Anda di halaman 1dari 29

PATRIOT

Volume 12 Nomor 2 Desember 2019


P-ISSN: 1979-7052
Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni

PERALIHAN HAK ATAS TANAH BANDARA


RENDANI MANOKWARI

Fileks Melanton Labobar, Christiforus Skukubun,


Fingki Darmawati, Ainunnazhir
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni
E-mail: filexlabobarmelantonfilexlabob@gmail.com

ABSTRAK

Peraturan Perundang-undangan telah mengatur Peralihan Hak Atas Tanah Untuk


Kepentingan Umum secara komprehensif, mulai dari Subyek (Pihak Yang
Berhak) dan Obyek (Obyek Pengadaan Tanah) dan juga tahapan perencanaan,
persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, serta pelaksanaan pembangunannya.
Kata kunci: Peralihan hak, tanah bandara.

I. PENDAHULUAN

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat penting. Setiap


manusia hidup dan melakukan aktivitas di atas tanah, dapat dikatakan kegiatan
hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan
tanah. Karena pentingnya tanah, sehingga dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945
negara menguasai keberadaan tanah dengan menyebutkan: Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan
hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang
lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik
kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan
penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah.1
Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut maka diundangkanlah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU
5/1960 atau UUPA). Sejak diundangkannyaUU 5/1960, maka bangsa Indonesia
telah memiliki Hukum Agraria Nasional. Di dalam konsiderans UU 5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air
dan ruang angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan

1
http://www.kompasiana.com/mas_bedjo/peranan-undang-undang-pokok-agraria-bagi-
masyarakat-indonesia-yang-bersifat-agraris_54f4193a745513a42b6c8618, diakses 28-6-2016.

23
P-ISSN: 1979-7087

atas tanah terutama tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam
pembangunan masyarakat.2
Karena pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang atau
kelompok orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya, sehingga
kadangkala muncul sengketa tanah dalam masyarakat. Sebagai salah satu contoh
adalah masalah tanah Bandar Udara (Bandara) Rendani Manokwari.
Ratusan warga dari 5 suku di Manokwari, Papua Barat memblokade
gerbang utama Bandara Rendani, yang mana warga masyarakat menuntut
pemerintah membayar ganti rugi atas tanahnya yang dijadikan Bandara. Akibatnya,
penumpang dari 2 maskapai penerbangan Express Air dan Sriwijaya Air terlantar
di sepanjang jalan masuk menuju Bandara Rendani. Setelah menunggu hingga 1
jam lebih, penumpang pun belum dapat masuk ke bandara. Warga mengancam baru
akan membuka blokade, jika pemerintah membayar Rp 5 miliar dari total 80 miliar
yang diminta warga pemilik tanah Hak Ulayat.3

Gambar 1. Pemalangan Bandara Rendani

http://news.liputan6.com/read/683181/video-tuntut-ganti-rugi-
Sumber: ratusan-warga-blokir-bandara-rendani, diakses 28-6-2016

Pemerintah Kabupaten Manokwari, pada tanggal 3 Juni 2016, telah


menyelesaikan pembayaran sisa tanah Bandara Rendani Manokwari, sebesar Rp
6.560.000.000 (Enam Milyar Lima Ratus Enam Puluh Juta Rupiah). Hal ini
dilakukan untuk melengkapi pembayaran sebelumnya yang berjumlah Rp
55.000.000.000(Lima Puluh Lima Milyar), terhadap areal seluas 129,8 Hektar
tersebut.4

2
Ibid.
3
http://news.liputan6.com/read/683181/video-tuntut-ganti-rugi-ratusan-warga-blokir-bandara-
rendani, diakses 28-06-2016.
4
http://mediapapua.com/news/read/index/16/1249/lunasi-tanah-bandara-rp6560-m-bupati-tak-
boleh-lagi-ada-pemalangan, diakses 28-6-2016.

24
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Bupati Manokwari, Demas Paulus Mandacan, menegaskan tak boleh lagi


ada pemalangan terhadap Bandara Rendani karena pemerintah daerah sudah
melunasinya. “Nilai uang sekarang tak sama dengan nilai uang di masa mendatang.
“Saya harap tak ada lagi yang memalang bandara,” ujarnya. Mandacan mengaku
pemerintah daerah ke depan tak akan berkompromi jika ada pihak-pihak yang ingin
melakukan pemalangan. Dan, dipastikan akan menempuh jalur hukum untuk hal
ini”.
Gambar 2. Pembayaran Sisa Tanah Bandara Rendani Manokwari

Sumber: http://mediapapua.com/news/read/index/16/1249/lunasi-tanah-
bandara-rp6560-m-bupati-tak-boleh-lagi-ada-pemalangan,
diakses 28-6-2016.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan contoh kasus tanah Bandara
Rendani, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang “Peralihan Hak
Atas Tanah Bandara Rendani Manokwari” Bagaimana Implementasi Peraturan
Perundang-undangan mengatur Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan
Umum?

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kewenangan Negara Atas Tanah

Kewenangan negara atas tanah diatur dalam Pasal 2 UUPA, yang


menyebutkan bahwa:
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat
(1) UUPA).
2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk:

25
P-ISSN: 1979-7087

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat
(2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (pasal 2
ayat (3) UUPA).
4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (pasal 2 ayat (4) UUPA).

B. Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum

Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, dapat


dilihat pada pada pasal 18 UUPA yang menyebutkan bahwa: Untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum (UU 2/2012), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Definisi
kepentingan umum ini, sama dengan definisi kepentingan umum yang terdapat
dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Adapun Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap
menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak (Pasal 3 UU 2/2012).
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah untuk
Kepentingan Umum (pasal 4 ayat (1) UU 2/2012).
Dalam pasal 10 UU 2/2012 disebutkan bahwa: Tanah untuk Kepentingan
Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk
pembangunan:
1. pertahanan dan keamanan nasional;
2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;

26
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan


air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
7. jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9. rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
10. fasilitas keselamatan umum;
11. tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
13. cagar alam dan cagar budaya;
14. kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
15. penataan permukiman kumuh perkotaan.
16. prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
17. prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan
18. pasar umum dan lapangan parkir umum.

C. Asas-Asas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan berdasarkan asas:


1. Kemanusiaan
2. Keadilan
3. Kemanfaatan
4. Kepastian
5. Keterbukaan
6. Kesepakatan
7. Keikutsertaan
8. Kesejahteraan
9. Keberlanjutan
10. Keselarasan
Dalam kaitan dengan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, ada istilah Pihak yang Berhak. Menurut pasal 1 angka 3 UU
2/2012, Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek
pengadaan tanah. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum maka pasal 1
angka 2 UU 2/2012 menyebutkan bahwa: Pengadaan Tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak.
Secara lebih rinci dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres 71/2012)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (Perpres 30/2015), disebutkan:

27
P-ISSN: 1979-7087

(1) Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 berupa perseorangan,
badan hukum, badan sosial, badan keagamaan, atau instansi pemerintah yang
memiliki atau menguasai Obyek Pengadaan Tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (pasal 17 ayat (1) Perpres 30/2015).
(2) Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemegang hak atas tanah.
b. Pemegang hak pengelolaan.
c. Nadzir untuk tanah wakaf.
d. Pemilik tanah bekas milik adat;
e. Masyarakat hukum adat.
f. Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik.
g. Pemegang dasar penguasaan atas tanah.
h. Pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peraturan Perundang-undangan Mengatur Peralihan Hak Atas Tanah


Untuk Kepentingan Umum

1. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut UU 2/2012.


Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut UU 2/2012
dengan cara Pelepasan Hak. Pelepasan Hak adalah kegiatan pemutusan
hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga
Pertanahan (Pasal 1 angka 9 UU 2/2012).
Dalam Pelepasan Hak, maka Pihak yang Berhak diberikan ganti
kerugian. Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah (Pasal 1 angka 10 UU 2/2012).
Selanjutnya dalam pasal 59 UU 2/2012, disebutkan: Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum diatur dengan Peraturan Presiden.
2. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Peraturan Presiden.
a. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres
36/2005.
Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres
36/2005 dilakukan dengan cara: (1) Pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah; dan (2) Pencabutan hak atas tanah.
Selengkapnya dalam pasal 2 Perpres 36/2005 menyebutkan:
1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan
cara (pasal 2 ayat (1) Perpres 36/2005):
a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau
b. pencabutan hak atas tanah.
2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan
dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

28
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan


melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah
yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah
(Pasal 1 angka 6 Perpres 36/2005).
Dalam Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, maka Pihak yang
Berhak diberikan ganti rugi. Ganti rugi adalah penggantian terhadap
kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan
tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan
kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi
sebelum terkena pengadaan tanah (Pasal 1 angka 11 Perpres 36/2005).
Pasal 3 Perpres 36/2005, menyebutkan:
1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap
hak atas tanah (Pasal 3 ayat (1) Perpres 36/2005).
2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang
Ada Di Atasnya (UU 20/1961).
Pasal 1 UU 20/1961 menyebutkan: Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden
dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Hak Atas Tanah yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan: Hak-hak atas tanah
sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah: (a) hak milik; (b) hak
guna usaha; (c) hak guna bangunan; (d) hak pakai; (e) hak sewa; (f) hak
membuka tanah; (g) hak memungut hasil hutan; (h) hak-hak lain yang
tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 53 ayat (1) UUPA menyebutkan: Hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang diamksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah
hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan
dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya
di dalam waktu yang singkat.
Pasal 4 ayat (1) UUPA menyebutkan: Atas dasar hak menguasai
dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

29
P-ISSN: 1979-7087

Pasal 2 UUPA menyebutkan:


a) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
b) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk (Pasal 2 ayat (2) UUPA):
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
c) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat (3) UUPA).
d) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
b. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres
65/2006.
Keberdaaan Perpres 36/2005 kemudian diubah dengan: Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres
65/2006).
Pasal 2 ayat (1) Perpres 65/2006, menyebutkan: Pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah.
Pasal 2 ayat (2) Perpres 65/2006, menyebutkan: Pengadaan tanah
selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
Dapat disimpulkan bentuk atau cara pengadaan hak atas tanah untuk
kepentingan umum di dalam Perpres 36/2005 sebagaimana telah diubah
dengan Perpres 65/2006 adalah dengan cara:

