Anda di halaman 1dari 60

PELAKSANAAN PENCATATAN PEMBLOKIRAN SERTIPIKAT

HAK ATAS TANAH PADA KANTOR PERTANAHAN


KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN

Disusun Kelompok II terdiri dari :


1. TAUFIK : 2022010461089
2. JELITA SIHOMBING : 2022010461098
3. ERMA HERMAWATI : 2022010461111
4. LUKMAN SANJAYA : 2022010461045
5. HERBIN LUMBAN TORUAN : 2022010461046
6. M. AGIL AL MUNAWAR :
7. R. GUNTUR HARY :

SEMESTER II
Dosen : Dr. AMELIA NUR WIDYANTI, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM MAGISTER UNIVERSITAS JAYABAYA
JAKARTA
2022-2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian...........................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian......................................................
D. Kerangka Pemikiran.......................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. Hukum Agraria...............................................................................
B. Hak Atas Tanah..............................................................................
C. Penguasan Hak Atas Tanah............................................................
D. Sertipikat.........................................................................................
E. Sertipikat.........................................................................................

BAB III P E N U T U P ...............................................................................


Daftar Pustaka

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan suatu kebutuhan fundamental bagi kehidupan manusia. Terlihat

dari antusias setiap orang akan memperoleh dan mempertahankan tanah yang

mereka inginkan dan mereka miliki. Setiap orang tentu memerlukan tanah baik

untuk kehidupannya maupun untuk meninggal dunia pun manusia masih

memerlukan sebidang tanah. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa,

memiliki nilai yang sangat tinggi secara derajat seseorang ditengah masyarakat.

Tanah dalam konteks hukum agraria secara luas adalah merupakan modal utama

dalam menyejahterakan masyarakat, Karena itu kemanfaatannya harus digunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Indonesia merupakan Negara Agraris disebut Negara Agraris karena sebagian

besar penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani atau

bercocok tanam. Tanah menjadi hal yang utama dalam faktor produksi sebagai

salah satu sumber kesejateraan rakyat, tanah juga merupakan sumber daya alam

yang sangat penting. Oleh karena itu masalah dibidang pertanahan sangatlah

kompleks karena mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan

manusia. Sadar akan pentingnya tanah untuk bertahan hidup maka para pendiri

negara ini merancang Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Aturan hukum tertulis tentang

tanah diatur secara tegas dalam peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana

2
yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa1:

“bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang

penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pada Tahun 1948 sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 UUD 1945 maka para

pendiri negara ini, bertempat di Ibukota negara yang pada waktu itu masih

bertempat di Yogyakarta langsung membentuk panitia yang bertugas khusus

untuk merancang serta mengundangkan tentang hukum pertanahan di Indonesia

dan harapan mereka agar payung hukum tersebut cepat rampung dan cepat

dipergunakan. Namun kenyataannya terbalik karena payung hukum yang dikenal

dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria atau

yang dikenal dengan UUPA yang mulai berlaku pada bulan September 1960.2

UUPA dipandang sebagai jalan keluar dari permasalahan dualisme hukum

pertanahan yang berlangsung selama 15 (lima belas) tahun setelah Indonesia

merdeka tahun 1945, sehingga UUPA dikatakan sebagai hukum tanah nasional

yang diharapkan dapat menjadi kesatuan hukum agraria dan memberikan

kepastian hukum dari apa yang menjadi hak seluruh rakyat Indonesia. UUPA

yang merupakan hukum tanah positif yang berlaku di Indonesia hingga saat ini.

Dalam hukum positif Indonesia, adapun tujuan dari UUPA itu sendiri

1
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3.
2
Boedi Harsono I. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta, hlm.27.

3
sebagaimana yang dicantumkan dalam penjelasan umumnya adalah: 3

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang


akan merupakan alat untuk m\mbawakan kemakmuran, kebahagiaan
dan keadilan bagi negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Menindaklanjuti pengaturan pertanahan yang diamanatkan oleh UUPA dan dalam

rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah maka

pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 19 UUPA. Oleh karena itu, untuk melaksanakan

pendaftaran tanah sebagaimana maksud Pasal 19 ayat (1) UUPA, maka

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang

selanjutnya disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah (yang selanjutnya disebut dengan PP No. 24 Tahun

1997).

Dalam pelaksanannya, pendaftaran tanah di Indonesia telah dilakukan

sebagaimana yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997. Namun demikian, masih

saja terjadi sengketa pertanahan yang saat ini menjadi pekerjaan rumah bagi

pemerintah. Hal ini disebabkan karena sertipikat sebagai alat pembuktian yang

kuat ternyata belum menjamin kepastian hukum pemiliknya. Terlebih lagi dalam

Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 memberi peluang di mana sepanjang ada pihak

lain yang merasa berhak dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam

3
Boedi Harsono I. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan.Jakarta, hlm.27

4
sertipikat secara keperdataan ke pengadilan umum, atau menggugat Kepala

BPN/Kepala Kantor Pertanahan, Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pihak yang berkeberatan tersebut dapat memohonkan pencatatan dalam buku

tanah atau lebih dikenal dengan istilah pemblokiran tanah atau pencatatan blokir.

Hal ini mengakibatkan terjadinya pemblokiran sebagai langkah pengamanan

berupa pencegahan/ penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk

perubahan terhadap sertifikat hak atas tanah tersebut oleh kantor pertanahan

sampai adanya putusan yang tetap dari pengadilan. Dengan demikian, tanah

tersebut tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau lain sebagainya

serta tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga.

Dalam rangka tertib administrasi pertanahan, melakukan pencatatan blokir, sita

atau adanya sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah perlu dilakukan

kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah berupa pencatatan pada buku tanah

dan surat ukur. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila

terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang

telah. Pihak yang merasa dirugikan wajib mendaftarkan perubahan yang terjadi

kepada kantor pertanahan sehingga data yang ada di kantor pertanahan sesuai

dengan keadaan di lapangan. Tidak ada penjelasan secara rinci mengenai tata cara

pemblokiran, hanya tersirat mengenai pengaturan blokir terhadap permohonan

pendaftaran tanah pertama kali (originair) yang sedang diproses untuk penerbitan

sertipikat sesuai permohonan di Kantor Pertanahan. Pelaksanaan blokir ini

berpedoman pada PP 24 Tahun 1997 Pasal 30 ayat (1) huruf c dan d.

5
Selain diatur dalam PP 24 Tahun 1997, PMNA/Ka.BPN 3 Tahun 1997 peraturan

blokir diatur pula dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun

2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Pencatatan blokir

dan sita yang masih tersebar di beberapa peraturan, belum lengkap, tidak

seragam, dan tidak sesuai tuntutan berpotensi menjadi penghambat tercapainya

tertib administrasi pertanahan. Hambatan tersebut oleh pemerintah diupayakan

penyelesaiannya melalui pembentukan peraturan khusus mengenai blokir dan

sita, dengan diterbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara

Blokir dan Sita (selanjutnya disebut Permen ATR/KBPN No. 13 Tahun 2017).

Sedangkan blokir terhadap pendaftaran peralihan atau pembebanan hak

berpedoman pada Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (yang selanjutnya disebut dengan

PMNA/ Ka.BPN No. 3 Tahun 1997) yang menjelaskan blokir yang berdasarkan

permohonan pihak yang merasa berkepentingan namun kepentingannya tersebut

terganggu, akan dijadikan obyek gugatan di pengadilan dengan menyampaikan

salinan surat gugatan yang bersangkutan kemudian dicatat dalam buku tanah

yang ada di kantor pertanahan dan hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga

puluh) hari kecuali diikuti dengan putusan sita jaminan dan berita acara eksekusi

permohonan blokir.

