Anda di halaman 1dari 14

POLITIK HUKUM AGRARIA DAN PERKEMBANGAN

POLITIK HUKUM DI INDONESIA


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS HUKUM AGRARIA

DOSEN PENGAMPU :

SOFIAN SH.,MH.

LAILA FAZRINA RITONGA

NPM:200300009

MILLA RIANI

NPM:200300016

M. FADLI YANSYAH

NPM:200300032

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MUHAMMADIYAH KISARAN ASAHAN
T.P 2021/2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................5
C. TUJUAN......................................................................................................................................5
D. MANFAAT..................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
A. PENGERTIAN HUKUM AGRARIA.................................................................................................6
B. HUBUNGAN-HUBUNGAN AGRARIA...........................................................................................8
C. STRUKTUR AGRARIA................................................................................................................10
D. KONFLIK AGRARIA....................................................................................................................12
BAB III..................................................................................................................................................15
A. KESIMPULAN............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................16
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah puji syukur atas khadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala
nikmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah
dengan judul :Politik Hukum Agraria dan Perkembangan Politik Hukum di Indonesia
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini telah kami susun semaksimal
mungkin dan kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan nya baik dari
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami menerima segala kritik
dan saran yang membangun agar dapat memperbaikinya menjadi lebih baik.

Semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua. Aamiin

Wassalamua’laikum warahmatullahi wabarakatuh

Penulis

KELOMPOK 4 HUKUM AGRARIA


BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960


tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI
No.2043. Undang-Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Agaria
(UUPA). Sejak diundangkan UUPA, berlakulah Hukum Agraria Nasional yang mencabut
peraturan dn keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, antara
lain Agrarische Wet Stb. 1870 No.55 dan Agrarische Besluit Stb.187 No.118.1

Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian bagi
manusia dan masyarakat sehingga menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar
dengan keyakinan betapa sangat dihargai dan bermanfaat tanah untuk kehidupan
manusia, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup dan
berkembang serta melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat berhubungan
dengan tanah.

Dalam UUPA tidak ditemukan secara jelas pengertian hukum pertanahan.


Hukum tanah menurut Boedi Harsono, merupakan bagian dari bidang hukum agraria
yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu, seperti: hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. 1

Hukum tanah sebagai suatu sistem bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah, bukan sebagai lembaga hukum

maupun hubungan hukum kongkret.4 Dalam sejarah perkembangan hukum agraria,


masih banyak hal-hal yang belum diatur dalam UUPA.

UUPA hanya mengatur sebagian besar masalah tentang pertanahan. Untuk masalah
yang lebih mengkhusus UUPA belum menjelaskan lebih rinci lagi. Misal tentang kasus
sengketa penguasaan hak atas tanah yang secara rinci belum di atur dalam UUPA.

Karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur secara rinci tentang kasus
penguasaan atas tanah maka masih banyak juga kasus seperti ini yang belum
terselesaikan, dan juga tidak adanya sanksi bagi pelaku atau tergugat dalam kasus
seperti ini. Maka dari itu, penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul hak-
hak atas tanah.

B. RUMUSAN MASALAH
1
1 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,(Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,
2011),Cet. Kedua, hlm. 1 2 M.P. Siahan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori Praktek, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.1.
1.Bagaimana Politik Hukum Agraria dan Perkembangan Politik Hukum di
Indonesia?

C. TUJUAN

1.Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana Politik Hukum Agraria dan


Perkembangan Politik Hukum di Indonesia

D. MANFAAT

1.Manfaat penulisan makalah ini yaitu sebagai penambah wawasan mahasiswa


untuk mengetahui Politik Hukum Agraria dan Perkembangan Politik Hukum di
Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
Istilah “agraria” bila dirunut dari kata asalnya, yakni ager atau agri yang berarti
ladang atau sebidang tanah, dan dalam arti yang jamak bisa berarti pedusunan atau pun
daerah. Bachriadi dan Wiradi9 melihat “agraria” sebagai wilayah pertanian, atau
sepetak sawah yang di dalamnya terdapat tanaman, air, mineral dan pemukiman.
Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggunakan istilah ”sumber-
sumber Agraria” yang mempunyai arti semua bagian bumi yang mampu memberi
penghidupan bagi manusia yang meliputi perut bumi, tanah, air, udara maupun
tumbuhtumbuhan yang terdapat di atasnya.10 Pengertian ini menunjukkan bahwa
“agraria” mengandung makna yang lebih luas dibandingkan istilah pertanahan.

