Anda di halaman 1dari 21

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI TANAH YANG

KEHILANGAN HAK AKIBAT JUAL BELI ATAS TANAH YANG


PERNAH MENJADI OBJEK SENGKETA PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA
(CONTOH KASUS: PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 658 PK/PDT/2017)
Novia Gunawan, Tjempaka
noviagunawan19@yahoo.com

ABSTRAK
Tanah merupakan kewenangan Negara untuk mengatur pemberian dan penggunaan tanah
kepada masyarakat agar tanah dimanfaatkan bagi pencapaian yang sebesar-besar untuk
kemakmuran rakyat dengan tuntutan kepastian hukum serta perlindungan hukum antar
masyarakat. Meskipun kebijaksanaan mengenai kemanfaatan tanah yang diatur oleh negara ada
tetap saja dalam realitanya sering terjadinya ketidaktertiban dan ketidakpastian hukum. Seperti
contoh kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017 yaitu terbitnya 2 (dua)
sertipikat atas tanah yang sama dengan hak yang berbeda, Dirman Pardosi dengan Hak Guna
Bangunan dan John dengan Hak Milik-nya yang ternyata tanah milik John Tandiari sedang
menjadi objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Bagaimana bentuk perlindungan
hukum bagi pembeli tanah yang kehilangan hak akibat jual beli atas tanah yang pernah menjadi
objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara? Bagaimana bentuk tanggung jawab PPAT
terhadap akta jual beli yang dibuat antara Bacce dengan Gunadi Yauw dan Gunadi Yauw
dengan John Tandiari? Penulis meneliti masalah tersebut dengan menggunakan metode hukum
normatif dan menggunakan wawancara sebagai data penunjang. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa perlindungan hukum akan didapatkan jika pembeli tanah dapat
membuktikan hak mereka di Pengadilan kemudian jika penjual memberikan biaya ganti rugi
serta mengembalikan uang transaksi pembelian objek jual beli tanah 100% (seratus persen)
kepada pembeli yang dinyatakan harus mengembalikan tanah kepada pemilik atas nama yang
memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan PPAT bertanggung jawab hanya
pada akta jual beli yang dibuat antara Gunadi Yauw dan John Tandiari karena dibuat secara
sadar baik secara pribadi maupun bersama-sama bahwa tanah sedang dalam sengketa
Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kata Kunci: Jual Beli Tanah, Objek Sengketa PTUN, Hak Atas Tanah

1. PENDAHULUAN

Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi yang memiliki banyak sekali hak,
diantaranya adalah Hak Milik, Hak Guna Banguan, Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Sewa.
Hak milik atas tanah merupakan hak yang diberikan oleh Negara agar dapat dimiliki oleh warga
negara Indonesia dengan cara melakukan pendaftaran tanah. Tanah memiliki nilai yang sangat
strategis bagi kehidupan manusia.1
Karena tanah bernilai sangat strategis bagi kehidupan manusia, maka negara berwenang
untuk mengatur pemberian dan penggunaan tanah kepada perseorangan, masyarakat, maupun

1
Samun Ismaya, Hukum Administrasi Pertanahan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 1.
763

kepada perusahaan-perusahaan agar tanah dapat dimanfaatkan bagi pencapaian sebesar-besar


kemakmuran rakyat.
Kemakmuran rakyat yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai wujud dari kemanfaatan yang dicapai, yang artinya
hasil dari kebijaksanaan yang tepat guna, yang tidak ditetapkan secara semena-mena melainkan
secara sah menurut hukum. Hal ini berkaitan dengan tuntutan keadilan antara lain
keseimbangan kepentingan, atau berkaitan dengan tuntutan ketertiban hukum atau kepastian
hukum.2
Meskipun kebijaksanaan mengenai kemanfaatan tanah yang diatur oleh negara ada
tetap saja dalam realita sering tidak terjadinya ketertiban dan kepastian hukum. Ketidakpastian
hukum yang terjadi di masyarakat sangat merugikan masyarakat terutama masyarakat yang
benar-benar taat hukum. Ditambah kebutuhan lahan yang terus meningkat dan sangat pesat
sementara ketersediaan tanahnya terbatas sehingga tidak jarang menimbulkan konflik
pertanahan baik berupa konflik kepemilikan, maupun konflik yang menyangkut penggunaan
tanah itu sendiri.3
Berdasarkan banyak kasus sengketa dalam dunia pertanahan yang sering kali terjadi
tersebut, maka sangat perlu dilakukannya pendaftaran tanah dengan tujuannya untuk
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pemegang hak atas
tanah.4
Pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 19, yang
dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Sistem pendaftaran yang
digunakan adalah sistem pendaftaran hak, sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah.
Beberapa hal yang dilakukan pada tahap pendaftaran tanah menurut Pasal 19 Ayat 2 UUPA
menyebutkan :5
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dalam sistem publikasi negatif positif, negara hanya secara pasif menerima apa yang
dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu sewaktu-waktu dapat
digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah dari
orang yang sudah terdaftar tidak dijamin, walaupun telah memperoleh tanah itu dengan itikad
baik.
Seperti kasus yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017,
subjek dari kasus ini yaitu Dirman Pardosi sebagai pemilik sebidang tanah di Jalan Andi
Pangeran Pettarani, Kelurahan Banta-Bataeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar dengan
sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 20076 yang terbit pada tanggal 21 Juli 2002, John
Tandiari sebagai pemilik atas sebidang tanah yang sama di Jalan Andi Pangeran Pettarani,
Kelurahan Banta-Bataeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar dengan sertipikat Hak Milik
Nomor 21266 yang terbit pada tanggal 22 Oktober 2010, dan Gunadi Yauw yang membeli
tanah seluas 1.243 m2 dari pecahan seripikat Hak Milik atas tanah seluas 10.980 m2 atas nama
Bacce Bin Kido pemilik semula yang sah atas tanah tersebut..
Pertama-tama Tanah tersebut diperoleh Dirman Pardosi dari jual beli antara beliau
dengan PT Timurama, Tanah yang dibeli oleh Dirman Pardosi dari PT Timurama belum terbit
Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan Nomor 330/Rappocini baru terbit pada tanggal 8

2
Ibid., 15.
3
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 21-22.
4
Ibid., 112.
5
Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