6
Selain itu pencatatan blokir juga dapat terjadi karena adanya hubungan

kepentingan antara pemblokir dan pemilik tanah ataupun kepentingan pemilik

tanah itu sendiri. Contoh adanya hubungan hutang-piutang yang bermasalah,

wanprestasi, sertipikat hilang, pembagian waris yang tidak adil, pemalsuan atau

sengketa tanah lainnya. Pengaturan mengenai pencatatan blokir masih tersebar

dibeberapa ketentuan, belum lengkap, tidak seragam menyebabkan perbedaan

penafsiran dalam menjalankan permohonan pencatatan blokir di beberapa kantor

pertanahan. Tidak lanjut dari pemblokiran tersebut selanjutnya terdapat kasus

yang lanjut ke tahap sita. Pencatatan Sita merupakan tindakan administrasi Kepala

Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk untuk mencatat adanya sita dari

lembaga peradilan, peyidik atau instansi yang berwenang lainnya.

Untuk mewujudkan keseragaman, standarisasi dan tertib administrasi dalam

pelaksanaan pencatatan dan penghapusan catatan blokir dan sita maka

dikeluarkanlah peraturan mengenai pemblokiran dan sita hak atas tanah yang

diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara

Blokir dan Sita (“Permen ATR 13/2017”). Diharapan Kantor Pertanahan tidak lagi

mengalami perbedaan penafsiran dalam melaksanakan permohonan pencatatan

blokir dan sita hak atas tanah. Namun meski telah diatur sedemikian rupa, ternyata

tidak semua peraturan tersebut dapat dilaksanakan di Kantor Pertanahan.

Diantaranya terdapat pada Pasal 8 Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 13

Tahun 2017 yaitu terhadap permohonan pencatatan blokir mewajibkan pemohon

7
untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu di loket sebelum berkas diproses

dan dikaji mengenai diterima atau ditolaknya permohonan blokir sehingga ketika

permohonan blokir ditolak, uang yang sudah dibayarkan tidak dapat

dikembalikan. Pelayanan pencatatan blokir terhubung dengan KKPweb yang

belum mengakomodir masa berlaku blokir selama 30 hari dan tidak akan hapus

sebelum pemohon meminta permohonan pencabutan blokir.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas secara detail

mengenai pelaksanaan pemblokiran sertipikat hak atas atas pada Kantor

Pertanahan dan faktor penyebab pemohon melakukan pemblokiran sertipikat hak

atas tanah serta kepastian jangka waktu berlakunya blokir pada Kantor

Pertanahan. Oleh karena itu penulis akan menuangkannya dalam bentuk makalah

yang diberi judul Pelaksanaan Pencatatan Pemblokiran Sertipikat Hak Atas

Tanah pada Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan.

B. Rumusan Masalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana mekanisme pencatatan blokir sertipikat hak atas tanah pada

Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan?

b. Bagaimana kepastian jangka waktu berlakunya blokir pada Kantor

Pertanahan?

8
2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian makalah ini terbatas pada kajian bidang Hukum Tata

Negara dibidang Hukum Pertanahan, khususnya hanya terbatas pada:

a. Mekanisme pencatatan blokir sertipikat hak atas tanah pada Kantor

Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan

b. Kepastian jangka waktu berlakunya blokir pada Kantor Pertanahan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis mekanisme pencatatan

blokir sertipikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan Pertanahan Kota

Administrasi Jakarta Selatan.

b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kepastian jangka waktu

berlakunya blokir di Kantor Pertanahan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah menambah wawasan di bidang

hukum pertanahan di Indonesia.

9
b. Kegunaan Praktis

1. Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat

aparatur penegak hukum dalam memperluas dan memperdalam ilmu

hukum serta dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya terutama

bagi akademisi dan mahasiswa pada khususnya untuk menambah

wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam

rangka pembaharuan Hukum Pertanahan di Indonesia.

2. Dengan penulisan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat terkait

pemblokiran sertipikat hak atas tanah dalam pelayanan pertanahan.

D. Kerangka Pemikiran

Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre

berarti tanah atau sebidang tanah. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria

berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam

bahasa inggris agraria selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian.

Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian

dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur

mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian. Hukum agraria dalam arti

luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis

yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang

angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

10
Selanjutnya menurut R.Subekti dalam bukunya Budi Sudarsono menjelaskan

bahwa hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik

hukum perdata, maupun hukum tata negara maupun pula hukum tata usaha negara

yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan

bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula

wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan tertentu.4

Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh tanah, air, termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya adalah kepunyaan bersama bangsa Indonesia,

namun dalam kewajiban pengelolaannya tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh

bangsa Indonesia, maka penyelenggaraannya pada tingkatan yang tertinggi

dikuasakan kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hal ini

mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi dan air dan

kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sebagai negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu yang

memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia,

terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat dimana

warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan

baginya. Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi manusia. Tanah

mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam

maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena ketersediaan tanah yang

relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring


4
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan, Jakarta, hlm.4.

11
pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula,

sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar

kemakmuran rakyat5.

Untuk memberikan kepastian hukun dan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas tanah maka diselenggarakan pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan

Nasional di seluruh wilayah Indonesia. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi

kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali untuk penerbitan sertipikat hak atas

tanah dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah yang meliputi kegatan

peralihan hak, pembebanan hak, perubahan data lainnya. Peralihan Hak hak atas

tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan di daftarkan ke

Kantor Pertanahan setempat.

Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 24

Tahun 1997 yaitu :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak

lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang ber-sangkutan

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.


5
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 2001. Hukum Adat Indonesia. Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.172.

12
Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas

tanah yang bersangkutan maka diberikan sertipikat hak atas tanah. Disamping

sebagai tanda bukti hak kebendaan berupa tanah sertipikat hak atas tanah juga

merupakan produk Tata Usaha Negara. Sebagai pelaksana penyelenggara urusan

pertanahan, keputusan Badan Pertanahan Nasional dalam pemberian, peralihan,

pembebanan atau pembaharuan Hak atas tanah adalah keputusan Tata Usaha

Negara.

Menurut E. Utrecht memberikan  gambaran mengenai Pengertian Hukum Tata

Usaha Negara ialah (hukum administrasi, hukum pemerintahan) menguji

perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan

para pejabat (ambtsdragers) (tata usaha negara, administrasi) melakukan tugas

mereka yang istimewa.Selanjutnya E, Utrecht menjelaskan bahwa “Hukum

Administrasi Negara adalah yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan

administrasi negara.6

Sistem pendaftaran tanah yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional adalah

sistem pendaftaran hak dengan sistem publikasi bersifat negatif yang mengandung

unsur-unsur positif.7 Menurut sistem ini bahwa segala apa yang tercantum dalam

sertipikat tanah dianggap benar sampai tidak dapat dibuktikan suatu keadaan

sebaliknya di muka sidang pengadilan. Adapun asas pendaftaran hak atas tanah

menurut sistem ini adalah Asas Memo Plus Yuris yakni melindungi pemegang hak

6
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta, hlm 34
7
Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita. 2005. Pembatalan Dan Kebatalan Hak Atas
Tanah. Tugu Jogja Pustaka, Jogjakarta, hlm.37

13
atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya

tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Kelemahan sistem publikasi

negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak

dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari

pihak lain dan merasa mempunyai tanah itu.

Berdasarkan permasalahan yang ada di dalam makalah ini maka penulis akan

menganalisisnya menggunakan beberapa teori hukum yaitu :

1. Teori Kemanfaatan

Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum adalah

memberikan kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang. Kemanfaatan di

sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), sehingga penilaian terhadap

baik-buruk atau adil-tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum

itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Dengan demikian

berarti bahwa setiap penyusunan produk hukum (peraturan perundang-

undangan) seharusnya senantiasa memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk

memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.

