Anda di halaman 1dari 19

MATA KULIAH

HUKUM PERTANAHAN DAN POLITIK AGRARIA


Dosen Bpk. Dr. Yahman, SH, MH.

KETENTUAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH


PERTANIAN SECARA ABSENTEE DALAM
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI
PERTANAHAN

Oleh :
Andre Susila, SH.
(2121121070) (Kelas B Absen 29)

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
2022
KETENTUAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN
SECARA ABSENTEE DALAM PENYELENGGARAAN
ADMINISTRASI PERTANAHAN

Oleh :
Andre Susila, SH.
NIM. 2121121070

Abstrak :

Dalam Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun 1960


Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104), telah digariskan suatu prinsip
bahwa "setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
pemesan". Sebagai landasan untuk menuju kemasyarakat Sosialis Indonesia,
maka dalam rangka pelaksanaan Landreform prinsip tersebut di atas harus
benar-benar terwujud, agar dengan demikian dapatlah dicegah adanya
usaha-usaha yang bersifat pemerasan. Peraturan Pemerintah No. 224 tahun
1961 (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 280) telah mengatur cara-cara
pelaksanaan pembagian tanah sebagai kelanjutan dari pada pelaksanaan
Undangundang No. 56 Prp tahun 1960. Di samping itu Peraturan
Pemerintah tersebut juga telah mengatur tentang pembatasan-pembatasan
adanya pemilikan tanah-tanah pertanian yang terletak di luar Kecamatan
tempat tinggal pemiliknya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya menunjukkan
bahwa ketentuan-ketentuan tersebut ternyata masih dipandang perlu untuk
disempurnakan, mengingat bahwa persoalan ini adalah merupakan hakiki
dari pada pelaksanaan Landreform. Tidak dilaksanakannya ketentuan-
ketentuan ini sebagaimana mestinya tentu akan memberikan pengaruh yang
negatif baik dalam usaha penambahan produksi maupun terhadap tujuan
Landreform sendiri. Karena itu dipandang perlu untuk memberikan
pembatasanpembatasan yang lebih tegas, dalam usaha untuk menghilangkan
adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip tersebut di atas.
KETENTUAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH PERTANIAN
SECARA ABSENTEE DALAM PENYELENGGARAAN
ADMINISTRASI PERTANAHAN

A. PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang­undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum” artinya bahwa negara Indonesia di dalam menjalankan
proses jalannya kenegaraan, mengatur rakyatnya, menegakkan keadilan dan
menjalankan kekuasaannya harus berlandaskan atau berdasarkan hukum.
Istilah lain untuk negara hukum adalah rechstaat ( rule of law).
Salah satu syarat adanya sebuah negara adalah mempunyai wilayah
baik berupa daratan, lautan maupun ruang angkasa. Yang kesemuanya itu
membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pembentukan
sebuah negara. Dan yang pasti harus ada, adalah adanya daratan atau tanah
sebagai tempat berdiri dan berpijaknya seluruh bangsa di dalamnya. Sesuai
dengan Undang­undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 25A yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang
batas­batas dan hak­haknya ditetapkan dengan undang­undang”.
Ketentuan hukum di dalam Negara Republik Indonesia yang
kehidupan rakyatnya, mata pencahariannya atau perekonomiannya, masih
mayoritas bercorak agraris (bidang pertanian), bumi, air dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa mempunyai fungsi yang sangat
penting untuk membangun masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Ketentuan hukum agraria dahulu, merupakan peninggalan penjajah yang
maksud dan tujuan disusunnya hanya untuk kepentingan penjajah. Hukum
agraria tersebut mempunyai sifat dualisme yang didasarkan atas hukum
barat sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat, negara dan
pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera.

1
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera sebagaimana tertuang dalam landasan konstitusional negara yaitu
pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatahkan bahwa “Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar­besarnya kemakmuran rakyat”, maka ketentuan
tersebut menjadi dasar dalam pengaturan tentang pertanahan di Indonesia,
yang melahirkan pembentukan Undang­undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok­pokok Agraria (UUPA). Dalam Penjelesan
Umum dinyatakan bahwa tujuan diundangkan UUPA, yaitu :
1. Meletakkan dasar­dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar­dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar­dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak­hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, ini
merupakan pernyataan bahwa sudah tidak berlakunya lagi Hukum Agraria
Kolonial yang diatur dalam Agrarische Wet Stb. 1870 No.55 dan Agrarische
Belsuit Stb. 1870 No. 118.
Menurut Boedi Harsono, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960
merupakan undang undang yang melakukan pembaruan agraria karena di
dalamnya memuat program yang dikenal dengan Panca Program Agraria
Reform Indonesia, yang meliputi :1
1. Pembaharuan Hukum Agraria melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2. Penghapusan hak­hak asing dan konsesi­konsesi kolonial atas tanah;
3. Mengakhiri pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan­
hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah
dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;
1
Boedi Harsono 1, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, h.8.

