Anda di halaman 1dari 13

PERADILAN ISLAM PADA MASA KESULTANAN DAN PADA MASA

PENJAJAHAN DI INDONESIA

Disusum untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pengantar Peradilan Islam
Dosen Pengampu : Milda Handayani Awaliyah, S.H.,M.H.

Oleh :

 Tanamara Esa Musta’in


 Pian Handayani

SEMESTER II / PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
TASIKMALAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.

Shalawat teriring salah juga tidak lupa kami panjatkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan juga kita selaku umat beliau yang selalu
senantiasa mengikuti jejak langkahnya.

Kami menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Baik dari segi
penulisan ataupun isi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan
saran yang dapat membangun, sehingga kami dapat memperbaiki segala kekurangan dan
kesalahan.

Harapan kami. Semoga makalah ini bisa bermanfaat kami dan bagi rekan-rekan semua.
Aamiiin.

Tasikmalaya, Februari 2021

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... 2
BAB 1 ................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 4
BAB 2 ................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 5
A. Peradilan Islam Pada Masa Kesultanan di Indonesia .......................................................... 5
a. Kerajaan/Kesultanan Samudra Pasai ............................................................................... 5
b. Kerajaan/Kesultanan Mataram ......................................................................................... 5
c. Kerajaan/Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan ...................................................... 6
d. Kerajaan/Kesultanan Sulawesi .......................................................................................... 7
e. Kerajaan/Kesultanan Raja Ali Haji di Riau ..................................................................... 7
B. Peradilan Islam Pada Masa Penjajahan di Indonesia .......................................................... 7
a. Pada Masa Penjajahan Belanda......................................................................................... 8
b. Pada Masa Penjajahan Jepang .......................................................................................... 9
BAB 3 ................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ......................................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 12

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua jenis peradilan,
yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurus perkara-
perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu mengurusi perkara-
perkara yang bukan menjadi urusan raja.1

Apabila di tinjau dari segi materi hukumnya, Peradilan Pradata bersumber pada
hukum Hindu, sedangkan Peradilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli.
Aturan-aturan hukum Peradilan Pradata dituliskan di dalam Kitab Hukum pada masa
itu, sehingga menjadi hukum tertulis. Sedangkan Peradilan Padu bersumber pada
hukum kebiasaan atau dalam praktik sehari-hari, sehingga menjadi hukum tidak
tertulis.

Setelah masuknya agama Islam ke Indonesia yang dibawa langsung oleh para
saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus seorang penyiar agama
Islam. Maka dalam praktik sehari-hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan
aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab Fiqih. Di dalamnya
termuat aturan dan tata cara ibadah, baik itu ibadaha mahdhoh ataupun ghoir mahdhoh.

Dalam literatur fiqih Islam peradilan biasa disebut dengan istilah qadha. Pada
masa-masa awal masuknya Islam ke Indonesia, qadha masih belum dapat dilaksanakan
sepenuhnya. Alhasil, dalam menyelasaikan perkara-perkara antar penduduk yang
beragama Islam di selesaikan melalui tahkim.

Penyelesaian melalui tahkim ini di lakukan dengan cara, menyerahkan secara


sukarela suatu perkara kepada seorang ahli agama atau ‘ulama untuk diselesaikan
dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak yang bersengketa akan mematuhi
keputusan yang di berikan oleh ahli agama itu.

Bentuk tahkim adalah periode pertama terbentuknya lembaga peradilan agama


di Indonesia. Setelah agama Islam mulai berkembang lembaga peradilan berubah

1
Thesna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, Pen. Vernius NV, 1978, hal. 16
3
menjadi bentuk tauliyah (pengangkatan) dari ahlul hali wal aqdi. Bentuk tahkim ini
dapat di tinjau ketika pemerintah hindia Belanda mulai menyerahkan sebagian
wewenang peradilan kepada para sultan atau raja. Menurut Imam Al-Mawardi Ahlul
Hali wal Aqdi adalah mereka para hakim, ‘ulama, pemimpin dan para penanggung
jawab perdamaian dan berbagai permasalahan lainnya.

Hanya saja, bentuk tauliyah dari ahlul hali wal aqdi ini juga terganti ketika
kerajaan-kerajaan Islam mulai banyak berdiri di Indonesia, bentuk tauliyah ini di ganti
menjadi dari imam sebagai kepala negara, maka lebih jelas lagi dengan keberadaan
instansi yang mengurus kepentingan bersama kaum muslimin. Sejak itu, lembaga
peradilan menjadi lebih formal dan konkret. Dimana para hakim di angkat langsung
oleh para sultan atau raja di daerahnya masing-masing.

