Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

PERADILAN DI INDONESIA

”PERKEMBANGAN SINGKAT PERADILAN DI INDONESIA”

DOSEN PENGAMPUH :

Drs. Syafrudin Katili, M. HI

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK III:

SUSANTI R. NANU

GISANTRI MOKOGINTA

WIDYA RISNI ANGGRAINI

RAHMAN LONGA

JURUSAN AKHWAL SYAKSYIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SULTAN AMAI GORONTALO

2020
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
”PERKEMBANGAN SINGKAT PERADILAN DI INDONESIA”. Meskipun dalam hal ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan.

Berkat segala daya dan kemampuan yang ada, serta dorongan, bimbingan dan fasilitas yang
digunakan, dirasakan telah mampu menyelesaikan makalah ini, namun kami menyadari didalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan disana sini yang perlu dibenahi,
untuk itu demi kesempurnaan makalah ini tak lupa kami mengharapkan kritikan dan saran dari
berbagai pihak yang sifatnya membangun.

Akhirnya kami berharap semoga Tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi
kami. Semoga semua partisipasi akan memperoleh imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Amin…,

Gorontalo, 17 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................


DAFTAR ISI...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
A.Latar Belakang.....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A.Peradilan Pada Masa Sebelum Datangnya Belanda.............................................
B.Peradilan Pada Masa Penjajahan Belanda............................................................
C.Peradilan Pada Masa Penjajahan Jepang………………………………………...
D. Peradilan Pada Masa Kemerdekaan RI Hingga Sekarang……………………..
BAB III PENUTUP........................................................................................................
Kesimpulan.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Adanya peradilan merupakan salah satu syaratsebuah negara untuk menjadi negara hukum dan
Indonesia yang konstitusinya menamakan dirinya sebagai negara hukum wajib memiliki hal ini, oleh
sebab itu peran lembaga peradilanyang diperlakukan di Indonesiasangatlah penting, apakahlembaga
tersebut menjalankan sistem peradilan dengan baik dan tidak memihakserta bagaimana bentuk-bentuk
pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.

Perkembangan lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah ada sebelum BangsaBelanda


datang ke Indonesia, kita telah memiliki berbagai macam lembaga peradilan yang dipimpin oleh raja
sekalipun susunan dan jumlahnya masih terbatas bila dibandingkan dengan yang ada sekarang ini.
Lembaga peradilan dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan
dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.

Ketika Bangsa Belanda masuk ke negara kita, mereka melakukan pemisahan pengadilan untuk
golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (Bangsa Indonesia).Namun pada
saat itu sudah ada pengklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiks (kekuasaan mengadili)
perkara yang mengadili.Hingga Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia, peradilan
terus mengalami perubahan dan perkembangan sampai saat ini.

Dalam makalah ini substansiyang akan dibahasadalah mengenai sejarahperkembanganperadilan


Indonesia sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memainkan
peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan
Negara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peradilan Pada Masa Sebelum Datangnya Belanda