Soesangobeng membedakan antara hukum pertanahan dengan hukum agraria.


Hukum pertanahan merupakan ‘lex generalis’ sedangkan hukum agraria adalah ‘lex
specialis’ dalam hubungan pemilikan dan pengolahan tanah. Menurutnya, hukum
pertanahan memuat filosofi, asas, ajaran dan teori tentang norma-norma dasar
pertumbuhan serta perolehan hak kepemilikan tanah sebagai benda yang menjadi objek
harta kekayaan. Sedangkan hukum agraria, merupakan pelaksanaan norma-norma
hukum pertanahan, tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai benda tidak
tetap yang melahirkan hak perorangan untuk menikmati hasil tanah baik oleh
masyarakat maupun orang pribadi yang hak disebut sebagai hak agraria. 2

Terkait dengan berbagai pengertian agraria tersebut di atas, maka naskah


akademik ini merujuk pada pengertian agraria sebagaimana diatur dalam Undang
Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA disebutkan bahwa objek yang diatur oleh
hukum agraria di Indonesia meliputi: “bumi, air, udara/ruang angkasa, dan segala
kekayaan alam yang terdapat di atas pemukaan tanah dan di dalam perut bumi”.12
Ditinjau dari wujudnya secara fisik, objek hukum itu dapat berupa tanah, air, udara,
mineral dan energi, serta seluruh jenis tumbuhan dan binatang, termasuk yang
berbentuk mikro-organisme.

Seiring dengan telah dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan


Rakyat No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
maka secara subtansial istilah “agraria” dan “sumber daya alam” mempunyai hubungan
yang sangat erat. Sehingga pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam
merupakan pekerjaan yang saling terkait dan berhubungan karena keduanya bertujuan
untuk mencapai kemakmuran bersama, kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan.

Jika dikaitkan dengan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam bagi
kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan, maka tinjauan terhadap sumber daya alam
2
9DiantoBachriadi& Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di
Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan KPA, hal. 1. 10Lebih jauh lihat, Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.
Usulan Revisi UUPA. KPA, hal. 5. 11 Herman Soesangobeng, 2012. Folosofi, Azas, Ajaran dan Teori Hukum
Pertanahan dan Keagrariaan Indonesia, Jakarta , hal. 5-6.
(SDA) dapat dilihat dari dua sisi, yakni: Pertama, hubungan antara kelompok sosial
dengan SDA, dan hubungan antara manusia dengan berbagai wujud dari SDA.
Hubungan-hubungan tersebut sebenarnya adalah sifat penguasaan manusia serta
pemanfaatan SDA yang dicakup dalam pengertian agraria. Dengan demikian, pengertian
agraria tidak terbatas pada aspek fisik tanah dan SDA lainnya, melainkan termasuk di
dalamnya aspek-aspek penguasaan manusia dan pemanfaatan atas SDA tersebut.
Kedua, hubungan yang terjadi secara alamiah antar wujud SDA yang mempunyai
manfaat untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan ekosistem biologis, serta
manfaat untuk menunjang proses ekologis biologis, serta manfaat untuk menunjang
proses ekologis yang penting seperti pembentukan zat hara, arus penyerapan limbah,
imigrasi satwa,3