764

Januari 1981 atas nama Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912 dan masa berlaku Hak Guna
Bangunan Nomor 330/Rappocini berakhir pada tanggal 5 Januari 2001.
Kemudian Dirman Pardosi mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna
Bangunan dan akhirnya diperpanjang dengan Sertipikat Hak Gunan Bangunan Nomor
20076.Banta-Bataeng tanggal 21 Juli 2002, Surat Ukur Nomor 00236/2002 atas nama Asuransi
Jiwa Bersama Bumiputra 1912.
Pada tanggal 18 Januari 2007 Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Sulawesi Selatan melakukan pembatalan terhadap Sertipikat Hak Guna Banguan Nomor
20076/Banta-Bataeng atas nama Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912. Atas pembatalan
tersebut AJB Bumiputra 1912 mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
Makassar dan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 161 K/TUN/2008 tanggal 21
Agustus 2008 menyatakan/memerintahkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Sulawesi Selatan untuk mencabut Surat Keputusan berupa Surat Nomor 570-520-02-
53.01-2007 tanggal 18 Januari 2007 tentang Atas pembatalan tersebut AJB Bumiputra 1912
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dan berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 161 K/TUN/2008 tanggal 21 Agustus 2008
menyatakan/memerintahkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi
Selatan untuk mencabut pembatalan atas sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 20076/Banta-
Bantaeng, tercatat atas nama PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra 1912 yang terletak di
Kelurahan Banta-Bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 161 K/TUN/2008 yang
menyatakan/memerintahkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi
Selatan untuk mencabut pembatalan atas sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 20076/Banta-
Bantaeng, tercatat atas nama PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra 1912, Dirman Pardosi
beranalogi bahwa sertipikat Hak Guna Bangunan yang sudah dibatalkan menjadi berlaku
kembali secara otomatis oleh karena adanya putusan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut.
Sementara itu tanah yang telah ada putusan dari PTUN itu dijual oleh ahli waris dari
Bacce bin Kido seluas 1.243 m2 kepada Gunadi Yauw pada tanggal 1 Oktober 2007 dan Gunadi
Yauw mengalihkan tanah hak milik tersebut kepada yang John Tandiari melalui jual beli pada
tanggal 22 Oktober 2010.
Menurut Gunadi dan John seharusnya setelah terbitnya surat pembatalan atas Hak Guna
Bangunan dari Badan Pertanahan Nasional, PT Asuransi Jiwa Bersama sudah tidak memiliki
hak apapun lagi dan petitum atas putusan PTUN yang mencabut pembatalan tersebut tidak
beralasan hukum.
Ditambah ahli waris Becce bin Kido juga menyatakan bahwa memang PT Timurama
belum membebaskan tanah dari pemiliknya yaitu Bacce bin Kiddo, sehingga PT Timurama
tidak mempunyai hak apapun untuk menjual tanah tersebut kepada Asuransi Jiwa Bersama
Bumiputra, karena menurut pernyataan ahli waris Bacce bin Kido tidak pernah ada transaksi
apapun dengan PT Timurama.
Bukti berupa foto kopi kuitansi pembayaran atas tanah sengketa yang ditunjukan oleh
PT Timurama tidak jelas subjeknya, tidak ada tanggal transaksi dan tidak bermeterai. Namun
pada saat peninjauan kembali dengan Putusan Nomor 658 PK/Pdt/2017 John Tandiari
dinyatakan sebagai pihak yang kalah dengan pertimbangan hakim bahwa meskipun bukti
kepemilikan dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, namun tidak menghilangkan
kepemilikan bagi pemiliknya
Bertitik tolak dari pemikiran yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji permasalahan ini dalam bentuk tulisan berupa proposal tesis dengan judul
“Perlindungan Hukum Pembeli Tanah Yang Kehilangan Hak Akibat Jual Beli Atas Tanah
Yang Pernah Menjadi Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara (Contoh Kasus: Putusan
Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017)”.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


765

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jelaskan, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai bentuk perlindungan hukum bagi pembeli tanah
yang kehilangan hak akibat jual beli atas tanah yang pernah menjadi objek sengketa Pengadilan
Tata Usaha Negara dan bentuk tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat antara
Bacce bin Kiddo dengan Gunadi Yauw dan Gunadi Yauw dengan John Tandiari.
Sistematika penulisan ini disajikan secara sistimatis dalam sub sehingga penjelasannya dapat
terarah dengan baik. Sistematika ini terdiri dari 3 sub, yang akan diuraikan sebaga berikut:
Sub 1 PENDAHULUAN
Dalam sub ini akan dijelaskan tentang latar belakang, identifikasi dan perumusan
masalah, pertanggungjawaban sistematika.
Sub 2 Pembahasan
Sub ini menguraikan permasalahan hukum mengenai perlindungan hukum bagi pemilik
Sertipikat Hak Milik yang kehilangan hak akibat berlakunya kembali Sertipikat Hak Guna
Banguan yang telah dibatalkan dan pengaturan proses pembatalan sertipikat Hak Guna
Bangunan atas tanah yang telah ada lebih dulu sertipikat Hak Miliknya.
Sub 3 Penutup
Sub ini merupakan bagian terakhir yang berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban
dari permasalahan dan saran yang merupakan rekomendasi untuk ilmu pengetahuan dalam
bidang ilmu hukum khususnya di bidang pertanahan.

2. PEMBAHASAN
Penulis akan membahas permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini. Terdapat
2 (dua) macam permasalahan yaitu mengenai bentuk perlindungan hukum bagi pembeli tanah
yang kehilangan hak akibat jual beli atas tanah yang pernah menjadi objek sengketa Pengadilan
Tata Usaha Negara dan bentuk tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat antara
Bacce bin Kiddo dengan Gunadi Yauw dan Gunadi Yauw dengan John Tandiari yang terbagi
menjadi dua Sub B.1 dan Sub B.2.
Para Pihak Dalam Perkara Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 658
PK/Pdt/2017:
a. John Tandiari sebagai Pemohon Peninjauan Kembali;
b. Dirman Pardosi sebagai Termohon Peninjauan Kembali;
c. Gunadi Yauw sebagai Turut Termohon Peninjauan Kembali
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 658
PK/Pdt/2017:
a. Bahwa alasan permohonan peninjauan kembali ke-II (kedua) yaitu adanya pertentangan
dalam putusan perkara a quo dengan Putusan Nomor 65 K/TUN/1998 tidak dapat
dibenarkan, sebab Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengadili sengketa kepemilikan.
Oleh karenanya meskipun bukti kepemilikan dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan
hukum, namun tidak menghilangkan hak kepemilikan bagi pemiliknya;
b. Bahwa kewenangan untuk memutus dan menyelesaikan sengketa yang terkait dengan hak
kepemilikan adalah domain peradilan umum sedangkan peradilan tata usaha negara
berwenang untuk memutus dan menyelesaikan sengketa yang terkait dengan prosedur
administrasi penerbitan suatu hak;

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


766

c. Bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ke-II tersebut tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10
Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali maka permohonan
peninjauan kembali ke-II tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
d. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ke-II dari John Tandiari
dinyatakan tidak dapat diterima, maka John Tandiari dihukum untuk membayar biaya
perkara pada pemeriksaan peninjauan kembali ke II ini;
Amar Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 658 PK/Pdt/2017:
a. Menyatakan permohonan peninjauan kembali ke II dari John Tandiari tersebut tidak dapat
diterima;
b. Menyatakan permohonan peninjauan kembali ke II dari John Tandiari tersebut tidak dapat
diterima;
c. Menghukum John Tandiari untuk membayar biaya perkara pada pemeriksaan peninjauan
kembali ke II ini sejumlah Rp2.500.000,00.

2.1 Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Tanah Yang Kehilangan Hak Akibat Jual Beli
Atas Tanah Yang Pernah Menjadi Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara
Berbicara mengenai jual beli, sebelum transaksi jual beli dilakukan ada beberapa hal
yang harus diketahui oleh penjual tanah dan pembeli tanah seperti hak dan kewajiban para
pihak. Pembeli sebelum bertransaksi harus mengetahui sejarah tanah yang akan dibelinya
sejelas-jelas mungkin, caranya yaitu dengan mencocokan keterangan yang diberitahukan oleh
penjual dengan memeriksakan langsung keadaan tanah kepada Badan Pertanahan Nasional
dimana tanah yang akan dibeli berada. Dapat juga melalui bantuan PPAT dalam pemeriksaanya
jika pembeli kurang memahami proses tersebut.
Dalam hukum adat juga menjelaskan bahwa jual beli tanah adalah perbuatan hukum
pemindahan ha katas tanah untuk selama-lamanya sehingga harus dilakukan secara terang dan
tunai. Secara terang artinya, transaksi dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang,
dalam hal ini pejabat umum yang berwenang adalah PPAT, kewenangannya untuk membuat
akta-akta tertentu seperti Akta Jual Beli, tukar menukar, hibah, pemberian hak bangunan atas
tanah hak milik, pemberian hak tanggungan, dan pemberian hak pakai atas tanah hak milik.
Secara terang menurut hukum adat adalah di hadapan kepala adat.
Secara tunai artinya penjual menyerahkan tanah kepada pembeli dan pembeli membayar
harga yang telah disepakati. Meskipun harga yang dibayarkan belum lunas, hak atas tanah
sudah beralih kepada si pembeli karena jual beli sudah dilakukan.
Agar syarat terang dan tunai dalam jual beli tercapai yang pertama harus dilakukan oleh
penjual dan pembeli adalah dengan datang ke kantor PPAT yang dipilih berdasarkan
kesepakatan antara penjual dan pembeli tanah untuk melakukan transaksi jual beli tanah.
Dikarenakan secara hukum, peralihan ha katas tanah wajib dilakukan melalui PPAT, jika tidak
dengan PPAT dokumen-dokumen yang ditanda-tangani tidak berkekuatan hukum sehingga
sangat beresiko akan terjadi sengketa dikemudian hari.
Setelah datang ke kantor PPAT, PPAT akan memberikan penjelasan mengenai prosedur
dan syarat-syarat yang perlu dilengkapi baik oleh penjual maupun oleh pembeli. Pada
umumnya, yang pertama dilakukan PPAT sebelum transaksi dilakukan adalah melakukan
pemeriksaan sertifikat hak atas tanah dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Untuk pemeriksaan tersebut PPAT akan meminta asli sertifikat hak atas tanah dan Surat
Tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari Penjual. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