Ketika pemerintah hindia mulai sadar, apabila masyarakat Indonesia di biarkan


hidup dalam hukumnya sendiri yaitu hukum Islam. Karena pada saat itu, hukum Islam
merupakan satu-satunya sistem hukum yang dijalankan dan menjadi kesadaran hukum
yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat Indonesia. Maka pemerintah
Belanda menjadi merasa terancam. Maka dari itu, mereka berupaya untuk memisahkan
rakyat yang beragama Islam dari ajaran Islam, salah satunya dalam bidang hukum.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah di tuliskan di atas, ada beberapa hal yang menjadi
rumusan masalah pada makalah ini, yaitu:
a. Bagaimana Peradilan Islam pada masa Kesultanan di Indonesia?
b. Bagaimana Peradilan Islam pada masa Penjajahan di Indonesia?

4
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Peradilan Islam Pada Masa Kesultanan di Indonesia


a. Kerajaan/Kesultanan Samudra Pasai

Sejarah Islam mencatat Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di


Indonesia. Kerajaan ini berdiri setelah Rajendra I dari India 102-1024 tidak berhasil
menundukkan daerah itu. Pada saat Raja kehilangan simpati penduduk setempat
sehingga menyebabkan kekalahannya. Tercatat Malikus Saleh adalah raja yang
menduduki tahta. Raja inilah yang pertama kali sebagai penguasa beragama Islam,
dengan kerajaannya yang bernama Samudera Pasai.2 Kerajaan ini adalah salah satu
kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam.
Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan paham Syafi’i ke kerajaan-
kerajaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri
(1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk
meminta keputusan mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
masyarakat.
Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan
secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung
yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan
sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang
(pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas
Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara,dan Faqih
(ulama).3
Pelaksanaan Pengadilan Islam telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti
pelaksanaan hukuman rajam untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti
melakukan zina. Pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan ini tidak mengenal jabatan
atau golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa apabila terbukti
melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.
b. Kerajaan/Kesultanan Mataram

Pada masa Sultan Agung memerintah (1613-1645), hukum Islam hidup dan
berpengaruh besar di kerajaan itu. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan berubahnya
tata hukum di Mataram, yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan
keselamatan kerajaan. Istilah pengadilan untuk ini adalah Kisas. Satu istilah yang
sebenarnya dalam bahasa aslinya. Kerajaan ini tidak sepenuhnya menerapkan hukum

2
Samsul Whidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1,(Jakarta:
Akademika Pressindo, 1984), hal. 24
3
Cik Hasan Basri, MS., Peradilan Agama di Indonesia. Cet.3, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000) hal. 113
5
pidana Islam. Hukum pidana hanya diterapkan dalam masalah Bughah
(pemberontakan).
Tak hanya di daerah kekuasan Sultan Agung saja, tetapi di pesisir sebelah utara
Jawa, utamanya di Cirebon hukum Islam utamanya yang berhubungan dengan masalah-
masalah kekeluargaan amat banyak berpengaruh. Tercatat di Priangan misalnya,
adanya Pengadilan pengadilan Agama yang mengadili perkara yang dewasa ini masuk
kepada masalah-masalah subversif. Pengadilan ini merupakan suatu peradilan yang
mengambil pedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh penghulu, yang tentu
saja adalah pemuka-pemuka agama di kerajaan.
Pengadilan Pradata, yang ada pada saat itu diubah menjadi Pengadilan Surambi,
yang dilaksanakan di serambi-serambi mesjid. Pemimpin pengadilan, mekipun
prinsipnya masih tetap di tangan Sultan telah beralih ke tangan penghulu yang di
dampingi beberapa orang alim ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota
majelis. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam
mengambil keputusan yang bertentangan dengan Pengadilan Surambi.
c. Kerajaan/Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan

Kerajaan Banjar tercatat sebagai suatu kerajaan besar yang memeluk Islam.
Awal KeIslaman itu mulanya tentu dari seseorang ke orang lain, tetapi akhirnya
menemukan penyebaran yang mantap adalah ketika masuk Islamnya Sultan
Banjar,yang sebelumnya bernama Pangeran Samudera berganti nama menjadi
Pangeran Suriansyah. Pangeran Samudera menjanjikan dirinya akan masuk Islam, jika
menang berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung, setelah mendapat
bantuan dari kerajaan di Jawa.
Dengan masuk Islamnya raja, perkembangan selanjutnya tidak begitu sulit,
karena ditunjang oleh fasilitas serta kemudahan lainnya yang akhirnya membawa
kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam.
Demikian juga seperti sebagian masuknya Islam di Indonesia, yang datangnya
lebih belakang dari agama Hindu, maka konsepsi hukum yang dianut di kerajaan Banjar
inipun nampaknya juga tidak murni berdasarkan Qur’ân dan As-Sunnah. Sebab di
Kalimantan Selatan, Sebelum kehadiran Islam juga subur adat istiadat lama yang
sifatnya animisme, ini merupakan tantangan para pendakwah yang tak kenal lelah untuk
mengikis setiap hadirnya ajaran yang bertentangan dengan Islam.
Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-
qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugasmereka,
terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan
hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah
hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau dikenal
dengan Had.
Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang
Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang
kedapatan melakukan zina.

6
Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam
bentuk sederhana, aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum
Islam, kodifikasi itu dikenal kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang
kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai ‘Ulul Amri kaum muslimin
di seluruh kerajaan.
d. Kerajaan/Kesultanan Sulawesi

Di Sulawesi, integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintah


kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Kerajaan yang mula-mula menerima
Islam dengan resmi adalah kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan.
Kemudian menyusul kerajaan Gowa yang muncul sebagai kerajaan terkuat dan
mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya. Melalui kekuasaan politik dalam
struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ (pejabat syari’at) yang berkedudukan
sama dengan Parewa Adek (pejabat adek) yang sebelum datangnya Islam telah ada
(pengadilan tingkat II).
Parewa syara’ dipimpin oleh Kali (Kadli), yaitu pejabat tertinggi dalam syariat
Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan (pengadilan tingkat III). Di masing-masing
Paleli diangkat pejabat bahwan yang disebut imam serta dibantu oleh seorang khatib
dan seorang Bilal (Pengadilan tingkat I).
Para Kadi dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang diambilkan dari zakat
harta, sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan
penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan raja Gowa XV
(1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang
menjadi hakim agama Islam.4
e. Kerajaan/Kesultanan Raja Ali Haji di Riau

Sistem peradilan pada kerajaan Riau telah tertata dengan rapi pada masa Raja
Ali. Lembaga peradilan mempunyai kelengkapan layaknya sebuah pengadilan dimasa
sekarang. Peradilan terdiri dari, Mahkamah Kerajaan yang bertugas menyelesaikan
sengketa dalam kerajaan dan Mahkamah Kecil yang bertugas menangani setiap
permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Untuk masing- masing mahkamah itu
diangkat tiga orang Qadhi yang menangani perkara mu’amalah, jinayah dan
munakahat.

B. Peradilan Islam Pada Masa Penjajahan di Indonesia

4
Zuffran Sabri (ed), Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan
Undang-undangya, (Jakarta: Departemen Agama, 1996), hal. 5
7
a. Pada Masa Penjajahan Belanda

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat


dilihat kedalam dua bentuk.Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang
memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya
upaya Intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan
hukum adat.
Pada waktu VOC di beri kekuasaan oleh Pemerintah Belanda untuk mendirikan
benteng–benteng dan mengadakan perjanjian – perjanjian dengan raja-raja kepulauan
Indonesia, VOC membentuk badan – badan peradilan khusus pribumi di daerah
kekuasaannya. Dalam Statuta Batavia tahun 1642 disebutkan, bahwa mengenai soal
kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam.
Pada tanggal 31 Desenber 1799 Organisasi VOC dibubarkan karena mengalami
kebangkrutan.Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka
sikap belanda berubah-ubah terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu tejadi
perlahan-lahan.Perubahan sikap Belanda tersebut dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama,
menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup
kaya.Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan
proyek kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang di sebut
dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin
menata dan mengubah kehidupan hukum di indonesia dengan hukum Belanda.
Terkait mengenai keberlakuan hukum Islam di kalangan masyarakat Indonesia
ini muncul berbagai teori, yang mana yang satu dengan yang lain sering tidak sesuai.
Ada tiga macam teori, yaitu: receptio in complexu, teori receptie dan teori receptie balik
(receptie a contrario).
Teori receptio in complexu menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan
berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka
Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan Agama yang di
tujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Teori ini kemudian di
tentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu
teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan selama tidak
bertentangan dengan hukum adat.
Teori receptie ini berdasar dari keinginan Snouck Hurgronje mencegah orang-
orang pribumi rakyat jajahan tidak terlalu kuat memegang ajaran agama Islam, sebab
pada umumnya orang-orang yang memegang kuat ajaran Islam dan hukum Islam tidak
mudah di pengaruhi oleh peradaban barat.Oleh karna itulah ia memberikan saran
kepada Pemerintahan Hindia Belanda untuk mengurus Islam di indonesia dengan
berusaha menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan
pemerintahan Hindia Belanda dengan menempuh kebijakan sebagi berikut:

