Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

‘’TINDAK PIDANA TENTANG NARKOTIKA’’

Dosen Pengampu : Dr. Made Sugi Hartono, S.H.,M.H.

Kelompok 1 :

Wayan Dodi Sastrawan (2014101172)

Putu Risti Marsia (20141001174)

Desak Nyoman Ayu Lely Sevia (2014101188)

Kadek Rahayu Purwaningsih M (2014101191)

Jihaan Shobaa Aqilah Saripuri (2014101193)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2022
PENGERTIAN NARKOBA

Untuk memberikan suatu pengertian tentang narkotika dewasa ini tidaklah begitu menimbulkan
kesulitan, oleh karena narkotika bukan lagi merupakan sesuatu hal yang baru bagi bangsa dan Negara
Republik Indonesia, terutama dikalangan ilmuwan dan praktisi dari beberapa disiplin ilmu. Apalagi saat
ini masalah narkotika sangat gencar diberitakan hampir setaip hari, baik melalui media massa cetak
maupun media massa elektronik. Didalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 35/2009, narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Kata narkotika itu berasal dari kata “
Narke “ yang berarti terbius, sehingga tidak merasakan apa-apa. Jadi narkotika adalah merupakan suatu
bahan-bahan yang menumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri. Dari istilah farmakologi yang
digunakan adalah kata “ drug “, yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa effek dan
pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh sipemakai, seperti mempengaruhi kesadaran dan memberikan
ketenangan, merangsang dan menimbulkan halusinasi.

Menurut para Ahli B.W. Bawengan, memberikan suatu pengertian tentang zat narkotika adalah
narkotika dalam bentuk aslinya sebenarnya berasal dari sejenis tanaman papaver somniferum yaitu
berupa getah putih seperti susu, setelah dijemur dan kering menjadi serbuk warnanya coklat, maka
disebut sebagai candu, khasiatnya untuk membuat orang tertidur dan menghilangkan rasa sakit.

Soedjono D, juga memberikan suatu pengertian zat narkotika adalah suatu zat atau sejenis zat yang bila
digunakan dalam artian dimasukan kedalam tubuh, akan membawa pengaruh terhadap tubuh sipemakai
yang dapat berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan ( halusinasi )38 .

GOLONGAN DAN JENIS NARKOTIKA

Beberapa jenis narkotika pengaturannya dapat dilihat dalam Pasal 6 UU No. 35/2009, terdiri atas 3 (tiga)
golongan yaitu :

1. Narkotika golongan I ( terdiri dari 65 zat) yang hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuhan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya ( Pasal 7, 8,9 ).

2. Narkotika golongan II ( terdiri dari 86 zat ), dimana golongan ini berkhasiat untuk pengobatan yang
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan.

3. Narkotika golongan III ( terdiri dari 14 zat ), dimana golongan ini berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, juga berpotensi
yang mengakibatkan ketergantungan meskipun sifatnya ringan.

Sebab-Sebab Penyalahgunaan Narkotika

Didalam UU No. 35/2009 tentang narkotika tidak memberikan kreteria tentang faktor-faktor yang
menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika. Hal ini terkesan seolah-olah atau sepenuhnya
diberikan kepada pendapat para sarjana atau para ilmuwan, untuk menemukan dan menentukan faktor
penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika. Berbagai pendapat para sarjana atau para ilmuwan
sebagai hasil penelitiannya masing-masing, demikian banyak telah memberikan kreteria atau gambaran
tentang faktor-faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika, namun didalam hal ini akan
dikutipkan hanya beberapa pendapat para sarjana atau para ilmuwan, seperti pendapat :

Menurut Sudarsono bahwa penyalahgunaan narkotika dilatar belakangi oleh beberapa sebab, yaitu :
1).Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan Tindakan-tindakan yang berbahaya seperti ngebut
dan bergaul denga wanita.

2).Menunjukkan tindakan menentang orang tua, guru dan norma sosial.

