DOSEN PENGAMPU :
SOFIAN SH.,MH.
NPM:200300009
MILLA RIANI
NPM:200300016
M. FADLI YANSYAH
NPM:200300032
Alhamdulillah puji syukur atas khadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala
nikmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah
dengan judul :Politik Hukum Agraria dan Perkembangan Politik Hukum di Indonesia
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini telah kami susun semaksimal
mungkin dan kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan nya baik dari
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami menerima segala kritik
dan saran yang membangun agar dapat memperbaikinya menjadi lebih baik.
Semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua. Aamiin
Penulis
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian bagi
manusia dan masyarakat sehingga menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar
dengan keyakinan betapa sangat dihargai dan bermanfaat tanah untuk kehidupan
manusia, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia hidup dan
berkembang serta melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat berhubungan
dengan tanah.
Hukum tanah sebagai suatu sistem bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah, bukan sebagai lembaga hukum
UUPA hanya mengatur sebagian besar masalah tentang pertanahan. Untuk masalah
yang lebih mengkhusus UUPA belum menjelaskan lebih rinci lagi. Misal tentang kasus
sengketa penguasaan hak atas tanah yang secara rinci belum di atur dalam UUPA.
Karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur secara rinci tentang kasus
penguasaan atas tanah maka masih banyak juga kasus seperti ini yang belum
terselesaikan, dan juga tidak adanya sanksi bagi pelaku atau tergugat dalam kasus
seperti ini. Maka dari itu, penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul hak-
hak atas tanah.
B. RUMUSAN MASALAH
1
1 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,(Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,
2011),Cet. Kedua, hlm. 1 2 M.P. Siahan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori Praktek, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.1.
1.Bagaimana Politik Hukum Agraria dan Perkembangan Politik Hukum di
Indonesia?
C. TUJUAN
D. MANFAAT
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
Istilah “agraria” bila dirunut dari kata asalnya, yakni ager atau agri yang berarti
ladang atau sebidang tanah, dan dalam arti yang jamak bisa berarti pedusunan atau pun
daerah. Bachriadi dan Wiradi9 melihat “agraria” sebagai wilayah pertanian, atau
sepetak sawah yang di dalamnya terdapat tanaman, air, mineral dan pemukiman.
Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggunakan istilah ”sumber-
sumber Agraria” yang mempunyai arti semua bagian bumi yang mampu memberi
penghidupan bagi manusia yang meliputi perut bumi, tanah, air, udara maupun
tumbuhtumbuhan yang terdapat di atasnya.10 Pengertian ini menunjukkan bahwa
“agraria” mengandung makna yang lebih luas dibandingkan istilah pertanahan.
Jika dikaitkan dengan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam bagi
kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan, maka tinjauan terhadap sumber daya alam
2
9DiantoBachriadi& Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di
Indonesia. Jakarta: Bina Desa, ARC dan KPA, hal. 1. 10Lebih jauh lihat, Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.
Usulan Revisi UUPA. KPA, hal. 5. 11 Herman Soesangobeng, 2012. Folosofi, Azas, Ajaran dan Teori Hukum
Pertanahan dan Keagrariaan Indonesia, Jakarta , hal. 5-6.
(SDA) dapat dilihat dari dua sisi, yakni: Pertama, hubungan antara kelompok sosial
dengan SDA, dan hubungan antara manusia dengan berbagai wujud dari SDA.
Hubungan-hubungan tersebut sebenarnya adalah sifat penguasaan manusia serta
pemanfaatan SDA yang dicakup dalam pengertian agraria. Dengan demikian, pengertian
agraria tidak terbatas pada aspek fisik tanah dan SDA lainnya, melainkan termasuk di
dalamnya aspek-aspek penguasaan manusia dan pemanfaatan atas SDA tersebut.
Kedua, hubungan yang terjadi secara alamiah antar wujud SDA yang mempunyai
manfaat untuk memelihara integritas komunitas, habitat dan ekosistem biologis, serta
manfaat untuk menunjang proses ekologis biologis, serta manfaat untuk menunjang
proses ekologis yang penting seperti pembentukan zat hara, arus penyerapan limbah,
imigrasi satwa,3
Serapan dan aliran air, dan lain-lain. Hubungan-hubungan ini terjadi dalam
wilayah-wilayah yang secara alami terbentuk seperti wilayah daerah aliran sungai,
wilayah habitat hewan, wilayah pesisir dan pulau kecil, dan lain-lain yang masing-
masing mempunyai kondisi dan karateristik tersendiri.13 Oleh karena itu, penggunaan
istilah agraria di sini lebih menukik pada penguasaan dan pemanfaatan tanah yang
menjadi wadah dari keberadaan SDA lainnya. Sedangkan titik tolak pengelolaan SDA
adalah pola pemanfaatan SDA yang terkandung dalam tanah tersebut.14 Dengan
demikian penyelesaian konflik agraria di masa mendatang haruslah memperhatikan
keterkaitan dari agraria dan sumber daya alam. Konflik agraria tidak hanya selalu
berkaitan dengan tata kuasa (penguasaan atas tanah), tetapi juga mencakup tata guna
dan tata produksi dari tanah dan kekayaan alam atau sumber-sumber agraria.