767

diperlukan untuk memastikan kesesuaian data teknis dan yuridis antara sertifikat tanah dengan
Buku Tanah di Kantor Pertanahan.
Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah juga dilakukan PPAT untuk memastikan bahwa
tanah tersebut tidak sedang terlibat sengketa hukum, tidak sedang dijaminkan, atau tidak
sedang berada dalam penyitaan pihak berwenang. Pemeriksaan STTS PBB dilakukan PPAT
untuk memastikan bahwa tanah tersebut tidak memiliki tagihan apapun yang tertunggak.
Hal lain yang perlu dipastikan sebelum menandatangani Akta Jual Beli juga pentingnya
persetujuan dari suami atau istri penjual dalam hal penjual telah menikah. Dalam suatu
pernikahan, akan terjadi percampuran harta bersama kekayaan masing-masing suami dan istri.
Begitu juga dengan hak atas tanah. Oleh karena hak atas tanah merupakan harta bersama dalam
pernikahan, penjualannya memerlukan persetujuan dari suami atau istri. Persetujuan tersebut
dapat diberikan dengan cara penandatanganan surat persetujuan khusus. Dalam hal ini, suami
atau istri dari pihak penjual turut menandatangani AJB.
Jika suami atau istri penjual telah meninggal, keadaan tersebut perlu dibuktikan dengan
Surat Keterangan Kematian dari kantor Kelurahan. Dengan meninggalnya suami atau istri,
anak-anak yang lahir dari pernikahan mereka akan hadir sebagai ahli waris dari tanah yang
akan dijual. Anak-anak tersebut juga wajib memberikan persetujuannya dalam AJB sebagai
ahli waris menggantikan persetujuan dari suami atau istri yang meninggal.
Kemudian penjual dan pembeli harus sudah ada kesepakatan atas harga jual beli tanah,
komponen biaya yang perlu dikeluarkan baik oleh penjual maupun pembeli terdiri dari Pajak
Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Untuk penjual
dikenakan Pajak PPh.
PPAT harus melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertipikat ke Kantor Pertanahan
terkait lalu, sebelum mendapatkan akta jual beli, penjual terlebih dahulu harus membayarkan
PPh. Tanpa ada pembayaran PPh, maka penjual dianggap melanggar aturan sehingga Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat menolak membuat Akta Jual Beli. Kemudian untuk harga
jasa PPAT sendiri sebesar 1% dari total transaksi.
Dasar hukum pengenaan PPh untuk penjual tanah menurut ketentuan dalam Pasal 1 Ayat
1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya sebagai berikut:
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
1) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
2) Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
b. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
Ayat 1 huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan
hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Besarnya pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah 2,5%
dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Setelah penjual dan
pembeli menyerahkan sertifikat tanah, bukti setor pajak dan dokumen identitas para pihak serta
membayar komponen biaya transaksi, penjual dan pembeli menghadap ke PPAT untuk
menandatangani Akta Jual Beli.
Sementara untuk pembeli, BPHTB, yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Menurut ketentuan dalam Pasal 85 Ayat 1 dan Ayat 2 huruf a angka
1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut salah satunya meliputi pemindahan hak
karena jual beli.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


768

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Untuk itu, mengenai BPTHB perlu dilihat dan disesuaikan kembali dengan peraturan di daerah
setempat. Seperti di DKI Jakarta BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan serta Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2017 tentang
Pengenaan 0% (Nol Persen) Atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap
Perolehan Hak Pertama Kali dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Sampai dengan
Rp2.000.000.000,00.
Apabila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi semua, maka penjual dan pembeli harus
menyerahkan persyaratan tersebut kepada PPAT dan selanjutnya PPAT akan memproses
transaksi jual beli hak atas tanah dengan membuatkan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak
penjual dan pihak pembeli.

Penandatanganan wajib dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi
kuasa dengan surat kuasa tertulis jika dikuasakan dan untuk menghindari adanya ke salah
pahaman dalam pembuatan akta biasanya disaksikan oleh dua orang saksi yang juga turut
menandatangani Akta Jual Beli. Umumnya kedua orang saksi tersebut berasal dari kantor
PPAT yang bersangkutan.
Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan
maksud pembuatan akta, termasuk juga menanyakan kepada kedua pihak apakah sudah lunas
atau belum untuk transaksinya. Apabila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli
maka akta ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi-saksi dan PPAT.
Akta Jual Beli dibuat 3 lembar, 1 lembar disimpan di Kantor PPAT, 1 lembar
disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran jual beli tanah, dan yang
diberikan kepada penjual dan pembeli adalah salinan sesuai asli.
Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, kemudian PPAT menyerahkan Akta Jual Beli ke
Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran jual beli tanah menjadi atas nama pembeli
selaku pemilik baru atas tanah tersebut. Bahwa penyerahan berkas-berkas tersebut harus
dilaksanakan selambat-lambatnya selama 7 (tujuh) hari kerja sejak akta tersebut
ditandatangani. Proses ini bisa berlangsung kurang lebih satu sampai tiga bulan.
Sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki Tanah di Indonesia wajib melakukan
pendaftaran tanah, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah adalah:
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengo-lahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia ada 2 yaitu sistem pendaftaran akta dan sistem
pendaftaran hak. Dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap
pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya dengan hak lain
kemudian harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta tersebut dengan sendirinya
dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan, perbuatan hukumnya, haknya, penerima
haknya, dan hak apa yang dibebankan.
Namun, sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut UUPA dan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur
positif, yang artinya bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