3).Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks

4).Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengalaman emosional

5).Mencari dan menemukan arti hidup

6).Mengisi kekosongan dan kesepian hidup

7).Menghilangkan kegelisahan, frutasi dan kepepet hidup

8).Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas

9).Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu.

Pendapat secara umum, terdapat faktor-faktor :

a). Faktor Keluarga, tersesatnya seseorang kedalam pergaulan penyalahgunaan narkotika sering
bersumber dari hubungan orang tuanya yang tidak harmonis ( mungkin terjadi perceraian ) atau
diantara saudara-saudaranya, kurang mendapat perhatian akibat orang tuanya terlalu sibuk dengan
pekerjaan.

b). Faktor Lingkungan di luar keluarga, seperti 1). karena pergaulan sesama teman, seseorang anak yang
mengalami frustasi dilngkungan keluarga, kemungkinan besar akan mencari kesenangan atau hiburan-
hiburan diluar lingkungan keluarga. Dalam mencari kesenangan dan hiburan ini, mulai suka membiaskan
diri dengan pergaulan dengan sesama teman tanpa seleksi terlebih apakah teman-temannya itu orang
baik atau teman yang jelek / buruk sifat maupun kehidupan keluarga temannya itu.

2). karena kurangnya pengawaan dari pihak sekolah ( Kepala Sekolah dan para Guru ) tempat anak itu
mengikuti pendidikan, terutama didalam pendidikan mental, moral , etika ( sopan santun ) dan
kedisplinan serta ketaatan mengikuti terhadap aturan-aturan sekolah,

3). kepribadian yang kurang matang dan tidak adanya suatu pendirian yang tetap, akan menimbulkan
seseorang mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif, sebab dalam pribadi yang semacam ini, tidak
dapat membedakan hal-hal yang bersifat positif dan negatif terhadap bujukan atau pengaruh-pengaruh
yang berasal dari luar diri si anak,

4). krisis kejiwaan, hal ini dapat terjadi pada orang-orang yang kurang kreatif, pemalas, senang ikut-
ikutan atau senang iseng. Keadaan yang demikian ini akan menimbulkan perbuatan yang negatif, sebab
orang semacam ini tidak dapat memanfaatkan waktu yang terluang dengan kegiatan yang positif,
5). faktor sosial, nilai-nilai dalam suatu masyarakat kadang-kadang menyebabkan seseorang akan
merasa terbelengu. Untuk membebaskan diri dari belengu ini, anak akan mencari pelarian dengan cara-
cara yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat.

Motif dan Tujuan Peredaran Narkotika

Apabila kita memperhatikan dan melihat peredaran gelap, penyalahgunaan dan kejahatan yang
menyangkut narkotika di Indonesia dewasa ini, sudah tentu menimbulkan kekhawatirkan, keresahan,
kecemasan dan kepanikan atau ketakutan. Oleh karena sudah banyak jatuhnya korban material maupun
nyawa dari penyalahgunaan, peredaran gelap dan kejahatan narkotika, sebagaimana terlihat dalam
berbagai pemberitaan, baik melalui media cetak maupun media elektronik, baik yang terbit dan beredar
secara regional maupun nasional. Merekamereka yang memasukkan atau menyelundupkan zat-zat
narkotika ini sudah tentu tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk
memasukkan suatu zat yang tergolong kedalam narkotika ke Indonesia. Terlebih lagi negara Indonesia
adalah sebuah negara kepulauan yang dibatasi oleh lautan, yang untuk masuk kedalam wilayah negara
Indonesia dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara, sudah tentu sangat memudahkan bagi mereka-
meraka memasukkan zat-zat yang tergolong narkotika ke wilayah negara Indonesia. Disamping itu, bagi
mereka-mereka ( para sindikat-sindikat narkotika ) yang memasukkan atau menyelundupkan zat-zat
narkotika ini ke Indoensia, tidak tertutup kemungkinan memiliki motif-motif atau tujuan-tujuan
tertentu, seperti motif ekonomi, yaitu mencari keuntungan ekonomi semata-mata baik dalam skala
besar maupun kecil, oleh karena zat-zat yang tergolong narkotika adalah zat-zat yang tergolong
harganya mahal, kemudian tidak tertutup kemungkinan bermotif atau bertujuan yang tergolong tindak
pidana subversif, yaitu dengan menghancurkan generasi muda melalui narkotika secara diam-diam.

Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkotika

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika secara faktual demikian besar dan
memilki relevansi terhadap beberapa aspek kehidupan manusia. Sehingga nantinya diperlukan suatu
upaya dalam mengatasi dan menanggulangi peredaran gelap, penyalahgunaan dan kejahatan narkotika,
tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, namun harus melibatkan seluruh instansi/ pihak berwenang
yang terkait serta seluruh potensi kompenen masyarakat, guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan
apa yang diinginkan atau diharapkan, secara terprogram, kontinu / periodik dan berkelanjutan serta
berkesinambungan. Oleh karena dampak negatif terhadap peredaran gelap, penyalahgunaan dan
kejahatan narkotika, akan dapat menimbulkan ketergantungan, baik secara pisik maupun secara
psikologis, yang nantinya dapat menimbulkan kerugian dalam kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial
dan budaya.

Dampak negatif akibat penyalahgunaan narkotika secara faktual akan terlihat :

1). Terhadap Psikologi / Kejiwaan a. Merubah kepribadian secara drastis, murung, pemarah dsb.

b. Minimbulkan sifat masa bodoh terhadap diri sendiri, sekolah, rumah, pakaian, tempat tidur dsb.

c. Semangat belajar menurun dan suatu ketika sikorban bersikap seperti orang gila, karena reaksi
narkotika.

d. Sering mengadakan sex bebas, karena sudah tidak memperhatikan lagi norma-norma
kemasyarakatan, norma agama, norma susial/ kesopanan maupun norma hukum.
e. Tidak segan-segan menyiksa diri dengan ingin menghilangkan rasa nyeri atau menghilangkan rasa
ketergantungan obat bius.

f. Menjadi pemalas dan tidak segan-segan mencuri uang atau barang sekalipun dalam keluarga.

g. Sudah tidak mengenal sopan santun dan sering mencemarkan nama baik keluarga.

2). Terhadap kesehatan jasmani dan rohani a. Gangguan kondisi fisik terhadap kesehatan misalnya
gangguan impotensi, konstipasi kronis, perforasi sekat hidung, kanker usus, artimia jantung, gangguan
fungsi ginjal, lever dan pendarahan otak, menimbulkan infeksi dan emboli, hepatitis dan HIV/AIDS,
mudah keguguran (aborsi), kerusakan pada gigi dan gejala stroke dsbnya.

b. Gangguan kondisi mental, seperti prilaku yang itdak wajar, munculnya sindrom motivasional,
timbulnya perasaan depresi dan ingin bunuh diri, gangguan persepsi dan daya fikir.

c. Gangguan terhadap kehidupan sosial.

3). Terhadap Perekonomian Apabila dilihat dari aspek korban sebagai pencandu penyalahgunaan
narkotika, lambat laun sudah dapat dipastikan kondisi ekonominya semakin hari semakin berkurang dan
lemah. Oleh karena untuk memenuhi kebutuhan dikonsumsi, zat-zat narkotika itu harganya demikian
mahal, sehingga akan memerlukan dan mengeluarkan beaya yang tidak sedikit / cukup besar. Sedangkan
bagi keluarga si pecandu, akan mengeluarkan biaya yang cukup besar didalam upaya untuk proses
pengobatan atau penyembuhan dan rehabilitasi medis dan rehabilitasi

4). Terhadap Sosial, Budaya dan Agama Pada umumnya seorang pecandu yang telah ketergantungan,
biasanya tidak akan pernah memperhatikan norma-norma sosial dimana mereka hidup dalam
lingkungan masyarakat. Para pecandu sering dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya, oleh karena
masyarakat lingkungan sangat cemas dan takut terhadap akibat negatifnya, terutama takut bilamana
salah seorang anggota keluarganya yang tertular dan terlibat (kena pengaruh) kedalam pergaulan
penyalahgunaan narkotika yang menyesatkan. Para pecandu umumnya juga sangat sulit untuk
dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan dimana mereka bertempat
tinggal, sehingga interaksi dan interrelasi sosialnya dengan masyarakat lingkungannya sangat jarang dan
lebih mementingkan diri sendiri.