30
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

A. Pembebasan tanah (pelepasan hak/penyerahan hak);


B. Pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya sebagaimana
diatur dalam UU 20/1961; dan
C. Peralihan hak (jual beli, tukar menukar, dan cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Perpres 71/2012
Pasal 125 Perpres 71/2012 menyebutkan: Pada saat Peraturan
Presiden ini mulai berlaku, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
serta peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
kecuali untuk proses Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
123.
Pasal 123 Perpres 71/2012 menyebutkan:
1. Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, proses Pengadaan Tanah
yang sedang dilasanakan sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini
diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Peraturan
Presiden ini (ayat 1).
2. Proses Pengadaan Tanah yang sedang dilaksanakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi Pengadaan Tanah yang telah
dituangkan dalam dokumen perencanaan sampai dengan terlaksananya
pelepasan hak dan/atau ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan
negeri (ayat 2).
3. Proses Pengadaan tanah yang sedang dilaksanakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselesaikan paling lama sampai dengan 31
Desember 2014 (ayat 3).
4. Dalam hal proses pengadaan tanah masih terdapat sisa tanah yang belum
selesai sampai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pengadaannya diselesaikan berdasar tahapan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden ini.
Pasal 2 Perpres 71/2012 menyebutkan: Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan:
1. perencanaan;
2. persiapan;
3. pelaksanaan; dan
4. penyerahan hasil.
Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi Ganti Kerugian yang layak dan adil kepada Pihak yang Berhak
(pasal 1 angka 2 Perpres 71/2012). Pihak yang Berhak adalah pihak yang
menguasai atau memiliki Objek Pengadaan Tanah (pasal 1 angka 3 Perpres
71/2012). Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan
bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau
lainnya yang dapat dinilai (pasal 1 angka 4 Perpres 71/2012).
Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemenrintah dan digunakan

31
P-ISSN: 1979-7087

sebesar-besarnya suatu kemakmuran rakyat (pasal 1 angka 6 Perpres


71/2012).
1) Tahap Perencanaan Menurut Perpres 71/2012
Tahap perencanaan seperti apa yang dimaksud? Pasal 3 ayat (1)
Perpres 71/2012 menyebutkan: Setiap Instansi yang memerlukan tanah
bagi Pembanguna Untuk Kepentingan Umum membuat rencana
Pengadaan Tanah yag didasarkan pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
b. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah;
2. Rencana Stategis; dan
3. Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.
Pasal 3 ayat (2) Perpres 71/2012 menyebutkan: Rencana
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disusun
secara bersama-sama oleh Instansi yang memerlukan tanah bersama
dengan instansi terkait atau dapat dibantu oleh lembaga profesional yang
ditunjuk oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres 71/2012, maka Pasal 4 ayat
(1) Perpres 71/2012 menyebutkan: Rencana Tata Ruang Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, didasarkan atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan/atau
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya rencana Pengadaan Tanah tersebut harus tertuang
dalam Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana yang
diatur dalam pasal 5 Perpres 71/2012, yang menyebutkan: Rencana
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disusun dalam
bentuk dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, paling sedikit memuat
(pasal 5 ayat (1) Perpres 71/2012):
a. maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Prioritas
Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
c. letak tanah;
d. luas tanah yang dibutuhkan;
e. gambaran umum status tanah;
f. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
h. perkiraan nilai tanah;
i. rencana penganggaran.
Maksud dan tujuan rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf (a), menguraikan maksud dan tujuan
pembangunan yang direncanakan dan manfaat pembangunan untuk
kepentingan umum (Pasal 5 ayat (2) Perpres 71/2012).
Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Prioritas
Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

32
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

menguraikan kesesuaian rencana lokasi Pengadaan Tanah dengan


Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan
Prioritas Pembangunan (Pasal 5 ayat (3) Perpres 71/2012).
Letak tanah sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c,
menguraikan wilayah administrasi: (a) kelurahan/desa atau nama lain;
(b) kecamatan; (c) kabupaten/kota, dan (d) provinsi, tempat lokasi
pembangunan yang direncanakan (Pasal 5 ayat (4) Perpres 71/2012).
Luas tanah yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, menguraikan perkiraan luas tanah yang diperlukan (Pasal 5
ayat (5) Perpres 71/2012).
Gambaran umum status tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e, menguraikan data awal mengenai penguasaan dan pemilikan
atas tanah (Pasal 5 ayat (6) Perpres 71/2012).
Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, menguraikan perkiraan
waktu yang diperlukan untuk masing-masing tahapan pelaksanaan
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (Pasal 5 ayat
(7) Perpres 71/2012).
Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g, menguraikan perkiraan waktu yang
diperlukan untuk melaksanakan pembangunan (Pasal 5 ayat (8) Perpres
71/2012).
Perkiraan nilai tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
h, menguraikan perkiraan nilai Ganti Kerugian obyek Pengadaan Tanah,
meliputi : tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman,
benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat
dinilai (Pasal 5 ayat (9) Perpres 71/2012).
Rencana penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf i, menguraikan besaran dana, sumber dana, dan rincian alokasi
dana untuk perencanaan, persiapan, pelaksanaan, penyerahan hasil,
administrasi dan pengelolaan, serta sosialisasi (Pasal 5 ayat (10) Perpres
71/2012).
Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disusun berdasarkan studi kelayakan
yang mencakup (Pasal 6 ayat (1) Perpres 71/2012):
a. survei sosial ekonomi;
b. kelayakan lokasi;
c. analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan
masyarakat;
d. perkiraan nilai tanah;
e. dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul
akibat dari Pengadaan Tanah dan pembangunan; dan
f. studi lain yang diperlukan.
Survei sosial ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dilakukan untuk menghasilkan kajian mengenai kondisi sosial