769

negatif,tetapi mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-sura ttanda


bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Hasil dari pada pendaftaran tanah yang memberikan jaminan perlindungan hukum dan
kepastian hukum kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah
karena dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, akan berguna sebagai alat bukti
kepemilikan suatu hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Sertipikat hak atas tanah menurut ketentuan Pasal 19 Ayat 2 UUPA merupakan surat
tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dikatakan sebagai
alat pembuktian yang kuat karena sertipikat merupakan alat bukti dan sertipikat memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Dalam Pasal 31 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sertipikat diterbitkan
untuk kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Sertipikat hanya boleh
diserahkan kepada orang yang namanya tercantum di dalam buku tanah ataupun boleh
diserahkan kepada pihak lain namun pihak lain tersebut haruslah pihak yang telah diberikan
kuasa oleh orang yang namanya tercantum dalam sertipikat itu.
Pasal 32 juga menyebutkan bahwa dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat
secara sah, pihak lain yang merasa berhak atas tanah itu tidak mengajukan keberatan ataupun
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat itu maka
sertipikat itu telah sah menjadi milik orang yang menerbitkan sertipikat itu.
Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia dilakukan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN), di bantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yang diatur dalam peraturan pemerintah dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang bersangkutan. Badan Pertanahan Nasional
berperan dalam membantu dan melayani masyarakat dalam mendapatkan haknya dibidang
pertanahan, serta dalam membantu masyarakat untuk dapat menemukan jalan penyelesaian bila
mana terdapat sengketa antar masyarakat mengenai haknya dibidang pertanahan.
Munculnya berbagai masalah mengenai tanah menunjukkan bahwa penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah di negara kita ini belum tertib dan terarah. Masih banyak
penggunaan tanah yang saling tumpang tindih dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai
dengan peruntukannya.6
Banyak sekali permasalahan yang timbul setelah jual beli dan pendaftaran tanah
dilakuan, meskipun prosedur-prosedur sudah dilakukan secara sah menurut hukum pertanahan
yang berlaku seperti kasus yang terjadi pada John Tandiari berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 658/PK/PDT/2017, John Tandiari digugat oleh Dirman karena Dirman merasa
ia yang berhak atas tanah itu, Dirman membeli tanah itu dari PT Timurama berdasarkan Akta
Jual Beli pada tahun 1974.
John Tandiari membeli tanah tersebut dari Gunadi Yauw secara sah bersasarkan Akta
Jual Beli dan sertipikat hak milik sudah dibalik nama menjadi nama John Tandiari secara sah.
Kemudian pada tahun 2011 John Tandiari digugat oleh Dirman Pardosi atas perbuatan
melawan hukum karena telah menguasai tanah objek sengketa. Ternyata dalam Putusan
Pengadilan Makassar Nomor 143/Pdt.G/2011/PNMks karena tanah yang dibeli oleh John
Tandiari dari Gunadi Yauw pada tahun 2010 itu sedang dalam sengketa dan dalam penguasaan
Dirman Pardosi.
Sengketa yang terjadi yaitu karena Hak Guna Bangunan atas tanah milik Dirman Pardosi
tersebut dibatalkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Sulawesi Selatan, sehingga Dirman
Pardosi langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan otomatis tanah
yang bersengketa itu menjadi objek sengketa pengadilan. Seharusnya tanah yang sedang dalam
6
Rendra Onny Fernando Chandra, Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah Menurut PP No.
24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Volume 26, Nomor 3, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Islam
Malang, 2020), 359.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


770

sengketa pengadilan tidak boleh dilakukan jual beli. Oleh karena itu John Tandiari menjadi
orang yang sangat dirugikan pada kasus sengketa ini.
Penulis setuju dengan pendapat dari Siauw Hendri Leo Prayogo, S.H., Sp.N., dan Belinda
Tanto menjabat sebagai Notaris PPAT dalam hal sebelum memproses Akta Jual Beli harus dan
wajib meneliti baik data fisik dan data yuridis dari tanah tersebut, apakah tanah tersebut sedang
dalam sengketa baik menjadi objek sengketa pengadilan atau sengketa kepemilikan lainnya.
Apabila tanah tersebut sedang dalam sengketa pengadilan PPAT berhak untuk menolak
membuatkan Akta Jual Belinya, karena sebagai PPAT tidak boleh asal dalam memberikan
informasi kepada klien harus sejelas-jelasnya sampai pada sejarah tanah tersebut apabila PPAT
mengetahuinya agar tidak ada pihak yang dirugikan baik PPAT itu sendiri ataupun para pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan Akta Jual Belinya.
Menurut ketentuan Pasal 39 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran tanah juga menyebutkan bahwa PPAT menolak membuat akta, jika objek
perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data
yuridisnya.
Kemudian penulis juga melakukan wawancara dengan Wawancara dengan Belinda
Tanto, S.H., M.Kn. (Notaris PPAT berkedudukan di Cilegon) membuahkan hasil sebagai
berikut:
Dalam hal perbuatan hukum baik untuk Akta Jual Beli Tanah, Akta Pembagian Hak
Bersama. Hibah dan Waris pengecekan sertipikat tanah wajib dilakukan oleh Notaris PPAT
sebelum dilaksanakannya perbuatan hukum atas tanah tersebut. Berdasarkan Pasal 97 Ayat 1
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
berbunyi: Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun PPAT wajib terlebih dahulu
melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. Oleh karena itu PPAT
wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah
pada Kantor Pertanahan setempat.
Jika dikemudian hari ternyata tanah yang dibuatkan Akta Jual Beli oleh PPAT dibuat saat
tanah menjadi objek sengketa pengadilan, apabila kesalahan atau pelanggaran terjadi dari para
pihak (penjual dan pembeli), maka PPAT tidak dapat diminta pertanggungjawaban. PPAT
hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dikatakan oleh para pihak
kemudian PPAT menuangkannya ke dalam akta.
Namun apabila terjadi sengketa akibat kelalaian atau pelanggaran terhadap akta yang
dibuatnya sehingga merugikan para pihak ataupun pihak ketiga, maka PPAT harus
bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya.
Menurut ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta
Tanah Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang melakukan pelanggaran, dapat
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


771

d. pemberhentian dengan tidak hormat.


Beliau memberikan saran bagi para calon pembeli tanah agar mendapatkan perlindungan
hukum bahwa tanah yang akan dibeli tidak sedang dalam sengketa yaitu baru melakukan
perbuatan hukum atas tanah tersebut setelah hasil pengecekan sertipikat di Badan Pertanahan
Nasional dan dinyatakan bahwa tanah tersebut aman atau bersih dari sita, hak tanggungan,
sengketa dan merupakan sertipikat satu-satunya atas tanah tersebut.
Kemudian PPAT akan menjelaskan terlebih dahulu kepada calon pembeli bahwa
pengecekan sertipikat bersifat wajib, karena itu merupakan suatu tindakan preventif untuk
mencegah atau meminimalisir terjadinya sengketa tanah dimasa yang akan datang.
Pengecekan sertipikat dilakukan untuk mengetahui informasi atas tanah tersebut, yaitu
apakah tanah tersebut bebas dari sita, apakah tanah tersebut merupakan objek hak tanggungan,
apakah tanah tersebut bebas dari sengketa, apakah sertipikat tersebut adalah sertipikat satu-
satunya dan tidak pernah dibuatkan sertipikat pengganti atau sertipikat ganda.
Karena John Tandiari mendapatkan tanah tersebut secara sah menurut peraturan yang
berlaku tetap saja bukti kepemilikan atas tanah yang dimiliki oleh John Tandiari tidak
berkekuatan hukum tetap karena yang pertama tanah tersebut sudah dimiliki lebih dahulu oleh
Dirman Pardosi dengan Hak Guna Bangunan yang masih berlaku, kemudian yang kedua John
Tandiari membeli tanah dari Gunadi Yauw yang sebelumnya Gunadi Yauw membeli tanah
tersebut dari ahli waris Bacce bin Kiddo pada saat tanah tersebut masih menjadi objek sengketa
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Meskipun sebenarnya Sertipikat Hak Milik atas tanah memberikan perlindungan hukum
kepada pemilik tanah karena dalam 5 tahun diterbitkanya secara sah suatu sertipikat tidak ada
yang mengajukan keberatan mengenai kepemilikan hak milik atas tanah maka tanah itu sudah
sah milik orang yang namanya tercantum dalam sertipipkat tersebut tetapi jika dalam proses
perolehan tanahnya terdapat cacat hukum maka perlindungan hukum tidak bisa diperoleh oleh
pemilik hak atas tanah.
Oleh karena itu agar pembeli tanah bisa mendapatkan perlindungan hukum secara utuh
sampai terbitnya sertipikat, baru melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut setelah hasil
pengecekan sertipikat di Badan Pertanahan Nasional dan dinyatakan bahwa tanah tersebut
aman atau bersih dari sita, hak tanggungan, sengketa dan merupakan sertipikat satu-satunya
atas tanah tersebut.
Kemudian PPAT akan menjelaskan terlebih dahulu kepada calon pembeli bahwa
pengecekan sertipikat bersifat wajib, karena itu merupakan suatu tindakan preventif untuk
mencegah atau meminimalisir terjadinya sengketa tanah dimasa yang akan datang. Edukasi
seperti ini yang sangat harus diberitahukan oleh PPAT kepada calon pembeli tanah maupun
penjual tanah karena sudah sering sekali terjadi sengketa tanah yang pada akhirnya merugikan
salah satu pihak dan juga memberikan citra buruk bagi PPAT yang membuatkan Akta Jual Beli
tanah tersebut.
Mengutip teori perlindungan hukum menurut Satjipto Rahardjo , perlindungan hukum
bertujuan untuk memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-
hak yang diberikan oleh hukum.
Penulis berpendapat berdasarkan teori tersebut sah saja jika Dirman Pardosi dan John
Tandiari menempuh jalur hukum yaitu pengadilan untuk mendapatkan hak mereka, dimana
Dirman merasa haknya telah dirampas oleh John dan John juga merasa haknya dirampas oleh
Dirman.
Perlindungan hukum bagi pembeli tanah bisa didapatkan dengan memastikan terlebih
dahulu pada saat sebelum dibuatkannya Akta Jual Beli dengan melakukan pemeriksaan surat-

