Anda di halaman 1dari 16

i

ORIENTASI PERADILAN AGAMA INDONESIA

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

DOSEN PENGAMPU : H. ALPUN KHOIR NASUTION, S.Ag., M.H.

DI SUSUN OLEH

MUHAMMAD KARYA AMANDA

NPM : 200300026

EKSA ABABIL

NPM : 200300008

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MUHAMMADIYAH

KISARAN ASAHAN

TP 2022
i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah puji syukur atas khadirat Allah Swt yang telah melimpahkan

segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas penulisan

makalah dengan judul Orientasi Peradilan Agama Indonesia dapat diselesaikan

tepat waktu. Makalah ini telah di susun semaksimal mungkin dan saya menyadari

sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan nya baik dari segi susunan kalimat

maupun tata bahasanya. Oleh karena itu saya menerima segala kritik dan saran

yang membangun agar dapat memperbaikinya menjadi lebih baik.

Semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menambah

wawasan bagi kita semua. Aamiin Wassalamua’laikum warahmatullahi

wabarakatuh

Penulis

Muhammad Karya Amanda


Dan
Eksa Ababil
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... iii

 Latar belakang .......................................................................................................... iv

 Perumusan masalah ............................................................................................... iv

 Tujuan penulisan ..................................................................................................... iv

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 1

 A.Sejarah Singkat Peradilan Agama.................................................................. 1

 B.Orientasi pengertian Peradilan Agama Indonesia ................................. 4

 C.Sumber Sumber Hukum Peradilan Agama ................................................ 6

 D. Tugas Pokok Fungsi Peradilan Agama ....................................................... 8

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 10

 Kesimpulan ................................................................................................................ 10

 Saran ............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 11


iii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009.

Pengadilan Agama selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas pokok dan

fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

orang- orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota

pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam

dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan

penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk

Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka

kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum

Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga

peradilan yang berdasarkan hukum Islam


iv

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimana isi Orientasi Peradilan Agama Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

1.Untuk Mengetahui Seperti Apa Orientasi Peradilan Agama Indonesia

E.Manfaat Penelitian

1.Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan mahasiswa

terhadap pembelajaran Hukum acara peradilan agama yaitu Orientasi Peradilan

Agama Indonesia
1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Peradilan Agama

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota

pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam

dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan

penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk

Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka

kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum

Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga

peradilan yang berdasarkan hukum Islam .

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para

penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang

pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid,

sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini

dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang

kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai

bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.

Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai

muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara,

tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan

agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga
2

peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan

umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua

aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama

akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang

berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena

tidak menerapkan hukum Islam.

Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan

hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi

Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan

agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan

peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya

lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan

pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan).

Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali :

223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai

dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882

Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan

agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan "preisterraacf' tetap

daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan

keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2),

dan hukum Islam sebagai pegangannya.


3

Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan

Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indone¬sia. Undang-undang

ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :

Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang

Maha Esa";

Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us

aha Negara;

Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.

Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris,

administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang

bersangkutan.

Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-

masing diatur dalam undang-undang tersendiri.

Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi

kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan

peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka¬winan

memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak

ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-
4

undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).ada

ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-

undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

B. Orientasi pengertian Peradilan Agama Indonesia

Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di

Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili

perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam

struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di

tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan

kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan

oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara- antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi

syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.

Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah

diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
5

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Undang Undang

Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan agama

merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur

dalam undang undang. Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa

kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh

pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.

1, Konsep Dasar Peradilan agama Islam

Menurut Muhammad Salam Madkur dalam bukunya Al-Qadla Fi Al-

Islam (1993: 20), Dalam bahasa Arab, Peradilan dikenal dengan Al-Qadla, yang

berarti putus atau selesai. Sedangkan menurut pandangan ahli fiqih yaitu

"menyampaikan hukum Syar'I dengan jalan percepatan".

Didalam kamus besar Bahasa Indonesia peradilan adalah segala sesuatu

mengenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki pengertian yang

banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses

mengadili; keputusan hakim ketika mengadili perkara

Dasar penyelenggaraan peradilan khususnya peradilan islam, antara lain :

(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan

khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara


6

manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena

akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.

- QS. Shaad : 26

C. Sumber Sumber Hukum Peradilan Agama

A. Sumber Hukum Materill

Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan

hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum materil

peradilan agama adalah hukum Islam (yang biasanya disebut fiqh) Hukum materiil

Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum

Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap

ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda,

sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama,

maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum,

maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan

Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa, untuk

mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara,

maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar

menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain; 1. Al-Bajuri; 2. Fatkhul

Mu’in; 3. Syarqawi ‘Alat Tahrir; 4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali; 5. Fatkhul

wahbah; 6. Tuhfah; 7. Targhib al-Mustaq; 8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;


7

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah; 10. Syamsuri li Fara’id; 11. Bughyat al-

Musytarsyidin; 12. al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah; 13. Mughni al-Muhja

2. Sumber Hukum Formil

yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan

hukum materiil. dengan kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai

caracara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan tata carahakim

memberi putusan. Sumber hukum formil di peradilan agama adalah:

1. Inlandsh Reglement (IR) Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk

golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah

beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya

menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen

Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor

16 dan Stb. 1941 nomor 44.

2. Peraturan Perundang-undangan 1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947

tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura

sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg. 2) Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat

beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di

Indonesia. 3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung

RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang

berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung . 4)

Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah


8

dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan

kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di

lingkungan Pradilan Umum tersebut. 5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana

Undang-undang perkawinan tersebut. 6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989

jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan

bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan

hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus

dalam UU ini. 7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan

Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan,

Kewarisan dan Wakaf.

D. Tugas Pokok Fungsi Peradilan Agama

Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara

ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang

perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam, serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-

undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai

fungsi sebagai berikut :

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan

bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi .


9

2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi

dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya .

3. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di

lingkungan Pengadilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan

kecuali biaya perkara)

4. Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum

Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta

sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama

5. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan

pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang

beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana

diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama .

6. Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan

deposito/ tabungan, pensiunan dan sebagainya .

7. Pelaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan

hukum, pelaksanaan hisab rukyat, pelayanan riset/penelitian dan

sebagainya.
10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota

pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam

dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan

penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk

Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka

kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum

Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga

peradilan yang berdasarkan hukum Islam sehingga terbentuk lah Pengadilan

Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat

dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah,

sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun

2009 tentang Peradilan Agama.

B. Saran

Kita sebagai umat beragama hendak nya menaati aturan yg di buat oleh

pemerintah maka dari itu umat islam di harus kan ke peradilan agama agar dapat

menyelesaikan perkara di pengadilan agama perkawinan, kewarisan, wasiat dan

hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,


11

DAFTAR PUSTAKA

Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar


Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta:Gema Insani Pers.

Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek,


Bandung:Rosdakarya

Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,


UndangUndang Nomor 7 tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1989

Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1998

Anda mungkin juga menyukai