latief, et.al., 1997, Sejarah Perkeretaapian Indonesia-Jilid I, Cetakan Pertama,
Angkasa, Bandung, hal. 167.
4
Emir Fajar Saputra, Loc.Cit.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1009

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, kekayaan Pemerintah Hindia Belanda demi


hukum (van rechtswege) otomatis menjadi kekayaan Negara Republik Indonesia
berdasarkan penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar yang
ditandatangani tanggal 2 November 1949 dan berlaku mulai 27 Desember 1949. Tanah
SS telah dinasionalisasi dan pengelolaannya diserahkan kepada Djawatan Kereta Api
(DKA) pada tanggal 28 September 1945 setelah dibayarkan ganti kerugiannya oleh
Pemerintah Republik Indonesia.5
Dalam perkembangannya, DKA berganti nama yaitu Perusahaan Negara Kereta
Api (disingkat PNKA), Perusahaan Jawatan Kereta Api, Perusahaan Umum
Perkeretaapian, dan akhirnya pada tahun 1998 berubah nama menjadi PT. Kereta Api
Indonesia (Persero), berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 1998. 6 Semua aset perkeretaapian yang pada mulanya berstatus sebagai aset
negara yang tidak dipisahkan menjadi aset kekayaan negara yang dipisahkan.7 Namun,
terdapat beberapa prasarana pokok yang dikecualikan dalam proses peralihan dari
kekayaan negara tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara dipisahkan dalam proses
perubahan nama PJKA menjadi Perumka, yakni jalan kereta api, perlintasan, jembatan,
terowongan, perangkat persinyalan, dan telekomunikasi, instalasi, sentral listrik
beserta aliran atas, dan tanah dimana bangunan tersebut terletak serta tanah daerah
milik dan manfaat jalan kereta api.8
Persoalannya, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 tidak mengatur
detail tentang prosedur penyerahan tanah yang disertakan menjadi modal PT KAI.
Konsekuensinya, status tanah untuk mendukung penyelenggaraan perkeretaapian
menjadi tidak jelas sehingga menjadi obyek yang disengketakan antara Ditjen
Perkeretaapian dengan PT KAI. Hal itu dikarenakan, di lain pihak, Ditjen
Perkeretaapian mengklaim bahwa tanah grondkaart berada di dalam Rumaja dan
Rumija yang menjadi kawasan dibangunnya TOD yang merupakan miliknya, sehingga
Ditjen Perekeretaapian mengklaim bahwa pihak yang seharusnya berhak mengadakan
perjanjian investasi pembangunan kawasan TOD dengan Investor adalah Ditjen
Perkeretaapian sebagai wakil dari Kementerian Perhubungan dan bukan PT KAI.9
Sengketa tanah tersebut semakin intensif ketika muncul rencana untuk
mengoptimalkan pemanfaatan tanah di stasiun-stasiun kereta api melalui perjanjian
pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga untuk mengembangkan kawasan hunian dan
bisnis yang terintegrasi dengan stasiun kereta api dengan nama Transit Oriented
Development (TOD). Pihak Ketiga yang hendak menjadi mitra pengembangan yaitu
Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (disingkat Perum Perumnas)
dan PT. Adhi Commuter Properti dengan total nilai investasi mencapai 2 (dua) triliun
rupiah.10

5
Vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1958 tentang Pokok-
Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda
6
Emir Fajar Saputra, Op.CIt.
7
Vide Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api.
8
Vide Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api.
9
Surat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI kepada Direksi PT
Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor KU.008/184/K1/DJKA/X/12 tanggal 25 Oktober 2012 yang
secara resmi diterima oleh secretariat PT KAI pada tanggal 29 Oktober 2012.
10
Alsadad Rudi, 2017, Kompas.com, Giliran Stasiun Pondok Cina Jadi Lokasi Rusun TOD,
<https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/02/08400481/giliran-stasiun-pondok-cina-jadi-lokasi-
rusun-tod.>, diakses pada 13 Maret 2020.
1010 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini
memfokuskan pada 2 (dua) permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana status hukum kepemilikan tanah grondkaart di Lingkungan
Stasiun Depok baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat?
2. Bagaimana status hukum perjanjian pemanfaatan tanah grondkaart bagi
pengembangan kawasan hunian dan bisnis di Lingkungan Stasiun Depok
baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat?

II. METODE PENELITIAN

Sifat penelitian merupakan normatif-empiris 11 karena dalam setiap permasalahan


yang diteliti mengandung perpaduan antara analisis terhadap norma dalam peraturan
perundang-undangan dengan analisis terhadap perilaku hukum dari subyek
penguasaan dan pemanfaatan tanah perkeretaapian di lokasi penelitian. 12 Penelitian ini
dilakukan di 3 (tiga) lokasi yaitu Stasiun Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung
Barat. Meskipun penelitian ini perpaduan antara normatif dengan empiris, data yang
dikumpulkan lebih menyandarkan pada data sekunder berupa : (1) sejumlah Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan kepemilikan tanah Grondkaart dan
pemanfaatannya; (2) sejumlah dokumen yaitu perjanjian, surat keputusan pemerintah
dan berita-berita di media sosial yang terseleksi kebenarannya.
Data yang diperoleh diolah melalui 3 langkah yaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan.13 Perihal pengolahan data, menurut Miles dan Huberman
terdapat tiga teknik dalam pengolahan data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan. Dalam pengolahan data yang Peneliti lakukan, Peneliti
mengkualifikasikan data hasil penelitian, baik dari penelitian yuridis normatif maupun
yuridis empiris lalu mereduksi data yang tidak diperlukan, sehingga data yang
diperoleh adalah data yang relevan dengan permasalahan maupun pembahasan pada
penelitian ini. Dilanjutkan dengan penyajian data, yang merupakan kegiatan
penyusunan sekumpulan informasi, sehingga memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan. Terakhir, Peneliti melakukan penarikan kesimpulan sebagai hasil dari
analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan. Penarikan kesimpulan
didapat Peneliti setelah mengkaji masalah yang ada terkait dengan status pemanfaatan
tanah grondkaart sebagai aset negara dikaitkan dengan instrument hukum positif di
Indonesia.

III. PEMBAHASAN

3.1. Status Kepemilikan Tanah Grondkaart Untuk Kegiatan Perkereta-Apian

11
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hal. 94.
12
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105. Lihat juga
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 13-14;
13
Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3, Sage
Publication Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13. Lihat juga Saepul Rahmat Pupu, 2009,
“Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Equilibrium, Volume 5, Nomor 9, PGRI, Madiun, hlm. 7;
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 77; Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 27; Asep Saepul Hamdi, 2014, Metode
Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan, Deepublish, Yogyakarta, hal 4.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1011

Status kepemilikan tanah yang berasal dari tanah Grondkaart yang digunakan
untuk kegiatan perkeretaapian dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu :
1. Kajian Dari Aspek Subyek Pemegang Hak
Ada 4 (empat) kelompok periode terutama setelah Indonesia merdeka : Pertama,
periode pengelolaan & pengoperasian perkeretaapian yang langsung dilakukan oleh
Pemerintah melalui pembentukan satu unit kerja di lingkungan Kementerian/
Departemen Perhubungan yang disebut Djawatan Kereta Api Republik Indonesia yang
dibentuk pada Tahun 1946 dan Djawatan Kereta Api yang dibentuk pada tahun 1950
dan berlangsung sampai 1963. Artinya, subyek yang menguasai dan mengurus
kekayaan berupa tanah adalah kementerian/departemen perhubungan;
Kedua, periode pengelolaan & pengoperasian perkeretaapian dilaksanakan oleh
perusahaan yaitu Perusahaan Negara KA selama periode 1963-1971 dan kemudian
Perusahaan Jawatan KA selama periode 1971-1990 namun orientasi kegiatannya lebih
pada penyediaan pelayanan kebutuhan publik di salah satu bidang transportasi darat.
Perusahaan belum mempunyai kedudukan yang mandiri sebagaimanahalnya sebuah
perusahaan berbadan hukum. Pada periode ini, sudah dianut asas tidak adanya
pemisahan kekayaan antara kekayaan perusahaan dengan kekayaan (aset)
Kementerian/Departemen Perhubungan;
Ketiga, periode transisional dari periode penyediaan jasa pelayanan publik ke
periode kegiatan usaha murni dalam pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian
melalui pergantian Perusahaan Jawatan KA menjadi Perusahaan Umum (PERUM) KA
selama periode 1990 – 1998. PERUMKA berada dalam kedudukan semi-mandiri yang
ditandai dengan : (1) ada 2 fungsi yang masih harus dijalankan oleh PERUMKA yaitu
fungsi pemberian pelayanan jasa angkutan dengan harga pelayanan yang disubsidi
oleh Negara dan fungsi pencarian keuntungan melalui kegiatan usaha lain; (2)
sebagian kekayaan PERUMKA sudah diserahkan kepada Perumka sebagai kekayaan
yang dipisahkan & penyerahannya didasarkan pada asas penyerahan nyata atau fisik.
Sebagian kekayaan PERUMKA terutama tanah tetap menjadi kekayaan pemerintah cq.
Departemen/Kementerian Perhubungan; (4) khusus tanah yang sudah diwarisi dari Pra
Kemerdekaan termasuk yang dibeli dari anggaran pemerintah tetap berlaku Asas
Tidak Adanya Pemisahaan Kekayaan sehingga menjadi kepunyaan Pemerintah cq.
Departemen/Kementerian Perhubungan.
Keempat, periode kemandirian penuh sebagai pelaku kegiatan usaha dalam
pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian yaitu dengan adanya pergantian
PERUMKA menjadi Perusahaan Perseroan KA Indonesia (PT KAI) yang dimulai
pada tahun 1998 melalui PP No.19 Tahun 1998 sampai sekarang. Kemandirian penuh
itu menunjuk pada kedudukan PT KAI yang secara normatif sebagai subyek hukum
dengan kekayaannya sendiri yang terpisah.
Dari keempat Periode pengelolaan dan pengoperasian perkeretaapian
setelah kemerdekaan tersebut pada intinya dilihat dari hubungan hukum antara subyek
dengan kekayaan terutama benda tetap yaitu tanah, dapat dibedakan ke dalam 2 (dua)
periode :
a. Pada 3 (tiga) periode pertama unit kerja dan perusahaan yang mengelola dan
mengoperasikan kegiatan pelayanan dan kegiatan usaha belum berkedudukan
sebagai subyek yang mandiri karena masih ditempatkan di bawah kewenangan
Pemerintah cq. Departemen atau Kementerian yang membawahi perkeretaapian.
Dengan kedudukan yang belum mandiri sebagai subyek hukum mempunyai 2
(dua) konsekuensi hukum yang berbeda mengenai hubungan hukum antara Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengelola dan
1012 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

mengoperasikan kereta api dengan benda yang bergerak dan dengan benda tetap
yaitu tanah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Terhadap benda
bergerak, Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum berkedudukan
sebagai pemilik atas benda bergerak dan hal ini sesuai dengan Asas Hukum
bahwa subyek yang menguasai benda bergerak secara fisik, maka dialah yang
berkedudukan sebagai pemilik atas benda bergerak. Karena Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum telah menguasai benda bergerak
seperti gerbong kereta api dan peralatan kantor secara fisik, maka Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum dapat dinyatakan sebagai pemilik
atas benda-benda bergerak, kecuali benda bergerak yang berfungsi sebagai
prasarana pokok seperti bangunan kantor, bangunan instalasi, dan bangunan rel
yang masih ditetapkan sebagai milik pemerintah. Artinya, terhadap benda
bergerak tersebut berlaku Asas Pemisahan Kekayaan yaitu kepemilikan atas
benda bergerak tersebut sudah dilepaskan dan dipindahtangankan dari
Pemerintah kepada Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum;
Kedua, Sebaliknya, terhadap benda tetap yaitu tanah dan benda bergerak
tertentu yang disebutkan dalam PP No.57 Tahun 1990 yang dikategorikan dan
difungsikan sebagai Prasarana Pokok masih dimiliki oleh Pemerintah atau
kepemilikannya tidak diserahkan dan dipindahtangankan oleh Pemerintah
kepada Unit Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengoperasikan
kereta api. Artinya, terhadap kepemilikan tanah berlaku Asas Tidak Adanya
Pemisahan Kekayaan yaitu Pemerintah tetap menyatakan dirinya sebagai
pemegang hak kepemilikan atas tanah. Begitu juga terhadap benda bergerak
tertentu yang berfungsi sebagai Prasarana Pokok seperti bangunan kantor,
bangunan instalasi, dan bangunan rel, meskipun secara fisik dikuasai oleh Unit
Kerja/Perusahaan Negara/Perusahaan Umum yang mengoperasikan kereta api,
berlaku Asas Tidak Adanya Pemisahan Kekayaan.
Jika dicermati ada konsistensi penggunaan Asas Tidak Adanya Pemisahan
Kekayaan terhadap benda tetap khususnya tanah. Artinya, selama periode ini
benda tetap khususnya tanah tetap dipunyai oleh Pemerintah serta tidak
diserahkan dan tidak dipindahtangankan kepada Unit Kerja/Perusahaan yang
mengoperasikan kereta api. Sebaliknya, ada ketidakkonsistenan (dalam arti
bersikap mendua/ ambiqu) penggunaan Asas terhadap benda bergerak yaitu
benda bergerak tertentu diberlakukan Asas Pemisahan kekayaan dalam artian
diserahkan dan dipindah-tangankan kepada Unit Kerja/Perusahaan yang
mengoperasikan kereta api namun terhadap benda bergerak tertentu lainnya
diberlakukan Asas Tidak Adanya Pemisahan Kekayaan.
b. Pada periode terakhir yaitu sejak terjadinya perubahan bentuk perusahaan
menjadi Perusahaan Perseroan pada tahun 1998 berdasarkan PP No.19 Tahun
1998, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) sudah berkedudukan sebagai subyek
hukum yang mandiri. Dengan kedudukannya yang demikian, PT KAI secara
normatif sebenarnya sudah dapat berstatus sebagai subyek pemilik atas semua
kekayaan baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap yaitu tanah yang
sudah dipisahkan dan diserahkan oleh Pemerintah kepada PT KAI. Namun
secara empiris, kekayaan berupa benda tetap yaitu tanah belum diikuti dengan
tindakan pemisahan dan penyerahan dari Pemerintah sebagai pendiri Perusahaan
Perseroan kepada PT KAI sebagai subyek hukum yang mandiri.
Konsekuensinya, kekayaan berupa tanah masih tetap hak kepemilikannya
berada di tangan Pemerintah, sedangkan PT KAI sudah menganggap dirinya
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1013

sebagai pemilik hak atas tanah karena secara normatif sudah ada penyerahan
kekayaan kepada dirinya. Dalam konteks ini terdapat dualisme pandangan antara
instansi pemerintah sebagai pendiri PT KAI dengan PT KAI sendiri sebagai
subyek atau badan hukum yang mandiri. Dualisme pandangan di antara 2 (dua)
badan hukum yang berbeda membuka potensi terjadinya konflik mengenai
subyek yang berhak atas kekayaan khususnya tanah yang sudah dipisahkan.
Jika dicermati baik dari sisi normatif maupun empiris, faktor yang
menyebabkan terjadinya kondisi pandangan yang dualistis tersebut, yaitu adanya
inkonsistensi penggunaan asas hukum yang dijadikan dasar dalam pengaturan
dan pelaksanaan pengelolaan aset pemerintah dan badan usaha milik negara
khususnya tanah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di
bidang UU Perbendaharaan Negara beserta peraturan pelaksanaannya
dibandingkan dengan asas hukum yang pada umumnya berlaku. Konsekuensi
hukum baik secara normatif maupun implementasinya menimbulkan anggapan
yang berbeda tentang subyek hukum yang berhak atas tanah yaitu Pemerintah
sebagai pendiri atau PT KAI sebagai perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah.
Inkonsistensi penggunaan asas hukum tersebut dapat dicermati dari beberapa
fakta adanya tumpang tindih asas hukum yang digunakan sebagai dasar
pengaturan dan pelaksanaan. Istilah ”tumpang-tindih”menunjuk pada adanya
perbedaan asas hukum dan norma hukum yang menjadi jabarannya sebagai
dasar pengaturan satu perilaku atau kondisi atau keadaan yang sama. Perbedaan
itu akan berakibat pada tidak adanya kepastian hukum karena para subyek
hukum yaitu instansi pemerintah/ pemerintah daerah dan badan usaha milik
negara/daerah dihadapkan pada adanya pilihan hukum. Sebagai subyek hukum
yang rasional, masing-masing subyek akan memilih ketentuan hukum yang
paling sesuai dengan kepentingan dirinya namun akibat lanjutannya adalah
terjadinya benturan kepentingan atau konflik kepentingan berupa penilaian
bahwa dirinyalah yang berhak sebagai subyek sebagaimana terjadi antara pihak-
pihak dalam penelitian ini. Ada beberapa tumpang tindih asas hukum yang
dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu :
1) Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap versus Asas
Pembedaan Antara Keduanya
Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap merupakan suatu
pedoman berperilaku yang mengarahkan untuk menempatkan barang
bergerak dan benda tetap dalam kedudukan yang sama dan berbagai
konsekuensi yang mengikutinya yaitu adanya kesamaan cara penentuan
subyek yang berhak serta bentuk dan cara pemindahtanganan dan
penyerahan hak kepemilikan atas barang. Sebaliknya, Asas Pembedaan
Barang Bergerak dengan Barang Tetap merupakan pedoman berperilaku
yang menempatkan keduanya dalam kedudukan yang berbeda termasuk
adanya perbedaan tentang cara penentuan subyek yang berhak serta bentuk
dan cara pemindahtanganan dan penyerahan hak kepemilikan atas kedua
barang. Jika mengacu pada hukum yang berlaku sekarang, maka Barang
Bergerak meliputi mobil, kereta api, bangunan apapun bentuknya, tanaman,
mesin termasuk yang melekat pada tanah sedangkan Barang Tetap ber tanah,
kapal dengan tonase tertentu, dan pesawat terbang.
Asas Penyamaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap dianut dalam UU
No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai pengganti
Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448)
1014 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan


Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 dan PP No.27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah sebagai pengganti PP No.6
Tahun 2006 termasuk barang kepunyaan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
(BUMN/D). Hal ini dapat dicermati dari 2 (dua) fakta normatif, yaitu : (a)
penggunaan istilah Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah untuk
menyebut barang bergerak dan barang tetap yang dipunyai
pemerintah/pemerintah daerah dan istilah Aktiva Tetap/Aset tetap untuk
menyebut barang bergerak dan barang tetap yang dipunyai BUMN/D.
Artinya, ketika disebut dalam substansi ketentuannya ”Barang Milik
Negara”/”Barang Milik Daerah” atau Aktiva Tetap/Aset Tetap, maka yang
dimaksud adalah barang bergerak dan barang tetap termasuk tanah; 14 (b)
penggunaan Asas Penyamaan Barang Bergerak dan Barang Tetap dicermati
dari mekanisme pemindahtanganan melalui jual beli atau penyertaan modal
barang bergerak dan barang tetap kepada atau ke dalam perusahaan lain atau
pemanfaatan/pendayagunaan Barang Milik Negara atau Aset Tetap harus
mengikuti tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut di atas. Dalam Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah dan Aset Tetap BUMN/D tidak terdapat ketentuan
yang secara tegas memerintahkan untuk memberlakukan tata cara yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain seperti hukum pertanahan
atau hukum perjanjian atau hukum perseroan terbatas. Dengan kata lain,
proses pemindahtanganan atau pemanfaatan/pendayagunaan Barang Milik
Negara atau Aset Tetap baik berupa barang bergerak maupun barang tetap
yaitu tanah berakhir dengan telah diikutinya mekanisme yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan Barang Milik
Negara atau Aset Tetap BUMN yaitu adanya Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Daerah yang mengesahkan dan ditandatanganinya Berita Acara
Serah Terima Barang.
Asas Pembedaan Barang Bergerak dengan Barang Tetap dianut dalam
bidang Hukum Perjanjian dan Hukum Pertanahan. Pembedaan barang
bergerak dan barang tetap didasarkan pada adanya perbedaan cara
pemindahtanganan dan penyerahan, pembebanan sebagai jaminan atas
hutang, serta cara memperoleh dan terjadinya hak atas barang bergerak dan
barang tetap. Hal tersebut mempunyai konsekuensi terhadap keabsahan
kedudukan seseorang sebagai pemilik, keabsahan berpindahnya hak
kepemilikan atas barang, keabsahan dan lahirnya hak jaminan, dan
keabsahan dan lahirnya hak kepemilikan atas barang baik bergerak maupun
tetap.
Dengan dianutnya Asas Penyamaan Barang dan Barang Tetap dalam
bentuk pemberlakuan mekanisme yang sama dalam proses penyertaan
modal berupa barang bergerak dan barang tetap berupa tanah dari
Pemerintah kepada BUMN yaitu PT KAI tanpa memperhatikan ketentuan di
bidang hukum lainnya, konsekuensi hukum yang timbul yaitu : (a) dengan
telah ditetapkan pengalihan kekayaan PERUMKA kepada PT KAI dalam

14
Peraturan Menteri BUMN No.02/MBU/2010 dan peraturan sebelumnya yaitu Instruksi
Menteri BUMN No.01-MBUMN/2002 dan istilah ”Aset Tetap” sebagaimana digunakan dalam
Peraturan Menteri BUMN No.PER-13/MBU/09/2014 dan Peraturan Menteri BUMN No.PER-
03/MBU/08/2017
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1015

Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1998 dan adanya Berita Acara Serah
Terima Kekayaan serta telah dikuasainya secara fisik, kepemilikan semua
barang bergerak maupun barang tetap termasuk tanah sudah berpindah
kepada PT KAI. Padahal menurut hukum pertanahan dan hukum perjanjian
kepemilikan tanah belum beralih karena belum mengikuti mekanisme yang
diatur dalam ketiga bidang tersebut masih terbuka untuk dianggap sebagai
miliknya Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan; (b) Pemerintah dan PT
KAI sama-sama menyatakan sebagai pihak yang berhak dengan dasar
hukum yang berbeda sebagai landasannya; (c) adanya benturan kepentingan
atau konflik tentang status kepemilikan atas sebidang tanah terbuka untuk
terjadi sebagai akibat penyamaan asas-asas hukum yang berlaku atas barang
bergerak dan barang tetap.
2) Asas Penyerahan Nyata versus Asas Penyerahan Yuridis
Asas Penyerahan Nyata atau Feitelijke Levering memberikan
pedoman bahwa satu barang bergerak yang diperoleh melalui alas hak yang
sah atau hubungan hukum yang sah seperti perjanjian jual beli, hibah, tukar-
menukar, dan penyertaan modal akan berpindah hak kepemilikan atas
barang bergerak itu kepada pembeli, penerima hibah, penerima penukaran,
dan penerima penyertaan modal setalah dilakukan penyerahan nyata barang
bergerak oleh penjual, pemberi hibah, pemberi penukaran, dan pemberi
penyertaan modal. 15 Asas Penyerahan Nyata dianut dalam
pemindahtanganan hak kepemilikan atas barang bergerak yaitu dari tangan
ke tangan seperti penyerahan kunci mobil, kunci bangunan yang didalamnya
terdapat mesin pabrik, kunci bangunan rumah, atau rangkaian kereta api.
Pemberlakuan Asas Penyerahan Nyata terhadap pemindahtanganan barang
bergerak mempunyai peranan penting karena terkait juga dengan Asas
hukum lain yaitu subyek yang menguasai secara fisik atas barang bergerak
yang didasarkan pada adanya alas hak atau hubungan hukum yang sah,
maka subyek inilah yang berkedudukan sebagai pemilik barang bergerak.
Asas Penyerahan Yuridis atau Juridische Levering 16 memberikan
pedoman bahwa suatu barang tetap yang diperoleh melalui alas hak atau
hubungan yang sah seperti perjanjian jual beli, hibah, tukar menukar, dan
penyertaan modal akan berpindah hak kepemilikannya setelah dilakukan
penyerahan secara yuridis sesuai dengan persyaratan dan prosedur yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika barang tetap itu
berupa tanah, maka penyerahan secara yuridis itu harus memenuhi, yaitu :
Pertama, pemindahtanganannya dilakukan sesuai ketentuan PP No.24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu dengan akte pemindahtangan
yang dibuat di hadapan dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan
diikuti dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan untuk dilakukan; atau
Kedua, pemindahtanganannya tidak boleh dilakukan secara langsung
seperti jual beli atau penyertaan modal namun harus sesuai dengan
katentuan PP No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai dan
Pemennag/Ka.BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan yaitu: (1) ada
pelepasan hak atas tanah kepada Negara yang dituangkan dalam Akta

15
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 79-88
16
Ibid
1016 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Pelepasan Hak sehingga tanah menjadi tanah yang langsung dikuasai


Negara; dan (2) diikuti dengan Permohonan Hak Atas Tanah yang sesuai
dan diinginkan oleh Pembeli atau Penerima Penyertaan Modal;
Pemindahtanganan barang bergerak dan barang tetap yaitu tanah
melalui penyertaan modal pemerintah kepada PT KAI tunduk pada Asas
Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering).17 Hal ini dapat dicermati dari fakta
normatif yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan
yang mendasari, yaitu : Pertama, tidak ada ketentuan yang mengharuskan
pemindahtanganan tanah dilakukan melalui mekanisme pembuatan akta
autentik yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah, kecuali dalam
Keputusan Menteri Keuangan No.470/ KMK.01/1994 sebagaimana terdapat
dalam Lampiran Bab IV, Bagian Pertama, angka 3 huruf a,b,c, yang
menyatakan bahwa mekanisme jual beli tanah harus dilakukan dengan
prosedur Pembuatan dan Penandatanganan Risalah Lelang atau Akta Jual
Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Pembuatan dan
Penandatanganan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah kepada Negara dalam
bentuk Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang tentunya diiukti
oleh permohonan hak atas tanah oleh pihak yang membeli; Kedua,
pemindahtanganan barang bergerak dan barang tetap termasuk dalam bentuk
Penyertaan Modal Pemerintah kepada BUMN/D hanya akan berakhir
dengan penetapan Peraturan Pemerintah dan Penandatanganan Berita Acara
Serah Terima Barang.
Dianutnya Asas Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering) dalam
pemindahtanganan tanah kepunyaan instansi pemerintah yang berasal dari
Grondkaart di lingkungan Stasiun Kereta Api menimbulkan dampak
terhadap proses pemisahan kekayaan yaitu tanah dari instansi Pemerintah cq.
Kementerian Perhubungan kepada PT KAI sebagai bagian dari obyek
penyertaan modal. Dengan hanya ada penyerahan nyata (Feitelijke Levering)
dan tidak diikuti dengan Penyerahan Yuridis atau Juridische Levering,
pemisahan kekayaan berupa tanah harus dinilai tidak pernah terjadi karena
meskipun secara fisik tanah tersebut sudah berada dalam penguasaan PT
KAI namun secara yuridis kepemilikan hak atas tanah tidak pernah
berpindah kepada PT KAI. Dengan penguasaan secara fisik, PT KAI sudah
menganggap dirinya sebagai pemilik atau pemegang hak atas tanah tersebut,
namun sebaliknya karena secara yuridis hak kepemilikan belum berpindah
maka wajar Pemerintah cq. Kementerian Perhubungan masih menempatkan
dirinya sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain, subyek
yang berhak atas tanah yang digunakan untuk kegiatan perkeretaapian masih
tetap berada di tangan Pemerintah.

2. Kajian Dari Aspek Macam Hak Atas Tanahnya


Di samping aspek Subyek yang Berhak dari status kepemilikan, ada aspek lain
yaitu macam hak atas tanah sebagaimana tertuang dalam dokumen Grondkaart atau

17
Lihat Keputusan Menteri Keuangan No.470/ KMK.01/1994 tentang Tata Cara Penghapusan
dan Pemanfaatan Barang Milik/Kekayaan Negara, PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara dan Daerah, Peraturan Menteri Keuangan No.96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Millik Negara,
PP No.27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah, dan Peraturan Menteri
Keuangan No.111/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pemindahtanganan Barang Milik Negara.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1017

surat ukur. Penelusuran macam hak atas tanah dalam dokumen Grondkaart
mempunyai peranan penting untuk menentukan macam hak atas tanah yang tepat pada
saat sekarang dari tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh PT KAI sebagai
bagian dari penyertaan modal Pemerintah kepada PT KAI. Jika ditelusuri secara
historis berdasarkan data normatif (data yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan), maka ada beberapa periode, yaitu :
a. Periode Sebelum Tahun 1953 (PP No.8 Tahun 1953)
Pada Periode ini, tanah-tanah yang digunakan oleh Staats Spoorwegen yang
disingkat SS sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan pelayanan atau usaha
angkutan perkeretaapian berstatus sebagai ”Tanah in Beheer” yaitu bagian dari
tanah Hak Milik (Domein) Negara yang diserahkan ”dalam penguasaan SS
sebagai salah satu Unit Kerja Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya adalah
untuk digunakan langsung bagi kegiatan yang dilaksanakan oleh SS bagi
penyelenggaraan angkutan perkeretaapian. Artinya, SS harus menggunakan tanah
yang diserahkan ”dalam penguasaannya” hanya untuk mendukung
penyelenggaraan kegiatan angkutan perkeretaapian.
”Tanah in Beheer” atau Tanah Dalam Penguasaan SS tersebut diberikan
berdasarkan Staatsblad (S) 1911 No.110 tentang Penguasaan Benda Tidak
Bergerak, Gedung-Gedung, dan Lain-Lain Bangunan Milik Negara, yang sudah
diubah beberapa dan perubahan terakhir dengan S 1940 No.430.18 Staatsblad ini
menjadi dasar bagi penyerahan tanah Hak Milik (Domein) Negara sebagai salah
bentuk Benda Tidak Bergerak kepada berbagai Departemen dan Jawatan termasuk
SS sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda. Tanah yang diserahkan ”Dalam
Penguasaan (in Beheer)” unit kerja tersebut dituangkan dalam peta yang berisi
letak lokasi tanah, luas dan batas tanah yang dikenal dengan sebutan Grondkaart
atau dalam istilah sekarang sebagai surat ukur. Hal ini berbeda dengan dokumen
Meetbrief yang berfungsi sebagai surat ukur bagi tanah yang diberikan dengan hak
atas tanah tertentu yaitu Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak Opstal kepada
warga perseorangan atau badan hukum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda.
Tanah-tanah yang berada Dalam Penguasaan (in Beheer) SS di sekitar
Jakarta-Depok-Bogor pada mulanya tidak seluruhnya berasal dari tanah yang
sudah berstatus Hak Milik (Domein) Negara, namun sebagian dibeli dari
perusahaan kereta api yang dipunyai Swasta yaitu NV Nederlands Indische
Spoorweg Maatschappij yang disingkat NIS. 19 Perusahaan NIS ini sudah
membangun transportasi kereta api Jakarta – Bogor pada 1870 berdasarkan
S.1870 No.4. Tanah yang digunakan oleh NIS untuk penyelenggaraan transportasi
kereta api di Jakarta – Bogor berstatus Hak Opstal yang diberikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda di atas Tanah Hak Milik (Domein) Negara dengan
jangka waktu tertentu.20 Ketika perusahaan kereta api kepunyaan NIS dibeli oleh

18
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional, dalam Jurnal
Mimbar Hukum, volume 24 Nomor 2, Juni 2012 halaman 278; Lihat juga, Arie Soekanti Hutagalung,
tanpa tahun, Hak Pengelolaan, makalah; Lihat juga Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada
Menteri Keuangan No.500-1255, tanggal 4 Mei 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara
Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertipikat Tanah yang Dikuasai Instansi Pemerintah.
19
………., 2000, Tanah Kereta Api : Suatu Tinjauan Historis, Hukum Agraria/Pertanahan, dan
Hukum Perbendaharaan Negara, hal. 2
20
Djoko Marihandono, dkk, 2018, Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril Konsesi NV NISM Di Jawa
Tengah, 1863 – 1958, Penerbit Aset Non Railway – Direktorat Aset Tanah dan Bangunan – PT Kereta
Api Indonesia (Persero), Bandung, hal. 54-57 dan 78-82
1018 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

SS pada tahun 1913 berdasarkan S.1913 No.469, semua tanah yang semula
berstatus Hak Opstal berubah kembali menjadi bagian dari Tanah Hak Milik
(Domein) Negara. Tanah dan semua infrastruktur penyelenggaraan kegiatan
pelayanan/usaha yang berasal dari NIS diserahkan Dalam Penguasaan (in Beheer)
SS.
Penggunaan istilah ”in Beheer (Dalam Penguasaan)” terhadap tanah yang
diserahkan kepada SS dan bukan hak atas tanah sebagaimana Hak Opstal yang
diberikan kepada perusahaan kereta api kepunyaan swasta seperti NIS didasarkan
pada pertimbangan, yaitu : Pertama, SS itu berkedudukan sebagai perusahaan
negara yang sama kedudukannya dengan unit kerja Pemerintah Hindia Belanda
yaitu Departemen atau Jawatan. Dengan kedudukan yang demikian, SS tidak
ditempatkan sebagai badan hukum yang berdiri sendiri sepertihalnya perusahaan
swasta. Konsekuensinya, SS dinilai tidak mempunyai kekayaan tersendiri namun
kekayaannya termasuk tanah merupakan bagian dari kekayaan Negara
(Pemerintah) Hindia Belanda; Kedua, tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan
SS masih tetap berstatus sebagai Tanah Hak Milik (Domein) Negara.
Sebagaimana ditentukan dalam Agrariche Wet (S.1870 No.55) dan Agrarisch
Besluit (S.1870 No.118) bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai
Hak Eigendom (termasuk Hak Eigendom Agraris) perseorangan atau badan
hukum dinyatakan sebagai Hak Milik (Domein) Negara. Dengan kedudukan
sebagai Hak Milik (Domein) Negara, tanah yang diserahkan kepada Departemen
atau Jawatan termasuk SS sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda tidak
mungkin diberi status hak atas tanah seperti Hak Eigendom atau Hak Opstal atau
Hak Erfpacht namun hanya digunakan istilah in Beheer (Dalam Penguasaan).
Artinya, dengan istilah in Beheer, SS hanya menguasai tanah secara fisik untuk
digunakan sebagai tempat lokasi penyelenggaraan kegiatan pelayanan/usaha
perkeretaapian.
Dengan demikian, Tanah in Beheer atau Tanah Dalam Penguasaan tidak
berstatus sebagai hak atas tanah seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak
Opstal karena hak atas tanahnya masih berstatus sebagai Hak Milik (Domein)
Negara dan penyerahan Tanah Dalam Penguasaan lebih bersifat fisik untuk
digunakan sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya. Penggunaan
tanah sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya merupakan kewajiban
dari Departemen atau Jawatan sebagai unit kerja Pemerintah Hindia Belanda,
meskipun kewajiban tersebut tidak ditentukan secara tegas dalam S.1911
No.110.21 Adanya kewajiban tersebut bersumber dari Nilai Budaya Kedisiplinan
dan Asas Kepatuhan/Ketaatan pada Hukum yang telah tertanam pada para
Pegawai dan Pejabat di Pemerintahan Hindia Belanda bahwa setiap ada
pemberian tugas tertentu pasti dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan dan
kepatuhan terhadap nilai budaya dan asas hukum yang berlaku.
SS sebagai unit kerja yang diberi tugas untuk menyelenggarakan
pelayanan/kegiatan usaha bidang transportasi kereta api telah menjalankan
tugasnya dengan penuh kedisiplinan dan kepatuhan. SS telah melaksanakan
penggunaan tanah yang diserahkan Dalam Penguasaannya dengan kedisiplinan
dan kepatuhan. Setiap bagian tanah yang berada Dalam Penguasaannya telah
digunakan secara intensif untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan
pelayanan/usaha transportasi kereta api. SS tidak menelantarkan tanah yang

