Anda di halaman 1dari 16

PENGGUNAAN KUASA UNTUK MENJUAL DI DALAM

PRAKTEK JUAL BELI TANAH

Oddy Inayah Kasri


(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti)
(Email: oddyik@gmail.com)

Listyowati Sumanto
(Dosen Fakultas Hukum Trisakti)
(Email: listyowati@trisakti.ac.id)

ABSTRAK

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah termasuk lingkup Hukum


Perdata, sedangkan jual beli termasuk lingkup Hukum Tanah Nasional.
Konsekuensi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli akan diikuti dengan Akta
Kuasa Menjual. Rumusan permasalahannya, apa yang menjadi alasan
penggunaan akta kuasa menjual dalam praktek jual beli tanah dan apa akibat
hukum PPJB dengan menggunakan akta kuasa menjual dalam praktek jual
beli tanah. Metode penelitian menggunakan tipe penelitian hukum normatif,
bersifat deskriptif dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yaitu,
Alasan penggunaan kuasa menjual dalam jual beli tanah pada kasus I adalah
karena asli sertipikat sedang berada dalam jaminan PT. Bank Tabungan
Negara (Persero) Tbk. Alasan penggunaan kuasa menjual pada kasus II
Putusan Mahkamah Agung No.180/Pdt/2013/PT.Dps penjual memberi
"kuasa mutlak" untuk melaksanakan kepentingan pembeli dan seharusnya
sudah menjadi haknya. Pasal 3 PPJB memberikan kuasa penuh kepada
pembeli atas segala tindakan pengurusan pemilikan tanah dengan ketentuan
kuasa tidak dapat dicabut kembali oleh penjual. Akibat hukum pada kasus I,
surat kuasa menjual tidak melanggar hukum, sedangkan pada kasus II surat
kuasa menjual melanggar Instruksi Menteri Dalam Negeri No 14 Tahun 1982
sehingga akibat hukumnya PPJB menjadi batal demi hukum atau tidak
berkekuatan hukum tetap.
Kata Kunci: Kuasa Untuk Menjual, Jual Beli Tanah

1
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan dan kepentingan setiap orang
ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kewajiban tidak dapat melakukan
sendiri, hal tersebut dapat disebabkan karena terjadi hambatan kepentingan pada
waktu yang bersamaan. Untuk mengatasi hambatan tersebut perlu adanya
bantuan orang lain untuk menyelesaikan kepentingannya, sehingga timbul
perwakilan dimana seseorang melakukan pengurusan kepentingan bukan untuk
dirinya sendiri melainkan untuk orang lain disebut pemberian kuasa berdasarkan
Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pemberian kuasa merupakan
perjanjian yang memerlukan kewenangan dalam bertindak. 1 Salah satu bentuk
pemberian kuasa yang sering terjadi dalam praktek jual beli 2 tanah karena syarat
formiil belum terpenuhi, untuk mengatasinya para pihak membuat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB). Menurut Maria Sumardjono, Perjanjian Pengikatan
Jual Beli (PPJB) termasuk dalam lingkup hukum perjanjian yang tunduk pada
Hukum Perdata, sedangkan jual belinya termasuk dalam lingkup Hukum Tanah
Nasional yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan
pelakasanaannya. 3
Selain kuasa umum dan kuasa khusus yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer), ada kuasa lain yang disebut dengan istilah
kuasa mutlak. Kuasa mutlak sejak tahun 1982 dilarang oleh Instruksi Menteri
No 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai
Pemindahan Hak Atas Tanah. Kuasa mutlak yang dimaksud adalah yang tidak
dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan yang memberikan kewenangan
kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta
melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum adalah hanya dapat

1
J Satrio, Perwakilan dan Kuasa, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), hal.111.
2
Pengertian jual beli menurut Hukum Adat sama dengan Hukum Tanah Nasional, Baca, Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, hal 330.
3
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, (Jakarta:
Buku Kompas, 2001), hal. 161.

