Anda di halaman 1dari 20

PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP

Dosen Pembimbing :

Sri Menda Sinulingga,SH.,MH

Disusun Oleh :

Ira Mutiara ( 16400079)

Semester 6 Pagi Ruang : 304

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA

JlnLetjend T.B. Simatupang No. 152 Tanjung Barat

Jagakarsa – Jakarta Selatan 12530

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendaftaran tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Kegiatan
pendaftaran tanah terdiri dari pendaftaran tanah pertama kali dan pemeliharaan data. Kegiatan
pendaftaran tanah pertama kali dapat dilakukan secara sporadis maupun sistematis. Pendaftaran
tanah pertama kali melalui sporadis berarti pendaftaran tanah tersebut dilakukan oleh sekelompok
orang yang akan mendaftarkan tanah yang masih berstatus hak lama. Pendaftaran tanah pertama
kali melalui sistematis merupakan pendaftaran tanah pertama kali yang dilaksanakan oleh
Pemerintah terhadap satu kelurahan yang masih belum bersertifikat tanah.

Kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yaitu Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA)
yang dilaksanakan sejak tahun 1981 berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189
Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Tujuan PRONA yaitu upaya dalam
melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Catur Tertib di bidang pertanahan, khususnya
dalam pemberian sertifikat kepada masyarakat yang belum memilikinya. Kelemahan dari PRONA
yaitu sejak 1981 hingga 2016 ternyata hanya berhasil menyertifikatkan tanah sebanyak 44% saja,
sehingga masih kurang 56% di seluruh Indonesia.1 Upaya percepatan pendaftaran tanah melalui
PRONA tidak mencapai target sehingga digagas pada tahun 2015, program pemerintah yang juga
melaksanakan pendaftaran tanah pertama kali yaitu Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL).1

PTSL merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak bagi semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu
wilayah desa/kelurahan, atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan

1
Ihsanuddin. “Jokowi: Prona Sudah 35 Tahun, baru 44 Persen Tanah Warga Bersertifikat”,
https://nasional.kompas.com/
read/2016/10/16/12474581/jokowi.prona.sudah.35.tahun.baru.44.persen.tanah.warga.bersertifikat, diakses 17
maret 2019.
dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.2

Latar belakang pelaksanaan program PTSL yaitu Pemerintah masih menemukan tanah di
Indonesia yang belum bersertifikat atau tidak memiliki sertifikat. Sertifikat tanah merupakan alat
bukti yang kuat terhadap penguasaan tanah oleh masyarakat. Pemerintah tidak membebankan
biaya kepada masyarakat untuk proses pendaftaran tanah, melainkan hanya membebankan biaya
administrasinya saja, seperti penyediaan surat tanah untuk tanah yang belum memiliki surat tanah,
pembuatan dan pemasangan tanda batas, pajak peralihan, serta biaya materai, fotokopi bukti
kepemilikan tanah seperti letter C, ataupun biaya saksi.

Dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah, dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti hak dan
kepemilikan atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Guna memberikan suatu kepastian hukum kepada setiap pemilik hak atas tanah tersebut,
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah ditegaskan
bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Dimana orang tidak dapat menuntut tanah yang
bersertifikat resmi dengan atas nama orang atau badan hukum.

Berdasarkan pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap bahwa Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat PTSL adalah
kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek
Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau
nama lainnya yang disingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran

2
Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 501),
data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendafataran Tanah untuk keperluan
pendaftarannya.

Untuk meningkatkan pelayanan bidang petanahan, Badan Pertanahan Nasional dari pusat
sampai daerah mengeluarkan berbagai kebijakan dibidang pertanahan untuk kepetingan golongan
masyarakat, begitu juga untuk masyarakat golongan ekonomi kelas bawah atau lemah dangan
memperhatikan aspek keberpihakan kepada masyarakat.

Maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menunjukan suatu upaya melalui
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam program pensertifikatan tanah masal yang dilakukan
oleh pemerintah dimana program ini merupakan program nasional dengan biaya ringan untuk
masyarakat,yang masih sulit dan jarang dilakukan. Dengan berbagai pertimbangan yang sering
kali tidak diungkapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pangandaran. Semantara itu untuk
setiap permohonan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diajukan secara individual seringkali
tersangkut pada biaya dan persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh setiap pemohon.