Menurut Jeremy Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di

atas landasan yang sudah diletakkan, tentang asas manfaat. Bentham

merupakan tokoh radikal dan pejuang yang gigih untuk hukum yang

dikodifikasikan, dan untuk merombak hukum yang baginya merupakan sesuatu

yang kacau. Ia merupakan pencetus sekaligus pemimpin aliran kemanfaatan.

14
Menurutnya hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas

dari kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The

Greatest Happines for the greatest number”. Dengan kata-kata Bentham

sendiri, inti filsafat disimpulkan sebagai berikut : Alam telah menempatkan

manusia di bawah kekuasaan, kesenangan dan kesusahan. Karena kesenangan

dan kesusahan itu kita mempunyai gagasan-gagasan, semua pendapat dan

semua ketentuan dalam hidup kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk

membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang ia katakan.

Tujuannya hanya untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan

perasaan-perasaan yang selalu ada dan tak tertahankan ini seharusnya menjadi

pokok studi para moralis dan pembuat undang-undang. Prinsip kegunaan

menempatkan tiap sesuatu di bawah kekuasaan dua hal ini. Bentham

berpendapat suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian

kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila menghasilkan

sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan.

2. Teori Perlindungan Hukum

Pada dasarnya teori perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan

pemberian pelayanan kepada masyarakat. Roscou Pound membagi kepentingan

manusia yang dilindungi hukum menjadi tiga macam, yang meliputi :

1) Public Interest (kepentingan umum);

2) Sosial Interest (kepentingan masyarakat); dan

3) Privat Interest (kepentingan individual).

15
Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia berbeda dengan norma-

norma yang lain. Karena hukum itu berisi perintah dan/atau larangan, serta

membagi hak dan kewajiban. Teori perlindungan hukum yang digagas oleh

Roscou Pound ini, digunakan untuk menganalisis permasalahan yang pertama

dan kedua, yang mana dinyatakan bahwa teori perlindungan hukum merupakan

teori yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat dan

kepentingan manusia yang merupakan suatu tuntutan yang harus dilindungi dan

dipenuhi oleh manusia itu sendiri.

Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond bahwa

hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,

perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara

membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Perlindungan hukum harus

melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum

dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada

dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan

perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan

pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa perlindungan hukum

merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-

tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan

hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai

16
dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang

bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka

menegakkan peraturan hukum.

3. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum

secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil

karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar.

Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa

dijawab secara normatif, bukan sosiologi.8

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan

yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan

beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah

produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-

aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam

hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian

hukum.9

8
Dominikus Rato. 2010. Filsafat Hukum Mencari, Memahami dan Memahami
Hukum. Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hlm.59
9
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, hlm.158.

17
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam

artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam

artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk

kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang

pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya

subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan

secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau

adil bukan sekedar hukum yang buruk.10

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh Negara terhadap individu. 11

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan

pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum

sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,

hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum

10
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit.
2009. Kamus Istilah Hukum. Jakarta, hlm. 385.
11
Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Citra
Aditya Bakti, hlm.23.

18
tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum

itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan

hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan

bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,

melainkan semata-mata untuk kepastian.12

Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang diberikan tugas

untuk itu harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan

keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum akan

menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan akan saling berbuat

sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan

kehidupan berada dalam suasana “social disorganization atau kekacauan

sosial”.13

Urgensi digunakan teori kepastian hukum sebagai pisau analisis dalam

penelitian ini adalah terkait dengan adanya ketentuan mengenai penjelasan

Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Blokir Dan Sita, bahwa:

“Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum berlaku untuk jangka waktu

30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pencatatan blokir.”

E. Metode Penelitian

12
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, hlm. 82-83.
13
Ibid, hlm.85

19
Penelitian pada hakikatnya mempunyai fungsi menemukan, mengembangkan,

atau menguji kebenaran suatu pengetahuan dan menerapkan fungsinya maka

diperlukan suatu usaha atau metode. Suatu penelitian agar memenuhi syarat

keilmuan maka perlu berpedoman pada suatu metode yang biasa disebut

dengan metode penelitian. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan

dalam penelitian yang bersifat ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Masalah

Permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, melalui dua pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan Yuridis Normatif adalah pendekatan dengan cara menelaah kaidah-

kaidah, norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang

akan diteliti.

b. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris yaitu dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang

diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan

cara observasi dan wawancara dengan narasumber yang dibahas dalam penelitian

ini.

2. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Agar

memperoleh data secara langsung dari narasumber/responden yang mempunyai

20
hubungan erat dengan objek penelitian hukum ini sebagai sumber pertama melalui

penelitian di lapangan.

a. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari bahan literatur kepustakaan (Library Research)

dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep,

doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara mengutip dan

menelaah peraturan Perundang-undangan, teori-teori dari para ahli hukum, kamus

hukum, serta artikel ilmiah. Menurut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa data

sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca,

mengutip dan menelaah peraturan Perundang-undangan, buku-buku, dokumen,

kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan

yang akan dibahas.14

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer dalam penelitian ini antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen.

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria.

c) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

14
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres. Jakarta, Hlm.16

21
e) Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian

Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional.

f) Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria

dan Tata Ruang.

g) Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan

Nasional.

h) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

i) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010

tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

j) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nomor 38 Tahun

2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional dan Kantor Pertanahan.

k) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.

l) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer dalam hal ini teori yang dikemukakan para ahli hukum

22
literatur-literatur, makalah-makalah, artikel ilmiah, surat kabar dan

sebagainya.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari: Kamus

Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum (Law Dictionary),

Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum, Website dan lain-lain.

b. Data Primer

Pengertian dari data primer adalah kumpulan data yang diperoleh dari hasil

penelitian yang dilaksanakan secara langsung pada objek penelitian yang

dilakukan dengan cara observasi dan wawancara (Field Research).

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan

dua cara sebagai berikut, yaitu:

1) Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis

dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,

mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, Perundang-undangan, buku-

buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan

penelitian yang dilakukan.

23
2) Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan carapengamatan

(observation) dan wawancara (interview) sebagai usaha mengumpulkan data.

a) Pengamatan (observation), yaitu pengamatan langsung terhadap objek

kajian yang sedang berlangsung untuk memperoleh keterangan dan

informasi sebagai data yang akurat tentang hal-hal yang diteliti serta untuk

mengetahui relevansi antara jawaban narasumber dengan kenyataan yang

ada, melalui pengamatan langsung yang erat kaitannya dengan objek

penelitian.

b) Wawancara (interview), yaitu teknik pengumpulan data melalui proses

tanya jawab langsung dengan narasumber dengan peneliti yang

berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka

mendengarkan secara langsung informasi atau keterangan sehubungan

dengan rumusan masalah penelitian. Narasumber dalam penelitian ini

diperlukan untuk memberikan informasi dan pengetahuan secara jelas

yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Narasumber dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Kepala Kantor Pertanahan : 1 orang

(2) Plt. Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian

Pertanahan : 1 orang

Jumlah : 2 orang

b. Prosedur Pengolahan Data

24
Hasil pengumpulan data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1) Identifikasi data, yaitu mencari dan meneliti kembali data yang diperoleh

untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan yaitu dengan

menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul yang akan

dibahas.

2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasikan

atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

3) Sistematisasi data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam

menginterpretasikan data.

4. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis yuridis

kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni pengamatan

argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis

tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif.

BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP HUKUM PERTANAHAN

A. Pengertian Hukum Agraria/ Hukum Pertanahan

Istilah agraria atau sebutan agraria dikenal dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa

Belanda, dikenal dengan kata akker yang berarti tanah pertanian, dalam bahasa

25
Yunani kata agros yang juga berarti tanah pertanian. Dalam bahasa Latin, ager

berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius berarti perladangan, persawahan dan

pertanian. Dalam bahasa Inggris, agrarian berarti tanah untuk pertanian. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau tanah

pertanian. Dalam Black Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait

dengan tanah, atau kepemilikan tanah terhadap suatu bagian dari suatu

kepemilikan tanah (agraria is relating to land, orland tenure to a division of

landed property).15

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok

Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang lebih

dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan

landasan hukum tanah nasional tidak memberikan definisi atau pengertian

mengenai istilah agraria secara tegas. Walaupun UUPA tidak memberikan definisi

atau pengertian secara tegas tetapi dari apa yang tercantum dalam konsideran,

pasal-pasal dan penjelasanya dapat disimpulkan bahwa pengertian agaria dan

hukum agraria dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi

bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.16

Dari uraian dalam UUPA maka yang dimaksud dengan agraria adalah pengertian

agraria yang luas, tidak hanya mengenai tanah semata tetapi meliputi bumi air,
15
Urip Santoso. Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana. 2009. hlm.1
16
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Djambatan. Jakarta. 2005. hlm. 6

26
ruang angkas, dan kekayan alam yang terkandung didalamnya. Adapun pengertian

bumi adalah meliputi permukaan bumi, tubuh bumi, dibawahnya, serta yang

berada dibawah air. Permukaan bumi yang dimaksud, disebut juga sebagai tanah.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian tanah adalah meliputi permukaan bumi yang

ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.17

Selanjutnya mengenai pengertian hukum agraria, terdapat juga beberapa pendapat

ahli dan definisi mengenai hal tersebut. Menurut Black Law’s Dictionary,

agrarian law is the body of law governing the ownership,use, and distribution of

rural land. Agrarian laws digunakan juga untuk menunjukan kepada perangkat

peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah

yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya. Definisi

lain dari hukum agraria yang dalam bahasa belanda disebut dengan agrarisch

recht, merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi

pemerintahan. Agrarisch recht di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi

pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum

bagi para penguasa dalam melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.18

Dalam ruang lingkup hukum agraria dapat juga dipaparkan mengenai pengertian

hukum tanah. Tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi.

Tanah yang dimaksud bukan mengatur tanah dalam segala aspek, melainkan

hanya mengatur salah satu aspek, yaitu tanah dalam pengertian yang disebutkan

17
Ibid
18
Bryan A. Gadner. Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co.
2004. hlm. 73.

27
dalam Pasal 4 UUPA, “yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang

dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-

orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan

hukum.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA, tanah dalam pengertian yuridis

adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian

tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang

dan lebar. Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang

disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan.

Menurut Iman Sudiyat tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling

atas yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan. Itulah sebabnya

kemudian dikenal istilah tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah

perkebunan.19 Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan

tanah bangunan. Kedalaman lapisan bumi (tanah) adalah sedalam irisan bajak,

lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam. Secara yuridis dikatakan bahwa

tanah dikualifikasi sebagai permukaan bumi.20

19
Achmad Sodikin. Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional Dalam Rangka
Penguatan Agenda Landreform. Arena Hukum. Jakarta. 1997. hlm. 19.
20
Iman Sudiyat. Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang
Berkembang. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. 1982. hlm.11.

28
Di dalam UUPA terdapat asas-asas hukum pertanahan yang diatur terdiri dari 8

(delapan) asas dari hukum agraria Nasional, Delapan asas tersebut adalah sebagai

berikut :21

1. Asas Kebangsaan
Menurut Pasal 1 ayat (1) UUPA, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah, air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia dan seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan kekayaan Nasional Indonesia.
2. Asas Tingkatan yang Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan
Alam yang Terkandung di Dalamnya Dikuasai oleh Negara.
Asas ini didasari pada Pasal 2 ayat (1) UUPA. Sesuai dengan pendirian
tersebut, perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti dimiliki, akan tetapi
adalah pengertian yang memberikan wewenang kepada Negara sebagai
organisasi kekuasaan bangsa Indonesia pada tingkatan yang tertinggi untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam.
b. Menentukan dan mengatur hak dan kewajiban yang dapat dipunyai atas
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya yang ditimbulkan dari hubungan kepentingan orang dan unsur
agraria itu.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum terkait bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara berdasarkan atas
Persatuan Bangsa daripada Kepentingan Perseorangan dan Golongan.
Dilihat dalam Pasal 3 UUPA, sekalipun hak ulayat (tanah bersama menurut
hukum adat) masih diakui keberadaannya dalam sistem hukum agraria
Nasional, akan tetapi karena pelaksanaannya berdasarkan asas ini, maka
untuk kepentingan pembangunan, masyarakat hukum adat tidak dibenarkan
untuk menolak penggunaan tanah untuk pembangunan dengan dasar hak
ulayatnya sehingga negara memiliki hak untuk membuka tanah secara besar-
besaran, misalnya untuk kepentingan transmigrasi, areal pertanian baru dan
alasan lain yang merupakan kepentingan Nasional.
4. Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Asas ini tertulis dalam Pasal 6 UUPA, berarti bahwa hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan bila digunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, terutama apabila
hal tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
5. Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat Mempunyai Hak Milik atas
Tanah.

21
Urip Santoso. Op.Cit. hlm. 57-63

29
Asas ini dapat ditemui dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA, hak milik adalah hak
tertinggi yang dapat dimiliki individu dan berlaku selamanya. Hak milik tidak
dapat dipunyai oleh orang asing. Asas ini tidak mencakup warga negara
Indonesia yang menikah dengan orang asing. Karena saat menikah terjadi
percampuran harta, sehingga pasangan warga negara Indonesia yang memiliki
hak milik akan kehilangan haknya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dibuat
perjanjian pra-nikah yang menyatakan pemisahan harta.
6. Asas Persamaan bagi Setiap Warga Negara Indonesia
Sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) bahwa tiap warga negara Indonesia, baik laki-
laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
7. Asas Tanah Pertanian harus Dikerjakan atau Diusahakan secara Arif oleh
Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-Cara Bersifat Pemerasan
Asas ini terdapat pada Pasal 10 ayat (1) UUPA. Munculnya kegiatan land
reform atau agrarian reform, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah. Sehingga tanah yang dimiliki atau dikuasai seseorang
tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya dapat digunakan untuk hal-hal
yang bermanfaat.
8. Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana
Hal ini tertulis dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA. Untuk mencapai apa yang
menjadi cita-cita bangsa dan Negara Indonesia dalam bidang agraria, perlu
adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan
bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan
Negara. Rencana ini dibuat dalam bentuk rencana umum yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian dirinci lebih lanjut menjadi
rencana-rencana khusus tiap daerah.

Dengan demikian bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,

sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagaian tertentu permukaan bumi,

yang berbatas dimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Sedangkan ruang

dalam pengertian yuridis, yang berbatas berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar, dan

tinggi.

B. Pengertian Hak Atas Tanah

30
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang maha Esa kuasa untuk kesejahteraan

Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat

abadi. Hubungan yang mendasar dan asasi tersebut dijamin dan dilindungi

keberadaannya oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G

ayat (1), Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.22

Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah

tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari

hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk

mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-

hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA,

antara lain :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah

7. Hak Memungut Hasil Hutan

22
Sholin Erbin Mart Rajagukguk. Lintje Anna Marpaung. Herlina Ratna Sumbawa
Ningrum. 2019. Implementasi Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Blokir dan Sita Pada Kantor
Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan. ( Jurnal Pranata Hukum ).

31
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53.

Dalam Pasal 16 UUPA disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan

merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil

hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau

mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan

dalam Pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan

sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan

pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang

disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang

keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak-hak

yang dimaksud antara lain :

1) Hak gadai,

2) Hak usaha bagi hasil,

3) Hak menumpang

Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan

dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan

pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali

hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah

Nasional (Pasal 11 Ayat 1). Selain itu, hak-hak tersebut juga bertentangan dengan

jiwa dari Pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus

dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.

