Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya Kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan
tepat waktu, guna memenuhi penugasan pada mata kuliah Hukum Agraria.
Makalah ini disusun atas sinergi sama dalam kelompok dan kami tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr (C) Hirwansyah, S.H.,M.H selaku
dosen pembimbing dan teman-teman mahasiwa serta semua pihak yang telah
berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah
ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat dari
hasil makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi
sesuatu yang berguna bagi kita bersama.
kami selaku penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta
masukan yang bersifat membangun guna kesempurnaan atas makalah ini. Kami
sebagai penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis serta pembaca pada umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penulisan 6
BAB II PEMBAHASAN 6
Rumusan Masalah 6
Rumusan Masalah 6
Rumusan Masalah 6
Rumusan Masalah 6
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Transaksi jual beli tanah masih belum diketahui secara pasti oleh sebagian besar
masyarakat. Bahkan masih ada yang dirugikan karena transaksi tersebut. Padahal, tanah
merupakan salah satu kebutuhan yang penting untuk dimiliki.
1
Masyarakat desa belum banyak yang mengerti arti pentingnya menyertifikatkan dan
mendaftarkan tanah mereka. Hal ini terbukti sampai sekarang masyarakat tersebut masih
banyak yang belum menyertifikatkan tanahnya, sehingga hukum belum bisa menjamin
apakah dia yang berhak atas tanah tersebut. Biasanya para pemilik tanah yang ada di desa
tersebut hanya memiliki petuk pajak, girik , dan Leter C padahal orang yang memiliki
petuk pajak, girik, dan Leter C tersebut pada umumnya adalah pemilik tanah.
Melalui transaksi jual beli yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari akan
menimbulkan peralihan hak atas tanah kepada orang lain. Biasanya, praktek jual beli
tanah yang belum bersertifikat dilakukan atas dasar saling percaya yang disebut juga
dengan jual beli di bawah tangan. Asalkan sudah ada kata sepakat, maka tanah sudah
beralih kepemilikannya. Dalam jual beli sebidang tanah yang belum bersertifikat, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak akan membuat akta tanahnya apabila tanah yang
bersangkutan tidak disaksikan Kepala Desa dan Pamong Desa. Oleh karena itu, dalam
jual beli tanah yang belum bersertifikat, PPAT mengikutsertakan Kepala Desa dalam
Pembuatan akta tanah seperti yang tercantum dalam pasal 39 ayat (1) huruf b PP Nomor
24 tahun 1997. Peran Kepala Desa dalam jual beli tanah khusunya yang belum
bersertifikat, bertanggung jawab bahwa penjual benar-benar berwenang menjual tanah
yang dijual dan sekaligus bertindak sebagai saksi dengan seorang anggota perangkat
pemerintah Desa yang bersangkutan. Kepala Desa dan Perangkat Desa/Kelurahan
dianggap paling tahu tentang pemilikan tanah yang ada di wilayah desanya dan kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan tanah serta dipandang menguasai medan dari obyek
tanah tersebut.
Kepala Desa atau Pamong Desa harus hadir dalam transaksi jual beli dan
bertindak sebagai saksi serta menanggung kebenaran bahwa penjual tanah tersebut adalah
orang yang berwenang atau mempunyai hak atasa tanah tersebut adan bisa menjual tanah
kepada pihak lain. Transaksi jual beli tersebut akan selalu merugikan pembeli apabila
terjadi sengketa tentang tanah tersebut. Pembeli juga sering dikalahkan bila ada gugatan
di Pengadilan karena dia tidak memiliki tanda bukti jual beli tanah yang otentik.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Praktik Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertifikat dan
Pendaftarannya Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Studi Kasus di
Kantor Pertanahan Indramayu)”.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar Belakang diatas maka Rumusan Masalahanya adalah sebagai berikut :
3
desa atau kelurahan secara individual atau massal. Peralihan hak atas tanah adalah
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak
tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. 1
1. Manfaat teoritis yaitu hasil penelitian yang dibuat ini diharapkan mampu
memberikan sambungan dibidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu
hukum dibidang pertanahan, baik dari segi perundangannya maupun dari segi
penerapannya khususnya tentang Praktik Jual Beli Tanah Yang Belum
Bersertifikat dan Pendaftarannya Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 (Studi Kasus di Kantor Pertanahan Indramayu)
2. Manfaat praktis yaitu diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan atau diterapkan oleh pengambil kebijakan dan para pelaksana
hukum dibidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan praktik jual beli
tanah yang belum bersertifikat dan pendaftarannya menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, serta dapat memberikan informasi dan pendapat yuridis
kepada berbagai pihak, khususnya warga masyarakat dan Kantor Pertanahan
Indramayu
1
K.Wantijk Saleh, 1997, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 15-18.