Serapan dan aliran air, dan lain-lain. Hubungan-hubungan ini terjadi dalam
wilayah-wilayah yang secara alami terbentuk seperti wilayah daerah aliran sungai,
wilayah habitat hewan, wilayah pesisir dan pulau kecil, dan lain-lain yang masing-
masing mempunyai kondisi dan karateristik tersendiri.13 Oleh karena itu, penggunaan
istilah agraria di sini lebih menukik pada penguasaan dan pemanfaatan tanah yang
menjadi wadah dari keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA
adalah pola pemanfaatan SDA yang terkandung dalam tanah tersebut.14 Dengan
demikian penyelesaian konflik agraria di masa mendatang haruslah memperhatikan
keterkaitan dari agraria dan sumber daya alam. Konflik agraria tidak hanya selalu
berkaitan dengan tata kuasa (penguasaan atas tanah), tetapi juga mencakup tata guna
dan tata produksi dari tanah dan kekayaan alam atau sumber-sumber agraria.

B. HUBUNGAN-HUBUNGAN AGRARIA

3
12 Lihat Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.
Sumber-sumber agraria merupakan anugerah Tuhan YME yang fundamental dan
vital untuk kelangsungan kehidupan umat manusia. Bagi rakyat Indonesia, sumber-
sumber agraria mempunyai arti dan fungsi yang sangat luas, selain mempunyai fungsi
ekonomi, sumber-sumber agraria juga mempunyai arti secara sosial, politik, budaya dan
bahkan religius. Hal ini bermakna bahwa sumber-sumber agraria selain merupakan
faktor produksi secara ekonomi, juga sebagai landasan struktur sosial yang utama.
Karena itu, penguasaan atas sumber-sumber agraria akan berimplikasi pada akumulasi
kekuasaan yang lebih luas, baik ranah fisik maupun sosial. Penguasaan atas sumber-
sumber agraria bukan hanya membentuk aset, tetapi menjadi dasar perolehan kuasa-
kuasa ekonomi, sosial dan politik.4

Hal ini bermakna bahwa dalam setiap sumber agraria selalu disertai hubungan-
hubungan agraria yang kompleks. Menurut Wiradi, dalam masyarakat agraris selalu
ditandai dengan hubungan pokok antara mereka yang mencurahkan tenaganya untuk
berproduksi dengan mereka yang tidak berproduksi langsung tetapi mengklaim
sebagian dari hasil produksi tersebut baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar
penguasaan mereka terhadap berbagai macam sarana atau alat produksi.16 Dalam hal
ini, salah satu persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam hubungan-hubungan
agraria yang berlangsung adalah penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber
agraria, khususnya tanah. Kompleksitas hubungan-hubungan agraria (khususnya
penguasaan dan pemanfaatan tanah) karena bukan hanya menyangkut hubungan
manusia dengan tanah, melainkan juga menyangkut hubungan manusia dengan
manusia. Hubungan manusia dengan tanah hanya akan bermakna jika terjadi proses
aktivitas atau kerja dalam bentuk kegiatan penggarapan dan penguasaan lahan. Dalam
proses produksi inilah akan melahirkan hubungan-hubungan lain antara manusia
dengan manusia, misalnya hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap, antara
penyakap dan buruh tani, antara sesama buruh tani, dan sebagainya.

Sejalan dengan itu, terdapat dua jenis hubungan dalam hubungan manusia
menguasai dan memanfaatkan sumber-sumber agraria, yaitu: Pertama, hubungan
teknis pengelolaan sumber-sumber agraria melalui aktivitas produksi. Kedua,
hubungan sebagai subjek agraria (masyarakat, negara dan swasta) yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi sumber-sumber
agraria. Hubungan pertama disebut hubungan teknis agraria sedang yang kedua disebut
hubungan sosial agraria. 17 Dari hubungan-hubungan agraria di atas kemudian muncul
pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari orang-orang atau kelompok orang yang
terlibat di dalamnya. Adanya hak dan kewajiban inilah yang5