33
P-ISSN: 1979-7087

ekonomi masyarakat yang diperkirakan terkena dampak Pengadaan


Tanah (Pasal 6 ayat (2) Perpres 71/2012).
Kelayakan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurub b,
dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai kesesuaian fisik lokasi
dengan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan untuk
kepentingan umum yang dituangkan dalam bentuk peta rencana lokasi
pembangunan (Pasal 6 ayat (3) Perpres 71/2012).
Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan
untuk menghasilkan analisis mengenai biaya yang diperlukan dan
manfaat pembangunan yang diperoleh bagi wilayah dan masyarakat
(Pasal 6 ayat (4) Perpres 71/2012).
Perkiraan nilai tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, dilakukan untuk menghasilkan perkiraan besarnya nilai Ganti
Kerugian Objek Pengadaan Tanah (Pasal 6 ayat (5) Perpres 71/2012).
Dampak lingkungan dan dampak sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai
dampak lingkungan hidup atau dokumen lingkungan hidup lainnya yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 6 ayat
(6) Perpres 71/2012).
Studi lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f, merupakan hasil studi yang secara khusus diperlukan selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e
dapat berupa studi budaya masyarakat, studi politik dan keamanan, atau
studi keagamaan, sebagai antisipasi dampak spesifik akibat
pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 6 ayat (7) Perpres
71/2012).
Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan Instansi yang
memerlukan tanah atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (1) Perpres
71/2012).
Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh Instansi yang memerlukan tanah
disampaikan kepada gubernur (Pasal 7 ayat (2) Perpres 71/2012).
2) Tahap Persiapan Pengadaan Tanah Menurut Perpres 71/2012
Gubernur melaksanakan tahapan kegiatan Persiapan Pengadaan
Tanah setelah menerima dokumen perencanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) (Pasal 8 ayat (1) Perpres
71/2012).
Dalam melaksanakan tahapan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja (Pasal 8 ayat (2) Perpres 71/2012).
Tim Persiapan Pengadaan Tanah yang selanjutnya disebut Tim
Persiapan adalah tim yang dibentuk oleh gubernur untuk membantu
gubernur dalam melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan,

34
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

pendataan awal lokasi rencana pembanguanan dan Konsultasi Publik


rencana pembangunan (Pasal 1 angka 19 Perpres 71/2012).
Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),
beranggotakan bupati/walikota, satuan kerja perangkat daerah provinsi
terkait, Instansi yang memerlukan tanah, dan Instansi terkait lainnya
(Pasal 9 ayat (1) Perpres 71/2012).
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur membentuk sekretariat
persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah
provinsi (Pasal 9 ayat (2) Perpres 71/2012).
Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),
bertugas (Pasal 10 Perpres 71/2012):
a. melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan;
b. melaksanakan pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
c. melaksanakn Konsultasi Publik rencana pembangunan;
d. menyiapakan Penetapan Lokasi Pembangunan;
e. mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan
Umum; dan
f. melaksnakan tugas lain yang terkait perispan Pengadaan Tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh
gubernur.
Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan kepada
masyarakat pada lokasi rencana pembangunan (Pasal 11 ayat (1) Perpres
71/2012).
Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak dokumen perencanaan Pengadaan Tanah diterima secara
resmi oleh gubernur (Pasal 11 ayat (2) Perpres 71/2012).
Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat informasi mengenai (Pasal 11 ayat (3) Perpres
71/2012):
a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b. letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan;
c. tahapan rencana Pengadaan Tanah;
d. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
e. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pembangunan; dan
f. informasi lainnya yang dianggap perlu.
Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh Ketua Tim Persiapan (Pasal 11 ayat
(4) Perpres 71/2012).
Pemberitahuan rencana pembangunan oleh Tim Persiapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat pada rencana
lokasi pembangunan (Pasal 12 ayat (1) Perpres 71/2012).

35
P-ISSN: 1979-7087

Pemberitahuan secara langsung sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dilaksanakan dengan cara: (a) sosialisasi; (b) tatap muka; atau
(c) surat pemberitahuan (Pasal 12 ayat (2) Perpres 71/2012).
Pemberitahuan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui media cetak atau media elektronik
(Pasal 12 ayat (3) Perpres 71/2012).
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi kegiatan pengumpulan data
awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah (Pasal 16 Perpres
71/2012).
Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
berupa perseorangan, badan hukum, badan sosial, badan keagamaan,
atau instansi pemerintah yang memiliki atau menguasai Obyek
Pengadaan Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 17 ayat (1) Perpres 71/2012).
Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: (a) pemegang hak atas tanah; (b) pemegang pengelolaan; (c)
nadzir untuk tanah wakaf;(d) pemilik tanah bekas milik adat; (e)
masyarakat hukum adat; (f) pihak yang menguasai tanah negara dengan
itikad baik; (g) pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau (h)
pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah (Pasal 17 ayat (2) Perpres 71/2012).
Pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf a berupa perseorangan atau badan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 18 Perpres
71/2012).
Pemegang hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf b merupakan hak menguasai dari negara yang
kewenangan pelaksanaannya dilimpahkan kepada pemegangnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 19 Perpres
71/2012).
Nadzir untuk tanah wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf c merupakan pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya (Pasal 20 ayat (1) Perpres 71/2012).
Pelaksanaan ganti kerugian terhadap tanah wakaf dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
wakaf (Pasal 20 ayat (2) Perpres 71/2012).
Pemilik tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf d merupakan pemegang hak milik atas tanah
bekas tanah milik adat sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi
menurut ketentuan perundang-undangan di bidang Agraria (Pasal 21
ayat (1) Perpres 71/2012).
Kepemilikan tanah bekas milik adat sebagaimana ayat (1)
dibuktikan antara lain (Pasal 21 ayat (2) Perpres 71/2012):

36
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

a. Petuk pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, ketitir, Verponding