2
dilakukan oleh pemegang haknya, sehingga penerima kuasa seakan-akan
bertindak selaku pemilik yang sah dari objek yang bersangkutan. Dalam praktek,
kuasa mutlak ini sering diberikan untuk warga negara asing dalam rangka jual
beli tanah di Bali, karena menurut Hukum Tanah Nasional Pasal 26 ayat (2) UU
No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, warga negara
asing tidak dapat menjadi subyek Hak Milik, maka cara yang dipergunakan oleh
warga negara Indonesia (pemilik/penjual) dan warga negara asing (pembeli)
adalah dengan dibuat kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali. Hal
tersebut menunjukkan bahwa secara materiil sebenarnya telah terjadi
pemindahan Hak Milik secara terselubung, yang jelas merupakan
penyelundupan hukum. Namun demikian, ada pula penggunaan kuasa mutlak
antara dalam jual beli tanah antar warga negara Indonesia dengan tujuan untuk
menghindari pembayaran pajak peralihan hak.
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang menjadi alasan dari penggunaan akta kuasa untuk menjual dalam
praktek jual beli tanah?
b. Apa akibat hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan
menggunakan akta kuasa menjual dalam praktek jual beli tanah?
B. Metode Penelitian
Penulisan tentang “Penggunaan Kuasa Untuk Menjual Di Dalam Praktek
Jual Beli Tanah” merupakan tipe penelitian hukum normatif, berbasis pada
analisis norma hukum, yaitu hukum dalam arti law as it is written in the books, 4
dan bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan penggunaan kuasa untuk
menjual di dalam praktek jual beli tanah. Data dan sumber data terdiri dari data
primer dan data sekunder. 5 Data Primer diperoleh melalui wawancara terhadap
Ibu Yulyanti, Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Isa Meilia,
S.H., M.Kn. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan
menggunakan pedoman wawancara. Pengumpulan data sekunder dilakukan

4
Ronald Dwarkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal 250.
5
Baca, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2015, hal. 135.

3
studi kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Data hasil penelitian ini dianalisis
secara kualiatif, mendalam, holistik, komprehensif. 6 Cara menarik kesimpulan
menggunakan logika deduktif.
C. Hasil Penelitian
Objek penelitian ini terdapat dua kasus jual beli tanah dengan menggunakan
Kuasa Untuk Menjual, pertama, kuasa khusus, kedua, kuasa mutlak: Kasus I:
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) No. 22 Tgl 10 Juni 2017 disertai
Akta Kuasa Untuk Menjual No. 23 Tgl 10 Juni 2017. Para Pihak: (a) Tuan Asep
Hidayat dan Nyonya Chici Sunarsih Hidayat pasangan suami istri selaku pemilik
tanah sekaligus pemberi kuasa, (b) Nyonya Istikomah selaku penerima kuasa.
Pada 10 Juni 2017 hadir dihadapan Notaris Isa Meilia, S.H., M.Kn. di Jl.
Pramuka Raya No 5, Mampang Depok. Isi kuasa menerangkan penerima kuasa
bertindak mewakili untuk dan atas nama pemberi kuasa, untuk menjual,
mengalihkan, menyerahkan dan/atau memindah-tangankan dengan cara apapun
kepada penerima kuasa sendiri atau kepada siapapun, dengan harga dan syarat-
syarat atas sebidang tanah dan bangunan Sertipikat Hak Milik No. 02605/Grogol
seluas 72 M2 (tujuh puluh dua meter persegi) terletak di Propinsi Jawa Barat,
Kota Depok, Kecamatan Limo, Kelurahan Grogol. Jual beli tanah tersebut
dengan harga Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah), telah dibayarkan
pada saat penandatanganan akta ini. Dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
para pihak telah mengetahui asli sertipikat belum dilakukan pengecekan terlebih
dahulu secara resmi pada Kantor Pertanahan Kota Depok, dikarenakan asli
sertipikat sedang dalam jaminan pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero)
Tbk, di Jakarta. Jual beli di hadapan Pejabat dan Instansi yang berwenang belum
dapat dilaksanakan sehubungan dengan masih adanya beberapa persyaratan
yang belum terpenuhi, dan akta ini dibuat untuk memberikan jaminan dan dapat
dijadikan dasar pedoman bagi para pihak dalam hal pelaksanaan jual beli tanah
tersebut.