21
Lihat Penjelasan Umum PP No.8 Tahun 1953 angka 3, alinea terakhir
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1019

berada Dalam Penguasaannya karena penelantaran tanah disadari sebagai bentuk


pelanggaran terhadap nilai kedisiplinan dan asas kepatuhan hukum yang berlaku.
Dengan menggunakan tanah sesuai dengan tujuan penyerahan dan peruntukannya,
SS telah ikut serta menjaga Tanah Hak Milik (Domein) Negara dilanggar atau
diduduki oleh pihak lain.22
Dalam perkembangannya pada periode Pemerintahan Pendudukan Jepang
telah terjadi ketidaktertiban penggunaan tanah dan pengadministrasiannya.
Ketidaktertiban dimaksud disebabkan oleh kebijakan yang memberi kebebasan
kepada setiap Departemen atau Jawatan untuk menggunakan tanah yang berstatus
Dalam Penguasaannya sesuai dengan kepentingan dan kehendak masing-masing
dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat
lanjutannya yaitu23 : (1) terdapat bagian tanah yang penggunaannya menyimpang
dari tujuan penyerahan dan peruntukannya; (2) terdapat bagian tanah yang
dipindahtangankan ke departemen atau jawatan yang lain tanpa terdapat
pengandiministrasian dan dokumen pemindahtanganan yang resmi; (3) ada
penelantaran bagian tanah atau dibiarkan tidak digunakan sehingga dimasuki atau
diduduki dan ditempati oleh pihak lain atau warga masyarakat yang membutuhkan
tanah. Konflik yang terjadi antara warga masyarakat yang menguasai dan
menggunakan tanah yang dikelola oleh PT KAI menunjukkan adanya
penelantaran ini.24
Intinya, pada Periode ini, tanah yang digunakan untuk penyelenggaraan
kegiatan pelayanan/usaha transportasi kereta api oleh SS sebagaimana yang
tertuang dalam Grondkaart berstatus sebagai Hak Milik (Domein) Negara. Jadi
subyek yang menjadi pemegang Hak Milik (Domein) adalah Negara yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penyerahan tanah
Dalam Penguasaan (in Beheer) kepada SS lebih bersifat fisik dalam rangka
penugasan untuk digunakan sesuai tujuan penyerahan dan peruntukannya yaitu
penyelenggaraan transportasi dengan kereta api.
b. Periode 1953 – 1960
Antara tahun 1953 s/d tahun 1960 merupakan Periode untuk menata kembali
ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan pada peraturan perundang-undangan serta
ketidaktertiban administrasi dan pemanfaatan tanah yang diserahkan Dalam
Penguasaan departemen dan jawatan termasuk Djawatan Kereta Api Republik
Indonesia (DKARI) atau Djawatan Kereta Api (DKA) sebagai pelanjut dari SS.
Penataan kembali itu dilakukan dengan ditetapkan dan diberlakukan PP No.8
Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, yang menurut Boedi
Harsono 25 dianggap masih berlaku dengan penyesuaian istilah dan pengertian
dalam PP tersebut karena masih didasarkan pada politik Domeinverklaring yang
diatur dalam Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit.
Penataan kembali pemanfaatan tanah Dalam Penguasaan departemen dan
jawatan yang hendak dilakukan melalui PP No.8 Tahun 1953 masih didasarkan
22
Ibid
23
Ibid
24
HarianHaluan.com, 2018, DPD RI Desak Penuntasan Sengketa Lahan PT KAI, Kamis 18
Oktober; lihat juga Siti Nurjanah1, Bambang Wahyudi2, Purwanto3, 2019, Resolusi Konflik Lahan Pt
Kereta Api Indonesia (Persero) Dengan Warga Rw 12 Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan Dalam
Perebutan Lahan Di Wilayah Daerah Operasi 1 Jakarta, Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, Agustus
2019, Volume 5 Nomor 2
25
Boedi Harsono, 1983, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 817
1020 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

pada prinsip yang sama, yaitu : Pertama, tanah yang sudah diserahkan Dalam
Penguasaan tetap berstatus sebagai Tanah Hak Milik (Domein) Negara
sebagaimana yang dianut dalam S. 1911 No.110 yaitu asas Domeinverklaring
yang diatur dalam Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit; Kedua, tanah yang
digunakan untuk menyelenggarakan kepentingan dan tugas dari departemen dan
jawatan termasuk DKA sebagai unit kerja dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah masih berstatus sebagai Tanah Dalam Penguasaan (sebagai terjemahan
dari ”in Beheer”) yang hanya bersifat penguasaan fisik dalam rangka pelaksanaan
tugas. Dalam konteks tanah yang diserahkan untuk digunakan penyelenggaraan
pelayanan/usaha transportasi kereta api, tanah yang berada Dalam Penguasaan
diserahkan kepada Kementerian yang membawahi DKA yaitu Kementerian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum. Artinya, tanah tersebut diserahkan
Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum dan
bukan DKA karena DKA berkedudukan sebagai unit kerja dalam lingkungan
Kementerian tersebut.
Upaya penataan melalui PP No. 8 Tahun 1953 dilaksanakan dalam ujud, yaitu:
Pertama, penegasan mengenai penguasaan atas Tanah Milik (Domein) Negara :
(1) tanah-tanah yang secara riil dikuasai dan digunakan untuk kepentingan
menjalankan tugas Kementerian, Jawatan, atau Pemerintah Daerah pada saat
berlakunya PP No.8 Tahun 1953 tetap berada Dalam Penguasaan Kementerian,
Jawatan, atau Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Jika tanah untuk
penyelenggaraan kegiatan transportasi kereta api masih digunakan untuk
mendukung kegiatan transportasi dimaksud, maka tanah tersebut ditempatkan
sebagai Tanah Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan
Pekerjaan Umum yang membawahi DKA; (2) tanah-tanah yang secara riil tidak
dikuasai dan digunakan untuk kepentingan menjalankan tugas Kementerian,
Jawatan, atau Pemerintah Daerah tertentu ditempatkan Dalam Penguasaan
Menteri Dalam Negeri, yang mempunyai kewenangan untuk menyerahkan tanah-
tanah dimaksud Dalam Penguasaan Kementerian, Jawatan, atau Pemerintah
daerah yang membutuhkan;
Kedua, Pembebanan kewajiban kepada kementerian, jawatan, atau
pemerintah daerah yang diserahi Tanah Dalam Penguasaan termasuk DKA yang
berkedudukan sebagai unit kerja Kementerian Perhubungan, Tenaga dan
Pekerjaan Umum, yaitu: (1) penyerahan tanah itu wajib digunakan sebagai tempat
melaksanakan kepentingan atau tugas yang dibebankan kepada kementerian,
jawatan, atau pemerintah daerah yang bersangkutan; (2) luas tanah yang
diserahkan Dalam Penguasaan tidak melebihi keperluan untuk melaksanakan
kepentingan atau tugasnya; (3) kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah
yang diserahi Tanah Dalam Pengawasan wajib memelihara dan mempergunakan
tanah sebagaimana mestinya atau dengan kata lain tidak menelantarkan tanah.
Ketiga, adanya kemungkinan tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan di
samping wajib digunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas yang
dibebankan, juga : (1) kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah, sebagaimana
ketentuan Pasal 9 PP No.8 Tahun 1953 diberi kewenangan untuk memberi izin
memakai tanah kepada pihak lain selama kementerian, jawatan, atau pemerintah
daerah belum mempergunakannya bagi pelaksanaan kepentingan atau tugas.
Dalam konteks tanah yang dipergunakan untuk penyelenggaraan transportasi
kereta api, izin pemakaian oleh pihak lain harus diberikan oleh Kementerian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum karena DKA merupakan unit kerja
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1021

dari Kementerian tersebut kecuali jika Menteri memberikan kuasa atau


mendelegasikan kewenangan tersebut kepada DKA; (2) khusus bagi pemerintah
daerah sebagaimana ketentuan Pasal 12 diberi kewenangan untuk memberikan
tanah Dalam Penguasaan kepada pihak lain dengan sesuatu hak atas tanah. Dalam
konteks ini dapat dimaknai bahwa pemerintah pusat melalui Menteri Dalam
Negeri (yang membawahi urusan pertanahan pada waktu itu) memberikan
delegasi kepada pemerintah daerah untuk memberikan tanah dengan sesuatu hak
atas tanah tertentu kepada warga masyarakat yang membutuhkan
c. Periode 1960 – seterusnya
Periode ini diawali dengan pemberlakuan UU No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960.
Pemberlakuan UU No.5 Tahun 1960 yang dikenal dengan sebutan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) telah meniadakan keberadaan Hak Domein
(Milik) Negara yang menjadi dasar keberadaan Tanah Dalam Penguasaan
Kementerian, Jawatan, atau pemerintah daerah. UUPA telah mencabut berlakunya
Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit yang menjadi dasar pembentukan Hak
Domein (Milik) Negara. UUPA sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
Negara RI 1945 tidak lagi menempatkan Negara sebagai pemegang Hak Domein
(Milik) Negara yang sejajar dengan warga negaranya yang juga dapat mempunyai
Hak Milik.
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat yang terhimpun dalam
ikatan Bangsa Indonesia diberi kedudukan yang lebih tinggi yaitu sebagai
pemegang dan pelaksana Hak Menguasai Negara atas seluruh tanah dan bahkan
seluruh sumber daya agraria yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan Hak Menguasai Negara ini, Negara mempunyai kewenangan
untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menentukan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan tanah serta macam-macam hak atas tanah dan
hubungan hukum yang berobyekkan tanah. Konsekuensi dari kedudukan Negara
sebagai pemegang dan pelaksana Hak Menguasai Negara adalah sebutan ”Tanah
Hak Milik (Domein) Negara” sebagaimana digunakan dalam Agrarisch Besluit
yang kemudian oleh PP No.8 Tahun 1953 diganti dengan sebutan ”Tanah yang
Dikuasai Penuh oleh Negara” dirubah menjadi ”Tanah Yang Dikuasai Langsung
oleh Negara” sebagai pasangan dari ”Tanah Yang Dikuasai Tidak Langsung oleh
Negara”.26 Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara adalah tanah yang belum
dilekati hak atas tanah tertentu termasuk Hak Ulayat sehingga kewenangan
Negara untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menentukan lebih bersifat penuh,
sedangkan Tanah yang Dikuasai Tidak Langsung oleh Negara adalah tanah yang
sudah dilekati hak atas tanah dan Hak Ulayat sehingga kewenangan Negara
dibatasi oleh kewenangan yang diberikan Negara kepada pemegang hak atas tanah
dan pemegang Hak Ulayat.
Hapusnya Hak Milik (Domein) Negara atas Tanah membawa dampak hukum
terhadap keberadaan Tanah Dalam Penguasaan Kementerian, Jawatan, atau
Pemerintah Daerah. Dampak yang dimaksud yaitu Tanah Dalam Penguasaan
tidak mempunyai dasar pijakan dan status hukumnya menjadi tidak jelas.
Ketidakjelasan status hukumnya tersebut disebabkan oleh : Pertama, Tanah
Dalam Penguasaan tidak berstatus sebagai hak atas tanah karena hanya menjadi

26
Lihat Pasal 28 ayat (2), Pasal 37 huruf a, Pasal 41 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1), serta
Penjelasan Umum angka (2) UU No.5 Tahun 1960
1022 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

bagian dari Tanah Hak Milik (Domein) Negara sedangkan Tanah Hak Milik
(Domein) Negara sudah dinyatakan hapus oleh UUPA karena bertentangan
dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945; Kedua, UUPA sendiri
baik dalam Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokoknya maupun dalam Ketentuan-
Ketentuan Konversinya tidak menyebut dan mengatur secara tegas Tanah Dalam
Penguasaan yang digunakan oleh kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah
sebagaimana tanah-tanah yang berstatus Hak Eigendom, Hak Erfpacht, dan Hak
Opstal yang secara tegas (eksplisit) disebut dan diatur dalam Ketentuan-Ketentuan
Konversi.
Meskipun secara tegas/eksplisit UUPA tidak menyebut dan mengatur Tanah
Dalam Penguasaan, namun secara tersirat atau implisit UUPA memberi peluang
untuk diakuinya status Tanah Dalam Penguasaan tersebut. Ada 2 (dua) fakta
menjadi dasar pemberian peluang untuk diakui : Pertama, fakta normatif yaitu
Ketentuan Peralihan dalam UUPA khususnya Pasal 58 yang berbunyi : ”Selama
peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi
dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas
tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 58 UUPA membuka bagi berlakunya semua
peraturan perundang-undangan yang tidak dicabut atau bertentangan dengan
UUPA dan harus disesuaikan dengan prinsip dalam UUPA. PP No.8 Tahun 1953
yang mengatur Tanah Dalam Penguasaan tetap berlaku. Jika PP No.8 Tahun
1953 diakui keberlakuannya, maka Tanah Dalam Penguasaan harus tetap dijaga
keberlangsungannya termasuk yang berada dalam penguasaan Kementerian
Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum yang digunakan oleh unit kerjanya
yaitu Djawatan Kereta Api (DKA) yang pada tahun 1960 berubah menjadi
Perusahaan Negara (PN) Kereta Api untuk penyelenggaraan transportasi kereta
api;
Kedua, fakta empiris yaitu Tanah Dalam Penguasaan kementerian, jawatan,
atau pemerintah daerah baik sebagian maupun seluruhnya masih digunakan
sebagai tempat penyelenggaraan kepentingannya atau tugas yang dibebankan
kepada masing-masing kementerian, jawatan, atau pemerintah daerah. Tanah
Dalam Penguasaan Kementerian Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum
(pada tahun 1963 berubah menjadi Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata) secara faktual masih digunakan sebagai tempat
menyelenggarakan transportasi kereta api. Fakta empiris ini harus diakomodasi
agar mendapatkan kepastian hukum.
Ketidakjelasan/ketidakpastian mengenai status hukum Tanah Dalam
Penguasaan harus diakhiri. Upaya untuk mengakhiri ketidakpastian tersebut
dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Agraria dengan menetapkan dan
memberlakukan Peraturan Menteri Agraria (PMA) No.9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-
Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. PMA ini memberikan penegasan
beberapa hal, yaitu :
1) Penegasan status Tanah Dalam Penguasaan berkedudukan sebagai hak atas
tanah. Penegasan sebagai hak atas tanah dituangkan dalam Bagian
Menimbang : ”bahwa untuk menyelenggarakan penertiban dalam rangka
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1023

melaksanakan konversi menurut ketentuan UUPA, maka perlu diberikan


penegasan mengenai status tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak
penguasaan.” Penggunaan frase ”hak penguasaan” mempunyai fungsi yang
strategis karena menjadi langkah awal bagi Tanah Dalam Penguasaan
untuk dapat dikonversi menjadi salah satu hak atas tanah menurut ketentuan
UUPA. Tanpa berstatus sebagai ”hak atas tanah” tidak mungkin Tanah
Dalam Penguasaan dapat dikonversi menjadi salah satu hak atas tanah.
Perlu dipahami bahwa S. 1911 No.110 menggunakan frase ”in Beheer”
dan PP No.8 Tahun 1953 menggunakan frase ”Penguasaan Tanah Negara.”
Hal tersebut mengindikasikan baik S.1911 No.110 maupun PP No.8 Tahun
1953 tidak bermaksud untuk memberikan status hak atas tanah terhadap
tanah yang diserahkan Dalam Penguasaan tersebut karena tanah-tanah
tersebut menjadi bagian dari Hak Domein (Milik) Negara. Oleh karenanya,
penggunaan frase ”Hak Penguasaan” dalam PMA No.9 Tahun 1965
mempunyai fungsi ”perantara” untuk dapat dilakukan konversi Tanah
Dalam Penguasaan menjadi salah satu hak atas tanah menurut UUPA
2) Penegasan macam hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah bekas hak
penguasaan setelah dilakukan konversi. PMA No.9 Tahun 1965
memberikan 2 (dua) pilihan, yaitu : Pertama, Hak Penguasaan dikonversi
menjadi Hak Pakai Selama Digunakan jika tanah tersebut hanya
dipergunakan untuk kepentingan atau melaksanakan tugas dari instansi itu
sendiri (Pasal 1 PMA No.9 Tahun 1965). Hak Pakai Selama Digunakan
mengacu pada ketentuan Pasal 41 ayat (2) huruf a UUPA yaitu hak atas
tanah yang tidak dibatasi dengan jangka waktu dan akan berlangsung selama
tanah dipergunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas yang
dibebankan kepada instansi yang bersangkutan; Kedua, Hak Penguasaan
dikonversi menjadi Hak Pengelolaan jika tanahnya di samping sebagian
dipergunakan untuk melaksanakan kepentingan atau tugas instansi yang
bersangkutan juga sebagian lainnya diberikan kepada pihak ketiga dengan
hak atas tanah tertentu (Pasal 2 PMA No.9 Tahun 1965). Hak Pengelolaan
merupakan macam hak atas tanah yang diciptakan baru melalui PMA
tersebut dan penciptaan hak atas tanah baru memang dimungkinkan oleh
Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA melalui peraturan perundang-undangan.
Jika mencermati fakta empiris mengenai penggunaan tanah yang
diperuntukkan bagi penyelenggaraan transportasi kereta api, maka tanah
dimaksud yang tertuang dalam Grondkaart tampaknya hanya digunakan
untuk tempat mendukung penyelenggaraan angkutan atau transportasi kereta
api. Tidak ada dari bagian tanah dalam Grondkaart yang dirancang sejak
awal untuk diserahkan kepada pihak ketiga dengan hak atas tanah tertentu.
Atas dasar kenyataan tersebut, tanah yang tergambar dalam Grondkaart dan
diperuntukkan bagi penyelenggaraan angkutan kereta api tersebut hanya
dapat dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan. Artinya, sejak
berlakunya PMA No.9 Tahun 1965 yaitu pada tanggal 6 Desember 1965,
tanah yang semula berstatus Dalam Penguasaan atau yang kemudian Hak
Penguasaan itu sudah berstatus sebagai Hak Pakai Selama Digunakan. Bagi
pemegang Hak Pakai Selama Digunakan wajib datang ke Kantor
Pendaftaran Tanah (sekarang Kantor Pertanahan) untuk mendaftarkan dan
1024 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