B. HUBUNGAN-HUBUNGAN AGRARIA
3
12 Lihat Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.
Sumber-sumber agraria merupakan anugerah Tuhan YME yang fundamental dan
vital untuk kelangsungan kehidupan umat manusia. Bagi rakyat Indonesia, sumber-
sumber agraria mempunyai arti dan fungsi yang sangat luas, selain mempunyai fungsi
ekonomi, sumber-sumber agraria juga mempunyai arti secara sosial, politik, budaya dan
bahkan religius. Hal ini bermakna bahwa sumber-sumber agraria selain merupakan
faktor produksi secara ekonomi, juga sebagai landasan struktur sosial yang utama.
Karena itu, penguasaan atas sumber-sumber agraria akan berimplikasi pada akumulasi
kekuasaan yang lebih luas, baik ranah fisik maupun sosial. Penguasaan atas sumber-
sumber agraria bukan hanya membentuk aset, tetapi menjadi dasar perolehan kuasa-
kuasa ekonomi, sosial dan politik.4
Hal ini bermakna bahwa dalam setiap sumber agraria selalu disertai hubungan-
hubungan agraria yang kompleks. Menurut Wiradi, dalam masyarakat agraris selalu
ditandai dengan hubungan pokok antara mereka yang mencurahkan tenaganya untuk
berproduksi dengan mereka yang tidak berproduksi langsung tetapi mengklaim
sebagian dari hasil produksi tersebut baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar
penguasaan mereka terhadap berbagai macam sarana atau alat produksi.16 Dalam hal
ini, salah satu persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam hubungan-hubungan
agraria yang berlangsung adalah penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber
agraria, khususnya tanah. Kompleksitas hubungan-hubungan agraria (khususnya
penguasaan dan pemanfaatan tanah) karena bukan hanya menyangkut hubungan
manusia dengan tanah, melainkan juga menyangkut hubungan manusia dengan
manusia. Hubungan manusia dengan tanah hanya akan bermakna jika terjadi proses
aktivitas atau kerja dalam bentuk kegiatan penggarapan dan penguasaan lahan. Dalam
proses produksi inilah akan melahirkan hubungan-hubungan lain antara manusia
dengan manusia, misalnya hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap, antara
penyakap dan buruh tani, antara sesama buruh tani, dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, terdapat dua jenis hubungan dalam hubungan manusia
menguasai dan memanfaatkan sumber-sumber agraria, yaitu: Pertama, hubungan
teknis pengelolaan sumber-sumber agraria melalui aktivitas produksi. Kedua,
hubungan sebagai subjek agraria (masyarakat, negara dan swasta) yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi sumber-sumber
agraria. Hubungan pertama disebut hubungan teknis agraria sedang yang kedua disebut
hubungan sosial agraria. 17 Dari hubungan-hubungan agraria di atas kemudian muncul
pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari orang-orang atau kelompok orang yang
terlibat di dalamnya. Adanya hak dan kewajiban inilah yang5
4
13 KSPA, Pokja PSDA dan KPA, 2001. Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan: Argumen-argumen dan
usulan Ketetapan MPR RI tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang
Adil dan Berkelanjutan, hal. 3 14Ibid, hal. 5. 15Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005, Reforma
Agraria; Prasyarat Utama bagi Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan. hal. 3.
5
16 Gunawan Wiradi, 2000. Reforma Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, hal. 22
17Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, 2005 ibid, hal. 4. Pandangan keduanya didasarkan atas
pendapat (Sitorus 2002)
kemudian menciptakan hukum agraria sebagai pengaturan mengenai hubungan antar
subjek hukum dengan keberadaan tanah, perairan, udara/ruang angkasa, dan segala
kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi dalam
suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, hukum agraria pada hakekatnya adalah suatu
upaya untuk menciptakan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah,
perairan, udara, ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas
permukaan tanah dan di dalam perut bumi. Lebih jauh lagi, karena di dalam pengaturan
ini melibatkan orang-orang dalam suatu struktur tertentu, maka hukum agraria
merupakan upaya mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
C. STRUKTUR AGRARIA
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah agraria sangatlah
kompleks, yakni hubungan antara subyek-subyek agraria dengan sumber–sumber
agraria baik secara teknis maupun secara sosial. Kompleksitas hubungan inilah yang
membentuk sebuah struktur agraria. Oleh karena itu, strutkur agraria dapat
digambarkan sebagai hubungan segitiga antara subyek agraria (masyarakat, negara dan
swasta) yang berpusat pada obyek agraria (tanah, air, udara dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya).
Cohen menggambarkan lebih jauh bahwa secara tradisional struktur agraria dalam
pemilikan tanah dibedakan ke dalam empat tipe, yakni : 1) Tipe komunal Afrika. 2) Tipe
penguasaan Asia, 3) Tipe penguasaan tanah Amerika Latin, dan 4) Tipe Perkebunan.