6
Chai Podhista, dalam Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Pedoman Penyusunan Skripsi,
(Jakarta : Universitas Trisakti, 2018)

4
Kasus II: Jual Beli Tanah dengan menggunakan Kuasa Menjual, dalam
Putusan Mahkamah Agung No: 180/PDT/2013/PT.Dps. Para Pihak: I Nyoman
Santiawan, I Putu Gede Sastrawan, T Fransisca Teresa N, SH, I Made Setiawan
(Tergugat), (b) Lim Guek Tju, Luisa Hardi Beh (Penggugat). Penggugat adalah
pemilik tanah Sertipikat Hak Milik No. 3568/Ungasan, tanggal 19 Mei 1999,
terletak di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Daerah Tingkat II
Badung, Propinsi Daerah Tingkat I Bali, seluas 2.000 M2 (dua ribu meter
persegi). Penggugat dan para Tergugat telah melakukan pengikatan jual beli
tanah berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) No. 07 tanggal
03 Mei 2012, harga tanah disepakati Rp.5.250.000,00 (lima juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah) per meter persegi, dengan cara pembayaran diangsur/dicicil 4
tahap. Dalam Pasal 3 PPJB diatur ketentuan mengenai pemberian kuasa dari
Penggugat kepada Para Tergugat, yang pada pokoknya memberikan “kuasa
penuh” kepada Para Tergugat untuk melakukan segala tindakan-tindakan, baik
yang berupa pengurusan maupun yang berupa pemilikan dan kuasa tersebut
“tidak dapat dicabut kembali”.
D. Pembahasan
1. Alasan Penggunaan Akta Kuasa Untuk Menjual Dalam Praktek Jual Beli
Tanah
Pada praktiknya, pemberian kuasa jual dapat ditemukan dalam kaitannya
dengan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dimana pihak
pembeli telah membayar lunas seluruh harga jual beli, tetapi jual beli tersebut
belum dapat dilaksanakan; atau, dengan alasan tanah/bangunan objek jual beli
akan dijual kembali kepada pihak lain. Hal ini biasanya dibuat oleh mereka yang
bergerak dalam bidang jual beli tanah atau para makelar tanah untuk
menghindari pembayaran pajak. 7
Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan
pihak pembeli sebelum dilaksanakan jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum

7
Wahyu Kuncoro, 97 Risiko Transaksi Jual Beli Properti, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2015),
hal.118.

5
ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. 8 Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli juga memuat pernyataan bahwa terhadap harga
tanah dan/atau bangunan telah dibayarkan secara lunas oleh pembeli kepada
penjual atau pemilik tanah. Sehingga secara yuridis hal tersebut telah memenuhi
syarat sebagai dasar peralihan hak atas tanah. Konsekuensinya, akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut akan diikuti dengan Akta Kuasa Menjual.
Adanya Akta Kuasa Menjual maka seorang penerima kuasa dapat menjalankan
kekuasaan yang diberikan oleh pemberi kuasa, namun demikian ia tidak boleh
9
bertindak melampaui batas yang diberikan kepadanya oleh pemberi kuasa.
Oleh karena tindakan pemegang kuasa itu sebenarnya mewakili untuk dan atas
nama pemberi kuasa, maka pemberi kuasa dapat dalam arti kata berhak untuk
menggugat secara langsung dan menuntut orang ketiga dengan siapa pemegang
kuasa bertindak dalam kedudukannya, agar perjanjian yang bersangkutan
dipenuhinya.
Di dalam praktek Notaris, pemberian kuasa dapat dicantumkan dalam pasal-
pasal Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau dalam bentuk surat kuasa tambahan
yang terpisah dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang disebut Kuasa Untuk
Menjual. Surat kuasa adalah surat pemberian kuasa atau wewenang terhadap
seseorang yang dapat dipercaya agar yang bersangkutan dapat bertindak
mewakili orang memberi kuasa karena orang yang memberi kuasa karena tidak
dapat melaksanakan sendiri. Pemberian kuasa jual harus memperhatikan Pasal
1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Berdasarkan ketentuan
Pasal 1796 KUHPer, 10 kuasa menjual harus diberikan dalam bentuk kuasa
khusus dan menggunakan kata-kata yang bersifat tegas. Kuasa menjual tidak