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


772

surat tanah sejelas-jelasnya melalui PPAT ataupun langsung kepada Badan Pertanahan
Nasional dimana tanah itu berada.
Sedangkan perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang kehilangan hak akibat jual beli
atas tanah yang pernah menjadi objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara adalah melalui
gugatan yang terdapat dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
menyebutkan bahwa pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah dapat mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun langsung melalui Pengadilan mengenai pengguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat dalam waktu 5 tahun sejak sertipikat diterbitkan.
Jika tidak mengajukan keberatan atau Gugatan ke pengadilan maka pihak yang merasa
berhak memiliki atas tanah tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan hukum meskipun
tidak tahu hasilnya akan menang atau kalah, tetapi berupaya mendapatkan perlindungan hukum
itu diperlukan. Gugatan merupakan hak setiap Warga Negara Indonesia yang haknya dirampas
atau dirugikan oleh orang lain.
Kemudian, sebagai pembeli yang beritikad baik dan mendapatkan tanah atas jual beli
yang sah seharusnya pembeli yang dirugikan mendapat kompensansi uang ganti rugi beserta
harga jual beli atas tanah tersebut 100% (seratus persen) dari penjual, lalu untuk PPAT yang
membuatkan Akta ataupun Badan Pertanahan Nasional yang terbukti bersalah dalam
memberikan informasi ternyata tanah yang dilakukan perbuatan hukum sedang dalam objek
sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara mengembalikan 100% (seratur persen) biaya
pembuatan Akta Jual Beli (uang jasa PPAT ) atau biaya administrasi atas pendaftaran jual beli
yang dilakukan di Badan Pertanahan Nasional wilayah setempat.
Dengan cara tersebut yang harusnya terdapat dalam Putusan Pengadilan menurut penulis
agar pembeli yang dirugikan bukan karena kesalahannya melainkan karena kesalahan dari
PPAT ataupun Badan Pertanahan Nasional bisa mendapatkan perlindungan hukum dan
keadilan, karena pembeli harus menyerahkan tanah yang semula miliknya kepada pemilik
tanah yang sebenarnya.

2.2 Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Antara Bacce Bin
Kiddo Dengan Gunadi Yauw Dan Gunadi Yauw Dengan John Tandiari
Dalam hal kekuasaan jabatan yang dimiliki oleh PPAT, PPAT berkewenangan untuk
mengeluarkan produk hukum. Salah satu produk hukum yang dikeluarkan oleh PPAT dalam
pembasahan permasalahan ke 2 ini adalah Akta Jual Beli. PPAT sebagai pejabat yang
berwenang membuat akta menurut ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37
tahun 1998 yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Peralihan hak atas tanah melalui jual beli baru bisa didaftarkan jika ada akta yang dibuat
oleh PPAT yaitu Akta Jual Beli. Penandatangan Akta Jual Beli dilakukan langsung oleh
Penjual dan Pembeli. Pelaksanaan pembuatan Akta Jual Beli PPAT harus dihadiri oleh para
pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan
olehnya dengan surat kuasa tertulis.
Pembuatan Akta Jual Beli PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi
yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak
sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai
kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam
pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang
bersangkutan.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


773

Saksi yang hadir harus dapat memberikan kesaksian mengenai identitas penghadap,
kehadiran para pihak, kebenaran data fisik dan yuridis objek, keberadaan dokumen dan telah
dilaksanakannya suatu perbuatan hukum. Kemudian PPAT wajib membacakan akta kepada
para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan
akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang
berlaku.
Pembuatan Akta Jual Beli dapat dibuat apabila seluruh dokumen formal yang diperlukan
telah ada, seperti Surat Keterangan Hak Ahli Waris ataupun Surat Pernyataan Tidak Sengketa
dari Badan Pertanahan Nasional.
Setelah jual beli terjadi, dilakukan pembuatan Akta Jual Beli untuk dijadikan dasar
pendaftaran tanah dan beralihnya hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut diwujudkan dalam
bentuk sertifikat. Sertifikat sebagai bukti kepemilikan suatu tanah menurut ketentuan dalam
Pasal 32 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu:
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima
sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum
dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang
bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.
Pada dasarnya jual beli tanah dilakukan atas dasar perjanjian. Perjanjian yang dimaksud
harus memenuhi 4 (empat) syarat menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata:
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Ke-empat syarat di atas harus dipenuhi oleh para pihak, tetapi harus diingat bahwa atas
dasar kesepakatan perjanjian jual beli itu terjadi. Oleh karena itu pihak mana yang membuat
Akta Jual Beli ditentukan atas dasar kata sepakat. Sehingga kewajiban siapa yang menanggung
biaya pembuatan Akta Jual Beli di PPAT telah disepakati bersama. Hal tersebut bisa salah satu
pihak yang menanggung seluruhnya atau juga bisa keduanya sepakat untuk membayar biaya
pembuatan AJB bersama.
Dalam hal biaya yang diterima PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli menurut ketentuan
dalam Pasal 32 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 yaitu Uang jasa atau
honorarium PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa atau honorarium saksi tidak boleh
melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.
Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT tersebut tidak boleh mengandung cacat hukum,
sebab dapat mengganggu proses penerbitan sertifikat tanah bagi pemilik hak. Akta Jual Beli
yang dibuat harus sesuai dengan surat-surat sah yang dibawa oleh para Penghadap dan PPAT
wajib untuk meneliti kebenaran surat-surat tersebut.
Sebenarnya PPAT tidak wajib untuk memeriksa identitas seperti Kartu Tanda Penduduk,
Akta Lahir dan Kartu Keluarga, namun bila PPAT masih ragu akan kebenaran dokumen-
dokumen formal tersebut maka PPAT dapat meminta penghadapnya untuk membuat surat
pernyataan. Namun, yang menjadi kewajiban seorang PPAT berdasarkan hasil wawancara
dengan Siauw Hendry Leo Prayogo, seorang PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli baik
PPAT maupupun calon pembeli harus dan wajib meneliti baik data fisik dan data yuridis dari

