Anda di halaman 1dari 16

PENYELESAIAN KASUS SENGKETA TANAH DI DESA

KECAMATAN MENDOYO, KABUPATEN JEMBRANA,


PROVINSI BALI

Disusun Oleh:

1. Akbar mokoagow : 210811030063 8. Nathanael R Halmahera : 210811030005


2. Angelica Oktavialina : 210811030057 9. Refliyandi Tamabolang : 210811030095
3. Pramono unus : 210811030041 10. Vebrayn G M Bujung : 210811030025
4. Arman S Priyatna : 210811030033 11. Junita Dopas : 210811030051
5. Yeheskiel Lutter : 210811030009 12. Rifki Rako :
6. Raodatul Jannah : 210811030113 13. Christian Bolly :
7. Sri Maharani : 210811030143

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

ANGKATAN 2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu yang berjudul tinjauan umum tentang fungsi negara dalam
pelayanan sektor publik.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat konstruktif selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan
menyertai kita semua. Amin

Manado, Oktober 2022

Kelompok 2

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................2

BAB I.............................................................................................................................4

A. Latar Belakang....................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...............................................................................................5

C. Tujuan.................................................................................................................5

BAB II...........................................................................................................................6

A. Kekuatan legalitas sertifikat tanah......................................................................6

B. Peran BPN dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah..................................11

C. Upaya hukum yang dilakukan terhadap sertifikat ganda..................................13

BAB III........................................................................................................................15

A. Kesimpulan.......................................................................................................15

B. Saran.................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................16

BAB I
INVENTARISASI

iii
A. Kasus Posisi
Tanah merupakan Anugrah Tuhan yang harus dimanfaatkan bagi sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat, demikian bunyi Pasal 33 (3) UUD NKRI
Tahun1945. Negara ditugaskan untuk menguasai dan bukan untuk memiliki, oleh
karenanya Negara berkewajiban untuk memberikan kepastian hukum tentang
kepemilikan sebidang tanah, melalui permohonan hak dan pendaftaran tanah, agar
dilakukan pengukuran sebagai dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 19 (2), 23 (2), 32 (2) dan Pasal 38 (2) Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Guna menjamin kepastian hukum di bidang
penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah
tidak dapat diabaikan, banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan
batas bidang-bidang tanah tidak benar.

Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala
besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak
boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian
yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan
tanah tetapi juga dalam penyajian data pengusahaan/pemilikan tanah dan
penyimpanan data tersebut.

Dalam penerbitan sertifikat diperlukan suatu proses yang melibatkan pihak


pemohon, Pemilik tanah yang bersebelahan, Pamong Desa maupun pihak instansi
yang terkait untuk memperoleh penjelasan dan surat-surat sebagai alas hak yang
berhubungan dengan permohonan sertifikat tersebut. ”Penjelasan baik lisan maupun
tertulis dari pihak terkait memiliki peluang untuk terjadinya pemalsuan, daluwarsa
bahkan adakalanya tidak benar atau fiktif sehingga timbul sertifikat cacat hukum.”.

Faktor-faktor penyebab terbitnya sertifikat ganda/overlapping oleh Kantor


Pertanahan Jembrana, karena adanya pemberian hak baru oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Jembrana dengan melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah secara

iv
sistematik didapati adanya pelanggaran yaitu ketidak cermatan dan ketidak telitiannya
dalam memeriksa dan meneliti data-data fisik dan data yuridis baik secara langsung
di lapangan maupun dalam hal penyelidikan riwayat tanah dan penilaian kebenaran
alat bukti pemilikan atau penguasaan tanah melalui pengecekan warkah yang ada di
Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana. Pertimbangan hukum hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa sertifikat ganda (overlapping) ini
sudah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku yaitu berdasarkan ketentuan
hukum Agraria.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan legalitas sertifikat tanah?
2. Bagaimana kekuatan BPN dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah
yang telah memiliki legalitas?
3. Bagaimana
4. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan terhadap sertifikat ganda?