8
Dewi Kurnia Putri, Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas”. Jurnal Akta, Universitas Islam Sultan Agung,
Vol. 4 No. 4, (Desember, 2017) hal. 632.
9
Sumardi, “Kedudukan Kuasa Menjual Atas Dasar Surat Keterangan Notaris Tentang
Pembayaran Lunas Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Balik Nama”. Jurnal Ilmiah Prodi Magister
Kenotariatan, Universitas Udayana, 2015-2016, hal. 11.
10
Pasal 1796 KUHPer: “Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya
meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk
meletakkan hipotik di atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian, atau pun sesuatu
perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa
dengan kata-kata yang tegas.”

6
boleh menggunakan kuasa umum. Disamping itu, kuasa menjual harus
sekurang-kurangnya diberikan dalam bentuk akta kuasa yang dilegalisasi di
hadapan Notaris. Memang tidak ada ketentuannya yang mengatur secara tegas,
tetapi dalam praktik, kuasa menjual dalam bentuk surat kuasa yang dibuat di
bawah tangan sulit untuk diterima. 11 Bagi pembeli yang akan melakukan
transaksi jual beli dengan kuasa jual sebaiknya harus memperhatikan daya
12
berlakunya kuasa jual yang bersangkutan pada saat pembuatan akta.
Sebelum akta kuasa untuk menjual dibuat dan ditandatangani dihadapan
Notaris, harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
untuk membuat akta kuasa menjual yaitu: 13
a. Pencantuman identitas dari pemberi kuasa dan penerima kuasa.
b. Pemberi kuasa dan penerima kuasa harus hadir dihadapan Notaris pada saat
pembuatan akta kuasa menjual.
c. Para pihak menunjukkan hak atas tanah apabila tanah tersebut telah memiliki
sertifikat.
d. Menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemberi dan penerima kuasa.
e. Memuat obyek dari kuasa tersebut, yaitu :
1) Nomor Sertipikat Hak Atas Tanah
2) Uraian Surat Ukur (terdiri dari letak, luas, dan batas tanah)
Berikut ini beberapa alasan penggunaan surat kuasa untuk menjual:
a. Alasan-alasan pemberian kuasa menjual yang berdiri sendiri (murni) adalah
sebagai berikut:
1) Pelaksanaan jual beli terjadi di luar kota atau salah satu pihak tidak dapat
meninggalkan pekerjaannya.
2) Pihak pembeli telah membayar lunas harga jual beli yang telah disepakati
secara bersama-sama, tetapi jual belinya belum dilaksanakan.

11
Ibid., hal.117.
12
Hal ini mengingat ketentuan tentang berakhirnya pemberian kuasa dalam Pasal 1813, 1814,
1816 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
13
Yuliyanti, Kantor Notaris Isa Meilia, wawancara dengan penulis, Jakarta, 15 Februari 2019.

7
3) Penjual sebagai pemberi kuasa, merupakan salah satu ahli waris dari orang
lain yang mana orang tersebut tidak berada di tempat objek jual beli
berada.
4) Tanah yang bersangkutan akan dijual kembali kepada pihak lain. Hal ini
biasanya dibuat oleh mereka yang bergerak dalam bidang jual beli tanah
atau oleh Makelar tanah untuk menghindari pembayaran pajak.
5) Penjual selaku pemberi kuasa mempunyai hutang piutang dengan orang
yang menerima kuasa (penerima kuasa).
b. Alasan-alasan pemberian kuasa menjual tanah yang tidak berdiri sendiri
(accessoir) adalah perjanjian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
pokoknya, sebagai berikut:
1) Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, dalam hal ini pemberi kuasa
berhutang kepada Bank atau kepada penerima kuasa. Pemberian kuasa
menjual tanah yang mengikuti perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
adalah kuasa yang ditunjukan untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat,
sedangkan tanah yang sudah bersertifikat diikat oleh Akta Pemberian Hak
Tanggungan.
2) Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai perjanjian pokok, dalam hal ini
penjual selaku pemberi kuasa memberikan kuasa “mutlak” kepada
penerima kuasa/pembeli untuk melaksanakan kepentingan pembeli yang
tertinggal dan seharusnya sudah menjadi haknya. Surat kuasa mutlak
merupakan kuasa yang dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No
14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai
Pemindahan Hak Atas Tanah.
3) Perjanjian Bangun-Bagi sebagai perjanjian pokok, dalam hal ini pemberi
kuasa/pemilik tanah memberi kuasa menjual tanah dan/atau bangunan
kepada penerima kuasa/pemborong yang merupakan bagian yang telah
ditentukan untuknya.
4) Pemisahan dan Pembagian sebagai perjanjian pokok, dalam hal ini para
pemberi kuasa memberi kuasa kepada penerima kuasa untuk menjual

