Anda di halaman 1dari 18

PERADILAN ISLAM DI NEGARA MUSLIM

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Sistem Peradilan Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam
Institut Agama Islam Negeri Bone

Oleh
Kelompok 4
Andi Try Mahgfirah Amin
742342022069
Adhe Riskyaulia Asfar
742342022080
M. Reza Nugratama
742342022087

Dosen Pengajar :
Sylviah, S.HI., M.H

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas ridha dan

rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Sistem
Peradilan Islam yang berupa makalah dengan judul “Peradilan Islam di Negara

Muslim”.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sylviah, S.HI., M.H

yang telah membimbing dan membantu kami dalam proses penyusunan makalah ini.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman yang telah membantu

baik secara moral maupun material sehingga makalah ini dapat terwujud.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kesalahan dalam

penyusunan makalah ini. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan

tersebut. Kritik dan saran dari pembaca senantiasa ditunggu oleh penulis guna

meningkatkan kualitas tulisan kedepannya.

Harapan kami sebagai penulis, yaitu semoga apa yang terdapat dalam makalah

ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca.


Wassalamualaikum Wr. Wb.

Watampone, 14 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Peradilan Islam di Malaysia ........................................................ 3
B. Peradilan Islam di Saudi Arabia ................................................. 7
C. Peradilan Islam di Mesir ............................................................. 10
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 13
A. Kesimpulan .................................................................................. 13
B. Saran ............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan adalah salah satu pilar fundamental, karena di peradilan inilah


sistem pemerintahan bergantung pada penerapan syariat Islam dalam semua

aspek kehidupan termasuk politik. Lembaga peradilan inilah yang selalu

menegakkan keadilan dalam masyarakat, menghukum setiap orang yang patut

dihukum dan menjamin ketaatan terhadap ajaran Islam, oleh karena itu

keberadaan lembaga peradilan yang ada merupakan bagian dari ajaran Islam.

Badan peradilan negara-negara menunjukkan perbedaan-perbedaan


yang sangat besar. Sistem peradilan dan organisasinya di negara-negara terkait

erat hubungannya dengan sejarah negara masing-masing. Struktur organisasi

peradilan berbeda dari satu negara dengan negara lain . Perbedaan dalam

peradilan juga muncul dari bentuk pemerintahan, seperti negara federal,

republik, dan monarki. Peradilan dalam suatu negara yang berbentuk federal

dan republik tercermin dalam struktur organisasi dan yurisdiksi peradilan,


misalnya di Malaysia dan Mesir, sedangkan struktur organisasi peradilan dalam

bentuk negara kerajaan, tercermin dalam bentuk struktur organisasi kekuasaan

kehakiman, seperti Saudi Arabia.


Mengenai bagaimana system peradilan di negara Malaysia, Mesir dan

Saudi Arabia, maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang Peradilan

Islam di negara muslim.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peradilan Islam di Malaysia ?

1
2

2. Bagaimana peradilan Islam di Saudi Arabia ?

3. Bagaimana peradilan Islam di Mesir ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui peradilan Islam di Malaysia.


2. Untuk mengetahui peradilan Islam di Saudi Arabia.

3. Untuk mengetahui peradilan Islam di Mesir.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Islam di Malaysia

Pada tahun 1980-an, berbagai upaya dilakukan di berbagai negara


bagian Malaysia untuk meningkatkan hukum Islam, dan konferensi nasional

diadakan di Kedah untuk meninjau hukum Islam, khususnya yang berkaitan

dengan hukum pidana, di mana diputuskan untuk membentuk komisi hukum

yang terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota bantuan hukum, yang kemudian

dikirim ke berbagai negara Muslim untuk mempelajari hukum Islam dan

penerapannya.
Malaysia terdiri atas 13 negara bagian; tiga bagian diantaranya adalah