mendapatkan Sertipikat (Pasal 3 PMA No.9 Tahun 1965 jo. PMA No.1
Tahun 1966). Kewajiban untuk datang mendaftarkan tersebut tidak
ditentukan batas waktunya, sehingga sepenuhnya diserahkan pada kemauan
pemegang Hak Pakai Selama Digunakan.
3) Penegasan subyek yang dapat mempunyai Hak Pakai Selama Digunakan
dan Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi Hak Penguasaan termasuk
yang tertuang dalam Grondkaart. Pada prinsipnya sesuai ketentuan Pasal 1
PMA No.9 Tahun 1965, subyek yang diberi hak atas tanah yang berasal dari
konversi tersebut adalah instansi-instansi pemerintah yaitu departemen-
departemen, direktorat-direktorat, dan daerah-daerah swatantra (pemerintah
daerah). Direktorat-direktorat yang disebutkan tersendiri dalam PMA No.9
Tahun 1965 sebenarnya sama kedudukannya dengan ”jawatan-jawatan”
yang disebutkan dalam PP No.8 Tahun 1953. Baik direktorat maupun
jawatan merupakan bagian dari organisasi departemen atau kementerian
dengan tugas khusus, diberi anggaran tersendiri namun tetap berinduk pada
anggaran departemen/kementerian, dan pimpinan direktorat/jawatan harus
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan keuangannya kepada
Menteri. Dengan disebutnya secara tersendiri, direktorat sebenarnya terbuka
untuk menjadi subyek tersendiri dari Hak Pakai Selama Digunakan atau
Hak Pengelolaan yang berasal dari konversi Hak Penguasaan karena
direktorat berstatus sebagai instansi pemerintah (Pasal 1 jo. Pasal 4 dan
Pasal 5 PMA No.9 Tahun 1965).
Penyelenggaraan angkutan kereta api, pada waktu berlakunya PMA
No.9 Tahun 1965 dilaksanakan oleh Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).
Kedudukan PNKA pada waktu itu, sesuai dengan PP No.22 Tahun 1963
adalah sebagai unit kerja dari Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata. Struktur Departemen ini terdiri dari :
Menteri yang menjadi pimpinan di Departemen, Direktorat Jenderal yang
dipimpin oleh Direktur Jenderal, dan Direktorat yang dipimpin oleh
Direktur. Kedudukan PNKA sebagai unit kerja dari Departemen
Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata ditegaskan dalam
PP No.22 Tahun 1963, yaitu : Pertama, kegiatan PNKA dilaksanakan oleh
Direksi yang terdiri dari Direktur Jenderal sebagai pemimpin dan dibantu
oleh beberapa Direktur dan beberapa Direktur Muda; Kedua, Direktur
Jenderal sebagai pimpinan PNKA bertanggungjawab kepada Menteri
Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata serta Para
Direktur bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal; Ketiga, Gaji dan
penghasilan lain dari anggota Direksi ditetapkan oleh Menteri berdasarkan
Anggaran yang sudah disetujui oleh Menteri; Keempat, Direktur Jenderal
mewakili PNKA didalam dan diluar pengadilan; Kelima, Direktur Jenderal
mengurus dan menguasai kekayaan PNKA.
Dengan kedudukan sebagai salah satu bagian dari struktur
Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata,
PNKA tidak mungkin menjadi subyek pemegang Hak Pakai Selama
Digunakan yang berasal dari Konversi Hak Penguasaan. Dengan kata lain,
subyek yang dapat menjadi pemegang Hak Pakai Selama Digunakan adalah
nama instansi pemerintah yaitu Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 jo. Pasal 4
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1025

dan Pasal 5 PMA No.9 Tahun 1965 bahwa Hak Pakai Selama Digunakan
yang berasal dari konversi Hak Penguasaan hanya dapat dipunyai oleh
subyek yang berstatus sebagai instansi pemerintah. Badan hukum yang
bukan instansi pemerintah tidak mungkin dapat menjadi subyek hak atas
tanah yang dimaksud.
Penegasan subyek yang dapat mempunyai hak atas tanah yang berasal
dari konversi Hak Penguasaan dan tertuang dalam Grondkaart seharusnya
menjadi titik awal bagi kebijakan selanjutnya berkenaan dengan subyek dan
macam hak atas tanah dimaksud. Artinya, kepastian hukum mengenai
subyek pemegang hak yaitu Departemen Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan Pariwisata serta mengenai macam hak atas tanah yaitu
Hak Pakai Selama Digunakan yang telah ditetapkan berdasarkan PMA No.9
Tahun 1965 harus menjadi pijakan bagi kebijakan dan pelaksanaan terhadap
tanah-tanah yang termuat dalam Grondkaart untuk penyelenggaraan
angkutan atau transportasi kereta api.
Meskipun penetapan subyek pemegang hak dan macam hak atas tanah
yang berasal dari konversi Hak Penguasaan yang tertuang dalam
Grondkaart, namun dalam perkembangannya terdapat ketidakkonsistenan
kebijakan yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum lagi
mengenai status kepemilikan tanah dalam Grondkaart untuk
penyelenggaraan angkutan kereta api. Di antara kebijakan yang tidak
konsisten, di antaranya yaitu : Pertama, ada tanah-tanah dari Grondkaart
yang kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Pakai (Selama Digunakan) Tahun
1987 dan Tahun 1998 atas nama Departemen Perhubungan yaitu di Stasiun
Pondok Cina dan Stasiun Depok (Baru) serta ada yang diterbitkan Sertipikat
Hak Pakai Tahun 1988 atas nama Perusahaan Jawatan Kereta Api yaitu di
Stasiun Tanjung Barat. 27 Penerbitan Sertipikat Hak Pakai atas nama dua
subyek yang berada dalam hubungan struktural menyebabkan terjadinya
ketidakpastian hukum karena masing-masing berpandangan bahwa masing-
masing subyek menilai dirinya berhak menjadi pemegang hak atas tanah;
Kedua, penerbitan 3 (tiga) Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan
mencantumkan 2 (dua) subyek yaitu Departemen Perhubungan cq.
Perusahaan Jawatan Kereta Api. Pencantuman 2 (dua) subyek itu menambah
ketidakpastian hukum karena menimbulkan tafsir yang berbeda mengenai
subyek yang berstatus sebagai pemegang Hak Pakai Selama Digunakan.
Perbedaan tafsir itu yaitu kedua subyek itu memiliki Hak Pakai Selama
Digunakan secara bersama-sama atau pemegang haknya adalah Departemen
Perhubungan atau Perusahaan Jawatan Kereta Api;
Ketiga, ketidakpastian hukum tersebut diperkuat oleh Kebijakan
Penyertaan Tanah Sebagai Modal Pemerintah kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang tidak jelas. Letak ketidakjelasannya yaitu apakah
modal yang disertakan itu nilai ekonomi/nilai manfaat tanah yang disertai
dengan penyerahan tanah secara fisik untuk dikuasai dan dimanfaatkan oleh
BUMN tanpa disertai pemindahtanganan hak atas tanah atau disertai dengan
pemindahtanganan hak atas tanahnya kepada BUMN. Ketidakjelasan

27
Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
No.1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 tentang Permohonan Bantuan Penerbitan Hak
Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia (Persero) di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung
Barat
1026 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

kebijakan tersebut telah menimbulkan perbedaan tafsir mengenai status


kepemilikan tanah itu tetap berada di Departemen Perhubungan (Pemerintah)
atau sudah beralih kepada BUMN yang menerima penyertaan modal
pemerintah berupa tanah

3. Kajian Dari Aspek Penyertaan Modal Pemerintah Berupa Tanah kepada


BUMN
Ketidakjelasan status kepemilikan tanah yang tertuang dalam Grondkaart dan
dipergunakan untuk penyelenggaraan transportasi kereta api terutama di lokasi
penelitian di samping disebabkan oleh kurang dipahaminya secara utuh kedudukan
subyek yang berhak atas tanah dan macam hak atas tanah yang berasal dari konversi
Hak Penguasaan, juga disebabkan oleh kebijakan penyertaan modal pemerintah
khususnya berupa tanah kepada BUMN/D atau badan lain kepunyaan pemerintah yang
kurang jelas dan kurang tuntas. Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kebijakan
dimaksud menyebabkan terjadinya praktik penyertaan modal pemerintah berupa tanah
yang tidak sesuai dengan asas hukum pemindahtanganan tanah sebagai benda tidak
bergerak. Konsekuensi hukumnya, tanah yang dijadikan obyek penyertaan modal
pemerintah kepada BUMN/D belum berpindah kepemilikannya.
Modal BUMN sepertihalnya PT KAI berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. 28 Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP 44/2005 jo. perubahannya dalam PP
72/2016 tentang Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dapat diketahui bahwa penyertaan modal negara
dalam BUMN yang berasal dari APBN dapat berupa: (a) dana segar; (b) barang milik
negara; (c) piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; (d) saham milik
negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau; (e) aset negara lainnya.
Kekayaan negara yang dipisahkan untuk dijadikan penyertaan modal negara
dalam BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke
dalam modal BUMN, sehingga setiap penyertaan modal negara yang berasal dari
APBN harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.29 Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa penyertaan modal negara yang bersumber dari APBN sebagaimana
diuraikan di atas berhasil terlaksana dengan penetapan melalui Peraturan Pemerintah
(PP). Sebagai akibat hukum dari penetapan PP, maka pertama, modal negara yang
disetor akan berubah status menjadi modal BUMN. Hal ini sesuai dengan definsi
penyertaan modal negara menurut PP 44/2005 jo. PP 72/2016 bahwasannya: 30
“Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber
lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya,
dan dikelola secara korporasi.”
Mengenai pemindahtangan barang milik negara (BMN) melalui penyertaan
modal diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 (PP
27/2014) jo. perubahannya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2020 (PP

28
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
29
Pasal 4 ayat (4) jo. Penjelasannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara. Lihat pula Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas
dan Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
30
Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara
pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1027

28/2020) tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri


Keuangan No. 111/PMK.06/2016 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemindahtanganan
Barang Milik Negara (Permenkeu 111/2016). Berdasarkan kedua beleid tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa prosedur penyertaan modal BMN ke BUMN setidaknya
mencakupi studi analisis kelayakan, penilaian, persetujuan, penetapan PP, dan
terakhir dilanjutkan dengan serah terima BMN dan penandatangan Berita
Acara Serah Terima.
Jika penyertaan BMN sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan prosedur
menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam kedua beleid
tersebut, maka sejatinya status BMN yang semula milik negara akan berubah status
menjadi aset milik BUMN. Hal ini sesuai dengan definisi yuridis “Pemindahtanganan”
dalam PP 27/2014 jo. PP 28/2020 bahwa:31 “Pemindahtanganan adalah pengalihan
kepemilikan Barang Milik Negara/Daerah.” Pemindahtanganan dilakukan dengan
cara penjualan, tukar-menukar, hibah, atau penyertaan modal Pemerintah
Pusat/Daerah. 32 Hal ini menunjukkan bahwa penyertaan modal BMN ke dalam
BUMN merupakan bentuk pengalihan kepemilikan BMN dari Pemerintah ke BUMN.
Oleh karena itu, jika penyertaan modal ini sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, maka “kepemilikan” atas BMN yang disetor sebagai
modal sejatinya telah beralih ke BUMN sebagai pihak yang menerima penyertaan
modal. Dengan kata lain, peralihan kepemilikan BMN telah terjadi semenjak
ditetapkannya PP dan adanya serah terima BMN yang dituangkan dalam berita acara
serah terima.
Selain perubahan status kepemilikan modal/aset, penyertaan modal juga
menimbulkan akibat hukum kedua, yakni berubahnya status para pihak, in casu
negara dan BUMN. Hal ini tercerminkan dalam definisi yuridis penyertaan modal
dalam dalam PP 27/2014 jo. PP 28/2020 bahwa:33
“Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah adalah pengalihan kepemilikan
Barang Milik Negara/Daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak
dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai
modal/saham/aset neto/kekayaan bersih milik negara atau daerah pada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki
negara.”

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa BMN yang


diserahkan akan diperhitungkan sebagai saham milik negara dalam BUMN. Adapun
perhitungan saham yang diperoleh negara dalam hal ini didasarkan pada hasil
penilaian yang dilakukan oleh Penilai terhadap BMN yang menjadi obyek penyetoran
modal. Definisi tersebut menunjukkan pengalihan kepemilikan BMN selain mengubah
“status kepemilikan” aset dari yang semula milik negara menjadi milik BUMN, juga
mengubah “status negara” yang semula sebagai pemilik aset menjadi pemegang saham
dalam BUMN. Sementara itu, BUMN dalam hal ini akan berstatus sebagai pemilik
aset yang telah disetorkan negara, sehingga BUMN berwenang untuk mengelola dan
memanfaatkan aset tersebut.
31
Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
32
Pasal 54 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah. Lihat pula Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.06/2016 Tahun
2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.
33
Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
1028 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Dengan adanya Penetapan Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan Modal


Negara (Pemerintah) dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Barang, proses
Penyertaan Modal Negara (Pemerintah) kepada PT Kereta Api Indonesia sudah selesai
atau berakhir. Hal ini mengandung makna : (1) Pemerintah sudah berstatus sebagai
pemegang saham pada PT Kereta Api Indonesia yang besaran sahamnya sudah
ditentukan oleh Menteri Keuangan; (2) Pemerintah sudah mempunyai hak untuk
mendapatkan pembagian deviden dari keuntungan kegiatan usaha dari PT Kereta Api
Indonesia jika memang ada keuntungan yang diperoleh; (3) PT Kereta Api Indonesia
sudah mempunyai hak untuk menguasai secara fisik dan memanfaatkan barang baik
barang bergerak maupun barang tidak bergerak termasuk tanah untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan usaha transportasi kereta api. Artinya, PT Kereta Api Indonesia
hanya mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan tanah yang disertakan sebagai
modal atau inbreng sesuai dengan tujuan dilakukan penyertaan modal. Sebaliknya, PT
Kereta Api Indonesia belum mempunyai kewenangan sebagai pemegang pemegang
hak atas tanah seperti memperalihkan dan mengerjasamakan tanah dengan pihak
ketiga.
Dengan demikian, proses penyertaan modal pemerintah berupa tanah yang
berakhir dengan penetapan Peraturan Pemerintah dan penandatanganan Berita Acara
Serah Terima Barang berupa tanah belum berkaitan dengan status pemilikan barang
khususnya tanah. Sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu :
1) tidak semua barang bergerak, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) PP
No.1998 jo. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) PP No.57 Tahun 1990, yang disetorkan
atau disertakan sebagai modal Pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia
dipisahkan atau dilepaskan pemilikannya dari kekayaan Negara, yaitu : Pertama,
Barang bergerak berupa sarana kereta api yaitu lokomotif dan rangkaian gerbong
serta barang lain yang bergerak di atas rel sudah dipisahkan atau dilepaskan
pemilikannya dari kekayaan Negara menjadi pemilikan PT Kereta Api Indonesia;
Kedua, barang bergerak berupa prasarana kereta api yaitu jalan kereta api atau
bangunan rel, bangunan perlintasan, bangunan jembatan, bangunan terowongan,
bangunan perangkat persinyalan dan telekomunikasi, bangunan instalasi sentral
listrik beserta aliran atas tidak dipisahkan atau dilepaskan pemilikannya dari
kekayaan Negara sehingga pemilikannya masih tetap berada pada Pemerintah dan
yang diserahkan kepada PT Kereta Api Indonesia hanyalah penguasaan secara
fisik barang bergerak tersebut.
Namun terhadap semua barang bergerak sebagaimana disebut diatas dapat
dianggap sudah dipisahkan atau dilepaskan pemilikannya dari Kekayaan Negara
dan berpindah pemilikannya kepada PT Kereta Api Indonesia dengan
mendasarkan pada 2 (dua) asas hukum, yaitu34 : (a) Asas pengalihan pemilikan
barang bergerak dilakukan dengan penyerahan secara nyata atau fisik. Artinya,
barang-barang bergerak tersebut di atas yang semula pemilikannya berada di
tangan Pemerintah sudah dialihkan kepada PT Kereta Api Indonesia dengan
ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Barang sebagai bukti adanya
penyerahan barang secara nyata atau fisik; (b) Asas subyek yang menguasai (bezit)
barang bergerak secara itikad baik, terus menerus tidak terputus, tidak terganggu
dan diketahui umum, dalam rentang waktu tertentu diakui sebagai pemilik barang