8
tanah milik bersama sehingga masing-masing yang berhak mendapatkan
bagian yang menjadi haknya.
Berdasarkan alasan-alasan dari penggunaan kuasa menjual yang diuraikan
tersebut, jika dikaitkan dengan Kasus I penelitian ini, alasan menggunakan kuasa
menjual pada kasus Perjanjian Pengikatan Jual Beli No 22 tanggal 10 Juni 2017
disertai Akta Kuasa Untuk Menjual No 23 tanggal 10 Juni 2017, termasuk dalam
alasan timbulnya pemberian kuasa menjual tanah yang tidak berdiri sendiri
(accessoir) “Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, dalam hal ini pemberi
kuasa berhutang kepada Bank”. Sebagaimana yang tercantum dalam isi
Perjanjian Pengikatan Jual Beli alasan dari penggunaan surat kuasa untuk
menjual adalah karena asli sertipikat sedang berada dalam jaminan pada PT.
Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, sehingga jual beli di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Instansi yang berwenang belum dapat
dilaksanakan karena beberapa persyaratan belum terpenuhi dan juga untuk
memberikan jaminan dan sebagai pedoman bagi para pihak dalam pelaksanaan
jual beli.
Berbeda halnya pada kasus II, alasan penggunaan kuasa menjual dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 180/PDT/2013/PT.Dps termasuk dalam
alasan timbulnya pemberian kuasa menjual tanah yang tidak berdiri sendiri
(accessoir) sebagai “Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai perjanjian pokok,
dalam hal ini penjual selaku pemberi kuasa memberikan kuasa mutlak kepada
penerima kuasa/pembeli untuk melaksanakan kepentingan pembeli yang
tertinggal dan seharusnya sudah menjadi haknya.” Isi ketentuan Pasal 3
Perjanjian Pengikatan Jual Beli memperjanjikan diberikan kuasa penuh atas
segala tindakan pengurusan pemilikan tanah dengan ketentuan kuasa tidak dapat
dicabut kembali oleh ppemilik tanah/penjual. Selanjutnya dinyatakan bahwa:
“..... Kekuasaan-kekuasaan tersebut di atas adalah merupakan kekuasaan-
kekuasaan tetap yang tidak dapat dicabut kembali serta tidak akan
berakhir karena sebab-sebab/dasar-dasar yang tercantum dalam Undang-
undang/Hukum untuk mengakhiri suatu kuasa, karena kekuasaan-
kekuasaan tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjanjian ini yang tidak akan dibuat jika kekuasaan tersebut dapat
dicabut kembali