C. Tujuan
1. Mengetahui kekuatan legalitas sertifikat tanah
2. Mengetahui kekuatan BPN dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah
yang telah memiliki legalitas
3. Mengetahui upaya hukum yang dilakukan terhadap sertifikat ganda

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kekuatan legalitas sertifikat tanah


Secara terminologi pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre, suatu istilah
teknis untuk suatu record atau rekaman, menunjukkan kepada luas, nilai, dan
kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin yaitu
capistratum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk
pajak tanah Romawi. Cadastre berarti record pada lahan-lahan, atau nilai dari tanah
dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Cadastre dapat diartikan
sebagai alat yang tepat untuk memberikan suatu uraian dan identifikasi tersebut dan
sebagai rekaman berkesinambungan dari hak atas tanah. 1 Sedangkan menurut Boedi
Harsono pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan
atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah
tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam
rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk
penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.2

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam urusan pertanahan, termasuk dalam


perkembangan pendaftaran tanah yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di
zamannya. Perjalanan sejarah itu sering dibagi dalam beberapa fase atau babakan
zaman, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pendaftaran Tanah Era Sebelum Penjajahan

Di Indonesia, tidak ditemukan dokumen yang menjelaskan telah


diselenggarakannya pendaftaran tanah sebelum zaman penjajahan. Hal ini

1
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan PP.No24/1997dilengkapi dengan
Peraturan Jabatan Pembuat Akta
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
Dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Cetakan Kesebelas, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm.72.

vi
dipahami karena hukum yang berlaku pada saat itu adalah hukum tanah adat,
merupakan hukum tidak tertulis dan sejak semula berlaku dikalangan masyarakat
asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggris dan
sebagainya.3 Hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh masyarakat persekutuan
hukum adat berdasarkan hukum adat, baik dalam bentuk hak bersama bersifat
komunal (hak ulayat) maupun hak perseorangan (hak milik adat).

Bagi yang mengusahakannya akan selalu membuat tanda sebatas mana tanah
itu dapat diusahakannya, dan inilah akhirnya yang disebut hak kepemilikan
komunal. Semakin lama atas pertambahan keluarga dengan berbagai
kepentingannya terhadap tanah, lalu tanah yang komunal tadi ter-individualisasi
menjadi hak individu dari seorang warga desa. Terhadap tanah yang tidak
diusahakan tetap menjadi kepemilikan bersama yang sifat kepemilikannya
(publiekrechtelijke) dan yang terakhir diberi nama menjadi tanah ulayat.4

Hak-hak atas tanah yang timbul dari proses yang secara terus menerus
dikerjakan oleh masyarakat, lalu dilegalkan penguasa kampung atau Kepala Desa
dengan pengakuan tanpa surat, sehingga terakhir lahir hubungan kepemilikan
yang diakui oleh masyarakat sekawasan dan resmi menjadi milik seseorang dan
atau masyarakat dalam lingkungan adat tersebut. Inilah yang kemudian diakui
sebagai hak-hak atas tanah yang lahir karena ketentuan hukum adat. Peristiwa ini
dibenarkan oleh AP. Parlindungan, bahwa sekalipun ada tatanan hukum adat yang
mengatur mengenai pemberian hak atas tanah menurut adat setempat, namun
belum menemukan korelasi dari pemberian hak menurut hukum adat dengan
pendaftaran hak tersebut.5

3
Arie Sukanti Hutagalung et.al., Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Edisi 1, Cetakan
Pertama, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2012), hlm.133.
4
A.P.Perlindungan, Pandangan Kondisi Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan
Pertama, (Bandung : Alumni, 1986), hlm.11.
5
AP.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan Kedua, (Bandung : Mandar Maju, 1994),
hlm.60.

vii
Kemudian dalam menentukan batas - batas tanah digunakan ukuran -ukuran
tertentu yang pada saat itu sudah dikenal dan diakui oleh masyarakat, seperti
depa, langkah dan sebagainya, namun itu juga belum akurat. Selain itu surat-surat
tanah tersebut belum tersimpan dengan baik, biasanya cukup disimpan oleh
Kepala Desa setempat dan ada kecenderungan bila Kepala Desa meninggal, maka
semua surat dan dokumen pun turut hilang.6 Oleh karena itu ukuran dan lokasi
bidang tanah tertentu yang dimiliki oleh anggota masyarakat selalu berdasar pada
seingat Kepala Desa setempat dan dibantu oleh sepengetahuan orang-orang tua
atau pihak-pihak yang berbatasan, sehingga dengan metode yang sangat alami dan
sederhana tersebut tidak memiliki kepastian teknis, baik ukuran, letak dan
batasbatasnya. Jadi legalitas yang memberikan sedikit kepastian atas batas-batas
tanah menurut hukum adat ini hanya mungkin dari pengakuan para ketua adat dan
pemilik yang berbatasan, juga dari keterlibatan Kepala Desa dalam setiap
peralihan hak yang dikenal dengan syarat terang dan tunai. Menurut teori
transaksi hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas
tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak
tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat
yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut
sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa
perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.
Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah di bayar secara kontan,
atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak
membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual
beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang-piutang.7