4
penelitian secara yuridis normatif yaitu pendekatan penelitian yang dilakukan
untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang berhubungan atau
ada kaitannya dengan Kebijakan Hukum Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia dalam Jual Beli Tanaha atau Bangunan yang belum memiliki Serftifikat.
Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif tidak hanya terbatas pada
masalah pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi
tentang arti data tersebut untuk mengetahui dan memperoleh gambaran yang nyata
mengenai praktekjual beli tanah yang belum bersertifikat dan pendaftarannya di Kantor
Pertanahan Kabupaten Indramayu.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah berlakunya UUPA, pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu
perjanjian seperti apa yang ditegaskan dalam Pasal 1457 jo Pasal 1458 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Jual beli tanah memiliki pengertian,
yaitu dimana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga
6
tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli. Perbuatan hukum
perpindahan hak ini bersifat tunai, terang dan rill.
7
biasanya menempuh jalan membuat perjanjian pengikatan
jualbeli di hadapan Notaris.
Semua benda dapat dijadikan obyek yang dapat dialihkan hak miliknya,
akan tetapi yang terjadi dalam praktek hanyalah barangbarang tidak bergerak saja,
khususnya mengenai tanah, karena transaksi tanah harus dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-undang. Peralihan hak atas tanah dapat terjadi
karena hal-hal sebagai berikut :
1. Jual Beli Tanah menurut Hukum Adat Menurut hukum adat, jual beli
tanah adalah suat perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat
terang dan tunai. Terang berarti perbutaan pemindahan hak tersebut harus
dilakukan di hadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang
menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut
sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya
adalah bahwa perbuatan pemindahan hak atas tanah dan pembayaran
harganya dilakukan secara serentak2
2. Jual Beli Tanah menurut UUPA Apa yang dimaksud dengan jaul beli itu
sendiri oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria tidak diterangkan secara jelas akan tetapi mengingat dalam pasal 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria
disebutkan bahwa hukum nasional Indonesia adalah hukum adat berarti
menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum
adat. Maka pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah yang
dimaksud dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria.3
2
Adrian Sutedi, 2013, Peralihan Hak Atas Tanahj dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, .
Cetakan ke-lima 72
3
Ibid, 76
8
secara suka rela, tanpa ada kontrapersepsi dari pihak penerima pemberian
dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.4
4. Pewarisan tanah Menurut Pasal 1023 KUH Perdata, ahli waris menerima
hak terdahulu untuk pendaftaran boedel maupun menolak warisan
tersebut.