9
Pemberian kewenangan/kuasa mutlak seperti yang disebutkan di atas
senyatanya melanggar hukum yang berlaku yaitu Instruksi Menteri Dalam
Negeri No 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan
Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yang melarang
penggunaan surat kuasa mutlak untuk pemindahan hak atas tanah.
2. Akibat Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dengan Menggunakan
Akta Kuasa Menjual Dalam Praktek Jual Beli Tanah
Akibat hukum adalah segala akibat, konsekuensi yang terjadi dari segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum
ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh hukum yang bersangkutan atau
dianggap sebagai akibat hukum. 14 Jual beli tanah dianggap telah sah secara
hukum apabila dilakukan pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang dilakukan oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi ada kalanya belum dapat
dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) disebabkan karena berbagai alasan. Oleh karena
itu perlu dibuat terlebih dahulu Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan diikuti
dengan pembuatan surat kuasa menjual. Dalam hal ini, penjual maupun pembeli
harus mengetahui tentang larangan menggunakan Kuasa Mutlak dalam
pembuatan Akta Jual Beli. Sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No
14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai
Pemindahan Hak Atas Tanah, dalam instruksinya menyebutkan bahwa:
(1) Melarang Camat dan Kepala Desa Pejabat yang setingkat dengan itu,
untuk membuat/menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada
hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.
(2) Kuasa yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah kuasa yang
didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasa.
(3) Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas
tanah adalah Kuasa Mutlak yang memberikan kewenangan kepada
penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta
melakukan segala perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh
pemgang haknya.

14
La Ode Angga, Akibat Hukum Tidak Adanya Pengaturan Pengawasan Dan Evaluasi
Penataan Ruang Dalam Perda RTRW Provinsi Maluku, (Jurnal Kajian Hukum, Volume 1 nomor 2,
2016) hal. 173.

10
(4) Melarang Pejabat-pejabat Agraria untuk melayani penyelesaian hak
atas tanah yang menggunakan Surat Kuasa Mutlak sebagai pembuktian
pemindahan hak atas tanah.
(5) Hal-hal yang berkaitan dengan larangan penggunaan Kuasa Mutlak
sebagai pemindahan hak atas tanah, akan diatur lebih lanjut dalam
bentuk suatu peraturan perundang-undangan.
Secara umum pemberian kuasa bukanlah hal yang terlalu dipermasalahkan,
hanya saja untuk pemberian kuasa yang dilakukan pada Perjanjian Pengikatan
Jual Beli dengan terdapatnya kata-kata pada pemberian kuasanya “tidak dapat
ditarik kembali,” maka banyak pihak mengidentikkan hal tersebut dengan
pemberian “kuasa mutlak” sebagaimana yang dilarang oleh Instruksi Menteri
Dalam Negeri No 14 Tahun 1982 tentang tentang Larangan Penggunaan Kuasa
Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. 15 Sejak Instruksi Menteri Dalam
Negeri No 14 Tahun 1982 berlaku, pembuatan kuasa mutlak yang berhubungan
dengan tanah sudah tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat. Alasan larangan
penggunaan kuasa mutlak ini adalah karena pembuatan kuasa mutlak sering
disalahgunakan untuk melakukan jual beli tanah secara terselubung.
Larangan mengenai penggunaan kuasa mutlak juga dapat ditemui dalam
Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Di dalam penjelasan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dinyatakan bahwa
surat kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh
pihak yang memberi kuasa, sehingga pada hakikatnya merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak. Untuk menjamin adanya kepastian hukum mengenai
penguasaan atau peralihan hak atas tanah maka perlu dilaksanakan pendaftaran
peralihan hak atas tanah. Dengan dasar Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai
perjanjian awal, maka peralihan hak atas tanah baru terjadi ketika Akta Jual Beli
dibuat oleh/dan atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Karena Akta Jual
Beli yang dibuat oleh/dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah berfungsi: (1)
Membuktikan telah terjadi jual beli, dan akta tersebut ditanda tangani oleh

15
Bambang Eko Mulyono, Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual Yang Dibuat Oleh Notaris, (Jurnal Independent,
Volume 2), hal. 68.