Sejarah berdirinya lembaga pengadilan di Indonesia jauh sudah adasebelum penjajahan
Belanda. Kala itu dikenal adanya berbagai pengadilan yangdiselenggarakan kerajaan-kerajaan di
nusantara. Jika kita melihat ke belakang, ketika negara ini masih terpisah menjadiberbagai
kerajaan-kerajaan, adalah suatukenyataan oleh karena kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang
berdaulat adalah raja, yang berkuasa secaramutlak, dimana soal hidup dan mati rakyat ada pada
tangannya, makakekuasaan mengadili pun ada pada raja sendiri. Sebagai contoh di zaman
Kerajaan Kalingga, peradilan dipimpin sendiri oleh Ratu Shima yangmenghukum adiknya sendiri
karena melanggar aturan yang dibuat olehkerajaan.
Meskipun pada zaman kerajaanitu,yang berkuasa adalah mutlak pada raja dan
menjalankan peradilan adalahraja, tetapitidak dapat pula disangkal bahwa di Indonesia ketika itu,
tidaksemua perkara diadilioleh raja sebab pada tiap-tiap kesatuan hukum memilikikepala-kepala
adat dan daerah yang sekaligus juga dapat bertindak sebagaihakim perdamaian. Hal ini terbukti
dengan adanya penyelidikan sarjana Belandayang telah berhasil menunjukkan adanya suatu garis
pemisahan di antarapengadilan raja dengan pengadilan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
tertentu.Perkara-perkara yang menjadi urusan pengadilan raja disebut perkara Pradata,perkara-
perkara yang tidak menjadi urusan pengadilan raja disebut perkaraPadu.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, tidak saja tata hukum di Indonesiamengalami
perubahan tetapi perubahan itu terjadi pula pada lembagapengadilan. Khusus di Mataram
pengaruh Islam melalui kekuasaan Raja SultanAgung yang alim dan sangat menjunjung tinggi
agamanya telah melakukanperubahan. Perubahan ini pertama-tama diwujudkan khusus dalam
PengadilanPradata, yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan ini diubah menjadiPengadilan
Surambi. Oleh karena itu, pengadilan tidak lagi mengambil tempat diSitinggil, melainkan di
serambi mesjid agung. Dengan beralihnya pengadilanPradata ke Pengadilan Surambi, pimpinan
pengadilan meskipun di dalamprinsipnya masih berada di tangan raja, kenyataannya telah beralih
ke tanganPenghulu, yang dibantu dengan beberapa alim ulama sebagai aggota.
Namun,keadaan ini berubah kembali setelah Susuhan Amangkurat ke-1
yangmenggantikan Sultan Agung mengambil alih kembali tampuk pimpinanpengadilan raja
karena kurang suka kepada pemuka-pemuka islam sehinggaPengadilan Pradata dihidupkan
kembali.
B. Peradilan Pada Masa Penjajahan Belanda

Sejak kompeni mendirikan pemerintahan hindia belanda di Indonesia mereka menerapkan


dualism dalam system pengadilannya, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan pemerintah hindia belanda. System yang ditetapkan oleh belanda ini merujuk pada pasal
131 Indische Staatsregeling disingkat I.S.

Pemerintah hindia belanda dalam system dualismenya mereka membagi penduduk Indonesia
dalam tiga golongan antara lain: eropa/barat, cina/timur asing dan bumi putera (pribumi), hal ini telah
dinyatakan dalam pasal 163 I.S.

Konsekunsi dari pembagian ini adalah perbedaan dalam lembaga-lembaga peradilan berikut
hukum acaranya dengan pembagian sebagai berikut : pengadilan untuk pulau jawa dan Madura dengan
hukum acaranya Herziene Inlandscb Reglement disingkat HIR dan pengadilan untuk daerah-daerah di
luar pulau jawa dan Madura (pulau seberang) diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement
Buitengewesen atau Rbg.

Adapun susunan lembaga peradilannya adalah sebagai berikut:

1. Orang Eropa/Barat:
 Untuk pulau jawa dan Madura : Residentiegerecht, Raad van Justitie, Hooggerechtshof.
 Untuk pulau seberang : Residentiegerecht dan Raad van Justitie
2. Orang Bumi Putera :
 Untuk Pulau Jawa dan Madura : Districtsgerecht, Regentschapsgerecht, Landraad.
 Untuk Pulau Seberang : Negorijrechtbank ( hanya terdapat di desa negorij di ambon),
Districtsgerecht, Magistraatsgerecht merupakan pengadilan setingkat Landgerecht untuk
wilayah-wilayah yang tidak terdapat Landgerecht, Landgerecht memiliki kedudukan dan
susunan kelembagaan yang sama dengan Landraad di jawa, kecuali untuk daerah yang
kekurangan sarjana hukum diketuai oleh pegawai pemerintah belanda.
3. Orang Cina/Timur Asing : sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum
barat dengan beberapa pengecualian. Untuk golongan ini Hukum Perdata material yang berlaku
adalah Burgerlijk Wetboek-BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van
Kophandel-Wvk (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement
Acara Perdata (Rv).
Namun dalam beberapa kepentingan umum/sosial setiap golongan dapat berlaku hukum
golongan lain jika dibutuhkan.