4
13 KSPA, Pokja PSDA dan KPA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan: Argumen-argumen dan
usulan Ketetapan MPR RI tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang
Adil dan Berkelanjutan, hal. 3 14Ibid, hal. 5. 15Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005, Reforma
Agraria; Prasyarat Utama bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. hal. 3.
5
16 Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, hal. 22
17Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005 ibid, hal. 4. Pandangan keduanya didasarkan atas
pendapat (Sitorus 2002)
kemudian menciptakan hukum agraria sebagai pengaturan mengenai hubungan antar
subjek hukum dengan keberadaan tanah, perairan, udara/ruang angkasa, dan segala
kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi dalam
suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, hukum agraria pada hakekatnya adalah suatu
upaya untuk menciptakan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah,
perairan, udara, ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
permukaan tanah dan di dalam perut bumi. Lebih jauh lagi, karena di dalam pengaturan
ini melibatkan orang-orang dalam suatu struktur tertentu, maka hukum agraria
merupakan upaya mewujudkan rasa keadilan masyarakat.

C. STRUKTUR AGRARIA
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah agraria sangatlah
kompleks, yakni hubungan antara subyek-subyek agraria dengan sumber–sumber
agraria baik secara teknis maupun secara sosial. Kompleksitas hubungan inilah yang
membentuk sebuah struktur agraria. Oleh karena itu, strutkur agraria dapat
digambarkan sebagai hubungan segitiga antara subyek agraria (masyarakat, negara dan
swasta) yang berpusat pada obyek agraria (tanah, air, udara dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya).

Suatu struktur agraria sesungguhnya menggambarkan hubungan yang


terbangun dari bentuk-bentuk penguasaan dan pemilikan tanah. Menurut Cohen,18
secara umum ada dua kelompok besar di dalam masyarakat agraris, yaitu : Pertama,
sekelompok kecil tuan-tuan tanah dan petani besar, dan kedua adalah sekelompok
besar petani penyakap, petani kecil dan buruh tani tak bertanah. Menurutnya,
hubungan diantara kelompok-kelompok ini menjadi penentu utama dari berbagai sikap
petani terhadap pembaruan agraria dan sekaligus menentukan berhasil atau tidaknya
suatu program pembaruan. 6

Cohen menggambarkan lebih jauh bahwa secara tradisional struktur agraria dalam
pemilikan tanah dibedakan ke dalam empat tipe, yakni : 1) Tipe komunal Afrika. 2) Tipe
penguasaan Asia, 3) Tipe penguasaan tanah Amerika Latin, dan 4) Tipe Perkebunan.
Tipe komunal Afrika terdapat kelompok-kelompok kesukuan di Afrika, dimana tanah
merupakan penguasaan bersama (common property) dan akses kepada tanah relatif
tidak dibatasi. Pada tipe Asia, dasar utamanya adalah pemilik-penggarap, penyewa-
6
18S. I. Cohen, 1978. Agrarian Structure and Agrarian Reform. Martinus Nijhoff Social Sciences Division.
Leiden/Boston, hal. 17-19. 19 Lihat KPA, Konsep Pembaruan Agraria; Sebuah Strategi Pembangunan yang
Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat. Hal. 23.
penggarap, dan petani penyakap bagi hasil. Pada tipe Amerika Latin, meskipun terdapat
pemilik-penggarap, penyewa-penggarap dan penyakap tetapi bentuk perkebunan yang
disebut sebagai “latifindio” sangat dominan. Latifindio merupakan unit penguasaan
tanah secara politik, pemilikannya bersifat guntai dan dikelola pegawaipegawai yang
digaji serta digarap oleh petani yang berstatus semi-hamba. Sedangkan pada tipe
perkebunan, merupakan pemilikan tanah dalam skala luas yang dimiliki oleh pengusaha
swasta baik asing maupun domestik. Penggunaan tanahnya bersifat intensif dan
monokultur serta diproduksi untuk komersial dan umumnya untuk kepentingan
ekspor.