Indonesia atau alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga
sebagaimana dimaksud dalam pasal II, VI dan VII Ketentuan-
ketentuan Konversi Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
b. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi
tanda kesaksian oleh kepala adat, lurah, kepala desa atau nama lain
yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dengan disertai alas hak yang
dialihkan;
c. Surat tanda bukti hak milik yang ditrerbitkan berdasarkan Peraturan
Swapraja yang bersangkutan;
d. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang,
baik sebelum ataupun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang
tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan,
tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya;
atau
e. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan disertai dengan alas hak yang
dialihkan.
Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf e harus memenuhi syarat (Pasal 22 ayat (1) Perpres
71/2012):
a. terdapat sekelompok orang yang masih terkait oleh tantanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para
warga persekutuan hukum adat tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum adat tersebut.
Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
keberadaannya diakui setelah dilaksanakan penelitian dan ditetapkan
dengan peraturan daerah setempat (Pasal 22 ayat (2) Perpres 71/2012).
3) Tahap Pelaksanaan Pengadaan Tanah Menurut Perpres 71/2012
Pelaksanaan Pengadaan Tanah diselenggarakan oleh Kepala
BPN (Pasal 49 ayat (1) Perpres 71/2012).
Pelaksanaan Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1), dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku ketua
pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 49 ayat (2) Perpres 71/2012).
Susunan keanggotaan pelaksanaan Pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh ketua Pelaksana

37
P-ISSN: 1979-7087

Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang


berunsurkan paling kurang (Pasal 49 ayat (3) Perpres 71/2012):
a. pejabat yang membidangi urusan pengadaan Tanah di lingkungan
kantor Wilayah BPN;
b. Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
c. pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi
urusan pertanahan;
d. camat setempat pada lokasi Pengadaan tanah; dan
e. Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi pengadaan tanah.
Kepala Kantor Wilayah BPN dapat menugaskan Kepala Kantor
Pertanahan sebagai ketua pelaksana Pengadaan Tanah, dengan
mempertimbangkan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, dan sumber
daya manusia (Pasal 50 Perpres 71/2012).
Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Kepala
Kantor Pertanahan membentuk pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 51
ayat (1) Perpres 71/2012).
Susunan keanggotaan Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling kurang berunsurkan (Pasal 51 ayat (2)
Perpres 71/2012):
a. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan
Kantor Pertanahan;
b. Pejabat pada Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan
Tanah;
c. pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi
urusan pertanahan;
d. Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah; dan
e. Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah.
Berdasarkan penetapan Lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Instansi
yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah
kepada Ketua pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 52 ayat (1) Perpres
71/2012).
Pengajuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilengkapi dengan: (a) Keputusan Penatapan lokasi; (b) Dokumen
perencanaan Pengadaan tanah; dan (c) Data awal Pihak yang berhak dan
objek Pengadaan Tanah (Pasal 52 ayat (2) Perpres 71/2012).
Atas dasar pengajuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyiapkan pelaksanaan
Pengadaan Tanah (Pasal 52 ayat (3) Perpres 71/2012).

4) Tahap Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah Menurut Perpres


71/2012
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil
Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah disertai data
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, paling lama

38
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah (Pasal
112 ayat (1) Perpres 71/2012).
Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan Tanah (Pasal 112
ayat (2) Perpres 71/2012).
Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan berita acara untuk selanjutnya dipergunakan
oleh Instansi yang memerlukan tanah guna pendaftaran/pensertipikatan
(Pasal 112 ayat (3) Perpres 71/2012).
Pendaftaran/pensertipikatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penyerahan hasil Pengadaan
Tanah (Pasal 112 ayat (4) Perpres 71/2012.
Pasal 110 ayat (1) Perpres 71/2012 menyebutkan: Data
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dibuatkan
salinan rangkap 2 (dua).
Asli dan 1 (satu) salinan data sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah, sedangkan 1
(satu) salinan menjadi dokumen di Kantor Wilayah BPN atau Kantor
Pertanahan setempat (Pasal 110 ayat (2) Perpres 71/2012).
Pasal 109 ayat (1) Perpres 71/2012 menyebutkan: Pelaksana
Pengadaan Tanah melakukan pengumpulan, pengelompokan,
pengolahan dan penyimpanan data Pengadaan Tanah yang meliputi: (a)
peta bidang tanah; (b) daftar nominatif; dan (c) data administrasi.
Data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa (Pasal 109 ayat (2) Perpres 71/2012):
a. dokumen perencanaan Pengadaan Tanah;
b. surat pemberitahuan rencana pembangunan;
c. data awal Subyek dan Objek;
d. undangan dan daftar hadir Konsultasi Publik;
e. berita acara kesepakatan Konsultasi Publik;
f. surat keberatan;
g. rekomendasi Tim Kajian;
h. surat gubernur (hasil rekomendasi);
i. surat keputusan Penetapan Lokasi pembangunan;
j. pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan;
k. surat pengajuan Pelaksanaan Pengadaan Tanah;
l. berita acara inventarisasi dan identifikasi;
m. peta bidang Objek Pengadaan Tanah dan daftar nominatif;
n. pengumuman daftar nominatif;
o. Berita Acara Perbaikan dan Verifikasi;
p. daftar nominatif yang sudah disahkan;
q. dokumen Pengadaan Penilai;
r. dokumen hasil penilaian Pengadaan Tanah;
s. berita acara penyerahan hasil penilaian;
t. undangan dan daftar hadir musyawarah penetapan Ganti Kerugian;

39
P-ISSN: 1979-7087

u. berita acara kesepakatan musyawarah penetapan Ganti Kerugian;


v. putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung;
w. berita acara pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak;
x. alat bukti penguasaan dan pemilikan Objek Pengadaan Tanah;
y. surat permohonan penitipan Ganti Kerugian;
z. penetapan pengadilan negeri penitipan Ganti Kerugian;
aa. berita acara penitipan Ganti Kerugian;
bb. berita acara penyerahan hasil Pengadaan Tanah; dan
cc. dokumentasi dan rekaman.
Data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan, didokumentasikan dan diarsipkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan setempat (Pasal 109 ayat (3) Perpres 71/2012).
Data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat disimpan dalam bentuk data elektronik (Pasal 109 ayat (4) Perpres
71/2012).
Kembali ke rumusan masalah yang pertama: Bagaimanakah
Peraturan Perundang-undangan mengatur peralihan hak atas tanah untuk
kepentingan umum? Penulis menyimpulkan bahwa Perpres 71/2012 lebih
teknis sekali mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang
mana Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui
tahapan: (a) perencanaan; (b) persiapan; (c) pelaksanaan; dan (d)
penyerahan hasil, termasuk tahap pelaksanaan pembangunan.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
pembangunan setelah dilakukan penyerahan hasil Pengadaan Tanah oleh
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 113 Perpres 71/2012).

d. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Peraturan


Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor
71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembagunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres 40/2014)
Perubahan pertama Perpres 71/2012 dengan Perpres 40/2014 hanya
menambah ayat (3) dan ayat (4) pada pasal 120 dan mengubah pasal 121.
Pasal 120 selengkapnya berbunyi:
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional dan biaya
pendukung yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional dan biaya
pendukung yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(3) Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Badan
Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan
penugasan khusus, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan
sebagaimanadimaksud pada ayat (1).
(4) Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan

40
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

infrastruktur hulu minyak dan gas bumi, mengacu pada Peraturan


Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 121 Perpres 71/2012 yang awalnya berbunyi: Dalam rangka
efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang
luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang
memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual
beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Kemudian Pasal 121 Perpres 40/2014 diubah menjadi Dalam rangka
efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang
luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan langsung oleh
Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah,
dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati
kedua belah pihak.
e. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Peraturan
Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres 99/2014)
Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai
berikut:
(1) Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa Penilai atau Penilai
Publik.
(2) Jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil
pengadaan jasa Penilai yang dilakukan oleh Instansi yang memerlukan
tanah.
(3) Pengadaan jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
(4) Dalam hal nilai pengadaan jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), maka pengadaan jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan metode
pascakualifikasi.
(5) Pelaksanaan pengadaan jasa Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Ketentuan Pasal 76 ayat (4) diubah, sehingga Pasal 76 berbunyi
sebagai berikut:
(1) Ganti Kerugian dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74 ayat (1) huruf a, diberikan dalam bentuk mata uang rupiah.
(2) Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah
berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau
pejabat yang ditunjuk.
(3) Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan bersamaan dengan Pelepasan hak oleh Pihak yang Berhak.

41
P-ISSN: 1979-7087

(4) Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dilakukan paling lama dalam 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
diterimanya validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau
pejabat yang ditunjuk.
Kemudian di antara Pasal 123 dan Pasal 124 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 123A yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Proses pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat
(3) yang belum selesai sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 tetapi
telah mencapai 75% dari luas kebutuhan tanah, dapat diperpanjang
proses pengadaannya sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
(2) Pencapaian proses pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh pimpinan instansi yang memerlukan tanah.
(3) Penetapan Lokasi pembangunan untuk pengadaan tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperpanjang sampai dengan tanggal 31
Desember 2015 oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
(4) Dalam hal proses pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masih terdapat sisa tanah yang belum selesai sampai dengan tanggal 31
Desember 2015, pengadaannya diselesaikan berdasarkan tahapan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.
f. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum (Perpres 30/2015)
Perpres 30/2015 Mengubah angka 1 pada Pasal 1, sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut: Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud
dengan:
1. Instansi yang memerlukan tanah adalah lembaga negara, kementerian,
lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik
Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah atau Badan Usaha
yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara,
kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik
Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus
Pemerintah dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan
umum.
Kemudian di antara Pasal 117 dan Pasal 118 disisipkan1 (satu) pasal
yakni Pasal 117A yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dapat
bersumber terlebih dahulu dari dana Badan Usaha selaku Instansi yang
memerlukan tanah yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian,
yang bertindak atas nama lembaga negara, kementerian, lembaga
pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota.

42
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

(2) Pendanaan Pengadaan Tanah oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dibayar kembali oleh lembaga negara, kementerian,
lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota melalui APBN dan/atau APBD setelah
proses pengadaan tanah selesai.
(3) Pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
perhitungan pengembalian nilai investasi.
Kemudian di antara Pasal 123A dan Pasal 124 disisipkan 1 (satu)
pasal yakni Pasal 123B yang berbunyi sebagai berikut:
g. Proses Pengadaan Tanah yang belum selesai berdasarkan ketentuan Pasal
123 dan Pasal 123A tetapi telah mendapat Penetapan Lokasi pembangunan
atau Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) atau nama
lain yang dimaksudkan sebagai Penetapan Lokasi pembangunan, proses
Pengadaan Tanah dapat diselesaikan berdasarkan tahapan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Presiden ini.
h. Proses Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari
tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
i. Seluruh dokumen yang telah ada dalam rangka Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. hasil pengukuran, inventarisasi, dan identifikasi;
b. hasil musyawarah terkait bentuk dan besaran ganti kerugian atas bidang
tanah yang sudah disepakati sebelumnya dengan Pihak yang Berhak;
c. pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak; dan/atau
d. dokumen terkait lainnya; menjadi dokumen Pengadaan Tanah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.
j. Peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum menurut Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum (Perpres 148/2015)
Beberapa Ketentuan dalam Pasal 1 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut: Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Instansi yang memerlukan tanah adalah lembaga negara, kementerian,
lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik
Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah atau Badan Usaha
yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara,
kementerian,lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan
Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah
dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum (pasal
1 angka 1 Perpres 148/2015).
2. Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari Pihak
yang Berhak kepada negara melalui Kementerian (Pasal 1 angka 9
Perpres 148/2015).

