Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PADA KASUS PEMBANGUNAN

GEDUNG DI ATAS TANAH TANPA ALAS HAK


(Studi Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk)

(Skripsi)

Oleh
RANGGA GHOFUR RIYADI
NPM. 18211081

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1

ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

dihadapan hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut mengamanatkan secara

amat jelas dan tegas bahwa semua orang harus diperlakukan sama di depan

hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.

Sementara kepastian hukum mengamanatkan bahwa pelaksanaan hukum harus

sesuai dengan bunyi pasal-pasalnya dan dilaksanakan secara konsisten dan

profesional, termasuk dalam permasalahan tanah.

Tanah adalah permukaan bumi yang memiliki berbagai jenis hak, salah satunya

dari jenis hak yang ada pada tanah adalah hak milik atas tanah. Hak milik atas

tanah merupakan hak yang diberikan oleh negara agar dapat dimiliki oleh semua

warga negara Indonesia dengan cara melakukan pendaftaran tanah. Tanah terdiri

atas nilai yang sangat berharga bagi kehidupan manusia.

Sejak zaman dahulu tanah berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia

setiap hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat dasar. Manusia

hidup serta bertumbuh biak, juga melakukan aktivitasnya di atas tanah, seperti
contoh rumah sebagai tempat berlindung serta berbagai gedung perkantoran,

industri, pusat perbelanjaan, sekolah, dan lainnya didirikan di atas tanah.

Selain tanah, bangunan juga merupakan sesuatu yang sangat penting dan berguna
bagi manusia. Bangunan yang berbentuk rumah tinggal memberi manfaat bagi
pemiliknya untuk berlindung dari cuaca panas dan hujan, serta sangat penting
untuk tempat usaha dan aktifitas kerja. Bisa di katakan hampir seluruh aktivitas
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya ber hubungan dengan tanah.1

Pentingnya tanah untuk kehidupan oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk
menguasai tanah. Upaya seperti ini dilakukan seperti mebuka hutan atau
perladangan, membeli dari pemilik tanah yang menjual, pertukaran- menukar, dan
upaya lainnya. Penguasaan tanah telah diupaya seoptimal mungkin untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup masing-masing manusia.2

Meskipun kegiatan penguasaan tanah telah semaksimal mungkin, tetap saja


memunculkan permasalahan tanah dikarenakan tanah memiliki fungsi dan
manfaat yang sangat penting. Maraknya pembangunan di era pembangunan dan
industrialisasi mengakibatkan tanah menjadi objek yang bernilai tinggi. Kondisi
seperti ini mengakibatkan oleh kebutuhan lahan setiap orang yang tetap menanjak
naik sementara ketersediaan tanahnya terbatas sehingga sering kali terjadi
sengketa pertanahan berupa konflik kepemilikan dan sengketa yang berkaitan
dengan pemanfaatan tanah.3

Terkadang sengketa yang terjadi adalah sertifikat ganda atau tumpang tindih dan
juga sertifikat palsu. Sengketa lain yang sering muncul berkaitan dengan tanah
adalah sistem pencatatan kepemilikan tanah yang kurang cermat sehingga sering
ditemukan kasus tanah dengan pemilik lebih dari satu orang, serta penggunaan
tanah tanpa izin pemilik tanah yang berhak.4

Berdasarkan kasus-kasus dalam pertanahan yang sering kali terjadi tersebut, maka
sangat perlu dilakukannya pendaftaran tanah yang tujuannya untuk memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah. Peraturan pendaftaran tanah di Indonesia berada dalam Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dan dilaksanakan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan kemudian diganti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yang berlaku efektif sejak Tanggal 8 Oktober 1997. Sistem pendaftaran yang
digunakan yaitu sistem pendaftaran hak, seperti yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
1
Samun Ismaya. 2013. Hukum Administrasi Pertanahan. Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 1.
2
Marihot Pahala Siahaan. 2013. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.1-3.
3
Adrian Sutedi, 2014. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 21-22
4
S. Endang Prasetyawati. 2015. Analisis Penerapan Sanksi Pidana Tentang Kejahatan
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, hlm. 24.

2
18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun
dan Pendaftaran Tanah.5

Pendaftaran tanah di Indonesia yang menggunakan sistem publikasi negatif


bertendensi positif artinya ialah pendaftaran tanah dilakukan untuk memberikan
jamian kepastian hukum di bidang pertanahan dengan sistem publikasinya yaitu
sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dalam sistem publikasi negatif bertendensi positif, negara secara pasif hanya
menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Maka,
sewaktu-waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu.
Pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftar tidak dijamin,
walaupun dia memperoleh tanah itu dengan itikad baik.6

Dalam beberapa permasalahan, pemegang hak yang memiliki sertifikat milik hak

atas tanah, kapan saja tanpa ada batas jangka waktu tertentu bisa kehilangan

haknya karena gugatan, akibatnya sertifikat yang semula dimilikinya akan

dibatalkan, maka meskipun telah diatur jelas di dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang  Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak

Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Demikian itu, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif mengandung

unsur positif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar

sebagai pemegang hak karena Negara tidak menjamin kebenaran catatan yang

tersedia. Hal inilah yang memicu terjadinya perbuatan penyerobotan tanah oleh

seseorang atau sekelompok orang terhadap tanah milik orang lain sering terjadi di

berbagai daerah di Indonesia. Secara umum istilah penyerobotan tanah dapat

diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah

5
Erlina B. 2010. Gugatan Class Action dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia,
Jurnal Keadilan Progresif, hlm. 58.
6
Erlina B. 2009. Implementasi Penegakan Hukum Lingkungan di Propinsi Lampung,
Jurnal, Pranata Hukum, hlm. 25.

3
milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar peraturan

hukum yang berlaku.