wilayah federal. Sembilan negara bagian dikatakan Melayu asli yaitu Johor,

Kedah, Kelantan, Negeri Sembilan, Pahang, Perak, Perlis, Selangor, dan

Terengganu dan Sarawak. Sementara sisanya adalah wilayah federal terdiri dari

tiga bagian,yang disebut wilayah persekutuan, yaitu pulau Labuan, ibukota

Kuala Lumpur, dan kota baru Putrajaya. 1


Sistem hukum Malaysia dapat dilihat dari segi sejarah, yaitu pada tahun

1511 M. Malaka dikuasai Portugis selama 130 tahun, pada tahun 1641 M.

Kemudian dijajah Belanda, yang memerintah sampai 1824 M. Selenjutnya


kekuasaan diambil alih oleh Inggris berdasarkan perjanjian Inggris-Belanda

pada tahun 1824 M. Peristiwa ini memperluas pengaruh Inggris di wilayah

tersebut. Penguasaan Inggris atas wilayah yang sekarang dikenal sebagai

1
Omar Farouk, Penelitian Sosial dan Kebangkitan Islam di Malaysia, Dalam Zaiful Muzani,
Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1993), h. 289.

3
4

Malaysia kemudian membuka jalan untuk penerapan hukum kebiasaan Inggris

di Malaysia.

Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia mempertahankan tradisi sistem

hukum kebiasaan Inggris (Common Law Sistem). Tradisi ini berada di tengah-
tengah sistem hukum Islam dan hukum adat. Secara tidak langsung, Malaysia

menggunakan system Common Law murni tanpa bercampur dengan sistem lain

Sistem Common Law pertama kali dibawa ke wilayah Melayu dan

diperkenalkan melalui Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1878 M. Selain

hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata dan pidana serta hukum

kontrak, juga didatangkan oleh Inggris dari Negara India yang juga berkaitan
dengan prinsip-prinsip hukum kebiasaan yang sudah dibukukan.

Federasi Malaysia adalah negara yang secara resmi mencantumkan

Islam sebagai agama negaranya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3(1) Konstitusi

Malaysia, yang menyatakan: "Islam ialah agama bagi persekutuan, tetapi bagi

agama-agama lain boleh diamalkan denga naman dan damai dimana-mana

bahagian persekutuan”. Meskipun Islam adalah agama federal yang


dideklarasikan, sistem peradilannya adalah federal sesuai ketentuan hukum

Malaysia. Baik hukum negara federal dan negara bagian dikelola oleh

pengadilan federal.
Oleh karena itu, hukum Islam hanya berlaku dalam lingkup yang

terbatas, yaitu pelanggaran keluarga dan agama. Peradilan perdata masih

memiliki yurisdiksi atas hukum keluarga, seperti kasus hak milik, warisan dan

hak asuh anak, dan ketika ada konflik antara pengadilan perdata dan syariah,

yurisdiksi pengadilan perdata yang lebih diutamakan (Abdulrahman Haji


5

Abdullah, 1997: 151). Hukum keluarga untuk non-Muslim berada dalam

yurisdiksi pemerintah federal di bawah yurisdiksi sipil. Sedangkan hukum

keluarga Islam adalah urusan pemerintah negara bagian dan berada dalam

yurisdiksi pengadilan Syariah. Hukum pidana, kompensasi, kontrak, hukum


agrarian, dan lain-lain adalah yurisdiksi pemerintah federal, yang berlaku untuk

Muslim dan non-Muslim.

Pada dasarnya hukum Islam di Malaysia, ada yang menyangkut

persoalan perdata dan ada yang menyangkut persoalan pidana (Fahim Abdullah

bin Abdul Rahman, 1991: 96 ). Dalam bidang perdata meliputi: (a) pertunangan,

nikah, cerai, membatalkan nikah atau perceraian; (b) memberi harta benda atau
tuntutan terhadap harta akibat perkara nikah atau perceraian; (c) nafkah orang

di bawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan dan pemeliharaan anak; (d)

pemberian harta wakaf; dan (e) perkara lain yang diberikan kuasa berdasarkan

undang-undang. Dalam persoalan pidana mengatur: (a) penganiayaan terhadap

istri dan tidak patuh terhadap suami; (b) melakukan hubungan seks yang tidak

normal; (c) penyalahgunaan minuman keras; (d) kesalahan terhadap anak


angkat; dan (e) kesalahan-kesalahan lain yang diatur lebih jauh dalam undang-

undang.