 Dalam kegiatan agama dalam arti yang sebenarnya (agama dalam arti
sempit), Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan

8
secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya.
 Dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah Hindia Belanda hendaknya
menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan
membuka jalan yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan kepada
suatu kemajuan denga memberikan bantuan kepada mereka.
 Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau
menghubungkan ke arah gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan
untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi
Pemerintah Hindia Belanda.
Dizaman Daendels perubahan masih belum dimulai.Dimasa itu muncul lah
pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam adalah hukum asli pribumi. Karena
pendapat itu, mulailah Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa
hukum agama oramg Jawa tidak boleh diganggu dan hak-hak penghulu mereka untuk
memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan an kewarisan harus diakui oleh
alat kekuasaan pemerintah Belanda.
Konflik antara tiga sistem hukum di Indonesia pada awal di gerakkan oleh
kebutuhan kebutuhan kolonialisme masa itu,dan konflik berkembang selama masa
pendudukan kolonial belanda karena dua sistem hukum (barat dan adat) di sokong
sepenuhnya oleh penguasa pada waktu itu. Hal ini dapat di lihat dari pada politik hukum
yang diskriminatif terhadap hukum islam.5
b. Pada Masa Penjajahan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten diyatakan kalah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengumumkan berbagai peraturan.Salah satu diantaranya adalah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menyatakan bahwa Pemerintah Jepang
melanjutkan segala kekuasaan yang sebelumnya ditangani oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Kepastian baru ini tentu saja berkaitanpada tetapnya posisi
keberlangsungan hukum Islam begitu juga kondisi terakhirnya di masa pendudukan
Belanda.6
Kendati demikian, Pemerintah kolonial Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk memikat simpati umat Islam di Indonesia. Yaitu sebagai berikut:
 Janji Panglima Militer Jepang dalam melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
 Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin dan di
kelola oleh bangsa Indonesia sendiri.
 Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

5
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hal. 37
6
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2006), hlm. 76
9
 Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1945.
 Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
 Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat,
Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk memberikan laporan tentang hal
itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian,hampir tidak ada perubahan penting bagi kedudukan hukum
Islam selama masa kolonial Jepang di Tanah air.Tapi bagaimanapun juga, masa
kolonial Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para
pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,”Kebijakan pemerintah Belanda
telah memperlemah posisi Islam.Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama
yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam.Belanda menjalankan
kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam.Ketika pasukan Jepang datang,
mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat
dimanfaatkan”.

10
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pelaksanaan peradilan Islam di Indonesia pada mulanya telah di laksanakan oleh


kerajaan atau kesultanan yang ada di Indonesia. Meskipun tidak semua kerajaan
menerapkan hukum Islam murni, tetapi pelaksanaan hukum Islam telah berbaur dengan
pelaksanaan hukum yang telah ada di tengah masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat
Islam Indonesia sangatlah tinggi, sehingga pada tingkat awal, apabila terjadi perselisihan
atau sengketa hukum, khususnya hukum keluarga Islam pada masa itu, masyarakat
mempercayakan permasalahannya pada ahli Agama atau ‘ulama setempat, yang di sebut
dengan istilah tahkim.

Periode tahkim inilah yang merupakan embrio lahirnya Peradilan Agama. Dalam
proses perjalanannya, peradilan agama telah mampu menunjukan bahwa hukum Islam
adalah salah satu bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.

11
DAFTAR PUSTAKA

Khisni, H.A. Hukum Peradilan Agama. Semarang:Unissula Press,2011

Thesna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, Pen. Vernius NV, 1978

Whidin,Samsul & Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di


Indonesia, Cet. 1,Jakarta: Akademika Pressindo, 1984

MS,Basri, Hasan, Cik. Peradilan Agama di Indonesia. Cet.3, Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2000

Sabri, Zuffran (ed). Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan


Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-undangya. Jakarta: Departemen Agama, 1996

Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Gema Insani


Press,1996

Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia,


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006

12

Anda mungkin juga menyukai