Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

‘‘GAMBARAN HUKUM TANAH NASIONAL’’


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria
Dosen Pengampu Prihatini Purwaningsih, SH., MH

Disusun oleh:
Kelompok 8
Adli Putra Razaqa (201103010736)
Noer Samantha Chaerunnisa (201103010311)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
Jl. Sholeh Iskandar, Rt.01/Rw.10, Kedungbadak, Kec. Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat.
Kode Pos 16162
2021

i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi
tugas Hukum Agraria yang membahas tentang “GAMBARAN HUKUM TANAH
NASIONAL.”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
sumber, sehingga dapat membantu penyelesaian makalah yang sudah kami buat. Untuk itu kami
ucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang tua kami yang telah mendukung kami dalam berbagai hal.
2. Ibu Prihatini Purwaningsih, SH., MH selaku dosen mata kuliah yang telah membimbing
kami.
3. Dan Teman-teman FAKULTAS HUKUM Reguler 3A yang selalu memberikan
dukungannya.
4. Serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, 14 November 2021

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
2.1 Rincian Gambaran Hukum Tanah Nasional .................................................... 2
2.2 Prinsip – Prinsip Hukum Tanah Nasional ....................................................... 6
2.3 Sumber – Sumber Hukum Tanah Nasional ..................................................... 10
BAB 3 PENUTUP .................................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 13
3.2 Kritik dan Saran ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah
atau sebidang tanah. agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan
tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian,
sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti
luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit
bumi saja atau pertanian. Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat
bidang hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-
masaing mengatur hak-hak pengusaan sumber –sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu,
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam – macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik sendiri maupun bersam a- sama dengan orang –
orang lain serta badan – badan Hukum.”
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan – ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis. Ketentuan – ketentuan Hukum Tanag yang tertulis berfokus pada UUPA dan peraturan
pelaksanaannya yang secara khushs berkaitan dengan tanah sebagai sumber hukum utamanya,
sedangkan ketentuan – ketentuan Hukum Tanah yang tidak tertulis berasal dari Hukum Adat
tentang tanah dan yuridprudensi tentang tanah sebgaai sumber hukum pelengkapnya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini:
1. Seperti apa Rincian Gambaran Hukum Tanah Nasional?
2. Bagaimana Prinsip – Prinsip Hukum Tanah Nasional yang ada saat ini?
3. Apa saja Sumber – sumber Hukum Tanah Nasional?

1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria.
2. Menggali ilmu lebih luas dan dalam mengenai Gambaran Hukum Tanah Nasional.
3. Menambah wawasan baru.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 RINCIAN GAMBARAN HUKUM TANAH NASIONAL
Harus terdapat aspek – aspek dan hal berikut, diantaranya:
1. Hukum Adat sebagai dasar
Bahwa Hukum Adat dipakai sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah sesuai dengan
kepribadian bangsa kita, karena Hukum Adat adalah hukum asli kita. Dalam pada itu,
sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Adat tersebut masih harus dibersihkan dari cacatnya
yang tidak asli dan kemudian disempurnakan hingga sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini akan
dibicarakan lebih lanjut dalam pembasahan Pasal 5.
2. Hukum yang sederhana
Kesederhanaan sesuai dengan sifat dan tingkat pengetahuan bangsa Indonesia. Karena itu,
hukumnya harus sederhana pula. Dengan mengahapuskan dualism dan memilih Hukum Adat
sebagai dasar hukum yang baru, maka akan diperoleh kesederhanaan itu.
3. Jaminan kepastian hukum
Dengan bertambah majunya perekonomian rakyat dan perekonomian nasional kita,
bertambah pula keperluan akan kepastian mengenai soal – soal yang bersangkutan dengan
kegiatan – kegiatan ekonomi itu. Tanah rakyat tambah lama tambah banyak tersangkut dalam
kegiatan – kegiatan tersebut. Misalnya dalam jual – beli, sewa – menyewa, pemberian kredit dan
lain – lainnya. Brehubung dengan itulah, makin lama makin terasa pula perlunya adanya jaminan
kepastian hukum dan kepastian hak di bidang pertahanan. Dalam hal ini, usaha – usaha yang
harus diselenggarakan dalam jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan yang memerlukan
tersedianya perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten
juga adanya penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan
dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan
menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak – haknya,
kewajiban serta larangan – larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hak – hak
tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan – ketentuan yang bersangkutan,
serta hal – hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang
dipunyainya. Tetapi bagi sebagian besar tanah yang dipunyai dengan hak – hak adat, hukumnya
tidak tertulis, hingga tidak mudah diketahui isinnya, khususnya bagi orang – orang “luar”
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