Karena itu perbuatan tersebut dapat digugat menurut hukum perdata ataupun

dituntut menurut hukum pidana. Dari sudut hukum pidana Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan

Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya menentukan: dilarang

memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah dapat dipidana

dengan hukuman selama lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 5.000,- sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan

Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51

Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau

Kuasanya juga berlaku untuk perbuatan : (1) mengganggu yang berhak atau

kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah; (2)

menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan

untuk melakukan perbuatan yang dimaksud pada huruf a dan b; (3) memberi

bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal

2 atau huruf b Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun

1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Dalam kasus penyerobotan tanah juga bisa terjadi tindak pidana lainnya yang

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP)

seperti:

4
a. Penipuan dan penggelapan yang berkaitan dengan proses perolehan dan

pengalihan hak atas tanah dan bangunan dapat dikenakan Pasal 363 dan Pasal

365 KUHP.

b. Memasuki dan menduduki pekarangan, bangunan dan tanah orang lain dapat

dikenakan Pasal 167 dan Pasal 389 KUHP.

c. Perusakan barang, pagar, bedeng, plang, bangunan dll dapat dikenakan Pasal

170 KUHP, Pasal 406 KUHP dan Pasal 412 KUHP.

d. Pemalsuan dokumen/akta/surat yang berkaitan dengan tanah dapat dikenakan

Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP.

e. Menempati tanah orang lain tanpa hak dapat dikenakan Pasal 167 dan Pasal

389 KUHP.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan cukup banyak alternatif penerapan

sanksi pidana terhadap perbuatan penyerobotan tanah secara melawan hukum.

Pasal-Pasal hukum pidana mana yang hendak diterapkan oleh penyidik tergantung

pada perbuatan mana yang secara kongkret memenuhi unsur-unsur pasal hukum

pidana yang dilanggar.

Atas perbuatan penguasaan tanah tanpa hak terhadap penerapan Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan

Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya tersebut terdapat

penjelasan yaitu sebagai berikut: Pertama-tama Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (disingkat : Perpu) ini menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa

izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan

diancam pula dengan hukuman pidana (Pasal 2 Jo. Pasal 6 ayat (1) huruf (a)).

5
Mengingat akan sifat perbuatannya maka yang dapat dipidana itu tidak saja

terbatas pada pemakaian-pemakaian tanah yang dimulai sesudah berlakunya

Perpu ini, tetapi juga pemakaian yang terjadi (dimulai) sebelumnya dan kini masih

tetap berlangsung.

Pada penyelesaian masalah tersebut tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan

pidana menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau

Kuasanya. Menteri Agraria dan Penguasa Daerah menurut Pasal 3 dan Pasal 5

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya dapat

mengadakan penyelesaian secara lain, dengan mengingat kepentingan fihak-fihak

yang bersangkutan, pula dengan mengingat rencana peruntukan dan penggunaan

tanah yang dipakai itu. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak

diperbolehkan. Tetapi juga tidak dibenarkan jika yang berhak itu memberikan

tanahnya dalam keadaan terlantar. Bahkan menurut Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal

40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria hak milik, hak-guna bangunan dan hak guna usaha akan hapus apabila

objek tanahnya diterlantarkan.

Untuk memperoleh penyelesaian dapat diselenggarakan secara yang efektif, maka

jika dipandang perlu Menteri Agraria dan Penguasa Daerah dapat memerintahkan

kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan. Dengan

demikian maka untuk mengadakan pengosongan tidaklah diperlukan perantaraan

pengadilan. Sudah barang tentu jika memang perlu, selain perintah pengosongan

6
dapat pula dilakukan tuntutan pidana. Dengan demikian maka tindakan-tindakan

untuk mengatasi dan menyelesaikan soal pemakaian tanah-tanah secara tidak sah

itu dapat disesuaikan dengan keadaan tanah dan keperluannya, dengan mengingat

faktor-faktor tempat, waktu, keadaan tanah dan kepentingan pihak-pihak yang

bersangkutan.

Konstruksi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tersebut yang

memuat aturan tentang perbuatan penyerobotan tanah jika dikaitkan dengan

perkembangan jaman dimana tanah adalah objek yang sangat vital untuk

kelangsungan hidup umat manusia, maka diperlukan perubahan aturan atau

undang-undang yang lebih memenuhi asas keadilan untuk semua pihak karena

dikhawatirkan jika untuk perbuatan melawan hukum menguasai tanah tanpa hak

hanya diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan saja hal tersebut tidak

menjadikan efek jera bagi pelaku penguasaan tanah tanpa hak. Berdasarkan Pasal

205 ayat (1) KUHAP yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana

ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling

lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah

dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan


Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tipiring merupakan jenis
tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana
ringan.7

7
M Yahya Harahap. 2014. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap,
Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Rajawali Press.
Jakarta, hlm 42

7
Salah satu contoh kasus tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa

alas hak adalah pada Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk yang menyatakan

Terdakwa Supriyadi alias Ipi bin Ribut telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran memakai tanah tanpa izin dari

pemilik tanah yang berhak yaitu PT. Bumi Persada Langgeng berdasarkan

sertifikat Hak Guna Bangunan No.130/Su.A Kelurahan Sumber Agung atas nama

PT. Bumi Persada Langgeng yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional

Kota Bandar Lampung tanggal 9 April 2010. Hakim menjatuhkan Pidana kepada

Terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sejumlah Rp.1.000.000,00 (satu

juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar di ganti dengan

pidana kurungan selama 2 (dua) bulan dan Terdakwa dikenakan Pasal 6 ayat (1)

huruf a Perpu 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin

yang Berhak atau Kuasanya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: Analisis Pertimbangan Hakim Pada Kasus

Pembangunan Gedung di Atas Tanah Tanpa Alas Hak (Studi Putusan

Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

a. Apa saja yang menjadi faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana

pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan

Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk?

8
b. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus

pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan

Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk?

2. Ruang Lingkup Penelitian

a. Faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana pembangunan gedung di

atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN

Tjk.

b. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus pembangunan

gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan Nomor:

12/Pid.C/2021/PN Tjk.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penyebab pelaku melakukan

tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak

berdasarkan Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana pada kasus pembangunan gedung di atas tanah tanpa

alas hak berdasarkan Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan

kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu

9
pengetahuan dan dalam bidang hukum pada umumnya dan khususnya

Hukum Pidana.

b. Kegunaan Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya

untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam menganalisis

pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus

pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak.

2) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Universitas Bandar Lampung.

D. Kerangka Konsepsional

Kejahatan merupakan masalah sosial yang sering muncul dalam suatu kehidupan

suatu masyarakat, maka kejahatan dianggap sebagai suatu gejala yang normal

dalam setiap masyarakat yang bercirikan hetrogenitas dalam perkembangan sosial

yang selanjutnya kejahatan dan masyarakat mempunyai hubungan yang kuat dan

unik artinya dimana ada masyarakat disana ada juga ditemukan kejahatan.