Berdasarkan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap, yaitu tujuan Progran Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap adalah untuk percepatan
pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum atas hak atas tanah masyarakat secara pasti,
sederhana, cepat lancar, aman, adil, merata, dan terbuka serta akuntabel, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan ekonomi negara, serta mengurangi
dan mencegah sengketa dan konflik peratanahan.

B. Rumusan Masalah

Apakah kendala yang ada dalam Pendaftaran Tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap di Kota Batu?

C. Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan penelitian yuridis empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis.
Pendekatan yuridis dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap, kemudian secara sosiologis dengan melihat pelaksanaan peraturan
tersebut di masyarakat Kota Batu yang termasuk sebagai peserta dari proses pendaftaran tanah
melalui PTSL yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kota Batu.3

3
Isdiyana Kusuma Ayu,”Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Melalui Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap di Kota Batu” , Vol. 27, No. 1, Maret 2019-Agustus 2019, hlm. 27-40
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah

a. Pengertian Tentang Tanah

Tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah adalah salah
satu objek yang diatur oleh Hukum Agraria. Tanah yang diatur oleh Hukum Agraria itu bukanlah
tanah dalam berbagai aspeknya, akan tetapi tanah dari aspek yuridisnya yaitu yang berkaitan
langsung dengan hak atas tanah yang merupakan bagian dari permukaan bumi. Permukaan bumi
yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada untuk dimiliki oleh orang- orang baik sendiri
maupun bersama- sama dengan orang-orang lain serta badan hukum. Tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Oleh sebab
itu, pengelolaan tanah dalam arti pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan
hak-hak tanah, serta pengukuran dan pendaftaran tanah perlu ditata dan diatur demikian rupa
sehingga tanah dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat seperti yang
diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yaitu “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.4

b. Pengertian Pendaftaran Tanah

Menurut A.P. Perlindungan, pendaftaran tanah adalah berasal dari kata Cadastre (Bahasa
Belanda Kadaster) suatu istilah teknik untuk suatu record (rekaman) menunjukkan kepada luas,
nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari
bahasa latin “Capistratum” yang berarti suatu register atau capita ataau unit yang diperbuat untuk

4
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Media Group, jakarta, 2012, hlm. 10
pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record pada
lahan-lahan, nilai dari pada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan.
Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi
dari tersebut dan juga sebagai Continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak
atas tanah Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara
terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang- bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk pemberian tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.5

c. Asas-Asas Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa


pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas6 :
1. Asas Sederhana
Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya
dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama
para pemegang hak atas tanah.
2. Asas Aman
Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas Terjangkau
Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memerhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi

5
A.P.Parlindungan (selanjutnya disebut A.P.Parlindungan I), Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 1999, hlm. 18-19
6
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1997 Tentang Pendaftaran Tanah
lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran
tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.
4. Asas Mutakhir
Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan
kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan
pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut
dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu
sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
5. Asas Terbuka
Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh
keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang benar setiap saat di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.

d. Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama dalam


pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Maka
memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang
hak atas tanah yang dijamin oleh Undang- Undang. Jaminan kepastian hukum sebagai
tujuan pendaftaran tanah meliputi:
1. Kepastian status hak yang didaftar
Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti status hak
yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
atau Tanah Wakaf.
2. Kepastian Subjek Hak
Artinya dengan pendaftaran tanah akan didapat diketahui dengan pasti pemegang
haknya, apakah perseorangan (warga negara Indonesia atau orang asing yang
berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara bersama-sama atau badan
hukum (badan hukum privat atau badan hukum publik)
3. Kepastian objek hak
Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti letak tanah,
batasbatas tanah, dan ukuran luas tanah. Letak tanah berada di jalan, batas-batas
tanah meliputi sebelah utara, selatan timur, dan barat berbatasan dengan tanah
siapa atau tanah apa. Ukuran (luas) tanah dalam bentuk meter persegi.
4. Untuk Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang terdaftar. Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah yang
juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-
bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah dengan
mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar. Untuk melaksanakan fungsi informasi, data fisik dan data yuridis dari
bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum.
Dengan pendaftaran tanah, pemerintah maupun masyarakat dapat dengan mudah
memperoleh informasi tentang data fisik dan data yuridis di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota apabila mau mengadakan suatu perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar, misalnya
pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah atau perusahaan swasta, jual beli,
lelang, pembebanan Hak Tanggungan.
5. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Program Pemerintah di bidang pertanahan dikenal dengan Catur Tertib
Pertanahan, yaitu Tertib hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan,
tertib Penggunaan Tanah, dan tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian
Lingkungan hidup. Untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan
dilaksanakan dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat Rechts
Cadaster. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan
perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mewujudkan tertib
adiministrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk
peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun wajib didaftar.

2. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

A. Pengertian Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat PTSL adalah


kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi
semua objek Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu
wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi
pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek Pendaftaran
Tanah untuk keperluan pendaftarannya.7

B. Dasar Hukum PTSL

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah
3. Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas
jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementrian Agraria
dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional.
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 86/PMK 02/2017
tentang standar biaya keluaran tahun anggaran 2018
5. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 33 Tahun 2016 tentang Surveyor Kadaster Berlisensi

7
Pasal 1 ayat 2,Peraturan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
6. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap

C. Tujuan PTSL

Adapun tujuan PTSL ini adalah untuk percepatan pemberian kepastian hukum hak
atas tanah rakyat secara pasti, sederhana, cepat, lancar, aman, adil, dan merata dan
terbuka secara akuntabel. Kemudian agar terdapat keseragaman dalam pencatatan,
pertanggungjawaban dan pelaporan atas pelaksanaan kegiatan PTSL.8

8
Juknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2019
BAB III
PEMBAHASAN

Kendala dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Melalui Pendaftaran Tanah Sistematis


Lengkap di Kota Batu dan Upaya Penyelesaiannya

Permasalahan yang timbul dari pelaksanaan PTSL dapat berupa batas tanah, obyek
sedang dijaminkan di bank, dan obyek sudah bersertifikat namun didaftarkan kembali. Ketika
dalam proses pelaksanaan PTSL di Kota Batu timbul suatu permasalahan maka bidang tersebut
akan ditunda hingga masalah tersebut terselesaikan. Dalam hal ini peran desa sangat diperlukan
karena pihak desa yang menyaring obyek-obyek yang bermasalah ataupun tidak. Berikut
merupakan problematika dan upaya penyelesaiannya yang ditemukan dalam pelaksanaan PTSL
di Kota Batu:

a. Obyek Tanah dalam Penjaminan di Perbankan


Ketika permasalahan berkaitan dengan obyek yang dijaminkan di bank maka Pemohon
akan dimintakan surat pernyataan bahwa setelah sertifikat tersebut telah ditebitkan
Kantor Pertanahan Kota Batu akan dikembalikan lagi ke perbankan. Selain itu, sertifikat
tanah tersebut akan diberi tanda sebagai bentuk adanya penjaminan obyek tersebut.
Penyerahan juga tidak diberikan kepada pemilik tanah melainkan akan diberikan kepada
pihak bank sebagai kreditur.