2
Dengan pendaftaran tanah yang merupakan legal cdastre yang juga termasuk kedalam aspek
ini. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan ileh Negara/Pemerintah
secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai
tanah – tanah tertentu yang ada di wilayah – wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan
penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum d
bidang pertahanan, termasuk penerbitan tanda – buktinya dan pemeliharaannya.
4. Unsur – unsur hukum agama
Bahwa Hukum Tanah Indonesia tidak boleh mengabaikan unsu r – unsur yang bersandar
pada hukum agama adalah sesuai dengan Pancasila, khususnya Sila Pertama. Bukankah
Hukum Tanah harus mewujudkan pula penjelmaan Pancasila? Hubungan antara masyarakat
dan orang – seorang anggota masyarakat dengan tanah dan bumi, menurut Hukum Adat
kepercayaan rakyat merupakan hubungan yang sifatnya bukan hanya sosial – ekonomi atau
yuridis, tetapi juga apa yang dikatakan religio magis, suatu hubungan gaib. Ini dapat disaksikan
upacara jual – beli tanah dan sebagainya.
5. Fungsi bumi, air dan ruang – angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Betapa pentingnya fungsi bumi, air dan ruang – angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam perkembanan masyarakat adil dan makmur, yang merupakan
tujuan perjuangankita sebagai rakyat. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
perlu dilakukan kegiatan – kegiatan pembangunan. Bagi penyelenggaraan pembangunan fisik
selalu diperlukan tanah bahkan bagi pembangunan dalam bidang – bidang tertentu yang
memerlukan tanah yang luas (seperti perusahaan kebun besar, kawasan industry, perusahaan
pembangunan perumahan) tersedianya tanah merupakan unsur yang menentukan apakah usaha
yang direncanakan akan dapat dilaksanakan atau tidak. Dengan usaha meningkatnya kegiatan
pembangunan, hal ini tampak sekali di daerah – daerah dimana kegiatan pembangunan
meningkat dnegan cepat, seperti terjadi di daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Untuk
dapat memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan pembangunan secara memuaskan, dengan
mengingat pula penyediannya untuk keperluan – keperluan lain, hingga tanah yang tersedia itu
dapat dipergunakan secara efisien, diperlukan pengaturan, pengendalian dan pembinaan oleh
Pemerintah disamping jaminan kepastian hukum dan kepastian hak bagi pihak – pihak yang
berkepentingan. Hal – hal tersebrut memerlukan landasan hukum yang harus dituangkan dalam
Hukum tanah yang efisien dan efektif.
6. Masyarakat Sosialis Indonesia dan unsur – unsur Sosialisme Indonesia
Pada waktu terbentuknya UUPA, lazim dipergunakan kata – kata “Revousi”, “Sosialisme
Indonesia” dan “Masyarakat Sosialis Indonesia” sebagai suatu undang – undang yang merupakan
produk dari zamannya, di dalam UUPA terdapat juga kata – kata tersebut. Dalam
perkembangannya, sebutan “Sosialisme Indonesia” mengalami perubahan mengenai pengertian
dan isinya. Maka dalam memahami UUPA, apa yang disebut “Sosialisme Indonesia” dalam
konsiderans dan brebagai pasalnya, harus diartikan menurut pengertiannya pada tahun 1959 dan
1960, yaitu tahun disusunnya kembali Rancangan UUPA.
3
Dalam konsiderans Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
II/MPRS/1960 terdapat penjelasan otentik mengenai pengertian “Sosialisme Indonesia”
tersebut. Dinyatakan bahwa “Masyarakat Sosialis Indonesia” adalah sama dengann
“masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila”
Sosialisme Indonesia bukanlah sosialisme seperti diartikan oleh negara – negara Barat atau
seperti diartikan oleh negara – negara Sosialis asing, tetapi Sosialisme Indonesia berisi
perpaduan yang laras dari unsur – unsur Sosialisme, yaitu: Keadilan sosial dan kesejahteraan,
dan unsur – unsur Indonesia, seperti tergambar dalam asas gotong royong dan kekeluargaan,
yang merupakan ciri – ciri pokok dari kepibradian Indonesia.
Dalam melaksanakan kedilan sosial dan kesejahteraan dengan berlandaskan gotong – royong
dan kekeluargaan, tujuan yang dikejar dan akan dilaksanakan adalah kesejahteraan bersama,
dimana terdapat kemakmuran materiil dan spiritual dalam bentuk kekayaan umum benda dan
rohani yang melimpah – limpah serta pembagiannya yang rata dan merata sesuai dengan sifat
perbedaan masing – masing warga dalam keluarga bangsa. Dalam bisang ekonomi, Sosialisme
Indonesia mengejar terwujudnya suatu tata perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan kekeluargaan, dimana Pemerintah dan Rakyat atau Negara dan swasta bekerja sama
saling isi – mengisi untuk menjalankan produksi dan distribusi guna mewujudkan kekayaan
