PENJAJAHAN DI INDONESIA
Oleh :
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Shalawat teriring salah juga tidak lupa kami panjatkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan juga kita selaku umat beliau yang selalu
senantiasa mengikuti jejak langkahnya.
Kami menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Baik dari segi
penulisan ataupun isi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan
saran yang dapat membangun, sehingga kami dapat memperbaiki segala kekurangan dan
kesalahan.
Harapan kami. Semoga makalah ini bisa bermanfaat kami dan bagi rekan-rekan semua.
Aamiiin.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua jenis peradilan,
yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurus perkara-
perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu mengurusi perkara-
perkara yang bukan menjadi urusan raja.1
Apabila di tinjau dari segi materi hukumnya, Peradilan Pradata bersumber pada
hukum Hindu, sedangkan Peradilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli.
Aturan-aturan hukum Peradilan Pradata dituliskan di dalam Kitab Hukum pada masa
itu, sehingga menjadi hukum tertulis. Sedangkan Peradilan Padu bersumber pada
hukum kebiasaan atau dalam praktik sehari-hari, sehingga menjadi hukum tidak
tertulis.
Setelah masuknya agama Islam ke Indonesia yang dibawa langsung oleh para
saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus seorang penyiar agama
Islam. Maka dalam praktik sehari-hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan
aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab Fiqih. Di dalamnya
termuat aturan dan tata cara ibadah, baik itu ibadaha mahdhoh ataupun ghoir mahdhoh.
Dalam literatur fiqih Islam peradilan biasa disebut dengan istilah qadha. Pada
masa-masa awal masuknya Islam ke Indonesia, qadha masih belum dapat dilaksanakan
sepenuhnya. Alhasil, dalam menyelasaikan perkara-perkara antar penduduk yang
beragama Islam di selesaikan melalui tahkim.
1
Thesna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, Pen. Vernius NV, 1978, hal. 16
3
menjadi bentuk tauliyah (pengangkatan) dari ahlul hali wal aqdi. Bentuk tahkim ini
dapat di tinjau ketika pemerintah hindia Belanda mulai menyerahkan sebagian
wewenang peradilan kepada para sultan atau raja. Menurut Imam Al-Mawardi Ahlul
Hali wal Aqdi adalah mereka para hakim, ‘ulama, pemimpin dan para penanggung
jawab perdamaian dan berbagai permasalahan lainnya.
Hanya saja, bentuk tauliyah dari ahlul hali wal aqdi ini juga terganti ketika
kerajaan-kerajaan Islam mulai banyak berdiri di Indonesia, bentuk tauliyah ini di ganti
menjadi dari imam sebagai kepala negara, maka lebih jelas lagi dengan keberadaan
instansi yang mengurus kepentingan bersama kaum muslimin. Sejak itu, lembaga
peradilan menjadi lebih formal dan konkret. Dimana para hakim di angkat langsung
oleh para sultan atau raja di daerahnya masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah di tuliskan di atas, ada beberapa hal yang menjadi
rumusan masalah pada makalah ini, yaitu:
a. Bagaimana Peradilan Islam pada masa Kesultanan di Indonesia?
b. Bagaimana Peradilan Islam pada masa Penjajahan di Indonesia?
4
BAB 2
PEMBAHASAN
Pada masa Sultan Agung memerintah (1613-1645), hukum Islam hidup dan
berpengaruh besar di kerajaan itu. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan berubahnya
tata hukum di Mataram, yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan
keselamatan kerajaan. Istilah pengadilan untuk ini adalah Kisas. Satu istilah yang
sebenarnya dalam bahasa aslinya. Kerajaan ini tidak sepenuhnya menerapkan hukum
2
Samsul Whidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1,(Jakarta:
Akademika Pressindo, 1984), hal. 24
3
Cik Hasan Basri, MS., Peradilan Agama di Indonesia. Cet.3, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000) hal. 113
5
pidana Islam. Hukum pidana hanya diterapkan dalam masalah Bughah
(pemberontakan).
Tak hanya di daerah kekuasan Sultan Agung saja, tetapi di pesisir sebelah utara
Jawa, utamanya di Cirebon hukum Islam utamanya yang berhubungan dengan masalah-
masalah kekeluargaan amat banyak berpengaruh. Tercatat di Priangan misalnya,
adanya Pengadilan pengadilan Agama yang mengadili perkara yang dewasa ini masuk
kepada masalah-masalah subversif. Pengadilan ini merupakan suatu peradilan yang
mengambil pedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh penghulu, yang tentu
saja adalah pemuka-pemuka agama di kerajaan.
Pengadilan Pradata, yang ada pada saat itu diubah menjadi Pengadilan Surambi,
yang dilaksanakan di serambi-serambi mesjid. Pemimpin pengadilan, mekipun
prinsipnya masih tetap di tangan Sultan telah beralih ke tangan penghulu yang di
dampingi beberapa orang alim ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota
majelis. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam
mengambil keputusan yang bertentangan dengan Pengadilan Surambi.
c. Kerajaan/Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan
Kerajaan Banjar tercatat sebagai suatu kerajaan besar yang memeluk Islam.