Empat tipe ini meskipun masih banyak bertahan, tetapi mulai banyak berubah
karena adanya perubahan struktural akibat pembangunan. Kini muncul bentuk-bentuk
baru dari penguasaan tanah, yakni tipe pertanian kapitalis modern yang tersebar luas.
Tipe pertanian kapitalis modern ini luas penguasaan tanahnya beragam. Pertanian ini
dikerjakan secara intensif untuk kepentingan komersial dan dikerjakan oleh tenaga
kerja bayaran. Tipe lainnya yang kurang tersebar adalah pertanian koperasi dan
pertanian negara.

Struktur agraria yang digambarkan di atas secara konseptual, mengandung baik


potensi konflik maupun kerjasama. Kerjasama akan terjadi apabila para subjek agraria
bersedia dan mampu merumuskan suatu kesepakatan perihal kepentingan dan klaim
yang berbeda-beda menyangkut akses terhadap objek agraria. Kemungkinan
sebaliknya, konflik agraria yang akan terjadi apabila terdapat benturan kepentingan 7

intra dan antar subyek agraria ataupun tumpang tindih klaim akses terhadap obyek
agraria. Namun fakta empiris menunjukkan bahwa hubungan-hubungan agraria intra
dan antar subyek agraria cenderung diwarnai gejala konflik agraria, baik yang bersifat
laten maupun yang bersifat manifes.

D. KONFLIK AGRARIA
Kata “konflik” mempunyai makna lebih luas ketimbang kata “sengketa”. Kata
“sengketa” memiliki skala lebih kecil, menyangkut pertentangan hak yang nyata antara
satu pihak dengan pihak lainnya, dan pada umumnya diselesaikan lewat jalur-jalur yang
disediakan secara hukum. Sementara konflik agraria didefinisikan sebagai perbedaan

7
20S.I.Cohen, Loc. Cit. 21S.I. Cohen, Ibid, hal. 17-19.
atau pertentangan orang atau komunitas atas penguasaan maupun pengelolaan tanah
dan sumber daya alam.

Menurut Wiradi, sebagai gejala sosial, konflik agraria adalah suatu proses
interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masingmasing pihak
memperjuangkan kepentingannya atas objek agraria. Sebelum berubah menjadi konflik
agraria, terlebih dahulu terjadi “persaingan” untuk memperoleh suatu objek agraria
tersebut. Dari persaingan berubah menjadi konflik pada saat masing-masing pihak
berupaya untuk menghilangkan atau menghalangi secara terbuka untuk menguasai atau
memanfaatkan objek agraria. Jadi, konflik pada dasarnya adalah bentuk ekstrim dan
keras dari persaingan.

Dalam Naskah Akademik KNuPKA24, konflik agraria didefinisikan sebagai


pertentangan klaim antar satu pihak atau lebih mengenai penguasaan maupun
pengelolaan terhadap tanah dan/atau sumber daya8

alam lain yang menyertainya.25 Situasi ini disebut konflik karena klaim itu ditampilkan
secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi dengan maksud
menghilangkan klaim pihak lainnya. Naskah ini berpendirian bahwa upaya-upaya
penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria ini harus didudukkan sebagai bagian
dari cara untuk menata ulang distribusi penguasaan tanah yang timpang selama ini.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan istilah sengketa pertanahan,


konflik pertanahan dan perkara pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak
berdampak luas secara sosiopolitis. Sementara itu, konflik pertanahan adalah
perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi,
badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak
luas secara sosio-politis. Kemudian yang terakhir, yaitu perkara pertanahan yang
selanjutnya disingkat perkara adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya
dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih
dimintakan penanganan perselisihannya di BPN Republik Indonesia.