umum yang berlimpah – limpah serta pembagiannya yang adil – merata.
7. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat.
Hukum Tanah Nasional tentu harus sesuai dengan kepentingan rakyat, artinya rakyat banyak,
rakyat Indonesia. Bukan hanya rakyat orang – seorang atau golongan – golongan, apalagi rakyat
asing. Hukum Tanah Nasional tidak diadakan untuk hanya menjamin kepentingan orang – orang
atau modal asing, seperti Agrarische Wet dahulu.
8. Harus memenuhi keperluan menurut permintaan zaman
Hukum Tanah Nasional bukan saja memenuhi keperluan – keperluan dewasa ini, tetapi harus
memberi kemungkinan untuk menampung dan menyelesaikan persoalan – persoalan dari depan.
9. Harus mewujudkan penjelmaan dari Pancasila
Bahwa Hukum Tanah Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari Pancasila kiranya tidak
memerlukan penjelasan. Bukan hanya Hukum Tanah, bukan saja Hukum Indonesia seluruhnya,
tetapi seluruh kehidupan dan penghidupan bangsa harus mewujudkan Pancasila itu.
10. Dekrit Presiden, Manipol, Jarek
Bahwa Hukum Tanah Nasional dalam konsiderans UUPA sebagai produk dari zamannya,
dinyatakan harus merupakan pelaksanaan dari Dekrit 5 Juli, Manifesto Politik (Manipol) dan
Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 (disingkat Jarek atau Jalannya Revolusi Kita). Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 menyatakan berlakunya kembali Undang – Undang Dasar 1945 yang
berarti mengembalikan Bangsa Indonesia ke atas rel Revolusi Nasional. Manipol, yaitu
keseluruhan Pidato Presiden yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1959 adalah penjelasan
resmi dari Dekrit 5 Juli tersebut, demikian juga dengan Dewan Pertimbangan Agung.
4
Manipol bahkan telah ditetapkan sebagai Garis – Garis besar haluan Negara dengan
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960. Penetapan Manipol sebagai garis – garis besar haluan
Negara kemudian telah dikuatkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No. 1/MPRS/1960.
Bahwa Jarek pun disebut sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan juga dapat dimengerti,
karena Jarek dianggap sebagai penegasan Manipol dan penegasan pelaksanaannya.
Manipol memuat ketentuan khusus mengenai Agraria sebagai berikut:
“Demikian pula persoalan tanah. Kita mewarisi dari zaman Belanda beberapa hal yang harus
kita brantas. Antara lain apa yang dinamakan “Hak Eigndom” diatas sesuatu bidang tanah.
Mulai sekarang kita coret sama sekali “Hak Eigndom” tanah dari hukum pertanahan Indonesia.
Tak dapat kita benarkan, di Indonesia Merdeka ada sesuatu bidang tanah yang di-eigndomi oleh
orang asing in casu orang Belanda. Kita hanya kenal hak milik tanah bagi orang Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945”
Selanjutnya disebutkan dalam Manipol kita jumpai pula dasar – dasar kebijaksanaan dalam
mengikut-sertakan segala modal dan tenaga dalam usaha menyelesaikan Revolusi.
Adapun di dalam Jarek terdapat lebih banyak bagian yang khusus mengenai pertahanan.
Mengenai dasar – dasar Hukum Tanah Nasional, yang mengatakan:
a) “Bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal –
asing terhadap Rakyat Indonesia, terutama kaum tani. Karena itu harus dihapuskan
“hak eigndom”, “wet – wet agraris” bikinan Belanda, “Domein verklaring” dan lain
sebagainya.”
b) “Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul – betul menggarap tanah. Tanah
tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang – ongkang menjadi gemuk – gendut
karena menghisap keringat orang – orang yang disuruh menggarap tanah itu!”
c) “Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh mempunyai tanah turun –
temurun! Dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial. Negara dan
kesatuan – kesatuan masyarakat hukum mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripad
amilik perseorangan.”
Dengan ditetapkannya Garis – garis Besar Haluan Negara melalui Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973 apa yang untuk sementara ditetapkan oleh
MPRS pada tahun 1967 tersebut tidak berlaku lagi. Bahkan dengan tegas Ketetapan MPRS No.
I/MPRS/1960 dan Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 dicabut kembali dengan
Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 (mulai berlaku tanggal 22 Maret 1973).
11. Pasal 33 Undang – Undang Dasar
Bahwa Hukum Tanah Nasional harus pula merupakan pelaksanaan Pasal 33 Undang –
Undang Dasar sudah semestinya, karena pasal inilah, terutama dari ayat ke – 3nya yang
merupakan dasar utama dari Hukum Tanah/Agraria. Bunyi Pasal 33 Undang – Undang Dasar itu,
yang terdapat pula dalam Undang – Undang Dasar Sementara (Pasal 38) adalah sebagai berikut:

5
PASAL 33
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kepentingan Rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang – Undang.

Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota – anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang – seorang. Sebab itu perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi, kemakmuran bagi segala
orang. Sebab itu cabang – cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup
orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang –
seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak
menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang – seorang.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi ialah pokok – pokok kemakmuran
rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya
kemakmuran rakyat.
2.2 PRINSIP – PRINSIP HUKUM TANAH NASIONAL
A.    PRINSIP UNIFIKASI DAN KEPASTIAN HUKUM

Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti
hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA.
Istilah unifikasi sama dengan makna pengharmonisan (harmonazition), keragamansistem
hukum yang ada untuk membentuk uniformitas system hukum yang di berlakukanuntuk semua
negara yang menerimanya. Dalam perspektif jalan menuju unifikasi ini dapat
diklasifikasikan atas dua jenis yaitu:
1.      Penyatuan Hukum
Penyatuan hukum adalah tindakan pengubahan sistem hukumperdata internasional intern
negara – negara, yang turut serta dalamtindakan demikaian itu, menjadi system hukum perdata
internasional (konvensi) yang diberlakukan di antara, mereka atau termasuk terhadap
pihak (Negara) lain yang menerima untuk di ikat oleh konvensi demikian.
2.      Penyatuan kaidah-kaidah hukum
Penyatuan kaidah-kaidah hukum adalah tindakan untuk menyatukan (hanya) kaidah-
kaidah hukum perdata internasional negara-negara yang menyutujui tindakan

6
demikian untuk dibentuk satu kesatuan kaidah (konvensi) yang kelak dapat di gunakan oleh
hakimuntuk memutuskan perkara yang dihadapinya.