2. Pendaftaran Tanah Era Penjajahan

6
Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Cetakan Pertama, (Medan : Multi Grafik,
2007), hlm.3.
7
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Ketiga, (Jakarta :
Rajawali Press, 1986), hlm.211.

viii
Indonesia mengalami sejarah panjang pada masa penjajahan, sehingga
berdampak luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali
terhadap penguasaan atas tanah. Sejarah mencatat pertama kali bangsa Indonesia
dijajah oleh bangsa Belanda, pada saat itu pula tanah dikuasai oleh pemerintah
kolonial Belanda yang waktu itu bernama V.O.C (Verenigde Oost Indische
Compagnie) yang didirikan pada tahun 1602. Beberapa waktu kemudian
pemerintah V.O.C mengeluarkan kebijakan penting yaitu plakat tanggal 23 Juli
1680, dalam plakat tersebut berisi hal-hal yang mengatur mengenai susunan dan
tugas Dewan Heemraden. Menurut Irawan Soerodjo, dari ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Pasal 16 plakat itu ada 2 (dua) hal yang perlu dicatat
sehubungan dengan perkembangan kadaster, yaitu:

a. Penyelenggaraan kadaster oleh Dewan Heemraden harus dilakukan


berdasarkan peta-peta tanah sehingga Dewan Heemraden harus
menyelenggarakan suatu kadaster dalam arti yang modern;
b. Tujuan penyelenggaraan kadaster adalah untuk tujuan pemungutan pajak
tanah dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai batas-batas
tanah;
c. Dewan Heemraden di samping menyelenggarakan kadaster, bertugas pula
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan batas-batas
tanah serta pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran-saluran
air, tanggul-tanggul dan bendungan-bendungan.8

3. Pendaftaran Tanah Era UUPA hingga Sekarang

Pada tahun 1960 bangsa kita memasuki suatu babak baru dalam bidang
pertanahan atau agraria, karena pada tahun ini baru pertama kali membuat produk
hukum yang menyangkut perkembangan pertanahan di Indonesia. Tepatnya pada

8
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Cetakan Kedua, (Surabaya :
Arkola, 2003), hlm.59.

ix
tanggal 24 September 1960 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) No. 2043.9

Pada era ini hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat
diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga dapat dikatakan
bahwa pada tanggal tersebut muncul pembaharuan hukum tanah yang berlaku di
Indonesia. UUPA mengakhiri berlakunya peraturan-peraturan hukum tanah
kolonial, dan sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum tanah di
Indonesia, serta menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah
nasional yang tunggal berdasarkan hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia
yang asli. Akan tetapi ada beberapa penyesuaian dan syarat-syarat khusus tentang
pengakuan dan pemasukan hukum adat dalam UUPA, seperti termaktub dalam
Pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa:

“Hukum agraria yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang didasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.”

Posisi pendaftaran tanah yang merupakan bagian dari urusan agraria


kemudian mengacu pada UUPA, ketentuan pendaftaran tanah pada UUPA
terdapat dalam Pasal 19. Aturan ini kemudian diatur lebih lanjut melalui peraturan
pelaksana, yaitu PP Nomor 10 tahun 1961 yang kemudian diganti dengan PP
Nomor 24 Tahun 1997, hadirnya peraturan pelaksana ini menjadi jawaban akan
kebutuhan kepastian hukum pada para pemilik tanah. Mengingat pendaftaran

9
Hairan, loc.cit.

x
tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum, pendaftaran tanah ini
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Dengan
adanya PP Nomor 10 tahun 1961 untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai
suatu lembaga tanah, hal ini tambah sempurna dengan dikeluarkannya PP Nomor
24 Tahun 1997. Sebelum adanya kedua produk hukum ini, dikenal Kantor
Kadaster sebagai Kantor Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah.10

B. Peran BPN dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah


Badan Pertanahan Nasional (BPN) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 sebagai peningkatan dari Direktorat
Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, dan merupakan suatu Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan dibawah dan
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Terbitnya Peraturan Presiden
Nomor 20 tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional mengatur tugas dan
fungsi dari Badan Pertanahan Nasional.Ada pun tugas dari Badan Pertanahan
Nasional ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 pada pasal 2
yang disebut bahwa tugas Badan Pertanahan Nasional yaitu melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
- undangan. Fungsi dari Badan Pertanahan Nasional ini diatur dalam pasal 3
Peraturan Presiden Nomor 20Tahun 2015, dalam melaksanakan tugas tersebut.

Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas


pemerintahan di bidang Pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud, Badan Pertanahan Nasional
menyelanggarakan fungsinya sebagai:

a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan.


b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan.
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan.
10
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Pertama, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2007), hlm.112.

xi
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan.
e. Penyelanggaraan dan pelaksanaan survei, pengangkutan dan pemetaan di
bidang pertanahan.
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.
h. Pelaksanaan penggunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-
wilayah khusus.
i. Penyiapan adminstrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerja sama dengan Departeme Keuangan.
j. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain.
k. Penyelanggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan.
l. Pemberdayaan masyrakat di bidang pertanahan.
m. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan.
n. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.
o. Pendidikan latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan.
p. Pengelolaan dan informasi di bidang pertanahan.
q. Pembinaan fungsinonal lembaga-lembaga berkaitan dengan bidang
pertanahan.
r. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
s. Fungsi lain dibidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.11

11
http://www.bpn.go.id/Tentang-Kami/Struktur -Organisasi-Pejabat/Kementrian-Agararia-danTata
Ruang-BPN Diakses pada tanggal 29 Juli 2016 pukul 18.26 WIB.

xii
C. Upaya hukum yang dilakukan terhadap sertifikat ganda
Terjadinya sengketa pertanahan dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang
Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN
1/1999, yaitu : “ perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai
keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah,
termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang
berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang
berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.” Menurut Sarjita,
sengketa pertanahan adalah : “perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau
lebih yang merasa atau dirugikan pihakpihak tersebut untuk penggunaan dan
penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui musyawarah atau
melalui pengadilan.”12

1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai


pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang
belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang/tidak benar.
4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis
(bersifat strategis). 13

Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi pokok


persoalan yang berkaitan dengan :

1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah;

12
Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Tugujogja Pustaka,
Yogyakarta, hal. 8.
13
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,Bandung , hal. 23

xiii
2. Keabsahan suatu hak atas tanah;
3. Prosedur pemberian hak atas tanah; dan
4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti
haknya.

Sedangkan tipologi masalah tentang pendaftaran hak, antara lain: sertifikat


ganda; sertifikat palsu; konversi hak yang cacat hukum; peralihan hak yang cacat
hukum dan cacat administrasi; prmohonan pemblokiran/skorsing.

BAB III
PENUTUP

xiv
A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang menyebabkan penerbitan sertifikat berganda/tumpang
tindih adalah: Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana memberikan hak baru
dengan Menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sistematis oleh Komisi
sidang, melanggar tugas dan wewenang panitia sidang, dalam proses
publikasi, yaitu tidak akurat dan tidak akurat Memeriksa dan mengkaji data
fisik dan yudisial secara langsung di lapangan maupun dalam penyelidikan
sejarah pertanahan dan penilaian kebenaran Dengan memeriksa bukti
kepemilikan atau penguasaan tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Jembrana.
2. Pertimbangan Hukum Penyelesaian Masalah oleh Hakim Peradilan Tata
Usaha Negara Sengketa tumpang tindih sertifikat ini sesuai dengan hukum
Permohonan tersebut didasarkan pada ketentuan hukum pertanahan

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

xv
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan
PP.No24/1997dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta
A.P.Perlindungan, Pandangan Kondisi Pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni, 1986), hlm.11.
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan
Pertama, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.112.
AP.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan Kedua,
(Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm.60.
Arie Sukanti Hutagalung et.al., Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia,
Edisi 1, Cetakan Pertama, (Denpasar : Pustaka Larasan, 2012), hlm.133.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Cetakan
Kesebelas, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm.72.
Hairan, loc.cit.
http://www.bpn.go.id/Tentang-Kami/Struktur-Organisasi Pejabat/Kementrian-
Agararia-danTata Ruang-BPN Diakses pada tanggal 29 Juli 2016 pukul 18.26 WIB.
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Cetakan
Kedua, (Surabaya : Arkola, 2003), hlm.59.
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,
Alumni,Bandung , hal. 23
Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan,
Tugujogja Pustaka, Yogyakarta, hal. 8.
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Ketiga, (Jakarta : Rajawali Press, 1986), hlm.211.
Tampil Anshari Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian Hak, Cetakan Pertama,
(Medan : Multi Grafik, 2007), hlm.3.

xvi

Anda mungkin juga menyukai