Struktur kehakiman di Malaysia terdiri dari Mahkamah Persekutuan


(Federal Court) dan di bawah itu Mahkamah Banding atau Mahkamah Rayuan

(Appeal Court). Kemudian di bawah kedua Mahkamah tersebut Mahkamah

Tinggi Malaya (High Court of Malaya), yang berada di Kuala Lumpur dan

Mahkamah Tinggi Sabah dan Serawak (High Court of Sabah and Serawak),

yang berada di tempat kedudukan oleh Raja (Yang Dipertuan Agung).


6

Selanjutnya di bawah Mahkamah Tinggi tersebut ada Mahkamah Rendah

(Session court), Mahkamah Mejistret dan Mahkamah Juvenile (Magistrate’s

Court/Juvenile Court), serta Mahkamah Penghulu (Ajawan (2006:133).

Setiap negara bagian di Malaysia memiliki pengadilan Syariah. Sejarah


awal berdirinya Peradilan Syariah dimulai dengan pentadbiran Majelis Ugama

Islam (MUIS), yang pada awalnya dikenal sebagai Pengadilan Qadhi.

Pengadilan Syariah di Malaysia, juga dikenal sebagai Mahkamah Syariah, yaitu

lembaga hukum yang mengadili dan menghukum umat Islam atas pelanggaran

sipil dan agama dalam yurisdiksi yang berada di Pengadilan Syariah.

Pengadilan Syariah memiliki yurisdiksi untuk menerapkan aturan dan peraturan


hukum administrasi Islam untuk setiap negara dan wilayah di Malaysia, serta

tanggung jawab seperti pernikahan, perceraian, kerabat dan penyelesaian

warisan.

Mahkamah Syari’ah di Malaysia terdiri dari Mahkamah Rendah

Syari’ah, Mahkamah Tinggi Syari’ah dan Mahkamah Rayuan Syari’ah.

Mahkamah Rendah Syari’ah berwenang untuk: (a) membicarakan kasus-kasus


yang ditetapkan oleh enakmen negeri; (b) mendengar dan memutuskan kasus

tersebut; (c) menyediakan kertas-kertas hasil dan laporan pengadilan; dan (d)

membicarakan kasus di tingkat daerah, sedangkan mahkamah Tinggi Syari’ah


berwenang untuk: (a) membicarakan kasus-kasus yang dialokasikan

kepadanya; (b) mengeluarkan perintah kasus-kasus sipil dan kriminal; (c)

memecahkan dan mengkonfirmasi kasus faraid; (d) mengelola kasus banding;

dan (e) menyediakan jurnal pengadilan untuk diterbitkan (pada beberapa

negara). Selanjutnya Mahkamah Rayuan Syari’ah, berwenang untuk: (a)


7

mendengar kasus-kasus banding; (b) memiliki kuasa pembatalan setiap sabetan

hukuman oleh Pengadilan Syari’ah; (c) mengurangi hukuman; (d) memerintah

agar diadakan pembicaraan kembali atau ulang bicara; (e) menerima banding

responden yang dihukum penjara atau denda tidak kurang RM 25.00 dan telah
membuat banding menurut prosedur yang telah ditetapkan; dan (f) setiap

banding akan didengar setidaknya oleh tiga orang panel (hakim) banding dari

Panel (Hakim) Rayuan Syari’ah yang ditunjuk dan ditaulaiha oleh KDYMM

Sultan (Ketua Hakim adalah Ketua Panel Rayuan Syari’ah).

B. Peradilan Islam di Saudi Arabia

Berdasarkan Pasal 1 Bab 1 Titah Raja No. A/90 tanggal 27 Sya’ban


1412 H tentang Basic Law of Goverment ditentukan bahwa kerajaan Saudi

Arabia adalah sebuah negara Islam berdaulat, agamanya Islam, konstitusinya

kitab Allah, Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Nabi SAW. Islam sebagai dasar

Negara Saudi Arabia, Al Quran dan Sunnah Rasulullah merupakan Undang-

Undang Dasar negara, dan syari’ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan

oleh mahkamah-mahkamah (pengadilan-pengadilan) syari’ah dengan ulama


sebagai hakim dan penasehat-penasehat.

