Gisa Peradilan
Gisa Peradilan
PERADILAN DI INDONESIA
DOSEN PENGAMPUH :
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK III:
SUSANTI R. NANU
GISANTRI MOKOGINTA
RAHMAN LONGA
2020
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
”PERKEMBANGAN SINGKAT PERADILAN DI INDONESIA”. Meskipun dalam hal ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan.
Berkat segala daya dan kemampuan yang ada, serta dorongan, bimbingan dan fasilitas yang
digunakan, dirasakan telah mampu menyelesaikan makalah ini, namun kami menyadari didalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan disana sini yang perlu dibenahi,
untuk itu demi kesempurnaan makalah ini tak lupa kami mengharapkan kritikan dan saran dari
berbagai pihak yang sifatnya membangun.
Akhirnya kami berharap semoga Tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi
kami. Semoga semua partisipasi akan memperoleh imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Amin…,
Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Adanya peradilan merupakan salah satu syaratsebuah negara untuk menjadi negara hukum dan
Indonesia yang konstitusinya menamakan dirinya sebagai negara hukum wajib memiliki hal ini, oleh
sebab itu peran lembaga peradilanyang diperlakukan di Indonesiasangatlah penting, apakahlembaga
tersebut menjalankan sistem peradilan dengan baik dan tidak memihakserta bagaimana bentuk-bentuk
pengadilannya dalam menjalankan fungsi peradilan.
Ketika Bangsa Belanda masuk ke negara kita, mereka melakukan pemisahan pengadilan untuk
golongan yang berbeda dengan pengadilan untuk golongan pribumi (Bangsa Indonesia).Namun pada
saat itu sudah ada pengklasifikasian jenis peradilan berdasarkan yurisdiks (kekuasaan mengadili)
perkara yang mengadili.Hingga Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia, peradilan
terus mengalami perubahan dan perkembangan sampai saat ini.
Pemerintah hindia belanda dalam system dualismenya mereka membagi penduduk Indonesia
dalam tiga golongan antara lain: eropa/barat, cina/timur asing dan bumi putera (pribumi), hal ini telah
dinyatakan dalam pasal 163 I.S.
Konsekunsi dari pembagian ini adalah perbedaan dalam lembaga-lembaga peradilan berikut
hukum acaranya dengan pembagian sebagai berikut : pengadilan untuk pulau jawa dan Madura dengan
hukum acaranya Herziene Inlandscb Reglement disingkat HIR dan pengadilan untuk daerah-daerah di
luar pulau jawa dan Madura (pulau seberang) diatur menjadi satu dengan Recbtsgelement
Buitengewesen atau Rbg.
1. Orang Eropa/Barat:
Untuk pulau jawa dan Madura : Residentiegerecht, Raad van Justitie, Hooggerechtshof.
Untuk pulau seberang : Residentiegerecht dan Raad van Justitie
2. Orang Bumi Putera :
Untuk Pulau Jawa dan Madura : Districtsgerecht, Regentschapsgerecht, Landraad.
Untuk Pulau Seberang : Negorijrechtbank ( hanya terdapat di desa negorij di ambon),
Districtsgerecht, Magistraatsgerecht merupakan pengadilan setingkat Landgerecht untuk
wilayah-wilayah yang tidak terdapat Landgerecht, Landgerecht memiliki kedudukan dan
susunan kelembagaan yang sama dengan Landraad di jawa, kecuali untuk daerah yang
kekurangan sarjana hukum diketuai oleh pegawai pemerintah belanda.
3. Orang Cina/Timur Asing : sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum
barat dengan beberapa pengecualian. Untuk golongan ini Hukum Perdata material yang berlaku
adalah Burgerlijk Wetboek-BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van
Kophandel-Wvk (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement
Acara Perdata (Rv).
Namun dalam beberapa kepentingan umum/sosial setiap golongan dapat berlaku hukum
golongan lain jika dibutuhkan.
Ada lembaga peradilan lain selain lembaga di atas yang di akui oleh pemerintahan hindia
belanda, hal ini berdasarkan pasal 130 dan 134 I.S :
Peradilan Swapraja
Peradilan Agama, ada 2 tingkat : untuk di pulau jawa dan Madura Raad agama (Priesterraad)
dan Mahkamah Tinggi Islam (Hof voo Islamietische), untuk luar pulau jawa dan Madura
hanya namanya yang berbeda sesuai daerahnya.
Pengadilan Militer, ada 3 macam : Krijgsraad untuk Angkatan Darat, Zeekrijgsraad untuk
Angkatan Laut, dan Hoog Militair Gerechtshof sebagai pengadilan tingkat Banding dari
Krijgsraad dan Zeekrijgsraad.
Gerakan invasi Jepang, dimulai dengan menduduki daerah-daerah yang strategis. Pada 11 Januari
1942 Jepang pertama kali mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Pendaratan selanjutnya adalah di
Samarinda, Balikpapan, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Minahasa, Bali dan Ambon.
Dari daerah-daerah tersebutlah Jepang mengepung kekuatan Belanda yang berada di Jawa.
Gerakan Jepang ini dilanjutkan dengan membuat propaganda diantaranya adalah propaganda 3A
(Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia). Dengan propaganda ini
Jepang berhasil merebut perhatian masyarakat Indonesia agar ikut membantu untuk mengusir Belanda
yang telah menjajah tiga setengah abad lamanya. Dalam waktu yang singkat, Jepang mampu
menguasai daerah-daerah strategis di luar pulau jawa dan kemudian mendarat di teluk Banten, Eretan
Wetan dan Kragan untuk menaklukkan Batavia (Jakarta) dan Bandung[7].
Pada akhirnya Belanda tak kuasa lagi untuk mempertahankan Indonesia dan menyerah kepada
Jepang pada tanggal 7 Maret 1942. Penyerahan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral Teer
Porten kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura di Kalijati. Penyerahan tanpa syarat tersebut mulai
berlaku secara efektif sejak tanggal 9 Maret 1942, dan sejak saat itu Jepang mulai resmi menduduki
tanah air.
Sejak resmi menduduki Tanah Air, Jepang langsung membagi kekuasaan militer untuk
melakukan pertanahan dan mengatur susunan pemerintahan. Jepang membagi kekuasaan militer
menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipegang oleh Rigun (Angkatan Darat)
dan Kaigun (Angkatan Laut). Tiga wilayah tersebut adalah sebagai berikut :
Didaerah Jawa dan Madura dengan pusatnya di Batavia yang berada dibawah kendali
Pasukan Angkatan Darat Jepang.
Daerah Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu dengan pusatnya di Singapura yang juga
dibawah kendali Pasukan Angkatan Darat Jepang.
Daerah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang berada dibawah kendali
Pasukan Angkatan Laut Jepang.
Selain membagi daerah militer dengan tiga daerah tersebut, untuk memperkuat posisi Jepang di
Indonesia, Jepang mengangkat beberapa tokoh penting seperti Husein Djojodiningrat, Sutardjo
Kartohadikoesomo, R.M. Soerjo, dan Prof. Dr. Soepomo. Pengangkatan ini dilakukan untuk menarik
simpati rakyat Indonesia dan juga untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang. Sedangkan di dalam
Pemerintahan, Jepang membagi susunan Pemerintahan menjadi tiga, yaitu :
Panglima Tentara Jepang (Gunsheireikan) yang saat itu dijabat oleh Letnan Jendral Hitoshi
Imamura.
Kepala Pemerintahan Militer (Gunseikan) yang kala itu dijabat oleh Seizaburo Okasaki.
Koordinator Pemerintahan Militer Setempat (Gunseibu) yang dijabat oleh semacam gubernur
setempat.
Dalam hal susunan pemerintahan, Jepang juga terpaksa mengangkat beberapa orang dari bangsa
Indonesia, hal tersebut dilakukan Jepang karena Kapal yang mengangkut orang-orang dari Jepang
yang dikirim ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pegawai Jepang karam setelah ditembak
menggunakan terpedo oleh Sekutu. Dalam hal ini Bangsa Indonesia merasa diuntungkan karena dapat
belajar mengenai tata pemerintahan[8].
Setelah mengatur tata pemeritahan, Jepang mulai mengeluarkan aturan-aturan, diantaranya adalah
UU Nomor 4 yang isinya adalah bahwa Bendera Jepanglah yang harus dipasang pada hari-hari besar,
Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) yang boleh didengarkan, dan mulai saat itu kalender yang boleh
digunakan adalah kalender Jepang.
Semakin lama Jepang menduduki Indonesia, Jepang mulai mengeluarkan beberapa kebijakan
yang merugikan dan menyengsarakan nasib Rakyat Indonesia diantaranya mereka mengeksploitasi
tenaga kerja manusia dengan program Kinrohosi (Kerja Bakti), mereka mengerahkan penduduk desa
(laki-laki) untuk bekerja membangun instalasi-instalasi militer dan pertahanan Jepang. Penduduk
Indonesia inilah yang kemudian dikenal dengan nama Romusha. Mereka tidak hanya dipekerjakan di
Indonesia, tetapi sebagian juga dikirim ke luar negeri seperti Thailand, Filipina, Malaya dan Vietnam.
Jumlah penduduk yang diambil oleh Jepang untuk bekerja ini sekitar 300.000 orang penduduk dan
hanya kembali 70.000 penduduk dengan keadaan yang mengenaskan. Selain itu Jepang juga
memperkerjakan gadis-gadis Indonesia sebagai penghibur di kamp-kamp mereka di Solo, Semarang,
Jakarta, Sumatra Barat, dan Kalimantan.
Hal-hal diataslah yang menyadarkan Bangsa Indonesia bahwa mereka telah diperdaya oleh
Jepang sehingga Bangsa Indonesia segera melakukan perlawanan. Tercatat pernah terjadi beberapa
perlawanan terhadap tentara Jepang di Indonesia seperti di Blitar, Indramayu, Aceh dan beberapa
daerah lainnya.
Seiring berjalanya waktu, pada tahun 1944 Jepang mengalami kekalahan dalam perang melawan
sekutu, oleh karena itu, untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara Jepang
mengeluarkan janji-janji kemerdekaannya termasuk kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI,
tetapi usia BPUPKI ini hanya mampu bertahan beberapa bulan saja, karena dianggap tidak efektif
oleh Jepang, maka BPUPKI ini dibubarkan dan diganti menjadi PPKI. Badan ini diresmikan dalam
pertemuannya dengan tokoh-tokoh Indonesia dan menghasilkan keputusan untuk memberikan
kemerdekaan Indonesia, dan memutuskan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh
wilayah bekas Hindia-Belanda terdahulu. Tetapi setelah mendengar berita menyerahnya Jepang tanpa
syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 akhirnya kemerdekaan Bangsa Indonesia
terwujud bukan karena PPKI tetapi karena Bangsa Indonesia itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
PUSTAKA
Blog : http//:SosiologiHukum.blogspot.com