32
Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah

tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak-

hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan

karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang

bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam UUPA, hak-hak

atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

a. Hak Milik

Hak memiliki beberapa keistimewaan, antara lain seperti : Jangka

waktunya tak terbatas (berlangsung terus menerus), dapat diwariskan,

terkuat dan terpenuh. Berdasarkan Pasal 20 UUPA Hak Milik adalah hak

turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah

serta mempunyai fungsi sosial.

b. Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 28 UUPA Hak Guna Usaha adalah hak untuk

mengusahakan kegiatan Pertanian (Perkebunan, Peternakan, Perikanan) di

atas tanah Negara selama-lamanya 25 tahun. Hak ini dapat dialihkan

kepada pihak lain, dan hanya WNI atau Badan Hukum Indonesia saja yang

dapat memilikinya.

c. Hak Guna Bangunan

Berdasarkan Pasal 30 UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk

mendirikan bangunan diatas tanah Negara selamalamanya 30 tahun dan

dapat diperpanjang selama-lamanya 25-32 tahun, dapat dialijkan kepada

33
pihak lain dan hanya WNI/ Badan Hukum Indonesia saja yang dapat

memilikinya.

d. Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 41 UUPA hak untuk menggunakan dan/ atau memungut

hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang

lain.

e. Hak Sewa Tanah Bangunan

Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan

tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah

uang sebagai sewanya.

2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

a. Hak Gadai

Hak gadai adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang

dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak

untuk meminta kembali tanahnya tersebut dengan memberikan uang yang

besarnya sama.

b. Hak Usaha Bagi Hasil

Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk

menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa

hasilnya akan dibagi di antara kedua belah pihak menurut perjanian yang

telah disetujui sebelumnya.

c. Hak Menumpang

34
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain.

Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang

empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat

lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya

tanah, jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak

menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak

terhadap tanah pertanian.

C. Pengertian Penguasaan Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi kewenangan kepada pemegang hak

untuk mepergunakan dan mengambilmanfaat dari tanah yang dihakinya sesuai

dengan peraturan perundangundangan.Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2)

UUPA pemegang hak atastanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah

yang bersangkutan,demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada

ditasnya sekedardiperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan

penggunaantanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan peraturan

hukumlain yang lebih tinggi.

Obyek hukum tanah adalah penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak

penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban

dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu yang boleh, wajib

atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang

35
menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah

yang diatur dalam hukum tanah.23

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, adalah:

1. Hak Bangsa Indonesia, terdapat dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak


penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.
2. Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA hanya beraspek
publik.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, terdapat dalam Pasal 3 UUPA, beraspek
publik dan perdata.
4. Hak-Hak Perorangan/Individual, Yang hanya beraspek perdata, terdiri dari:
a. Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang
terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA.
b. Wakaf yaitu hak milik yang sudah diwakafkan Pasal 49 UUPA.
c. Hak jaminan atas tanah yang disebut Hak Tanggungan dalam Pasal 25,
Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA.24

Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada Hak bangsa Indonesia,

yang hakikatnya merupakan penugasa pelaksanaan tugas kewenangan bangsa

yang mengandung unsur publik, tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak

mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka dalam

penyelenggaraannya Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban

amanat tersebut, pada tingkat tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik

Indonesia Sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat (1)

UUPA).25

Atas Dasar Hak menguasai dari Negara itu, ditentukan adanya macam-macam

Hak Atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

23
Budi Harsono. Op.Cit. hlm. 13
24
Ibid. hlm. 14
25
Ibid. hlm. 17

36
secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain, serta badan-badan

hukum (Pasal 4 ayat (1) UUPA). Hak-hak atas tanah yang diberikan tersebut

memberikan wewenang kepada yang bersangkutan untuk mempergunakannya

(Pasal 4 ayat (2) UUPA), semuanya dengan memperhatikan akan fungsi hak atas

tanah yang berfungsi sosial (Pasal 6 UUPA). 26 Penggunaan tanah tersebut harus

disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga memberikan

manfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun

bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Kepentingan kepentingan

masyarakat dan perseorangan haruslah berada dalam keadaan seimbang

(penjelasan Umum Angka II.4 UUPA). Maka dari itu, lahirlah hak-hak atas tanah

yang peruntukannya dibeda-bedakan dari jenis pemanfaatannya serta pada

pribadi-pribadi hukum yang akan menjadi pemiliknya.

Macam-macam Hak Atas tanah dimuat dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA, yang
dikelompokan menjadi 3 bidang, yaitu:
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan Undang-Undang
yang baru. Macam-macam Hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak
membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang Yaitu hak tanah
akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Hak atas
tanah ini belum ada.
c. Hak atas tanah yang bersifat sementara Yaitu hak atas tanah ini sifatnya
sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan
mengandung sifat pemerasan, mengandung sifat feodal dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak gadai
(gadai tanah), hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang
dan hak sewa tanah pertanian.27

26
Kartini Muljadi dan Gunawan W., Hak-Hak Atas Tanah Seri Hukum Harta Kekayaan,
Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 24
27
Aminuddin Sale dkk, Hukum Agraria, AS Publising, 2010, hlm. 96-97

37
Dari rumusan yang diberikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut dapat kita ketahui bahwa sebagaimana halnya Hak Guna Bangunan,
pemberian hak pakai ini pun dapat bersumber pada:
a. tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam bentuk keputusan
pemberian hak oleh pejabat yang berwenang;
b. tanah yang dimiliki dengan hak milik oleh orang perorangan tertentu,
berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah tersebut.28

Sehubungan dengan perjanjian dengan pemegang hak milik atas tanah tersebut,

dalam Undang-Undang Pokok Agraria ditentukan bahwa perjanjian tersebut

haruslah bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.

Terjadinya hak pakai dapat dengan pemberian pemerintah, karena konversi atau

karena suatu perjanjian, hak pakai dengan perjanjian pemberian pemerintah,

mungkin berasal dari tanah yang tadinya adalah hak milik yang

dilepaskan/dibebaskan, sedangkan Hak pakai dengan konversi, antara lain dari

hak eigendom kepunyaan tanah negara asing yang dipakai untuk bangunan tempat

tinggal atau kantor Kepala perwakilan negara asing itu di indonesia, Hak erphact

untuk perusahaan kebun besar yang pada saat berlakunya UUPA sudah habis

berlakunya. Terjadinya hak pakai karena perjanjian adalah berasal dari tanah

milik.

Hak pakai tersebut diadakan berdasarkan suatu perjanjian antara yang mempunyai

hak milik dengan pihak yang akan mendapatkan hak pakai itu. Perjanjian tersebut

dapat dilakukandengan lisan atau tertulis, dengan suatu akta notaris atau dibawah

tangan. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan pembuatan atau pembuktiannya

dengan akta yang dibuat oleh PPAT, begitu juga tidak ada ketentuan yang

mewajibkan pendaftarannya.29
28
Ibid, hlm. 246
29
Mudjiono. Politik dan Hukum Agraria. Liberty. Yogyakarta. 1997. hlm. 84

38
Jangka waktu hak pakai menurut Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan

secara tegas berapa lama jangka waktu hak pakai,tetapi dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah mengatur sesuai dengan asal tanahnya:

1) Hak Pakai atas tanah negara Dapat diketahui bahwa jangka waktu pemberian

hak pakai berbeda-beda, dengan ketentuan:

a) Jika pemegang hak pakainya adalah:

(1) Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan Pemerintah

Daerah;

(2) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional;

(3) Badan keagamaan dan badan sosial. Hak pakai dapat diberikan untuk

jangka waktu yang tidak terbatas.

b) Jika pemegang hak pakainya bukanlah subjek hukum tersebut diatas atau

WNI, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Maka

jangka waktu pemberiannya paling lama 40 tahun, yang jangka waktunya

untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka

waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu

paling lama 25 tahun.