b. Jangka waktu pengumuman data fisik dan yuridis


PTSL memberikan kemudahan dan keringanan kepada masyarakat untuk
memperoleh sertifikat tanah. Pengumuman terkait kepemilikan tanah dalam program
PTSL hanya 14 hari kalender dan tidak memerlukan akta peralihan. Akta peralihan
diubah dengan surat pernyataan pengakuan tanah. Legalitas yang diberikan juga sama
sehingga tidak perlu diragukan lagi kepastian hukum yang ada. Meskipun hanya 14 hari
kalender untuk pengumuman kepemilikan tanah, sengketa yang dimunculkan akan
mudah diatasi karena program ini bersifat serentak. Sertifikat tanah yang diterbitkan dari
proses PTSL tidak ada perbedaan dengan sertifikat yang diterbitkan secara sporadik.
Pengumuman data fisik dan data yuridis yang dipercepat merupakan bentuk lain
penyimpangan aturan dalam PP 24 Tahun 1997. Pengumuman merupakan implementasi
asas publisitas dalam pembuktian kepemilikan tanah. Pengumuman data fisik dan data
yuridis dalam pelaksanaan PTSL hanya 14 hari kalender berdasarkan ketentuan Permen
Agraria No 6 Tahun 2018. Bapak Agus menjelaskan bahwa waktu pengumuman data
fisik dan data yuridis selama 14 hari kalender dianggap cukup karena kegiatan PTSL
merupakan kegiatan besar dan diketahui oleh orang banyak sehingga ketika ada pihak
yang tidak setuju akan data tersebut dapat langsung mengajukan keberatan kepada Kantor
Pertanahan.
Jangka waktu 14 hari kalender memang tergolong singkat dan efisien mengingat
bahwa PTSL merupakan kegiatan pemerintah yang memiliki target setiap periodenya.
Namun, permasalahan muncul ketika aturan tersebut bertentangan dengan aturan yang
diatasnya yaitu PP 24 Tahun 1997 yang memberikan jangka waktu pengumuman data
fisik dan data yuridis untuk tanah yang belum bersertifikat selama 60 hari kerja.
Berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior maka aturan yang digunakan yaitu PP
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah karena memiliki kedudukan yang tinggi bila
dibandingkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 2018.

c. Surat Pernyataan Kepemilikan dengan Itikad Baik


Permen Agraria No 6 Tahun 2018 telah mengenyampingkan PP 24 Tahun 1997.
Bentuk pengecualian dari PP 24 Tahun 1997 dalam pelaksanaan PTSL yaitu tidak
menggunakan akta peralihan ketika memang ada peralihan hak atas tanah sebelumnya.
PP 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa setiap peralihan hak atas tanah yang dialihkan
wajib menggunakan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun,
untuk mengefisienkan waktu dan administrasi maka akta tersebut diganti dengan surat
pernyataan kepemilikan tanah bermaterai yang dibuat oleh Pemohon. Sebenarnya akta
PPAT menjadi salah satu upaya Pemerintah memberikan kepastian hukum hukum adanya
peralihan hak atas tanah karena akta yang diterbitkan oleh PPAT merupakan akta otentik
yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Selain itu, dengan penerbitan akta
tersebut juga membantu pemerintah dalam penarikan pajak peralihan hak atas tanah
karena tidak boleh dilakukan penandatanganan akta peralihan sebelum pajak peralihan
dibayarkan.
Sehingga ketika pemohon tidak dapat membuktikan bukti peralihan kepemilikan
tanah karena tidak memiliki atau tidak lengkap maka diganti dengan membuat surat
pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah dengan
itikad baik. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 ayat 2 Permen Agraria No 6 Tahun 2018 yang
menyebutkan bahwa “Dalam hal bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak lengkap atau
tidak ada sama sekali maka dapat dilengkapi dan dibuktikan dengan surat pernyataan
tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah dengan itikad baik oleh
yang bersangkutan”.
Surat pernyataan tersebut dibuat oleh Peserta PTSL dengan disaksikan oleh dua
orang saksi dari lingkungan sekitar yang tidak memiliki hubungan darah dan dapat
dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana. Dalam hal ini itikad baik
setiap pemohon merupakan tolak ukur berupa kejujuran yang sulit diidentifikasi secara
langsung dan merupakan kesadaran dari setiap pemohon. Surat pernyataan yang
menggantikan akta peralihan ini tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
seperti akta PPAT karena dibuat sendiri oleh pemohon dengan disaksikan oleh dua orang
saksi. Surat tersebut hanya merupakan surat dibawah tangan yang memiliki kekuatan
pembuktian lemah bila dibandingkan akta otentik. Sehingga suatu saat dapat
dipermasalahkan oleh orang lain yang mampu membuktikan sebaliknya.
Surat pernyataan tersebut dibuat oleh Peserta PTSL dengan disaksikan oleh dua
orang saksi dari lingkungan sekitar yang tidak memiliki hubungan darah dan dapat
dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana. Dalam hal ini itikad baik
setiap pemohon merupakan tolak ukur berupa kejujuran yang sulit diidentifikasi secara
langsung dan merupakan kesadaran dari setiap pemohon. Surat pernyataan yang
menggantikan akta peralihan ini tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
seperti akta PPAT karena dibuat sendiri oleh pemohon dengan disaksikan oleh dua orang
saksi. Surat tersebut hanya merupakan surat dibawah tangan yang memiliki kekuatan
pembuktian lemah bila dibandingkan akta otentik. Sehingga suatu saat dapat
dipermasalahkan oleh orang lain yang mampu membuktikan sebaliknya.
Surat pernyataan tersebut harus menyatakan bahwa memang tidak ada pihak yang
keberatan atas tanah yang dimiliki dan tidak dalam sengketa, serta menyatakan bahwa
tanah tersebut bukan merupakan aset pemerintah dan bukan kawasan hutan. Surat
pernyataan tersebut disaksikan oleh dua orang dan memang dibuat berdasarkan
keterangan yang sebenarnya. Sehingga ketika Pemohon ternyata dikemudian hari
ditemukan terdapat itikad buruk terhadap kepemilikan tanah tersebut maka akan
dikenakan sanksi perdata dan pidana. Sedangkan Kantor Pertanahan Kota Batu tidak akan
ikut bertanggung jawab atas hal tersebut.9

d. Penundaan Pembayaran Pajak Peralihan Hak Atas Tanah


Pengecualian lainnya yaitu adanya penundaan pembayaran pajak peralihan tanah
seperti Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
(PPh). Pajak Peralihan HAT merupakan kewajiban setiap pemohon dalam mengalihkan
tanahnya. Pasal 33 Permen Agraria 6 Tahun 2018 memberikan ruang kemudahan dalam
pelaksanaan PTSL karena masyarakat yang belum mampu untuk membayar PPh dan
BPHTB dapat membuat surat pernyataan PPh dan BPHTB terhutang. Kelemahan pasal
tersebut yaitu Permen Agraria No 6 Tahun 2018 belum menjelaskan terkait mekanisme
penagihan dan jangka waktu penundaan pembayaran pajak tersebut. Pasal 33 hanya
menyebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan wajib menyampaikan daftar PPh dan
BPHTB yang terhutang secara periodik dalam waktu 3 bulan kepada Bupati atau
Walikota dan apabila terdapat peralihan hak atau perubahan atas buku tanah dan sertifikat
tanah hanya dapat dilakukan ketika Pemohon tersebut telah melunasi PPh dan BPHTB
yang terhutang tersebut.
Dalam hal ini, Kantor Pertanahan Kota Batu memiliki kewajiban untuk
mengirimkan data tersebut kepada Walikota Batu terkait pajak terutang tersebut setiap 3
bulan. Apabila Kepala Kantor Pertanahan Kota Batu tidak tertib administrasi terkait hal
pelaporan pajak terutang ini maka Pemerintah Daerah dan Pusat akan mengalami
kerugian. Selain itu, perlu adanya aturan yang jelas dan khusus terkait pajak terutang

9
Pasal 22 ayat (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 2018
tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
(PPh dan BPHTB terutang) dalam pelaksanaan PTSL sehingga tidak ada pihak-pihak
yang dirugikan dikemudian hari.
Pada dasarnya pembiayaan terkait pelaksanaan PTSL telah diatur dalam Surat
Keputusan Bersama Menteri ATR/Ka. BPN, Mendagri, dan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 25/SKB/V/2017, Nomor 590-31671A Tahun
2017, Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah
Sistematis. Pembiayaan yang diatur dalam surat tersebut yaitu utnuk kegiatan penyiapan
dokumen, pengadaan patok dan mateari, dan kegiatan operasional petugas
kelurahan/desa. Sedangkan biaya BPHTB dan PPh tidak dijelaskan dalam surat tersebut.
Pajak peralihan memang cukup memberatkan masyarakat ketika ada peralihan
hak atas tanah. Sehingga, khusus pelaksanaan PTSL sebaiknya terdapat pengecualian
terkait pembayaran BPHTB dan PPh terkhusus untuk masyarakat yang kurang mampu.
Pemerintah dapat memberikan pengurangan dan/atau keringanan terkait penarikan pajak
tersebut bahkan dapat memberikan presentase nol persen terhadap perhitungan pajak. Hal
ini dapat dilakukan dengan merevisi SKB 3 Menteri tersebut dengan memberikan pasal
khusus terkait perpajakan