Di kalangan pegiat dan aktivis agraria, menggunakan istilah “konflik agraria


struktural” untuk menamai dinamika konflik agraria yang sedang terjadi dewasa ini.
Penggunaan istilah “konflik agraria struktural” ini untuk menjelaskan konflik agraria
yang melibatkan penduduk setempat atau kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu
8
2 Ibid, hal. 7. 23Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Berakhir. KPA, Insist Press,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta, hal. 85. 24KNuPKA adalah Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria,
yaitu suatu komisi yang diusulkan oleh Komnas HAM pada tahun 1999 untuk mengatasi konflik agraria
struktural kepada Presiden SBY, namun oleh Presiden SBY menolak untuk membentuk komisi tersebut dan
merekomendasikan untuk memperkuat Badan Pertanahan Nasional.
pihak dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara.27 Menurut Noer Fauzi,
konflik agraria struktural adalah pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai
suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan 9

rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur,
produksi, ekstraksi, dan konservasi; dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut
berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain.

Menurut Dietz (1998), gejala konflik dalam hubungan-hubungan agraria ini


berakar pada pertentangan klaim menyangkut tiga hal berikut: 1) siapa yang berhak
menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang menyertainya; 2) siapa
yang berhak memanfaatkan sumbersumber agraria dan kekayaan alam, dan 3) siapa
yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber
agraria dan kekayaan alam tersebut. Sehingga dalam rumusan lainnya dapat dikatakan
bahwa gejala konflik agraria pada dasarnya mencerminkan pertentangan klaim
mengenai: siapakah yang dapat memiliki, menggunakan, dan mengelola, serta siapakah
yang mengontrol akses atas sumber-sumber agraria dan kekayaan alam dan siapakah
yang memperoleh manfaatnya. Sejauh mana skala kedalaman dan keluasan konflik-
konflik yang mengemuka pada dasarnya cerminan dari seberapa akut problem
struktural dalam hubungan-hubungan agraria menyangkut pertentangan klaim atas
sumbersumber agraria ini.10

BAB III
PENUTUPAN

A. KESIMPULAN

9
25 Perlu dicatat bahwa istilah ‘sengketa’ lebih popular digunakan oleh peraturan perundangan, ketimbang
istilah ‘konflik’. Sayangnya, kendati sering digunakan, kecuali UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, tak satupun Undang-undang yang mendefenisikan istilah ‘sengketa’. UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menggunakan istilah ‘perkara’ (lihat pasal 89 ayat (4)).
10
28Lihat artikel (Opini) Noer Fauzi Rahman dan Rahma Mary, Media Indonesia, 2011.
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa
hal antara lain: Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara berwenang untuk menguasai bumi,
termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan keagrariaan, negara berwenang untuk
membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan
terkait dengan: peruntukan, persediaan dan pemeliharaan; hubungan hukum antara
orang dengan sumber daya agraria; dan hubungan hukum antara orang dan
perbuatan hukum mengenai agraria.

Kedua, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur dan menjabarkan tentang agraria dalam
pokok-pokok atau garis besarnya. Namun demikian UUPA perlu dilengkapi.
Selanjutnya dengan berbagai perkembangan pada tahun 1970an cenderung
diarahkan pada pertumbuhan, berbagai kebijakan dan peraturan perundang-
undangan banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip
dasar UUPA. Karena itu perlu diluruskan kembali. Ketiga, Undang-Undang tentang
Peradilan Agraria disusun untuk melengkapi dan menjabarkan UUPA dan
meluruskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip UUPA.
Untuk mendukung upaya ini, falsafah UUPA dijadikan landasan, dan prinsip-prinsip
UUPA diperkuat dan dikembangkan selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan
Agraria.

Berdasarkan kesimpulan tersebut kemudian dapat disampaikan saran bahwa


pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria merupakan keniscayaan
untuk memberikan keadilan bagi semua kelompok masyarakat dalam memperoleh
dan memanfaatkan sumber daya agraria, secara adil berdasarkan UUPA. Lebih lanjut,
Mahkamah Agung perlu membentuk kamar khusus di bidang pertanahan, yang berisi
hakim agung 120 yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum agraria
(khususnya pertanahan).

DAFTAR PUSTAKA

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/284/216

https://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/Buku-Politik-Hukum-Agraria.pdf

Anda mungkin juga menyukai