2) Hak tanah hak pengelolaan

Jangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang

untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk

39
jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Pengelolaan hanya dapat di peroleh

di atas tanah Negara. Apabila tanah itu masih ada hak-hak pihak lain, maka

calon pemegang Hak Pengelolaan wajib membebaskan terlebih dahulu hak

atas tanah itu dengan membayar ganti rugi. Berdasarkan Peraturan Menteri

Agraria Nomor 9 tahun 1999, pengertian dari Hak Pengelolaan adalah Hak

menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian

dilimpahkan kepada pemegangnya. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa Hak

Pengelolaan hanya dapat dijumpai dan merupakan Hak dari Menguasai Tanah

Negara.

Berbeda dengan hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang, Hak Pengelolaan

hanya dapat diperoleh diatas tanah negara oleh karenanya apabila diatas tanah

yang hendak di berikan Hak Pengelolaan, apabila masih ada Hak-hak lain seperti

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak atas tanah lain juga hak garap wajib

dibebaskan dulu oleh calon pemegang Hak pengelolaan dengan membayar ganti

rugi atas tanah hak tersebut, yaitu ditujukan untuk tertib administrasi pertanahan.

Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain

dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Pemberiannya dilakukan

oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang

Hak Pengelolaan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian antara pemegang Hak

Pengelolaan dan calon pemegang Hak atas tanah diatas tanah Hak Pengelolaan,

tanpa adanya perjanjian tersebut Hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai

tidak dapat diberikan diatas tanah Hak Pengelolaan. Sebagaimana halnya dengan

tanah negara, selama dibebani hak-hak atas tanah tersebur Hak Pengelolaan yang

40
bersangkutan tetap berlangsung. Setelah jangka waktu hak guna bangunan atau

hak pakai yang dibebankan itu berakhir.

3) Hak pakai atas tanah hak milik

Jangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun dan tidak dapat

diperpanjang. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan

pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru

dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib di daftarkan di kantor

pertanahan setempat. Peralihan hak pakai dapat terjadi karena jual-beli,

tukarmenukar, hibah, pemasukan dalam dalam perusahaan dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya serta lelang. Peralihan hak pakai yang terjadi

atau dilakukan dengan cara jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasuka dalam-

dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali

pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang

berwenang.

D. Sertipikat Hak Atas Tanah

Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dinyatakan bahwa akhir kegiatan

pendaftaran tanah yang diadakan oleh Pemerintah adalah pemberian surat tanda

bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. UUPA tidak

menyebutkan nama surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Baru pada

Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan bahwa

surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar dinamakan sertipikat, yaitu “salinan

41
buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu

kertas sampul yang bentuknya ditentukan oleh Menteri Agraria.” Sedangkan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

Sertipikat adalah : Surat tanda bukti hak yang memuat data yuridis dan data fisik

obyek yang didaftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, tanah

milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah

dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa sertipikat tanah terdiri

atas salinan buku tanah dan surat ukur yang asli dijahit menjadi sampul. Buku

tanah merupakan dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis suatu

objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. Sedangkan surat ukur adalah

dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan

uraian.

Maksud diterbitkan sertipikat dalam kegiatan pendaftaran tanah adalah pemegang

hak dengan mudah dapat membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang hak

yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar

dalam buku tanah. Selain itu, pemberian surat-surat bukti hak yang berlaku dapat

dijadikan sebagai alat pembuktian yang kuat dan secara umum sebagai Sertipikat

atas tanah yang merupakan salah satu dari tiga kegiatan penyelenggaraan

Pendaftaran tanah di Indonesia.30

30
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), hlm. 125.

42
Produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah berupa sertipikat hak atas tanah,
mempunyai banyak fungsi bagi pemiliknya, yaitu:31
1) Sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat.
Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c UUPA.
2) Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya
tercantum dalam sertipikat itu. Semua keterangan yang tercantum dalam
sertipikat itu mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai
keterangan yang benar sepanjang tidak ada bukti lain yang dapat
membuktikan sebaliknya.
3) Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditor
untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya. Dengan demikian,
apabila pemegang hak atas tanah itu seorang pengusaha,sudah tentu akan
memudahkan baginya mengembangkan usahanya itu karena kebutuhan akan
modal mudah diperoleh.
4) Bagi Pemerintah, adanya sertipikat hak atas tanah juga sangat
menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung.
Adanya sertipikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang
bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data tentang tanah yang
bersangkutan secara lengkap telah tersimpan di Kantor Pertanahan. Data ini
sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misalnya
pembangunan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan
pajak dan bangunandan sebagainya.

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, dikenal beberapa jenis sertipikat,

yakni :

1) Sertipikat hak milik;

2) Sertipikat hak guna usaha;

3) Sertipikat hak guna bangunan atas tanah negara;

4) Sertipikat hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;

5) Sertipikat hak pakai atas tanah negara;

6) Sertipikat hak pakai atas tanah hak pengelolaan

7) Sertipikat tanah hak pengelolaan

8) Sertipikat tanah wakaf


31
Sudjito, Prona Pensertipikatan Tanah secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang
Bersifat Strategis Edisi Pertama, (Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 72

43
9) Sertipikat hak milik atas satuan rumah susun

10) Sertipikat hak tanggungan

Sertipikat sebagai tanda bukti pemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh

Kantor pertanahan berdasarkan ketentuan UUPA dan Peraturan Pemerintah

Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sertipikat Hak Milik (SHM)

merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya untuk memiliki,

menggunakan, mengambil manfaat lahan tanahnya secara turun temurun, terkuat

dan terpenuh yang dipunyai orang atas tanah. Khusus terhadap hak milik atas

tanah ditentukan lain, yaitu adanya unsur turunan, terkuat dan terpenuh

dibandingkan hak lainnya, namun harus diartikan senafas dengan fungsi sosial

tanah, selain itu juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dijadikan

jaminan hutang melalui pembebanan hak tanggungan.

Kekuatan pembuktian sertipikat, meliputi 2 hal yaitu:32


1) Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan
sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus
diterima sebagai data yang benar sepanjang data tersebut sesuai dengan data
yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
2) Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama
orang atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertipikat tersebut, yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau tidak
mengajukan gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang
atau badan hukum lain tersebut dengan iktikad baik dan secara fisik dikuasai
olehnya atau orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya. (Pasal 32
(2) PP No.24 Tahun 1997) (rechtsverwerking = pelepasan hak) sangat
diperlukan dilakukan sosialisasi karena dapat berakibat hilangnya hak untuk
menuntut oleh pemegang hak atas tanah terhadap pemegang sertipikat.

32
Aminuddin Salle dan kawan-kawan, Op. Cit, hlm. 264-265

44
Sifat pembuktian sertipikat sebagai tanda bukti hak disebutkan dalam Pasal

19 ayat (2) huruf c UUPA, yaitu sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat,

yaitu data fisik dan data yuridis yang dimuat dalam sertipikat dianggap benar

sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang dapat berupa sertipikat

atau selain sertipikat. Berdasarkan sifat pembuktian ini, pihak yang merasa

dirugikan atas diterbitkannya sertipikat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan

untuk memohon agar sertipikat yang diterbitkan tersebut dinyatakan tidak sah.

Kalau putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang

menyatakan sertipikattersebut tidak sah, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia menerbitkan surat keputusan tentang pembatalan sertipikat.47

E. Pemblokiran Sertipikat Hak Atas Tanah

1. Pengertian Pemblokiran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), blokir memiliki arti membekukan

atau memberhentikan.33Pemblokiran yaitu pembekuan sementara harta kekayaan

untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan

dengan tujuan untuk mencegah dialihkan atau dipindah tangankan agar orang

tertentu atau semua orang tidak berurusan dengan harta kekayaan yang telah

diperoleh, atau mungkin telah diperoleh dari dilakukannya tindak pidana tersebut.