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social
welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal
adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dapat juga dikatakan
bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial, yaitu
kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam upaya penanggulangan kejahatan
perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan ( integralitas ) antara politik
kriminal dan politik sosial serta ada keterpaduan ( integralitas ) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “ penal “ dan “ non penal “. Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan dintegrasikan
dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan ( nasional ). Bertitik tolak dari
konsepsi kebijakan integral yang demikian ini, maka kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak
artinya apabia kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-
faktor kriminogen dan victimogen. Pembangunan itu sendiri pada hakikatnya memang tidak bersifat
kriminogen, khususnya apabila hasil-hasil itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat
serta menunjang seluruh kondisi sosial. Dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru
harus ditanggulangi adalah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Hal ini berarti bahwa
penanganan atau penggarapan masalah-masalah ini justru merupakan posisi kunci dan strategis diihat
dari sudut politik kriminal dan menjadi perhatian dan pertimbangan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-
Bangsa ke-6 tahun 1980. Dalam pertimbangan resolusi mengenai “ crime trends and crime prevention
strategies “, antara lain dikemukakan : (1). Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk
pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, (2). Bahwa strategi pencegahan kejahatan
harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan dan
(3). Bahwa penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial
dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebuta hurufan / kebodohan
diantara golongan besar penduduk.

Sehubungan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap narkotika, maka subjek-subjek dan objek-objek
perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana adalah : menanam, memelihara,
mempunyai / memiliki dalam persediaan, menyimpan atau menguasai narkotika, memproduksi,
mengolah, mengekstasi, mengkonvensi, merakit atau menyediakan, membawa, mengirim, mengangkut,
mentransito narkotika tanpa hak dan melawan hukum, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk
dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli
atau menukar narkotika, perbuatan percobaan, perbuatan permufakatan jahat, memberi narkotika
untuk digunakan kepada orang lain, menggunakan narkotika untuk diri sendiri tanpa izin yang
berwenang, orang tua / wali yang sengaja tidak melaporkan anak yang belum cukup umur menggunakan
narkotika, pecandu yang sudah cukup umur atau keluarganya yang sengaja tidak melapor menggunakan
narkotika, menggunakan anak-anak dipakai sebagai alat untuk melakukan tindak pidana narkotika,
memberi kesempatan, menjanjikan sesuatu, menganjurkan, memudahkan, memaksa dengan ancaman
kekerasan, dengan tipu muslihat, orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika, pengurus pabrik obat / pengurus industri
farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban ( wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika dalam
bentuk tulisan, gambar dan surat keterangan yang tidak menyesatkan, pegawai laboratorium yang
memalsukan hasil pengujian atau tidak melaksanakan kewajiban hasil pengujiannya kepada penyidik
sebagaimana diatur dalam Pasal 142 UU No. 35/2009, saksi yang memberikan keterangan tidak benar
dalam pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan ( Pasal 143 UU No. 35/2009 ), melakukan
pengulangan ( residive ) dalam jangka waktu 3 ( tiga ) tahun ( Pasal 144 UU No. 35/2009 ), pimpinan
rumah sakit, pimpinan pusat kesehatan masyarakat, pimpinan balai pengobatan, pimpinan apotik,
pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang mengedarkan dan menyalurkan narkotika bukan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan atau menanam, membeli atau menyimpan atau menguasai narkotika
bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Demikian pula bila dilihat kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya dapat berupa sanksi pidana
pokok ( pidana mati, penjara, seumur hidup / dalam waktu tertentu, kurungan dan denda ), dan pidana
tambahan ( pencabutan izin usaha / pencabutan status badan hukum / pencabutan hak-hak tertentu,
pengusiran wargga negara asing ). Kebijakan terhadap pidana denda bervariasi antara Rp. 1.000.000,-
( Satu Juta Rupiah ) paling ringan / rendah adalah untuk pemidanaan terhadap keluarga pecandu yang
sudah dewasa sengaja tidak melaporkan ( dilihat dari Pasal 134 ayat (2) UU No. 35/2009 ), sedangkan
pidana denda paling besar / tinggi adalah Rp. 20.000.000,- ( Dua Puluh Milyar Rupiah ) sebagaimana
diatur dalam Pasal 133 ayat (1) UU No. 35/2009. Penjatuhan sanksi pidana lebih banyak atau pada
umumnya bersifat komulatif antara pidana penjara dan pidana denda dan adanya pemberatan atau
penambahan pidana terhadap perbuatan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir, dilakukan
oleh korperasi, dengan menggunakan anak-anak yang belum cukup umur dan terhadap pengulangan /
residive.