34
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 76 dan 80
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1029

tersebut. Barang-barang bergerak yang disebut di atas sudah dikuasai dan


digunakan oleh perusahaan kereta api untuk kegiatan pengangkutan
2) Barang tidak bergerak yaitu tanah yang menjadi tempat berdirinya berbagai
bangunan prasarana kereta api memang sudah diserahkan penguasaannya secara
fisik kepada PT Kereta Api Indonesia, namun penyerahan penguasaan secara fisik
belum bermakna adanya pengalihan atau pemindahtanganan hak pemilikan atas
tanah karena pemindahtanganan pemilikan tanah harus dilakukan melalui
mekanisme yuridis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pertanahan.
Penetapan Peraturan Pemerintah dan Penandatanganan Berita Acara Serah
Terima Barang (Tanah) tidak berfungsi sebagai bukti adanya pengalihan atau
pemindahtanganan hak atas tanah karena Berita Acara tersebut hanya berfungsi
sebagai penyerahan penguasaan tanah secara fisik kepada PT Kereta Api Indonesia
untuk dipergunakan bagi penyelenggaraan transportasi kereta api. Pemindahtanganan
dan penyerahan hak pemilikan atas tanah harus dilakukan melalui mekanisme
yuridis.35 Dasar yang digunakan untuk dilakukan dengan mekanisme yuridis yaitu :
1) Asas hukum yang menyatakan bahwa pemindahtanganan tanah sebagai
barang tidak bergerak wajib dilakukan melalui mekanisme tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan pertanahan. Asas ini dianut oleh
Overschrijvingsordonnantie S. 1834 No.27 yang berlaku pada zaman
Hindia Belanda sampai lahirnya UUPA yang menentukan bahwa
pemindahtanganan dan penyerahan hak atas tanah harus dilakukan melalui
mekanisme balik nama di hadapan hakim Raad van Justitie dan tahun 1947
berdasarkan S.1947 No.53 diubah di hadapan Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah. Pada saat dilakukan balik nama itulah menjadi saat berpindahnya
hak atas tanah dari pemilik yang lama kepada yang baru.
Asas ini kemudian dianut oleh Pasal 19 UUPA dan Pasal 37 dan Pasal
45 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan
bahwa pemindahtanganan termasuk pemasukan hak atas tanah sebagai
modal dalam perusahaan dan penyerahan hak atas tanah harus dilakukan
dengan prosedur dan persyaratan yang sudah ditentukan. Prosedurnya dapat
dilakukan melalui pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Akta
PPAT) dan diikuti dengan Pendaftaran Peralihan/Pemindahtanganan Hak
atas Tanah atau melalui pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak semula
dan diikuti dengan permohonan hak atas tanah oleh calon pemilik baru
2) Asas hukum yang menyatakan bahwa penguasaan tanah secara fisik oleh
satu subyek belum tentu dapat menjadi alas hak atau dasar adanya hak
pemilikan atas tanah. artinya : Pertama, Penguasaan tanah secara fisik akan
menjadi alas hak adanya hak pemilikan atas tanah jika ada
hubungan/perbuatan hukum dengan mekanisme tertentu yang dimaksudkan
untuk terciptanya hak pemilikan atas tanah. Misalnya seseorang menguasai
tanah secara fisik melalui tata cara yang diatur dalam hukum adat maka
orang tersebut mempunyai alas hak untuk menjadi pemilik atas tanah atau
contoh lain : satu subyek menguasai tanah secara fisik yang didasarkan pada

35
Boedi Harsono, 1971, UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA : Sejarah Penyusunan, Isi,
dan Pelaksanaannya, penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 49
1030 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

perjanjian pemindahtanganan (jual beli, tukar menukar, hibah, atau


penyertaan modal) dengan pemilik semula sesuai mekanisme yang
ditentukan; Kedua, sebaliknya penguasaan tanah secara fisik tidak dapat
menjadi alas hak bagi adanya hak pemilikan atas tanah jika tidak ada
hubungan/perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk terciptanya hak
pemilikan atas tanah. Misalnya satu subyek menguasai tanah secara fisik
atas dasar hubungan hukum penyerahan pemanfaatan tanah atau perjanjian
kerja sama pemanfaatan tanah maka subyek tersebut hanya mempunyai
kewenangan memanfaatkan tanah untuk tujuan tertentu namun tidak
mungkin tercipta hak pemilikan atas tanah karena pemilikan tanah masih
tetap berada pada pemilik semula.
Penyertaan modal Pemerintah berupa tanah kepada PT Kereta Api Indonesia
terjadi pada tahun 1998 melalui PP No.19 Tahun 1998. Pada saat itu masih berlaku
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.470/KMK.01/1994 sebagai pedoman yang
berlaku, yang membuka kemungkinan penyertaan modal pemerintah dalam bentuk
pengalihan/pemindahtanganan penguasaan atau pemilikan barang yang menjadi obyek
penyertaan modal terutama tanah. Sebab jika barang bergerak yang disetorkan atau
disertakan sebagai modal akan berlaku asas hukum bahwa dengan penyerahan secara
fisik barang bergerak tersebut harus dimaknai adanya pemindahtanganan penguasaan
dan sekaligus pemilikan barang.
Jika penyertaan modal pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia
dimaksudkan sebagai pemindahtanganan penguasaan barang tidak bergerak berupa
tanah, maka prosedur dan persyaratan penyertaan modalnya harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyertaan modal
pemerintah dan hanya akan berakhir dengan dilakukan penetapan Peraturan
Pemerintah dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Barang. Faktanya, tanah-
tanah yang berasal dan tercantum dalam Grondkaart di Stasiun lokasi penelitian
secara yuridis masih tercatat atas nama Pemerintah yaitu Kementerian/Departemen
Perhubungan. Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan masih mencantumkan
Kementerian/Departemen Perhubungan sebagai pemegang haknya dan belum
didaftarkan perubahan nama pemegangnya atas nama PT Kereta Api Indonesia.
Sebaliknya, jika penyertaan modal pemerintah kepada PT Kereta Api
Indonesia dimaksudkan sebagai pemindahtanganan pemilikan barang tidak bergerak
berupa tanah, sebagaimana diatur dalam KMK No.470/KMK.01/1994 maupun PMK
No.96/PMK.06/2007 dan PMK No.111/2016, maka seharusnya dilakukan prosedur
lanjutan yaitu pemindahtanganan hak pemilikan atas tanah sesuai dengan ketentuan
Pasal 19 UUPA jo. Pasal 37 dan Pasal 45 PP No.24 Tahun 1997. Ada 2 (dua) pilihan
cara dan prosedur yang dapat digunakan dengan memperhatikan faktor macam hak
atas tanah yang akan disetor atau disertakan sebagai modal dan kebolehan subyek
penerima penyertaan modal untuk mempunyai macam hak atas tanah yang dimaksud.
Kedua pilihan cara dan prosedur tersebut, yaitu :
1) Pemindahtanganan Langsung Hak Atas Tanah
Cara pemindahtanganan langsung hak atas tanah dari subyek yang
menyertakan tanah sebagai modal kepada subyek penerima penyertaan
modal digunakan jika macam hak atas tanah yang disertakan sebagai modal
dapat dipunyai oleh badan hukum penerima penyertaan modal. Jika merujuk
pada ketentuan Pasal 19 UUPA jo. Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 sebagai
pengganti PP No. 10 Tahun 1961, prosedur yang harus ditempuh agar
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1031

pemindahtanganan hak atas tanah melalui penyertaan modal terjadi, yaitu :


(a) Pembuatan Akta Penyertaan Modal di hadapan dan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dalam hal ini dapat dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus sebagaimana dimaksud
dalam PP No.37 Tahun 1998 sebagaimana diubah dengan PP No.24 Tahun
2016; (b) Pendaftaran Penyertaan Modal itu di Kantor Pertanahan untuk
dilakukan perubahan nama pemegang hak atas tanahnya.
2) Pelepasan Hak Atas Tanah Kepada Negara
Cara ini digunakan jika macam hak atas tanah yang menjadi obyek
penyertaan modal tidak dapat dipunyai oleh badan hukum penerima
penyertaan modal. Dengan kata lain, badan hukum penerima penyertaan
modal tidak dapat menjadi subyek dari macam hak atas tanah yang menjadi
obyek dari penyertaan modal. Penggunaan cara ini didasarkan pada : (a)
Asas hukum yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 26 ayat (2), Pasal 27
huruf a amhka 2, Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 huruf c, Pasal 36 ayat (2), dan
Pasal 40 huruf c UUPA yang intinya menyatakan bahwa orang
(perseorangan atau badan hukum) yang tidak dapat menjadi subyek macam
hak atas tanah tertentu dilarang untuk memperoleh hak atas tanah tertentu
tersebut melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan penyertaan modal.
Dalam kondisi demikian, peralihan hak atas tanahnya dapat dilakukan
dengan pelepasan secara suka rela oleh pemegang hak atas tanahnya kepada
negara; (b) ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 Keputusan Menteri Negara
Agraria No.21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi
Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal yang intinya bahwa dalam
hal hak atas tanah tidak dapat diperoleh peralihan hak atas tanah maka harus
dilakukan melalui penyerahan/pelepasan hak atas tanah kepada negara.
Dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
prosedur pelepasan hak atas tanah dalam rangka penyertaan modal sebagai
bentuk pemindahtanganan hak atas tanah harus dilakukan : (a) Pernyataan
pelepasan hak atas tanah yang menjadi obyek penyertaan modal oleh subyek
pemegang hak kepada Negara. Pernyataan pelepasan hak atas tanah tersebut
harus dituangkan dalam satu Akta di bawah tangan atau Akta Autentik yang
dibuat di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Notaris. Akta tersebut
berisi, di samping pernyataan pelepasan hak atas tanah kepada Negara
sehingga menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara, juga pernyataan
agar tanah tersebut nantinya diberikan kepada badan hukum penerima
penyertaan modal dengan hak atas tanah yang sesuai; (b) Pemberian hak
atas tanah yang sesuai berdasarkan permohonan yang diajukan oleh badan
hukum penerima penyertaan modal dan kemudian diikuti dengan
pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan.
Dari 2 (dua) pilihan cara dan prosedur tersebut tampaknya pilihan
melalui pelepasan hak atas tanah oleh Pemerintah sebagai pihak yang
menyertakan modal yang diikuti dengan permohonan hak atas tanah oleh PT
Kereta Api Indonesia sebagai badan hukum penerima penyertaan modal.
Pertimbangan atas pilihan ini didasarkan pada : Pertama, tanah yang
terdapat di lokasi penelitian dan tertuang dalam Grondkaart serta dijadikan
obyek penyertaan modal pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia
berstatus Hak Pakai Selama Digunakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 45
ayat (3) PP No.40 Tahun 1996, Hak Pakai Selama Digunakan ini hanya
1032 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

dapat punyai oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan


negara asing dan organisasi internasional, badan keagamaan dan badan
sosial. Oleh karenanya, PT Kereta Api Indonesia sebagai BUMN tidak
mungkin dapat menjadi subyek dari Hak Pakai Selama Digunakan tersebut;
Kedua, konsekuensinya, pemindahtanganan hak pemilikan atas tanah
berupa Hak Pakai Selama Digunakan tersebut tidak dapat langsung
dilakukan dengan Akta Penyertaan Modal Pemerintah. Jika ditempuh
dengan cara dan prosedur ini akan berakibat Akta Penyertaan Modal
tersebut batal demi hukum karena PT Kereta Api Indonesia tidak dapat
menjadi subyek dari Hak Pakai Selama Digunakan; Ketiga, konsekuensi
lanjutannya, satu-satunya pilihan hanyalah harus dilakukan dengan cara dan
prosedur pelepasan Hak Pakai Selama Digunakan kepada Negara dan diikuti
dengan permohonan Hak yang sesuai oleh PT Kereta Api Indonesia. Untuk
menyederhanakan proses, pernyataan pelepasan Hak Pakai Selama
Digunakan itu langsung dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah yang
menetapkan Penyertaan Modal Pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia

3.2. Status Hukum Perjanjian Pemanfaatan Tanah Grondkaart Di Stasiun


Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat
Ada 2 (dua) istilah yang perlu diberi penjelasan yaitu istilah ”Status Hukum
Perjanjian” dan ”Pemanfaatan Tanah”. Istilah Status Hukum Perjanjian mengandung
makna kedudukan perjanjian pemanfaatan tanah Grondkaart dilihat dari terpenuhinya
syarat sahnya perjanjian, sedangkan istilah Pemanfaatan Tanah mengandung makna
upaya mendayagunakan tanah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan
fungsi atau kegiatan usaha pemegang haknya dalam rangka optimalisasi nilai manfaat
tanah dengan tidak mengubah status kepemilikannya. Kedua istilah tersebut menunjuk
pada keabsahan perjanjian pendayagunaan tanah Grondkaart dalam rangka
optimalisasi nilai manfaat tanah, yang dilakukan antara PT Kereta Api Indonesia atau
Kementerian Perhubungan dengan pihak ketiga sebagai tempat kegiatan usaha
tertentu.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan
tanah sebagai aset pemerintah dan BUMN mengalami perkembangan. Untuk
pemanfaatan tanah aset pemerintah sudah diatur dalam berbagai keputusan atau
peraturan Menteri Keuangan yaitu Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
No.653/KMK.011/1986, KMK No.109/KMK.03/1988, KMK No.470/KMK.01/1994,
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.96/PMK.06/2007, dan PMK
No.78/PMK.06/2014. Untuk pemanfaatan tanah aset BUMN sebelum tahun 2008
masih berpedoman pada keputusan Menteri Keuangan, dan setelah tahun 2008 mulai
diatur secara tegas oleh Menteri BUMN melalui Surat Edaran Menteri BUMN No.SE-
16/MBU/2008, Permen BUMN No.PER.06/MBU/2011, Permen BUMN No.PER-
13/MBU/09/2014, dan Permen BUMN No.PER-03/MBU/08/2017.
Kajian status hukum perjanjian pemanfaatan tanah Grondkaart dengan pihak
ketiga menjadi menarik karena ada 2 (dua) aspek yang masih disengketakan antara
Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia dan tampaknya belum
terselesaikan. Kedua aspek dimaksud berkaitan dengan syarat sahnya setiap perjanjian.
Kedua aspek yang sekaligus menjadi syarat sahnya perjanjian dimaksud, yaitu :
1. Subyek yang mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai pihak dalam
Perjanjian Pemanfaatan tanah Grondkaart yang dijadikan obyek penyertaan modal
pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1033

Aspek ini berkaitan dengan syarat kedua dari sahnya perjanjian yaitu
kecakapan bertindak sebagai syarat subyektif di samping adanya kesepakatan
antara para pihak. Syarat kecakapan bertindak bermakna bahwa subyek yang
menjadi pihak dalam perjanjian harus mempunyai kewenangan untuk bertindak
terhadap tanah yang akan dijadikan obyek perjanjian pemanfaatan. Ada asas hukum
bahwa subyek yang dinilai mempunyai kewenangan untuk bertindak terhadap tanah
adalah pemegang hak atas tanah atau subyek yang mendapatkan kuasa atau
delegasi/mandat /atas perintah dari pemegang hak atas tanah.
Dalam konteks perjanjian pemanfaatan bagian tertentu dari tanah dalam
Grondkaart di Depok Baru, Lenteng Agung, dan Tanjung Barat, subyek yang
mempunyai kewenangan untuk menyerahkan pemanfaatan tanah kepada pihak
ketiga masih disengketakan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta
Api Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Persaingan Menempatkan Diri Sebagai Pihak Yang Berwenang
Persaingan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api untuk
menempatkan diri masing-masing sebagai pihak yang berwenang
menyerahkan pemanfaatan bagian tanah di 3 (tiga) Stasiun memang menarik
karena melibatkan 2 lembaga yang berkedudukan sebagai kepanjangan
Pemerintah. Seharusnya, antara sesama lembaga pemerintah harus saling
bersinerji untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada masing-masing
agar tercapai tujuan yang dikehendaki. Namun demikian, semangat
liberalisme dan mendapatkan nilai manfaat ekonomis yang optimal bagi
dirinya telah mendominasi masing-masing lembaga.
Persaingan antara kedua lembaga pemerintah sebagai bagian dari alat
perlengkapan negara untuk menempatkan dirinya sebagai subyek yang
berwenang menyerahkan bagian tanah dalam Grondkaart kepada pihak ketiga
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tanah di Stasiun Depok Baru
Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Depok Baru,
ada 2 (dua) kelompok data, yaitu 36 : Pertama, berasal dari Tanah in
Beheer dan termuat dalam Grondkaart tanggal 26 September 1926 No.20.
Tanah ini sesuai dengan ketentuan Konversi Peraturan Menteri Agraria
No.9 Tahun 1965 telah dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan.
Pendaftaran hak atas tanah sebagai proses mendapatkan Sertipikat baru
dilakukan pada tahun 1987 dan kemudian diterbitkan Sertipikat Hak Pakai
Selama Digunakan Nomor 2/1987 dengan luas 49.930 M2 sebagaimana
tertuang dalam Gambar Situasi Nomor 15652/1987 dan 15653/1987.
Sertipikat Hak Pakai Selama Digunakan tersebut diterbitkan atas nama
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia c.q. Perusahaan Jawatan
Kereta Api; Kedua, berasal dari pembebasan tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah pada tahun 1983 dengan menggunakan Anggaran Departemen
Perhubungan untuk pengembangan dan pembangunan Stasiun Depok Baru
yang diresmikan pada tahun 1988. Tanah tersebut kemudian pada tahun
1998 dimohonkan Hak Pakai (Selama Digunakan) dan diberikan

36
Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
No.1776/27.1/600 /VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak
Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat;
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal
Perkeretaapian kementerian Perhubungan
1034 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan


Provinsi Jawa Barat No.658/HP/KWBPN/1998 tertanggal 8 September
1998 kepada Departemen Perhubungan dan kemudian didaftarkan
sehingga terbit Sertipikat No.29/Depok dengan Surat Ukur
No.190/Depok/1998 yang luasnya 70.255 M2.
Kedua lembaga sama-sama menyatakan dirinya mempunyai kewenangan
untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah tersebut dengan pihak
ketiga. 37 Kementerian Perhubungan menyatakan dirinya mempunyai
kewenangan berdasarkan Sertipikat No.29/1998 di atas dan penilaian
bahwa Pemerintah belum pernah memindahtangankan atau melepaskan
kepemilikan Hak Pakai Selama Digunakan kepada Perusahaan Jawatan
Kereta Api ataupun Perusahaan Umum Kereta Api atau PT Kereta Api
Indonesia. Begitu juga PT Kereta Api Indonesia menyatakan dirinya
mempunyai kewenangan berdasarkan Sertipikat No.2/1987 dan PP No.57
Tahun 1990 yang mengalihkan semua kekayaan Perusahaan Jawatan
Kereta Api kepada Perusahaan Umum Kereta Api dan berdasarkan PP
No.19 Tahun 1998 dialihkan lebih lanjut kepada PT Kereta Api Indonesia.
Berdasarkan penilaian bahwa dirinya mempunyai kewenangan, masing-
masing kemudian melakukan perjanjian pemanfaatan sebagian tanah
kepada pihak ketiga. Kementerian Perhubungan atas persetujuan Menteri
Keuangan berencana menyerahkan pemanfaatan tanah seluas 7.900 M2
kepada Pemerintah Kota Depok dengan Perjanjian Pinjam Pakai selama 2
tahun yang akan digunakan untuk Terminal Sementara selama
pembangunan Terminal Baru Depok berlangsung. PT Kereta Api
Indonesia berencana bekerja sama dengan PT Andyka Investa untuk
memanfaatkan tanah seluas 36.000 M2. Untuk mewujudkan pemanfaatan
tanah tersebut, keduanya sudah menandatangani 2 (dua) perjanjian,38 yaitu
: (1) Nota Kesepakahaman pada tanggal 30 Maret 2005 dengan pola Kerja
Sama Pemanfaatan Tanah untuk pembangunan Kawasan Komersial
Terpadu; (2) Perjanjian Sewa pada tanggal 12 Nopember 2012 untuk
pembangunan Park and Ride yaitu kegiatan perparkiran kendaraan di
tempat parkir dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan
mode angkutan lainnya.
Rencana masing-masing pihak kemudian tidak dapat dilaksanakan karena
masih adanya sengketa mengenai subyek yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah. Artinya, kepentingan
masing-masing pihak sebagai representasi dari kepentingan negara tidak
dapat diujudkan. Tanah tersebut kemudian dibiarkan tidak produktif
karena adanya sengketa
2) Tanah di Stasiun Lenteng Agung

37
Irsyan Hasyim dan Ariyani Yakti Widyastuti, 2017, Sengketa KAI-Kemenhub : BPN Ukur
Ulang Lahan Di Stasiun Depok Baru, dalam Tempo.Co, Jakarta, 19 Desember 2017
38
Dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Antara PT Kereta Api Dengan PT Andyka Investa No :
23/HK/V3/III/2005 dan No 08/NK-KAI/04/2005 tertanggal 30 Maret 2005 tentang Kerja Sama
Pemanfaatan Aset Milik PT Kereta Api Di Stasiun Depok Baru Untuk Pengembangan Stasiun dan
Pembangunan Kawasan Pertokoan; Perjanjian Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan PT Andyka
Investa No HK.221/XI/9/KA-2012 dan No 017/AI/DIR/XI/12 tentang Persewaan Lahan PT Kereta Api
Indonesia Di Stasiun Depok Baru Untuk Park and Ride
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1035

Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Lenteng


Agung, ada 2 (dua) kelompok data, yaitu39 : Pertama, berasal dari Tanah
in Beheer yang tercantum dalam Grondkaart tertanggal 12 Oktober 1932
Nomor 17. Tanah dimaksud secara administratif pendaftaran tanah
menjadi bagian dari tanah dari Stasiun Tanjung Barat yang tercantum
dalam Grondkaart dengan tanggal, bulan, dan tahun serta nomor
sebagaimana disebut di atas. Tanah in Beheer atau yang oleh PP No.8
Tahun 1953 disebut Tanah Dalam Penguasaan yang tertuang dalam
Grondkaart tertanggal 12 Oktober 1932 No.17 tersebut termasuk yang di
Lenteng Agung kemudian berdasarkan PMA No.9 Tahun 1965 dikonversi
menjadi Hak Pakai Selama Digunakan karena hanya dipergunakan untuk
kepentingan instansi pemerintah yaitu Departemen Darat, Pos,
Telekomunikasi dan Pariwisata yang membawahi langsung Direksi
Perusahaan Negara Kereta Api bagi penyelenggaraan transportasi kereta
api. Pada tahun 1988, Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal dari
konversi tersebut baru didaftarkan dan telah diterbitkan Sertipikat Hak
Pakai (Selama Digunakan) No.50/Tanjung Barat atas nama Perusahaan
Jawatan Kereta Api dengan kedudukan sebagai bagian struktur
Departemen Perhubungan. Luas tanah Hak Pakai Selama Digunakan yaitu
63.265 M2 yang diuraikan dalam Gambar Situasi No.1280/Tanjung Barat/
1988; Kedua, berasal dari pembebasan tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah pada tahun 1989/1990 dengan menggunakan Anggaran
Departemen Perhubungan untuk pengembangan dan pembangunan Stasiun
Lenteng Agung. Tanah tersebut kemudian pada tahun 1999 dimohonkan
Hak Pakai (Selama Digunakan) dan kemudian didaftarkan sehingga terbit
Sertipikat No.150/1999 tanggal 18 Oktober yang luasnya 5.868 M2 atas
nama Departemen Perhubungan.
Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia saling
bersaing untuk berusaha meningkatkan atau merubah status Hak Pakai
Selama Digunakan. Pada tahun 2018-2019 kedua lembaga sama-sama
mengajukan permohonan Hak Pengelolaan sebagai perubahan Hak Pakai
Selama Digunakan seluas 15.710 M2 terutama yang ada di Stasiun
Lenteng Agung.40 Kementerian Perhubungan mengajukan perubahan Hak
Pakai Selama Digunakan menjadi Hak Pengelolaan tanah seluas tersebut
dengan alas hak yaitu : (1) Daftar Inventarisasi Aset berupa Kartu

39
Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019, Berita Acara Kesimpulan Rapat Penyelesaian
Tanah yang Terletak di Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta
Selatan Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia,
tertanggal 26 Pebruari 2019, halaman 5 yang dinyatakan bahwa tanah di Stasiun Lenteng Agung yang
diperebutkan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia dahulu merupakan
bagian dari Kalurahan Tanjung Barat; Lihat juga Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, nomor 1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018,
perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area
Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat, halaman 2 dinyatakan adanya Sertipikat Hak Pakai Selama
Digunakan No.50/1988 di Tanjung Barat atas nama Perusahaan Jawatan Kereta Api; Lihat juga
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal
Perkeretaapian kementerian Perhubungan
40
Draf Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
DKI Jakarta, dan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, perihal Penyelesaian Tanah Antara PT
Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
1036 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Inventarisasi Barang (KIB) No.2.01.03.07.007.1138; (2) sejumlah Surat


Pelepasan Hak dari mereka yang menguasai tanah dengan memberikan
sejumlah uang penggantian dari dana APBN sekitar Oktober 1989.
Persaingan di antara kedua lembaga untuk menjadi subyek
memanfaatkan tanah di Stasiun Lenteng Agung sudah dilakukan mediasi
oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada tanggal 26 Pebruari 2019.
Kesepakatan dari mediasi tersebut, yaitu : (1) Kementerian Perhubungan
akan melepaskan kewenangannya mengajukan permohonan perubahan
Hak Pakai Selama Digunakan menjadi Hak Pengelolaan dan
menyerahkannya kepada PT Kereta Api Indonesia; (2) PT Kereta Api
Indonesia akan memberikan penggantian kepada Pemerintah melalui
Kementerian Perhubungan terhadap biaya yang telah digunakan untuk
membebaskan penguasaan atau kepemilikan tanah di lokasi Stasiun
Lenteng Agung; (3) proses pemberian Hak Pengelolaan kepada PT Kereta
Api tergantung pada pemenuhan kewajiban masing-masing pihak yang
sudah disepakati dan persyaratan yang diperlukan dalam pemberian Hak
Pengelolaan.
Kesepakatan dan pelaksanaannya mempunyai makna yang sangat
penting karena tanah yang terletak di Stasiun Lenteng Agung ini akan
digunakan sebagai lokasi pembangunan Program Satu Juta Rumah Susun
yang digagas oleh Presiden berdasarkan Perpres No.3 Tahun 2016. Namun
pelaksanaannya tetap tergantung pada kamauan dan itikad baik para pihak
untuk mematuhi kesepakatan
3) Tanah di Stasiun Tanjung Barat
Terkait dengan asal muasal dan status tanah di Stasiun Tanjung Barat, ada
2 (dua) kelompok data, yaitu 41 : Pertama, tanah berasal dari Tanah in
Beheer yang tercantum dalam Grondkaart tertanggal 12 Oktober 1932
Nomor 17. Tanah in Beheer atau yang oleh PP No.8 Tahun 1953 disebut
Tanah Dalam Penguasaan yang tertuang dalam Grondkaart tertanggal 12
Oktober 1932 No.17 tersebut kemudian berdasarkan PMA No.9 Tahun
1965 dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan karena hanya
dipergunakan untuk kepentingan instansi pemerintah yaitu Departemen
Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata yang membawahi langsung
Direksi Perusahaan Negara Kereta Api bagi penyelenggaraan transportasi
kereta api. Pada tahun 1988, Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal
dari konversi tersebut baru didaftarkan dan telah diterbitkan Sertipikat Hak
Pakai (Selama Digunakan) No.50/Tanjung Barat atas nama Perusahaan
Jawatan Kereta Api dengan kedudukan sebagai bagian struktur
Departemen Perhubungan; Kedua, berasal dari pembebasan hak
penguasaan atau pemilikan tanah dari warga masyarakat dengan bukti
berupa sejumlah Surat Pelepasan hak pada tahun 1988/1989 seluas 15.710
M2. Tanah dimaksud masih dalam proses permohonan hak atas tanah dan
persertipikatan.

41
Surat Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
No.1776/27.1/600 /VI/2018 tertanggal 29 Juni 2018 perihal Permohonan Bantuan Penerbitan Hak
Pengelolaan atas nama PT Kereta Api Indonesia di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat;
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset Direktorat Jenderal
Perkeretaapian kementerian Perhubungan; Lihat juga Safyra Primadhyta, 2017, Perumnas-KAI
Groundbreaking Rusun Tanjung Barat Rp 750 Milyar, Berita CNN Indonesia, Selasa 15 Agustus
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1037

Antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia


bersaing untuk mendapatkan status dirinya sebagai subyek untuk dapat
memanfaatkan tanah melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kementerian
Perhubungan pernah mengajukan permohonan Hak Pengelolaan dengan
menggunakan alas hak berupa surat pelepasan hak dari warga masyarakat.
PT Kereta Api Indonesia dengan menggunakan alas hak berupa
Grondkaart melakukan pemanfaatan tanah untuk pelaksanaan program
satu juta Rusun. Ada upaya dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang
untuk menyelesaikan persaingan tersebut dengan mendorong agar
Kementerian Perhubungan melepaskan haknya dan menghapus tanah di
Stasiun Tanjung Barat dari Daftar Inventarisasi Barang.
Di tengah proses penyelesaian tersebut, PT Kereta Api Indonesia
sudah melakukan perjanjian pemanfaatan tanah di Stasiun Tanjung Barat
dengan Perusahaan Umum Pembangunan Rumah Nasional (Perum
Perumnas). Perjanjian pemanfaatan tanah dilakukan dengan pola
Perjanjian Bangun-Guna-Serah (Build, Operastion, and Transfer=BOT)
untuk pembangunan Rumah Susun bersubsidi dan non-subsidi dengan
komposisi Rumah Susun Non-Subsidi lebih besar prosesntasenya.
Meskipun pembangunan Rumah Susun tersebut baru akan selesai tahun
2021, namun proses penjualan sudah berlangsung dan kepada pembeli
akan diberikan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Perjanjian Bangun-
Guna-Serah tersebut dinilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh
Kementerian Perhubungan
b. Penilaian Subyek Yang Berwenang
Persaingan antara Kementerian Perhubungan dengan PT Kereta Api
Indonesia untuk menjadi subyek yang berwenang dalam perjanjian
pemanfaatan tanah di lokasi penelitian menunjukkan masih berlangsungnya
sengketa antara keduanya. Untuk mengkaji subyek yang mempunyai
kewenangan, penelitian ini harus bertitik-tolak pada analisis status
kepemilikan tanah yang sudah diuraikan pada Sub Bab terdahulu sebagai
jawaban atas permasalahan pertama.
Dari fakta normatif dan historis yang menjadi dasar analisis status
kepemilikan tanah menunjukkan bahwa hak kepemilikan atas tanah berupa
Hak Pakai Selama Digunakan masih berada pada instansi pemerintah yang
membawahi kegiatan transportasi kereta api yaitu Kementerian Perhubungan
sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Dengan kata lain, subyek yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah
adalah Kementerian Perhubungan atas persetujuan dari Pengelola Barang
Milik Negara yaitu Menteri Keuangan.
Adanya penyertaan modal pemerintah berupa tanah tersebut kepada PT
Kereta Api Indonesia yang dimaksudkan juga sebagai pemisahan atau
pengalihan kekayaan atau hak kepemilikan tanah dari pemerintah, hanya
menempatkan PT Kereta Api Indonesia sebagai subyek yang menguasai tanah
secara fisik dan memanfaatkan tanah bagi kegiatan yang dimaksud dalam
penyertaan modal. Kedudukan PT Kereta Api Indonesia yang demikian
disebabkan oleh ketentuan penyertaan modal pemerintah khususnya tanah
yang tidak komprehensif dan tidak memasukkan semua asas hukum dan
ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah.
1038 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Prosedur penyertaan modal pemerintah berdasarkan PP No.27 Tahun


2014 yang sudah diamandemen dengan PP No.28 Tahun 2020 dan Peraturan
Menteri Keuangan No.78/PMK.06/2014 sudah selesai dengan penetapan
Peraturan Pemerintah dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima
Barang. Padahal penyertaan modal pemerintah berupa tanah kepada badan
usaha milik negara termasuk kepada PT Kereta Api Indonesia masih tunduk
pada ketentuan : Pertama, Pasal 37 dan Pasal 45 PP No.24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Kedua Pasal tersebut secara tegas mewajibkan
setiap penyertaan modal oleh siapapun kepada satu perusahaan berbadan
hukum dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah jika hak
kepemilikan atas tanah itu dikehendaki berpindahtangan kepada perusahaan
penerima penyertaan modal dan kemudian didaftarkan ke Kantor pertanahan
untuk dilakukan balik nama subyek pemegang hak atas tanah; atau Kedua,
Pasal-Pasal UUPA dan PP No.40 Tahun 1996 serta 13 dan Pasal 14
Keputusan Menteri Negara Agraria No.21 Tahun 1994 dilakukan dengan
pelepasan Hak Pakai Selama Digunakan kepada Negara oleh Pemerintah dan
diikuti dengan permohonan hak atas tanah yaitu Hak Pengelolaan atau Hak
Guna Bangunan oleh PT Kereta Api Indonesia.
Dengan hanya penetapan Peraturan Pemerintah dan penandatanganan
Berita Acara Serah Terima Barang namun tidak diikutinya prosedur wajib
dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya, penyertaan modal pemerintah
berupa tanah hanya menempatkan PT Kereta Api Indonesia sebagai subyek
yang menguasai tanah secara fisik dan memanfaatkannya untuk mendukung
kegiatan usaha angkutan kereta api, sedang subyek hak kepemilikan tanah
yaitu Hak Pakai Selama Digunakan masih tetap berada pada Pemerintah cq.
Kementerian Perhubungan.
Pertanyaannya, kewenangan apa sajakah yang dipunyai oleh Pemegang
Hak Atas Tanah yaitu Pemerintah dan kewenangan apa saja yang diserahkan
kepada PT Kereta Api Indonesia sebagai Penerima Penyertaan Modal
Pemerintah berupa tanah? Sumber untuk menjawab pertanyaan ini adalah
UUPA, PP No.40 Tahun 1996, dan PP No.24 Tahun 1997 terutama yang
berkaitan dengan kewenangan pemegang hak atas tanah. Di dalamnya
disebutkan dengan tegas sejumlah kewenangan yang diberikan kepada
Pemegang Hak Atas Tanah, yaitu untuk : (1) menguasai tanah secara fisik dan
memanfaatkan tanah secara intensif sesuai tujuan pemberiannya serta
menikmati hasil yang diperoleh dari penggunaan dan pemanfaatan tanahnya;
(2) memperalihkan atau memindahtangankan hak atas tanah seperti menjual,
menghibahkan, menukarkan, menyertakan tanah sebagai modal dalam
perusahaan, atau mewakafkan kecuali dilarang untuk diperalihkan; (3)
membebankan hak atas tanahnya jika berstatus Hak Milik atau Hak
Pengelolaan dengan hak atas tanah yang lain yaitu Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai Dengan Jangka Waktu; (4) menjadikan hak atas tanahnya sebagai
jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan; (5) mempertahankan hak
atas tanah jika diganggu oleh pihak lain; dan (6) menerima ganti kerugian jika
tanahnya diperlukan bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum; (7)
menyerahkan pemanfaatan tanah kepada pihak lain dalam rentang waktu
tertentu.
Semua kewenangan yang melekat pada Pemegang Hak Atas Tanah
dapat beralih atau berpindahtangan kepada pihak lain jika semua prosedur
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1039