33
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 159

45
Pasal 1 Butir (1) PMA/Ka.BPN No. 13 Tahun 2017, Pencatatan blokir adalah

tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk

menetapkan keadaan status quo (pembekuan) pada hak atas tanah yang bersifat

sementara terhadap perbuatan hukum dan peristiwa hukum atas tanah tersebut.

Pencatatan blokir dilakukan terhadap hak atas tanah atas perbuatan hukum atau

peristiwa hukum, atau karena adanya sengketa atau konflik pertanahan. Yang

diajukan dalam rangka perlindungan hukum terhadap kepentingan atas tanah yang

dimohon blokir; dan paling banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1

(satu) objek tanah yang sama. Hak atas tanah yang buku tanahnya terdapat catatan

blokir tidak dapat dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

2. Subyek dan Obyek Pemblokiran

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan blokir disebutkan dalam

Pasal 125, Pasal 126 dan Pasal 127 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997, namun

tidak secara terperinci. Permintaan blokir dapat dilakukan atas perintah status

quo atau peletakan sita dari hakim pengadilan, juga atas permintaan dari aparat

penyidik maupun pengadilan bahwa tanah tersebut telah diletakkan sita, juga

dapat dilakukan atas permintaan dari pihak yang berkepentingan atas tanah

tersebut yang menyatakan tanah tersebut sedang dalam status sengketa dan

akan mengajukan gugatan ke pengadilan.34

34
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran tanah Edisi Revisi,
Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 160.

46
Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pemegang hak dan

pihak atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan mengenai bidang

tanah (Pasal 1 angka 11 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997). Dari penjelasan

tersebut yang menjadi subyek/pihak yang meminta pemblokiran atau sita yaitu:

1) Pemegang hak atas tanah;

Badan Peradilan yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara,

Pengadilan Agama, dan Pengadilan Militer;

2) Kejaksaan/Kepolisian;

3) Pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Makna dari pihak-pihak yang berkepentingan ini mempunyai cakupan yang

luas, artinya selama pihak-pihak tersebut mempunyai hubungan dan

kepentingan terhadap tanah yang menjadi obyek sengketa dapat mengajukan

blokir. Pihak-pihak yang berkepentingan diantaranya pembeli, kreditor (bank),

ahli waris, serta pejabat atau instansi pemerintah yang berkepentingan seperti

pejabat lelang, Dirjen Pajak, KPK dan lain sebagainya.

Obyek pemblokiran yaitu obyek pemilikan hak atas tanah. Obyek pemblokiran

ini disebutkan dalam Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 127 PMNA/KBPN No. 3

Tahun 1997 yaitu hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Obyek pemilikan hak atas tanah yang dimaksud sama haknya dengan obyek

47
pendaftaran tanah sebagaimana ketentuan Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997, yaitu:
35

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan hak pakai;
b. Tanah hak pengelolaan;
c. Tanah wakaf;
d. Hak milik atas satuan rumah susun;
e. Hak tanggungan.

Selanjutnya terhadap jenis hak-hak di atas dapat diberikan sertipikat

berdasarkan subyek hak atas tanah serta tujuan penggunaan obyek hak atas

tanah sepanjang diperbolehkan oleh undang-undang. Untuk bidang tanah dalam

proses pendaftaran hak untuk pertama kali dikantor pertanahan juga dapat

diajukan blokir. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tentang Pasal 30 ayat

(1) huruf c sampai e PP No. 24 Tahun 1997.

3. Pemblokiran berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

yaitu bahwa yang merupakan perbuatan tentang pemeriksaan terhadap

sertipikat tersebut adalah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a, yang

menyebutkan bahwa PPAT menolak untuk membuat akta jika mengenai bidang

tanah yang sudah terdaftar atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun kepadanya

tidak disampaikan sertipikat asli yang bersangkutan atau sertipikat yang


35
S. Chandra, Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah
Persyaratan Permohonan Di Kantor pertanahan, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 12.

48
diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan

misalnya sertipikat tanah itu sedang dalam sita atau sedang dilakukan

pemblokiran.

Dalam Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 tidak dijelaskan secara

rinci mengenai pemblokiran sertipikat akan tetapi, blokir secara tersirat dapat

dilihat berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf c, d dan e, yaitu :

(c) yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan

gugatan ke Pengadilan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan

catatan mengenai adanya sengketa tersebut dan kepada pihak yang

berkeberatan diberitahukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran

tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah

secara sporadik untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai data yang

disengketakan dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah

secara sistematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara

sporadik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut;

(d) yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan

gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status

quo dan tidak ada putusan penyitaan dari Pengadilan, dilakukan pembukuannya

dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-

hal yang disengketakan;

(e) yang data fisik atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke

Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari

Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama

49
pemegang haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat di

dalamnya adanya sita atau perintah status quo tersebut.

Sengketa yang dimaksud pada huruf c, d, dan e juga dapat mengenai data fisik

maupun data yuridis. Dalam hal sengketa tersebut sudah diajukan ke

pengadilan dan ada perintah untuk status quo atau ada putusan mengenai sita

atas tanah itu, maka pencantuman nama pemegang hak dalam buku tanah

ditangguhkan sampai jelas siapa yang berhak atas tanah tersebut, baik melalui

putusan Pengadilan maupun berdasarkan cara damai. Perintah status quo yang

dimaksud di sini haruslah resmi dan tertulis dan sesudah sidang pemeriksaan

mengenai gugatan yang bersangkutan berjalan diperkuat dengan putusan

peletakan sita atas tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) c,d,e Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun

1997 dapat disimpulkan bahwa pemblokiran adalah pencatatan pada buku tanah

yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan baik disertai atau tidak disertai

dengan surat gugatan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Kemudian,

apabila dalam sengketa tersebut disertai dengan perintah status quo atau

putusan penyitaan dari pengadilan maka dicatat di buku tanah tentang hal-hal

yang disengketakan tersebut dan pencantuman nama pemegang hak dalam

buku tanah ditangguhkan sampai jelas siapa yang berhak atas tanah tersebut.

Peraturan mengenai blokir sertipikat dalam hal penolakan pendaftaran

peralihan dan pembebanan hak dapat dilihat dalam Pasal 45 ayat (1) huruf e

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu: tanah yang bersangkutan

merupakan obyek sengketa di Pengadilan. Berdasarkan bunyi pasal tersebut

50
atas suatu tanah yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan dan ada perintah

untuk status quo yang dilanjutkan dengan disertai putusan sita jaminan , maka

dimohonkan oleh Hakim Pengadilan kepada Kantor Pertanahan untuk diblokir

hak atas tanah tersebut sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap.

4. Pemblokiran Sertipikat berdasarkan Peraturan Menteri Negara


Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1997 (PMNA/KBPN No. 3/1997) merupakan Pelaksanaan dari

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Perubahan data Pendaftaran

Tanah berdasarkan Putusan atau Penetapan Pengadilan diatur dalam Pasal 126,

yaitu :

1. Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa
suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan
dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan
surat gugatan yang bersangkutan.
2. Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta
pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut
berakhir.
3. Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat(1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat
dalam buku tanah.
4. Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan
sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti
dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara
eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

51
Blokir yang berdasarkan permohonan pihak yang merasa berkepentingan,

namun kepentingannya tersebut terganggu dicatat dalam Buku Tanah yang ada

di Kantor Pertanahan kabupaten/kota wilayah administrasi pertanahan setempat

dan akan hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali

diikuti dengan putusan jaminan sita dan berita acara eksekusi permohonan

blokir. Pencatatan sita jaminan dapat juga dilakukan Kepala Kantor Pertanahan

atas permohonan dari Kantor Kejaksaan, Kantor Kepolisian, atau Kantor

Lelang. Catatan lain di buku tanah selain catatan sita jaminan dalam perkara

perdata atau pidana tersebut tidak dapat dilakukan Kepala Kantor Pertanahan,

kecuali disampaikan dan disetujui Menteri dalam hal ini Kepala Badan

Pertanahan Nasional.