B.     PRINSIP HAK MENGUASAI DARI NEGARA

Prinsip hak menguasai dari Negara yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA).
Hak menguasai tanah oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan tertentu untuk
penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA digolongkan dalam tiga
bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan hukum antara orang dengan bagian-
bagian tanah, dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum
Ketiga hal tersebut adalah merupakan intisari dari pengaturan UUPA pasal 2 ayat 2 yang
menyangkut kewenangan yang diturunkan oleh Negara kepada Pemerintah.

UUPA dibunyikan pada Undang-undang lainnya tentang Hak menguasai dari negara, antara
lain tercantum pada:
- UU no. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan.
- Pasal 5 ayat 2 UU Pokok Kehutanan redaksi dan konstruksinya persis seperti pasal 2 ayat
2 UUPA.
- UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan pada pasal 1
ayat 1 yang mengatur mengenai penguasaan bahan galian
- UU no. 3 tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi
- UU no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
- UU no. 23 tahun 1997 tentang Penataan Lingkungan Hidup
- UU no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- UU no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Penggolongan hak menguasai negara pada tanahyang ada pada UUPA adalah meliputi:

a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan


tanah
Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut dijabarkan dalam berbagai produk
peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :
1.      Penatagunaan tanah
2.      Pengaturan Tata ruang
3.      Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
b.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut dijabarkan dalam berbagai
produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti:
1.      Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai (landreform)
2.      Pengaturan hak pengelolaan tanah.
c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum atas tanah.
7
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan perbuatan hukum dijabarkan
dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti:

1.      Pendaftaran Tanah
Yaitu  rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian
serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-
hak tertentu yang membebaninya (Ps1 1yat 1 PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
2. Hak tanggungan
Berdasarkan UU no. 4 tahun 1996, hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan.
Hak tanggungan dapat digolongkan ke dalam hubungan hukum antar orang dan
perbuatan hukum atas tanah, karena pada dasarnya hak tanggungan adalah merupakan ikutan
(assesoris) dari suatu perikatan pokok, seperti hubungan hutang piutang yang dijamin
pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut.

C.    PRINSIP HUBUNGAN ANTARA BANGSA DENGAN BUMI, AIR DAN KEKAYAAN


ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA SERTA RUANG ANGKASA
BERDASARKAN HUKUM ADAT DAN PENGAKUAN TERHADAP HAK ULAYAT

Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas
pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah
seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar.
Pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam
Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3), namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional, yang biasa disebut hak ulayat,
seringkali tidak konsisten dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat
adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat.
Penguasaan di sini bukanlah dalam arti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola.
Hal ini dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Tenaga Listrik, Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khsusus Papua, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

D.    PRINSIP FUNGSI SOSIAL HAK-HAK ATAS TANAH

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa
prinsip keutamaan antara lain:
8

1. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan
secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip
Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat yang
mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.

2. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak
itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang
dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat.
Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat.

3. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan
tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus
dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga
kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga
masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan
kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi
beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah.

UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat
untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat.Sehingga timbul keseimbangan,kemakmuran,keadilan,kesejahteraan bagi masyarakat
maupun pribadi yang memiliki tanah.Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam
memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan
berpindah untuk kepentingan umum.

E.     PRINSIP NASIONALITAS

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang
mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang
angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara
baik asli maupun keturunan.
Prinsip ini lahir dari asas kebangsaan yang diakui oleh UUPA. Sesuai dengan azas
kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara
Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh
orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
9
Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.
Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21
ayat 2).
Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak
milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup
hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang
khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan
demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan
mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).