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


774

tanah tersebut, apakah tanah tersebut sedang dalam sengketa baik menjadi objek sengketa
pengadilan atau sengketa kepemilikan lainnya.
Apabila tanah tersebut sedang dalam sengketa pengadilan PPAT berhak untuk menolak
membuatkan Akta Jual Belinya, karena sebagai PPAT tidak boleh asal dalam memberikan
informasi kepada klien harus sejelas-jelasnya sampai pada sejarah tanah tersebut apabila PPAT
mengetahuinya agar tidak ada pihak yang dirugikan baik PPAT itu sendiri ataupun para pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan Akta Jual Belinya.
PPAT dapat menolak membuatkan Akta apabila bidang tanah yang sudah terdaftar atau
hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang
bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan dan objek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan/atau data yuridisnya.
Dalam hal tanah yang menjadi objek sengketa di pengadilan tidak diperbolehkan dengan
alasan apapun dilakukan perbuatan hukum apapun atas tanah tersebut meskipun ada
persetujuan dari pemilik tanah bersangkutan dan calon pembeli tanah, karena objek yang ada
dalam segketa di pengadilan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Sangat beresiko jika dilakukan perbuatan hukum atas tanah yang menjadi objek sengketa.
Objek yang telah dinyatakan sita jaminan di pengadilan, sebelumnya Hakim akan
memberikan perintah kepada beberapa orang untuk memeriksa keadaan lokasi atau di lapangan
apakah benar objek tersebut ada nyatanya. Jika telah disetujui untuk dilakukan sita jaminan
maka akan diberitahukan melalui Surat Pemberitahuan sehingga tidak ada yang boleh
melakukan perbuatan hukum atas objek tersebut sampai ada putusan inkracht atas objek
tersebut baik objek itu adalah tanah sekalipun.
Mungkin saja surat pemberitahuan tersebut hanya diketahui oleh satu pihak saja, jika
dalam kasus sertipikat ganda pemilik sertipikat lain atas tanah yang sama yaitu tanah yang
menjadi objek sita pengadilan tidak mengetahui apa yang terjadi atas tanahnya yang sangatlah
dirugikan.
Kemudian PPAT yang terbukti membuatkan Akta Jual Beli tanah yang ternyata menjadi
objek sita pengadilan juga jika kesalahan tersebut terbukti yang kemudian menimbulkan
kecacatan dalam akta jual beli sehingga mengakibatkan akta tersebut menjadi batal demi
hukum, maka akan timbul kerugian yang dialami oleh PPAT tersebut.
PPAT dapat diminta untuk bertanggungjawab atas dasar kesalahan yang telah ia lakukan
pada saat pembuatan akta jual beli dan PPAT diwajibkan untuk memberi ganti kerugian dalam
bentuk penggantian biaya, bunga kepada para pihak yang mengalami kerugian.
Tetapi jika bukan kesalahan dari PPAT, seperti bahwa PPAT terbukti telah
memeriksakan dokumen-dokumen tanah sebelum dilakukan perbuatan hukum yaitu Akta Jual
Beli kepada Badan Pertanahan Nasional, maka menurut penulis PPAT tidak perlu bertanggung
jawab namun akta yang dibuatnya tetap batal demi hukum.
Oleh karena itu dalam transaksi jual beli sangat diperlukan itikad baik berupa kejujuran
serta kesepakatan antara penjual dan pembeli, karena selain mengenai masalah perlindungan
hukum kepada para pihak yang terlibat untuk saat transaksi berlangsung sampai setelah
transaksi dilakukan, PPAT sebagai pejabat yang turut melakukan perbuatan hukum juga
bertanggung jawab atas sengketa yang terjadi dikemudian hari.
Beberapa perbuatan yang sudah termasuk dalam tanggung jawab PPAT yaitu sejak PPAT
mulai menjelaskan terlebih dahulu kepada calon pembeli bahwa pengecekan sertipikat bersifat
wajib, karena itu merupakan suatu tindakan preventif untuk mencegah atau meminimalisir
terjadinya sengketa tanah dimasa yang akan datang.
Kemudian tanggung jawab ketika PPAT memeriksa sertipikat ke Badan Pertanahan
Nasional untuk mengetahui informasi atas tanah tersebut, yaitu apakah tanah tersebut bebas
dari sita, apakah tanah tersebut merupakan objek hak tanggungan, apakah tanah tersebut bebas

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


775

dari sengketa, apakah sertipikat tersebut adalah sertipikat satu-satunya dan tidak pernah
dibuatkan sertipikat pengganti atau sertipikat ganda.
Menjawab permasalahan ke 2 yang penulis angkat dalam penelitian ini, pertama penulis
akan membahas mengenai tanggung jawab PPAT terhadap Akta Jual Beli yang dibuat antara
ahli waris Bacce Bin Kiddo dengan Gunadi Yauw dan Gunadi Yauw dengan John Tandiari
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017 bahwa Gunadi Yauw menyatakan
dalam eksepsi bahwa Gunadi Yauw mengetahui bahwa tanah yang dibeli sudah bersertipikat
Hak Guna Bangunan Nomor 20076 atas nama PT Asuransi Jiwa Bumiputra yang sudah
dibatalkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Selatan
Beserta menurut Gunadi Yauw Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan
untuk mencabut Surat Pembatalan atas Hak Guna Bangunan tersebut tidak dapat serta merta
menghidupkan kembali Sertipikat Hak Guna Banguan tersebut karena dalam putusan PTUN
tidak ditemukan adanya kalimat yang menyatakan memerintahkan Kantor Pertanahan Kota
Makassar untuk menerbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan itu kembali.
Menurut ketentuan dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah,
ketentuan ini diadakan untuk menjamin kelangsungan penguasaan tanah dengan HGB yang
pada umumnya dipergunakan untuk tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokok
masyarakat. Perpanjangan dan pembaruan HGB diberikan atas permohonan pemegang hak.
Untuk itu dalam pemberian pembaruan hak yang telah dibatalkan tersebut harus terlebih
dahulu dilakukan penilaian apakah pemegang Hak Guna Bangunan tersebut masih
menggunakan tanahnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam keputusan pemberian
Hak Guna Bangunan yang pertama kali, serta tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata
Ruang yang berlaku.
Hak Guna Bangunan nantinya dapat diperbarui dengan syarat mengajukan permohonan
tertulis kepada Kantor Pertanahan dengan syarat yang sama dengan perpanjangan Hak Guna
Bangunan. Perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan dicatat dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan. Dengan demikian, menurut penulis alasan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Sulawesi Selatan membatalkan Sertipikat Hak Guna Bangunan karena
tidak dapat memenuhi syarat dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,
sehingga perpanjangan Hak Guna Bangunan atas nama Dirman PT Asuransi Jiwa Bumiputra
dibatalkan.
Yang menjadi akar dari permasalahannya adalah PPAT yang sudah mengetahui jika
tanah tersebut sedang menjadi objek sita di Pengadilan Tata Usaha Negara tetapi tetap
membuatkan Akta Jual Beli dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Selatan
yang tidak menolak pendaftaran jual beli atas nama John Tandiari.
Menurut penulis seharusnya Badan Pertanahan Nasional harus menolak pendaftaran jual
beli tanah tersebut karena tanah sedang menjadi objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pencatatan data pertanahan di Badan Pertanahan Nasional yang kacau seperti ini sangatlah
merugikan masyarakat yang memiliki hak atas tanah karena masyarakat tidak pernah tahu
apakah tanah yang mereka miliki dan mereka pergunakan saat ini bisa saja telah dimiliki oleh
orang lain ataupun akan dimiliki oleh orang lain dengan hak yang sama atau hak yang berbeda.
Jika melihat dari sudut pandang tersebut menurut penulis PPAT dapat dimintakan
pertanggung jawaban karena PPAT sudah melakukan pelanggaran hukum yang mana
seharusnya PPAT menolak membuatkan Akta Jual Beli antara Gunadi Yauw sebagai pemilik
berikut penjual tanah dengan John Tandiari sebagai calon pembeli. Oleh karena itu perbuatan
PPAT tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum, terdapat 4 syarat yaitu

