Anda di halaman 1dari 9

FORMULIR PENGAJUAN JUDUL

Disusun Oleh
Nama : Finda Veronica Konga Owa
NPM : 2020010462042
Kelas : Q2

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER HUKUM KENOTARIATAN
UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2023
"PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH BEKAS
TANAH HAK BARAT DI WILAYAH KOTA SEMARANG". (STUDI KASUS
SENGKETA KEPEMILIKAN LAHAN ANTARA PT.KAI DENGAN MASYARAKAT
KEBONHARJO SEMARANG)

Deskripsi :

Industri perkereta apian di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat, hal ini
dikarenakan banyaknya masalah yang menyertai perkembangan PT. Kereta Api Indonesia
selama ini, dan masalah yang terus terjadi paling banyak dijumpai adalah masalah tanah
antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero), yang selanjutnya disebut PT. KAI) dengan
masyarakat, masalah ini sering kali terjadi karena pihak PT. KAI sebagai pemilik tanah harus
menghadapi kenyataan bahwa tanah yang dimilikinya telah diduduki oleh masyarakat bahkan
telah turun temurun menduduki tanah tersebut, kemudian juga tanah milik PT. KAI yang
dipinjamkan kepada karyawannya, namun setelah habis masa pakai atau masa kerja karyawan
tersebut bukannya dikembalikan kepada PT. KAI melainkan diteruskan oleh ahli warisnya
atau bahkan dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli.

Fakta yang sering terjadi saat ini, bahwa tanah-tanah yang lama tidak dipergunakan
oleh pemiliknya dikuasai oleh pihak lain yang tidak berhak, sebenarnya hal ini bertentangan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, yang menyatakan bahwa
pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman pidana, akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh
pihak PT. KAI dan terindikasi terlantar, tanpa disadari penguasaan tanah yang dikuasai oleh
masyarakat Kebonharjo tidak dirasakan sudah lebih dari 20 tahun.

Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana sebab terjadinya sengketa kepemilikan Hak Atas Tanah


Bekas Tanah Hak Barat di Kebonharjo?
2. Mengapa pemegang sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan
berdasarkan bekas tanah hak barat belum mendapat perlindungan
hukum?

Das Sollen & Das Sein :

Sejalan dengan fakta bahwa PT. KAI dalam hal ini yang mengklaim sebagai pemilik
tanah yang menggunakan Groundkaart/ bukti kepemilikan hak barat sebagai dasar bukti
kepemilikan hak atas tanah yang sebenarnya bukan katagori hak atas tanah yang dikretiriakan
oleh Pasal 3 PP. RI No.36 tahun 1998. Sehubungan dengan hal tersebut, bila mengingat
perkembangan zaman dan lajunya pembangunan serta pertumbuhan jumlah penduduk yang
semakin meningkat yang mana nilai ekonomis tanah juga semakin tinggi sehingga
menyebabkan ketimpangan penguasaaan tanah, semakin orang butuh tanah untuk
kepentingan pembangunan khususnya tempat tinggal sedangkan luas tanah relatif tidak
bertambah sehingga sangat potensial akan memunculkan sengketa tanah. Bahwa kondisi
seperti tersebut di atas merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan masalah,
sengketa dan konflik pertanahan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya
dewasa ini.

Permasalahan muncul antara PT. Kereta Api Indonesia dan masyarakat Kebonharjo
yang pernah mengemuka dalam pemberitaan di media massa di Indonesia, khususnya di Kota
Semarang, dalam kasus /sengketa kepemilikan tanah antara warga kampung kebonharjo dan
PT. KAI, kasus tersebut bermula dari penggusuran yang dilakukan oleh PT. KAI yang
didasari dengan Groundkaart (Peta Bukti Kepemilikan Lahan Jaman Belanda/Bukti Tanah
Hak Barat), yang dalam hal ini akan membangun jalur rel kereta api Stasiun Tawang-
Pelabuhan Tanjungmas. Berdasarkan hal tersebut diatas penggusuran yang dilakukan oleh PT.
KAI mendapatkan perlawanan dari masyarakat yang menempati tanah yang telah memiliki
tanda bukti kepemilikan atas tanah dimaksud berupa sertipikat hak atas tanah (Hak Milik).
Adanya gugatan warga Kebonharjo dinilai tepat, bahwa kedua belah pihak harus mengetahui
status kedudukan dokumen legal masing-masing, sehingga tidak ada tindakan paksa
penggusuran dan anarkis warga. Undang-Undang Pertanahan dan Agraria, surat Hak Milik
(HM) adalah sebagai hak mutlak dan hak tertinggi dalam ketentuan sebagai hak individu,
mengalahkan status groundkaart (Hak Atas Tanah Barat), menurut Widhi Handoko, status
Hak Milik (HM) tanah warga Kebonharjo seharusnya sudah tak dipermasalahkan dan sudah
jelas, karena setelah adanya penerbitan status tanah HM oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dimana aturannya jika dalam jangka waktu lima tahun tidak ada gugatan pihak lain
dengan pembuktian kuat maka status tanah tersebut sudah final menjadi pemilik HM.