2.3 SUMBER – SUMBER HUKUM TANAH NASIONAL


Dalam pembahasan ini kita akan mengetahui bahwa ketentuan – ketentuan Hukum Tanah
Nasional terdiri atas:
a) Norma – norma hukum tertulis, yang dituangkan dalam peraturan – peraturan perundang
– undangan.
b) Norma – norma hukum tidak tertulisb berupa Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan baru
yang bukan Hukum Adat.
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam Pasal 5 dan tujuan pernyataan tentang tidak
berlakunya lagi pasal – pasal tertentu dalam KUUHPdt serta pernyataan – pernyataan dalam
Pasal 56, 57 dan 58, dapat disusun sumber – sumber hukum formal Hukum Tanah Nasional,
berupa norma – norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis dalam jenjang tata
susunan atau hierarki, sebagai berikut:
A. Sumber – sumber hukum yang tertulis:

a. Undang – Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 yang merupakan pasal yang
membahas tentang sumber daya alam di negara Indonesia. Adapun pasal tersebut
adalah sebagai berikut. Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

b. Undang – Undang Pokok Agraria (Undang – Undang No. 5 tahun 1960) bahwa hukum
agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan
ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan
rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam
segala soal agrarian.

c. Peraturan – peratura pelaksanaan UUPA.

d. Peraturan – peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA, yang dikeluarkan sesudah


tanggal 24 September tanggal 24 September 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur
10
(misalnya: Undang – Undang 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tnapa
Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.)
e. Peraturan – peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku, berdasarkan
ketentuan Pasal – pasal peralihan.

B. Sumber – sumber hukum yang tidak tertulis:

a. Norma – norma Hukum Adat yang sudah di-“saneer” menurut ketentuan Pasal 5, 56
dan 58.
b. Hukum Kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik Administrasi yang
diuraikan dalam 98.

- UUPA SEBAGAI UNDANG – UNDANG POKOK

UUPA merupakan undang – undang pokok.


Dalam penyusunan Hukum Tanah Nasional perlu pertama – tama ada suatu undang – undang
yang memuat konsepsi, asas – asas, dan ketentuan – ketentuan pokoknya. Undang – undang
tersebut merupakan dasar bagi penyusunan peraturan – peraturan lainnya. Dari segi formalnya
pun tidak berbeda dengan Undang – Undang biasa yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh
Pemerintah dengan persertujuan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi menginat akan sifatnya
sebagai peraturan dasar Hukum Tanah yang baru, maka yang dimuat dalam Undang – Undang
tersebut hanyalah konsepsi, asas – asas serta ketentuan – ketentuan dalam garis besarnya saja dan
oleh karenanya disebut Undang – Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanannya akan diatur
dalam berbagai perundang – undangan lainnya.

- UUPA MENGANDUNG PERTIMBANGAN – PERTIMBANGAN POLITIS

1. Yang diperhatikan dalam UUPA


Dalam pembentukan UUPA diperhatikan Usul Dewan Pertimbangan Agung No.
1/Kpts/Sd/II/69 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah. Usul DPA tersebut
adalah usul kepada Pemerintah yang sifatnya rahasia. Sebagian dari isinya diumumkan oleh
Presiden dalam pidato Jarek, yang sebagian telah dikutip dalam pembahasan diatas.
2. Yang diingat dalam pembentukan UUPA
Selain mengingat pasal – pasal Undang – Undang Dasar yang lazim dipakai sebagai dasar
hukum bagi pembentukan suatu undang – undang (Pasal 5 jo. 20 dan Pasal 33), dalam
pembentukan UUPA ini diingat pula Dekrit Presiden, Manipol dan Pidato Jarek.
Hal ini dan apa yang disebutkan dalam point nomor 1 diatas, yaitu bahwa pembentukan UUPA
11
diingat pula usul dari suatu Badan Penasihat Presiden, yang bukan badan penasihat pembentuk
Undang – Undang dalam perundang – undangan kita hingga sekarang ini. Hal – hal tersebut
menunjukan pula betapa pertimbangan – pertimbangan politis mempengaruhi pembentukan
UUPA itu.