Menurut Rifyal Ka’bah dijelaskan bahwa peradilan Saudi Arabia

terbentuk berdasarkan syari’at Islam tidak terlepas dari peran Raja Abdul Aziz
bin Abdul Rahman as-Saud yang membaiat wilayah-wilayah.2 Badan yudikatif

Saudi Arabia disebut Dewan Tinggi Peradilan atau Supreme Council of

Judiciary (SCJ) yang bertugas sebagai lembaga yang mengatur administrasi

peradilan dan masalah mengenai kewenangan mengadili. Dewan tinggi

2
Rifyal Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer:Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Pakistan,
Malaysia dan Indonesia (Cet.XIV; Jakarta: Universitas Yarsi, 2009), h. 31
8

peradilan ini beranggotakan 11 (sebelas) orang yang dipilih dari kalangan

ulama terkemukan di Saudi Arabia.

Lembaga yang berwenang menyelesaikan masalah hukum di Arab

Saudi adalah Mahkamah Syariah dan Lembaga Fatwa. Kedua lembaga ini
memiliki kewenangan yang berbeda. Mahkamah Syariah memiliki yurisdiksi

absolut dan relatif. Mahkamah Syariah mengadili kasus pidana (jinayah) dan

kasus perdata (muamalah) dimana yurisdiksinya terbatas karena yurisdiksi

relatif. Hakim-hakim pengadilan syariah dibebaskan untuk berijtihad ketika

mempertimbangkan kasus di mana tidak ada dasar hukum yang dapat

ditemukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi dan hukum dasar pemerintah.
Ijtihad seorang hakim didasarkan pada putusan hakim pada suatu masalah

sebelumnya, yang memiliki sifat dan ciri-ciri dari masalah yang sama, atau

berdasarkan pemikiran para ahli hukum Islam klasik.

Lembaga fatwa berkewajiban untuk mengambil keputusan hukum

dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, baik dalam masalah

hak-hak sipil maupun dalam masalah politik dalam dan luar negeri. Keputusan
hukum lembaga fatwa tersebut mengikat semua warga negara Arab Saudi.

Secara umum, lembaga peradilan di Saudi Arabia menganut sebuah

sistem hukum ganda, yang terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu pertama, peradilan
berdiri sendiri yang bersifat otonomi, tetapi tidak bertentangan dengan syari’at,

kedua peradilan syari’ah (peradilan syari’at Islam) yang sepenuhnya berdasar

syari’at. Peradilan berdiri sendiri yaitu peradilan yang bersifat administratif.

Peradilan ini tidak secara khusus berdasarkan Syari’at Islam, tetapi dirancang
9

agar sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at dengan memperhatikan dan

mengambil jiwa syari’at secara umum. 3

Menurut Rifyal Ka’bah (2009: 40), dikatakan bahwa Peradilan Syari’ah

(Peradilan Syari’at Islam), yaitu peradilan yang sepenuhnya berdasarkan


Syari’at. Peradilan Syari’ah, terdiri atas 4 (empat) tingkatan peradilan, yaitu:

(a) Majelis al-Qadha al-A’la (Mahkamah Agung), (b) Mahkamah al-Tamyiz

(Peradilan Tingkat Banding), (c) Al-Mahakim al-‘Ammah (Pengadilan Biasa),

(d) Al-Mahakim al-Juz’iyah (Pengadilan Segera).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa Raja Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz pada

tanggal 1 Oktober 2007 telah menerbitkan Royal Order (Titah Raja) tentang
pembaharuan peradilan. 4 Berdasarkan aturan baru ini, maka hirarki Pengadilan

Syari’at menjadi tiga tingkat, yaitu:

1. Pengadilan Tinggi sebagai Mahkamah Agung.

2. Pengadilan Tingkat Banding yang terdiri dari:

a. Pengadilan Perdata;

b. Pengadilan Pidana;
c. Pengadilan Hukum Keluarga;

d. Pengadilan Perdagangan; dan

e. Pengadilan Perburuhan.
3. Ketiga adalah Pengadilan Tingkat Pertama yang terdiri dari:

a. Pengadilan Umum;

b. Pengadilan Pidana;

3
Rifyal Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer:Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Pakistan,
Malaysia dan Indonesia (Cet.XIV; Jakarta: Universitas Yarsi, 2009), h. 37-40
4
Rifyal Ka’bah, Peradilan Islam Kontemporer:Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Pakistan,
Malaysia dan Indonesia (Cet.XIV; Jakarta: Universitas Yarsi, 2009), h. 41
10

c. Pengadilan Hukum Keluarga;

d. Pengadilan Perdagangan; dan

e. Pengadilan Perburuhan.