Atas dasar sengketa lahan antara warga Kebonharjo selaku pemilik tanah dan
bangunan yang beralaskan Sertipikat Hak Milik (SHM) dengan PT. KAI tersebut, berdampak
kepada nilai kepastian hukum pemegang hak atas tanah yang sudah bersertipikat menjadi
dipertanyakan, sehingga perlindungan hukum terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah
sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang paling kuat masih belum terlaksanan dalam
implementasinya.
IMPLEMENTASI HAK CIPTA SEBAGAI OBJEK JAMINAN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Deskripsi :
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta pasal 16 ayat (3) disebutkan "Hak Cipta dapat dijadikan
sebagai objek jaminan fidusia". Hak ekonomi sebagai objek jaminan pelaksanaannya
disesuaikan dengan Undang- Undang Jaminan Fidusia. Pada perjanjian fidusia terjadi
pertukaran data mengenai hak cipta, pasal 7 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa untuk
melindungi hak moral, pencipta memiliki informasi elektronik maka pengalihannya juga
dilindungi oleh Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Hak Cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, program komputer, sinematografi,
fotografi, database, yang berkaitan dengan kemajuan dibidang teknologi dan informasi di era
globalisasi dan moderenisasi memungkinkan hasil ide kreatif pencipta dapat menjadi suatu
informasi elektronik yang dapat dilihat melalui media elektronik. Perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi yang berkembang menyebabkan perubahan kegiatan manusia
dalam berbagai bidang sehingga dapat mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum yang baru.
Informasi elektronik disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, mempunyai pengertian "informasi elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic, data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya". Seiring perkembangan teknologi banyak pencipta atau
pemegang Hak Cipta yang tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak
untuk mempublikasikan hasil ciptaannya melalui berbagai media cetak atau media elektronik.
Tentunya hal tersebut juga dapat membantu Pencipta agar dapat memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya dari hasil pengumuman atau hasil dari memperbanyak ciptaannya
tersebut.
Perlindungan Hak Cipta dalam bentuk informasi elektronik masih sulit untuk
dilakukan. Ciptaan dalam format elektronik yang dipublikasikan bukan tidak mungkin hal
tersebut dapat dengan mudah disebarkan melalui cara-cara yang dilanggar oleh negara.
Namun dilihat dari pengertian informasi elektronik diatas maka seluruh ide kreatif yang
dituangkan dalam bentuk nyata atau Hak Cipta yang memiliki informasi elektronik yang
diperlihatkan melalui media elektronik serta pengalihan ciptaannya, hal tersebut juga
dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik.
Pembangunan ekonomi yang dibarengi dengan perkembangan teknologi seharusnya
dapat menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Namun dalam Lembaga jaminan fidusia yang
mempunyai banyak kategori objek jaminan, belum diatur secara jelas mengenai aturan
hukum mengenai bagaimanakah pelaksanaan benda bergerak tidak bertubuh dapat
dijaminkan dan kemungkinan masalah yang akan timbul, khususnya dalam hal ini adalah Hak
Cipta. Tidak bisa dipungkiri bahwa Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia menjadi bagian
dari suatu informasi elektronik. Sehingga Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia yang
memiliki informasi elektronik saat akan dilakukan perjanjian fidusia terjadi pertukaran data
maka pelaksanaan Hak Cipta tidak sama dengan jaminan kebendaan bertubuh yang mudah,
karena Hak Cipta tidak berwujud dan dapat berupa informasi elektronik maka prosesnya juga
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan Hak Cipta sebagai objek jaminan fidusia dikaitkan
dengan informasi dan transaksi elektronik?
2. Problematika apakah yang mungkin akan timbul dalam Hak Cipta yang
dijadikan sebagai objek jaminan fidusia?