43
P-ISSN: 1979-7087

3. Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang


perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan
profesional yang telah mendapat izin praktik Penilaian dari Menteri
Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Kementerian untuk
menghitung nilai/harga Objek Pengadaan Tanah (pasal 1 angka 11
Perpres 148/2015).
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang agraria/pertanahan (pasal 1 angka 16 Perpres 148/2015).
5. Kementerian adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pertanahan (pasal 1 angka 17 Perpres
148/2015).
6. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang selanjutnya
disebut Kantor Wilayah BPN adalah instansi vertikal BPN di provinsi
yang dipimpin oleh Kepala Kantor Wilayah BPN yang berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri (pasal 1 angka 18
Perpres 148/2015).
7. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal BPN di kabupaten/kota yang
dipimpin oleh Kepala Kantor Pertanahan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Menteri melalui Kepala Kantor
Wilayah BPN (pasal 1 angka 19 Perpres 148/2015).
8. Satuan Tugas adalah satuan yang dibentuk oleh Kementerian untuk
membantu pelaksanaan Pengadaan Tanah(pasal 1 angka 22 Perpres
148/2015).
Ketentuan ayat (2) Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Gubernur melaksanakan tahapan kegiatan Persiapan Pengadaan Tanah
setelah menerima dokumen perencanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Dalam melaksanakan tahapan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama
2 (dua) hari kerja sejak dokumen perencanaan Pengadaan Tanah
diterima secara resmi oleh Gubernur.
Ketentuan ayat (2) Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan kepada
masyarakat pada lokasi rencana pembangunan.
(2) Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
dibentuknya Tim Persiapan.
(3) Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat informasi mengenai:
a. maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b. letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan;
c. tahapan rencana Pengadaan Tanah;
d. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;

44
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

e. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pembangunan; dan


f. informasi lainnya yang dianggap perlu.
(4) Pemberitahuan rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditandatangani oleh Ketua Tim Persiapan.
Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
huruf c disampaikan kepada masyarakat pada rencana lokasi
pembangunan melalui lurah/kepala desa atau nama lain dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditandatanganinya surat
pemberitahuan.
(2) Bukti penyampaian pemberitahuan melalui surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk tanda terima dari perangkat
kelurahan/desa atau nama lain.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Penanganan keberatan oleh gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya
keberatan.
Ketentuan Pasal 41 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
(2) sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:
(1) Penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh gubernur dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 34 ayat (3), atau sejak
ditolaknya keberatan dari Pihak yang Keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (1).
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah habis
dan penetapan lokasi belum diterbitkan, maka penetapan lokasi
dianggap telah disetujui.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 46 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
(1) Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (1), dilakukan dengan cara:
a. ditempatkan di kantor kelurahan/desa atau nama lain, kantor
kecamatan, dan/atau kantor kabupaten/kota dan di lokasi
pembangunan; dan
b. diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.
(2) Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
dikeluarkan Penetapan Lokasi pembangunan.
(3) Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan selama 7 (tujuh) hari kerja.
(4) Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan melalui media cetak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan melalui surat
kabar harian lokal dan nasional paling sedikit 1 (satu) kali penerbitan
pada hari kerja.

45
P-ISSN: 1979-7087

(5) Pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan melalui media elektronik


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan melalui
laman (website) pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau
Instansi yang memerlukan tanah.
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan
persiapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk
Kepentingan Umum kepada bupati/walikota berdasarkan
pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber
daya manusia, dan pertimbangan lainnya, dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya dokumen Perencanaan
Pengadaan Tanah.
(2) Dalam hal Gubernur mendelegasikan kewenangan kepada
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bupati/walikota membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pendelegasian.
(3) Pelaksanaan persiapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan
untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan secara mutatis mutandis5 sesuai Pasal 9 sampai
dengan Pasal 46.
Ketentuan Pasal 49 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4) sehingga
berbunyi sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan Pengadaan Tanah diselenggarakan oleh Menteri.
(2) Pelaksanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah.
(3) Susunan keanggotaan pelaksanaan Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berunsurkan paling
kurang:
a. pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan
Kantor Wilayah BPN;
b. Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
c. pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi
urusan pertanahan;
d. camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah; dan
e. lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah.
(4) Penetapan Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak
diterimanya pengajuan Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

5
Mutatis mutandis berasal dari bahasa Latin yang artinya kurang lebih adalah "perubahan yang
penting telah dilakukan", artinya ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang
disebutkan tersebut, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4bdfcd4e7c122/pengertian-mutatis-mutandis, diakses
30-03-2018).

46
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Kepala Kantor Wilayah BPN dapat menugaskan Kepala Kantor Pertanahan
sebagai Ketua PelaksanaPengadaan Tanah, dengan mempertimbangkan
efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, dan sumber daya manusia, dalam
waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya pengajuan
Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Ketentuan Pasal 51 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3) sehingga
berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan ditugaskan sebagai Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50,
Kepala Kantor Pertanahan membentuk Pelaksana Pengadaan Tanah.
(2) Susunan keanggotaan Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling kurang berunsurkan:
c. pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan
Kantor Pertanahan;
d. pejabat pada Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan
Tanah;
e. pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi
urusan pertanahan;
f. camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah; dan
g. lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah.
(3) Pembentukan Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak
diterimanya penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
Ketentuan ayat (1) Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1), Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dapat membentuk
Satuan Tugas dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak
dibentuknya Pelaksana Pengadaan Tanah, yang membidangi
inventarisasi dan identifikasi:
A. data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah; dan
B. data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
(2) Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk untuk
1 (satu) Satuan Tugas atau lebih dengan mempertimbangkan skala,
jenis, serta kondisi geografis dan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
(3) Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab
kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Ketentuan ayat (1) Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
i. Peta Bidang Tanah dan daftar nominatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 diumumkan di kantor kelurahan/desa atau nama lain, kantor
kecamatan, dan lokasi pembangunan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja.