Dimana jika terjadi kejahatan maka akan ada penegakan hukum yang mana
mencakup proses penyelidikan apakah benar kejahatan sudah terjadi, pada
prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik, tujuan pokok
diadakan hukum pidana ialah melindungi kepentingankepentingan masyarakat
sebagai suatu kolektivitas dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau
bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang
(suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara
lain ketentraman, ketenangan, dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.8

8
Dirdjosiswoyo. 2014. Heterogenitas Masyarakat Dalam Perkembangan Sosial. Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 170

10
Menurut KUHP, pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap

orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum

ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.

Menurut Barda Nawawi menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan


melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang
dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap
Tindak Pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan
pembenaran.9

Suatu Tindak Pidana yang terdapat dalam KUHP menurut P.A.F. Lamintang dan

C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif

yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang

ada hubungannya dengan keadaan-keadaan.10

Unsur subjektif dari suatu Tindak Pidana adalah:


a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud atau oogmerk
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
e. Perasaan takut atau vress
Unsur objektif dari suatu Tindak Pidana adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.11

Menurut Leden Marpaung unsur Tindak Pidana yang terdiri dari 2 (dua) unsur
pokok, yakni:
Unsur pokok subjektif:
1) Sengaja (dolus)
2) Kealpaan (culpa)
Unsur pokok objektif:

9
Barda Nawawi Arief. 2012. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hlm. 152-153.
10
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2011. Delik-delik Khusus. Tarsito, Bandung,
hlm.193.
11
Ibid, hlm.193.

11
1) Perbuatan manusia
2) Akibat (result) perbuatan manusia
3) Keadaan-keadaan
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum12

Kesalahan pelaku Tindak Pidana menurut Wirjono Prodjodikoro berupa 2 (dua)


macam yakni:
a) Kesengajaan (Opzet)
Dalam Teori Kesengajaan (Opzet) yaitu mengkehendaki dan mengetahui
(willens en wettens) perbuatan yang dilakukan terdiri dari 2 (dua) teori yaitu:
(1) Teori Kehendak (Wilstheorie), adanya kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur Tindak Pidana dalam UU
(2) Teori Pengetahuan atau Membayangkan (Voorstellings Theorie), pelaku
mampu membayangkam akan timbulnya akibat dari perbuatannya.
Sebagian besar Tindak Pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet.
Kesengajaan ini mempunyai 3 (tiga) macam jenis yaitu:
(1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)
Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai
akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.
(2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids-
Bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia
tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
(3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-
Bewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai
bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi
hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
b) Culpa
Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si
pelaku Tindak Pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.13

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut

merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada

akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus

cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

12
Leden Marpaung. 2012. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 295.
13
Wirjono Prodjodikoro. 2013. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama,
Jakarta, hlm. 65-72.

12
Hukum Pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam
arti konkrit, yakni bilamana setelah suatu Undang-Undang Pidana dibuat dan
diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses
peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau
pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang
dianut di dalam sistem Hukum Pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan
akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau
kerangka untuk mewujudkan tujuan Hukum Pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan
pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan Hukum Pidana.14

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam perundang-

undangan tindak pidana sering disebut dengan berbagai istilah seperti: perbuatan

pidana, peristiwa pidana dan dalam ilmu pengetahuan hukum sering disebut

dengan "delik". Istilah lain menunjuk kepada pelanggaran pidana, perbuatan yang

boleh dihukum, perkara hukuman pidana dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah

kejahatan karena hal-hal berikut:

Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan


berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak
seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi yang
menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum
(khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia,
pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat
menanggulangi kejahatan secara intensif. 15

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan

untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan dengan

mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam bentuk

14
Nikson Silitonga. 2021. Analisis Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Pemakaian Bidang Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya di Wilayah Hukum Kepolisian
Daerah Sumatera Utara (Polda-Su), Jurnal Retentum, Volume 2 Nomor 1, Tahun 2021 (Februari),
hlm. 70-78.
15
Ibid, hlm. 108.

13
Undang-Undang Pidana maupun Undang-Undang Administratif yang bersanksi

pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah

tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu.

Menurut Barda Nawawi Arief mengkaitkan antara kebijakan hukum pidana


tersebut dengan pengalokasian kekuasaan, seperti diuraikan berikut: Di lain pihak,
khususnya dilihat dari kebijakan Hukum Pidana, sasaran/adressat dari Hukum
Pidana tidak hanya perbuatan jahat dari warga masyarakat tetapi juga perbuatan
(dalam arti “kewenangan/kekuasaan”) penguasa/ aparat penegak hukum. Jadi ilmu
Hukum Pidana mengandung pula kajian terhadap aspek pengaturan dan kebijakan
“mengalokasikan kekuasaan”, baik kekuasaan untuk menetapkan Hukum Pidana
(kekuasaan “formulatif”/”legislatif”) mengenai perbuatan apa yang dapat
dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan, maupun kekuasaan untuk
menerapkan Hukum Pidana (kekuasaan “aplikatif”/yudikatif”) dan kekuasaan
untuk menjalankan/melaksanakan Hukum Pidana (kekuasaan “eksekutif/
administratif”).16

Masalah kebijakan pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi
pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan
mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya kejahatan-
kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
yang termasuk salah satu bagian dari Ilmu Hukum Pidana, erat kaitannya dengan
pembahasan Hukum Pidana nasional yang merupakan salah satu masalah besar
yang dihadapi Bangsa Indonesia.17

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan


terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung
manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini
harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak
teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan
hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.18

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian,


dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar

16
Ibid, hlm. 24-25.
17
Robert L. Weku. 2021. Kajian Terhadap Kasus Penyerobotan Tanah Ditinjau Dari
Aspek Hukum Pidana Dan Hukum Perdata, Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2021, hlm. 17.
18
Mukti Arto. 2016. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm.140.

14
terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak.19

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang
hal-hal sebagai berikut:
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut
semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/ diadili
secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/ tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
putusan. 20

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada

teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pemilikan dan penguasaan tanah atau rumah oleh seseorang atau masyarakat

haruslah didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah satunya

adalah hak atas tanah dan rumah. Sebaiknya jika ada hak seseorang atas tanah

harus di dukung oleh bukti hak, dapat berupa sertifikat, bukti hak tertulis non

sertifikat dan/atau pengakuan/keterangan yang dapat dipercayai kebenarannya.