dan persyaratan yang diwajibkan dipenuhi. Dalam konteks penelitian ini,


semua kewenangan yang melekat pada Pemerintah sebagai Pemegang Hak
Atas Tanah dapat beralih kepada PT Kereta Api Indonesia, jika prosedur dan
persyaratan penyertaan modal Pemerintah berupa tanah sesuai dengan
ketentuan dalam PP No.27 Tahun 2014 yang sudah diamandemen dengan PP
No.28 Tahun 2020 serta UUPA dan PP No.24 Tahun 1997. Namun karena
penyertaan modal Pemerintah berupa tanah kepada PT Kereta Api Indonesia
hanya berhenti pada prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam PP
No.27 Tahun 2014 dan tidak ditindaklanjuti pada prosedur dan persyaratan
menurut UUPA dan PP No.24 Tahun 1997, maka penyertaan modal
Pemerintah berupa tanah tersebut hanya mengalihkan kewenangan yang
nomor (1) yaitu untuk menguasai tanah secara fisik dan memanfaatkan tanah
secara intensif sesuai tujuan pemberiannya serta menikmati hasil yang
diperoleh dari penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Dengan kata lain,
penyertaan modal dimaksud hanya menempatkan PT Kereta Api Indonesia
sebagai Subyek yang menguasai tanah secara fisik dan tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak
ketiga.
Di samping dengan cara memenuhi prosedur dan persyaratan yang utuh
menurut PP No.27 Tahun 2014 dan PP No.24 Tahun 1997, PT Kereta Api
Indonesia dapat juga mempunyai kewenangan untuk melakukan perjanjian
pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga dengan cara mendapatkan kuasa atau
persetujuan atau mandat atau perintah dari Pemerintah sebagai Pemegang
Hak Atas Tanah (Hak Pakai Selama Digunakan). Secara umum, cara ini
merujuk pada asas hukum yang terdapat dalam Pasal 1795 dan Pasal 1796
KUHPer yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak berstatus sebagai
pemilik atau pemegang hak atas tanah dapat melaksanakan kewenangan
sebagai pemegang hak atas tanah berdasarkan kuasa yang diberikan oleh
pemegang hak atas tanah. Pemberian kuasa atau dalam istilah yang lebih
umum persetujuan dapat bersifat umum jika mencakup semua kewenangan
atau bersifat khusus jika hanya berkaitan dengan satu atau dua kewenangan
tertentu.
Jika merujuk pada ketentuan PP No. 27 Tahun 2014 yang diamandemen
dengan PP No.28 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan
No.78/PMK.06 /2014 serta Permen BUMN No.PER-03/MBU/08/2017 jo.
Permen BUMN No. PER-13/MBU/09/2014, maka PT Kereta Api Indonesia
hanya dapat melakukan perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga
setelah mendapatkan kuasa atau persetujuan dari Pemerintah yaitu Menteri
Keuangan yang ditunjuk sebagai Pengelola Barang Milik Negara atau Tanah
Kepunyaan Pemerintah Pusat. Jika menggunakan tafsir yang ekstensif
terhadap ketentuan adanya kewajiban persetujuan/kuasa Pemerintah, maka
persetujuan itu dapat diperoleh melalui persetujuan dari Menteri Keuangan
sebagai Pemegang Saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Karena
setiap perjanjian yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia yang terkait
dengan pemanfaatan tanah selain yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah tentang Penyertaan Modal pemerintah menuntut dipenuhinya
syarat kecakapan atau kewenangan bertindak, maka pemberian persetujuan
atau kuasa itu bersifat khusus.
1040 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Dengan mendasarkan pada analisis subyek yang berwenang sebagai syarat


sahnya perjanjian, perjanjian-perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga
yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia dapat dinilai tidak memenuhi syarat
sahnya perjanjian subyektif yang kedua yaitu kecakapan atau kewenangan untuk
bertindak. Perjanjian-perjanjian yang dimaksud yaitu : (1) Nota Kesepakahaman
antara PT Kereta Api Indonesia dengan PT Andyka Investa pada tanggal 30 Maret
2005 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Tanah untuk pembangunan Kawasan
Komersial Terpadu di Stasiun Depok Baru; (2) Perjanjian Sewa tanah di Stasiun
Depok Baru antara keduanya pada tanggal 12 Nopember 2012 untuk pembangunan
Park and Ride yaitu kegiatan perparkiran kendaraan di tempat parkir dan kemudian
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mode angkutan lainnya; (3).
Perjanjian pemanfaatan tanah di Stasiun Tanjung Barat antara PT Kereta Api
Indonesia dengan Perusahaan Umum Pembangunan Rumah Nasional (Perum
Perumnas) dengan pola Perjanjian Bangun-Guna-Serah (Build, Operastion, and
Transfer=BOT) untuk pembangunan Rumah Susun.
Penilaian tidak dipenuhinya syarat kecakapan bertindak tersebut
didasarkan pada fakta normatif, yaitu : Pertama, PT Kereta Api Indonesia hanya
berkedudukan sebagai Subyek Kepemilikan Nilai Ekonomis tanah yaitu menguasai
tanah secara fisik dan memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan usaha
angkutan kereta api. Artinya, PT Kereta Api Indonesia hanya mempunyai
kewenangan terbatas yaitu memanfaatkan tanah untuk mendukung kegiatan
usahanya, yang diberikan berdasarkan Perjanjian Penyertaan Modal Pemerintah
berupa tanah yang hanya berakhir dengan Penetapan Peraturan Pemerintah dan
Penandatanganan Berita Acara Penyerahan Barang; Kedua, PT Kereta Api
Indonesia belum memperoleh kuasa atau persetujuan dari Pemerintah sebagai
Pemegang Hak Yuridis atau Hak Atas Tanah cq. Menteri Keuangan baik dalam
kedudukannya sebagai Pengelola Barang Milik Negara atau Tanah Kepunyaan
Pemerintah Pusat maupun sebagai Pemegang Saham di PT Kereta Api Indonesia;
Ketiga, penilaian tersebut didukung oleh pendapat Ahli yang menyatakan bahwa
PT Kereta Api Indonesia tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan
perjanjian pemanfaatan tanah yang dikuasai dan dipakai untuk menjalankan
kegiatan usaha angkutan kereta api dengan pihak ketiga.42

2. Pembolehan Status Hak Atas Tanah Menjadi Obyek Perjanjian Sebagai Syarat
Kausa Yang Halal
Perjanjian yang berobyekkan hak atas tanah sebagai barang tidak bergerak
tidak sepenuhnya tunduk pada Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana perjanjian
yang berobyekkan barang bergerak.43 Dalam perjanjian yang berobyekkan hak atas
tanah di Indonesia terdapat pembatasan-pembatasan berdasarkan ketentuan UUPA
dan peraturan pelaksanaannya. Di antara pembatasan tersebut adalah berkaitan

42
RiauMandiri, 2018, PT KAI Tak Berwenang Lakukan Tindakan Hukum Atas Tanah Yang
Dipakai, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2018
43
Dalam perjanjian yang berobyekkan barang bergerak seperti bangunan, kendaraan bermotor,
atau barang bergerak lainnya terdapat kebebasan bagi para pihak. Seseorang dapat menjual barang
apapun yang menjadi miliknya dan bebas menjual kepada siapapun yang memberi keuntungan, para
pihak dapat membuat kesepakatan apapun yang dikehendaki selama disepakati di antara mereka selama
tidak bertentangan dengan nilai sosial, asas hukum, dan norma hukum yang ada, serta hukum yang ada
tidak memberikan pembatasan terhadap kesepakatan para pihak sesuai dengan asas bahwa negara
menyerahkan hukum yang berlaku dalam hubungan keperdataan kepada kehendak dan kesepakatan para
pihak dan asas bahwa kesepakatan di antara para pihak berfungsi sebagai undang-undang bagi mereka.
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1041

dengan status hak atas tanah tertentu tidak boleh atau dilarang untuk dijadikan
obyek perjanjian tertentu. Larangan yang dimaksud, di antaranya yaitu : (a) Hak
Milik atas Tanah dilarang dijadikan obyek perjanjian peralihan hak atas tanah yang
dilakukan dengan Warga Negara Asing atau badan hukum; (b) Hak Pakai Selama
Digunakan dilarang dijadikan obyek perjanjian peralihan hak atas tanah kecuali
melalui Ruilslag atau tukar bangun dan bukan tukar-menukar, kecuali ditentukan
lain dalam peraturan perundang-undangan; (c) Hak Pakai Selama Digunakan dan
Hak Pengelolaan dilarang untuk dijadikan obyek perjanjian pemberian Hak
Tanggungan atau dengan kata lain dilarang untuk dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hak tanggungan; (d) Hak Pakai Selama Digunakan sepertihalnya Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Dengan Jangka Waktu dilarang
dijadikan obyek perjanjian yang membebani hak atas tanah tersebut dengan hak
atas tanah lainnya. Hak atas tanah yang boleh dijadikan obyek perjanjian
pembebanan hak atas tanah lain adalah Hak Milik dan Hak Pengelolaan.
Larangan-larangan yang ditentukan dalam UUPA dan peraturan
pelaksanaannya tersebut merupakan bentuk campur tangan negara untuk membatasi
kebebasan kehendak dari warga negara termasuk para pihak dalam perjanjian.
Pertimbangan UUPA adalah : (a) semua warga negara membutuhkan tanah baik
untuk tempat tinggal maupun tempat kegiatan usaha dan kegiatan lain namun
ketersedian tanah relatif terbatas dibandingkan jumlah manusia yang
membutuhkan; (b) distribusi kepemilikan tanah tidak diserahkan kepada
mekanisme pasar melalui asas kebebasan berkontrak namun dilaksanakan melalui
pembatasan oleh negara untuk terujudnya pemerataan kepemilikan tanah.
Larangan-larangan tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari salah satu syarat
sahnya perjanjian yaitu Kuasa yang Halal. Jika larangan tersebut tidak dipenuhi
atau dilanggar, maka perjanjian yang dilakukan dinyatakan tidak memenuhi syarat
Kuasa yang Halal sebagai syarat obyektif dan berakibat batal demi hukum.
Tanah yang berada di areal Stasiun Depok Baru, Lenteng Agung, dan
Tanjung Barat dan menjadi obyek perebutan atau sengketa antara Kementerian
Perhubungan dengan PT Kereta Api Indonesia berstatus Hak Pakai Selama
Digunakan. Pelekatan status Hak Pakai Selama Digunakan didasarkan pada fakta
yuridis historis bahwa tanah tersebut berasal dari Tanah in Beheer yang dituangkan
dalam Grondkaart yang oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965
dikonversi menjadi Hak Pakai Selama Digunakan baik kemudian sudah diterbitkan
Sertipikat maupun belum. Adanya tindakan pembebasan tanah yang dilakukan oleh
Departemen Perhubungan pada tahun 1988 – 1990 di Stasiun Lenteng Agung dan
Tanjung Barat dapat dimaknai 2 (dua) kemungkinan yaitu : Pertama, jika
pembebasan itu lebih ditujukan pada penguasaan tanah secara fisik oleh warga
masyarakat yang menduduki tanah pemerintah, maka status haknya tetap Hak Pakai
Selama Digunakan yang dipunyai Pemerintah cq. Departemen Perhubungan;
Kedua, jika pembebasan itu lebih ditujukan pada kepemilikan hak atas tanah yang
sudah dipunyai warga masyarakat, maka setelah dilepaskan haknya oleh warga
masyarakat tanah tersebut berstatus sebagai Tanah Yang Dikuasai Langsung
Negara sampai diajukan permohonan dan diberikan hak atas tanah yaitu Hak Pakai
Selama Digunakan atau Hak Pengelolaan oleh Departemen (Kementerian)
Perhubungan.
Dengan status tanah Hak Pakai Selama Digunakan yang berasal dari konversi
Hak Penguasaan baik sudah bersertipikat maupun belum, kehendak untuk
menempatkan tanah dimaksud sebagai obyek perjanjian pemanfaatan dengan pihak
1042 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

ketiga tergantung pada faktor kegiatan yang menjadi tujuan dari perjanjian
pemanfaatan tersebut. Penjelasan mengenai kegiatan yang menjadi tujuan ini akan
menjadi dasar analisis terhadap keabsahan Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang
dilakukan dengan pihak ketiga baik oleh Kementerian Perhubungan maupun PT
Kereta Api Indonesia. Analisis ini dilakukan terlepas dari Perjanjian yang ada
sudah dilaksanakan atau belum.
Ada 2 (dua) rujukan yang menyediakan model perjanjian pemanfaatan hak
atas tanah, yaitu :
a. Perjanjian pemanfaatan tanah tanpa disertai dengan pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga dan pihak lain yang menerima peralihan dari pihak
ketiga.
Model ini merujuk pada ketentuan PP No.27 Tahun 2014 yang
diamandemen dengan PP No. 28 Tahun 2020 beserta peraturan
pelaksanaannya baik dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan maupun
dalam Peraturan Menteri BUMN. Dalam model ini, semua hak atas tanah
termasuk Hak Pakai Selama Digunakan dapat dijadikan obyek perjanjian
pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga. Bentuk perjanjian pemanfaatan tanah
berupa : perjanjian sewa tanah, perjanjian pinjam pakai tanah, perjanjian kerja
sama pemanfaatan tanah, dan perjanjian bangun-guna-serah atau bangun-
serah-guna.
Dalam perjanjian-perjanjian pemanfaatan tanah dalam bentuk yang
manapun yaitu perjanjian sewa tanah, perjanjian pinjam pakai tanah,
perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah, dan perjanjian bangun-guna-serah
atau bangun-serah-guna, pihak ketiga hanya diberi kewenangan untuk
memanfaatkan tanah untuk kepentingan sesuai dengan isi perjanjiannya. Jika
perjanjian dengan pihak ketiga berupa : (1) Pinjam Pakai tanah, maka hanya
memberi kewenangan kepada pihak ketiga untuk memanfaatkan untuk
kegiatan yang sudah disepekati dalam waktu tertentu; (2) Bangun-Guna-
Serah atau Bangun-Serah-Guna, maka pihak ketiga hanya diberi kewenangan
untuk membangun bangunan tertentu seperti perkantoran atau komersiil
dan/atau Rumah Susun dan menyewakan bangunan kepada pihak lain. Pada
akhir perjanjian seluruh bangunan itu menjadi milik instansi pemerintah
termasuk pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan instansi pemerintah
pemegang Hak Pakai Selama Digunakan dan hubungan hukum sewa dengan
pihak lain harus dilakukan dengan instansi pemerintah; (3) Kerja Sama
Pemanfaatan Tanah, pihak ketiga diberi kewenangan untuk kegiatan usaha
yang sudah disepakati termasuk membangun bangunan tertentu dan selama
perjanjian pihak ketiga hanya bisa mencari keuntungan dari pemanfaatan
tanah dan/atau bangunan atau menyewakan kepada pihak lain atau menjual
bangunan namun tidak boleh menjual tanahnya.
Dalam konteks ini, Perjanjian Pinjam Pakai tanah yang berstatus Hak
Pakai Selama Digunakan di Stasiun Depok Baru antara Kementerian
Perhubungan yang sudah disetujui oleh Menteri Keuangan dengan
Pemerintah Kota Depok dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan mengikat
karena tidak melanggar Kausa yang Halal dan tidak diikuti dengan pemberian
hak atas tanah kepada Pihak Ketiga (Pemerintah Kota Depok). Sebaliknya,
Perjanjian Pinjam Pakai tanah yang berstatus Hak Pakai Selama Digunakan di
Stasiun Depok Baru antara PT Kereta Api Indonesia dengan PT Andyka
Investa tidak dapat dilakukan karena PT Kereta Api Indonesia sebagai
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1043