47
P-ISSN: 1979-7087

ii. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilaksanakan


secara bertahap, parsial, atau keseluruhan.
Ketentuan ayat (2) Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Pelaksana Pengadaan Tanah mengundang Pihak yang Berhak dalam
musyawarah penetapan Ganti Kerugian dengan menetapkan tempat dan
waktu pelaksanaan.
(2) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling
lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan musyawarah
penetapan Ganti Kerugian.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah atau pejabat yang ditunjuk.
Kemudian di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 76 disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut:
(1) Ganti Kerugian dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74 ayat (1) huruf a, diberikan dalam bentuk mata uang rupiah.
(2) Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah
berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau
pejabat yang ditunjuk.
(2a) Validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau pejabat yang
ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak berita acara kesepakatan
bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1).
(3) Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan bersamaan dengan pelepasan hak oleh Pihak yang Berhak.
(4) Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
bentuk Ganti Kerugian oleh Pelaksana Pengadaan Tanah.
Ketentuan ayat (1) Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1) Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil Pengadaan
Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan
Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, paling lama 3 (tiga) hari
kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah.
(2) Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan Tanah.
(3) Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan berita acara untuk selanjutnya dipergunakan oleh
Instansi yang memerlukan tanah guna pendaftaran/pensertifikatan.
(4) Pendaftaran/pensertifikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penyerahan hasil Pengadaan Tanah.
Ketentuan Pasal 121 ditambahkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut:

48
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

(1) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk


kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat
dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan pihak
yang berhak.
(2) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari
5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan tata ruang wilayah.
(3) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memerlukan penetapan lokasi.
(4) Penilaian tanah dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Instansi yang memerlukan tanah menggunakan hasil
penilaian jasa penilai.
Kemudian di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB
yakni BAB IXA Ketentuan Lain-Lain sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pengadaan tanah bagi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
Huruf b sampai dengan huruf r Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang dilaksanakan
oleh badan usaha swasta, dilakukan langsung dengan cara jual beli, tukar
menukar, atau cara lain yang disepakati oleh pihak yang berhak dengan
badan usaha swasta (pasal 121A).
Semua singkatan “BPN” sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan peraturan
perubahannya, harus dimaknai “Kementerian”.
Semua penyebutan “Kepala BPN” sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
peraturan perubahannya, harus dimaknai ”Menteri”.
Semua penyebutan “sertipikat” sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
peraturan perubahannya, harus dimaknai “sertifikat”.
Perubahan keempat dari Perpres 71 Tahun 2012 lebih memperkuat
proses perancanaan, persiapan, pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
Terkait dengan rumusan masalah yang pertama: Bagaimanakah Peraturan
Perundang-undangan mengatur Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan
Umum? Maka penulis menyimpulkan Peraturan Perundang-undangan, mulai dari
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembanguna Untuk Kepentingan Umum; dan (2) Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, telah mengatur secara komprehensif
Peralihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, mulai dari subyek (Pihak
Yang Berhak) dan obyek (Obyek Pengadaan Tanah) dan juga tahapan perencanaan,
persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, serta pelaksanaan pembangunannya.

49
P-ISSN: 1979-7087

IV. PENUTUP

Peraturan Perundang-undangan telah mengatur Peralihan Hak Atas Tanah Untuk


Kepentingan Umum secara komprehensif, mulai dari Subyek (Pihak Yang Berhak)
dan Obyek (Obyek Pengadaan Tanah) dan juga tahapan perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, dan penyerahan hasil pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta
pelaksanaan pembangunannya.
Karena peraturan perundang-undangan telah mengatur Peralihan Hak Atas Tanah
Untuk Kepentingan Umum secara komprehensif, sehingga dalam prakteknya
sebaiknya menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada agar tercipta
kepastian hukum dan perlindungan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
A.P. Perlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cet.
VIII, Bandung: Mandar Maju.
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di
Bidang Pertanahan, Jakarta: Rajawali Press.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitaitf, Kualitatif, dan
R&D). Alfabeta. Bandung
Soedikno Mertokusumo, 1998, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta: Universitas
Terbuka, Karunika.
Umar Said Sugiharto, Suratman, Noorhudha Muchsin, 2015, Hukum Pengadaan
Tanah-Pengadaan Hak atas Tanah Untuk Kepentingan Umum
Pra dan Pasca Reformasi, Cetakan II, Malang: Setara Press.

Website:
http://www.kompasiana.com/mas_bedjo/peranan-undang-undang-pokok-agraria-
bagi-masyarakat-indonesia-yang-bersifat-
agraris_54f4193a745513a42b6c8618, diakses 28-6-2016.
http://news.liputan6.com/read/683181/video-tuntut-ganti-rugi-ratusan-warga-
blokir-bandara-rendani, diakses 28-06-2016.
http://mediapapua.com/news/read/index/16/1249/lunasi-tanah-bandara-rp6560-m-
bupati-tak-boleh-lagi-ada-pemalangan, diakses 28-6-2016.
http://eprints.upnjatim.ac.id/4795/1/file1.pdf., diakses 28-6-2016.
http://repo.unsrat.ac.id/440/., diakses 28-6-2016.
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334255-T32584-Rini+Mulyanti.pdf., diakses 28-
6-2016.
http://eprints.ums.ac.id/14383/1/Halaman_Depan.pdf., diakses 28-6-2016.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4bdfcd4e7c122/pengertian-mutatis-
mutandis, diakses 30-03-2018.
Peraturan Perundang-undangan:

50
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Undang-Undang Dasar 1945.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.

51

Anda mungkin juga menyukai