11
penjual, pembeli, saksi-saksi dan PPAT. (2) Merupakan syarat agar jual beli
tersebut dapat di daftarkan di Kantor Pertanahan (Kabupaten/Kota).
Analisis terhadap kasus I adalah akibat hukum pada Perjanjian Pengikatan
Jual Beli No. 22 tanggal 10 Juni 2017 disertai dengan Akta Kuasa Untuk
Menjual No. 23 tanggal 10 Juni 2017 adalah jual beli belum dapat dilaksanakan,
karena sehubungan dengan masih ada beberapa persyaratan yang belum
terpenuhi sehingga akta ini dibuat untuk dijadikan pedoman bagi para pihak
dalam hal pelaksanaan jual beli tanah. Untuk menghindari segala sesuatu yang
tidak dikehendaki maka para pihak menyatakan bahwa pengikatan jual beli tanah
ini dilakukan dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Bentuk surat kuasa
menjual yang dibuat bukanlah kuasa mutlak sehingga tidak melanggar hukum.
Sedangkan analisis terhadap kasus II pada Putusan Mahkamah Agung No:
180/PDT/2013/PT.Dps. bahwa ketentuan Pasal 3 Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan
berlawanan dengan ketertiban umum, karena melanggar ketentuan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa
Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sehingga akibat hukumnya Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) menjadi batal demi hukum atau tidak berkekuatan
hukum tetap. Selain itu Perjanjian Pengikatan Jual Beli juga tidak memenuhi
syarat sahnya perjanjian yang ke-empat Pasal 1320 KUHPerdata 16 yaitu suatu
sebab yang halal, karena dibuat berdasarkan sebab yang terlarang, sehingga tidak
memenuhinya syarat obyektif untuk sahnya perjanjian dan berakibat hukum
PPJB tersebut menjadi batal demi hukum atau tidak berkekuatan hukum. Dengan
batalnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat maka berakibat hukum
segala sesuatu akan kembali kepada keadaan semula, seperti seolah-olah tidak

16
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menggunakan kuasa mutlak sering kali menimbulkan
konflik karena dianggap tidak terpenuhinya salah satu syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320
KUHPerdata: (a) Kesepakatan para pihak, (b) Kecakapan para pihak, (c) Mengenai suatu hal
tertentu, (d) Sebab yang halal, yaitu isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan maupun ketertiban umum.

12
pernah ada suatu perikatan hal ini sesuai dengan pengertian batal dalam Pasal
1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sesuai dengan isi Pasal 3 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut
jelas merupakan kuasa mutlak sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri
Dalam Negeri No.14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak
Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah: “....memberi kuasa kepada pihak kedua
dengan hak untuk menyerahkan kekuasaan ini kepada pihak lain untuk dan atas
nama pihak pertama menjalankan hak dan kepentingan pihak pertama sebagai
yang berhak dan berkepentingan atas atas tanah berikut segala turutannya
tersebut dan untuk keperluan itu melakukan segala tindakan-tindakan, baik yang
berupa pengurusan maupun yang berupa pemilikan tanah”
Ketentuan Perjanjian Pengikatan Jual Beli di atas menyatakan bahwa Para
Tergugat diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum layaknya pemilik
tanah. Klausa ini jelas merupakan pengertian dari kuasa mutlak yang dilarang,
sebagaimana diatur dalam Diktum kedua huruf b Instruksi Menteri Dalam
Negeri No.14 Tahun 1982, sebagai berikut: “Kuasa mutlak pada hakekatnya
merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan
kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan
tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut perbuatan
hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya”.
Kemudian isi Pasal 3 PPJB menyatakan bahwa: “Kekuasaan-kekuasaan
tersebut di atas adalah merupakan kekuasaan-kekuasaan tetap yang tidak dapat
dicabut kembali serta tidak akan berakhir karena sebab-sebab/dasar-dasar yang
tercantum dalam Undang-undang/ Hukum untuk mengakhiri suatu kuasa, karena
kekuasaan-kekuasaan tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari perjanjian ini yang tidak akan dibuat jika kekuasaan tersebut dapat dicabut
kembali atau diakhiri.” Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Penggugat tidak
dapat mencabut kembali kuasa yang telah diberikan kepada Penggugat. Berarti,
temasuk dalam pengertian kuasa mutlak yang dilarang oleh Diktum kedua huruf
a Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1982, “Kuasa mutak yang
dimaksud dalam Diktum Pertama adalah kuasa yang di dalamnya mengandung

13
unsur-unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”. Penggunaan kuasa
mutlak untuk pemindahan hak juga bertentangan dengan syarat-syarat dalam
pembuatan Akta Jual Beli Tanah, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 38
ayat (1) juncto Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Di dalam putusan Mahkamah Agung No: 180/PDT/2013/PT.Dps juga
menyebutkan bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1991
K/Pdt/1994, tanggal 30 Mei 1996 secara tegas dinyatakan bahwa jual beli
dengan surat/akta pemberian kuasa mutlak merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 14 Tahun 1982 dan
Pasal 1320 syarat ke-empat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Alasan penggunaan kuasa menjual dalam jual beli tanah pada kasus I Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) No 22 tanggal 10 Juni 2017 disertai Akta Kuasa
Untuk Menjual No 23 tanggal 10 Juni 2017, karena pemberian kuasa menjual
tanah yang tidak berdiri sendiri (accessoir) Perjanjian kredit sebagai perjanjian
pokok. Dalam hal ini pemberi kuasa berhutang kepada bank, sesuai dengan isi
PPJB alasan dari penggunaan kuasa menjual karena asli sertipikat sedang berada
dalam jaminan pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Sedangkan
Alasan penggunaan kuasa menjual pada kasus II Putusan Mahkamah Agung No
180/Pdt/2013/PT.Dps yaitu termasuk alasan timbulnya pemberian kuasa
menjual tanah yang tidak berdiri sendiri (accessoir) Perjanjian Pengikatan Jual
Beli sebagai perjanjian pokok. Dalam hal ini penjual selaku pemberi kuasa
memberikan kuasa mutlak kepada penerima kuasa/pembeli untuk melaksanakan
kepentingan pembeli yang tertinggal dan seharusnya sudah menjadi haknya.
Menurut Pasal 3 PPJB memperjanjikan diberikan kuasa penuh atas segala
tindakan pengurusan pemilikan tanah dengan ketentuan kuasa tidak dapat
dicabut kembali oleh penggugat.
b. Akibat hukum pada kasus I yaitu surat kuasa menjual tidak melanggar hukum
sedangkan kasus II dalam Putusan Mahkamah Agung No 180/Pdt/2013/PT.Dps

14
surat kuasa menjual melanggar Instruksi Menteri Dalam Negeri No 14 Tahun
1982 sehingga akibat hukumnya PPJB menjadi batal demi hukum atau tidak
berkekuatan hukum tetap.
2. Saran
a. Hendaknya penjual dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
tidak memberikan kuasa mutlak kepada pembeli, karena kuasa mutlak berarti
melakukan jual beli secara terselubung atau penyelundupan hukum yang
memberi wewenang kepada pemegang hak untuk menguasai, menggunakan,
melakukan perbuatan hukum yang menjadi kewenangan pemilik tanah atau
pemegang hak.
b. Hendaknya calon penjual dan calon pembeli dalam pembuatan kuasa tidak
melanggar ketentuan Instruksi Menteri No 14 Tahun 1982 tentang Larangan
Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, karena kuasa
mutlak tersebut mengandung unsur-unsur bahwa kuasa yang diberikan tidak
dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Eko Mulyono, Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan


Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual Yang Dibuat Oleh
Notaris, Jurnal Independent, Volume 2.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005.
Chai Podhista, dalam Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Pedoman Penyusunan
Skripsi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2018)
Dewi Kurnia Putri, Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Lunas Dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas”. Jurnal Akta,
Universitas Islam Sultan Agung, Vol. 4 No. 4, (Desember, 2017).
La Ode Angga, Akibat Hukum Tidak Adanya Pengaturan Pengawasan Dan
Evaluasi Penataan Ruang Dalam Perda RTRW Provinsi Maluku, Jurnal
Kajian Hukum, Volume 1 nomor 2, 2016.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi,
Jakarta: Buku Kompas, 2001.
Ronald Dwarkin, Legal Research, Daedalus: Spring, 1973.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2015.

15
Sumardi, “Kedudukan Kuasa Menjual Atas Dasar Surat Keterangan Notaris
Tentang Pembayaran Lunas Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Balik Nama”.
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, 2015-
2016.
Wahyu Kuncoro, 97 Risiko Transaksi Jual Beli Properti, Jakarta: Raih Asa Sukses,
2015.
J Satrio, Perwakilan Dan Kuasa, Depok: RajaGrafindo Persada, 2018.

16

Anda mungkin juga menyukai