Ada lembaga peradilan lain selain lembaga di atas yang di akui oleh pemerintahan hindia
belanda, hal ini berdasarkan pasal 130 dan 134 I.S :

 Peradilan Swapraja
 Peradilan Agama, ada 2 tingkat : untuk di pulau jawa dan Madura Raad agama (Priesterraad)
dan Mahkamah Tinggi Islam (Hof voo Islamietische), untuk luar pulau jawa dan Madura
hanya namanya yang berbeda sesuai daerahnya.
 Pengadilan Militer, ada 3 macam : Krijgsraad untuk Angkatan Darat, Zeekrijgsraad untuk
Angkatan Laut, dan Hoog Militair Gerechtshof sebagai pengadilan tingkat Banding dari
Krijgsraad dan Zeekrijgsraad.

C. Peradilan Pada Masa Penjajahan Jepang

1. Kondisi Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia.

Gerakan invasi Jepang, dimulai dengan menduduki daerah-daerah yang strategis. Pada 11 Januari
1942 Jepang pertama kali mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Pendaratan selanjutnya adalah di
Samarinda, Balikpapan, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Minahasa, Bali dan Ambon.
Dari daerah-daerah tersebutlah Jepang mengepung kekuatan Belanda yang berada di Jawa.

Gerakan Jepang ini dilanjutkan dengan membuat propaganda diantaranya adalah propaganda 3A
(Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia). Dengan propaganda ini
Jepang berhasil merebut perhatian masyarakat Indonesia agar ikut membantu untuk mengusir Belanda
yang telah menjajah tiga setengah abad lamanya. Dalam waktu yang singkat, Jepang mampu
menguasai daerah-daerah strategis di luar pulau jawa dan kemudian mendarat di teluk Banten, Eretan
Wetan dan Kragan untuk menaklukkan Batavia (Jakarta) dan Bandung[7].

Pada akhirnya Belanda tak kuasa lagi untuk mempertahankan Indonesia dan menyerah kepada
Jepang pada tanggal 7 Maret 1942. Penyerahan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral Teer
Porten kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura di Kalijati. Penyerahan tanpa syarat tersebut mulai
berlaku secara efektif sejak tanggal 9 Maret 1942, dan sejak saat itu Jepang mulai resmi menduduki
tanah air.
Sejak resmi menduduki Tanah Air, Jepang langsung membagi kekuasaan militer untuk
melakukan pertanahan dan mengatur susunan pemerintahan. Jepang membagi kekuasaan militer
menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipegang oleh Rigun (Angkatan Darat)
dan Kaigun (Angkatan Laut). Tiga wilayah tersebut adalah sebagai berikut :

 Didaerah Jawa dan Madura dengan pusatnya di Batavia yang berada dibawah kendali
Pasukan Angkatan Darat Jepang.
 Daerah Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu dengan pusatnya di Singapura yang juga
dibawah kendali Pasukan Angkatan Darat Jepang.
 Daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang berada dibawah kendali
Pasukan Angkatan Laut Jepang.

Selain membagi daerah militer dengan tiga daerah tersebut, untuk memperkuat posisi Jepang di
Indonesia, Jepang mengangkat beberapa tokoh penting seperti Husein Djojodiningrat, Sutardjo
Kartohadikoesomo, R.M. Soerjo, dan Prof. Dr. Soepomo. Pengangkatan ini dilakukan untuk menarik
simpati rakyat Indonesia dan juga untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang. Sedangkan di dalam
Pemerintahan, Jepang membagi susunan Pemerintahan menjadi tiga, yaitu :
 Panglima Tentara Jepang (Gunsheireikan) yang saat itu dijabat oleh Letnan Jendral Hitoshi
Imamura.
 Kepala Pemerintahan Militer (Gunseikan) yang kala itu dijabat oleh Seizaburo Okasaki.
 Koordinator Pemerintahan Militer Setempat (Gunseibu) yang dijabat oleh semacam gubernur
setempat.