Jika penguasaan atas tanah dimaksud hanya didasarkan atas kekuasaan, arogansi

atau kenekatan semata, pada hakekatnya penguasaan tersebut sudah melawan

hukum. Maka dapat disimpulkan penguasaan dan pendudukan rumah tanpa dasar

kepemilikan tersebut tidak sah dan merupakan perbuatan melawan hukum.

19
Ibid, hlm.141.
20
Ibid, hlm.142.

15
Penyerobotan tanah merupakan salah satu jenis sengketa pertanahan yang hampir

sering terjadi di Indonesia, penyerobotan tanah diartikan sebagai bentuk perbuatan

mengambil alih dan menguasai tanah milik orang lain dengan cara melawan

hukum, oleh karena itu perbuatan menguasai tanah secara ilegal dapat

digolongkan sebagai perbuatan tindak pidana. Mengingat sering terjadinya tindak

pidana penyerobotan tanah yang terjadi di Indonesia, maka pemerintah Indonesia

merumuskan aturan yang berkaitan dengan penyerobotan tanah sebagaimana yang

diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 385 dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan

Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Pasal 385 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.Perbuatan tindak pidana yang diatur didalam

Pasal 385 KUHP ini merupakan perbuatan penggelapan terhadap benda tidak

bergerak seperti rumah, sawah, dan tanah.

Perbuatan penyerobotan tanah yang dilakukan oleh seseorang dapat dijerat dengan
pasal-pasal yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang
Berhak atau Kuasanya apabila seseorang melakukan tindakan sebagai berikut:
1) Seseorang menjual tanah milik orang lain yang bukan miliknya.
2) Seseorang menyerobot tanah milik orang lain disertai ancaman.
3) Seseorang memalsukan surat-surat tanah.
4) Seseorang melakukan perusakan terhadap tanah milik orang lain yang sah.
5) Seseorang melakukan penipuan terhadap orang lain berkaitan dengan tanah.21

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan di dalam pemahaman skripsi ini dibuat sistematika penulisan

sebagai berikut:

21
Elza Syarief. 2017. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm.100.

16
BAB I Pendahuluan, Bab ini yang di dalamnya membahas tentang latar belakang

masalah, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan

penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka, Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat

dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari

pengertian dan jenis-jenis pidana, faktor penyebab kejahatan, teori pertimbangan

Hakim, dasar hukum tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas

hak.

BAB III. Metode Penelitian, Bab ini berisi tentang pendekatan masalah,

sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis

data.

BAB IV. Analisis Pertimbangan Hakim Pada Kasus Pembangunan Gedung


di Atas Tanah Tanpa Alas Hak (Studi Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN
Tjk)

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok

permasalahan yaitu faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana

pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan Nomor:

12/Pid.C/2021/PN Tjk dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada

kasus pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan

Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk.

17
BAB V Penutup, Bab ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil

pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang merupakan jawaban permasalahan

berdasarkan hasil penelitian dan saran yang merupakan sumbangan pemikiran

sehubungan dengan hasil penelitian sebagai salah satu alternatif penyelesaian

permasalahan demi perbaikan di masa mendatang.

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Pidana

1. Pengertian Pidana

Setiap manusia adalah makhluk Tuhan yang tak pernah luput dari kesalahan,
kesalahan yang dilakukan dapat berupa perbuatan yang merugikan diri sendiri
maupun orang lain, hal tersebut tak jarang yang mengganggu ketentraman hidup
bermasyarakat. Seseorang yang melakukan kesalahan yang diatur dalam
perundang-undangan hukum pidana dapat diberikan sanksi berupa pidana.
Menurut Andi Hamzah, pidana adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap orang
yang terbukti bersalah melakukan delik berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.22

Pidana adalah penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang telah


melakukan kesalahan dan menjalani proses pembuktian sehingga hukuman
ditentukan oleh majelis hakim dalam sebuah putusan di pengadilan. Pidana
memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang
berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan
perundang-undangan.23

Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah dihukum yang berasal
dari perkataan “wordt gestraf” , menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah
yang konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam
dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Jika “straf” diartikan
sebagai hukuman, maka “strafrecht” seharusnya diartikan hukuman-hukuman.
Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih
luas daripada pidana, karena mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan
Hukum Perdata.24

Pidana adalah makna sempit dari hukuman, yang mana hukuman mencakup
segala sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat, namun pidana adalah hukuman yang
diberikan pada seseorang yang melakukan tindak pidana sesuai yang diatur dalam
Hukum Pidana.25

22
Andi Hamzah. 2014. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 114.
23
JCT Simorangkir. et.al. 2013. Kamus Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2015. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Cetakan
Ketiga. Alumni, Bandung, hlm 1.

19
Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir pada umumnya memiliki dua

unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur

objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan.26

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana menurut P.A.F Lamintang dkk adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud atau oogmerk
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
e. Perasaan takut atau vress.
Unsur objektif dari suatu tindak pidana menurut P.A.F Lamintang dkk adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.27

Menurut Moeljatno pidana sendiri mengandung unsur-unsur sebagai berikut


a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).
c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.28

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pidana merupakan

suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang

berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung

jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata

karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus

ditegakkan oleh negara.

2. Jenis-jenis Pidana

25
Tri Andrisman. 2017. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana
Indonesia. Unila, Bandar Lampung, hlm 8
26
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2012. Op.Cit, hlm.193.
27
Ibid, hlm.194.
28
Moeljatno. 2013. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta, hlm, 93. 

20
Menurut Leden Marpaung, hukuman pokok telah ditentukan dalam Pasal 10
KUHP yang menyatakan sebagai berikut:
“Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok:
1) Pidana Mati
2) Pidana penjara
3) Kurungan
4) Denda
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim. 29

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang


dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.
a. Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap
berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana,
pencurian dengan kekerasan, pemberontakan yang diatur dalam Pasal 124
KUHP.
b. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa
hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan
karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih
ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimum satu hari dan
maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP yang
menyatakan:
a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan
paling lama lima belas Tahun berturut-turut.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
Tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih
antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu
tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu. begitu juga dalam
hal batas lima belas Tahun dapat dilampaui karena pembarengan
(concursus), pengulangan (residive) atau Karena yang telah ditentukan
dalam Pasal 52.
d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua
puluh tahun.
c. Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain,
dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur,
selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP
yang menyatakan:
29
Leden Marpaung. 2012. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta,
hlm. 108.