5. Perwakafan Tanah Wakah ialah menahan suatu barang dari dijual belikan
atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik. Guna dijadikan manfaat
untuk kepentingan tertentu yang diperbolehkan oleh syara’ serta tetap
bentiuknya dan boleh dipergunakan, diambil manfaatnya oleh orang yang
ditentukan (yang menerima wakaf) atau umum.5
Demikian pula dengan seseorang yang mempunyai hak milik atas tanah, si
pemilik mempunyai kewenangan terhadap tanah yang menjadi miliknya antara
lain tindakan untuk memindah hak miliknya kepada pihak lain. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria memiliki 8 (delapan) prinsip
pertanahan yakni;
4
bid, 99
5
Moh. Anwar, 1992, Mu’amalat, Munakahat, Fara’id dan Jinayat dalam Sudarsono, Pokok-Pokok
Hukum Islam, cetakan Pertama, Jakarta;: Rineka cipta, hal. 494
6
L&J A Law Firm, Kiat dan Prosedur Mengurus Dokumen Tanah dan Bangunan, Nera Pustaka,
Jakarta, 2013, hal. 7
9
1) Prinsip Unifikasi Hukum Pertanahan;
6) Prinsip Nasionalitas;
10
desa/kelurahan, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan atas
permintaan pihak yang berkepentingan mengenai satu atau beberapa objek
pendafaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan
secara individual atau massal.8
1) Tanah yang dimiliki dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai
3) Tanah Wakaf
5) Hak Tanggungan
6) Tanah Negara
Tujuan pendaftaran tanah selain untuk keperluan lalu lintas sosial ekonomi
juga untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang bersifat rechts kadaster,
kepastian hak seseorang maupun untuk memberikan perlindungan hukum kepada
para pihak yang memperoleh tanah dan etiket baik.9
8
Sahnan, OP Cit, hal. 104-105
9
Yanis Maladi, 1998, Signifikasi Sosial Pendaftaran Tanah di Resort Wisata Selong Belanak
Pulau Lombok, Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya hal. 17-18
11
2) Dapat mengetahui dengan jelas mengenai data fisik dan data
yuridisnya
10
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, cetakan Kedua, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2013, hal. 295
11
Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, Kata Pena, Jakarta, 2013, hal. 65
12
3) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan
hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
4) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan,
penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan;
5) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan
tanah;
6) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara
pertanahan;
7) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan bpn;
8) Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di
lingkungan bpn;
9) Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian
pangan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;
10) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang
pertanahan; dan
11) Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan.
13
5) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
6) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.
7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Negara.
8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
9) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
10) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.
14
pertanahan, antara lain melanjutkan penyelenggaraan percepatan pendaftaran
tanah sesuai dengan amanat Pasal 19 tersebut, terutama bagi masyarakat golongan
ekonomi lemah sampai menengah melalui kegiatan PRONA yang sudah
dilaksanakan sejak tahun 1981.
15
8. Pengukuran bidang - bidang tanah berdasarkan tanda batas yang telah
ditetapkan dan terpasang.
9. Sidang Panitia untuk meneliti subyek dan obyek tanah yang dimohon
dengan memperhatikan persyaratan yang dilampirkan
10.Pembuktian hak melalui PENGUMUMAN yang diumumkan selama 2
(dua) bulan, guna memberikan kesempatan para pihak untuk mengajukan
sanggahan / keberatan (Untuk Tanah Milik Adat)
11.Pengesahan atas pengumuman (Untuk Tanah Milik Adat)
12.Pembukuan hak dan proses penerbitan sertifikat hak atas tanah
13.Penyerahan sertifikat hak atas tanah di setiap Desa, peserta membawa KTP
asli atau surat kuasa bila dikuasakan.
Berikut adalah skema proses pengalihan hak atas tanah dengan dan
melalu pejabat notaris;
16
alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau
perbuatan hukum. Dengan dasar itulah mereka yang diangkat sebagai Notaris
harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan
tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan
tugas dan jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. 7 Oleh
karena itu, Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak
membutuhkannya.12
12
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
Bandung: Refika Aditama, hal. 32
13
Habib Adjie, Undang-undang Jabatan Notaris sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris
Renvoi Nomor 28 Tahun III 3 September 2005. hal. 38
17
wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris hanya
dicantumkan dalam Pasal 15 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
3) Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pasal 2 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menentukan
bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam
hal ini menteri yang membidangi kenotariatan. Notaris meskipun
secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah,
tidak berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang
mengangkatnya pemerintah. Dengan demikian notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya :
a) Bersifat mandiri (autonomous)
b) Tidak memihak siapapun (impartial)
c) Tidak tergantung kepada siapapun (independent) yang
berarti dalam menjalankan tugas jabatanya tidak dapat 9
dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak
lain
18
dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainya. 10
Kewenangan notaris di samping diatur di dalam Undangundang
Jabatan Notaris juga ada kewenangan yang ditegaskan dalam
peraturan perundang-undangan yang lain dalam arti peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan menyebutkan yang
menegaskan agar perbuatan hukum tertentu wajib dibuat dengan
akta Notaris.14
19
Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris mengatur
mengenai pemberhentian notaris sebagai berikut :
1) Dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib:
20
a) Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan
Majelis Pengawas secara berjenjang.
b) Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.
c) Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan.”