2
4. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, serta penggunaannya secara
terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya;
5. Perencanaan persediaan dan peruntukkan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara
terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Kebutuhan hidup masyarakat terutama petani tidak dapat terlepas
dari kebutuhan masyarakat akan tanah atau tanah pertanian. Petani bekerja
mengandalkan tanah sebagai lahan pertanian, setiap orang bertempat tinggal
dan mendirikan tempat tinggalnya di atas tanah. Begitu pentingnya fungsi
tanah bagi masyarakat, perlu diatur agar kepastian hukum dapat terjamin
dalam penguasaan dan pemanfaatannya. Dalam kenyataannya bahwa masih
banyak tanah absentee (kepemilikan tanah pertanian oleh orang diluar
kecamatannya) sehingga kurang dapat mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut
Dari latar belakang diatas dapat diambil garis permasalahan yaitu
bagaimanakah ketentuan hukum kepemilikan tanah pertanian secara
absentee/guntai dalam penyelenggaraan administrasi pertanahan?

B. KAJIAN PUSTAKA
Teori diperlukan dalam penelitian hukum karena teori berguna
membantu untuk menentukan apa yang akan diukur atau diteliti dalam suatu
penelitian. Untuk menganalisis permasalahan dalam penulisan ini, apa
sajakah ketentuan hukum kepemilikan tanah pertanian secara
absentee/guntai dalam penyelenggaraan administrasi pertanahan di
Indonesia. Maka dalam penelitian ini, akan dipaparkan 3 (tiga) teori sebagai
berikut:
1. Pengertian Administrasi
Secara etimologis administrasi berasal dari bahasa latin yang
terdiri dari kata ad yang berarti intensif dan ministrare yang berarti to
serve (melayani). Literatur lain menjelaskan bahwa administrasi
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu administration yang

3
bentuk infinitifnya adalah to administer Dalam Oxford Advanced
Learner's Dictionary of Current EngIish (1974), kata to administer
diartikan sebagai to manage (mengelola) atau to
direct (menggerakkan) (Ulbert Silalahi 1992: 2­3). Kata administrasi
juga berasal dari bahasa Belanda, yaitu dari kata administratie yang
meliputi kegiatan: catat mencatat, surat menyurat, pembukaan ringan,
ketik mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat teknis
ketatausahaan (clerical work) (Suwarno Handayaningrat, 1988: 2).
Pengertian administrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun
1989 adalah ”usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta
penetapan cara­cara penyelenggaraan, pembinaan organisasi” atau
”usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kebijaksanaan untuk mencapai tujuan” atau ”kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan” juga diartikan ”kegiatan kantor
dan tata usaha”.
Pengertian administrasi dapat dibedakan dalam 2 (dua) pengertian
yaitu:
1. Administrasi dalam arti sempit, dan
2. Administrasi dalam arti luas.
Administrasi dalam arti sempit merupakan penyusunan dan
pencatatan data dan informasi secara sistematis dengan maksud untuk
menyediakan keterangan serta memudahkan memperolehnya kembali
secara keseluruhan dan dalam hubungannya satu sama lain
Administrasi dalam arti sempit ini lebih tepat disebut tata usaha
(clerical work, officer work).
Rangkaian kegiatan tata usaha meliputi penerimaan, pencatatan,
pengklasifikasian, pengolahan, penyimpanan, pengetikan, penggandaan,
pengiriman informasi dan data secara tertulis yang diperlukan oleh
organisasi. Adapun tempat penyelenggaraan kegiatan­kegiatan
ketatausahaan berlangsung disebut kantor, yaitu suatu unit kerja yang

