Retsza Megantara
Pendahuluan
Berawal dari Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan
Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya
pada tahun 1972, lalu mereka menjualnya kepada perusahaan property PT.
Portanigra milik Beny Rachmat. Lalu PT. Portanigra menuduh ketiga orang
tadi membuat girik palsu dan menjualnya ke berbagai pihak, yaitu diantaranya
kepada pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1974 seluas 15 hektare, kepada
PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare) pada tahun 1975,
serta kepada BRI seluas 3,5 hektare pada tahun 1977. Pada tahun 1986,
Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara dan Tugono,
kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada
tahun 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata
ketiga mandor tersebut pada tahun 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri
Jakarta Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44
hektare yang diklaim milik PT. Portanigra, tetapi gugatan ini sempat ditolak di
tingkat pertama dan banding. Namun, pada tahun 2001, ketika perkaranya
sampai di Mahkamah Agung setelah kasasi, Mahkamah Agung
memenangkan PT. Portanigra.
Tetapi ada beberapa kejanggalan, diantaranya menyangkut domisili
perusahaan tersebut di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib
pajak ganda atas nama PT. Portanigra. Selain itu jika dikaitkan pada
PP.24/1997, tentang Pendaftaran Tanah, masyarakat yang menguasai tanah
selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut tanpa adanya keberatan dari
pihak lain, maka dianggap sebagai pihak yang benar. Sehingga jika ada
tanah yang diduduki oleh seseorang ataupun beberapa koloni individu yang
mendiami suatu lahan lebih dari 20 tahun tanpa ada yang mengganggu gugat
dan memprotes maka orang tadi berhak memiliki tanah tadi. Dan itulah yang
dialami oleh masyarakat meruya, karena telah lebih dari 20 tahun terhitung
dari tahun 1972 telah menduduki tanah tersebut. Sehingga mereka
mengaggap bahwa tanah itu telah sah milik mereka, meskipun pada
kenyataannya tanah itu merupakan milik PT. Portanigra, dan inilah yang
menjadi masalah antara warga dan PT. Portanigra tadi. Masyarakat yang
telah menganggap tanah sengketa tadi adalah tanah milik mereka karena
mereka telah lama mendiami tanah tersebut. Didukung dengan BPN yang
mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat
sengketa kepada warga.
Badan Pertanahan Jakarta yang ikut punya andil juga membuat
masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika
dokumen tanah berupa hak girik dipegang oleh PT. Portanigra dan tanah
tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki
sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan
tanah di atas lahan yang terlibat sengketa.
Di dalam persidangan, PT. Portanigra menjadi pemenang dalam
kasasinya di MA. Padahal menurut saya PT. Portanigra adalah pihak yang
seharusnya kalah, karena menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan,
“setelah terbitnya sertifikat selama lima tahun dan tidak ada keberatan dari
pihak mana pun, maka tidak boleh dibuat sertifikat baru atas tanah yang
sama”. Disini PT. Portanigra sebagai pemilik sahnya kenapa hanya diam saja
dan tidak berbuat apa-apa dan banyak bukti lain yang memberatkannya.
Disini kelihatannya MA lebih berat melihat kesalahan yang ada pada BPN
yang mempunyai keterkaitan kepada warga daripada PT. Portanigra.
Walaupun sidang dimenangkan oleh PT. Portanigra, tetapi ia tidak jadi
mengeksekusi tanah warga. Sebaliknya ia malah membuat akta perdamaian
dengan warga dan melepaskan haknya atas tanah warga serta mengukuhkan
hak kepemilikan warga atas tanah tanpa embel-embel apapun. Yan Djuanda
selaku kuasa hukum PT. Portanigra menjelaskan bahwa perdamaian ini
adalah benar-benar merupakan hasil kesepakatan dari para pihak, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun, dan ia pun beranggapan bahwa dalam perkara
ini PT. Portanigra dan warga berada dalam posisi yang sama yaitu korban.
Tetapi bagi para pihak yang tidak ikut berdamai dan lahan yang kosong akan
tetap di-eksekusi oleh PT. Portanigra. Karena pada kenyataannya tidak
semua warga meruya ikut berdamai, dari sekitar 2500 warga yang tanahnya
masuk kedalam objek eksekusi, hanya sekitar lebih kurang 1500 warga yang
ikut mengajukan perlawanan. Dari jumlah itu, hanya 1185 warga yang
berdamai dengan Porta Nigra. Selebihnya tidak memenuhi syarat untuk
menjadi pelawan. Pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai pelawan adalah
pihak yang tidak pernah hadir dalam setiap pertemuan dan juga yang tidak
mampu menunjukkan bukti kepemilikannya dan lain sebagainya.
Dari pernyataan-pernyataan di atas tadi, seharusnya mata kita
sekarang harus menjadi lebih terbuka dalam menyikapi system pertanahan di
Negara kita, bahwa sistem pendataan dan sertifikasi tanah di Negara kita
masih jauh dari kata sempurna, mungkin karena adanya suatu kepentingan
individu sehingga ia menghalalkan segala cara agar kepentingannya dapat
terpenuhi, atau mungkin saja dikarenakan kelalaian baik perorangan maupun
kelompok yang terlibat di dalamnya. Dan seharusnya ini menjadi cermin
umumnya bagi kita dan khususnya bagi orang-orang yang terkait dalam
system pertanahan di Negara kita ini dalam menyikapi langkahnya kedepan.
Kesimpulan
Menurut saya kasus ini sudah banyak terjadi, namun khususnya pada
kasus ini merupakan “puncak gunung es” dari kacaunya sistem pertanahan di
Indonesia. Dimana banyak kejadian bahwa satu tanah bisa dimiliki oleh
berbagai pihak karena ketidak akuratan data pertanahan khususnya kepada
BPN. Pada kasus meruya terlihat bahwa pihak BPN sendiri menerbitkan
sertifikat kepada masyarakat padahal tanah itu sendiri adalah yang
bersengketa dan BPN dengan entah tidak tahu ada apa malah dengan
enaknya menerbitkan sertifikat kepada masyarakat.
Sebenarnya BPN juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena
ketika mereka memproses permohonan pengukuran dan pendaftaran tanah
warga meruya, sita jaminan dari pengadilan adalah tanah yang masih berupa
girik. Karena setahu saya di dalam sita jaminan harus dilampirkan jenis hak,
nomor hak, kelurahan, luas tanah dan batas-batasnya, serta obyek yang
menjadi sita jaminanpun belum jelas karena sita jaminan dari pengadilan tadi
adalah tanah yang belum terdaftar (masih berupa girik). Selain itu kesalahan
yang paling fatal dari PT. Portanigra adalah membiarkan warga menguasai
tanahnya dan melakukan kegiatan fisik lebih dari 30 tahun dan tidak ditegur
oleh P.T. Portanigra sendiri. Seharusnya mereka tidak membiarkan adanya
aktivitas warga apapun di atas tanah yang diklaim oleh P.T. Portanigra itu.
Seandainya saja BPN tidak lalai dalam sistem pendataan dan
sertifikasi tanah dan PT. Portanigra-pun disiplin dalam menggunakan haknya,
maka masalah yang seperti ini tidak akan terjadi dan citra hukum di mata
masyarakat mungkin masih terjaga tidak seperti sekarang ini.
KASUS MERUYA DIKAITKAN
DENGAN PP.24/1997
Disusun Oleh :
RETSZA MEGANTARA
1101 1006 0069
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS HUKUM
2008