Menurut Urip Santoso, merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA
memberikan pengertian hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok
orang secara bersama-sama maupun badan hukum) untuk memakai dalam arti
menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah
tertentu.16
Dimana Pasal 4 ayat (2) UUPA menjelaskan bahwa “Hak-hak atas tanah
yang dimaksud dalam ayat (1) memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di
atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.”
16
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, (Jakarta : Prenada Media, 2005),
hlm.82
21
dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan
hukum lainnya.17
17
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Cetakan Pertama,
(Jakarta : Kompas, 2008), hlm. 128.
18
li Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan II Sertipikat dan Permasalahannya, Cetakan Pertama, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002),
hlm.123.
19
Ibid., hlm.204.
20
Linda S.M. Sahono, op.cit., hlm.93.
22
a) Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali. Pengertian pendaftaran tanah
untuk pertama kali sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 24 Tahun
1997 Pasal 1 angka (9) yaitu "Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran
tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini."
Kemudian dalam Pasal 12 ayat (1) Kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. Pembuktian hak dan pembukuannya;
c. Penerbitan sertifikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis;
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
21
Boedi Harsono, op.cit., hlm.487.
23
sebagai tanda bukti hak, sertifikat diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten atau Kota.22
22
Linda S.M. Sahono, op.cit., hlm.91.
23
Ibid., hlm.93.
24
Novina Sri Indiraharti, “Sertifikasi Tanah dan Permasalahannya”, Jurnal Ilmiah LEMDIMAS, Edisi No.2 Vol.6,
(2006), hlm.51.
24
Pengertian pembatalan hak atas tanah rumusan yang lengkap ada pada
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan Pasal 1 ayat (14), yaitu “Pembatalan hak atas tanah adalah
pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertipikat hak atas
tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam
penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
a. Kesalahan prosedur;
b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subjek hak;
d. Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas:
g. Terdapat tumpeng tindih hak atas tanah;
h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.
25
Mhd.Yamin Lubis & Rahim Lubis, op.cit., hlm.321.
25
Kemudian dalam hal pembatalan sertifikat hak atas tanah atas dasar
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terdapat dalam Pasal 124 ayat (1) “Keputusan pembatalan hak atas tanah karena
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan.” ayat (2) “Amar putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap meliputi dinyatakan
batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan
itu.
”Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus
Pertanahan Pasal 55 ayat (1) “Tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa:
a. Pelaksanaan dari seluruh amar putusan;
b. Pelaksanaan sebagian amar putusan; dan/atau
c. Hanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar
putusan.
26
2.7 Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Alat Bukti Dalam Sistem Positif
Dalam sistem positif pendaftaran tanah, segala yang tercantum dalam buku
pendaftaran tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan adalah
merupakan suatu hal yang bersifat mutlak dan merupakan alat bukti yang mutlak.
Fungsi dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan bahwa nama
orang yang terdaftar dalam daftar umum tidak dapat dibantah lagi, sekalipun
orang tersebut bukan pemilik yang sebenarnya dari tanah yang bersangkutan.