e. Sumber daya manusia yang kurang


Permasalahan lain yang muncul dalam pelaksanaan PTSL di Kota Batu tersebut
yaitu sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang terpenting dalam pelaksanaan
PTSL yaitu Petugas Ukur. Jumlah Petugas Ukur di Kantor Pertanahan Kota Batu yang
sedikit dibanding dengan luas tanah di Kota Batu menyebabkan proses pengukuran di
Kota Batu berlangsung lama. Berdasarkan wawancara dengan Bu Wira, dapat diketahui
bahwa satu tim petugas ukur yang terdiri dari dua orang dapat mengukur lima hingga
sepuluh bidang tanah per harinya. Namun ketika letak tanahnya berjauhan maka satu hari
hanya bisa mengukur lima bidang tanah. Tanah yang diukur di Kota Batu didominasi
oleh tanah yang cukup luas.
Proses pemetaan atau pengukuran, berdasarkan pemaparan Bu Wira, dapat diproyekkan
karena sumber daya manusia di Kantor Pertanahan Kota Batu masih sedikit. Kantor
Pertanahan Kota Batu dapat memproyekkan pengukuran tersebut dapat diberikan kepada
Pihak Ketiga. Pihak ketiga dapat berupa Badan Usaha maupun Perorangan yang telah
menjadi surveyor berlisensi. Tugas yang diberikan kepada pihak ketiga ini sejak
pengukuran hingga menggambar peta bidang. Namun hal ini tidak dilakukan meskipun
sumber daya manusia yang sedikit, Kantor Pertanahan Kota Batu masih dapat
mengupayakan sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain
Sumber daya manusia sebenarnya sudah diantisipasi oleh Pemerintah dengan
menerbitkan Peraturan Menteri ATR/ Ka. BPN Nomor 11 tentang Surveyor Kadaster
Berlisensi. Namun, juga dapat memberdayakan dan memberikan kewenangan kepada
Pegawai Tidak Tetap yang terdapat di lingkungan Badan Pertanahan Republik Indonesia
yang sebenarnya memiliki kompetensi dan kemampuan lebih dalam pengukuran tanah.
Selain itu, sebenarnya dapat melibatkan pihak lain yang berlatar belakang pengukuran
tanah.

f. Tanah Absentee dan Tanah Terlarang di Kota Batu


Masalah lain yang ditemukan dalam pelaksanaan PTSL yaitu terdapat tanah
absentee dan tanah yang bersengketa. Tanah absentee merupakan tanah pertanian yang
dimiliki oleh perorangan yang tempat tinggalnya tidak dalam satu kecamatan. Pasal 10
UUPA telah menyebutkan bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan
secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Ketika suatu tanah termasuk dalam tanah absentee
maka wajib dialihkan kepada orang lain yang masih tinggal dalam satu kecamatan paling
lambat 6 bulan sejak pemilik tanah tersebut pindah. Selain tanah absentee ada juga tanah
terlantar yang ada di Kota Batu. Kepemilikan tanah di Kota Batu terkadang hanya
sebagai investasi dan pemegang hak ternyata tidak berdomisili di Kota Batu. Akibat
adanya tanah absentee dan tanah terlantar inilah, pengukuran tanah di Kota Batu dalam
PTSL menjadi terhambat karena pemilik yang tidak ada sehingga kesulitan untuk
melakukan pengukuran tanah dalam hal penentuan batas.
Tanah yang belum bersertifikat belum memiliki batas tanah sehingga kehadiran
pemilik tanah sangat diperlukan. Petugas ukur akan mengukur tanah sesuai dengan
petunjuk pemilik tanah dan pihak-pihak yang tanahnya saling berbatasan. Sebelum
kegiatan pengukuran dan penetapan batas maka pemilik dan pihak yang berbatasan akan
menandatangani surat pernyataan terkait batas-batas tanah yang sebelumnya ditentukan
atas kesepakatan bersama. Penentuan batas ini terkait dengan asas kontradiktur delimitasi
yang sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 17 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 yang
menyebutkan bahwa “Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran
tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya,
batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut
bidang tanah yang bersangkutan.”
Penetapan batas-batas tersebut merupakan kesepakatan oleh Pemilik tanah dan
pihakpihak yang berbatasan. Asas kontradiktur delimitasi merupakan asas yang
digunakan sebagai tahap awal pekerjaan pengukuran tanah yang dilakukan oleh Pemilik
tanah dan pemilik tanah yang berbatasan. Apabila ada pihak yang tidak sepakat atas
penetapan batas tersebut maka akan dilakukan penetapan batas sementara yang telah
diatur dalam Pasal 19 PP 24 Tahun 1997. Selain ketidakhadiran pemilik tanah, asas ini
tidak dapat berjalan dengan baik karena pemegang hak atas tanah tidak memelihara batas
tanah dengan baik dan adanya sengketa batas tanah, sengketa keluarga, atau tetangga dan
sengketa tanah yang sudah masuk dalam ranah pengadilan.
Pemerintah seharusnya lebih bertindak jelas terhadap penertiban tanah absentee
dan tanah terlantar. Tanah absentee telah diatur dalam UU Nomor 56 Tahun 1960 yang
menjelaskan bahwa tanah absentee dan tanah yang melebihi batas maksimum
direncanakan untuk didistribusikan kepada kelompok masyarakat yang tidak memiliki
tanah. Sedangkan untuk penertiban tanah terlantar juga sudah diatur dalam PP Nomor 11
Tahun 2010. Namun, kedua aturan tersebut belum bisa berjalan dengan baik karena
kedudukan pemegang hak atas tanah kuat karena memiliki sertifikat hak atas tanah.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pelaksanaan PTSL di Kota Batu ditemukan masalah yaitu obyek tanah dalam penjaminan
di perbankan, jangka waktu pengumuman data fisik dan yuridis yang ternyata
bertentangan dengan PP 24 Tahun 1997, Surat Pernyataan Kepemilikan dengan Itikad
Baik sebagai pengganti akta peralihan yang merupakan akta dibawah tangan, penundaan
pembayaran Pajak Peralihan Hak Atas Tanah, sumber daya manusia yang kurang
khususnya petugas ukur yang menyebabkan lambatnya proses PTSL, masih terdpat tanah
Absentee dan tanah terlantar di Kota Batu yang mengakibatkan pengukuran bidang tanah
tidak dapat berjalan dengan lancar karena pemilik tanah tidak berada ditempat untuk
menunjukkan batas dan memberikan persetujuan batas tanah.

B. SARAN

Sebaiknya ketika mau melakukan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Pemerintah


perlu menghadirkan para pemilik tanah sehingga proses pengukuran tanah ini bisa
dilaksanakan atau berjalan dengan baik. Untuk tanah absente dan tanah terlantar
Pemerintah juga harus bertindak tegas sesuai yang di perintahkan atau yang tercantum di
dalam undang-undang. Sehingga tanah terlantar tadi bisa di distribusikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak memilik tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Ady Kusnadi Dkk, Penelitian Tentang Efektifitas Peraturan Perundang-Undangan Larangan


Tanah Absentee, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Jakarta: 2001

Isdiyana Kusuma Ayu,”Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Melalui Pendaftaran


Tanah Sistematis Lengkap di Kota Batu” , Vol. 27, No. 1, Maret 2019-Agustus 2019

Juknis Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2019

Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Media Group, jakarta, 2012

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Anda mungkin juga menyukai