Tipe komunal Afrika terdapat kelompok-kelompok kesukuan di Afrika, dimana tanah
merupakan penguasaan bersama (common property) dan akses kepada tanah relatif
tidak dibatasi. Pada tipe Asia, dasar utamanya adalah pemilik-penggarap, penyewa-
6
18S. I. Cohen, 1978. Agrarian Structure and Agrarian Reform. Martinus Nijhoff Social Sciences Division.
Leiden/Boston, hal. 17-19. 19 Lihat KPA, Konsep Pembaruan Agraria; Sebuah Strategi Pembangunan yang
Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat. Hal. 23.
penggarap, dan petani penyakap bagi hasil. Pada tipe Amerika Latin, meskipun terdapat
pemilik-penggarap, penyewa-penggarap dan penyakap tetapi bentuk perkebunan yang
disebut sebagai “latifindio” sangat dominan. Latifindio merupakan unit penguasaan
tanah secara politik, pemilikannya bersifat guntai dan dikelola pegawaipegawai yang
digaji serta digarap oleh petani yang berstatus semi-hamba. Sedangkan pada tipe
perkebunan, merupakan pemilikan tanah dalam skala luas yang dimiliki oleh pengusaha
swasta baik asing maupun domestik. Penggunaan tanahnya bersifat intensif dan
monokultur serta diproduksi untuk komersial dan umumnya untuk kepentingan
ekspor.
Empat tipe ini meskipun masih banyak bertahan, tetapi mulai banyak berubah
karena adanya perubahan struktural akibat pembangunan. Kini muncul bentuk-bentuk
baru dari penguasaan tanah, yakni tipe pertanian kapitalis modern yang tersebar luas.
Tipe pertanian kapitalis modern ini luas penguasaan tanahnya beragam. Pertanian ini
dikerjakan secara intensif untuk kepentingan komersial dan dikerjakan oleh tenaga
kerja bayaran. Tipe lainnya yang kurang tersebar adalah pertanian koperasi dan
pertanian negara.
intra dan antar subyek agraria ataupun tumpang tindih klaim akses terhadap obyek
agraria. Namun fakta empiris menunjukkan bahwa hubungan-hubungan agraria intra
dan antar subyek agraria cenderung diwarnai gejala konflik agraria, baik yang bersifat
laten maupun yang bersifat manifes.
D. KONFLIK AGRARIA
Kata “konflik” mempunyai makna lebih luas ketimbang kata “sengketa”. Kata
“sengketa” memiliki skala lebih kecil, menyangkut pertentangan hak yang nyata antara
satu pihak dengan pihak lainnya, dan pada umumnya diselesaikan lewat jalur-jalur yang
disediakan secara hukum. Sementara konflik agraria didefinisikan sebagai perbedaan
7
20S.I.Cohen, Loc. Cit. 21S.I. Cohen, Ibid, hal. 17-19.
atau pertentangan orang atau komunitas atas penguasaan maupun pengelolaan tanah
dan sumber daya alam.
Menurut Wiradi, sebagai gejala sosial, konflik agraria adalah suatu proses
interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masingmasing pihak
memperjuangkan kepentingannya atas objek agraria. Sebelum berubah menjadi konflik
agraria, terlebih dahulu terjadi “persaingan” untuk memperoleh suatu objek agraria
tersebut. Dari persaingan berubah menjadi konflik pada saat masing-masing pihak
berupaya untuk menghilangkan atau menghalangi secara terbuka untuk menguasai atau
memanfaatkan objek agraria. Jadi, konflik pada dasarnya adalah bentuk ekstrim dan
keras dari persaingan.
alam lain yang menyertainya.25 Situasi ini disebut konflik karena klaim itu ditampilkan
secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi dengan maksud
menghilangkan klaim pihak lainnya. Naskah ini berpendirian bahwa upaya-upaya
penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria ini harus didudukkan sebagai bagian
dari cara untuk menata ulang distribusi penguasaan tanah yang timpang selama ini.
rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur,
produksi, ekstraksi, dan konservasi; dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut
berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain.
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
9
25 Perlu dicatat bahwa istilah ‘sengketa’ lebih popular digunakan oleh peraturan perundangan, ketimbang
istilah ‘konflik’. Sayangnya, kendati sering digunakan, kecuali UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, tak satupun Undang-undang yang mendefenisikan istilah ‘sengketa’. UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menggunakan istilah ‘perkara’ (lihat pasal 89 ayat (4)).
10
28Lihat artikel (Opini) Noer Fauzi Rahman dan Rahma Mary, Media Indonesia, 2011.
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa
hal antara lain: Pertama, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara berwenang untuk menguasai bumi,
termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan keagrariaan, negara berwenang untuk
membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan
terkait dengan: peruntukan, persediaan dan pemeliharaan; hubungan hukum antara
orang dengan sumber daya agraria; dan hubungan hukum antara orang dan
perbuatan hukum mengenai agraria.
DAFTAR PUSTAKA
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/284/216
https://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/Buku-Politik-Hukum-Agraria.pdf