Aspek Pidana Terhadap Perbuatan Dalam Undang-Undang

Didalam UU Narkotika, ternyata ada perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan dengan syarat tertentu,
ada yang dilarang dan diancam dengan sanksi ( pidana mati, penjara dan denda ), sehingga terlihat
beberapa aspek pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang, misalnya yaitu :

1). Perbuatan yang dilarang adalah menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menyimpan atau
menguasai narkotika atau menyediakan narkotika ( misalnya Pasal 111, 112, 117, 122 UU No. 35/2009
dan sesai dengan Pasal 3 ayat (1 dan 2 ) Konvensi Wina 1988 ).

2). Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika ( misalnya Pasal 113, 118, 123,
125 UU No. 35/2009 )

3). Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar atau menyerahkan narotika ( misalnya Pasal 114 UU No. 35/2009 )

4). Membawa, mengirim atau mengangkut atau menstransito narkotika tanpa hak dan melawan hukum
( misalnya Pasal 115, Pasal 120 UU No. 35/2009 )

5). Menggunakan / memberikan narkotika golongan I terhadap orang lain untuk digunakan yang
mengakibatkan cacat permanen atau kematian ( misalnya Pasal 116, Pasal 121, 126 UU No. 35/2009 )

6). Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,


menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika tanpa hak dan
melawan hukum ( misalnya Pasal 119, Pasal 123, Pasal 124 UU No. 35/2009 )

7). Percobaan atau permufakatan jahat, menyuruh atau membujuk, menjanjikan sesuatu, memberikan
kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman kekerasan, dengan
tipu muslihat,membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika
( misalnya Pasal 132, Pasal 133 UU No. 35/2009 dan sesuai dengan Pasal 3 ayat ( 1 dan 2 ) huruf (a)
Konvensi Wina 1988)

8). Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika atau digunakan orang lain
tanpa hak dan melawan hukum ( misalnya Pasal 121, Pasal 126 UU No. 35/2009 )

9). Menggunakan narkotika untuk diri sendiri tanpa hak dan melawan hukum ( misalnya Pasal 127 UU
No. 35/2009 )

10). Orang tua tidak melaporkan anaknya yang telah kecanduan ( misalnya Pasal 128 UU No. 352009 )

11). Menggunakan atau perantara atau memakai anak yang belum cukup umur atau belum dewasa
untuk melakukan perbuatan yang menyangkut narkotika ( misalnya Pasal 128 ayat (2) UU No. 35/2009 )
12). Pecandu yang sudah cukup umur atau keluarganya (orang tua/wali) yang sengaja tidak melapor
( misalnya Pasal 134 UU No. 35/2009 )

13). Pengurus pabrik ( farmasi ) yang tidak melaksanakan atau melakukan suatu kewajibannya, seperti
pembuatan laporan tentang keadaan narkotika ( misalnya Pasal 135 UU No. 35/2009 )

14). Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan


( misal Pasal 138 UU No. 35/2009 )

15). Nahkhoda dan Kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaporkan adanya
narkotika dalam kapalnya ( misalnya Pasal 139 UU No. 35/2009 )

16). Penyidik ( Pegawai Negeri Sipil/Polisi Republik Indonesia ) yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan-ketentuan, antara lain tidak melakukan penyegelan dan pembuatan berita
acara penyitaan, tidak memberitahu atau menyerahkan barang sitaan, tidak memusnahkan tanaman
narkotika yang ditentukan ( misalnya Pasal 140 UU No. 35/2009 )

17). Saksi yang tidak bersedia memberikan suatu keterangan yang benar dimuka persidangan ( misalnya
Pasal 143 UU No. 35/2009 )

18). Residive / pengulangan ( misalnya Pasal 144 UU No. 35/2009 )

Demikian pula terhadap subjek tindak pidana atau yang dapat dipidana dalam UU ini adalah baik orang
perseorangan maupun korperasi. Disamping itu ada pula subjek hukum yang bersifat khusus, seperti
Pimpinan Rumah Sakit/ Pusat kesehatan Rumah Sakit / Balai Pengobatan, Apotik, dokter, Pimpinan
lembaga Ilmu pengetahuan, Pimpinan Pabrik Obat dan Pimpinan Pedagang besar Farmasi.

Upaya Penanggulangan

Dengan melihat bahaya dan dampak negatif yang demikian luas dan besar terhadap penyalahgunaan
dan kejahatan serta peredaran narkotika di pasaran gelap di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia,
maka Presiden mengeluarkan Surat Keputusan No. 116 Tahun 1999, tertanggal 29 September 1999,
untuk membentuk suatu badan yang disebut dengan “Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN)”.

Didalam melaksanakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika, pemberantasan peredaran gelap


dan bahaya narkotika, Badan Narkotika Nasional melakukan langkah-langkah yang bersifat : Pre-emtif,
Preventif dan Represif serta Rehabilitasi ( baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial ) pada
korban narkotika dengan melibatkan departemen / instansi terkait maupun lembaga swadaya
masyarakat. Dimana langkah-langkah atau upaya-upaya yang dilakukan itu menyasar generasi muda
yang masih mengikuti pendidikan ( mulai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Sekolah menengah Atas,
Mahasiswa Perguruan Tinggi ( baik Negeri Maupun Swasta ), mereka yang berstatus pegawai
pemerintah maupun swasta, korp penegak hukum dan Tentara Nasional Indonesia, para wakil rakyat,
para Lembaga Swadaya Masyarakat dan para organisasi masyarakat, seperti organisasi kepemudaan,
karang taruna atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang sosial.

Bentuk langkah-langkah yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional sebagai berikut :

1. Langkah Pre-emtif :
a). Adalah mencegahan secara dini melalui kegiatan-kegiatan edukatif. Dengan sasaran mempengaruhi
faktor-faktor penyebab, pendorong dan faktor peluang yang biasa disebut sebagai Faktor Korelatif
Kriminogen (FKK) dari terjadinya pengguna untuk menciptakan sesuatu kesadaran dan kewaspadaan,
serta daya tangkal guna terbinanya kondisi dan norma hidup bebas dari penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.

b). Bahwa dalam kegiatan ini pada dasarnyamerupakan pembinaan dan pengembangan sarana dan
kegiatan positif.

c). Lingkungan damalkeluarga sangat besar peranannya dalam mengantisipasi segala perbuatan yang
dapat merusak kondisi keluarga yang telah terbina dengan serasi dan harmonis.

d). Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kepribadian
remaja, baik untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun pengaruh negatif dari sesama pelajar,
baik sesama pelajar maupun antar pelajar dan pengajar, sehingga akan menghindari bahkan
menghilangkan peluang pengaruh negatif dilingkungan pelajar. Mengembangangkan pengetahuan
kerohanian atau keagamaan dan pengawasan serta pengecekan terhadap murid, untuk mengetahui
apakah diantara mereka ada yang terlibat kedalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