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


776

bertentangan dengan kewajiban hukum PPAT, bertentangan dengan hak subjektif orang lain,
bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Sanksi perdata dapat dijatuhkan kepada PPAT tersebut atas perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara normatif
perbuatan tersebut tunduk menurut ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Pada waktu PPAT membuatkan Akta Jual Beli untuk Ahli waris Bacce Bin Kiddo
sebagai pemilik tanah berikut penjual tanah dengan Gunadi Yauw, tanah tersebut belum
menjadi objek sita dan Badan Pertanahan Nasional tidak memberikan informasi bahwa tanah
itu telah bersertipikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Asuransi Jiwa Bumiputra yang
seharusnya Badan Pertanahan Nasional memberitahukan bahwa tanah tersebut sudah
bersertipikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Asuransi Jiwa Bumiputra karena bisa menjadi
sengketa sertipikat ganda atau tumpang tindis kepemilikan. Menurut penulis pada saat itu
PPAT tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Namun pada waktu pembuatan Akta Jual Beli antara Gunadi Yauw slaku pemilik tanah
berikut penjual tanah dengan John Tandiari sebagai calon pembeli tanah PPAT sudah
mengetahui bahwa tanah yang akan dilakukan perbuatan hukum sedang menjadi objek sita
pengadilan. Oleh sebab itu menurut penulis PPAT tersebut dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
Karena pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT berkaitan dengan kewajiban seorang PPAT
untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna, mengandung cacat
hukum, yang kemudian oleh suatu putusan pengadilan dinyatakan tidak otentik karena syarat-
syarat formil dan materil dari prosedur pembuatan akta PPAT tidak dipenuhi, sehingga menjadi
akta dibawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau menjadi batal demi hukum, dan
mengakibatkan suatu kerugian, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan dengan
kewajiban hukum bagi PPAT, dan PPAT tersebut bertanggung jawab atas kerugian itu
PPAT tersebut harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
para pihak tersebut dalam bentuk penggantian biaya dan ganti rugi. Akibat dari adanya
kesalahan karena kesengajaan maupun kelalaian berupa kurang hati-hati, tidak cermat dan
tidak telitian dalam pelaksanaan kewajiban hukum bagi PPAT dalam pembuatan akta jual beli
tanah, sehingga menyebabkan pelaksanaan hak subjektif seseorang menjadi terganggu dan
menimbulkan suatu kerugian bagi John Tandiari.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan PPAT Belinda Tanto beliau berpendapat
apabila terjadi sengketa akibat kelalaian atau pelanggaran terhadap akta yang dibuatnya
sehingga merugikan para pihak ataupun pihak ketiga, maka PPAT harus bertanggung jawab
atas akta yang dibuatnya. Menurut ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT
yang melakukan pelanggaran, dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


777

Tetapi menurut penulis John Tandiari yang sudah mengetahui juga bahwa tanah yang
akan dibelinya sedang menjadi objek sita Pengadilan Tata Usaha Negara mengapa tetap
melanjutkan jual beli tersebut. Sebagai pembeli yang beritikad baik seharusnya jika
mengetahui ada yang tidak seharusnya terjadi dalam transaksi jual beli tidak melanjutkan
karena pada akhirnya akan merugikan John Tandiari sendiri di masa depan.
Jadi menurut pendapat penulis, PPAT tetap turut bertanggungjawab tersebut dapat
diberhentikan dengan tidak hormat menurut ketentuan dalam Pasal 10 Ayat 1 dan Ayat 3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah karena PPAT secara sadar dan sengaja untuk secara bersama-
sama dengan para pihak yang bersangkutan melakukan suatu tindakan hukum yang
diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum.
Penulis menjabarkan beberapa putusan pengadilan yang membuktikan bahwa alasan
Gunadi Yauw dan John Tandiari berada di pihak yang kalah di bawah ini:
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 143/Pdt.G/2011/PNMks Gunadi
Yauw dan John Tandiari sebagai tergugat dan turut tergugat sebagai pihak yang kalah karena
pertimbangan Hakim menyatakan menurut hukum bahwa tanah objek sengketa adalah milik
Dirman Pardosi berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan menyatakan surat-surat yang
berada di tangan Gunadi Yauw dan John Tandiari sepanjang berkaitan dengan tanah objek
sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, menyatakan perbuatan tergugat dan
turut tergugat menguasai tanah objek sengketa adalah perbuatan melawan hukum, Menghukum
Gunadi Yauw dan John Tandiari atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya atas tanah
objek sengketa untuk mengosongkan dan menyerahkan tanah objek sengketa kepada Dirman
Pardosi tanpa syarat apapun;
Menurut pendapat penulis Hakim memberikan pertimbangan tersebut karena memang
yang lebih dahulu terbit adalah Sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama Dirman Pardosi,
sehingga Gunadi tidak dapat mengambil hak tersebut dan menggantinya menjadi hak milik
meskipun didapatkan berdasarkan Akta Jual Beli.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar No. 164/Pdt/2012/PTMks Gunadi
Yauw dan John Tandiari sebagai para pemohon Banding dan kalah dalam Banding karena
Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor
143/Pdt.G/2011/PN.Mks dengan pertimbangan yang sama yaitu menyatakan menurut hukum
bahwa tanah objek sengketa adalah milik Dirman Pardosi berdasarkan sertifikat HGB
menyatakan Surat-surat yang berada di tangan Gunadi Yauw dan John Tandiari sepanjang
berkaitan dengan tanah objek sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
menyatakan perbuatan tergugat dan turut tergugat menguasai tanah objek sengketa adalah
perbuatan melawan hukum, menghukum Gunadi Yauw dan John Tandiari atau siapa saja yang
memperoleh hak dari padanya atas tanah objek sengketa untuk mengosongkan dan
menyerahkan tanah objek sengketa kepada Dirman Pardosi tanpa syarat apapun, menyatakan
perbuatan Gunadi Yauw dan John Tandiari menguasai tanah objek sengketa adalah perbuatan
melawan hukum.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2996 K/Pdt/2012 Gunadi Yauw dan
John Tandiari sebagai para pemohon Kasasi dan Kasasi yang diajukan ditolak karena menurut
pertimbangan Hakim Dirman Pardosi mampu membuktikan dalilnya sebagai pemilik atas Hak
Guna Bangunan dan bahwa objek sengketa adalah terbukti tanah milik Dirman Pardosi yang
dibeli dari PT. Timurama pada tahun 1974.
Artinya Dirman Pardosi dapat membuktikan di Pengadilan bahwa tanah tersebut
memang telah didapatkannya secara sah menurut hukum yang kemudian dihak miliki oleh