4
terdiri atas ruangan, personil, peralatan dan operasi pengelolaan
informasi.
Kegiatan ketatausahaan dapat dirangkum dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Korespondensi atau surat menyurat, yaitu rangkaian aktivitas yang
berkenaan dengan pengiriman informasi secara tertulis mulai dari
penyusunan, penulisan sampai dengan pengiriman informasi kepada
pihak yang dituju. Korespondensi akan lebih berarti apabila
informasi yang dikirim memperoleh jawaban dari pihak yang dituju.
Salah satu alat atau sarana untuk mengirim atau memberi informasi
tertulis kepada atasan atau pihak lain, baik sebagai laporan,
pemberitahuan, permintaan, pertanyaan adalah surat.
2. Ekspedisi, yaitu aktivitas mencatat setiap informasi yang dikirim
atau diterima baik untuk kepentingan intern maupun ekstern. Ini
dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui atau membuktikan
bahwa suatu informasi yang dibutuhkan sudah dikirim atau diterima.
3. Pengarsipan, yaitu proses pengaturan dan penyimpanan informasi
secara sistematis sehingga dengan mudah dan cepat ditemukan
kembali setiap diperlukan. Informasi yang dimaksudkan dapat
berupa warkat (record) yaitu catatan­catatan tertulis atau bergambar
yang memuat keterangan tentang sesuatu hal atau peristiwa yang
dibuat untuk membantu ingatan. People forget, record remember
(orang bisa lupa, tetapi warkat selalu ingat). Kumpulan warkat yang
disimpan secara sistematis sehingga jika diperlukan dapat secara
cepat ditemukan disebut arsip.

Pengertian administrasi dalam arti luas yang dimaksud oleh para ahli
berikut :
1) Leonard D. White (Introduction to Study of Public
Administration)
Administrasi adalah suatu proses yang pada umumnya terdapat pada
semua usaha kelompok negara atau swasta, sipil atau militer, usaha
yang besar atau kecil dan sebagainya.

5
2) The Liang Gie, 1980
Administrasi adalah segenap rangkaian kegiatan penataan terhadap
pekerjaan pokok yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kerja
sama mencapai tujuan tertentu.
3) William H. Newman dalam buku Administrative Action The
Techniques of Organization and Management
"Administrasi adalah pembimbingan, kepemimpinan dan
pengawasan usaha­usaha suatu kelompok orang­orang ke arah
pencapaian tujuan bersama". (dalam Sukarna, 1989: 3).
4) Sondang P. Siagian (Filsafat Administrasi)
Administrasi adalah keseluruhan proses kerja sama antara dua orang
manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
5) Dwight Waldo, 1971
Administrasi adalah suatu daya upaya manusia yang kooperatif yang
mempunyai tingkat rasionalitas tinggi.

Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa ciri


pokok administrasi yaitu:
a Sekelompok manusia; artinya kegiatan administrasi hanya mungkin
terjadi jika dilakukan oleh lebih dari satu orang.
b Kerja sama; artinya kegiatan administrasi hanya mungkin terjadi jika
dua orang atau lebih bekerja sama.
c Pembagian tugas; artinya kegiatan administrasi bukan sekedar
kegiatan kerja sama melainkan kerja sama tersebut harus didasarkan
pada pembagian kerja yang jelas.
d Kegiatan yang runtut dalam suatu proses; artinya kegiatan
administrasi berlangsung dalam tahapan­tahapan tertentu secara
berkesinambungan.
e Tujuan; artinya sesuatu yang diinginkan untuk dicapai melalui
kegiatan kerja sama.

6
2. Pengertian Administrasi Pertanahan
Administrasi Pertanahan menurut Rusmadi Murad adalah:
Suatu usaha dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan
mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan
ketentuan Perundang­undangan yang berlaku. Dari kedua pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa administrasi pertanahan
merupakan bagian dari administrasi negara, karena administrasi
pertanahan merupakan upaya pemerintah dalam menyelenggarakan
kebijaksanaan di bidang pertanahan yang pelaksanaannya dilakukan
BPN.
Kebijaksanaan pertanahan pada dasarnya mengarahkan dan
melanjutkan serta mendukung program yang telah dilaksanakan
sektor lain pada tahap­tahap pembangunan sebelumnya. Di dalam
meletakkan dasar kebijaksanaan pada setiap tahapan senantiasa
berbeda disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada suatu waktu
tertentu dan masalah yang mungkin akan dihadapi pada waktu yang
akan datang.
Masalah paling mendasar yang dihadapi bidang pertanahan
adalah suatu kenyataan bahwa persediaan tanah yang selalu terbatas
sedangkan kebutuhan manusia akan tanah selalu meningkat.
Faktor­faktor yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan
akan tanah adalah :
a Pertumbuhan penduduk.
b Meningkatnya kebutuhan penduduk akan ruang sebagai akibat
peningkatan kualitas hidup.
c Meningkatnya fungsi kota terhadap daerah sekitarnya.
d Terbatasnya persediaan tanah yang langsung dapat dikuasai atau
dimanfaatkan.
e Meningkatnya pembangunan.