Dalam hal susunan pemerintahan, Jepang juga terpaksa mengangkat beberapa orang dari bangsa
Indonesia, hal tersebut dilakukan Jepang karena Kapal yang mengangkut orang-orang dari Jepang
yang dikirim ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang karam setelah ditembak
menggunakan terpedo oleh Sekutu. Dalam hal ini Bangsa Indonesia merasa diuntungkan karena dapat
belajar mengenai tata pemerintahan[8].
Setelah mengatur tata pemeritahan, Jepang mulai mengeluarkan aturan-aturan, diantaranya adalah
UU Nomor 4 yang isinya adalah bahwa Bendera Jepanglah yang harus dipasang pada hari-hari besar,
Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) yang boleh didengarkan, dan mulai saat itu kalender yang boleh
digunakan adalah kalender Jepang.
Semakin lama Jepang menduduki Indonesia, Jepang mulai mengeluarkan beberapa kebijakan
yang merugikan dan menyengsarakan nasib Rakyat Indonesia diantaranya  mereka mengeksploitasi
tenaga kerja manusia dengan program Kinrohosi (Kerja Bakti), mereka mengerahkan penduduk desa
(laki-laki) untuk bekerja membangun instalasi-instalasi militer dan pertahanan Jepang. Penduduk
Indonesia inilah yang kemudian dikenal dengan nama Romusha. Mereka tidak hanya dipekerjakan di
Indonesia, tetapi sebagian juga dikirim ke luar negeri seperti Thailand, Filipina, Malaya dan Vietnam.
Jumlah penduduk yang diambil oleh Jepang untuk bekerja ini sekitar 300.000 orang penduduk dan
hanya kembali 70.000 penduduk dengan keadaan yang mengenaskan. Selain itu Jepang juga
memperkerjakan gadis-gadis Indonesia sebagai penghibur di kamp-kamp mereka di Solo, Semarang,
Jakarta, Sumatra Barat, dan Kalimantan.
Hal-hal diataslah yang menyadarkan Bangsa Indonesia bahwa mereka telah diperdaya oleh
Jepang sehingga Bangsa Indonesia segera melakukan perlawanan. Tercatat pernah terjadi beberapa
perlawanan terhadap tentara Jepang di Indonesia seperti di Blitar, Indramayu, Aceh dan beberapa
daerah lainnya.
Seiring berjalanya waktu, pada tahun 1944 Jepang mengalami kekalahan dalam perang melawan
sekutu, oleh karena itu, untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara Jepang
mengeluarkan janji-janji kemerdekaannya termasuk kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI,
tetapi usia BPUPKI ini hanya mampu bertahan beberapa bulan saja, karena dianggap tidak efektif
oleh Jepang, maka BPUPKI ini dibubarkan dan diganti menjadi PPKI. Badan ini diresmikan dalam
pertemuannya dengan tokoh-tokoh Indonesia dan menghasilkan keputusan untuk memberikan
kemerdekaan Indonesia, dan memutuskan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh
wilayah bekas Hindia-Belanda terdahulu. Tetapi setelah mendengar berita menyerahnya Jepang tanpa
syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 akhirnya kemerdekaan Bangsa Indonesia
terwujud bukan karena PPKI tetapi karena Bangsa Indonesia itu sendiri.