21
1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu Tahun.
2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu Tahun empat
bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan
kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal 52 dan 52 a.
d. Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan
terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif.
Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua
puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan. Mengenai
hukuman denda diatur dalam Pasal 30 KUHP, yang menyatakan:
1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti
dengan hukuman kurungan.
3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-
kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga
setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih
tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari,
akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan
dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan
kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52
dan 52a.
6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau
kenalan dapat melunasinya.
1) Pencabutan hak-hak tertentu
Hal ini diatur dalam Pasal 35 KUHP yang menyatakan:
a) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang
umum lainnya, adalah:
(1) Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu.
(2) Masuk balai tentara.
(3) Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena
undang-undang umum.
(4) Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau
pengampu pengawas atas orang lain yang bukan anaknya sendiri.
(5) Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri.
(6) Melakukan pekerjaan tertentu.
b) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila
dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-
mata berkuasa melakukan pemecatan itu.

2) Perampasan Barang Tertentu

22
Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang

dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang

dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang

digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39

KUHP yang menyatakan:

a) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau


dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh
dirampas.
b) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak
dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan
perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-
undang.
c) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah
yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas
barang yang telah disita.

3) Pengumuman Putusan Hakim

Menurut Pasal 43 KUHP hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk

mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian

masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya

ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang

semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman

putusan hakim dimuat dalam putusan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua jenis

pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat

jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana.

B. Faktor Penyebab Kejahatan

Kejahatan dapat dikatakan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang,

bertentangan dengan hukum, dan merugikan masyarakat, untuk itulah maka maka

23
para penegak hukum berupaya untuk menanggulanginya. Untuk menaggulangi

kejahatan maka harus diketahui penyebab timbulnya kejahatan, Adapun sebab-

sebab timbulnya kejahatan dapat dijumpai dalam berbagai faktor, dimana suatu

faktor dapat menimbulkan kejahatan tertentu, sedangkan faktor lain dapat

menimbulkan jenis kejahatan yang lain pula.

Secara garis besar faktor-faktor penyebab kejahatan dapat dibagi dalam dua
bagian, yang pertama faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern) yang
mana dibagi lagi menjadi faktor intern yang bersifat umum dan faktor intern yang
bersifat khusus.Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor yang bersumber dari
luar individu (ekstern). Faktor intern yang bersifat khusus berkaitan dengan
keadaan psikologis (masalah kepribadian sering menimbulkan perilaku
menyimpang). Sifat khusus yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan adalah
mental dan daya inlegensi yang rendah, faktor intern yang bersifat umum meliputi
pendidikan sedangkan faktor yang bersumber dari luar luar diri individu adalah
faktor lingkungan. 30

Orang yang memiliki mental rendah apabila terus mengalami tekanan dari luar

maka cenderung akan melakukan penyimpangan atau kejahatan, rendahnya

mental berhubungan erat dengan daya intelegensi, intelegensi yang tajam dapat

menilai realitis, maka semakin mudah dalam menyesuaikan diri dengan

masyarakat, sebaliknya apabila seseorang memiliki intelegensi yang rendah maka

akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, sehingga orang itu akan

merasa semakin jauh dari kehidupan masyarakat, dan tidak sanggup melakukan

sesuatu, sehingga orang tersebut akan merasa tertekan dan mencari jalan sendiri

yang menyimpang dari norma yang ada di masyarakat.

Faktor intern sebab timbulnya kejahatan yang bersifat umum adalah rendahnya

pendidikan, seseorang yang memiliki pendidikan rendah kurang memahami

norma dan aturan yang berlaku di masyarakat, minimnya pengetahuan mengenai

30
Soedarto. 2009. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung, hlm. 56,

24
norma dan aturan membuat orang tersebut tidak dapat membedakan mana yang

benar dan mana yang salah dari persepektif norma yang ada di masyarakat.

Rendahnya tingkat pendidikan berbanding terbalik dengan intelegensi seseorang

yang mana terkadang menjadi faktor pendukung individu dalam melakukan

kejahatan, dalam beberapa jenis kejahatan tertentu dibutuhkan intelegensi yang

tinggi untuk melakukannya, contoh begal, keterampilan yang dimiliki individu

untuk melakukan kejahatan tersebut terkadang memang tidak berkaitan dengan

tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan untuk melakukan kejahatan tersebut

bisa didapat melalui interaksi dengan masyarakat disekitarnya atau melalui sarana

belajar yang lain. Dengan menguasai kemampuan khusus, maka individu akan

tergoda untuk melakukan kejahatan, dikarenakan keterampilan yang dimilikinya

dapat dengan mudah digunakan untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut.

Minimnya mata pencaharian sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan,

Individu yang memiliki keahlian dalam hal ini menggunakan keahliannya untuk

melakukan kejahatan, individu tersebut menggunakan keahliannya untuk mencari

pencaharian dengan cara menyimpang dari aturan yang ada, misalnya pencurian

dengan kekerasan atau biasa disebut dengan begal, individu tersebut memiliki

keahlian dan memiliki konsep perencanaan dalam melakukan kejahatan. Oleh

karena kejahatan digunakan sebagai mata pencaharian maka faktor ekonomilah

yang memiliki dampak besar sebab terjadinya tindak kejahatan

Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono yang merumuskan tindak pidana sebagai
perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat
itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan
ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang
berwenang menanggulangi tindak pidana. 31

31
Soedjono D. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Grafindo Persada. Jakarta, hlm. 26.

25
Berdasarkan uraian di atas maka usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah

terjadinya tindak pidana, maka kepada masyarakat juga di bebankan untuk turut

serta bersama-sama aparat penegak hukum guna menanggulangi tindak pidana

semaksimal mungkin.

C. Teori Pertimbangan Hakim

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan


terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung
manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini
harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak
teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan
hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.32

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian,


dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar
terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya
juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut:
d. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
e. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut
semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
f. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/ diadili
secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang
terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/ tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
putusan. 33

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada

teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

32
Mukti Arto. 2016. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm.140.
33
Ibid, hlm.142.

26
penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX


Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman
yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan
Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.34

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini


mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur
tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah mahkamah konstitusi.35

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak
(impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak
berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. 36

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak

memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu

tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi

34
Ibid, hlm.142.
35
Andi Hamzah. 2015. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta, hlm.94.
36
Ibid, hlm.95.

27
penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum

yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap

peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak

boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak

boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin

pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim

dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”

Hakim dalam putusannya harus memberikan rasa keadilan, menelaah terlebih

dahulu kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Hakim dalam menjatuhkan

putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan

yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat juga faktor lain yang

mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, dan politik.

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu

menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa

28
yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum. Pengertian lain

mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat

dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang

pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang

diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan

atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan undang-undang, hakim dalam mengajukan perkara penjatuhan


pidana denda yang melampaui ketentuan ketentuan undang-undang harus
berdasarkan hukum materil maupun hukum formil. Hakim juga sepenuhnya
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman
merupakan badan yang menentukan kaidah-kaidah hukum positif dalam
konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. 37

Dalam menjatuhkan hukuman, hakim terikat oleh aturan hukum yang dijadikan

landasan hakim dalam menjatuhkan hukuman, dan hakim dalam menjatuhkan

hukum berkisar antara straf minimal dan straf maksimal. Kekuatan hukum ini

tidak memiliki dasar hukum artinya putusan tersebut tidak sesuai dengan aturan

hukum, dan bila ada kejanggalan dalam putusan yang dijatuhkan hakim

terhadap terdakwa, terdakwa dapat mengajukan yang namanya upaya hukum.

Upaya hukum dilakukan untuk memeriksa kembali putusan, untuk meneliti

putusan bila ada kekeliruan baik dari hakim maupun dari terdakwa, serta

untuk mengulang agar dicapai yang namanya kebenaran substansi, dengan begitu

putusan dapat batal demi hukum bila terdakwa mengajukan upaya hukum ke

Pengadilan Negeri Tinggi.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,


37
Andi Hamzah. 2015. Op. Cit, hlm.102.

29
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.38

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan


pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan
hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian. 39

D. Tindak Pidana Pembangunan Gedung di Atas Tanah Tanpa Alas Hak

Pemilikan dan penguasaan tanah atau rumah oleh seseorang atau masyarakat

haruslah didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah dan kuat, salah satunya

adalah hak atas tanah dan rumah. Sebaiknya jika ada hak seseorang atas tanah

harus didukung oleh bukti hak, dapat berupa sertifikat, bukti hak tertulis non

sertifikat dan/atau pengakuan/keterangan yang dapat dipercayai kebenarannya.

Jika penguasaan atas tanah dimaksud hanya didasarkan atas kekuasaan, arogansi

atau kenekatan semata, pada hakekatnya penguasaan tersebut sudah melawan

hukum. Maka dapat disimpulkan penguasaan dan pendudukan rumah tanpa dasar

kepemilikan tersebut tidak sah dan merupakan perbuatan melawan hukum.

Penyerobotan tanah merupakan salah satu jenis sengketa pertanahan yang hampir

sering terjadi di Indonesia, penyerobotan tanah diartikan sebagai bentuk perbuatan

mengambil alih dan menguasai tanah milik orang lain dengan cara melawan

38
Riduan Syahrani. 2016. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung,
hlm.23.
39
Achmad Ali. 2015. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Gunung Agung. Jakarta, hlm.82-83.

30
hukum, oleh karena itu perbuatan menguasai tanah secara ilegal dapat

digolongkan sebagai perbuatan tindak pidana. Mengingat sering terjadinya tindak

pidana penyerobotan tanah yang terjadi di Indonesia, maka pemerintah Indonesia

merumuskan aturan yang berkaitan dengan penyerobotan tanah sebagaimana yang

diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 385 dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan

Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Pasal 385 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.Perbuatan tindak pidana yang diatur didalam

Pasal 385 KUHP ini merupakan perbuatan penggelapan terhadap benda tidak

bergerak seperti rumah, sawah, dan tanah.

Perbuatan penyerobotan tanah yang dilakukan oleh seseorang dapat dijerat dengan

pasal-pasal yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang

Berhak atau Kuasanya apabila seseorang melakukan tindakan sebagai berikut:

1) Seseorang menjual tanah milik orang lain yang bukan miliknya.


2) Seseorang menyerobot tanah milik orang lain disertai ancaman.
3) Seseorang memalsukan surat-surat tanah.
4) Seseorang melakukan perusakan terhadap tanah milik orang lain yang sah.
5) Seseorang melakukan penipuan terhadap orang lain berkaitan dengan tanah.40

Tanah secara yuridis sebagaimana diatur didalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor


5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dimaknai sebagai
permukaan bumi, penggunaannya meliputi tubuh bumi, air dan ruang yang ada
diatasnya yang dapat dimiliki secara individu maupun kelompok. Didalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang larangan penggunaan tanah
tanpa izin yang berhak atau kuasanya dijelaskan mengenai pengertian tanah yaitu
tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tanah yang dikuasai oleh individu
atau badan hukum.41

40
Elza Syarief. 2017. Op. Cit, hlm.100.
41
Urip Santoso. 2015. Hukum Agrari Kajian Komprehensif, Prenadamedia Group, Jakarta,
hlm.7.

31
Tindak pidana penyerobotan tanah dapat dilakukan baik secara individu maupun

berkelompok terhadap tanah milik orang lain dengan tujuan untuk dikuasai,

diduduki, atau diambil alih secara sewenang-wenang dan melanggar peraturan

hukum yang berlaku, oleh karena itu, perbuatan tersebut dapat digugat menurut

hukum perdata ataupun dituntut menurut hukum pidana.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana penyerobotan tanah

merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh individu maupun

kelompok untuk menguasai hak akan tanah dengan tidak mengindahkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

32
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau

kaidah hukum, asas-asas tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa

alas hak dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur yang berhubungan

peradilan pidana.

2. Pendekatan Empiris

Pendekatan yang dilakukan melalui penelitian secara langsung terhadap objek

penelitian dengan cara observasi dan wawancara.

B. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari penulisan kepustakaan

(library research) dan penelitian lapangan (field research).42

2. Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah:

42
Achmad Yulianto dan Mukti Fajar. 2015. Dualisme Penelitian hukum Normatif Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 7.

33
a. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan

(library research) dengan cara membaca, mengutip dan menelaah berbagai

kepustakaan, asas-asas hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang

diteliti. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

1) Bahan Hukum Primer dimaksud, antara lain yaitu:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil

Amandemen.

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di

Seluruh Indonesia (KUHP).

c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria.

d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

f) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia.

g) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun

1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau

Kuasanya.

h) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana yang telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang

34
Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan

Pendaftaran Tanah.

i) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2) Bahan Hukum Sekunder yaitu terdiri dari karya ilmiah, makalah dan

tulisan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti

yaitu tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak.

3) Bahan Hukum Tersier merupakan data pendukung yang berasal dari

informasi dari media masa, kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum

maupun data-data lainnya.

b. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung terhadap objek

penelitian yaitu tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas

hak dengan cara pengamatan (observation) dan wawancara (interview) kepada

nara sumber penelitian.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka (Library Research)

Mempelajari literatur-literatur untuk memperoleh data sekunder yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti berupa asas-asas hukum, peraturan-

peraturan hukum dan bahan hukum lain yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

35
b. Studi Lapangan (Field Research)

1) Pengamatan (observation) atau pengamatan, dilaksanakan dengan jalan

mengamati tentang tindak pidana pembangunan gedung di atas tanah tanpa

alas hak berdasarkan Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk yang

dilakukan di Polresta Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Tanjung

Karang dan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

2) Wawancara (interview), wawancara ini dilakukan untuk mengumpulkan

data primer yaitu dengan cara wawancara langsung secara terarah

(directive interview) terhadap narasumber yaitu:

a) Penyidik Polresta Bandar Lampung : 1 orang

b) Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

c) Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data diperoleh baik data primer maupun data sekunder, kemudian data

tersebut diperiksa kelengkapan dan relevansinya sesuai dengan permasalahan.

Setelah data tersebut diperiksa mengenai kelengkapannya dapat diketahui dari

data tersebut yang mana dipergunakan untuk dianalisis.

D. Analisis Data

Setelah diperoleh data kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis

secara kualitatif yaitu setelah data didapat diuraikan secara sistematis dan

disimpulkan dengan cara pikir induktif sehingga menjadi gambaran umum

jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

36
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PADA KASUS PEMBANGUNAN
GEDUNG DI ATAS TANAH TANPA ALAS HAK
(Studi Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk)

A. Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Tindak Pidana Pembangunan

Gedung di Atas Tanah Tanpa Alas Hak Berdasarkan Putusan Nomor:

12/Pid.C/2021/PN Tjk

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa

melanggar larangan tersebut.

Hasil wawancara penulis dengan Dennis Arya Putra selaku Kasatreskrim Polresta

Bandar Lampung bahwa Terdakwa SA mendirikan bangunan semi

permanen/gubuk diatas tanah milik Saksi Mintardi Halim alias Aming adalah

dilakukan tanpa seijin dan sepengetahuan dari Saksi Mintardi Halim alias Aming.

Hal tersebut dilakukan oleh terdakwa dikarenakan terdakwa kurangnya kesadaran

hukum serta kesulitan dalam hal ekonomi yang membuat terdakwa tidak mampu

untuk membeli atau menyewa tanah guna keberlangsungan hidup terdakwa.

Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Budi Arifin selaku Kepala Seksi

Tindak Pidana Umum bahwa pembangunan gedung atau bangunan tanpa alas hak

ialah suatu tindak pidana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah

Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat menguraikan bahwa

diketahui tindak pidana pembangunan diatas tanah tanpa alas hak merupakan

perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah

37
Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian

Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya bahwa barang siapa memakai

tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanyya yang sah, dengan ketentuan, bahwa

jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan merekaya yang

akan diselesaikan menurut Pasal 5 Ayat 1 padahal mekanisme pendaftar sertifikasi

tanah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak

Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Tapi

disisi lain meurut penulis Pemerintah harus bertanggung jawab atas reforma

agraria guna memberikan hak yang sama atas tanah terhadap masyarakat karena

hal tersebut telah diatur dalam konstitusi Negara yaitu Pasal 33 Ayat 3 Undang-

Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasi oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat jo Pasal 9 Ayat 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa tiap-tiap warga Indonesia, baik

laki-laki maupun wanita mempuyai kesempatan yang sama untuk memperoleh

suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri

sendiri maupun keluarganya.

B. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus

pembangunan gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan

Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal

38
183 KUHAP). Alat bukti yang sah dimaksud adalah: keterangan saksi; keterangan

ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah

diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP). Pasal 14 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim

yang bersifat rahasia. Ayat (2) menyatakan bahwa dalam sidang

permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat

tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari putusan.

Seorang hakim diwajibkan menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak

memihak. Istilah tidak memihak ini diartikan tidak harfiah, tidak memihak dalam

pengertian tersebut artinya hakim tidak dibenarkan untuk memilih (clien) yang

akan dibela karena dalam menjatuhkan putusannya harus memihak kepada

kebenaran. Tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan

penilaiannya. Dinyatakan dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat

(1) bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan

orang”.

Hasil wawancara penulis dengan Dadi Rachmadi selaku Kepala Pengadilan

Negeri Tanjung Karang Kleas IA bahwa Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-

fakta yang terungkap di persidangan yaitu dari keterangan saksi-saksi dan

keterangan Terdakwa sendiri bahwa pada sekitar tahun 2019 Terdakwa telah

mendirikan bangunan semi permanen diatas tanah yang terletak di Jl. Raya

Sumber Agung Kelurahan Sumber Agung Kecamatan Kemiling Bandar

Lampung, dimana bangunan semi permanen yang didirikan Terdakwa diatas tanah

39
tersebut merupakan bagian dari luas tanah seluas 87.005 m2 (delapan puluh tujuh

ribu lima) meter persegi sesuai dengan Sertipikat Hak Guna Bangunan

No.130/Su.A Kelurahan Sumber Agung atas nama PT.Bumi Persada Langgeng

yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional Kota Bandar Lampung tanggal

9 April 2010 dan asal usul dasar penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan

No.130 / Su. A, kel. Sumber Agung atas nama PT. BUMI PERSADA

LANGGENG, yakni:

1. Surat pernyataan melepaskan hak keperdataan atas tanah negara dari sdr

SAFEI SANI TJAKRA selaku Ketua Yayasan Bhakti IMI Lampung kepada

sdr MINTARDI HALIM selaku Direktur utama PT. Bumi Persada Langgeng

tanggal 01 April 2008.

2. Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi

Lampung, Nomor : 06 / HGB / BPN / 18 / 2010 tentang pemberian hak guna

bangunan atas nama PT. BUMI PERSADA LANGGENG atas tanah di kota

Bandar Lampung tanggal 09 Maret 2010.

Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan telah ternyata kalau tanah tersebut belum

pernah dialihkan atau dipindah tangankan dengan cara apapun juga, dan Terdakwa

dalam mendirikan bangunan semi permanen diatas tanah milik Saksi Mintardi

Halim alias Aming adalah dilakukan tanpa seijin dan sepengetahuan dari Saksi

Mintardi Halim alias Aming selaku pemiliknya, sehingga dengan demikian maka

unsur memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah telah

terpenuhi. Dari seluruh rangkaian pertimbangan tersebut dan berdasarkan

keterangan saksi-saksi dan Terdakwa maka seluruh unsur-unsur dari Pasal 6 ayat

40
(1) huruf a Perpu No.51/PRP/1960 sesuai catatan Penyidik telah terpenuhi secara

sah dan meyakinkan menurut hukum.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dianalisis bahwa pertimbangan putusan

hakim terhadap pelaku tindak pidana pada kasus pembangunan gedung di atas

tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN Tjk tidak

memperhatikan faktor lain selain faktor yuridis. Keterangan SA dalam penyidikan

mengaku terpaksa membangun gubuk untuk kehidupannya akibat faktor kesulitan

ekonomi. Tentunya dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, terlebih

putusan pemidanaan, hakim harus benar-benar menghayati dan meresapi arti

amanat dan tanggungjawab yang diberikan yang diberikan kepadanya sesuai

dengan fungsi kewenangannya, masing-masing kearah tegaknya hukum itu sendiri

yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan berlandaskan pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim

merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik apakah perbuatan terdakwa

tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut

umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar/diktum putusan

hakim.

BAB V
PENUTUP

41
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasl penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Tindak Pidana Pembangunan Gedung di

Atas Tanah Tanpa Alas Hak Berdasarkan Putusan Nomor: 12/Pid.C/2021/PN

Tjk adalah kurangnya kesadarn hukum terdakwa SA, lahan yang dibangun

bukan milik SA, serta adanya faktor ekonomi yang membuat SA terpaksa

melakukan pembangunan gubuk dilahan milik orang lain karena tidak

mampunya membeli atau menyewa lahan sendiri.

2. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada kasus pembangunan

gedung di atas tanah tanpa alas hak berdasarkan Putusan Nomor:

12/Pid.C/2021/PN Tjk adalah terdakwa SA telah mengakui kesalahnya dalam

hal ini terdakwa telak membangun gubuk diatas laha yang bukan milik SA.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Disaranakan kepada Pemerintah dan Instansi terkait untuk mewujudkan

reforma agraria yang telah dijamin oleh konstitusi Negara yaitu Pasal 33 Ayat

3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi

dikuasi oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat jo Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa tiap-

tiap warga Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempuyai kesempatan

yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat

manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

42
2. Disarankan kepada setiap hakim untuk tidak hanya mempertimbangkan faktor

yuridis dalam mengambil keputusan, karena Berdasarkan Putusan Nomor:

12/Pid.C/2021/PN Tjk pelaku memang benar telah melanggar hukum. Akan

tetapi ada faktor yang menyebabkan terdakwa SA membangun gubuk dilahan

yang bukan kepunyaannya yaitu faktor ekonomi sehingga SA tidak mampu

untuk membeli atau menyewa lahannya sendiri.

3. Disarankan kepada Dinas Agaria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Kota Bandar Lampung untuk bisa mensosialisasikan mekanisme mendapatkan

distribusi tanah dan cara mendaftarkan sertifkasi tanah.

DAFTAR PUSTAKA

43
A. Buku-Buku

Achmad Yulianto dan Mukti Fajar. 2015. Dualisme Penelitian hukum Normatif


Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Adrian Sutedi, 2014. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Sinar
Grafika, Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 2012. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bhakti, Bandung.

Dirdjosiswoyo. 2014. Heterogenitas Masyarakat Dalam Perkembangan Sosial.


Sinar Grafika, Jakarta.

Elza Syarief. 2017. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus


Pertanahan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Leden Marpaung. 2012. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika,


Jakarta.

M. Yahya Harahap. 2014. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap,


Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Rajawali Press, Jakarta.

Marihot Pahala Siahaan. 2013. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.

P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir. 2011. Delik-delik Khusus, Tarsito,


Bandung.

Samun Ismaya. 2013. Hukum Administrasi Pertanahan. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Wirjono Prodjodikoro. 2013. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika


Aditama, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil


Amandemen.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun


1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh Indonesia
(KUHP).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria.

44
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang


Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah


dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 92


Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).

C. Sumber Lainnya

Erlina B. 2009. Implementasi Penegakan Hukum Lingkungan di Propinsi


Lampung, Jurnal, Pranata Hukum, hlm. 25.

-------. 2010. Gugatan Class Action dalam Penegakan Hukum Lingkungan di


Indonesia, Jurnal Keadilan Progresif

Nikson Silitonga. 2021. Analisis Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Tindak


Pidana Pemakaian Bidang Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya
di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda-Su), Jurnal
Retentum, Volume 2 Nomor 1, Tahun 2021 (Februari), hlm. 70-78.

Robert L. Weku. 2021. Kajian Terhadap Kasus Penyerobotan Tanah Ditinjau


dari Aspek Hukum Pidana dan Hukum Perdata, Lex Privatum,
Vol.I/No.2/Apr-Jun/2021.

S. Endang Prasetyawati. 2015. Analisis Penerapan Sanksi Pidana Tentang


Kejahatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum.

45

Anda mungkin juga menyukai