Adanya sertifikat pada sistem Torrens merupakan ciri khas dari sistem ini,
selain sertifikat yang bersangkutan maka dibuat juga duplikatnya. Tujuan
pembuatan duplikat dari sertifikat tersebut adalah untuk memudahkan
pemeriksaan pada waktu pendaftaran pengalihan hak, sehingga pendaftaran itu
dapat dilakukan dengan lancar dan cepat. Sedangkan penyerahan akta dan
sertifikat yang bersangkutan kepada pejabat pendaftaran memberi arti bahwa
pengalihan hak dilakukan oleh dan atas kemauan sendiri dari pemegang hak yang
terdaftar.27
27
c. Tidak terdapat sengketa atas tanah yang dimohonkan hak tersebut;
d. Tidak ada yang menyangkal bukti atas hak yang dimiliki oleh si
pemohon itu.28
Untuk itu sistem negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yang tercantum di
dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu
keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka pengadilan. Ciri pokok dari sistem
negatif adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah tidaklah merupakan jaminan
orang yang terdaftar dalam buku tanah merupakan pemegang hak atas tanah
tersebut. Dengan kata lain buku tanah dapat saja berubah sepanjang pihak yang
berkeberatan dapat membuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (pasti).30
2.8 Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 32 PP
Nomor 24 Tahun 1997
Dihadapkan pada dua system besar pendaftaran tanah didunia yaitu system
Positif dan system negative, maka Indonesia memilih tidak berada salah satu
system tersebut. Indonesia memiliki system pendaftaran tanah tersendiri , menurut
R.Suprapto bahwa system pendaftaran tanah yang kita gunakan adalah system
pendaftaran tanah negative bertendensi positive, artinya pendaftaran hak-hak atas
tanah dilaksanakan berdasarkan atas data-data yang positif, pejabat yang diserahi
tugas melaksanakan pendaftaran mempunyai wewenang menguji kebenaran dari
data-data yang digunakan sebagai dasar pendafataran hak. Pendaftaran merupakan
28
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA, Cetakan Pertama,
(Bandung : Alumni, 1985), hlm.37.
29
Muh.Arsyad Maf'ul, “Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara”, Jurnal Supremasi, Vol.2, Edisi No.2, (2002),
hlm 11.
30
Muh.Arsyad Maf'ul, op.cit., hlm.10.
28
jaminan kepastian hukum dan alat pembuktian yang kuat, namun masih dapat
dibantah, digugat di muka pengadilan.31
Banyak pihak berpendapat bahwa Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997
sebenarnya mengadopsi dari lembaga hukum adat yang dikenal dengan nama
rechtsverwerking, seperti pendapat dari Maria S.W Sumardjono, tujuan dari
penerapan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari konsep
"rechtsverwerking" ini dalam pendaftaran tanah adalah untuk memberikan
ketegasan pada 2 pihak, yakni :
1. Bagi pemegang sertipikat, jika telah lewat lima tahun tidak ada
gugatan/keberatan,maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang
merasa sebagai pemegang hak atas tanah tersebut;
2. Pemegang hak atas tanah, ia wajib menguasai secara fisik tanahnya
dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan
tanahnya disertipikatkan atas nama orang lain.32
Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli Terhadap Tanah Yang Belum
Didaftarkan Terkait dengan peralihan hak atas
31
R.Suprapto, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, (Jakarta : CV.Mustari, 2006), hlm.324.
32
Maria S.W Sumardjono, “Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Dalam Pendaftaran Tanah”, Makalah
disampaikan di UGM, Yogyakarta, 21 Oktober 1997, hlm.1
29
tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan atau dengan kata
lain tanah hak yang tidak bersertifikat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak ditemukan pasal yang
mengatur secara khusus mengenai peralihan hak atas tanah khususnya terhadap
tanah yang belum didaftarkan. Melainkan dari ketentuan peralihan hak atas tanah
dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana hanya dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b
yang menyinggung mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, akan tetapi
dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf b tersebut hanya saja mengatur tentang
penolakan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal untuk membuat
akta, yang menegaskan apabila mengenai bidang tanah yang belum terdaftar,
kepadanya tidak disampaikan :
a. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2); dan
30
Dapat disimpulkan bahwa dengan berdasarkan pada teori perlindungan
hukum dengan mengacu pada ketentuan Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
mengatur tentang tujuan dari pendaftaran tanah, yang mana pendaftaran tanah
bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah sehingga dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Dan untuk memberikan perlindungan hukum
sebagaimana dimaksud kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan
sertifikat hak atas tanah.