Das Sollen & Das Sein :


Hak Cipta tidak wajib di daftarkan untuk mendapat pengakuan bahwa hak cipta
tersebut adalah milik pencipta, namun saat hak cipta lahir kemudian langsung melekat ke diri
sang pencipta. Hak cipta yang akan dijadikan jaminan fidusia oleh pecipta atau pemegang
hak cipta harus mendaftarkan ciptaannya tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (Dirjen KI yang berada di bawah naungan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia) untuk dicatat dalam Daftar Umum Hak Cipta. Pendaftaran hak cipta dirasa menjadi
suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta agar timbul perlindungan hukum dan
kepastian hukum di mulai sejak ciptaan ada atau terwujud. Pendaftaran hak cipta dalam UU
Hak Cipta diatur dalam pasal 64 sampai dengan pasal 73 sebagai dasar hukumnya.
Pendaftaran ciptaan bukan merupakan keharusan untuk mendapatkan Hak Cipta
(berbeda dengan paten dan merek). Hak cipta telah lahir begitu ciptaan selesai dibuat akan
tetapi karena sulit untuk menentukan kapan suatu ciptaan telah selesai dibuat maka UU hak
cipta memberikan ketentuan bahwa pengakuan dan perlindungan atas suatu ciptaan setelah
ciptaan tersebut untuk pertama kalinya dipublikasikan atau diumumkan. Jill McKeough
mengemukakan: "There is non formal requirements to obtaining copyright protection in the
sense there is no procedure for registering a copyright...." Artinya, tidak ada persyaratan
formal untuk perolehan perlindungan Hak Cipta, yang berarti tidak ada prosedur pendaftaran
suatu Hak Cipta. Namun, ada kesulitan untuk membuktikan. Konsep pendaftaran Ciptaan ini
disebut Stelsel Negatif Deklaratif. "Negatif dalam arti bahwa semua permohonan pendaftaran
Ciptaan akan diterima tanpa penelitian keabsahan hak si pemohon, kecuali jelas-jelas ada
pelanggaran. "Deklaratif" berarti bahwa pendaftaran tidak mutlak, pendaftaran berkaitan
dengan kekuatan bukti.
Keuntungan dan kerugian apabila tidak mendaftarkan hak cipta bagi pencipta yakni
tidaklah ada, kecuali untuk mempermudah proses pembuktiannya dalam hal terjadi suatu
sengketa tentang siapakah pencipta sesuatu karya yang sebenarnya. Di samping itu, tanpa
pendaftaran hak cipta tetap mendapatkan perlindungan. Hanya mengenai hak ciptaan yang
tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu pembuktian hak ciptanya dan
ciptaan yang Pengajuan pendaftaran ciptaan dilakukan dengan formulir yang telah disediakan
oleh Dirjen HAKI. Sebelum diajukan, formulir tersebut harus ditulis dalam bahasa Indonesia.
Pengajuan formulir harus disertai dengan contoh ciptaan, dan pengajuan itu dikenakan biaya.
Meski Dirjen HAKI baru memberikan putusan penerimaan atau penolakan pendaftaran itu
paling lama 9 bulan sejak tanggal diterimanya permohonan, tapi pendaftaran ciptaan tersebut
dianggap telah dilakukan pada saat diterimanya permohonan.
"FUNGSI PENGONTROL DAN PENILAI PASAL 1338 DAN PASAL 1339 KUH
PERDATA TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU PEMBIAYAAN
KONSUMEN PADA PT. DIPO STAR FINANCE CABANG SEMARANG".