7
3. Hukum Agraria
Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti luas maka
dalam pengertian UUPA, hukum agraria merupakan suatu kelompok
berbagai bidang hukum, yang masing­masing mengatur hak­hak
penguasaan atas sumber­sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria. Kelompok tersebut menurut Budi Harsono terdiri
dari:
a Hukum tanah yang mengatur hak­hak penguasaan atas tanah,
dalam arti permukaan bumi.
b Hukum air, yang mengatur hak­hak penguasaan atas air (UU No.
11 Tahun 1974 tentang Pengairan).
c Hukum pertambangan, yang mengatur hak­hak penguasaan atas
bahanbahan galian (UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan­
ketentuan Pokok Pertambangan).
d Hukum perikanan, yang mengatur hak­hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air (UU No. 9 Tahun
1985 tentang Perikanan).
e Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur­unsur dalam ruang
angkasa, yang mengatur hak­hak penguasaan atas tenaga dan
unsur­unsur dalam ruang angkasa yang dimaksud dalam pasal 48
UUPA.
Akan tetapi, sebagai suatu kajian ilmiah, hukum agraria tidak
didefinisikan secara luas sebagaimana yang dianut dalam UUPA.
Secara akademik, meskipun menggunakan nomenklatur yang
digunakan adalah Hukum Agraria atau Politik Agraria, ternyata
materi yang diajarkan hanya berkaitan dengan hukum tanah (agraria
dalam arti sempit).

8
C. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk menelaah
ketentuan­ketentuan hukum positif, dan perangkat hukum positif yang
diteliti secara normatif akan digunakan sebagai sumber bahan hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum, karena ilmu hukum
merupakan studi tentang hukum, sehingga ilmu hukum tidak dapat
diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran
empiris.2
Penelitian hukum normatif dilakukkan dengan cara meneliti
berbagai bahan pustaka hukum (lazim disebut data sekunder). Pendekatan
dalam penelitian hukum normatif (dogmatik) diantaranya adalah pendekatan
peraturan perundang­undangan (statute approach atau legislation-
regulation approach), konseptual (conceptual approach), sejarah (historical
approach), dan perbandingan (comparative approach).3 Melalui pendekatan
perundang­undangan dan pendekatan konseptual dilakukan pengkajian
terhadap keseluruhan ketentuan hukum yang berlaku untuk direfleksikan
dan diargumentasikan secara teoritik berdasarkan konsep­konsep dasar
hukum. Dengan pendekatan perbandingan hukum dimaksudkan untuk
mendapatkan sumber pembanding yang akan menunjang dan mendukung
materi pembahasan.
Statute approach digunakan untuk mengkaji secara mendalam
ketentuan­ketentuan mengenai ketentuan hukum kepemilikan tanah
pertanian secara absentee dalam penyelenggaraan administrasi pertanahan
dan beberapa Peraturan Perundang­Undangan khususnya yang terkandung
ketentuan hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Kemudian
mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang­undang dengan
undang­undang lainnya, antara suatu undang­undang dengan Undang­
undang Dasar, yang berhubungan dengan rumusan masalah di atas.4

2
Peter Mahmud Marzuki, Karakteristik Ilmu Hukum, artikel dimuat dalam Yuridika, Volume
23, No. 2, 2008, hal. 24.
3
D.H.M. Meuwlssen, Ilmu Hukum, Pro Justitia, Dalam Prasetijo Rijadi & Sri Priyati, Ibid
h.41
4
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Ibid., hal. 93.

9
Conceptual approach digunakan untuk mengkaji ketentuan hukum
kepemilikan tanah pertanian secara absentee dalam penyelenggaraan
administrasi pertanahan guna diterapkan dalam peraturan perundang­
undangan, dimana belum ada aturan hukum yang konkrit mengatur
mekanisme kepemilikan tanah absentee.
Sumber­sumber penelitian ini berupa bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan adalah
Undang­undang Dasar 1945, dan peraturan perundang­undangan yang
berlaku dalam negara Indonesia. Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan
hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana, artikel­artikel,
yang berhubungan dengan rumusan masalah.