Berdasarkan uraian dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai

Pemblokiran Hak Atas Tanah tersebut dapat disimpulkan bahwa Pemblokiran

Hak Atas Tanah adalah suatu proses pencatatan pada buku tanah yang

dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan permohonan dari pihak

yang berkepentingan baik tidak disertai surat gugatan maupun disertai surat

gugatan yang memiliki perintah status quo, namun dalam jangka waktu 30 hari

sejak tanggal pencatatan tersebut tidak diikuti dengan putusan sita jaminan dari

Hakim Pengadilan maka catatan sita tersebut hapus dengan sendirinya.

5. Pemblokiran Sertipikat berdasarkan Peraturan Menteri Negara


Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017
tentang Tata Cara Blokir dan Sita

52
Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita,

dijelaskan bahwa pihak yang berkepentingan, dalam hal ini yang dimaksud

dengan pihak yang berkepentingan adalah pemegang hak dan pihak atau pihak-

pihak lain yang mempunyai kepentingan mengenai bidang tanah dapat minta

dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah akan dijadikan obyek

gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang

bersangkutan. Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 hari

terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan

telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir. Apabila hakim

yang memeriksa perkara tersebut memerintahkan status quo atas hak atas tanah

tersebut, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah. Catatan mengenai

perintah ini hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 hari, kecuali apabila

diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara

eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa terjadinya pemblokiran sertipikat hak

milik atas tanah dikarenakan suatu hak atas tanah tersebut akan dijadikan obyek

gugatan di pengadilan. Terjadinya pemblokiran pada Kantor Pertanahan

memberikan akibat hukum terhadap hak atas tanah tersebut, yaitu tidak dapat

dilakukan peralihan maupun pembebanan hak atas tanah. Segala bentuk

perubahan dihentikan sementara untuk kelancaran penyelesaian sengketa.

Apabila pemblokiran telah hapus dengan sendirinya atau telah dicabut, maka

segala bentuk perubahan atau peralihan hak dapat dilaksanakan atau tidak dapat

53
dicegah. Untuk mencegah terjadinya masalah baru, pemblokiran sertipikat hak

milik atas tanah ini juga harus dilaksanakan sesegera mungkin agar dicatat pada

buku tanah yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan pihak ketiga, misalnya

mengajukan permohonan pengecekan, peralihan hak maupun pembebanan

terhadap sertipikat tersebut. Apabila telah dilakukan pencatatan pada buku

tanah, maka segala bentuk perubahan tersebut tidak bisa dilakukan karena

nomor hak atas tanah bersangkutan sudah diblokir.

Masa blokir tersebut berlaku selama 30 hari kalender terhitung sejak tanggal

pencatatan blokir (Pasal 13 ayat 1) dan dapat diperpanjang dengan adanya

perintah pengadilan berupa penetapan atau putusan (Pasal 13 ayat 2). Jadi

blokir tersebut otomatis akan hilang secara hukum setelah masa 30 hari

kalender terlewati. Pemberlakuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 tahun 2017 ini masih

memberlakukan peraturan yang sebelumnya selama tidak bertentangan dengan

peraturan menteri tersebut. Hapusnya Catatan Blokir Pasal 15 dan pasal 16

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 13 tahun 2017.

Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan

Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan mempunyai tugas

melakukan pengoordinasian dan pelaksanaan penanganan sengketa, konflik dan

perkara pertanahan, serta pengendalian pertanahan. Dalam melaksanakan tugas

54
sebagaimana dimaksud, Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan

menyelenggarakan fungsi:

a. pelaksanaan pencegahan, penanganan dan penyelesaian sengketa/konflik

pertanahan, serta analisis dan penyiapan usulan pembatalan hak atas tanah;

b. pelaksanaan penanganan dan penyelesaian perkara pertanahan, analisis dan

penyiapan usulan pembatalan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan

atau hasil perdamaian;

c. pelaksanaan pengendalian dan pemantauan pemanfaatan pertanahan;

d. pelaksanaan penelitian data dan penyiapan usulan serta rekomendasi

penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; dan

e. pelaksanaan bimbingan teknis, koordinasi, pemantauan, evaluasi dan

pelaporan di seksi penanganan masalah dan pengendalian pertanahan.

Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan terdiri atas:

a. Subseksi Penanganan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan mempunyai

tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, koordinasi, pemantauan,

pelaksanaan pencegahan, penanganan dan penyelesaian sengketa/konflik dan

perkara pertanahan, serta analisis dan penyiapan usulan pembatalan hak atas

tanah berdasarkan putusan pengadilan atau hasil perdamaian, serta evaluasi

dan pelaporan.

b. Subseksi Pengendalian Pertanahan mempunyai tugas menyiapkan bahan

bimbingan teknis, koordinasi, pemantauan, pelaksanaan pengendalian dan

pemantauan pemanfaatan pertanahan dan pelaksanaan penelitian data dan

55
penyiapan usulan serta rekomendasi penertiban dan pendayagunaan tanah

terlantar, serta evaluasi dan pelaporan.

BAB III

PENUTUP

Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia sebagai satu-satunya institusi yang

berwenang melaksanakan tugas pemerintah daalam bidang pertanahan secara

nasional, regional dan sektoral. Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria

dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020

Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan membagi kasus

pertanahan menjadi 3 (tiga) macam yakni Sengketa, Konflik atau Perkara

Pertanahan.

Namun saat ini masyarakat sudah seemakin berkembang dan kasus pertanahan

sudah tidak lagi sederhana sehingga di keluarkan Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita.

Apabila pemblokiran telah hapus dengan sendirinya atau telah dicabut, maka

segala bentuk perubahan atau peralihan hak dapat dilaksanakan atau tidak dapat

56
dicegah. Untuk mencegah terjadinya masalah baru, pemblokiran sertipikat hak

milik atas tanah ini juga harus dilaksanakan sesegera mungkin agar dicatat pada

buku tanah yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan pihak ketiga, misalnya

mengajukan permohonan pengecekan, peralihan hak maupun pembebanan

terhadap sertipikat tersebut. Apabila telah dilakukan pencatatan pada buku tanah,

maka segala bentuk perubahan tersebut tidak bisa dilakukan karena nomor hak

atas tanah bersangkutan sudah diblokir.

Masa blokir tersebut berlaku selama 30 hari kalender terhitung sejak tanggal

pencatatan blokir (Pasal 13 ayat 1) dan dapat diperpanjang dengan adanya

perintah pengadilan berupa penetapan atau putusan (Pasal 13 ayat 2). Jadi blokir

tersebut otomatis akan hilang secara hukum setelah masa 30 hari kalender

terlewati. Pemberlakuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 13 tahun 2017 ini masih memberlakukan peraturan

yang sebelumnya selama tidak bertentangan dengan peraturan menteri tersebut.

Hapusnya Catatan Blokir Pasal 15 dan pasal 16 Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 tahun 2017.

57
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis). Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung.
Boedi Harsono I. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya.
Djambatan.Jakarta.

Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N


Mamahit. 2009. Kamus Istilah Hukum. Jakarta.
Dominikus Rato. 2010. Filsafat Hukum Mencari, Memahami dan Memahami
Hukum. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, 2005, Pembatalan Dan Kebatalan Hak
Atas Tanah, Tugu Jogja Pustaka Jogjakarta.

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.


Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit
Citra Aditya Bakti.
Ridwan. HR. 2006. Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 2001. Hukum Adat Indonesia.


Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres. Jakarta.

58
B. PERATURAN PERUDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok


Agraria.

Undang-UndangNomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.


Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku padaKementerian Agraria
dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional.

Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata
Ruang.

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala BPN Nomor 38 Tahun 2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan Kantor Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11
Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita.

59

Anda mungkin juga menyukai