Perusahaan Berbadan Hukum tidak dapat menjadi Subyek Hak Pakai Selama
Digunakan sehingga Perjanjian tersebut bertentangan dengan syarat Kausa
yang Halal
b. Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang disertai pemberian hak atas tanah
tertentu kepada Pihak Ketiga dan Pihak Lain yang menerima peralihan dari
Pihak Ketiga
Model Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang ini merujuk pada ketentuan
UUPA, PP No. 40 Tahun 1996, PP No.24 Tahun 1997, dan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.2 Tahun 2013 serta berpedoman sebagai
referensi pada ketentuan Permendagri No.1 Tahun 1977. Dengan merujuk
pada peraturan perundang-undangan tersebut, penggunaan model Perjanjian
ini hanya dimungkinkan jika tanah kepunyaan Instansi Pemerintah atau
Badan Usaha Milik Negara berstatus Hak Pengelolaan. Hanya Hak
Pengelolaan, di samping Hak Milik, yang dapat dibebani dengan hak atas
tanah lainnya yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Dengan
Jangka Waktu (HPDW).
Dalam model ini, setiap Hak Pengelolaan yang dipunyai oleh Instansi
Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara dapat dijadikan obyek Perjanjian
Pemanfaatan Tanah yang disertai dengan pemberian HGB atau HPDW
kepada Pihak Ketiga. HGB atau HPDW dapat
diperalihkan/dipindahtangankan oleh Pihak Ketiga kepada Pihak Lain
termasuk bangunan atau Satuan Rumah Susun yang ada di atasnya. Namun
demikian, Perjanjian Pemanfaatan Tanah dan Pemberian HGB atau HPDW
kepada Pihak Ketiga hanya dapat dilakukan jika Hak Pengelolaan sudah
diberikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan sudah diterbitkan
Sertipikat HGB atau HPDW. Jika Hak Pengelolaan belum lahir, maka
Instansi Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara belum diperbolehkan
melakukan Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang disertai pemberian hak atas
tanah karena belum ada kewenangan keperdataan terhadap tanah yang
menjadi obyek.
Dalam konteks ini, Perjanjian Pemanfaatan Tanah di Stasiun Lenteng
Agung dan Tanjung Barat yang disertai pemberian hak atas tanah antara PT
Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional
seharusnya belum boleh dilakukan. Hal ini disebabkan : (1) tanah yang
menjadi obyek Perjanjian Pemanfaatan Tanah yang dimiliki oleh Instansi
Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara belum berstatus Hak
Pengelolaan; (2) bentuk perjanjiannya berupa Bangun-Guna-Serah yang
menurut ketentuan PP No.27 Tahun 2014 tidak dapat disertai dengan
pemberian hak atas tanah kepada Pihak Ketiga. Dengan demikian Perjanjian
Pemanfaatan Tanah berupa Bangun-Guna-Serah tersebut tidak memenuhi
syarat Kausa yang Halal
3. Dampak Perjanjian Pemanfaatan Tanah Oleh PT Kereta Api Indonesia Terhadap
Konsumen Rumah Susun
Kajian mengenai dampak perjanjian pemanfaatan tanah oleh PT. Kereta Api
Indonesia terhadap konsumen rumah susun akan dilihat dari dari dua aspek.
Pertama, dari aspek pola kerjasama PT. Kereta Api Indonesia dengan pihak ketiga
dan kedua, aspek kewenangan bertindak mitra kerjasama PT. Kereta Api Indonesia
dengan konsumen rumah susun. Kedua aspek ini akan menentukan dampak bagi
1044 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

konsumen rumah susun, khususnya keabsahan perjanjian dan perlindungan hukum


bagi konsumen rumah susun.
a. Pola kerjasama PT. Kereta Api Indonesia dengan pihak ketiga.
Pola kerjasama perjanjian pemanfaatan tanah di Stasiun Lenteng Agung dan
Tanjung Barat antara PT. Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional menggunakan pola Bangun-Guna-Serah
(Build, Operation and Transfer = BOT). Perjanjian kerjasama dengan pola
Bangun-Guna-Serah pada prinsipnya merupakan perjanjian dimana pihak
pemilik tanah mengijinkan tanah miliknya dibangun suatu bangunan
komersial oleh pihak investor, dan pihak investor berhak untuk
mengoperasionalkan bangunan komersial yang dibangunnya untuk jangka
waktu tertentu dengan memberikan feetertentu kepada pemilik tanah dan
setelah jangka waktu berakhir investor wajib mengembalikan tanah dan
menyerahkan bangunan komersial kepada pemilik tanah. Dalam
perkembangannya, muncul variant-variant baru pola Bangun-Guna-Serah,
salah satunya adalah Milik-Bangun-Guna-Serah (Own-Build-Operation and
Transfer = OBOT). Pola kerjasama ini hampir sama dengan pola Bangun-
Guna-Serah, yang membedakan adalah pihak investor diberikan hak atas
tanah di atas tanah milik pemilik tanah. Kedua pola kerjasama ini, baik BOT
maupun OBOT, pada fase akhir perjanjian harus mengembalikan tanah dan
menyerahkan bangunan komersial yang menjadi obyek perjanjian kepada
pemilik tanah.
Pola kerjasama yang dilakukan oleh PT. Kereta Api Indonesia dengan
Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional adalah pola Milik-Bangun-
Guna-Serah (OBOT) dengan bangunan komersial sebagai obyek adalah
rumah susun. Rumah susun sebagai obyek perjanjian akan dijual kepada
pihak lain (konsumen) dengan status Hak Milik. Mendasarkan pada prinsip
BOT maupun OBOT sebagaimana telah disebutkan di atas, dimana pada fase
akhir masa perjanjian harus dilakukan transfer (mengembalikan tanah serta
menyerahkan rumah susun kepada pemilik tanah), maka dapat dipastikan
bahwa nantinya pada fase akhir perjanjian Perusahaan Pembangunan
Perumahan Nasional tidak dapat mengembalikan tanah dan menyerahkan
rumah susun kepada PT. Kereta Api Indonesia karena telah dijual kepada
konsumen. Pola kerjasama semacam ini akan mengalihkan aset PT. Kereta
Api Indonesia kepada pihak lain (konsumen) dengan cara yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelepasan aset
milik Badan Usaha Milik Negara.
Perjanjian kerjasama pemanfaatan tanah oleh PT. Kereta Api Indonesia
dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional secara yuridis null
and void (batal demi hukum) karena : (1) Pola kerjasama (Bangun-Guna-
Serah) pemanfaatan tanah disertai dengan pemberian hak atas tanah kepada
pihak ketiga dilarang sebagaimana diatur dalam PP nomor 27 Tahun 2014;
(2) Perjanjian kerjasama tersebut sejak awal mengandung syarat potestatif
(syarat yang tidak mungkin dilaksanakan). Tahap transfer (mengembalikan
tanah serta menyerahkan bangunan omersial kepada pemilik tanah) tidak
mungkin dilaksanakan karena obyek perjanjian dialihkan kepada pihak lain
(konsumen).
Konsekuensi logis dengan batalnya perjanjian antara PT. Kereta Api
Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1045

menyebabkan batal pula perjanjian jual beli rumah susun antara Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional dengan konsumen.
b. Dasar kewenangan bertindak Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional
dengan konsumen rumah susun
Batalnya perjanjian kerjasama antara PT. Kereta Api Indonesia dengan
Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional membawa akibat Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional tidak mempunyai kewenangan bertindak
mengadakan hubungan hukum (menjual) rumah susun kepada konsumen.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa Perusahaan Pembangunan
Perumahan Nasional telah menjual rumah susun kepada konsumen. Penjualan
dilakukan melalui instrumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang
dibuat secara notariil, karena jual beli secara formal dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) belum bisa dilakukan.
Dalam akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah susun yang dibuat,
sebenarnya secara implisit menunjukkan bahwa pihak penjual (Perusahaan
Pembangunan Perumahan Nasional) tidak mempunyai kewenangan bertindak
untuk menjual rumah susun. Hal ini tampak dalam premis akta yang
menyebutkan :
“Bahwa Pihak Pertama adalah perusahaan pengembang atau perusahaan
pembangunan perumahan dan pemukiman yang sedang/telah membangun
bangunan-bangunan Rumah Susun di atas tanah Hak Guna Bangunan
atas nama Perumnas di atas Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT.
Kereta Api Indonesia (Persero) yang terletak di .............”.
Premis di atas menunjukkan ketidakpastian lokasi obyek perjanjian (rumah
susun) karena tidak menyebut nomor Hak Guna Bangunan (HGB) dan nomor
Hak Pengelolaan (HPL) yang disebut. Sebagai akta notariil hal tersebut tidak
boleh dilakukan karena keterangan atau fakta yang menjadi dasar dibuatnya
suatu perjanjian menjadi tidak jelas. Fakta demikian menunjukkan ada
kemungkinan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pengelolaan
(HPL) yang disebut memang belum ada. Ketidakjelasan tempat atau lokasi
tanah berdirinya rumah susun dapat membawa konsekuensi batalnya
perjanjian karena : (1) Tidak terpenuhinya syarat “suatu hal tertentu”; (2)
Pihak penjual tidak wenang bertindak karena tidak ada “kausa yang halal”
sebagai dasar bertindak.
Berdasarkan 2 (dua) aspek di atas maka jelas bahwa perjanjian jual beli rumah
susun antara Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional dengan konsumen
berpotensi batal demi hukum (null and void) karena tidak memenuhi syarat
“kausa yang halal” dan “suatu hal tertentu”. Perjanjian kerjasama pemanfaatan
tanah antara PT. Kereta Api Indonesia dengan Perusahaan Pembangunan
Perumahan Nasional berpotensi masuk dalam ranah hukum publik yang
berdampak kepada konsumen. Bentuk perlindungan hukum konsumen dalam
posisi semacam ini adalah klasifikasi sebagai “pembeli yang beritikad baik”
sehingga tidak ikut bertanggung jawab jika terjadi kesalahan menurut hukum
publik.

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1046 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

1. Tanah yang berasal dari Grondkaart di lokasi penelitian masih


kepunyaan/aset pemerintah. Hal ini didasarkan pada fakta yaitu : Pertama,
subyek yang memiliki tanah Grondkaart sejak Indonesia merdeka sampai
sekarang tidak pernah mengalami perubahan yaitu pemerintah cq.
Kementerian yang menangani perhubungan; Kedua, status tanah yang berasal
dari Grondkaart masih berstatus Hak Pakai Selama Digunakan yang hanya
dapat dipunyai instansi pemerintah; Ketiga, penyertaan tanah sebagai modal
di PT KAI belum disertai dengan proses pemindahtanganan hak kepemilikan
atas tanah karena Pemerintah membentuk ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait dengan pemindahtanganan tanah termasuk penyertaan
modal pemerintah tidak secara konsisten mendasarkan pada asas hukum yang
menjadi dasar pemindahtanganan barang.
2. Terhadap perjanjian pemanfaatan tanah dengan pihak ketiga terdapat
perbedaan dikaji dari keabsahan yaitu perjanjian yang dilakukan oleh PT KAI
tidak memenuhi 2 (dua) syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan bertindak
dan kausa yang halal, sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah
memenuhi semua syarat sahnya perjanjian. Konsekuensinya adalah perjanjian
yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian akan berdampak pada tidak
adanya kepastian dan perlindungan hukum kepada warga masyarakat yang
menerima peralihan hak atas tanah dari Pihak Ketiga.
4.2. Implikasi Teoritis dan Praktis
1. Secara teoritis, setiap norma hukum yang mengatur perbuatan hukum tertentu
dalam semua bidang hukum harus didasarkan dan dijabarkan dari asas hukum
terkait dengan perbuatan hukum dimaksud sehingga terdapat konsistensi
norma. Norma hukum yang mengatur pemindahtanganan barang bergerak dan
barang tetap yaitu tanah harus didasarkan dan dijabarkan dari asas hukum
yaitu : (a) asas pembedaan prosedur dan persyaratan antara
pemindahtanganan barang bergerak dengan barang tetap yaitu tanah; (b) asas
penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata atau
Feitelijke Levering; (c) asas penyerahan barang tetap dilakukan dengan
penyerahan yuridis atau Juridische Levering. Pemberlakuan asas hukum
dimaksud harus dilakukan baik pemindahtanganan itu dilakukan oleh
pemerintah dengan obyeknya berupa barang atau aset kepunyaannya
berdasarkan hukum administrasi negara maupun dilakukan oleh perseorangan
dan badan hukum dengan obyeknya berupa barang kepunyaannya
berdasarkan hukum perjanjian dan hukum pertanahan. Tujuannya adalah
terciptanya konsistensi norma hukum sebagai unsur dari kepastian hukum.
2. Secara praktis terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang
pemindahtanganan barang bergerak dan barang tetap yaitu tanah termasuk
melalui penyertaan modal pemerintah kepada BUMN/D sebagaimana diatur
dalam PP No.27 Tahun 2014 dan sudah diubah dengan PP No.28 Tahun 2020
harus dikaji ulang agar pemindahtanganan barang atau aset pemerintah
kepada pihak lain berimplikasi pada terjadinya perpindahan hak kepemilikan
atas tanah sehingga mencegah terjadinya sengketa hukum.
4.3. Rekomendasi
Rekomendasi dari temuan penelitian ini disampaikan kepada Menteri keuangan,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara untuk
melakukan amandemen terhadap PP No.27 Tahun 2014 beserta peraturan
pelaksanaannya oleh ketiga Kementerian dimaksud terutama yang berkaitan
The Ownership Status, Sulistiowati, Nurhasan Ismail, Taufiq El Rahman 1047

dengan pemindahtanganan benda tetap berupa tanah sesuai dengan asas hukum
yang sudah dijelaskan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Alsadad Rudi, 2017, Kompas.com, Giliran Stasiun Pondok Cina Jadi Lokasi Rusun
TOD, <https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/02/08400481/giliran-
stasiun-pondok- cina- jadi-lokasi-rusun-tod.>, diakses pada 13 Maret 2020
Arie Soekanti Hutagalung, tanpa tahun, Hak Pengelolaan, makalah
Ariesto Hadi Sutopo dan Adrianus Arief, 2010, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Prenada Media Group, Jakarta
Asep Saepul Hamdi, 2014, Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan,
Deepublish, Yogyakarta
Badan Pertanahan Nasional, 1992, Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada
Menteri Keuangan No.500-1255, tanggal 4 Mei 1992 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Tata Cara Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertipikat Tanah yang
Dikuasai Instansi Pemerintah
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta
Boedi Harsono, 1971, UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA : Sejarah
Penyusunan, Isi, dan Pelaksanaannya, penerbit Djambatan, Jakarta, halaman 49
-----------, 1983, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, penerbit Djambatan, Jakarta
Ch.N. Latief, et.al., 1997, Sejarah Perkeretaapian Indonesia-Jilid I, Cetakan Pertama,
Angkasa, Bandung
Djoko Marihandono, dkk, 2018, Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril Konsesi NV NISM
Di Jawa Tengah, 1863 – 1958, Penerbit Aset Non Railway – Direktorat Aset
Tanah dan Bangunan – PT Kereta Api Indonesia (Persero), Bandung
Emir Fajar Saputra, 2020, bumn.go.id, Sekilas Tentang Aset PT KAI (Persero)
Wilayah Sumatera, <http://bumn.go.id/keretaapi/berita/1-Sekilas-Tentang-Aset-
PT-KAI-Persero-Wilayah-Sumatera->, diakses pada 13 Maret 2020
HarianHaluan.com, 2018, DPD RI Desak Penuntasan Sengketa Lahan PT KAI, Kamis
18 Oktober
Irsyan Hasyim dan Ariyani Yakti Widyastuti, 2017, Sengketa KAI-Kemenhub : BPN
Ukur Ulang Lahan Di Stasiun Depok Baru, dalam Tempo.Co, Jakarta, 19
Desember 2017
Irsyan Hasyim, 2017, Tempo.com, PT KAI dan Ditjen Perekeretapian Berebut Lahan
di Stasiun Depok, <https://bisnis.tempo.co/read/1040714/pt-kai-dan-ditjen-
perkeretapian-berebut-lahan-di-stasiun-depok>, diakses pada 13 Maret 2020.
Kementerian agraria dan Tata Ruang, 2018, Surat Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional No.1776/27.1/600/VI/2018 tertanggal 29 Juni
2018 tentang Permohonan Bantuan Penerbitan Hak Pengelolaan atas nama PT
Kereta Api Indonesia (Persero) di Area Stasiun Pondok Cina dan Tanjung Barat
-----------, 2019, Berita Acara Kesimpulan Rapat Penyelesaian Tanah yang Terletak di
Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta
Selatan Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia, tertanggal 26 Pebruari 2019
-----------, tanpa tahun, Draf Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Kepala
1048 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta, dan Direktur
Utama PT Kereta Api Indonesia, perihal Penyelesaian Tanah Antara PT Kereta
Api Indonesia Dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
Kementerian Perhubungan, tanpa tahun, Latar Belakang Permasalahan Aset
Direktorat Jenderal Perkeretaapian kementerian Perhubungan
------------, 2012, Surat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan
RI kepada Direksi PT Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor
KU.008/184/K1/DJKA/X/12 tanggal 25 Oktober 2012 yang secara resmi diterima
oleh secretariat PT KAI pada tanggal 29 Oktober 2012.
Miles M.B. dkk, 2014, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook Edition 3,
Sage Publication Asia-Pacific Pte. Ltd., Singapore, hlm. 13
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 94.
PT Kereta Api Indonesia 2000, Tanah Kereta Api : Suatu Tinjauan Historis, Hukum
Agraria/Pertanahan, dan Hukum Perbendaharaan Negara
-----------, 2005, Dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Antara PT Kereta Api Dengan
PT Andyka Investa No : 23/HK/V3/III/2005 dan No 08/NK-KAI/04/2005
tertanggal 30 Maret 2005 tentang Kerja Sama Pemanfaatan Aset Milik PT Kereta
Api Di Stasiun Depok Baru Untuk Pengembangan Stasiun dan Pembangunan
Kawasan Pertokoan;
-----------, 2012, Perjanjian Antara PT Kereta Api Indonesia Dengan PT Andyka
Investa No HK.221/XI/9/KA-2012 dan No 017/AI/DIR/XI/12 tentang Persewaan
Lahan PT Kereta Api Indonesia Di Stasiun Depok Baru Untuk Park and Ride
RiauMandiri, 2018, PT KAI Tak Berwenang Lakukan Tindakan Hukum Atas Tanah
Yang Dipakai, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2018
Saepul Rahmat Pupu, 2009, “Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Equilibrium, Volume
5, Nomor 9, PGRI, Madiun,
Safyra Primadhyta, 2017, Perumnas-KAI Groundbreaking Rusun Tanjung Barat Rp
750 Milyar, Berita CNN Indonesia, Selasa 15 Agustus
Siti Nurjanah1, Bambang Wahyudi2, Purwanto3, 2019, Resolusi Konflik Lahan Pt
Kereta Api Indonesia (Persero) Dengan Warga Rw 12 Kelurahan Manggarai
Jakarta Selatan Dalam Perebutan Lahan Di Wilayah Daerah Operasi 1 Jakarta,
Jurnal Damai dan Resolusi Konflik, Agustus 2019, Volume 5 Nomor 2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1974, Hukum Benda, diterbitkan Seksi Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Urip Santoso, 2012, Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Hukum Tanah Nasional,
dalam Jurnal Mimbar Hukum, volume 24 Nomor 2, Juni 2012
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 105.
Lihat juga Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai