Anda di halaman 1dari 53

Desain Riset Hukum Pertambangan:

IMPLIKASI KEBERLAKUAN KONTRAK KARYA PT FREEPORT INDONESIA


PASCA UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA DALAM PERSFPEKTIF HUKUM TATA NEGARA

Oleh:

Sandi Dwi Cahyono

1508015110

Di bawah bimbingan: Dr. Siti Khotijah. SH., MH.

A. Latar Belakang:

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa:

bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adanya penegasan

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

mencerminkan pentingnya setiap pengelolaan dan pendayagunaan hanya dapat

dilakukan dengan adanya izin dari negara dan diperuntukkan bagi kesejahteraan

rakyat. Selain itu, negara diberi wewenang untuk mengatur dan mengawasi tata

cara pengelolaan bahan tambang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.1

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, maka pada prinsipnya

negara diberi tugas untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam yang ada di

1 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005),hlm 1.

1
wilayah kekuasaan Negara Indonesia untuk kesejahteraan rakyat. Tugas pengeturan

dan pengelolaan ini merupakan amanat konstitusi kepada negara2

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara

untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional termasuk dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang melindungi segenap bangsa dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun

1945) adalah prinsip kedaulatan negara terhadap pengolahan semua kekayaan alam

termasuk pertambangan mineral dan batu bara. Negara memiliki otoritas penuh

menguasai dan mengelola semua potensi sumber daya alam Indonesia untuk

dipergunakan bagi cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tanpa syarat

apapun. Dengan k ata lain negara diberi tugas untuk mengatur dan mengusahakan

sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga

membebankan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam

untuk kemakmuran rakyat. Apabila hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada

sisi lain merupakan hak rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemakmuran melalui

pemanfaatan sumber daya alam. Kewajiban ini merupakan amanat konstitusi, dan

2 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya: Pola Kerja Sama Pengusaha Pertambangan di
Indonesia (Malang: Setara Press, 2013),hlm 2

2
sebagai perwujudan tanggung jawab sosial dari negara sebagai konsekuensi dari

hak penguasaan Negara.3

Selama ini pengelola sumber daya alam yang ada di Indonesia banyak dilakukan

oleh pihak asing dengan memakai sistem Kontrak Karya untuk pertambangan dan

sistem Kontrak Bagi Hasil Mengingat luasnya permasalahan penelitian dan

terbatasnya biaya dan waktu yang tersedia, maka penelitian ini hanya dibatasi

Kontrak Karya Pertambangan saja dengan studi kasus, Kontrak Karya antara

Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia. Kontrak Karya

adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara pemerintah Republik

Indonesia dengan perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan

Indonesia dan perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha

pertambangan di luar minyak gas dan bumi. Istilah kontrak karya merupakan

terjemahan dari kata Contract of Works. Kontrak karya diatur dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan di mana sebelumnya dimulai oleh

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang

menjadi pintu masuk investor asing untuk menanamkan modalnya dalam bisnis

pertambangan. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 disebutkan

bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu

kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai

ketentuan perundangan yang berlaku

3Ahmad Redi, Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dalam Perspektif Pancasila dan UUD NRI
1945, Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 3 September 2016. hal. 3

3
Kontrak karya merupakan perjanjian yang dikenal dalam pertambangan secara

umum sejak diterbitkannya UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan

pokok pertambangan. Kontrak karya merupakan jalan bagi investor asing masuk

yang hendak melakukan kegiatan usaha dibidang pertambangan dan energy di

Indonesia. Izin Pertambangan Rakyat (IPR). PT. Freeport Indonesia Company

mayoritas saham dikuasai oleh Amerika Serikat sebesar 90,64 Persen Sedangkan

pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Pertambangan dan Energi

hanya menguasai sebesar 9,36 Persen.

Terkait subtansi Kontrak Karya yang menjadi fokus utama dalam hal

kepemilikan saham oleh host country dimana dalam hal ini Indonesia, menginginkan

sejumlah saham sebagaimana kesepakatan dalam Kontrak Karya.4 Sebagaimana

posisi pemerintah selaku regulator menjadi satu kekuatan ketika suatu hal

berimplikasi langsung pada kepentingan negara dan untuk kesejahteraan rakyat,

maka secara tegas negara harus hadir dan melakukan upaya-upaya mengembalikan

kepentingan negara sebagaimana amanah pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 yaitu ayat (2) menyatakan, cabang-cabang produksi

yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai

oleh Negara. Sedangkan ayat (3) menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat5

4 Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi Bumn, Kencana Pernada
Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 28
5 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Amandemen ke-4 Tahun 2002. Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3

4
Dalam usahanya pemerintah agar ketentuan Pasal 112 UU No. 4 tahun 2009,

Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP No 23

Tahun 2010 jumlah saham yang wajib didivestasikan kepada peserta Indonesia

adalah paling sedikit 20% (dua puluh Persen). Dua tahun kemudian, pemerintah

mengubah PP 23 Tahun 2010 dengan PP 24 tahun 2012 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu perubahan penting yang terdapat

dalam PP No 24 Tahun 2012 ini adalah mengenai besar saham yang wajib

didivestasikan menjadi paling sedikit 51% (lima puluh satu persen).

Bahwa divestasi saham PT Freeport Indonesia merupakan kewajiban yang

diatur dalam Undang-undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara,9 kemudian aturan pelaksananya PP No 1 tahun 2017 menekankan

kembali bahwa secara bertahap dengan detail divestasi sahamnya, pada pasal 97

ayat (1) bahwa Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing,

setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara

bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh

satu persen) dimiliki peserta Indonesia.

5
Kenyataannya saham yang seharusnya sudah dimiliki oleh pemerintah sejak

tahun 2010 sebesar 20% (dua puluh persen) tetapi sampai saat ini pemerintah

hanya memperoleh 9,36 persen. 6

Seharusnya negara memperoleh manfaat ekonomi sebagai pemilik hak atas

sumber daya alam Indonesia terkhusus pada sumberdaya strategis bagi

pembangunan negara seperti sumber daya mineral batu bara dan pertambangan

lainnya.

Ini akan menyebabkan sulitnya menerapkan aturan kewajiban disvestasi saham

kepada perusahaan pertambangan asing. Mengingat adanya aturan mengandung

pasal yang bertentangan sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

padahal pasal tersebut merupakan ketentuan peralihan yang bertujuan untuk

menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum

memberikan perlindungan hukum serta mengatur hal-hal yang bersifat transisional.

B. Rumusan Masalah:

1. Bagaimana kedudukan hukum Kontrak Karya (KK) PT. Freeport

Indonesia pasca berlakunya UU No 4 Tahun 2009, terkait keharusan

beralih ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ?

2. Bagaimana Risiko Hukum yang ditimbulkan atas peralihan Kontrak Karya

PT. Freeport Indonesia terhadap Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK) dalam sistem Kedaulatan Negara?

6 Divestasi saham PT Freeport Indonesia http://esdm.go.id/index.php/


publikasi/list_publikasi/1004, diakses: tanggal 16 september 2018 pukul: 23.48

6
C. Tujuan Penelitian:

Tujuan penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua hal:

Pertama, Untuk mengetahui pengaturan mengenai model Kontrak Karya

pertambangan di Indonesia, yang sudah berjalan sejak tahun 1967 dengan sistem

kontrak karya dan peralihan menjadi Izin Usaha Pertambangan.

Kedua, peneliti melihat perluasan dampak pilihan model Kontrak Kerja

pertambangan terhadap prinsip kedaulatan nasional dan Untuk menemukan

instrumen hukum dalam pelaksanaan Kontrak Karya pertambangan terkait dengan

prinsip kedaulatan NKRI

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis adalah untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi

tentang dampak pilihan model kontrak karya pertambangan terhadap prinsip

kedaulatan nasional.

2. Secara Praktis, adalah penelitian ini berguna sebagai bahan masukan bagi

para ahli, praktisi hukum dan masyarakat dalam rangka pengembangan dan

pembentukan hukum khususnya penyempurnaan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan dampak pilihan model kontrak karya

pertambangan terhadap prinsip kedaulatan rakyat.

7
E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, penelitian yang telah ada

sebelumnya berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah:

A. Ariyati, 2017, Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan Terhadap

Kedaulatan Negara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum

Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Dalam Jurnal tersebut membahas bagaimana konsep kontrak karya yang

pernah di terapkan di Indonesia yang pada dasarnya tidak dapat membuat Negara

Republik Indonesia berdaulat dan sejahtera, dalam jurnal tersebut hanya

menjelaskan secara umum tidak menjustifikasi pada suatu kelompok pertambangan

tertentu.

B. Fuad Ahsan Lukman Santoso, 2017, Tinjauan Pasal 33 UUD 1945 teradap

praktik Kontrak Karya di Indonesia, Justicia Islamica Institute Agama

Islam Negeri Ponorogo.

Dalam Jurnal tersebut membahas terkait kontrak karya dengan ditinjau

melalui Konsepsi Konstitusioanl pasal 33 UUD 1945, Konsepsi dan Implementasi

Kontrak Karya di Indonesia dan tinjauan Pasal 33 UUD 1945 terhadap praktik

Kontrak Karya di Indonesia.

8
Melihat tulisan di atas terdapat beberapa persamaan dari segi tema yaitu

Kontrak Karya yang berlaku di Indonesia, bagaimana kontrak karya yang berlaku di

Republik Indonesia tidak konstitusional dan tidak relevan di terapkan di Indonesia.

F. Landasan Teori

1. Teori Negara Hukum

Istilah negara hukum merupakan terjemahan dari istilah “rechtsstaat”. 7

Istilah lain yang digunakan dalam alam hukum Indonesia adalah the rule of law,

yang juga digunakan untuk maksud “negara hukum”. Notohamidjojo menggunakan

kata-kata “...maka timbul juga istilah negara hukum atau rechtsstaat.”

Djokosoetono mengatakan bahwa “negara hukum yang demokratis sesungguhnya

istilah ini adalah salah, sebab kalau kita hilangkan democratische rechtsstaat, yang

penting dan primair adalah rechtsstaat.8

Sementara itu, Muhammad Yamin menggunakan kata negara hukum sama

dengan rechtsstaat atau government of law, sebagaimana kutipan pendapat berikut

ini: “polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan

keadilan, bukanlah pula negara Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat,

government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara

7 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang

Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan


Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm.30

9
kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan

sewenang-wenang.”(kursifpenulis).

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dalam literature hukum Indonesia,

selain istilah rechtsstaat untuk menunjukkan makna Negara hukum, juga dikenal

istilah the rule of law. Namun istilah the rule of law yang paling banyak digunakan

hingga saat ini. Menurut pendapat Hadjon,9 kedua terminologi yakni rechtsstaat dan

the rule of law tersebut ditopang oleh latar belakang sistem hukum yang berbeda.

Istilah Rechtsstaat merupakan buah pemikiran untuk menentang absolutisme, yang

sifatnhya revolusioner dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut

civil law. Sebaliknya, the rule of law berkembang secara evolusioner, yang bertumpu

atas sistem hukum common law. Walaupun demikian perbedaan keduanya sekarang

tidak dipermasalahkan lagi, karena mengarah pada sasaran yang sama, yaitu

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun terdapat perbedaan latar

belakang paham antara rechtsstaat atau etat de droit dan the rule of law, namun

tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran istilah “negara hukum” atau dalam istilah

Penjelasan UUD 1945 disebut dengan “negara berdasarkan atas hukum

(rechtsstaat)”, tidak terlepas dari pengaruh kedua paham tersebut. Keberadaan the

rule of law adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah juga

dilarang menggunakan privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum

biasa. Paham negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law), yang mengandung

asas legalitas, asas pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan

9 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum. op. cit., hlm. 72.

10
kehakiman yang merdeka tersebut, kesemuanya bertujuan untuk mengendalikan

negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang, tirani, atau

penyalahgunaan kekuasaan.

Pada zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,

dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat‟. Sedangkan

dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan

A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara

Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat‟ itu mencakup empat elemen

penting, yaitu:

1) Perlindungan hak asasi manusia.

2) Pembagian kekuasaan.

3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

4) Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap

Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

1) Supremacy of Law.

2) Equality before the law.

3) Due Process of Law.

11
Keempat prinsip „rechtsstaat‟ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas

pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip „Rule of Law‟ yang

dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern.

2. Teori Negara dan Kedaulatan Negara

Negara merupakan subjek hukum yang terpenting dibanding dengan subjek

subjek hukum internasional lainnya. Pasal 1 konvensi Montevideo 27 December

1933 mengenai hak dan kewajiban Negara menyebutkan bahwa Negara sebagai

subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk

yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk

berhubungan dengan Negara lain.

Selain itu menurut Hans Kelsen Negara adalah komunitas yang diciptakan

oleh suatu tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini. Oleh sebab

itu, dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak sebagai persoalan

tatanan hukum nasional maka kita harus menerima bahwa komunitas yang

disebut Negara adalah tatanan hukumnya, Hukum Perancis dapat dibedakan dari

hukum Swiss atau Meksiko tanpa bantuan dari hipotesis bahwa Negara Perancis,

Swiss, dan Meksiko merupakan realitas sosial yang keberadaannya berdiri sendiri-

sendiri. Negara sebagai komunitas dalam hubungannya dengan hukum bukanlah

suatu realitas alami atau suatu realitas sosial yang serupa dengan realitas alami

seperti manusia dalam hubungannya dengan hukum. Jika ada suatu realitas

sosial yang berhubungan dengan fenomena yang disebut Negara dan oleh sebab

12
itu suatu konsep sosiologis yang dibedakan dari konsep hukum mengenai Negara

maka prioritas jatuh pada konsep hukum bukan kepada konsep sosiologis.

3. Teori Hukum Pertambangan

Salim HS menyatakan 10
“Hukum Pertambangan merupakan salah satu bidang

kajian hukum yang mengalami perkembangan yang pesat. hal ini dibuktikan dengan

ditetapkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pertambangan. Pada dekade tahun 1960-an, undang-undang yang mengatur

tentang pertambangan, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, sementara pada dekade tahun 2000

atau khususnya pada tahun 2009, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR RI

telah menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara.” Ada dua hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu bahan tambang

mineral dan batubara. Apabila dikaji ketentuan atau pasal dalam undang-undang ini,

tidak ditemukan pengertian hukum pertambangan mineral dan batubara. Istilah

hukum pertambangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu minning law,

bahasa Belanda disebut dengan mijnrecht.

Joseph F. Castrilli mengemukakan pengertian hukum tambang. Hukum

pertambangan adalah : 11
“Also may provide a bisis for implementing some

environmentally protective measures in relation to mining operations at the

10 Salim Hs, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2014,
hlm. 11.
11 Ibid, hlm 13

13
exploration, development, reclamation, and rehabilitation stages.” Artinya hukum

pertambangan sebagai dasar dalam pelaksanaan perlindungan lingkungan dalam

kaitannya dengan kegiatan pertambangan, yang meliputi kegiatan eksplorasi,

konstruksi, reklamasi dan rehabilitasi. Hannah Owusu-Koranteng At mengemukakan

pengertian hukum pertambangan. Mining law is.

4. Nasionalisme dan Populisme

Stephen Herbert Hymer (1939-1974) Teori yang bersifat nasionalisme dan

populisme yang pada dasarnya teori ini berawal dari kekhawatiran akan adanya

dominasi penanaman modal asing. Menurut Hymer, “Penanaman modal asing adalah

seorang monopolis atau bahkan sering kali oligopolies di pasar-pasar produksi suatu

negara dimana ia melakukan usahanya. Oleh karenanya bilaman penanaman modal

asing asing benar-benar menghancurkan kekuatan dalam pasar produksi suatu

negara, maka pemerintah harus siap melakukan pengawasan pada penanaman

modal asing tersebut.” 12


Sebab itu menurut paham teori ini bahwa kehadiran

penanaman modal asing berakibat adanya pembagian keuntungan yang tidak

seimbang yang terlalu banyak ada pada pihak penanam modal asing, sehingga

menyebabkan negara penerima modal asing membatasi kegiatan membatasi

kegiatan penanaman modal asing yang salah satunya di keluarkannya kewajiban

mengenai divestasi saham.

5. Hak Menguasai Negara

12Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta : Kencana,
2004), h. 41.

14
Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang mengatur kegiatan ekonomi

dalam konstitusinya, dan hal ini tidak lepas dari semangat zaman ketika UUD 1945

disusun. dilihat secara lebih praktis dari pandangan Prof. Mr. Soepomo saat sidang

BPUPKI, 31 Mei 1945 tentang negara integralistik yang menggambarkan bagaimana

pola penguasaan negara atas “perusahaan” dan “tanah” dilakukan : “Sekarang

tentang perhubungan antara negara dan perekonomian. Dalam negara berdasar

integralistik maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara”

(staatsocialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara

sendiri, akan tetapi pada hakikatnya negara yang akan menentukan di mana dan di

masa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat

atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada sesuatu badan

hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung daripada kepentingan

negara, kepentingan rakyat seluruhnya,Begitu pun tentang hal tanah.

Pada hakikatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya, tambang-tambang

yang 7 penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri.” Menilik ke belakang,

gagasan mengenai perlunya penguasaan negara atas sumber daya agraria telah

disampaikan oleh Moh. Hatta yang menanggap bahwa hal tersebut merupakan

kolektivisme yang berakar dari sistem 8 nilai masyarakat desa. Kolektivisme itu

ditunjukan dengan melakukan penguasaan atas tanah: “...segala tanah lainnya di liar

lingkungan desa dan tanah milik rakyat adalah di bawah kekuasaan negara.

Perusahaan di atas tanah menguasai hidup orang banyak yaitu tempat orang banyak

menggantungkan dasar hidupnya, mestilah berlaku di bawah kekuasaan atau

15
pemilikan negara. Cara menjalankan eksploitasinya boleh diserahkan kepada badan

yang bertanggung jawab, di bawah pemilikan anggota badan pengurus negara atau

bagiannya menurut 9 peraturan yang tertentu.

1) Pertama Hak Menguasai Negara (HMN) bukanlah Interpretasi Mahkamah

Konstitusi atas Hak Menguasai Negara MENGUJI KEDAULATAN NEGARA

TERHADAP KONTRAK KARYA FREEPORT kepemilikan dalam konsepsi

hukum perdata, melainkan kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif

(dalam putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002

tentang Ketenagalistrikan).

2) Kedua, HMN adalah mandat rakyat secara kolektif kepada negara (dalam

putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas).

3) Ketiga, HMN untuk melindungi kemakmuran rakyat (dalam putusan

perkara pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal).

4) Keempat, HMN tidak dapat dikurangi atau ditiadakan oleh pemberian hak

atas tanah (dalam putusan perkara pengujian Undang-Undang

Penanaman Modal).

5) Kelima, pembatasan penguasaan dan redistribusi tanah dalam rangka

melindungi sebesar-besar kemakmuran rakyat (dalam putusan perkara

pengujian Undang-Undang Penanaman Modal).

16
6) Keenam, “Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat” sebagai ukuran utama

dalam pengelolaan segala kekayaan alam yang ada (dalam putusan

perkara pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Perairan Pesisir dan Pulaupulau Kecil terhadap UUD RI 1945).

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah menggunakan pendekatan

penelitian hukum Doktrinal, yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau

implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dan pendekatan konsep

teori-teori. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses

untuk menemukan aturan hukum,prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang di hadapi.13

2. Sumber bahan hukum

Dalam pendekatan ini penulis akan menganalis ketentuan perundang-

undangan dan teori-teori hukum yang relevan, termasuk asas-asas hukum yang

memiliki keterkaitan dengan rumusan masalah yang dibangun dalam penelitian ini,

seperti asas kepastian hukum, yang bertujuan mewujudkan kepastian dalam Sumber

bahan hukum,bagaimana implikasi Sistem Kontrak Karya setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara.

13Peter Mahmud Marzuki, , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008),hlm. 157-158.

17
Penggunaan bahan skunder berupa bahan kepustakaan yang dikelompokan sebagai

berikut:

1. pertama, bahan hukum berupa ketentuan peraturan perundang-

undangan, serta aturan lainnya di bawah undang-undang yang berkaitan

dan relevan dengan penelitian ini.

2. Kedua, oleh karena riset ini adalah sebuah riset hukum yang diarahkan

untuk menjawab isu hukum, maka dukungan pustaka tentang teori yang

relevan termasuk asas-asas yang memiliki keterkaitan dengan penelitian

ini seperti asas kepastian hukum.

3. Ketiga Studi ini juga memerlukan bahan hukum tersier, berupa Jurnal,

artiekel ilmiah hukum, dan kamus bahasa Indonesia kamus hukum.

3. Analisa bahan Penelitian

Bahan hukum yang diperoleh selama penelitian akan dianalisis secara

koferensif untuk menguraikan jawaban atau pertanyaan penelitian:

Rumusan masalah (R1)

Bahan hukum yang diperoleh selama penelitian diarahkan untuk

menganalisis beberapa hal pokok seperti:

Bagaimana konsep kontrak karya yang pernah terjadi di Indonesia

dengan membandingan rezim perizinan, mengarah pada perlaihan rezim

kontrak karya menjadi rezim perizinan. Bagaimana kedudukan hukum

18
Kontrak Karya (KK) PT. Freeport Indonesia pasca berlakunya UU No 4 Tahun

2009, terkait keharusan beralih ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Rumusan masalah (R2)

Analisa hukum pada rumusan masalah ini, kondisi hukum tata negara dalam

menjamin kesejahteraan rakyat melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pasal 33 yang mengamanahkan sumber daya alam

dikuasai oleh Negara dan di peruntukan sebesar-besarnyua untuk kemakmuran

rakyat dan bagaimana resiko hukum yang akan terjadi dalam proses

pelaksanaan pasal 33 UUD NRI 1945 Bagaimana Risiko Hukum yang ditimbulkan

atas peralihan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia terhadap Izin Usaha

Pertambangan Khusus (IUPK)

Alokasi Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan selama satu minggu dimulai dari

penyusunan Desain Riset, seminar Desain Riset, studi pustaka, pengambilan

bahan hukum, penyusunan laporan dan publikasi. (Tanggal 13 September-20

september 2018)

19
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kontrak Karya di Indonesia

Urgensi pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin

pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) keberlangsungan secara proporsional

bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil

dan saling menguntungkan, bukan sebalinya, merugikan salah satu pihak atau pada

akhirnya justru merugikan para pihak yang berkontrak.14 Suatu kontrak memiliki

legalitas hukum sehingga mengikat para pihak yang berakibat pada konsekuensi

hukum kesepakatan tersebut.

Hampir semua negara mempunyai hukum kontraknya masing-masing dan

mempunyai karakteristik yang memungkinkan berbeda anatara negara satu dengan

lainnya. Konsep terkait kontrak yang meliputi kegiatan jual beli, hutang piutang,

sewa menyewa, dan transaksi bisnis lainnya yang berlaku bagi setiap warga negara

bersamaan kedudukannya didalam hukum yang melakukan peristiwa hukum dimana

ada perjanjian sebagai sarana pengikat anatar sesama warga negara. Terkait

perjanjian internasional atau antar warga berbeda negara atau subjek hukum yang

berbeda kedudukan hukumnya maka ada klausul pilihan hukum (choise of law) yang

seyogyanya berlaku ketika suatu kontrak itu merupakan kontrak internasional.

Terkait corak kontrak negara yang menganut sitem hukum common law dan negara

14 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersial,
(Jakarta : Kencana, 2010), hal. 6

20
dengan sistem civil law tentu akan berbeda seperti syarat keabsahan suatu kontrak

dan akibat jika tidak terpenuhinya kewajiban yang disepaki dalam kontrak. Di

Indonesia terkait kontraktual pedoman yang menjadi acuan sebagai negara yang

menganut sitem civil law dimana hukum tertulis yang diakui eksistensinya, dapat

dilihat dalam buku ke III Burgeijk Wetboek (BW) Indonesia yaitu pasal 1320 BW

yang menentukan terkait empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu : Kesepakatan,

Kecakapan, suatu hal tertentu dan adanya kausa yang diperbolehkan.15

Penjabaran terkait hukum kontrak di Indonesia ini terdapat dalam Pasal 1233

KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Sehingga setiap kontrak yang

dibuat di Indonesia klausa yang menjadi komponen harus mengacu pada ketentuan

yang diatur secara baku dalam KUH Perdata. Diluar daripada itu maka secara

undang-undang perjanjian tersebut batal demi hukum jika kesepakatannya tidak

terkorelasi dengan syarat-syarat perjanjian sebagaimana Bab III mengatur.

Istilah Kontrak Karya merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu kata

work of contract. Menurut Salim H.S., “dalam hukum Australia, istilah yang

digunakan adalah indenture, franchise agreement, state agreement atau

government agreement”. Jadi pemahaman terkait kontrak karya di Indonesia

sebagaimana kita ketahuai bahwa kontrak seyogyanya kerjasama antar para pihak

yang sepakat mengikat kesepakatan objek kerjasamanya dengan komitmen yang

berdasarkan pada itikad baik para pihak. Sebagaimana kita pahami terkait norma

kebebasan berkontrak yang menjadi pondasinya adalah itikad baik para pihak untuk

15 Buku ke III Burgelijk wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) tentang perjanjian.

21
memenuhi prestasinya (hak dan kewajiban).16 Sistem pengaturn kontrak di

Indonesia adalah sistem terbuka, artinya bahwa setiap orang bebas untuk

mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam

undang-undang.

Hal ini tercermin dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) yang

mengatur : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya sebagaimana kita pahami bahwa

struktur kontrak itu sendiri sifatnya luwes sehingga memungkinkan jika kontrak

kerjasama subjek hukum perdata yang berbeda negara akan ada unsur kesepakatan

yang mengadopsi dari paham kontraktual negara bersangkutan, begitu juga terkait

Kontrak Karya PT Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia, ini merupakan

pertemuan 2 sistem hukum yang berbeda kita ketahui PT. Freeport yang perusahaan

induknya PT. Freeport McMoran yang berkedudukan di Amerika Serikat memakai

sitem Common Law, sedangkan Pemerintah Indonesia dengan sistem Civil Law,

tentu akan ada konsesus yang diambil untuk kesepakatan kontrak kerjasama.

Dalam definisi ini kontrak karya dikonstruksikan sebagai sebuah

perjanjian.Subjek perjanjian itu adalah Pemerintah Indonesia dengan perusahaan

swasta asing atau joint venture antara perusahaan asing dan perusahaan

nasional.Objeknya adalah pengusahaan mineral. Pedoman yang digunakan dalam

implementasi kontrak karya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

16 Salim H.S., Hukum Pertambangan Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal. 127.

22
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum. Definisi lain dari kontrak karya,

dapat di baca dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Tahun 2004 Nomor 1614 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan

Kontrak Karya dan Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batu Bara dalam Rangka

Penanaman Modal Asing.

Dalam ketentuan itu, disebutkan pengertian Kontrak Karya. Kontrak Karya atau

KK adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pengusahaan berbadan

hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha

pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi,

radio aktif, dan batu bara.17

Kontrak Karya merupakan jalan masuk bagi penanam modal asing ingin

berinvestasi dan melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Dimana

pada saat Kontrak Karya I tahun 1967 dan Kontrak Karya II Tahun 1991

berpedoman pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 sehingga setiap Kontrak

Kerjasama di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara diwujudkan dalam bentuk

Kontrak Karya yang berdasarkan pada Pasal 10 Ayat (1) Undangundang Nomor 11

Tahun 1967. 18

Kemudian bentuk Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan (PKP2B) diatur

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. Kontrak yang dianut dalam

Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 disini, bukanlah kontrak keperdataan pada

17 http://www.suduthukum.com/2017/02/istilah-dan-pengertian-kontrak-karya.html
diakses pada 29 september 2018 pukul, 23.27 WITA
18 Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan, Lembaran Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik


Indonesia (LNRI) Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2831.

23
umumnya namun merupakan “Kontrak Publik”. Menurut pendapat Prayudi

Atmosudirjo, bahwa kontrak publik ini merupakan perbuatan hukum publik

(bestuurdad) yang bersegi dua, di mana Pemerintah sebagai pejabat publik

melakukan perjanjian dengan pihak swasta untuk melakukan kegiatan tertentu,

dengan tetap tunduk aturanaturan dalam bidang publik yang juga dibuat oleh

Pemerintah sebagai Pejabat Publik.

Hal ini tentunya sangat terkait sangat terkait dengan amanat Pasal 33 UUD

1945 yang mengamanatkan konsep penguasaan oleh negara terhadap sumeber

daya alam di Indonesia. Tidak mungkin dapat dihilangkan konsep negara sebagai

pemegang hak penguasaan atas sumber daya alam, didalam pembuatan kontrak

tersebut. Kedua undang-undang tersebut menjadi dasar hukum yang mengawali

eksistensi Kontrak Karya di Indonesia. Pada tanggal 12 Januari 2009,

UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

disahkan dan diundangkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

1967. Keberadaan undang-undang tersebut membawa dampak terjadinya

perubahan yang signifikan bagi dunia pertambangan mineral dan batubara

(pertambangan minerba) di Indonesia. Penghapusan Kontrak Karya menjadi salah

satu perubahan yang dominan dalam pengaturan undang-undang baru tersebut.

Dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pintu masuk bagi

penanam modal asing dalam pertambangan minerba tidak lagi melalui Kontrak

Karya, melainkan melalui perizinan. Dengan menggunakan mekanisme perizinan,

kedudukan Pemerintah menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan penanam

24
modal asing. Harapannya, Pemerintah akan lebih mampu mengupayakan

terwujudnya pengaturan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah menyadari bahwa perubahan rezim Kontrak Karya menjadi rezim

perizinan membutuhkan masa penyesuaian, maka Pasal 169 Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2009 mengatur: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a) Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara

yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan

sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

b) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya

pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a

disesuaikan selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini

diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

c) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada

huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.”

Pada rezim Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak lagi mengenal rezim

kontrak seperti pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967. Undangundang Nomor

4 Tahun 2009 hanya mengenal rezim izin, yaitu berupa Izin Usaha Pertambangan

yang selanjutnya disebut dengan IU. Izin Usaha Pertambangan wajib dimiliki oleh

setiap pelaku usaha yang akan melakukan kegiatan penambangan di suatu wilayah

pertambangan di Indonesia.

25
Cara memperoleh izin tersebut dilakukan dengan cara lelang dan dengan cara

pengajuan permohonan. Perizinan yang dilakukan dengan cara lelang ditujukan bagi

kelompok mineral logam dan batubara, sedangkan untuk mineral bukan logam dan

batuan untuk memperoleh perizinannya dilakukan dengan mengajukan permohonan.

Mendasarkan pada pengaturan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,

meski Kontrak Karya dihapuskan dan digantikan oleh mekanisme perizinan, Kontrak

Karya yang telah ada sebelum diundangkannya undangundang tersebut tetap

dihormati keberlakuannya oleh Pemerintah Indonesia. Dari segi waktu, Kontrak

Karya yang sudah disepakati tidak akan diputus oleh Pemerintah begitu saja dengan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, sehingga pelaku usaha

pertambangan, terutama penanam modal asing dapat melanjutkan usahanya secara

tenang. Meski demikian, berdasarkan Penjelasan Pasal Demi Pasal atas Pasal 169

huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, “semua pasal yang terkandung

dalam Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

harus disesuaikan dengan UndangUndang”.

Kontrak Karya yang masih dihormati keberlakuannya harus disesuaikan dengan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan peraturan pelaksananya serta peraturan

perundang-undangan yang terkait dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak

diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Mekanisme penyesuaian

tersebut dikenal dengan renegosiasi.

Berdasarkan Siaran Pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam

proses renegosiasi Kontrak Karya, terdapat 6 (enam) poin yang harus dibahas, yakni

26
luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan Negara;

kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri; kewajiban divestasi; serta

penggunaan tenaga kerja lokal, barang, dan jasa pertambangan dalam negeri. 19

Dua tahap tersebut, secara berurutan, ialah tahap penandatanganan Nota

Kesepahaman amandemen Kontrak Karya dan tahap penandatanganan amandemen

Kontrak Karya. Muhammad Syaifuddin berpendapat bahwa penandatanganan Nota

Kesepahaman amandemen Kontrak Karya merupakan tahap dimana Pemerintah dan

perusahaan tambang yang bersangkutan menyatakan adanya persetujuan

pendahuluan untuk membuat amandemen kontrak dikemudian hari. 20


Sedangkan

penandatanganan amandemen Kontrak Karya merupakan tahap dimana Pemerintah

dan perusahaan tambang yang bersangkutan menyetujui diberlakukannya

amandemen Kontrak Karya hasil renegosiasi.

Perbedaan kontrak karya sebagai kontrak publik dengan kontrak perdata pada

umumnya, terlihat bahwa awal setelah adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk

melakukan kontrak karya, belum dapat langsung membuat kontrak sebelum terlebih

dahulu mendapatkan izin publik yaitu izin menteri. Menteri yang menunjuk

kontraktor untuk dapat melakukan suatu pekerjaan pertambangan sebagaimana

diamanatkan Pasal 10 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967.21 Sedangkan dalam

kontrak perdata, bila kedua belah pihak sudah sepakat melakukan perjanjian, maka

19 http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/7592, diakses 31 September


2018 pukul 17.00 WITA.
20 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung :
Mandar Maju,2012), hal. 168
21 Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan Di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009,

(Jakarta : Yayasan : Pustaka Obor, 2015), hal. 140 dan 141

27
dapat langsung dibuat perjanjian tanpa menunggu persetujuan. Persetujuan Menteri

adalah sebagai perwujudan dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam,

yang dimandatkan kepada Pemerintah, dalam hal ini kepada Menteri ESDM.

Selanjutnya dalam mengadakan perjanjian antara Pemerintah dan Kontraktor,

juga harus tunduk pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat

yang diberikan oleh Menteri yang bertindak selaku pejabat publik yang mewakili

Pemerintah. Berarti penuangan isi dari perjanjian pun harus tunduk dengan

kebijakan-kebijakan yang dibuat menteri selaku pejabat publik. Setelah perjanjian

disepakati bersama dan telah ditandatangani, masih ada satu tahap lagi yaitu

adanya pengesahan dari Pemerintah setelah berkonsultasi terlebih dahulu kepada

Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan dan konsultasi kepada DPR adalah juga

sebagai wujud implementasi Pasal 33 UUD NRI 1945, di mana rakyatlah sebagai

pemilik dari bahan galian yang ada di wilayah pertambangan Indonesia, maka untuk

itu harus juga mendapatkan rekomendasi dari rakyat.

Dengan demikian terlihat bahwa, kontrak di bidang pertambangan bukanlah

kontrak perdata pada umumnya sebagaimana disebutkan pada Pasal 1320 KUH

Perdata yang memiliki ciri sebagai berikut:

a) merupakan kesepakatan kedua belah pihak.

b) kedudukan pemerintah dan pengusaha seimbang.

c) adanya kebebasan berkontrak.

Dengan demikian terdapat perbedaan antara perjanjian yang dituangkan

dalam bentuk Kontrak Karya dengan perjanjian perdata pada umumnya. Posisi

28
Pemerintah sebagai pemegang hak penguasaan diberi authority untuk mengatur dan

mengurus pengelolaan pertambangan yang pada dasarnya obyek yang diperjanjikan

adalah milik rakyat (Public ownership) bukan obyek perdata pada umum (private

goods).

B. Bagaimana kedudukan hukum Kontrak Karya (KK) PT. Freeport

Indonesia pasca berlakunya UU No 4 Tahun 2009, terkait keharusan

beralih ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Freeport McMoran adalah salah satu perusahaan tambang internasional

terbesar didunia yang berasal dari Phoenik Arizona Amerika Serikat yang melakukan

Kontrak Karya dengan negara Indonesia, dan kemudian berbadan hukum Indonesia

dan bernama PT Freeport Indonesia. Pada saat kontrak karya dilakukan Bob Duke

menjadi ahli hukum PT Freeport Indonesia untuk menyiapkan kontrak yang dikenal

dengan kontrak karya. 22


Namun pada kenyataanya kontrak karya yang dilakukan

tidak memberikan posisi yang baik bagi Indonesia.

Kontrak Karya yang dilakukan yang dilakukan pada dasarnya adalah kontrak

konsensi yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh perusahaan Freeport

McMoran dan dengan dilandasi dengan klausul yang disebut stabilization clauses,

artinya bahwa pertambangan/consesions agreement yang sudah ditandatangani hari

ini oleh pihak Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia berdasarkan hukum

positif yang berlaku hari ini dan tidak boleh dirubah seenaknya oleh para pihak

dalam perjanjian, dan merubahnya harus melewati proses negosiasi.

22 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, (Jakarta : Setara Press, 2013), hal. 6

29
Stabilisation clauses tersebut pada perkembanganya menyebabkan berbagai

persoalan, karena hukum di Indonesia terus berkembang dan bunyi kesepakatan

dalam kontrak karya sudah tidak sesuai lagi dengan aturan perundang undangan di

Indonesia dan konsep pengelolaan pertambangan untuk kemakmuran rakyat.

Padahal pada prinsipnya penanaman modal asing menurut Rosyidah Rakhmawati,

tidak boleh mengakibatkan ketergantungan yang terusmenerus serta tidak

merugikan kepentingan nasional23

Selain itu juga perlu adanya peningkatan kemandirian dalam pelaksananaan

pembangunan dan mencegah keterikatan serta campur tangan asing. Dalam UU

Minerba yang telah di sahkan pada tahun 2009 bahwa sebelumnya menganut sistem

Kontrak Karya sebagai bentuk hukum perjanjian, dengan UU yang baru ini berubah

ke sistem perizinan. Oleh sebab itu maka pemerintah tidak lagi berada dalam posisi

yang sejajar dengan pelaku usaha, dan menjadi pihak yang memberi izin kepada

pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara.

Namun ternyata dalam UU Minerba tersebut tidak menghapuskan konsep

kontrak karya/perjanjian karya, padahal sudah sangat jelas bahwa konsep kontrak

karya sama sekali tidak menguntungkan bagi negara Indonesia. Perubahan rezim

KK/PK2PB ke izin usaha didasari oleh berbagai pertimbangan, diantaranya

berdasarkan pertimbangan filosofis dan sosiologis menganggap rezim izin

merupakan rezim pengusahaan sumber daya alam, khususnya pertambangan

mineral dan batubara, yang paling sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang

23Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia dalam Menghadapi Era Global,
(Malang : Bayumedia Publishing, 2003), hal. 8.

30
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 24
Perizinan di sektor pertambangan mineral

dan batubara menjadi instrumen pengendalian karena fungsi izin sebagai:

a) receiving, processing, maintaining and updating exploration and

exploration application and grants of licenses in chronological order

for industrial, large scale and small scale activities.

b) Producing and making publicly available updated cadastral maps on

which existing mieral rights, pending applications, and area restricted

for mining activities are correctly ploted.

c) verifying that licenses do not overlap, checking eligibility of

applicants, and making decisions to grant or refuse applications.

d) ensuring compliance with payment of fees and other technical

requirements to ensure title are valid.

e) Collecting administrative fees, such as application fees or annual

rents.

f) Initiating procedures for terminating licenses in accordance with laws

and regulations.

Perubahan paradigma perusahaan dari rezim Kuasa Pertambangan (izin) dan

KK/PK2PB (kontrak) menjadi rezim perizinan sepenuhnya didasarkan beberapa

pertimbangan antara lain:

a) bentuk kontrak pertambangan melalui KK/PKP2B sesungguhnya telah

berhasil menarik investasi dalam kegiatan pertambangan, akan tetapi

24 Jusri Djamal, Aspek-aspek Hukum Masalah Penanaman Modal, (Jakarta : BKPM, 1982), hal. 2

31
terdapat diskriminasi terhadap swasta nasional karena tidak dapat

melakukkan KK, yang hanya diperuntukkan investor asing. Oleh

sebab itu, ke depan tidak perlu ada perbedaan antara pelaku usaha

keduanya dalam memperoleh izin pertambangan.

b) pertambangan yaitu, pada KP, izin diberikan sesuai dengan tahapan

kegiatan pertambangan yaitu eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan

serta pengangkutan, sedangkan pada KK kegiatan pertambangan

tidak berikan berdasarkan tahapan tetapi secara sekaligus mulai dari

eksplorasi sampai dengan operasi produksi (eksploitasi). Hal ini

berakibat adanya diskriminasi perlakuan

c) Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonomi dalam

konteks pertambangan mengandung makna semua KK dan PkP2B

menjadi kewenangan Pemerintah untuk mengelolanya, namun

peraturan ini pun tidak dihiraukan kebanyakan Kabupaten/Kota

sehingga banyak pengawasan dilakukan Kabupaten terhadap KK dan

PKP2B yang seharusnya merupakan kewenangan Pemerintah.

d) Untuk menghindari ketidakpastian dan keragu-raguan pengusaha

tentang status existing contract

Konsep pertambangan di Indonesia sebelumnya memakai konsep kontrak

karya/perjanjian karya, dimana negara diposisikan sebagai pelaku business hal ini

sebagaimana yang sebelumnya diatur didalam ketentuan UU No.11 Tahun 1967

32
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dalam Pasal 10 istilah yang

digunakan adalah perjanjian karya, dimana dalam pasal tersebut diatur sebagai

berikut: 25

a) Menteri dapat menunjukan pihak lain sebagai kontraktor apabila

diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau

tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau

Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa

pertambangan.

b) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang

dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan

Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk,

dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.

c) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini mulai berlaku

sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan

Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a

sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam pasal

13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk

penanaman modal asing.

Seiring berkembangnya dunia pertambangan di Indonesia kemudian DPR RI

merubah UU No.11 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan

25 Indonesia. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pertambangan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 2831. Pasal 10

33
menggantinya dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan

batubara, perubahan yang paling mendasar adalah perubahan rezim kontrak

menjadi rezim perizinan. Namun sepertinya pemerintah tidak menghapuskan secara

total mengenai ketentuan aturan kontrak yang telah ada sebelumnya, hal tersebut

dapat dilihat dalam Pasal 169 a UU Minerba bahwa dalam UU tersebut secara jelas

masih mengakui adanya kontrak karya yang menyebutkan bahwa: “Kontrak Karya

dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum

berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya

kontrak/perjanjian”.

Ketentuan tersebut tentu menimbulkan ketidakjelasan posisi pemerintah

dalam hal pengelolaan pertambangan. Walaupun dalam hal ini pemerintah

kedudukanya lebih tinggi sebagai governmnent bukan sebagai pelaku business

namun pengakuan terhadap adanya Kontrak Karya merupakan ketidaktegasan

pemerintah dalam perubahan rezim perizinan pengelolaan sumber daya alam di

Indonesia.

Pada tahun 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 tentang

Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian

Mineral di Dalam Negeri. Pasal 17 Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 menyebutkan,

pemegang Kontrak Karya dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar

negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun dengan ketentuan melakukan

perubahan bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi Izin Usaha

34
Pertambangan Khusus Operasi Produksi dan membayar bea keluar serta memenuhi

batasan minimum pengolahan. Disini menunjukkan bahwa jika PT Freeport

Indonesia ingin melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri maka harus

mengajukan perubahan status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan

Khusus.

Berdasarkan siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor

00115.Prs/04/SJI/2017, tanggal 29 Agustus 2017 tentang Kesepakatan Final

Perundingan Antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia dihasilkan halhal sebagai

berikut: 26

a) Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan

PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan

Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).

b) Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk

kepemilikan Nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan

divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari

Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.

c) PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan

pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambatlambatnya

sudah harus selesai pada 2022, kecuali terdapat kondisi force

majeur.

26.https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/kesepakatan-final-

perundinganantara-pemerintah-dan-pt-freeport-indonesia, Kesepakatan Final Perundingan


Antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia, diakses pada tanggal 29 September 2018 Pukul
09.00 WITA

35
d) Stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan negara secara agregat

lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini,

yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang

terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.

e) Setelah PT Freeport Indonesia menyepakati 4 poin di atas,

sebagaimana diatur dalam IUPK maka PT Freeport Indonesia akan

mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun

hingga tahun 2041.

Perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (FI)

telah memasuki babak klimaksnya. Semenjak diberlakukan Peraturan Pemerintah

(PP) No. 1/2017 tentang Perubahan Keempat PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan aturan turunannya,

menunjukan Indonesia yang semakin berdaulat diatas negeri sendiri. Kedudukan

Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga

semakin tercermin di PP ini.

Melihat perkembangan dan sejarah, polemik pengelolaan wilayah tambang

Timika oleh PTFI telah berlangsung cukup lama. Pada tahun 2014, Pemerintah

mengeluarkan PP No. 77/2014 yang merupakan perubahan ke 3 dari PP No.

23/2010. Dalam peraturan ini, Freeport wajib melakukan divestasi minimal 30%,

membayar bea keluar dan wajib membangun fasilitas pemurnian/smelter. Pada

faktanya, Freeport belum juga menyelesaikan fasilitas pemurnian sesuai kapasitas

36
tertentu sebagaimana mestinya hingga tahun 2017. Hingga kini, baru 9,36% saham

PTFI yang dikuasai pemerintah Indonesia.

Namun dengan diterbitkannya PP No 1/2017, Pemerintah mewajibkan

divestasi sebesar 51% atau lebih besar dari minimal 30% sebagaimana diamanatkan

PP No. 77/2014, setelah 50 tahun lebih perusahaan raksasa tersebut mengeruk

kekayaan tambang Pulau Papua, Indonesia. Status Freeport yang semula berupa

Kontrak Karya (KK) dan memiliki kedudukan sama dengan pemerintah pun kini telah

berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dimana negara sebagai

pemberi izin memiliki posisi lebih tinggi terhadap perusahaan pemegang izin.

"Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan Freeport akan

berupa IUPK, bukan berupa KK. Ke depan tidak ada lagi KK, tapi IUPK. Ada stabilitas

penerimaan negara yang besarannya akan lebih baik dari pada KK", berdasarkan

ungkapan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan.

Selain hal diatas, dengan adanya jaminan fiskal dan hukum, penerimaan

negara yang diterima akan lebih besar bila dibandingkan dengan KK. Ini

membuktikan bahwa penyelesaian perundingan secara baik bersama PT Freeport

menunjukan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah untuk

menjaga kedaulatan sumber daya mineral Indonesia.27

PT Freeport Indonesia telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK) yang berlaku selama 8 bulan, yang mulai berlaku tanggal 10 Februari 2017

27.https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/hasil-perundingan-

pemerintahfreeport-negara-makin-berdaulat-di-negeri-sendiri, Hasil Perundingan Pemerintah


dan PT Freeport : Negara Makin Berdaulat di Negeri Sendiri, diakses pada tanggal 29 September
2019, pukul 09.30 WITA

37
sampai dengan 10 Oktober 2017. Dengan IUPK yang sifatnya sementara itu,

Freeport bisa mengekspor konsentrat lagi sampai 10 Oktober 2017.28

28.https://finance.detik.com/energi/3466745/penjelasan-lengkap-esdm-soal-pemberianiupk-

ke-freeport, Penjelasan Lengkap ESDM Soal Pemberian IUPK ke Freeport, diakses pada tanggal
28 September 2018 pukul 11.00 WITA

38
BAB III

Risiko Hukum yang ditimbulkan atas peralihan Kontrak Karya PT. Freeport

Indonesia terhadap Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam

sistem Kedaulatan Negara

Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia (Freeport) dinilai punya

posisi yang seimbang karena status kontak dalam tatanan hukum perdata bahwa

Indonesia sebagai subjek hukum yang sama dengan Perusahaan sebagai subjek

hukum perdata yang sepakat mengikat janji berupa Kontrak Karya.29 Bahwa bila

selama ini Freeport berpegang pada Kontrak Karya atas kesepakatan dengan

pemerintah Indonesia dan mengesampingkan ketentuan perundang-undangan

terkait operasi pertambangan karena beranggapan satu-satunya hal yang perlu

ditaati adalah kesepakatan bersama sebagaimana asas pacta sunt servanda. 30

Pendapat terkait asas sanctity of contract yang merupakan asas tentang kesucian

sebuah kontrak jika sudah disepakati oleh kedua belah pihak sebagaimana asas ini

diaplikasi di Indonesia pada pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa

semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Menjadi suatu hal yang harus dihormati sebagai

suatu ketentuan pokok peraturan perundang-undangan.

Kontrak merupakan kesepakan bersama yang menjadi sangat penting untuk

ditindaklanjuti. Disamping itu para pihak bebas untuk menentukan terkait point-point

kesepakatan, syarat yang harus dipenuhi para pihak serta hal-hal terkait yang

29 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika 2007), hal. 148

39
dianggap perlu dalam kontrak. Hal yang menjadi pertanyaan kini adalah mengenai

esensi asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Asas kebebasan berkontrak tidak

hanya dikenal dalam sistem hukum Indonesia, tetapi dikenal juga dalam sistem

hukum negara lain, seperti dalam sistem hukum Amerika. Istilah asas kebebasan

berkontrak berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu the principle of freedom of

contract, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Principe vrijheid

verbintenis. 30
dalam sistem hukum Indoensia asas kebebasan berkontrak

sebagaimana ditemukan pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Ketentuan ini mengandung makna bahwa bahwa kontrak yang dibuat oleh

oleh para pihak keberlakuannya sama dengan undang-undang. Kontrak hanya

berlaku bagi para pihak, sementara undang-undang berlaku berlaku bagi warga

negara. Jadi, kontrak sifatnya kongret, sedangkan yndang-undang sifatnya

abstrak.31

Sebagai suatu hal yang penting untuk dianalisis terkait pandangan dari

beberpa ahli terkait kontrak, sehingga ditemukan esensi terkait asas kebebabasan

kontrak sebagaimana kita pahami kedudukannya di dalam hukum. Menurut

Cetherine Elliot dan Frances Quinn mengemukan pengertian asas kebebabasan

berkontrak bahwa :

“This Doctrine promotes the idea that since parties are tahe best
judges of their own interests, they should be free to make contract on any
terms they choose on the assumption that nobody would unfavourable
terms. Once this choice is made, the job of the court is simply to act as an

30 Salim H.S, Hukum Divestasi di Indonesia, (Jakarta :Penerbit Erlanggga), hal 14


31 Ibid

40
umpire, holding the parties to their promises; is not the courts’ role to ask
whether the bargain made was a fair one.” 32
Doktrin ini mengemukakan sebuah ide bahwa para pihak merupakan hakim

yang terbaik untuk kepentingan mereka sendiri. Para pihak harus bebas membuat

kontrak dan menggunakan istilah yang mereka pilih dengan asumsi bahwa tidak

akan ada istilah yang tidak menguntungkan para pihak. Bahwa subtansi dari kontrak

itu adalah kehendak merdeka yang menguntungkan para pihak sehingga setelah

pilihan ini dibuat, tugas pengadilan hanya untuk bertindak sebagai wasit, apakah

para pihak telah memenuhi isi perjanjian yang telah mereka buat atau sebaliknya.

Senada juga dengan J.M. Van Dunne dan Gr. Van Der Burght mengemukakan

pengertian asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:

“Bahwa orang bebas untuk mengadakan perjanjian menurut pilihannya. Ini


meliputi bahwa setiap orang bebas sesuai kehendaknya mengadakan perjajian,
dengan siapa saja, bebas menetapkan isi, perlakuan dan syarat-syarat sesuai
kehendaknya, bebas untuk menentukan bentuk perjanjian, bebas untuk memilih
ketentuan-ketentuan yang mana ia mau perlakukan. Asas ini tidak ditetapkan secara
terperinci dalam suatu peraturan perundangundangan.”33
Bahwa kemerdekaan dalam berkontrak itu merupakan kebebasan para pihak

dimana itikad baik menjadi kesepahaman bersama dalam membuat kontrak berikut

dengan pelaksanaan sehingga jelas penjabaran secara tersurat tidak perlu dibuat

dalam undang-undang, tetapi keagungan kesepakatan menjadi norma bersama.

Pengertian asas kebebasan berkontrak juga di kemukakan oleh Sutan Remy

Sjahdeini, yaitu :

32Cetherine Elliot dan Frances Quinn, Contract Law,(London : Pearson Education, 2005), hal. 3-4.
33J.M Van Dunne dan Gr. Van Der Burght, Hukum Perjanjian. Diterjemahkan oleh Lely Niwan.
(Yogyakarta : Dewan kerjasama ilmu hukum Belanda dan Indonesia Proyek Hukum Perdata,
1987), hal. 7.

41
“Kebebasan para pihak yang terlihat dalam suatu perjanjian untuk dapat
menyusun dan menyetujui klausul-klausul dalam perjanjian tersebut tanpa campur
tangan pihak lain. Campur tangan tersebut dapat datang dari negara melalui
peraturan perundang-undangan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang
diperkenankan atau dilarang.campur tangan tersebut dapat datang dari pengadilan,
berupa putusan pengadilan yang membatalkan sesuatu klausul dari suatu perjanjian
atau seluruh perjanjian, atau beberapa putusan yang berisi peryataan bahwa suatu
perjanjian batal demi hukum.”34
Pandangan ini bersifat dualisme dimana di satu sisi menerikan kebebabasan

kepada para pihak untuk menyusun dan menyetujui klausul-klausul, namun di sisi

yang lain adanya campur tangan negara dan pengadilan. Dengan adanya campur

tangan ini mengindikasikan bahwa negara dengan fungsinya mengatur kemudian

secara teori dengan kedaulatannya mampu mencampuri urusan subjek hukum

terkait hal yang berimplikasi pada kepentingan negara yang lebih luas untuk umum.

Campur tangan negara melalui udang-undang, sedangkan bentuk campur tangan

pengadilan adalah dalam putusan putusan pengadilan yang membatalkan klausul-

klausul yang dibuat para pihak. Ini menunjukkan bahwa asas kebebasan berkontrak

tidak lagi diberikan makna kebebasan yang mutlak karena udang-undang dan

putusan pengadilanlah yang membatasi kebebasan individu.

Terobosan baru Pemerintah Indonesia dalam mengatur operasi kegiatan

dibidang pertambangan khususnya Mineral dan Batubara, pada 10 februari 2017

Menteri ESDM Ignasius Jonan, menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK). Terkait IUPK Produksi untuk PT Freeport Indonesia. IUPK tersebut diberikan

agar PT. Freeport Indonesia dapat melanjutkan kegiatan operasi dan produksinya di

34 Sutan Remy Sjahdeini, kebebasan berkontrak dan perlindungan Yang Seimbang bagi para
pihak dalam perjanjian kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institute Bankir Indonesia, 1993), hal.
11.

42
Tambang Grasberg di Papua. Sebab, berdasarkan Pasal 170 Undang Undang

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba),

pemegang Kontrak Karya diwajibkan melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5

tahun sejak UU diterbitkan, berarti pada tahun 2014.

Jadi secara norma ada konsekuensi hukum yang harus ditaati artinya PT.

Freeport Indonesia sebagai pemegang Kontrak Karya tak bisa lagi mengekspor

konsentrat tembaga, hanya produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor.

Secara faktual bahwa perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika

Serikat (AS) ini baru bisa memurnikan 40% dari konsentrat tembaganya di Smelter

Gresik. 35
Tetapi Freeport menolak IUPK dan izin ekspor yang diberikan pemerintah.

IUPK dinilai tidak memberikan kepastian dan stabilitas untuk jangka panjang.

Freeport ingin mempertahankan hak-haknya seperti di dalam KK.dalam hal ini

termasuk pajak, royalty, dan syarat divestasi saham 51% sebagaimana

diperjanjikan. Sehingga muncul permasalahan bagi kedua belah pihak terkait

pemahaman kesepakatan dalam Kontrak Karya II sehingga disini pemerintah

Indonesia dirasa menjadi pihak yang tidak diuntungkan jika kontrak karya tidak

dialihkan menjadi IUPK. Pemahaman terkait perbedaan dasar antara Kontrak Karya

dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus yaitu terletak pada pemaknaan bahwa

status perjanjian, KK adalah “Kontrak” dan IUPK ialah “Izin”.

Dalam ketentuan Kontrak Karya bahwa PT Freeport Indonesia dan

Pemerintah Indonesia adalah dua pihak yang berkontrak, jadi kedudukannya sejajar.

35.https://finance.detik.com/energi/3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akarmasalah-

freeport-apa-bedan Diakses pada 28 September 2018, pukul 21.29 WITA

43
Sedangkan IUPK sendiri memposisikan Negara sebagai pihak pemberi izin yang

kedudukannya diatas perusahaan, dalam posisi ini peusahaan pihak pemegang izin.

Jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan peraturan

pelaksananya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebutkan berbagai

hak dan kewajiban bagi pemegang IUPK, yang tentunya berbeda dengan hak dan

kewajiban pada rezim Kontrak Karya.36

Bahwa sistem pengelolaan mineral dan batubara di indonesia saat ini bersifat

pluralistik karena berlakunya beraneka ragam kontrak atau izin pertambangan baik

yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Minerba maupun setelah berlakunya Undang-undang ini. Sistem pengelolaan mineral

dan batubara saat ini meliputi : Kontrak karya, Perjanjian karya Pengusahaan

Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Pertambangan Rakyat, Kuasa Pertambangan

(KP), Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK).38 Istilah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berasal dari terjemahan

bahasa ingris, yaitu Special mining permit atau special mining licence, sedangkan

dalam bahasa Belanda sendiri disebut dengan istilah speciale mijnbouwlicencetie.

Dalam peristilahan bahasa Jerman diebut dengan Istilah besondere bergbau.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ini

merupakan izin untuk melakukan usaha pertambangan di wilayah yang ditetapkan

sebagai wilayah izin usaha pertambangan, dimana izin tersebut diberikan oleh

penerbit izin kepada pemegang IUPK untuk melakukan usaha pertambangan di

36Salim.H.S. “Hukum Pertambangan Mineral dan batubara”, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal.
156.

44
wilayah IUPK sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-

udang.

Terkait beberapa hal yang menjadi titik berat PT Freeport Indonesia tak

kunjung menyepakati peralihan KK ke IUPK dengan dalih IUPK tidak ada kepastian

hukum oleh PT Freeport diataranya pasal 131 Undang-Undang No 4 tahun 2009

menyebutkan besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang

dipungut dari pemegang IUPK ditetepkan berdasarkan ketentuan Peraturan

perundang-undangan, disini terlihat bahwa IUPK bersifat Prevailing, yang mana

mengikuti aturan perpajakan yang berlaku, sehingga perubahannya mengikuti

aturan perpajakan terkait berlaku.

Sedangkan PT. Freeport sendiri ingin pengaturan terkait pajak sebagaimana

aturan dalam Kontrak karya yang besarannya stabil yang berarti sejak kesepakatan

disepakati maka besarannya tidak berubah-ubah hingga masa kontrak berakhir

(naildown). Soal kewajiban melakukan pemurnian, sebetulnya pemurnian mineral di

dalam negeri ini merupakan kewajiban yang tersirat dalam Kontrak Karya maupun

Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kemudian terkait ketentuan pasal 102

sdan 103 Undang-Undang No 4 tahun 2009 tidak memberikan batasan waktu

kepada pemegang IUPK untuk merampungkan pembangunan smelter (Sarana

prasarana pengelolaan dan pemurnian) sedangkan untuk pemegang Kontrak karya

ada batasan waktunya.

Kemudian dipertegas terkait limitatif waktu terkait pembangunan smelter

pada pasal 170 Undang-udang Minerba yaitu dalam waktu 5 tahun sejak undang-

45
udang diundangkan. Oleh sebab itu pemerintah menawarkan IUPK kepada Freeport.

Satu-satunya jalan yang memungkinkan Freeport tetap mengekspor konsentrat

adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK. Jika pemerintah memberikan izin

ekspor tapi PT. Freeport tetap berpegang pada KK, secara normatif akan terjadi

pelanggaran terhadap UndangUndang No 4 tahun 2009. Baik pemerintah maupun

Freeport semuanya terikat oleh Undang-Undang No 4 tahun 2009.

Ketentuan lain yang disesuaikan dari kespakatan Kontrak Karya II tahun

1991 kemudian dibuat lebih terperinci dalam Undang-Undang No 4 tahun 2009.

Mengenai kewajiban Divestasi. Bahwa Perusahaan Asing pemegang IUPK wajib

melkukan divestasi saham kepada pemerintah Indonesia hingga 51% secara

bertahap sejak melakuakn kegiatan produksi tambang. Dalam hal ini PT. Freeport

masih memegang KK maka jika beralih pada IUPK secara yuridis PT. Freeport harus

segera melepas 51% sahamnya karena sudah puluhan tahun berproduksi.

Secara subtantif hal ini diaatur dalam pasal 97 Peraturan Pemerintah nomor

1 Tahun 2017. Terkait pengecualian kemudian pemerintah mengambil konsensus

atas hal-hal dianggap menjadi intensif bagi PT. Freepert untuk melaksakaan

kewajiban hukum berdasarkan kesepakatan kontrak. Yaitu kesepakatan amandemen

KK antara pemerintah dengan PT. Freeport yang tertuang dalam Memorandum of

Understanding (MoU) tanggal 25 Juli 2014 dimana disepakati empat butir

kesepakatan yaitu royalti emas naik dari satu persen menjadi tiga koma tujuh lima

persen, perak naik dari satu menjadi tiga persen, dan tembaga dari tiga menjadi

empat persen. Terkait divestasi disepakati tiga puluh persen saham dan luas lahan

46
menjadi 10.000 ha untuk eksploitasi dan 117.000 ha sebagai penunjang. Untuk

kelangsungan operasi pertambangan dalam MoU disebutkan kalau kontrak berakhir,

maka dilanjutkan dengan rezim perijinan yakni ijin usaha pertambangan khusus

(IUPK). Jadi tidak ada kemungkinan perpanjangan Kontrak Karya. Point selanjutnya

kewajiban penggunaan kandungan lokal. Terkait besaran pemanfaatan lokal konten

ini akan ditentukan pemerintah kemudian. 37


Jadi jika dilihat dari kesepakatan ini

jelas bahwa Kontrak Karya itu bukanlah suatu kontrak mutlak tapi merupakan

kesepakatan yang bisa ditinjau kembali menyesuaikan dengan perkembangan yang

ada.

Mengenai yang dimaksud divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan,

pengurangan modal. Disebut juga Divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan

yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh investor asing untuk secara

bertahap secara pasti mengalihkan saham-sahamnya itu kepada mitra bisnis lokal

(host country) istilah lain untuk untuk kebijakan yang ada di Indonesia disebut

Indonesianisasi saham. 38
Dalam aturan main dunia bisnis dapat berarti pula sebagai

tindakan perusahaan memecah konsentrasi atau pemupukan modal sahamnya

sebagai akibat dari larangan terjadinya monopolisasi.39 Secara kontraktual bahwa

kewajiban divestasi dipahami sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PT

Freeport Indonesia sebagai komitmen yang tertuang dalam butir-butir kesepakatan

37.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53d247f7e85e1/freeport-teken-

mourenegosiasi-kontrak. diakses pada 29 September2018, pukul 19,38 WITA


38 Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan pasar Modal, (Jakarta :

Sinar Grafika, 201, hal 116


39 Iwan Dermawan, Kewajiban Divestaasi Saham Pada Penanaman Modal Asing Bidang

Pertambangan Umum (Studi kasus pada Perjanjian Kontrak Karya antara PT NTT dengan
Pemerintah Indonesia)(Depok:Fakultas Hukum Universitsa Indonesia, 2009), hal.2

47
para pihak yang tertulis pada kontrak. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1320-

1338 KUH Perdata perjanjian menjadi satu kesepahaman yang harus ditaati secara

sukarela sesuai dengan undang-undang jika terjadi wanprestasi maka konsekuensi

hak dan kewajiban yang harus dipaksakan dengan sanksi-sanksi sebagaimana

diatur. Kesepakatan divestasi 51% saham ini yang belum menemukan titik

kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport, karena jika kepemilikan

saham 51% oleh pemerintah Indonesia otomatis PT Freeport berada pada posisi

pemegang saham minoritas sehingga beberapa hal terkait pengelolaan baik secara

langsung maupun tidak akan berpengaruh juga, terlebih terkait kebijakan strategis

perusahaan misalnya pembagian deviden, royalty, pajak, pengelolaan tambang dan

lainnya.40

Kemudian terkait soal perpanjangan kontrak sebagaimana yang diinginkan

oleh pihak PT. Freeport Indonesia, sebetulnya IUPK memberikan ruang bagi PT

Freeport segera memperoleh izin perpanjangan operasi tambang hingga 2041. Pada

pasal 72 Perturan Pemerintah nomor 1 tahun 2017 memberikan instensif bahwa

memungkinkan IUPK diperpanjang lima tahun sebelum berakhirnya jangka waktu

IUPK. Secara limitatif waktu Kontrak Karya berakhir pada tahun 2021 41
jika PT.