Sistem hukum perdata Indonesia, sebagai bagian dari system hukum modern,
khususnya pada sub sistem Buku III KUH Perdata, menganut asas kebebasan dalam hal
membuat perjanjian, dan pada umumnya setiap orang juga diperbolehkan menyampingkan
peraturan- peraturan yang termuat dalam Buku III KUH Perdata. Fungsi hukum sebagai
pengontrol dan penilai terhadap perbuatan hukum masyarakat selalu berdampingan dengan
terbukanya peran masyarakat dalam mendesain sendiri kontruksi hukum sesuai dengan
kehendak yang dikehendaki. Keterbukaan peran masyarakat ini, dimungkinkan dengan
berlakunya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH
Perdata.
Setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan syarat
tidak bertentangan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal dari hukum
perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (aanvullend recht) yang berarti
bahwa Pasal tersebut dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendaki ketentuan
sendiri mengenai kepentingannya, selama tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan tidak mengganggu ketertiban umum, maka perbuatan para pihak itu sah
menurut hukum, sebaliknya apabila para pihak itu tidak mengatur sendiri dalam
kepentingannya itu, berarti para pihak tersebut tunduk pada undang-undang.
Korelasi antara perjanjian dengan perikatan dengan adanya asas kebebasan berkontrak
ini menimbulkan corak dan ragam perikatan yang semakin variatif dan komplek. Jika kita
berpegangan pada pemahaman dasar mengenai perikatan, sebagai suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak yang lain berhak atas sesuatu. Hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan sebagai akibat hukum. Akibat hukum yang dimaksud dapat
bersumber dari suatu perjanjian. Prinsipnya perjanjian yang kita kenal merupakan perjanjian
bersifat obligatoir kecuali undang-undang menentukan lain. Perjanjian bersifat obligatoir
berarti, bahwa dengan ditutupnya perjanjian itu pada dasarnya baru melahirkan perikatan-
perikatan saja, dengan kata lain dalam sebuah perjanjian dapat mengandung sekelompok
perikatan.
Sehubungan dengan akibat hukum dari perjanjian maka Pasal 1338 KUH Perdata dan
Pasal 1339 KUH Perdata, bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, mengenai putusan sepihak, nasihat yang mengikat,
perubahan anggaran suatu badan hukum dan perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini, yang mendorong lahirnya fasilitas
pembiayaan konsumen yang semakin mudah, fleksibel dan efisien. Kemudahan dalam
memberikan pembiayaan konsumen, sering kali pelaksanaan dari perjanjian penutupan
pembiayaan konsumen ini sudah dalam bentuk perjanjian baku. Perjanjian baku yang
ditawarkan oleh calon kreditor dalam bentuk standard form atau blanko. Apabila calon
debitor setuju maka tinggal diadakan kesepakatan penandatanganan kontrak pembiayaan
kosumen tersebut.
Rumusan Masalah :
1. Bagaimakah pelaksanaan perjanjian baku pembiayaan konsumen di PT. Dipo Star
Finance Cabang Semarang ?
2. Bagiamanakah fungsi kontrol Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata terhadap akibat
hukum pada pelaksanaan perjanjian baku kredit pembiayaan konsumen di PT. Dipo
Star Finance Cabang Semarang ?
Das Sollen dan Das Sein :
Pada perjanjian pembiayaan konsumen kedudukan debitor adalah sebagai pihak yang
telah dibebani kewajiban terlebih dahulu dari perjanjian jual beli yang telah disepakatinya.
Posisi demikian tentunya tidak mengutungkan bagi pihak debitor, sehingga apabila
disodorkan kontrak baku yang rumusan dan klausula yang telah dibuat oleh pihak kreditor,
maka sering kali debitor tidak dapat untuk menyangkal atau menolaknya. Hal ini hanya
diharapkan dari itikat baik dari pihak kreditor yang membuat rumusan dan klausula dalam
perjanjian baku tersebut.
Kenyataan dalam praktik kontrak baku pembiayaan konsumen, syarat-syarat dan
ketentuan yang berlaku pada kontrak baku merupakan kehendak dari pihak kreditor saja.
Kontrak baku sudah dalam bentuk blanko aplikasi yang telah memuat ketentuan-kententuan
yang berlaku, tanpa kemungkinan untuk terjadi perubahan syarat dan ketentuannya.
Meskipun setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian dan tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ada namun setiap perjanjian yang dikehendakinya, harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Salah satu
syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya dalam perjanjian, dapat dimungkinkan menentukan saat terjadinya
perjanjian. Bahkan kesepakatan dari para pihak ini tidak terjadi karena adanya "cacad
kehendak" artinya kemauan atau itikad untuk terjadinya pejanjian dari salah satu pihak tidak
mengandung unsur kesepakatan.
Pada pasal 1321 KUH Perdata, terjadinya cacad kehendak ini disebabkan karena 3
(tiga) hal Yaitu: Adanya kesesatan/kekhilafan, adanya paksaan dan adanya penipuan. Cacad
kehendak yang disebabkan karena adanya paksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 1324
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : Dalam mempertimbangkan hal ini, harus
diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.
Memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam Pasal di atas mengenai paksaan dalam
cacad kehendak dapat berupa paksaan yang bersifat relatif artinya berupa paksaan dimana
salah satu pihak yang dipaksa masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan menerima
atau menolak perjanjian tersebut. Peluang timbulnya cacad kehendak yang disebabkan karena
adanya paksaaan yang bersifat relatif ini, yang dalam praktik perjanjian baku pembiayaan
konsumen, terasa tepat untuk dijadikan dasar terhadap lahirnya perjanjian baku pembiayaan
konsumen, kehendak pihak debitor sebagai alasan terjadinya cacat kehendak.

Anda mungkin juga menyukai