- HUKUM TANAH NASIONAL DI MASA MENDATANG

Hal – hal yang diperlukan:


Yang perlu segera ditangani adalah kelanjutan pembangunan Hubungan yang ada,
melengkapi peraturan perundang – undangan yang ada, serta menyesuaikan ketentuan –
ketentuan yang sudah ada dengan perubahan keadaan dan kebutuhan yang akan datang. Seperti
dikemukakan diatas, upaya dan kegiatan tersebut pada satu pihak untuk memberikan dukungan
landasan yang lebih mantap kepada para pelaku pembangunan, dan pada pihak lain untuk
melindungi kepentingan nasional dalam menghadapi akibat arus globalisasi yang sudah mulai
dirasakan dewasa ini.
Termasuk dalam kepentingan nasional yang harus dilindungi adalah pemilikan tanah oleh
para petani kita, yang sebagian terbesar masih tergolong ekonomi lemah. Sebagai hasil kegiatan
pembangunan ekonomi modern selama masa Orde Baru ini, telah lahir dan berkembang
golongan ekonomi kuat, yang kenyataannya dengan berbagai cara berusaha memperoleh dan
menguasai tanah – tanah petani tersebut. Bukan saja untuk keperluan kegiatan usaha yang
produktif, melainkan juga untuk objek investasi dalam mengamankan kekayaannya masing –
masing. Bahkan tidak jarang untuk objek spekulasi.
Karenanya, perlu diadakan dan dilaksanakan upaya – upaya dan sarana – sarana yang
disebut di dalam UUPA untuk memberdayakan para petani dalam menghadapi desakan dan
persaingan dari pihak golongan ekonomi kuat tersebut. Tidak terbayangkan akibatnya jika para
petani sampai kehilangan tanah mereka, yang merupakan satu – satunya dukungan bagi
kehidupan mereka.
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan
dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan
menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak – haknya,
kewajiban serta larangan – larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hak – hak
tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan – ketentuan yang bersangkutan,
serta hal – hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang
dipunyainya.
Prinsip bahwa Hukum Tanah Nasional harus pula merupakan pelaksanaan Pasal 33
Undang – Undang Dasar sudah semestinya, karena pasal inilah, terutama dari ayat ke – 3nya
yang merupakan dasar utama dari Hukum Tanah/Agraria. Adapun ketentuan – ketentuan Hukum
Tanah Nasional terdiri atas:
a) Norma – norma hukum tertulis, yang dituangkan dalam peraturan – peraturan perundang
– undangan.
b) Norma – norma hukum tidak tertulisb berupa Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan baru
yang bukan Hukum Adat.
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam Pasal 5 dan tujuan pernyataan tentang tidak
berlakunya lagi pasal – pasal tertentu dalam KUUHPdt serta pernyataan – pernyataan dalam
Pasal 56, 57 dan 58, dapat disusun sumber – sumber hukum formal Hukum Tanah Nasional,
berupa norma – norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis dalam jenjang tata
susunan atau hierarkiHukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan – ketentuan hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Ketentuan – ketentuan Hukum Tanag yang tertulis berfokus pada
UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang secara khushs berkaitan dengan tanah sebagai sumber
hukum utamanya, sedangkan ketentuan – ketentuan Hukum Tanah yang tidak tertulis berasal
dari Hukum Adat tentang tanah dan yuridprudensi tentang tanah sebgaai sumber hukum
pelengkapnya.

3.2 KRITIK DAN SARAN


Kami dari penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, untuk kami dari penulis, karena penulis keterbatasan keterbatasan waktu,
referensi, dan minimnya ilmu yang dimiliki oleh penulis.
Untuk itu kami dari penulis meminta kepada peserta diskusi kritik dan saranya yang
bersifat membangun demi kebaikan dan bertambahnya wawasan penulis maupun kita semua  di
masa akan datang.
13
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. (2013). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang – Undang
Pokok Agraria, isi dan pelaksanannya. Jilid 1.Jakarta: Universitas Trisakti.
Santoso. Urip. (2012). Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Surabaya: Prenada Media Group.
makalah-hukum Agraria-ASAS-ASAS HUKUM TANAH NASIONAL ~ Nandha Alfarezi
(nandhadhyzilianz.blogspot.com)
14

Anda mungkin juga menyukai