2. Politik Jepang terhadap Islam dan Respons Terhadapnya.


Kebijakan awal Jepang adalah berusaha menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak di
Indonesia. Ini dilakukannya untuk mendukung tujuan utamanya mereka, yakni menyusun dan
mengarahkan kembali perekonomian Indonesia, dalam rangka menopang perang Jepang dan rencana-
rencananya bagi rencana dominasi mereka dalam jangka panjang terhadap asia timur dan asia
tenggara. Pada masa awal perang bahkan sejak masa sebelumnya, pemerintah Jepang telah
melancarkan propaganda untuk menarik para pemimpin Islam.
Pemerintahan Militer Jepang itu pada awalnya lebih menunjukkan minat untuk mendekati para
pemimpin Islam dari pada kalangan Tradisionalis atau Nasionalis. Akan tetapi di sisi lain mereka juga
menyadari bahwa kekuatan Islam, ini yang pada dasarnya telah menolak bekerja sama dengan
Belanda, mungkin pula akan menyusahkan mereka[10]. Oleh karena itulah Soekarno, sosok yang
paling dianggap mewakili kaum nasionalis, dinilai sebagai kekuatan penyeimbang, khususnya di
Jawa, berguna untuk menarik kekuatan non Islam agar mendukung mereka. Soekarno juga juga
bekerja sama dengan Hatta yang mencoba mendekati Jepang untuk kepentingan yang luhur yaitu
kemerdekaan Indonesia. Hal ini bukannya tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Jawa tetapi janji
kemerdekaan ini justru digunakan oleh Jepang untuk semakin menarik para pemimpin Islam dan
Nasionalis untuk bergabung dalam lingkaran persemakmuran Asia dan untuk mendukung mereka
melawan sekutu. Politik mobilisasi ini menjadi prioritas utama pemerintah Jepang di Jawa. Untuk
itulah mereka sangat membutuhkan dukungan para pemimpin Islam dan kaum Nasionalis.
Pemerintah Jepang di Jawa berusaha menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat, khususnya
Belanda dengan segala cara dan menyebarkan konsep Indonesia secara luas di kalangan rakyat. Pada
bulan Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang dan semua perkumpulan resmi dibubarkan, dan
pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru. Namun, bagi Umat Islam peraturan ini
hanya berlaku bagi partai politik PSII dan PII, sedangkan organisasi seperti MIAI dan organisasi
kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah tetap dibiarkan berdiri.
Sejak awal, Islam dinilai sebagai jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir bulan Maret 1942,
Pemerintah Militer Jepang mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) sebagai ganti dari Kantor
Urusan Islam (Kantoor voor Islamietsche Zaken) pada masa Kolonial Belanda. Pada bulan April 1942
Jepang juga membuat gerakan 3A yang dipimpin oleh Hitoshi Shimizu dan Mr. Samsoedin
(Indonesia) untuk memulai mendirikan gerakan mobilisasi di Jawa[11]. Di dalam gerakan ini atas
inisiatif Shimizu (yang belakangan menjadi seorang Muslim dan dihormati dikalangan orang Islam)
pada bulan Juli 1942 didirikan suatu sub-seksi Islam yang dinamakan Persiapan Peratuan Umat Islam
(PPUI) yang dipimpin oleh Abiekoesno Tjokroseojoso, mantan ketua PSII.
Jepang pada tanggal 2 September 1942 juga menggelar pertemuan dengan para pemimpin Islam
dengan tujuan untuk mengganti MIAI dengan organisasi baru tetapi hal tersebut ditolak oleh para
pemimpin Islam terutama pemimpin Islam perkotaan modern yang memilih mempertahankan MIAI,
hal ini membuat Jepang harus mengalihkan pandangan untuk lebih menarik dan bekerja sama dengan
kyai-kyai di pedesaan dan juga organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah untuk
mentransmisikan pengaruhnya. Proses pendekatan Pemerintah Militer Jepang dengan kyai-kyai di
pedesaan berlangsung cukup lancar walaupun terdapat beberapa kendala seperti keengganan para kyai
untuk melakukan Seikerei karena menurut mereka hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada tanggal 1 Juli 1943 Jepang membawa sekelompok kyai yang berjumlah sekitar enam puluh
orang untuk mengikuti kursus dan latihan selama kurang lebih sebulan yang menurut Kolonel Horie
sebagai kepala Shumubu pelatihan tersebut diadakan untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap
situasi dunia dan semangat ulama agar dapat sepenuhnya membantu Jepang. Sampai Mei 1945 lebih
dari 1.000 kyai telah menyelesaikan kursus itu. Pihak Jepang benar-benar memanfaatkan para kyai
tersebut untuk kepentingan politiknya sehingga menghalangi MIAI mengorganisasi para kyai
tersebut. Pimpinan MIAI ingin menjalin hubungan langsung dengan para kyai pedesaan, namun pihak
Jepang lebih suka menjalin hubungan dengan mereka secara langsung tanpa perantara pihak MIAI.
Sementara itu kondisi Jepang pada perang melawan Amerika semakin terdesak karena Amerika
melakukan serangan balik terhadap Jepang. Kondisi ini membuat Jepang harus semakin memperkuat
propagandanya[12]. Pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan oleh Jepang dan sebagai gantinya
dibentuk Masyumi. Dukunga terhadap Jepang tampak dalam tujuan Masyumi yang disebutkan dalam
Anggaran Dasarnya, dalam pasal 4 dikatakan “Maksud dan tujuan perkumpulan ini ialah :
mengendalikan dan merapatkan perhubungan antara perkumpulan-perkumpulan Agama Islam di Jawa
dan Madura, serta memimpin dan memelihara pekerjaan perkumpulan-perkumpulan itu untuk
mempertinggi peradaban, agar segenap Umat Islam membantu dan menyumbangkan tenaganya untuk
membentuk Lingkungan Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon,
yang memang sesuai dengan perintah Allah.
Pada tahun 1944 kondisi Jepang semakin terancam dalam perang pasifik, hal ini menimbulkan
perilaku Jepang yang mulai semena-mena terhadap rakyat Indonesia sehingga timbul perlawanan-
perlawanan termasuk oleh Umat Islam sendiri yang mulai menyadari posisinya dengan Pemerintah
Militer Jepang.