C. Peradilan Islam di Mesir


Peradilan Islam di Mesir terdapat dua fase, yaitu fase pembaruan Qadha

dan fase penghapusan hak-hak istimewa. Pada fase pembaruan Qadha

melahirkan lembaga-lembaga hukum yang menangani beberapa kasus hukum,

yaitu: (a) Mahkamah Mukhalitah yang menangani kasus-kasus yang terjadi

antara sesama orang asing yang mendapat hak-hak istimewa. Mahkamah ini

menangani kasus perdata dan pidana.5 (b) Mahkamah Ahliyah yang menangani
kasus-kasus hukum perdata dan pidana yang terjadi di kalangan orang Mesir

atau orang asing yang tidak mendapat hak istimewa. (c) Mahkamah Syari’ah

yang menangani perkara ahwal asy-syakhsiyyah, seperti masalah nafkah, talak,

dan warisan. Permasalahan ini hanya terbatas bagi orang-orang Mesir yang

beragama Islam. Sedangkan perkara-perkara bagai non-muslim diselesaikan

oleh suatu lembaga yang disebut Majelis Milliyah.


Pada fase penghapusan hak-hak istimewa dilakukan penghapusan hak-

hak istimewa pada tahun 1937, setelah terjadi pertemuan antara Mesir dan

Inggris. Lalu pada tahun 1948 dibentuk perundang-undangan Mesir yang


menjadikan syariat Islam sebagai sumber resmi, dan pada tahun 1950

ditetapkanlah Undang-Undang Hukum Pidana.

Sistem peradilan Mesir mempunyai 5 (lima) bentuk lembaga peradilan

1. Al-Mahkama ad-Dusturiyah al-‘Ulya (Mahkam Agung Konstitusi);

5
Aden Rosadi, Peradilan Agama Di Indonesia Dinamika Hukum.(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015). h. 283.
11

2. Majlis ad-Dawalah (Dewan Negara), yang meliputi: (a) Mahakim al-

Qadha’ al-‘Idary (Peradilan Tata Usaha Negara); (b) Qismu al-Fatawa

(Komisi Fatwa); (c) Qismu at-Tasyri’ (Komisi Perundang-undangan).

3. As-Sulthah Al-Qadha’iyyah / Al-Qadha’ al-‘Adiyah (Kekuasaan


Yudikatif/Peradilan Biasa), yang meliputi: (a) Peradilan (Mahkamah) (b)

Kejaksaan (Niyabah)

4. Hai’ah Qadhaya ad-Daulah (Lembaga Kasus-Kasus Negara);

5. An-Niyabah al-Idariyyah (Kejaksaan Administrasif).

Adapun tingkatan-tingkatan pada peradilan di Mesir ada 4 yaitu:

1. Peradilan Bagian (Al-Mahkamah Al-Juz’iyyah) yang diketuai oleh hakim


tunggal, yang berkewenangan memeriksa perkara pidana dan perdata

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain menangani

kasus pelanggaran delik pers.

2. Peradilan tingkat pertama (al-Mahkamah al-Ibtidai’yyah) juga merupakan

peradilan ulang bagi al-mahkamah al-juz’iyyah yang mempunyai

kewenangan mengadili perkara pidana dengan tuntutan selain denda atau


tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Dalam bidang perdata,

peradilan ibtida’iyyah mengadili perkara perdata dengan ciri-ciri: pertama,

perkara yang dimintakan pengadilan ulang dari pengadilan juz’iyyah dan


kedua, perkara perdata yang nilainya lebih dari L.E. 5.000 (lima ribu pound

Mesir).

3. Peradilan Banding (al-Mahkamah al-Isti’nafiyyah) dilakukan dengan

sidang majelis yang beranggotakan 3 orang kanselir (al-Mustasyar).