Oleh karena itu, seharusnya peralihan hak atas tanah karena jual beli
terhadap tanah yang belum didaftarkan dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal
19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang
mengharuskan diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia,
maka peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap tanah yang belum
didaftarkan harus didaftarkan. Yang mana peralihan hak atas tanah karena jual
beli tersebut harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Karena akta peralihan hak yg dibuat oleh PPAT merupakan dasar dan/atau
alas hak untuk melakukan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Apabila tidak didaftarkan serta perbuatan hukum yakni jual beli tersebut tidak
dilakukan di hadapan PPAT, maka perbuatan hukum tersebut bukanlah jual beli
yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli
atau pemegang hak baru. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23
UUPA, yang menyebutkan bahwa hak milik demikian pula setiap peralihan harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapus nya
hak milik, serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.33
2.9 Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Jual Beli Hak Atas Tanah
Terhadap Tanah Yang Belum Didaftarkan
33
Boedi Harsono (II), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 317
31
Perbuatan hukum yakni jual beli tanah tersebut sering kali dilakukan di
bawah tangan, yang terkadang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi
sebagai bukti telah terjadinya jual beli dan tidak sedikit masyarakat yang
hanya memiliki bukti kepemilikan atas tanah. Sehingga mengakibatkan
peralihan hak atas tanah karena jual beli tidak dapat didaftarkan
sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 19 dan Pasal 23
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Dalam hal ini menimbulkan akibat hukum yaitu tidak terjadinya peralihan
hak atas tanah dan/atau tidak sahnya peralihan hak atas tanah dan tidak
adanya jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum. Sebagaimana
yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 23 ayat (2), yang berbunyi :
Maka setiap peralihan hak milik atas tanah karena jual beli harus
didaftarkan baik yang sudah bersertifikat maupun yang belum didaftarkan,
berdasarkan ketentuan- ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA,
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUPA, yang mana
dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa peralihan hak atas
tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Karena keharusan pendaftaran
peralihan hak milik atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) UUPA merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapus nya
hak milik serta sahnya peralihan dalam pembebanan hak tersebut,
berdasarkan bunyi Pasal 23 ayat (2) UUPA.
32
Secara tegas juga diatur dalam Pasal 3 huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa
adapun yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah yakni untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk memberikan
kepastian serta perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a tersebut, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan
sertifikat hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam rangka jual beli dan pemindahan hak lainnya fungsi pendaftaran
tanah adalah untuk :35
Akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan peralihan hak atas tanah
secara hukum adat dengan berdasarkan pada Pasal 5 Undang- undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria, yang menyatakan
bahwa hukum agraria berdasarkan pada hukum adat. Dalam hal jual beli
tanah menurut hukum adat bersifat kontan atau “tunai”. Pembayaran harga
dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu
jual beli tersebut menurut hukum telah selesai. Biasanya jual beli tanah itu
dilakukan di muka Kepala Adat (Desa), yang bukan hanya bertindak
34
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indone- sia dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya.
Alumni. Bandung, 1980, hlm. 9-10
35
Ibid, hlm. 10-11
33
sebagai saksi tetapi dalam kedudukannya sebagai Kepala Adat (Desa)
menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang
berlaku.36
Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli tanah dilaksanakan secara terang
dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar
dilaksanakan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua
perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah
yang menjadi obyek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga
dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan. Jual beli
menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat, dimana apa
yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang
merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan
perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :
Akibat hukum peralihan hak atas karena jual beli terhadap tanah yang belum didaftarkan
adalah sah menurut hukum apabila peralihan hak atas tanah karena jual beli terhadap
36
Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia : Suatu Telaah Dari Sudut pandang Praktisi
Hukum, Edi- si 1, Cetakan 1, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 16
34
tanah yang belum didaftarkan tersebut sudah memenuhi syarat materiil jual beli yaitu
“terang dan “Tunai”.
35
sedapat mungkin disetujui oleh pemegang hak yang berbatasan. Guna penetapan
batas-batas, maka BPN membuat berita acara mengenai dilakukannya
pengukuran. (Pasal 17-19 PP No. 24 Tahun 1997).
Kelima, pembuatan daftar tanah yakni bidang tanah yang sudah dipetakan
atau diberi nomor pendaftarannya dibukukan dalam daftar tanah. (Pasal 21 PP No.