D. Peradilan Pada Masa Kemerdekaan RI Hingga Masa Sekarang

Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada waktu Indonesia merdeka,diberlakukanlah


Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18Agustus 1945 yang
menyatakan:"SegalaBadanNegara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini".
Pada tanggal10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 yang dalam
pasal 1 menyatakan "segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
Negara Republik Indonesia pada tanggal 17Agustus 1945 selainya belum diadakan yang baru menurut
UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasartersebut".
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap berlaku
ketentuan HIR, RBg dan RVJ Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia
yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua
orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat
kedua. Selanjutnyapada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi
Pengsadilan Ncgeri, sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
Ketika berlakunya Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka
pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri
sebagai peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding,
danMahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. Namun diluar itu ternyata masih dikenal
peradilan adat dan swapraja.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD
1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amandemen. Sejak mulai
berlakunya kembali UUD 1945, lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan
sebelumnya. Sejak itu tidak dijumpai lagi peradilan Swapraja, peradilan adat, peradilan desa,
namunbadan-badan peradilan telah berubah dan berkembang.BerdasarkanPasal 10 Undang-undang
No. 14 tahun 1970 menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Kemudian sejalan jatuhnya pemerintahan Orde baru yang disertai dengan tuntutan Reformasi di
segala bidang termasuk hukum dan peradilan,pemerintah Indonesia mengeluarkanUndang-undang No.
35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dari sinilah kemudian ke empat lingkungan badan peradilan
dikembalikan menjadi Yudikatif di bawah satu atap Mahkamah Agung. Undang-undang itu sendiri
kemudian di cabut dengan berlakunya undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar
terhadap badan/lembaga peradilan di Indonesia. Perubahan ini tidak saja terjadi pada elemen
lembaganya, melainkan perubahan ini terjadi pada pengorganisasiannya, baik mengenai organisasinya,
administrasi, dan finansial, yakni semula berada di bawah kekuasaan kehakiman berubah menjadi
berada di bawah kekuasaan mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan
organisasi, administrasi, dan finansial lembaga pengadilan bukan lagi menjadi urusan Departemen
Hukum dan HAM melainkan menjadi urusan Mahkamah Agung. Sementara itu, organisasi,
administrasi, dan finansial badan-badan peradilan lainnya untuk masing-masing lingkungan peradilan
diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Perubahan pada elemen kelembagaan, yakni ditandai dengan dilahirkannya Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan
terhadap UUD 1945.Hal ini dinyatakan dalamPasal 12 UU No. 4 tahun 2004.
Demikianlah perkembangan lembaga pengadilan yang terjadi di Indonesia. Apakah akan
mengalami perubahan kembali, perubahan itu pasti terjadi karena hukum selalu ada karena manusia
sedangkan manusia senantiasa bergerak dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tetap, namun apakah
perubahan itu menjadi lebih baik ataukah malah menjadi semakin buruk, maka waktulah yang akan
menentukan.

BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pembahasan singkat perkembangan peradilan di Indonesia dapat kita ambil


kesimpulan bahwa lembaga peradilan senantiasa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
perkembangan zaman dan perubahan masyarakat. Perubahan ini tentunya ke arah penyempurnaan
kelembagaan yang lebih baik yang terbebas dari pengaruh kekuasaan lainnya sebagai pilar negara
hukum.
DAFTAR

PUSTAKA

Soetoprawiro, Koerniatmanto, PEMERINTAHAN DAN PERADILAN DI INDONESIA (ASAL-USUL


DAN PERKEMBANGANNYA), Cetakan I, 1994, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Dr. Rusli Muhammad,S.H.,M.H., POTRET LEMBAGA PENGADILAN INDONESIA, 2006, Jakarta :


PT. Rajgrafindo Persada.

Website : Moch. Yulihadi,S.H., SEJARAH LEMBAGA PERADILAN DI INDONESA, Ketua


Pengadilan Negeri Sumbawa Besar.

Blog : http//:SosiologiHukum.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai