Anda di halaman 1dari 13

Hukum Pidana Adat

“Pengakuan Atas Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara


Pidana”

Disusun oleh

Dyah Ayu Ngurah Intan Diana Putri (2014101156)

Prisella Santji Anatji Kiha (2014101159)

Kadek Dwi Januarta Sila Utama (2014101161)

Putu Darma Mahardipa (2014101167)

I Putu Andika Putra Negara (2014101171)

Wayan Dodi Sastrawan (2014101172)

Fakultas Hukum Dan Ilmu Sosial

Jurusan Hukum Dan Kewarganegaraan

Universitas Pendidikan Ganesha

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Tujuan.............................................................................................................1

1.4 Manfaat...........................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

2.1.........................................................................................................................2

BAB III....................................................................................................................3

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................3

3.2 Saran...............................................................................................................3

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................4

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat-Nya
juga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengakuan Atas
Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana” dengan
tepat waktu. Penulis turut mengucapkan terima kasih Ni Putu Ega Parwati, S.H.,
M.H selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana Adat atas arahan dan
bimbingannya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Pidana
Adat di Universitas Pendidikan Ganesha. Selain itu penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca mengenai Pengakuan Atas
Hukum Adat Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Singaraja, 26 Maret 2023

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara faktual sudah ada


sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Masyarakat hukum adat adalah
kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan
sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum
lain dan dapat bertindak ke dalam atau luar sebagai satu kesatuan hukum (subyek
hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.

Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan


dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian
untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan
masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang merujuk
sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan
lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas
menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan
(sistem) hukum dan pemerintahan.

Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan


masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada
sejak ratusan tahun yang lalu. Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan
keberadaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945
sebagai hasil amandemen kedua menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal
281 ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selain UUD 1945,

1
beberapa Undang-undang sektoral juga memberikan jaminan hak-hak masyarakat
hukum adat, antara lain:

1. UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria


(UUPA);
2. UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
3. UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
4. UU Nomor 32Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
5. UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
6. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
7. UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat memang penting,


karena harus diakui tradisional masyarakat hukum adat lahir dan telah ada jauh
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Namun dalam
perkembangannya hak-hak tradisional inilah yang harus menyesuaikan dengan
prinsip-prinsip dan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
persyaratan-persyaratan normatif dalam peraturan perundang-undangan itu
sendiri. Pada banyak sisi, persyaratan normatif tersebut menjadi kendala
keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat, karena :

Pertama, dalam praktik penyelenggaran pembangunan, rumusan frasa


“sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia” dimaknai bahwa kehadiran hak-hak
masyarakat hukum adat sebagai pranata yang diakui sepanjang tidak bertentangan
dengan semangat pembangunan, sehingga ada kesan pemerintah mengabaikan hak
masyarakat hukum adat. Sementara secara faktual di masyarakat terjadi semangat
menguatkan kembali hak-hak masyarakat hukum adat.

Kedua, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa hak-hak tradisional masyarakat


hukum adat dihormati sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Bali ?


2. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Selatan ?
3. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Utara ?
4. Bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Tengah ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana pengakuan pengadilan atas Hukum Adat di


Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah

1.4 Manfaat

a. Teoretis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan memperluas
pengetahuan tentang Pengakuan Atas Hukum Adat Melalui Putusan
Pengadilan Dalam Perkara Pidana.
b. Praktis
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu yang
membutuhkan informasi mengenai makalah ini baik itu untuk penelitian,
penulisan, dan pembelajaran.

3
BAB II

PEMBAHASAN

b.1 Pengakuan pengadilan atas Hukum Adat Bali

Konsepsi Negara Hukum Indonesia menganut sistem pluralisme hukum yaitu


diberlakukan hukum hukum barat, hukum agama Islam dan hukum adat. Dalam
masa penjajahan, hukum merupakan hukum asli bangsa Indonesia sendiri yang
mengalami tarik ulur apakah diakui atau tidak kebradaannya. Hukum pada era
kolonial mempunyai sifat dualisme yaitu dengan berlakunya hukum adat
disamping hukum yang didasarkan hukum barat. Hal demikian tidak menjamin
kepastian hukum bagi rakyat asli sebab yang didahulukan adalah hukum barat
sedangkan hukum adat dikesampingkan. Selain itu, penerapan hukum barat
mengandung unsur eksploitasi dan pemerasan terhadap hak rakyat Indonesia,
contohnya dalam “agrarische wet” yang memberikan hak erpfacht, dan
domeinverklaring. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat mendapatkan pengakuan
dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar yang menyatakan Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahan
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan dalam hak asal-usul
dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa. Dalam penjelasan dinyatakan ”Dalam
teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen
dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.

Sebab dari segi historis, Masyarakat Hukum Adat memiiki latar belakang
sejarah serta kebudayaan yang lam. Keberadaan Hukum Adat sudah ada jauh
sebelum ada atau terbentuknya negara ini. Dr. C. Snouck Hurgronje (1857 - 1936)
dengan karangannya De Atjehers7 , kemudian Prof. Cornelis van Vollenhoven
(1874-1933), karyanya Het Ontdekking van Adatrecht, Orientatie in het Adatrecht
van Nederlandsch-Indie (1913) dan Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië.
kemudian Ter Haar dengan karyanya Beginselen en Stelsel van het Adatrecht
(1939) yang meneliti Hukum Adat pada masa penjajaha. Masyarakat

4
(persekutuan) hukum adat menurut Van Vollenhoven merupakan suatu
masyarakat hukum yang menunjuk pengertian-pengertian serta kesatuan manusia
yang memili tata susunan yang teratur dan sistematis, memiliki daerah yang tetap,
penguasa atau pengurus, dan mempunyai harta, baik harta berwujud (tanah,
pusaka dll) maupun harta tidak berwujud (gelar-gelar kebangsawanan).Ter Haar
di dalam bukunya Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht (1939) juga
mengatakan bahwa diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat bawah,
terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan tertentu yang bertingkah
laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin.

Berdasarkan pendapat Ter Haar dapat dirumuskan bahwa Hukum Adat yaitu
pertama, kesatuan manusia yang terstruktur, kedua, menetap disuatu daerah
tertentu, ketiga mempunyai atau memiliki penguasa, dan; keempat mempunyai
kekayaa berwujud ataupun tidak berwujud. Apabila menurut dasar susunannya
maka struktur persektuan-persektuan Masyrakat Hukum Adat dapat diolongkan
menjadi dua;

a. Geneologis
Bersifat keanggotaan suatu kesatuan yang didasarkan pada faktor yang
berlandaskan kepada pertalian daerah, ataupun pertalian suatu keturunan.
b. Teritorial
Teritorial yaitu keanggotaan suatu kesatuan terikat pada suatu daerah
tertentu, hal ini merupakan faktor yang mempunyai peranan yang
terpenting dalam setiap timbulnya persekutuan hukum

Pada dasarnya Hukum adat di Bali memiliki prinsip dasar yang sama
namun dalam penerapannya tidak tertup adanya perbedaan sesuai dengan desa
kala patra (tempat, wakttu , dan kondisi) sesuai hukum adat itu diberlakukan.
Secara umum prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum adat Bali dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. Kepatuhan dan Keseimbangan


Asas kepatutan dan keseimbangan adalah merupakan asas umum dalam
hukum adat. Asas kepatutan dan keseimbangan ini adalah merupakan asas

5
umum yang ada pada masyarakat yang berpaham komunal. Masyarakat
hukum adat adalah merupakan masyarakat komunal yang mementingkan
kebersamaan dan kerukunan dalam hidup bermasyarakat
2. Tri Murti sebagai suatu keyakinan
Suatu keyakinan bagi masyarakat hukum adat Bali tentang siklus
kehidupan manusia yang pasti akan dijalani, yakni lahir, hidup, dan mati.

Maka penyelenggaraan hukum adat Bali itu jelas tampak dalam kehidupan
masyarakat hukum adat, yakni kehidupan masyarakat sebagai krama (warga) desa
pakraman. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat Bali ada dalam
ikatan desa pakraman sebagai persekutuan hukum atas keterikatan teritorial
dimana mereka bermukim dan menjalani kehidupannya. Desa Pakraman sebagai
kesatuan masyarakat hukum memiliki wilayah, warga, aturan hidup,
kepengurusan, harta kekayaan diluar milik anggotanya serta tiada suatu keinginan
dari warganya untuk membubarkannya. Secara jelas hukum adat tampak pada
penyelengaraan desa pakraman. Keberadaan desa pakraman tersebut dapat dilihat
dari keberadaan Tri Kahyangan atau Kahyangan Desa dalam bentuk tempat
pemujaan yang terdiri dari Pura Desa (tempat berstana Dewa Brahma), Pura
Puseh atau Pura Segara (tempat berstana Dewa Wisne), dan Pura Dalem (tempat
berstana Dewa Ciwa). Penyelenggaraan desa pakraman adalah bentuk nyata dari
implementasi hukum adat Bali yang dijiwai agama Hindu, sehingga Hukum Adat
di Bali secara langsung dapat pengakuan sesuai Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia.

2.2 Pengakuan Pengadilan atas Hukum adat Sulawesi Selatan

Sistem hukum dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai alat untuk


mengatur kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan sudah ada sejak
hubungan sosial masyarakat dimulai. Sistem hukum adat di Sulawesi Selatan
dikenal dengan istilah pangngaderreng (dalam Bahasa Bugis) atau
pangngadakkang (dalam Bahasa Makassar) yaitu merupakan (tempat berpijak
perilaku dan kehidupan masyarakat Bugis-Makasssar). Sistem ini mengatur
masyarakat hampir pada seluruh aspek kehidupan,mulai dari adat-istiadat, politik,
agama, sosial dan hukum. Sistem pangngaderreng ini mengakar dalam hati tiap

6
orang karena terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam
penerapannya masyarakat menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam
dirimereka, bukan karena suatu kewajiban atau paksaan

Masyarakat Bugis-Makassar mentaati sistem ini dan siapa saja yang


melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Sanksi yang diberikanpun bervariasi,
ada yang mendapatkan semacam hukuman fisik dan moral sesuai dengan
tingkatan pelanggaran mereka terhadap pangngaderreng. Dalam menjalankan
ketaatanya terhadap pangngaderreng dilandaskan pada siri’ na pesse’
(merupakan karakter budaya yang terbentuk dari rasa malu dan rasa
kasihan/tidak tega) yang mereka pegang teguh. Siri’ ini yang mendorong
seseorang masyarakat Bugis-Makassar tidak ingin melanggaraturan ade’ (istilah
adat-istiadat). Akan timbul rasa malu apabila melakukan pelanggaran
terhadap adat, akan timbul rasa malu apabila harga diri disepelekan oleh
orang lain, termasuk akan timbul rasa malu jika anak atau keturunannya
melangsungkan pernikahan dengan orang yang berbeda di bawah derajat
kebangsawanan merek.

Besarnya konsekuensi yang didapatkan karena dipermalukan (ripakasiri’)


maupun mempermalukan membuat siri’ ini mengikat masyarakat dalam
bertingkah-laku. Hal ini karena konsekuensi atas siri’ dapat menimbulkan
suatu peristiwa berdarah (pembunuhan). Mereka yang melanggar
pangngaderreng akan merasa malu dan terbuang dari masyarakat, bahkan
apabila dianggap telah menodai pangngaderreng maka keluarga pelakupun
akan ikut mendapatkan sanksi, seperti dikeluarkan dari daerah tempat tinggal
(ripali). Sementara itu pelaku pelanggar pangngaderrengpun akan mendapat
sanksi besar dari pemangku adat, misalnya di hukum mati atau berupa denda.

Penjatuhan sanksi ini biasanya dilakukan oleh arungatau raja sebagai salah
satu pelaksana peradilan. Pangngaderreng lahir sebagai bagian dari budaya
masyarakat Sulawesi Selatan yang dijalankan tanpa ada unsur paksaan.
Pangngaderreng ini sangat menjunjung persamaan dan kebijaksanaan. Inilah
yang membedakan pangngaderreng dengan suatu adat kebiasaan. Apabila
suatu adat kebiasaan, biasanya bersifat kesewenang-wenangan dan

7
akhirnya diterima sebagai suatu dampak dari sistem sosial, maka
pangngaderreng ini menentang adanya unsur kesewenang-wenangan tersebut,
termasuk pemerkosaan, penindasan dan kekerasan. Pangngaderreng ini melekat
sebagai bagian dari hakikat manusia, yang melahirkan satu unsur esensi di dalam
diri yang dikenal sebagai siri. Siri’ tidak lain merupakan cerminan martabat dan
harga diri manusia. Olehnya orang Bugis, kemanapun pergi mengembara
akan membawa pangngaderreng yang dilandaskan pada siri’ tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 sebenarnya masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dan
identitas budayanya masih mendapat penghormatan dan pengakuan dari
Negara. Hal ini dapat menjadi parameter bahwasanya hak-hak tradisional dan
identitas budaya yang dimaksud dari Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat
(3) UUD 1945 adalah juga termasuk badan peradilannya. Hak-hak tradisional
didalam UUD 1945 memang tidak di detailkan lebih lanjut, akan tetapi jika
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang
secara materil tentu memiliki aturan hukum tersendiri yang berlaku, tentu juga
harus mengakui dan menghormati bentuk formil dari hukum adat tersebut
termasuk adat di Sulawesi selatan . Hak-hak tradisional dan identitas budaya
harus di artikan bahwa hak tersebutjuga termasuk hak-hak hukum dan badan
peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang
terjadi di masyarakat hukum adat Sulawesi selatan. Hak-hak tradisional jangan di
artikan sempit bahwa hak-hak tersebut hanyalah sebuah upacara-upacara adat
yang harus sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan
dengan hukum positif yang berlaku.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

9
DAFTAR PUSTAKA

A. Undang-Undang

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

B. Buku

Simarmata, Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di


Indonesia, UNDP, Jakarta.

Laksanto Utomo, St. Hukum Adat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2016)

Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak


Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Yogyakarta, 2010, hal.31

Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat Oleh Masyarakat


Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh. (Disertasi Doktor Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2010) hlm.34.

Naskah Akademis. RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat


Hukum Adat, hal. 2

Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, Penerbit Yarsif Watampoe,


Jakarta, 2003 hal.32-33

Abdurrahman, Peranan Hukum Adat dalam Aplikasi Kehidupan Berbangsa


dan Bernegara dalam Majalah Hukum Nasional No. 1 Tahun 2007 hal.191 BPHN
Departemen Hukum dan HAM RI

Jurnal

10

Anda mungkin juga menyukai