D. PEMBAHASAN
Konflik dan permasalahan mengenai agraria sampai dengan saat ini
masih terus ada, bahkan semakin banyak dan merata di seluruh wilayah
Indonesia. Eskalasi konflik dan permasalahan agraria memerlukan dengan
segera penyelesaian sengketa secara menyeluruh, sistematis, berkepastian
hukum dan adil. Permasalahan tanah sekarang sudah merambah kepada
persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan pemecahan dengan
pendekatan secara komprehensif5.
Bahwa hukum agraria yang berlaku dahulu sebagian tersusun
berdasarkan tujuan dan sendi­sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian
dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta
pembangunan semesta. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme,
dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan
atas hukum barat, bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hokum. Berhubung dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan­pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria nasional,
yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin

5
Benhard Limbong, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta: 2014, hlm 63.

10
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan
unsur­unsur yang bersandar pada hukum agama.
Ketentuan hukum tentang kepemilikan tanah pertanian secara
absentee yang berlaku di dalam negara Indonesia antara lain :
1. Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok­Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan
Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah

Di dalam UUPA pada pasal 10 ayat (1) “Setiap orang dan badan
hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara­cara pemerasan.” Bahwa dalam penjelasan pasal 10 ayat (1)
dan (2) dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar
daripada perubahan­ perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh
dunia, yaitu dinegara­negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang
disebut "landreform" atau "agrarian reform" yaitu, bahwa "Tanah pertanian
harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri".
Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan
ketentuanketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas
minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya (pasal 13 yo pasal 17).
Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah
yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar dicegah
tertumpuknya tanah ditangan golongan­golongan yang tertentu saja. Dalam
hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa

11
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan,
karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum.
Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit
dan bantuan­bantuan lainnya dengan syarat­syarat yang ringan, sehingga
pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan
menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita
sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu
dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang­orang
yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi­hasil, gadai dan lain
sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan­peraturan lainnya, yaitu untuk
mencegah hubungan­hubungan hukum yang bersifat penindasan si­lemah
oleh si­kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas
dasar sewa, perjanjian bagi­hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh
diserahkan pada persetujuan pihak­pihak yang berkepentingan sendiri atas
dasar "freefight", akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan­ketentuan
tentang cara dan syarat­syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan
keadilan dan dicegah cara­cara pemerasan ("exploitation de l-'homme par
l'homme"). Sebagai mitsal dapat dikemukakan ketentuan­ketentuan didalam
Undang­undang No. 2 tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N.
1960 ­ 2).
Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu azas, yang
pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2). Dalam
keadaan susunan msyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan
pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan
diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai­negeri yang untuk
persediaan hari­tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung
dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri
kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu
tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan
perjanjian sewa, bagi­hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak

12
bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya
sendiri secara aktip. (ayat 3).
Ketentuan hukum tanah absentee selanjutnya adalah PP No. 224
Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian. Di dalam Pasal 3 ayat (1) “Pemilik tanah yang bertempat tinggal
diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib
mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak
tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.” Penjelasan pasal 3
ini mengatur tentang pemilikan tanah oleh orang yang bertempat tinggal di
luar kecamatan. Pemilikan yang demikian menimbulkan penggarapan tanah
yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya,
pengangkutan hasilnya. Juga dapat menimbulkan sistim­sistim penghisapan,
misalnya orang­ orang yang tinggal di kota memiliki tanah di desa­desa,
yang digarapkan kepada para petani­petani yang ada di desa­desa itu dengan
sistim sewa atau bagihasil. Ini berarti bahwa para petani yang memeras
keringat dan mengeluarkan tenaga hanya mendapat sebagian saja dari hasil
tanah yang dikerjakan, sedang pemilik tanah yang tinggal di kotakota, yang
kebanyakan juga sudah mempunyai mata pencaharian lain, dengan tidak
perlu mengerjakan tanahnya mendapat bagian dari hasil tanahnya pula.
Berhubung dengan itu perlu pemilik tanah itu bertempat tinggal di
kecamatan letak tanah tersebut, agar tanah itu dapat dikerjakan
sendiri, sesuai dengan prinsip yang telah diletakkan dalam "JAREK", bahwa
"tanah adalah untuk tani yang menggarapnya".
Batas daerah diambil kecamatan, oleh karena jarak dalam
kecamatan masih memungkinkan pengusahaan tanahnya secara efektif. Juga
pemilik tanah yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat
kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun
berturut­turut, wajib memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang
lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu. Tetapi hal itu tidak berlaku
bagi mereka yang menjalankan tugas Negara misalnya: pergi dinas ke luar
negeri, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya.

