PENDAFTARAN TANAH
Disusun oleh :
Abstrak
Girik sebagai tanda bukti pembayaran pajak yang merupakan bukti Hak atas
kepemilikan tanah sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria yang bersumber
hukum tanah bersumber pada Hukum Adat. Dalam kenyataannya permasalahan mengenai
sengketa tanah yang belum bersertifikat sangat sering terjadi seperti dalam Kasus Sengketa
antara Serikat Petani Karawang dengan PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP) atas tanah
seluas 350 hektare di Kabupaten Karawang. Sengketa terhadap hak kepemilikan atas
tanah, yang merupakan tanah Landreform yang diberikan hak kepada masyarakat
menimbulkan suatu permasalahan ketika secara tiba-tiba datang pihak yang ingin
mengajukan dan mendirikan komplek perindustrian diatas tanah masyarakat adat tersebut
Dalam penulisan jurnal ini, jenis penelitian yang digunakan adalah metode Studi
Kasus dengan cara meneliti menggunakan analisis data secara Normatif Kualitatif dengan
teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan.
Permasalahan yang hendak diangkat, yaitu bagaimana kekuatan hukum Girik
sebagai alat pembuktian hak penguasaan tanah menurut Undang-Undang nomor 5 tahun
1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Girik sebagai bukti Kepemilikan Hak atas Tanah merupakan bukti permulaan yang kuat
untuk dijadikan dasar pengajuan Sertifikat Hak atas Tanah. Bukti kepemilikan Girik tentunya
harus didukung dengan data yuridis dan data fisik dan/atau penguasaan fisik secara terus
menerus selama 20 (dua puluh) tahun, tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini.
Pada dasarnya setelah berlakunya UUPA yang menjadi alat pembuktian yang kuat
dalam kepemilikan tanah adalah sertifikat namun kekuatan pembuktian girik dalam hukum
beracara perdata tidak hapus. kekuatan pembuktian Letter C tidak bersifat sempurna. Letter
C tidak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti tunggal sehingga harus mendapat dukungan
dari beberapa bukti lain. Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah di Indonesia
mengakibatkan seringnya membuat masyarakat tidak mendaftarkan tanah yang dimilikinya,
masyarakat diharapkan lebih berhati-hati dan melakukan pendaftaran tanah untuk
menghindari terjadinya sengketa.
2. METODE PENELITIAN
Secara metodologis menggunakan pendekatan yang digunakan lebih kearah Normatif
Kualitatif karena melalui pendekatan ini diharapkan mampu menganalisa secara rasional dan
penyelesaiannya terkait sengketa tanah di Karawang. Dalam pengumpulan data dan observasi
lebih kearah metode Studi Kasus dimana analisa dan penelitian diarahkan untuk menghimpun
data melalui kepustakaan ataupun media publikasi terutama media informasi seperti halnya
dari website yang sudah terpercaya, mengambil makna, dan memperoleh pemahaman yang
bertujuan untuk menetapkan analisa terhadap fakta kasus untuk mencapai kesimpulan yang
dapat didiskusikan.
3. ANALISA DAN PEMBAHASAN
Konflik Agraria yang terjadi dikarawang dimulai sejak tahun 1974 dimana
persoalan mendasarnya adalah perusahaan yang menklaim kepemilikan lahan tak punya
alas hak atas tanah seluas 350 Ha yang telah dimanfaatkan masyarakat sejak 1958
bersamaan dengan lahirnya UU No 1 tahun 1958 Pasal 5, tanah diberikan kepada
penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik dan pemberian
hak milik kepada rakyat dengan cuma-cuma, dan dipertegas lagi dengan lahirnya
UUPA No 5 Tahun 1960.
Namun sejak tahun 1974, PT Dasa Bagja menyewa tanah masyarakat dengan
meminjam surat-surat milik masyarakat seperti Girik/Kikitir (Letter C), IPEDA dan
tidak pernah keluar HGU karena tanah bukan atas nama milik negara, namun
perusahaan tidak mengembalikan dokumen hak masyarakat atas tanah kepada
masyarakat. Namun masyarakat tetap mengelola dan memanfaatkan tanah untuk bertani
secara turun-temurun. Bahkan warga juga membayar pajak kepada negara sampai saat
ini.
Pada tahun 1986 tanpa sepengetahuan masyarakat, PT Dasa Bagja mengalihkan
prioritas permohonan HGU kepada PT Makmur Jaya Utama namun tidak juga
mendapatkan HGU. Kemudian pada tahun 1990 tanpa sepengetahuan masyarakat PT
Makmur Jaya Utama mengoperalihkan lagi tanah yang bukan haknya tersebut kepada
PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP).
Pada Oktober 2012 PT SAMP dengan bantuan preman sebanyak 500 orang
mencoba mengeksekusi lahan secara fisik dan melakukan pengusiran terhadap rakyat
dari tanahnya sehingga mengakibatkan korban luka berat pada petani karena
pembacokan. Selain itu, proses eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri Karawang yang
dikawal oleh 7.000 aparat kepolisian juga diwarnai dengan aksi kekerasan juga terhadap
para petani.
Kemudian masyarakat kembali dikejutkan dengan adanya pemberitaan bahwa
PT Agung Podomoro Land (tbk) akan mengambil alih lahan seluas 350 Ha dari PT
SAMP yang selama ini tidak mempunyai alas hak dan lahan secara nyata dimanfaatkan
dan dikuasai rakyat turun-temurun.
Sehingga tercatat sekitar 1.200 jiwa keluarga petani yang menggantungkan
nasibnya dari lahan pertanian terusir dari lahannya sendiri dan terancam kelangsungan
hidupnya dan juga turut merampas Sekolah Negeri diatas lahan konflik di antaranya
SDN Margamulya 1, Margamulya II, Margamulya IV, Wanasari I, Wanasari II,
Wanakerta I, Wanakerta II, dan Wanakerta III.
3.2 Analisis