Awal KeIslaman itu mulanya tentu dari seseorang ke orang lain, tetapi akhirnya
menemukan penyebaran yang mantap adalah ketika masuk Islamnya Sultan
Banjar,yang sebelumnya bernama Pangeran Samudera berganti nama menjadi
Pangeran Suriansyah. Pangeran Samudera menjanjikan dirinya akan masuk Islam, jika
menang berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung, setelah mendapat
bantuan dari kerajaan di Jawa.
Dengan masuk Islamnya raja, perkembangan selanjutnya tidak begitu sulit,
karena ditunjang oleh fasilitas serta kemudahan lainnya yang akhirnya membawa
kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam.
Demikian juga seperti sebagian masuknya Islam di Indonesia, yang datangnya
lebih belakang dari agama Hindu, maka konsepsi hukum yang dianut di kerajaan Banjar
inipun nampaknya juga tidak murni berdasarkan Qur’ân dan As-Sunnah. Sebab di
Kalimantan Selatan, Sebelum kehadiran Islam juga subur adat istiadat lama yang
sifatnya animisme, ini merupakan tantangan para pendakwah yang tak kenal lelah untuk
mengikis setiap hadirnya ajaran yang bertentangan dengan Islam.
Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-
qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugasmereka,
terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan
hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah
hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau dikenal
dengan Had.
Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang
Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang
kedapatan melakukan zina.
6
Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam
bentuk sederhana, aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum
Islam, kodifikasi itu dikenal kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang
kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai ‘Ulul Amri kaum muslimin
di seluruh kerajaan.
d. Kerajaan/Kesultanan Sulawesi
Sistem peradilan pada kerajaan Riau telah tertata dengan rapi pada masa Raja
Ali. Lembaga peradilan mempunyai kelengkapan layaknya sebuah pengadilan dimasa
sekarang. Peradilan terdiri dari, Mahkamah Kerajaan yang bertugas menyelesaikan
sengketa dalam kerajaan dan Mahkamah Kecil yang bertugas menangani setiap
permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Untuk masing- masing mahkamah itu
diangkat tiga orang Qadhi yang menangani perkara mu’amalah, jinayah dan
munakahat.
4
Zuffran Sabri (ed), Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan
Undang-undangya, (Jakarta: Departemen Agama, 1996), hal. 5
7
a. Pada Masa Penjajahan Belanda
Dalam kegiatan agama dalam arti yang sebenarnya (agama dalam arti
sempit), Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan
8
secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya.
Dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah Hindia Belanda hendaknya
menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan
membuka jalan yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan kepada
suatu kemajuan denga memberikan bantuan kepada mereka.
Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau
menghubungkan ke arah gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan
untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi
Pemerintah Hindia Belanda.
Dizaman Daendels perubahan masih belum dimulai.Dimasa itu muncul lah
pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam adalah hukum asli pribumi. Karena
pendapat itu, mulailah Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa
hukum agama oramg Jawa tidak boleh diganggu dan hak-hak penghulu mereka untuk
memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan an kewarisan harus diakui oleh
alat kekuasaan pemerintah Belanda.
Konflik antara tiga sistem hukum di Indonesia pada awal di gerakkan oleh
kebutuhan kebutuhan kolonialisme masa itu,dan konflik berkembang selama masa
pendudukan kolonial belanda karena dua sistem hukum (barat dan adat) di sokong
sepenuhnya oleh penguasa pada waktu itu. Hal ini dapat di lihat dari pada politik hukum
yang diskriminatif terhadap hukum islam.5
b. Pada Masa Penjajahan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten diyatakan kalah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengumumkan berbagai peraturan.Salah satu diantaranya adalah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menyatakan bahwa Pemerintah Jepang
melanjutkan segala kekuasaan yang sebelumnya ditangani oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Kepastian baru ini tentu saja berkaitanpada tetapnya posisi
keberlangsungan hukum Islam begitu juga kondisi terakhirnya di masa pendudukan
Belanda.6
Kendati demikian, Pemerintah kolonial Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk memikat simpati umat Islam di Indonesia. Yaitu sebagai berikut:
Janji Panglima Militer Jepang dalam melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin dan di
kelola oleh bangsa Indonesia sendiri.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
5
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hal. 37
6
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2006), hlm. 76
9
Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1945.
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat,
Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk memberikan laporan tentang hal
itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian,hampir tidak ada perubahan penting bagi kedudukan hukum
Islam selama masa kolonial Jepang di Tanah air.Tapi bagaimanapun juga, masa
kolonial Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para
pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,”Kebijakan pemerintah Belanda
telah memperlemah posisi Islam.Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama
yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam.Belanda menjalankan
kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam.Ketika pasukan Jepang datang,
mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat
dimanfaatkan”.
10
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Periode tahkim inilah yang merupakan embrio lahirnya Peradilan Agama. Dalam
proses perjalanannya, peradilan agama telah mampu menunjukan bahwa hukum Islam
adalah salah satu bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.
11
DAFTAR PUSTAKA
Thesna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, Pen. Vernius NV, 1978
12