Peradilan ini juga mengadili perkara pidana yang tempat kejadian perkara
12

dalam wilayah hukumnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

4. Peradilan Kasasi (Mahkamah al-Naqdh) berbeda dengan peradilan tingkat

banding, yang berwenang menangani perkara ulangan, maka peradilan


kasasi urgensinya adalan pengawasan terhadap keabsahan dalam

penerapan hukum terhadap perkara yang dimohonkan kasasi, dengan

tujuan untuk Meluruskan cacat yang terdapat dalam penerapan hukum dan

untuk mencapai manfaat yang lebih, yaitu menemukan unsur kemaslahatan

bagi para pihak yang bermuara pada kepentingan (maslahah) umum.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Federasi Malaysia adalah suatu negara yang mencantumkan dengan


resmi Islam sebagai Agama Negara. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1)

Konstitusi Malaysia yang menentuan bahwa: “Islam ialah agama bagi

Persekutuan; tetapi bagi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan

damai dimana-mana bahagian Persekutuan”. Meskipun Islam dinyatakan

sebagai agama federasi, tetapi secara konprehensif, menyangkut keseluruhan

ketentuan hukum Malaysia, sistem pengadilannya bersifat federal. Baik


hukum negara federal maupun negara bagian, pengadilannya dilaksanakan di

pengadilan federal. Hanya pengadilan Syari’ah (syariah code) yang terdapat

pada negara bagian dengan menggunakan sistem Hukum Islam.

Berdasarkan Pasal 1 Bab 1 Titah Raja No. A/90 tanggal 27 Sya’ban

1412 H tentang Basic Law of Goverment ditentukan bahwa kerajaan Saudi

Arabia adalah sebuah negara Islam berdaulat, agamanya Islam, konstitusinya


kitab Allah, Al-Quran Al-Karim dan Sunnah Nabi SAW. Islam sebagai dasar

Negara Saudi Arabia, Al Quran dan Sunnah Rasulullah merupakan Undang-

Undang Dasar negara, dan syari’ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan
oleh mahkamah-mahkamah (pengadilan-pengadilan) syari’ah dengan ulama

sebagai hakim dan penasehat-penasehat.

Peradilan Islam di Mesir terdapat dua fase, yaitu fase pembaruan Qadha

dan fase penghapusan hak-hak istimewa. Pada fase pembaruan Qadha

melahirkan lembaga-lembaga hukum yang menangani beberapa kasus hukum,

13
14

yaitu: (a) Mahkamah Mukhalitah, (b) Mahkamah Ahliyah, dan (c) Mahkamah

Syari’ah. Pada fase penghapusan hak-hak istimewa dilakukan penghapusan

hak-hak istimewa pada tahun 1937, setelah terjadi pertemuan antara Mesir dan

Inggris. Lalu pada tahun 1948 dibentuk perundang-undangan Mesir yang


menjadikan syariat Islam sebagai sumber resmi, dan pada tahun 1950

ditetapkanlah Undang-Undang Hukum Pidana.

B. Saran

Kami menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,

kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang

makalah “Peradilan Islam di Negara Muslim” di atas dengan sumber-sumber


yang lebih banyak yang tentu dapat di pertanggungjawabkan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Anshoruddin. (2016, Januari 19). Oleh Anshoruddin. Diambil dari Pta-pontianak.go.id:


https://pta-
pontianak.go.id/e_dokumen/2016/Peradilan%20Di%20Republik%20Arab-
Mesir_1%20oleh%20Anshoruddin.pdf
Dikuraisyin, B. (2017, September). Sistem Hukum Dan Peradilan Islam di Malaysia.
Terateks, I, 1-11.
Gunawan, H. (2019). Sistem Peradilan Islam. Jurnal El-Qanuny, V, 90-103.
Herviananda, R., Safar, S. K., & Syafithri, F. N. (2019, September 29). About Author:
Firda Nisa Syahfitri. Diambil dari Academia.edu:
https://www.academia.edu/44967983/PERADILAN_ISLAM_DI_NEGARA_
MUSLIM
Yusrizal. (2017, Juli-Desember). Studi Komparatif Pelaksanaan Peradilan Islam di
Negara Malaysia Dan Saudi Arabia. De Lega Lata, II, 445-471.

15

Anda mungkin juga menyukai