Anda di halaman 1dari 11

ARTIKEL

“ANALISIS PERMASALAHAN HUKUM DAN KEKUASAAN PADA


SENGKETA LAHAN REMPANG DALAM PERSEPEKTIF FILSAFAT
HUKUM DAN HAM BISNIS”

Dosen : H. Aspihani Ideris, S.H., M.H

OLEH :

ACHMAD REZA ANAUVAL


NPM.2108010453

Kelas : 5D Non Reg Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2023
ANALISIS PERMASALAHAN HUKUM DAN KEKUASAAN PADA SENGKETA
LAHAN REMPANG DALAM PERSEPEKTIF FILSAFAT HUKUM DAN HAM
BISNIS

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang
sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik yang langsung untuk
kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk
melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian, perkebunan,
pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya.1
Ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat,
maka diperlukan pengaturan yang tepat mengenai penguasaan, pemilikan, maupun
pemanfaatan tanah guna terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(disingkat UUD NRI 1945). Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menentukan bahwa bumi dan
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA), yang menentukan bahwa:
Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di
dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat. Pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut di atas memiliki maksud bahwa negara mempunyai
kekuasaan mengatur tanah-tanah yang telah dimiliki seseorang atau badan hukum maupun
tanah-tanah bebas yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum akan langsung dikuasai
oleh Negara. Wewenang negara dalam mengatur dan menyelenggarakan peruntukan serta
mengatur pemilikian tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Penguasaanoleh Negara
dalam UUPA menganut konsep bahwa negara “menguasai” dan bukan “memiliki” dalam
hubungan antara negara dengan tanah.2
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memiliki wewenang untuk
mengatur pemilikan dan penguasaan tanah melalui pemberian tanda bukti hak dan pengakuan
terhadap hak-hak lama atas tanah dengan mengacu pada UUPA yang dibentuk berdasarkan
pada hukum adat. Keberadaan hak-hak atas tanah dan pengakuan hak-hak atas tanah tersebut

1
Elza Syarief, (2012), Menuntaskan Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta : KPG
(Kepustakaan Populer Gramediahlm. 4.
2
Maria S.W. Sumarjdono, (2005), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, , hlm 61.
tidak mengenyampingkan tujuan utama pengaturan tanah yaitu untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, sehingga dalam UUPA terdapat pengaturan mengenai fungsi sosial
tanah yaitu pada Pasal 6 UUPA yang menentukan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Hak menguasai tanah oleh negara dan fungsi sosial tanah tersebut dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD
NRI Tahun 1945, pemerintah perlu menyelenggarakan pembangunan. Salah satu upaya
pembangunan dalam kerangka pembangunan nasional yang diselenggarakan pemerintah
adalah pembangunan untuk kepentingan umum.3
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan pemerintah melewati beberapa
tahapan, mulai dari tahap perencanaan seperti penentuan lokasi pembangunan sampai dengan
tahap pelaksanaan seperti pengadaan tanah untuk pembangunan tersebut. Pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara
pelepasan hak (istilah lain pembebasan tanah), pencabutan hak atas tanah, atau cara lain yang
disepakati, seperti jual-beli, tukar-menukar, dan lain-lain. 4 Pelepasan hak atas tanah
merupakan kegiatan pemutusan hubungan hukumantara pemegang hak atas tanah dengan
tanah yang dimilikinya, yang kemudian diberikan ganti kerugian yang layak berdasarkan
hasil musyawarah antara kedua pihak (pemegang hak atas tanah dengan pihak yang
membutuhkan tanah). Pencabutan hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang kepada pemerintah (dalam hal ini presiden) untuk melakukan tindakan
dengan secara paksa mengambil dan menguasai tanah seseorang untuk kepentingan umum. 6
Pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara jual beli, tukar menukar atau
cara lain yang disepakati, dilakukan dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang luas tanahnya kurang dari satu hektar.7 Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (disingkat UU No. 2 Tahun 2012).
Kepentingan umum yang dimaksud adalah undang-undang ini salah satunya adalah
pembangunan Eco City
Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Kala itu, pemerintah
pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta.
HPL itu kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha. Praktis masalah status
kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin
pelik. Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit
3
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembengunan
Untuk Kepentingan Umum
4
Supriadi, (2008), Hukum Agraria, Jakarta :Sinar Grafika , hlm. 76.
mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Konflik lahan memang belum muncul kala itu
hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk
mengelola bagian Pulau Rempang. Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam,
dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama
Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan
ini.
Polemik di tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau masih terus bergulir. Warga yang
disebut-sebut telah tinggal sebelum Indonesia dinyatakan merdeka terancam digusur demi
proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.
Proyek itu dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dan ditargetkan bisa
menarik investasi besar dengan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar
45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru
tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga tersebut diperkirakan
antara 7.000 sampai 10.000 jiwa Warga dari 16 kampung Melayu di Rempang itu masih
menolak penggusuran itu hingga saat ini. Pada 7 September lalu penolakan itu berujung
bentrok dengan kepolisian. Sebanyak 43 warga ditangkap dianggap provokator.5

A. Awal Mula Kisruh Sengketa Lahan Pulau Rempang


Anggota DPRD Kepulauan Riau (Kepri), Taba Iskandar menjelaskan duduk perkara soal
polemik Proyek Eco-City di Pulau Rempang. Taba mengungkit kisah lama riwayat
pengembangan Pulau Rempang, yang dimulai sejak 2004. Dia menyoroti pernyataan
Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi yang selalu menyatakan
bahwa dia hanya melanjutkan kerja sama pengembangan Pulau Rempang dengan PT
Makmur Elok Graha (MEG). Taba memiliki versi berbeda. Menurutnya, semua dimulai
dari surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004, yang dia teken saat menjabat
sebagai Ketua DPRD Batam. Isi surat tersebut menyetujui investasi PT MEG, dan
mendapat rekomendasi dari 6 fraksi di DPRD Batam. DPRD Batam memberikan respons
positif kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang ingin mengembangkan Pulau
Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep
Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.

5
CNN Indonesia (2023) Polemik Status Tanah Rempang Batam yang Bakal Disulap PSN Eco-City
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230913134704-12-998484/polemik-status-tanah-rempang-batam-
yang-bakal-disulap-psn-eco-city (diakses pada tanggal 10 Oktober 2023, Pukul 16.13 Wita)
Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja
sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam. Wali Kota Batam ketika
itu adalah Nyat Kadir. Adapun, Ismeth Abdullah ketika itu menjabat penjabat Gubernur
Kepulauan Riau (Kepri) turut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja
sama di lantai empat Kantor Pemkot Batam. Kerja sama juga mencakup membuat studi
pengembangan Pulau Rempang. 6
Panglima TNI Terjunkan Polisi Militer Guna Cegah Prajurit Terlibat di Pulau Rempang
Menteri ATR/BPN Beberkan Permasalahan Lahan Picu Konflik Warga Pulau Rempang
BP Batam Janjikan Uang Sewa dan Makan Rp1,2 Juta untuk Warga Pulau Rempang
"Tidak ada lanjutan proyek yang sekarang (Eco-City Rempang) dengan proyek KWTE
tahun 2004. Investasi KWTE ini terkait pariwisata, konsepnya akan membangun
destinasi pariwisata seperti di Genting Higland (Malaysia) atau Sentosa (Singapura),"
paparnya. Dia menyatakan bahwa pernyataan Rudi tersebut keliru, karena proyek yang
sekarang ini berbeda dengan proyek KWTE tahun 2004. "Saat itu, memang dilakukan
kerja sama antara BP, pemkot dan PT MEG. DPRD Batam hanya memberi rekomendasi
saja, dengan landasan peraturan daerah (perda) KWTE. Jadi semua kegiatan hiburan
malam dipindahkan ke Rempang, tapi ke Rempang Laut yang pulaunya terpisah dari
daratnya. Status Lahan Status lahan Pulau Rempang saat itu juga masih belum Hak
Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama BP Batam maupun Pemkot Batam. Saat itu, masih
status quo, jadi masih tanah negara ada hutan lindung dan lainnya, ungkapnya. Setelah
itu, karena ketiadaan infrastruktur di Rempang, Pemkot Batam memberikan lokasi
sementara di Marina Batam selama 5 tahun untuk pengembangan KWTE.
Namun setelah itu Kapolri saat itu, Sutanto beranggapan bahwa kawasan wisata tersebut
akan dibuat tempat judi. "Maka batal Perda KWTE dan perjanjian kerja sama tersebut
selesai, dan tidak ada lanjutan hingga sampai proyek Eco-City ini," paparnya. PT MEG
masuk melalui pemerintah pusat, dan kembali mendapat hak mengelola Pulau Rempang,
namun dengan jenis proyek yang berbeda. Proyek Eco-City Rempang lebih
mengutamakan investasi industri yang didukung oleh pariwisata. "Perbedaan lainnya
KWTE itu program lokal, sedangkan proyek Eco-City ini Program Strategis Nasional
(PSN)," jelasnya. Mengenai isu relokasi, Taba menyebut BP Batam harus lebih bijak dan
humanis dalam mendekati warga setempat. Dia meminta rencana relokasi tersebut
didesain ulang agar tidak ada masyarakat yang dirugikan. "Soal relokasi ini ini tidak
6
Rifki Setiawan Lubis ,Kabar24 (2023) Awal Mula Kisruh Sengketa Lahan Pulau Rempang
https://kabar24.bisnis.com/read/20230913/15/1694324/awal-mula-kisruh-sengketa-lahan-pulau-rempang.
tepat. Beda dengan masyarakat yang tinggal di rumah liar, karena jika suatu saat
lahannya dibangun, maka bisa direlokasi. Sedangkan di Rempang, mereka duluan yang
tinggal di situ sebelum ada BP Batam ataupun Kota Batam ini,
Utamakan Warga Lokal DPRD Kepri mendukung investasi tetap berjalan, tapi juga harus
memikirkan kepentingan rakyat lokal. "Sebaiknya konsep pengembangan Rempang
didesain ulang. Itu dengan mengintegrasikan masyarakat tempatan ke dalam konsep
pembangunan, tanpa melakukan relokasi," ungkapnya. Menurut Taba, tidak semua lahan
di Rempang dapat dijadikan kawasan industri, karena ada yang merupakan daerah
pemukiman, dan bahkan ada yang berstatus hutan lindung. Sebagai contoh, pengembang
dapat melakukan renovasi terhadap rumah warga yang kurang layak dan menyediakan
sarana tangkap bagi nelayan, yang jadi mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut.
"Kalau rumah tinggalnya tidak cocok dengan kawasan yang akan dijadikan pariwisata,
rumahnya yang diperbaiki. Karena dia mencari makan di sana, bukan ditempatkan di
rumah susun atau dibuatkan rumah lagi. Kampung itu adalah bagian integrasi dari
konsep pengembangan kawasan. Wisatawan pasti rindu juga dengan kearifan lokal,"
tuturnya. Kemudian, pengembang dapat mengonversi lahan masyarakat yang ingin
dijadikan lokasi industri. "Dihitung luasan tanahnya. Jika masuk dalam kawasan industri,
maka itu akan menjadi saham di perusahaan tersebut maka dia punya masa depan sampai
anak cucunya,
B. Analisis Permasalahan Hukum dan Kekuasaan di Rempang Dalam Persepektif
Filsafat Hukum
Konflik yang terjadi di Pulau Rempang baru-baru ini telah menjadi sorotan di
dunia maya. Mengapa tidak? Kericuhan antara aparat kepolisian dan warga setempat
telah menciptakan suasana tegang di daerah tersebut, banyak Masyarakat yang
bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di daerah Rempang tersebut
Kejadian ini berawal pada hari Kamis 7 September 2023 ketika pihak berwajib
datang ke lokasi untuk melakukan pembersihan dan pengosongan lahan. Namun,
lokasi tersebut ternyata telah dihuni oleh sejumlah warga terlebih dulu tinggal di
daerah tersebut. Kericuhan pun tidak dapatdihindarkan dan insiden ini juga dilaporkan
7
telah menimbulkan korban jiwa.

7
Ferrel Nugraha (2023) Analisis Permasalahan Hukum dan Kekuasaan di Rempang Dalam Persepektif Filsafat
Hukum, https://jambiekspres.disway.id/read/668383/analisis-permasalahan-hukum-dan-kekuasaan-di-rempang-
dalam-persepektif-filsafat-hukum/15 (diakses pada tanggal 10 Oktober 2023, Pukul 16.23 Wita)
Sebelum berbicara lebih lanjut ada baiknya kita membahas Sejarah
permasalahan Pulau Rempang ini, Pulau ini sebenarnya merupakan milik dari
Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Menurut berbagai sumber
rencananya pada tahun 2014 pulau ini akan dimasuki oleh investor setelah izinnya
dikeluarkan pada tahun 2001. Awalnya, lahan di Pulau Rempang akan dikelola oleh
PT MEG, yang merupakan bagian dari Artha Graha Grup milik Tommy Winata. PT
MEG diberi konsesi selama 30 tahun untuk mengelola kawasan tersebut, dan akan
diperpanjang hingga 80 tahun.

Pada tahun 2023, perusahaan asal China, Xinyi, berencana untuk berinvestasi di
Pulau Rempang dengan nilai mencapai Rp172 triliun. Rencananya, daerah tersebut
akan dibangun menjadi Rempang Eco-City, yang merupakan kawasan industri hijau,
jasa, dan pariwisata.Namun, ketika investor ingin memasuki kawasan tersebut,
ternyata lahan tersebut telah ditempati oleh warga sekitar.
Ini mengakibatkan bentrokan antara pihak kepolisian dan masyarakat yang
tinggal di sekitar Pulau Rempang tidak dapat dihindari. Para warga setempat meyakini
bahwa tanah di Pulau Rempang tersebut adalah tanah ulayat yang harus
dipertahankan.
Jika masalah pulau Rempang tersebut dilihat dari prespektif filsafat hukum
sebenarnya Tujuan hukum itutersendiri dibuat ialah untuk dapat memberikan jaminan
kebahagiaan kepada masing-masing individu, barulah kepada masyarakat luas.
Undang-undang yang banyakmemberikan kebahagiaan pada bagian terbesar
masyarakat akan dipandang sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham
berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata- mata sebagai alat untuk
mencapaimanfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
Bisa kita lihat dari permasalah diatas terjadi kesalah pahaman antara Masyarakat
adat di pulau Rempang dan pemerintah mengenai hak kepemilikan tanah di wilayah
tersebut. Penelusuran riwayat tanah melalui sejarah penting untuk memahami hak
kepemilikan tanah itu sendiri, Sejarah dapat menjadi dasar untuk menentukan
keabsahan klaim hak kepemilikan tanah oleh masyarakat Adat.
Masyarakat adat tak perlu takut dan khawatir akan keadilan dalam konflik yang
terjadi saat ini, bisa dilihat dari UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat (2) dan ayat (3), yang
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya
Masyarakat hukum adat akan tetap dilindungi asalakan memiliki bukti bukti
yang sah atas kepemilikan wilayah tersebut. Selain itu dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan (PTUP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga telah menyebutkan
bahwa masyarakat hukum adat merupakan salah satu dari pihak yang berhak
menerima ganti kerugian (penjelasan Pasal 40).
UU tersebut juga menyebutkan bahwa ganti kerugian atas tanah ulayat dapat
berupa tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh
masyarakat hukum adat tersebut.
Permasalan dari masyarakat suku asli Rempang mereka tidak memliki surat
legalitas lahan (beberapa hanya memiliki legalitas bangunan) dikarenakan dari dulu
semua ada dibawah otoritas Batam. Sehingga mereka tidak dapat membuktikan
kepemilikan penuh tanah tersebut juga yang mana sebagai syarat untuk mendapat hak
yang telah dijanjikan oleh pemerintahan.
Pelajaran yang dapat kita ambil adalah hukum formal yang ditegakan melalui
hukum positif di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi rule of law, ternyata
belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial, diharapkkan nantinya
penegakan hukum formal dapat ditegakan seadil adilnya agar masalah-masalah seperti
ini tidak terjadi lagi. Butuh kolaborasi antara Masyarakat dan pemerintah agar dapat
terciptanya Atmosfer hukum yang baik di Masyarakat

C. Analisis Filsafat Hukum Kasus Rempang Eco City dalam Perspektif Bisnis dan
HAM
Rempang Eco City merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2023
yang diluncurkan pada 12 April 2023 di Jakarta oleh Menteri Koordinator Ekonomi
Airlangga Hartanto, Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni, Gubernur Kepulauan
Riau, dan Ketua BP Batam. Turut dihadiri pula Pemilik Artha Graha Group Tommy
Winata.Kemudian, proyek ini diperkuat Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus 2023. Luas lahan
yang akan digunakan sekitar 17.000 hektar yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan
Pulau Galang, dengan tujuan untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan
tempat wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura
dan Malaysia. 8

8
Sri Ulandari (2023) Analisis Filsafat Hukum Kasus Rempang Eco City dalam Perspektif Bisnis dan
HAM, https://www.jambione.com/kolom/1362972417/analisis-filsafat-hukum-kasus-rempang-eco-city-dalam-
Menurut informasi dalam situs Badan Pengusahaan (BP) Batam,
Proyek Rempang Eco City akan digarap oleh rekanan BP Batam dan Pemerintah Kota
Batam. Yaitu PT Makmur Elok Graha (MEG). PT MEG berfungsi membantu pemerintah
menarik investor asing dan lokal untuk pengembangan ekonomi di Pulau Rempang.
Target investasi dalam proyek ini direncanakan mencapai Rp 381 triliun dan
menyerap tenaga kerja hingga 306.000 orang pada 2080.Untuk memulai operasional
proyek tersebut, Pemerintah menargetkan pada 28 September 2023 sudah terlaksana
pengosongan atau sudah clear and clean, lalu akan diserahkan kepada PT MEG.
Menurut paparan Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD
ketika merespon peristiwa bentrokan pada 7 September, pada 2001-2002 pemerintah
telah mengeluarkan surat keputusan yang pada pokoknya memberikan Hak Guna Usaha
(HGU) kepada perusahaan. Namun, tanah tersebut belum sempat dikelola oleh
perusahaan.
Pada tahun 2004 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan
beberapa surat izin penggunaan pada pihak lain. Sehingga membuat masalah semakin
rumit.
Digesanya relokasi penduduk Rempang dikarenakan telah ada investor yang akan
masuk. Yaitu perusahaan Xinyi Glass dari Tiongkok, berupa hilirisasi industri kaca dan
panel surya. Kepastian didapat setelah pada 28 Juli 2023 ditandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) antara Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BPKM) dengan Xinyi Glass yang disaksikan langsung oleh Presiden
Joko Widodo.
Riwayat Kampung Tua
Sementara menurut warga yang ikut demonstrasi menentang rencana Rempang Eco
City, proyek ini akan memberikan dampak pada penggusuran terhadap 16 Kampung
Melayu Tua di Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kedua pulau itu sudah dihuni warga
sejak ratusan tahun lalu atau sebelum Indonesia Merdeka.
Fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan warga Melayu Tua jauh sebelum
pemerintah membentuk Otorita Batam (OB) atau BP Batam pada tahun 1971. Bukti
keberadaan masyarakat Melayu Tua di Pulau Rempang dan Pulau Galang tercatat dalam
arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga.

perspektif-bisnis-dan-ham?page=3 (diakses pada tanggal, 10 Oktober 2023, Pukul 15.33 Wita)


Hal tersebut, dimuat dalam catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een
Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), yang menyebutkan ada 18 pabrik pengolahan
gambir (bangsal) di Kepulauan Riau tahun 1848. Di antaranya ada di Galang,
Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning.
Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir,
perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.
Kemudian tahun 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad
Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjung Pinang
mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang
gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Plakat itu menjadi
dasar legalitas lahan untuk perkebunan.
Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19
tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi
tauke gambir, lada dan ikan.
Sementara, masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan serta pekerja di
perkebunan gambir dan lada.
Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang
Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap
di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan
pulau-pulau sekitarnya (Arman, 2023).
Pasca bubarnya Kesultanan Riau Lingga tahun 1913, seluruh daerah Riau –
Lingga, termasuk Rempang- Galang diakui tunduk di bawah Pemerintahan Hindia
Belanda. Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah
Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau.
Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang
bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri. Dan saat ini berada di dalam wilayah
Kecamatan Bulang dan Galang di Kota Batam.
Perspektif Bisnis dan HAM
Beranjak dari landasan yuridis dan faktor kesejarahan penguasaan lahan atau
tenurial oleh masyarakat yang panjang di atas, maka tidak ada pilihan lain bagi
pemerintah pusat, daerah dan aparat keamanan untuk mengedepankan penyelesaian
konflik proyek Rempang Eco City ini dengan pendekatan yang humanis dalam bingkai
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Bentrok yang terjadi pada 7 September lalu tidak boleh terjadi lagi. Karena kasus
ini memiliki irisan yang kuat dengan upaya pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
sering disuarakan Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional.
Jika dicermati lebih jauh, maka konflik Rempang Eco City akan berkaitan dengan
kepatuhan terhadap prinsip HAM sebagai bagian dari etika bisnis yang tertuang dalam
United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) atau
Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM yang disahkan
Komisi HAM PBB pada 2011.
UNGPs meletakkan tiga pilar bisnis dan HAM. Yaitu tugas negara untuk
melindungi HAM, tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM. Kewajiban
negara dan korporasi untuk menyediakan akses bagi korban untuk mendapatkan
pemulihan dari dampak pelanggaran HAM.
Dengan demikian, peran negara untuk melindungi HAM harus diwujudkan
dengan memastikan agar proyek Rempang Eco City tidak memberikan dampak negatif
pada hilangnya hak asasi masyarakat atas rasa aman, sumber penghidupan yang layak,
tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan hak atas perlakuan yang adil secara hukum.
Negara juga perlu memastikan agar korporasi mematuhi hak asasi yang melekat pada
warga Rempang tersebut.
Sementara akses pemulihan bagi warga Rempang yang terkena dampak, termasuk
akibat bentrok pada 7 September haruslah menjadi tanggung jawab negara. Antara lain
melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dasar klaim masyarakat Rempang atas sejarah penguasaan lahan yang telah
ratusan tahun lamanya haruslah dilindungi dan dihormati layaknya pemerintah
memberikan perlindungan dan penghormatan atas keputusan memberikan hak kepada
korporasi yang akan mengelola investasi di proyek Rempang Eco City.
Dialog yang setara untuk saling mendengarkan kepentingan masing-masing, dan
mencari solusi yang berkeadilan dan berkemanfaatan harus dikedepankan, serta
pendekatan represif dan kekerasan harus dihilangkan.

Anda mungkin juga menyukai