Freeport mau mengganti KK kedalam bentuk IUPK maka secara kespakatan antara

PT Freeport dan Pemerintah Indonesia sebagaimana siaran pers Kementerian Energi

40.http://www.beritasatu.com/ekonomi/341069-pemerintah-bisa-memutuskan-

ambilalih-tambang-freeport-2019.html diakses pada tangal 22 September 2018, pukul 21.12


WITA
41.http://www.beritasatu.com/ekonomi/341069-pemerintah-bisa-memutuskan-

ambilalih-tambang-freeport-2019.html diakses pada tangal 22 September 2018

48
dan Sumber Daya Mineral Nomor 00115.Prs/04/SJI/2017. 42
Dalam salah satu point

kesepakatan tersebut bahwa Landasan hukum yang mengatur hubungan antara

Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan

Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).

Sehingga memberikan ruang terbuka untuk PT Freeport memperpanjang izin

operasi pertambangannya, bahwa sudah bisa disepakati pada tahun 2017 dengan

dua kali sepuluh tahun artinya sampai tahun 2041 karena landasan kesepahaman

terkait pengalihan rezim KK ke IUPK. Akan tetapi jika PT Freeport tetap bersikeras

pada rezim KK maka pasal 112 B ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun

2014 sebagaimana diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017

yang menetapkan bahwa Menteri ESDM baru dapat memberikan perpanjangan di 2

tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, kepastian perpanjangan baru bisa

diperoleh Freeport pada 2019.

Jadi, dapat ditarik satu kesepahaman bahwa sebenarnya IUPK lebih

memberikan kepastian hukum bagi investor asing, PT Freeport lebih terjamin

perlindungan hukumnya dan kepastiaan izin operasinya sehingga tidak terkendala

terkait operasi tambang dengan investasinya yang besar bernilai kurang lebih USD

10 Miliar pada tambang bawah tanah Grasberg dan komitmen membangun smelter

yang berimplikasi pada efisiensi produksi dan biaya produksi, IUPK secara tegas

42.https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/kesepakatan-final-

perundinganantara-pemerintah-dan-pt-freeport-indonesia, Kesepakatan Final Perundingan


Antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia, diakses pada tanggal 29 semtember 2018

49
memberikan kemudahan tersebut. 43
Jika dianalisis lebih jauh Pemerintah Indonesia

berada pada posisi yang cukup kuat dalam hukum dalam menghadapi PT Freeport,

baik dalam negosiasi mauapun dalam hal terjadi sengketa terkait hak dan kewajiban

yang tidak sesuai kesepakatan. Ada beberapa alasan kedudukan pemerintah sebagai

regulator dengan wewenangnya membuat peraturan perundang-undangan,

keberlakuan secara asas fiksi hukum dimana setiap orang dianggap mengetahui

suatu peratauran perundang-undangan tanpa perlu mendapat persetuan langsung

maupun tidak langsung. Dalam mengeluarkan regulasi tersebut, pemerintah

bertindak sebagai subjek hukum publik.

Menurut Sudikno Mertokusumo, subjek hukum adalah segala sesuatu yang

dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum atau yang disebut dengan

kewenangan hukum. Subjek hukum pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum,

baik yang dianggap cakap bertindak sendiri maupun yang tidak dianggap tidak

cakap bertindak sendiri. 44


Sebagai subjek hukum publik, pemerintah dapat

memaksakan aturan yang dibuatnya dengan melakukan penegakan hukum. Apabila

rakyat atau pelaku usaha keberatan dengan aturan yang dibuat pemerintah sebagai

subjek hukum public, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di

Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, tergantung pada produk

hukumnya. Kembali pada teori kedaulatan negara bahwa kedaulatan yang tidak bisa

diganngu gugat adalah kedaulatan negara atas kepentingan umum. Sehingga tidak

43.http://mediaindonesia.com/news/read/106062/nilai-investasi-tambang-bawah-

tanahfreeport-capai-10-milyar-dollar/2017-05-24 diakses pada 30 September 2018


44 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Ed. V. Cet. IV.(Yogyakarta:

Penerbit Liberty. 2008), hal 74.

50
ada bisa melawan kedaulatan tersebut karena sifatnya mutlak hanya dimiliki oleh

Negara.

Alasan selanjutnya, bahwa Kontrak Karya II tahun 1991 harus tunduk pada

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Namun berpedoman pada aturan dasar

terkait perjanjian harus memenuhi syarat perjanjian yang sah berdasarkan Pasal

1320 KUHPerdata yang salah satunya adalah suatu sebab yang tidak terlarang. Pasal

1337 KUHPerdata kemudian menyatakan suatu sebab adalah terlarang, jika sebab

itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan

atau dengan ketertiban umum. 45

Berangkat dari teori Utilitas bahwa kebermanfaatan menjadi ukuran terkait

suatu hal yang menyangkut kepentingan umum bagi suatu negara begitupun terkait

ketentuan IUPK ini jelas membawa manfaat lebih besar bagi Pemerintah Indoensia

dan PT Freeport sendiri. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Kontrak

Karya II Tahun 1991 harus tunduk pada ketentuan terkait Undang-Undang No 4

tahun 2009 dan Peraturan pelaksananya. Ada pun dalam Pasal 23 Kontrak Karya II

tahun 1991 sudah diatur kewajiban PT. Freeport untuk menaati hukum nasional dari

waktu ke waktu. Ketentuan ini menjadi kata kunci yang membuat PT. Freeport harus

mengikuti berbagai aturan di Indonesia. Terkait hukum perdata internasional

mengenai asas nasionalitas bahwa dimana suatu kegiatan atau perusahaan itu

45 Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta : PT. Tatanusa, 2012),
hal 258.

51
berada maka harus tunduk kepada tata hukum yang berlaku di negara tersebut.

Alasan selanjutnya, tercatat bahwa PT Freeport telah melakukan pengingkaran

terhadap beberapa kententuan yang disepakati dalam Kontra Karya II tahun 1991,

adapun pelanggaran antara lain terkait pada pasal 24 Kontrak Karya 1991 diatur

klausul kesepakatan bahwa PT Freeport harus melepas sahamnya sejumlah 51%

kepada Pemerintah Indonesia (Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha

Milik Negara dan Badan Usaha Nasional Swasta) dalam jangka waktu 20 tahun sejak

kesepakatan dalam hal ini Kontrak Karya ditandatangani, dalam hitungan yaitu

paling lambat tahun 2011, atau PT Freeport Indonesia melepas saham sebesar 45%

jika 20% saham PT Freeport sudah dimiliki pemerintah secara bertahap

sebagaimana kehendak Undangudang nomor 4 tahun 2009. Namun PT Freeport

hanya memberikan saham sebesar 9,36% sampai hari ini, kemudian pada tahun

2014 pelepasan saham 10,64% dengan harga penawaran dengan harga US $ 1,7

Miliar atau setara Rp 23 Triliun, tentu harga ini cukup tinggi padahal kita tahu di

New York Stock Exchange Nilai 100% (seratus persen) saham Freeport McMoRan

tercatat US $ 4,8 Miliar, artinya penawaran 10,64 persen kepada pemerintah

Indonesia lebih dari 3 (tiga) kali lipatnya. 46


Hal ini dilakukan untuk memenuhi

perjanjian 20% sebagaimana ketentuan dalam Kontrak oleh PT Freeport.

Melihat fakta ini artinya tidak ada itikad baik PT. Freeport Indonesia ini untuk

memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam PP No 1 Tahun 2017. Dalam bisnis

terkait itikad baik (good faith) menjadi sangat penting sebagai dasar kesepakatan

46 Majalah Energi Aktual.com Divestasi saham PT Freeport, dilemma bagi pemerintah.


Vol 21 Desember 2015. Hal 14

52
dibuat karena itikad baik menurut Subekti adalah bahwa dalam menjalankan suatu

perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. 47


Selain itu,

dalam Pasal 10 ayat 4 Kontrak Karya 1991 juga sudah diatur tentang kewajiban

pembangunan smelter oleh PTFI, namun pada tahun 2014 PTFI tetap tidak bersedia

membangun smelter.

Artinya secara faktuil dapat dipandang rezim kontrak antara PT Freeport dan

pemerintah ini rentan disalahtafsirkan Pihak dominan dalam kepemilikan saham,

sehingga negara seperti tidak punya kedudukan kuat dengan kewenangan yang

dimilikinya. Sehingga penting kiranya IUPK menjadi pedoman bagi Investor maupun

perusahaan asing yang ingin melakukan usaha pertambangan di Indonesia.

Sebagai negara berdaulat dan kembali pada falsafah Pasal 33 UUD 1945

bahwa bumi air dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

haruslah dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sehingga

sebagai implikasinya negara berposisi sebagai pemilik atas sumberdaya tambang

minerba dan investor ataupun perusahaan asing sebagai entitas yang harus

mengajukan izin jika ingin ikut serta mengelola sumber daya alam Indonesia.

47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Cetakan ke-29, Jakarta: Intermasa, 2001, hlm.


139

53

Anda mungkin juga menyukai