24 Tahun 1997).
Ketujuh, pembuktian hak baru meliputi: (a) HAT baru dengan penetapan
pemberian hak oleh pejabat atau asli akta PPAT. (b) HPL dengan penetapan HPL
oleh Pejabat yang berwenang. (c) tanah wakaf dengan ikrar wakaf. (d) hak milik
atas satuan rumah susun dengan akta pemisahan. (d) HT dengan APHT. (Pasal 23
PP No. 24 Tahun 1997).
36
Kesepuluh, pengesahan hasil pengumuman, disahkan dalam satu berita
acara debagai dasar untuk: (a) pembukuan HAT dalam buku tanah. (b) pengakuan
HAT. (c) Pemberian HAT. (Pasal 28 PP No. 24 Tahun 1997).
Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang
dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula
dan menjadi hak pihak lain. Prosedur pendaftaran peralihan hak milik melalui jual
beli, pemohon tidak langsung datang ke Kantor Pertanahan Kabupaten Indramayu,
tetapi pendaftaran peralihan haknya diwakilkan oleh PPAT. Hal ini disebabkan
karena selain PPAT bertugas pemohon tidak langsung datang ke Kantor
Pertanahan Kabupaten Indramayu, tetapi pendaftaran peralihan haknya
diwakilkan oleh PPAT. Hal ini disebabkan karena selain PPAT bertugas membuat
akta jual beli, PPAT juga bertugas mendaftarkan peralihan haknya pada kantor
pertanahan setempat yang selambat-lambatnya 7 hari sejak ditandatanganinya akta
jual bel tersebut. Sebelum meklakukan peralihan hak milik melalui jual beli PPAT
37
yang bersangkutan wajib melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke
Kantor Pertanahan, pengecekan keaslian sertifikat ini bertujuan untuk
menghindari jika terjadi ketidaksesuaian antara buku tanah dan sertifikat tanah
yang dapat menyebabkan perselisihan atau sengketa tanah. Setelah dilakukannya
peralihan hak milik melalui jual beli dengan dibuatkan akata jual beli selanjutnya
barulah PPAT yang bersangkutan baru mendaftarkan haknya ke Kantor
Pertanahan Kabupaten Indramayu. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon
dalam rangka kegiatan pendaftaran peralihan hak milik melalui jual beli
berdasarkan Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 2005 Tentang Standart Prosedur
Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Lingkungan BPN antara
lain:
38
bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (c) bahwa yang bersangkutan
menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b
tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut
menjadi obyek landreform. (d) bahwa yang bersangkutan bersedia
menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana
dimaksud pada a dan b tidak benar. (Pasal 99 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah).37
37
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Raih Asa Sukses Penebar
Swadaya Group, Jakarta, 2012, hlm. 26
39
Kedua, tidak ada tanda batas. Kepastian hukum pemilikkan tanah selalu
diawali dengan kepastian hukum letak batas, letak batas menjadi penting, pemilik
tanah dalam praktek menandai batas tanah mereka dengan garis lurus berupa
pagar atau titik-titik sudut bidang tanah dengan patok beton, patok kayu, patok
besi atau pagar. Bidang tanah dengan dikelilingi pagar bila posisinya
berdampingan dan dimanfaatkan pada saat yang sama, maka pagar pembaginya
mungkin akan merupakan pagar bersama, batasnya merupakan garis batas
terletak di tengah tengah garis pagar, tetapi sudah tentu bidang-bidang tanah
berdampingan tidaklah selalu dimanfaatkan pada saat bersamaan. Apabila satu
bidang tanah lebih dahulu dimanfaatkan, maka garis pembagi atau garis
batas itu seluruhnya mungkin terletak di atas bidang tanah tersebut, dengan
sendirinya pemilik tanah tidak mungkin mencatat sendiri letak garis batas. Bila
pemilik tanah berdampingan datang memanfaatkan pagar tersebut maka akan jelas
siapa memiliki pagar tersebut, tetapi hal ini masih belum dibuat catatannya.