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


778

Gunadi dan John Tandiari yang mana apabila telah lebih dulu terbit sertipikat Hak Guna
Bangunan yang masih berlaku tetapi diterbitkan sertipikat Hak Milik oleh Gunadi kemudian
diterbitkan kembali atas jual beli dengan John Tandiari.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/Pdt/2016 Gunadi Yauw dan John
Tandiari sebagai para pemohon Peninjauan Kembali dan Peninjauan Kembali yang diajukan
ditolak karena menurut pertimbangan Hakim perbuatan Becce bin Kido/kuasanya yang
mengalihkan tanah objek sengketa kepada Tergugat juga tidak sah karena tanah tersebut telah
diperoleh Dirman dengan membeli pada PT Timurama berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 24
Desember 1980 yang kemudian diperpanjang menjadi SHGB Nomor 20076/Banta-Bantaeng
tanggal 21 Juli 2002 atas nama Dirman Pardosi, kepemilikan John Tandiary yang didasarkan
pada Akta Jual Beli Nomor 37/2010 antara Gunadi Yauw dengan John Tandiary tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi, apalagi jual beli dilaksanakan pada saat perkara di PTUN
sedang berjalan;
Oleh karena itu menurut penulis pertanggungjawaban PPAT yang membuat Akta Jual
Beli antara Gunadi Yauw dengan John Tandiari telah melanggar hukum yang secara sadar
dilakukan menurut penulis dapat diberikan saksi berupa sanksi Administratif yaitu PPAT
tersebut dapat dikenai sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan sanski
denda administratif karena telah melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya
berdasarkan Pasal 10 Ayat 1 dan Ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kemudian sanksi Perdata karena akta PPAT yang dinyatakan batal dan/atau batal demi
hukum berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu
pada kasus ini Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017 dikategorikan sebagai
perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT
dapat dimintai pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata.
Dapat juga dijatuhi sanksi Pidana karena menurut penulis perbuatan PPAT tersebut
terbukti secara sengaja dan direncanakan baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan
Gunadi Yauw dan John Tandiari mengetahui bahwa tanah yang akan dijual belikan sedang
menjadi objek sita Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dikenai sanksi pidana sesuai peraturan
yang berlaku.
Penulis melihat menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta peraturan perundang-
undangan terkait PPAT lainnya belum mengatur secara tegas mengenai perlindungan hukum
kepada PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus
penegakan hukum terhadap PPAT
3. PENUTUP
Simpulan
a. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Tanah Yang Kehilangan Hak Akibat Jual Beli
Atas Tanah Yang Pernah Menjadi Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Penulis menyimpulkan bahwa Perlindungan
Hukum Bagi Pembeli Tanah Yang Kehilangan Hak Akibat Jual Beli Atas Tanah Yang Pernah
Menjadi Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara adalah melalui gugatan yang terdapat
dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa pihak
yang merasa mempunyai hak atas tanah dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun langsung

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


779

melalui Pengadilan karena Gugatan merupakan hak setiap Warga Negara Indonesia yang
haknya dirampas atau dirugikan oleh orang lain. Kemudian pembeli yang beritikad baik dan
membeli tanah atas jual beli yang sah mengalami kerugian mendapat kompensansi uang ganti
rugi beserta harga jual beli atas tanah tersebut 100% (seratus persen) dari penjual, lalu untuk
PPAT yang membuatkan Akta ataupun Badan Pertanahan Nasional yang terbukti bersalah
dalam memberikan informasi ternyata tanah yang dilakukan perbuatan hukum sedang dalam
objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara mengembalikan 100% (seratur persen) biaya
pembuatan Akta Jual Beli (uang jasa PPAT ) atau biaya administrasi atas pendaftaran jual beli
yang dilakukan di Badan Pertanahan Nasional wilayah setempat. Dengan cara tersebut yang
harusnya terdapat dalam Putusan Pengadilan menurut penulis agar pembeli yang dirugikan
bukan karena kesalahannya melainkan karena kesalahan dari PPAT ataupun Badan Pertanahan
Nasional bisa mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan, karena pembeli harus
menyerahkan tanah yang semula miliknya kepada pemilik tanah yang sebenarnya.

b. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Antara Bacce Bin
Kiddo Dengan Gunadi Yauw Dan Gunadi Yauw Dengan John Tandiari
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Penulis menyimpulkan bahwa PPAT tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban karena pada waktu pembuatan Akta Jual Beli untuk
Ahli waris Bacce Bin Kiddo sebagai pemilik tanah berikut penjual tanah dengan Gunadi Yauw,
tanah tersebut belum menjadi objek sita dan Badan Pertanahan Nasional tidak memberikan
informasi bahwa tanah itu telah bersertipikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Asuransi Jiwa
Bumiputra yang seharusnya Badan Pertanahan Nasional memberitahukan bahwa tanah tersebut
sudah bersertipikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Asuransi Jiwa Bumiputra karena bisa
menjadi sengketa sertipikat ganda atau tumpang tindis kepemilikan. Pertanggungjawaban
PPAT dapat diminta atas pembuatan Akta Jual Beli antara Gunadi Yauw dengan John Tandiari
karena telah melanggar hukum yang secara sadar dilakukan, menurut penulis dapat diberikan
saksi berupa sanksi Administratif yaitu PPAT tersebut dapat dikenai sanksi pemberhentian
dengan tidak hormat dari jabatannya dan sanski denda administratif karena telah melanggar
larangan atau melalaikan kewajibannya berdasarkan Pasal 10 Ayat 1 dan Ayat 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kemudian sanksi Perdata karena akta PPAT yang dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum
berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu pada kasus
ini Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017 dikategorikan sebagai perbuatan
melanggar hukum yang menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT dapat
dimintai pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
berdasarkan Pasal 1243-Pasal 1252 KUHPerdata dan Sanksi Pidana karena menurut penulis
perbuatan PPAT tersebut terbukti secara sengaja dan direncanakan baik sendiri maupun secara
bersama-sama dengan Gunadi Yauw dan John Tandiari mengetahui bahwa tanah yang akan
dijual belikan sedang menjadi objek sita Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dikenai sanksi
pidana sesuai peraturan yang berlaku.
Saran
Teruntuk calon pembeli tanah agar terhindar dari sengketa atas tanah yang akan dibeli
di kemudian harinya harus melakukan pemeriksaan sedetail-detailnya atas bukti kepemilikan
hak atas tanah tersebut, tidak hanya percaya berdasarkan keterangan dari penjual tanah karena
kita tidak pernah mengetahui alasan baik atau buruk yang sebenarnya penjual mau menjual
tanah tersebut. Lebih baik calon pembeli memeriksakan sendiri tanah yang akan dibeli ke
Kantor Pertanahan setempat atau dapat juga meminta bantuan PPAT untuk memeriksakan ke
Kantor Pertanahan agar lebih jelas dan lebih efisien. Untuk mendapatkan kepastian bahwa
tanah yang akan dibeli tidak sedang dalam sengketa, tidak menjadi objek sita, tidak sedang

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


780

dijaminkan dan tidak sedang berada dalam kekuasaan pihak lain selain atas nama penjual itu
sendiri dengan hak yang sama atau hak yang berbeda. Jika tanah yang akan dibeli ternyata
mencurigakan ataupun terbukti sedang menjadi objek sita maka jangan pernah membeli tanah
itu karena pasti akan membuat calon pembeli terjebak dalam sengketa yang merugikan.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


781

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1959 Nomor 1959.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Himpunan Pertaturan Undang-Undang Kuhper (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Tahun 2018.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120. Tambagan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5893.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan. Lembaran Negara Republik Indoonesia Tahun 1999.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pengajuan Permohonan
Peninjauan Kembali.

B. Buku

Ismaya, Samun. Hukum Administrasi Pertanahan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.


Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum. Jakarta: Kencana, 2017.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.

C. Artikel/Jurnal
Onny Fernando Chandra, Rendra. Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah
Menurut PP No. 24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Volume 26. Nomor 3. (Malang:
Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 2020).
D. Internet
http://notarismichael.com
https://www.liputan6.com/properti/read/3580739/ini-kelebihan-shm-atau-sertifikat-hak-milik
E. Yurisprudensi
Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 143/Pdt.G/2011/PNMks.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310


782

Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor. 164/Pdt/2012/PTMks.


Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2996 K/Pdt/2012.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 83 PK/Pdt/2016.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 658 PK/Pdt/2017.

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Anda mungkin juga menyukai