13
Juga pegawai­pegawai negeri dan pejabat­pejabat militer serta
mereka yang dipersamakan, yang sedang menjalankan tugas Negara boleh
memiliki tanah di luar kecamatan, tetapi pemilikan itu terbatas pada 2/5 luas
maksimum yang ditentukan. Misalnya di daerah yang sangat padat, maka
hanya diperbolehkan memiliki sawah 2/5 x 5 ha = 2 ha. Di dalam
perkecualian yang dimaksudkan dalam pasal 3 dan 4 termasuk pula
pemilikan oleh isteri dan/atau anak­anak yang masih menjadi
tanggungannya.
Ketentuan hukum tanah selanjutnya diatur dalam PP Nomor 18
Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah
Susun, dan Pendaftaran Tanah. Peraturan ini lahir untuk melaksanakan
ketentuan pasal 142 dan pasal 185 huruf b Undang­undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta kerja.
Peraturan Pemerintah ini menyatukan (omnibus law),
mengharmoniskan, mensinkronkan, memperbarui, dan mencabut ketentuan
yang sudah tidak relevan berdasarkan Undang­Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang
Berkedudukan di Indonesia, serta beberapa pengaturan mengenai penguatan
Hak Pengelolaan juga akan memperbarui ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah­Tanah Negara.
Selain itu, Peraturan Pemerintah ini juga akan mengatur kebijakan
baru terkait pemberian hak pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah
Tanah. Tujuannya adalah mengatasi masalah keterbatasan ketersediaan
lahan bagi pembangunan perkotaan, efisiensi penggunaan lahan yang ada,
serta pengembangan bangunan secara vertikal termasuk pengembangan
infrastruktur di atas atau bawah tanah (contoh: mass rapid transit, fasilitas
penyeberangan, dan pusat perbelanjaan bawah tanah).

14
E. PENUTUP
Dalam Undang­undang Pokok Agraria (Undang­undang No. 5
tahun 1960 Lembaran­Negara tahun 1960 No. 104), telah digariskan suatu
prinsip bahwa "setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak
atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara­cara
pemesan".
Sebagai landasan untuk menuju kemasyarakat Sosialis Indonesia,
maka dalam rangka pelaksanaan Landreform prinsip tersebut di atas harus
benar­benar terwujud, agar dengan demikian dapatlah dicegah adanya
usaha­usaha yang bersifat pemerasan.
Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 (Lembaran­Negara tahun
1961 No. 280) telah mengatur cara­cara pelaksanaan pembagian tanah
sebagai kelanjutan dari pada pelaksanaan Undangundang No. 56 Prp tahun
1960. Di samping itu Peraturan Pemerintah tersebut juga telah mengatur
tentang pembatasan­pembatasan adanya pemilikan tanah­tanah pertanian
yang terletak di luar Kecamatan tempat tinggal pemiliknya. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya menunjukkan bahwa ketentuan­ketentuan tersebut
ternyata masih dipandang perlu untuk disempurnakan, mengingat bahwa
persoalan ini adalah merupakan hakiki dari pada pelaksanaan Landreform.
Tidak dilaksanakannya ketentuan­ketentuan ini sebagaimana mestinya tentu
akan memberikan pengaruh yang negatif baik dalam usaha penambahan
produksi maupun terhadap tujuan Landreform sendiri. Karena itu dipandang
perlu untuk memberikan pembatasanpembatasan yang lebih tegas, dalam
usaha untuk menghilangkan adanya penyimpangan­penyimpangan terhadap
prinsip tersebut di atas.

15
F. DAFTAR PUSTAKA
1. UUD NRI Tahun 1945;
2. UU Nomor 5 Tahun 1960 ttg Peraturan Dasar Pokok­Pokok Agraria;
3. PP Nomor 224 tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian;
4. PP Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;
5. PP Nomor 18 Tahun 2021 ttg Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah;
6. Boedi Harsono 1, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta, 2003, h.8.
7. Peter Mahmud Marzuki, Karakteristik Ilmu Hukum, artikel dimuat
dalam Yuridika, Volume 23, No. 2, 2008, hal. 24.
8. D.H.M. Meuwlssen, Ilmu Hukum, Pro Justitia, Dalam Prasetijo
Rijadi & Sri Priyati, Ibid h.41
9. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Ibid., hal. 93.
10. Benhard Limbong, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta:
2014, hlm 63.

16
Plagiarism

17

Anda mungkin juga menyukai