Hal ini tidak ada aspek lain dari pendaftaran tanah yang menimbulkan
kontroversi kecuali dari letak batas-batas pemilikan tanah dan apabila para
pemilik tanah berbatasan tidak memperoleh kata sepakat dengan letak sebenarnya
dari suatu batas walaupun telah dilakukan mediasi, maka penetapan batas terpaksa
diserahkan kepada Hakim. Biasanya pada waktu petugas pengukur datang ke
lokasi tanah yang akan diukur, pemilik tanah belum memberikan tanda/tanda
batas tidak jelas sehingga tidak jarang petugas mengalami kesulitan
dalam menentukan batas-batas tanah yang akan diukur secara pasti.
Cara Penyelesaiannya: Pada waktu akan membuat akta jual beli yang disaksikan
atau disahkan oleh pihak desa, maka sekretaris desa atau perangkat desa
mengadakan pengecekan ulang tentang batas-batas tanah sebelum dibuatkan akta
jual beli dari desa. Pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah agar terciptanya tertib
administrasi pertanahan, maka Penetapan batas dilakukan oleh pemilik tanah, dan
para pemilik tanah yang berbatasan atau bersebelahan secara kontradiktur (adanya
kata sepakat antara kedua belah pihak), dimana dikenal dengan istilah asas
40
kontradiktur delimitasi. Pemenuhan azas tersebut dimaksudkan agar tidak
menimbulkan masalah batas dikemudian harinya yang dibuktikan dengan surat
pernyataan perangkat desa/kelurahan, dimana nantinya surat pernyataan tersebut
juga dituangkan kedalam daftar isian yang ada di Kantor Pertanahan.
41
pertanahan atau dalam hal ini perangkat desa / kelurahan. Agar upaya pendaftaran
tanah dapat diproses dengan mudah, cepat dan tidak terkesan berbilit-belit.
42
berkas-berkas melalui surat pemberitahuan. Jika pemohon telah melengkapi data
yang dibutuhkan, maka pemohon dapat dilanjutkan.
Kedua, pengisian akta jual beli yang dibuat oleh PPAT kurang lengkap,
kurang teliti dan cenderung tidak sempurna dalam pembuatan aktanya. Cara
Penyelesaiannya: Pengisian akta jual beli yang dibuat oleh PPAT harus dilengkapi
dan dalam pembuatannya harus lebih teliti.
Keempat, tanah sebagai objek jual beli masih dalam sengketa. Cara
Penyelesaiannya: Mengenai tanah yang masih dalam sengketa dapat diselesaikan
terlebih dahulu dengan cara musyawarah dalam hal ini pihak Kantor Pertanahan
sebagai pihak penengah dan menyarankan agar diselesaikan sengketa tersebut.
Apabila sengketa dapat diselesaikan maka permohonan tersebut dapat diproses
dan selanjutnya diterbitkan sertifikatnya.38
Menurut Aartje Tehupeiory, pada dasarnya ada dua system publikasi yang
dikenal dalam pendaftaran tanah, yaitu :
38
Sahnan, 2016, Hukum Agraria Indonesia, Malang: Setara Press, hal. 7-13
43
1) Sistem publikasi positif, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah
berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan
satu-satunya tanda bukti atas tanah. Memberikan perlindungan yang
mutlak, baik terhadap pemegang haknya maupun terhadap pihak ketiga
karena keterangan yang tercantum dalam tanda bukti hak tidak dapat
diubah. Hasil pendaftaran ini memberikan alat pembuktian yang mutlak
sifatnya dan tidak dapat diganggu gugat. Seandainya terjadi kekeliruan,
maka walaupun ada keputusan hakim, keterangan dalam tanda bukti hak
tetap tidak dapat diubah. Pemerintah lah yang bertanggung jawab atas
kesalahan petugas nya, sehingga pihak yang dirugikan akan memperoleh
ganti rugi dari pemerintah sejumlah harga tanah. Dengan demikian, orang
yang tadinya berhak bisa menjadi tidak berhak.
44
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 32
ayat 1 yang menyatakan :
“Sertifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepan- jang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama
tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum
didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik
maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data
yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data
itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.39
BAB III
KESIMPULAN
39
http://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/download/356/pdf_17 dikunjungi tanggal
08 mei 2020
45
Berdasarkan penjelasan dari uraian pada bagian sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa :
DAFTAR PUSTAKA
46