ين لَ ْو َتَر ُك وا ِم ْن َخ ْل ِف ِه ْم ذُِّريَّةً ِض َعافًا َخ افُوا َعلَْي ِه ْم َف ْليََّت ُق وا اللَّهَ َولَْي ُقولُوا َق ْواًل ِ َّ ولْيخ
َ ش الذَ َْ
ِد ًيدا َس
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
Hadirin ma’asyirol mu’minin rohimakumullah
Menurut ilmu balaghoh, kalimat “ ش
َ ولْيَ ْخ “ dalam ayat tadi merupakan InsyaIyyah
Tholabi karena di dalamnya terdapat amr atau perintah. Menurut kaidah ushul fiqih
“ ”
Pada dasarnya perintah bermaknakan wajib.
Syekh Abu Syanashihabudin Mahmud Al-Anusi, di dalam kitab tafsirnya Ruuhul Ma’ani fi
tafsiril Qur’anil Adzimi Wa Sab’il Basyari Juz 4, halaman 213 menafsirkan ayat tadi.
“Ai bi anyakhsyallaha ta’ala au yakhofu ‘ala auladihim”
Hendaknya kita takut kepada Allah atau khawatir terhadap nasib anak-anak keturunan kita.
Dengan demikian hadirin, wajib bagi kita semua untuk merasa khawatir dan takut kepada
Allah jika generasi mendatang menjadi generasi yang lemah. Karena sudah barang tentu
persaingan dan tantangan di masa depan akan semakin berat dan ganas.
Alm Prof Dr BJ Habiebie, menyatakan. Ada lima kelemahan yang seharusnya kita hindari,
yakni lemah harta, lemah fisik, lemah ilmu, lemah semangat hidup, dan yang sangat di
takutkan adalah lemah aqidah.
Hadirin. Hidup di era globalisasi seperti sekarang. Nampaknya kita tidak asing lagi dengan
kata Westernisasi. Prof. Dr. Koentjaningrat seorang antropolog Indonesia dalam
pandangannya westernisasi diartikan sebagai suatu peniruan gaya hidup orang barat yang di
lakukan secara berlebihan, pergaulan, kebiasaan, proses gaya hidup dan lain sebagainya.
Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa westernasi tidak cocok untuk di pergunakan di
Indonesia yang notabene masyarakatnya masih memegang erat kehidupan dengan budaya.
Diantara jutaan pulau yang mengambang di bumi nusantara, Indonesia di warnai keragaman
suku bangsa, bahasa, dan budaya. Bahkan Quraish Shihab mengibaratkan bahwa tanah
Indonesia laksana tanah sorga yang dihamparkan di persada nusantara. Namun hadirin, akibat
dari kecongkakan kita sendiri, yang di bungkus tekhnologi dan westernisasi perlahan
mengikis senyum manis ibu pertiwi. Sehingga budaya terlupa bahkan tidak sedikit yang
merasa rendah diri, tanpa sadar negara dekat melirik adat pertiwi dengan hati-hati,
mengambil salah satunya dari tari sampai bernyanyi, tanpa kita sadari bahwa keutuhan
bangsa ini perlahan sirna termakan modernisasi.
Bahkan yang lebih parah lagi, para pemuda yang seharusnya menjadi tulang punggung suatu
negara malah terlena oleh gapleh dan remi, tenggak brendi dan wiski, demoralisasi,
dehumanisasi, dan despiritualisasi kian menjadi-jadi. Hadirin. Hal ini sudah sangat jelas
tergambarkan di realita kehidupan masa kini. Dan bahkan akibat dari westernasi itu sendiri,
melahirkan sifat individual sehingga melupakan rasa-rasa kemanusiaan, pemerintah pun
sudah lupa akan keadilan mereka akan melakukan apapun dengan kekuasaannya asalkan apa
yang di inginkan bisa di dapatkan. Sehingga pembangunan yang mereka janjikan, namun
justru pembantaian yang kita rasakan.
Naudzubillahi mindzalik
Lantas. Apakah tugas kita sebagai generasi islami di era globalisasi ini harus menutup diri
dari modernisasi ? jawabannya tidak. Karena sesungguhnya badai modernisasi yang terus
menerjang tanpa henti akan bisa di atasi. Sebagaimana yang termaktub dalam kaidah ushul
fiqih yang begitu masyhur di pesantren Indonesia.