2. Langkah Preventif

a). Bahwa pencegahan adalah lebih baik daripada pemberantasan, oleh karena itu perlu dilakukan
pengawasan dan pengendalian Police Hazard (PH) untuk mencegah suplay dan demand, agar tidak saling
interaksi atau dengan kata lain mencegah terjadinya ancaman faktual (AF). b). Upaya ini bukan semata-
mata dibebankan kepada Polri, namun juga melibatkan instansi terkait lainnya, seperti Bea dan Cukai,
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Guru, Pemuka-Pemuka agama dan tidak terlepas dari dukungan
maupun peran masyarakat.

3. Langkah Represif

Upaya ini adalah merupakan upaya terakhir yang ditempuh berupa tindakan dan penegakan hukum
terhadap ancaman faktual yaitu : terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika maupun
effek yang ditimbulkan oleh karenanya. Upaya ini melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan
sampai dengan penjatuhan suatu pidana, yang berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian,
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4. Langkah Rehabilitasi

Langkah ini merupakan upaya untuk pengobatan / penyembuhan para pecandu / pengguna yang telah
ketergantungan zat-zat narkotika, dalam upaya mengembalikan kondisinya seperti sebelum
mengkonsumsi atau terlibat dalam penggunaan zat-zat narkotika. Didalam UU itu sendiri memberikan
peluang dan jalan bagi para pecandu / pengguna, untuk diberikan upaya penyembuhan dan pengobatan
( Rehabilitasi ). Rehabilitasi terhadap para pecandu / pengguna zat-zat narkotika ini dalam ketentuan UU
dapat dilakukan dengan rehabilitasi medik dan sosial ( lihat BAB IX dari Pasal 53 s/d 59 UU No. 35/2009 )
, yang dilakukan melalui sarana pelayanan kesehatan yang sering disebut sebagai rehabilitasi medik
psikiatrik (medikopsikososial). Sedangkan rehabilitasi sosial melalui sarana pelayanan sosial, bimbingan
dan tuntunan keagamaan, pembinaan dan bimbingan metal serta moral, yang sering disebut rehabilitasi
psiko-sosial edukational. Langkah atau upaya ini harus dilakukan kerjasama antar instansi terkait, seperti
Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan, Dinas Agama, Badan Narkotika Nasional Propinsi /
Kabupaten / Kota dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang ini.

5. Peran Serta Masyarakat

Upaya ini dapat dilakukan, baik bersifat perseorangan maupun bersifat kelompok/lembaga atau
organisasi kemasyarakatan lainnya. Peran serta masyarakat ini diberikan dan diatur dalam BAB XIII dari
Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 UU No. 35/2009. Dimana masyarakat luas juga diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk ikut berperan dalam membantu pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Demikian juga masyarakat diberikan hak dan tanggung
jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan dan perederan gelap narkotika.

6. Realisasi Penghargaan

Didalam Pasal 109 dan 110 UU No. 35/2009 pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak
hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap dan prekursor narkotika, yang disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam penjelasan pasal, ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian
penghargaan harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi
penghargaaan. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi dan/atau bentuk
penghargaan lainnya. Pertimbangan pembentuk undang-undang ini memang dapat dimaklumi dan
diterima secara logika atau rasionil, bahwa mereka-mereka yang telah berhasil melaporkan,
mengungkap atau memberikan petunjuk akan atau telah terjadinya transaksi narkotika kepada aparat
penegak hukum, memang seharusnya diberikan jaminan dan perlindungan terhadap keselamatan
aktivitas hidupnya, jiwa atau harta benda pribadi dan keluarganya baik sebelum, selama dan sesudah
proses pemeriksaan. Oleh karena mereka ( pengguna, pecandu atau pengedar atau bandar ) tidak
menutup kemungkinan akan melakukan perbuatan-perbuatan balas dendam terhadap pelapor /
pemberi informasi, yang menyebabkan mereka ditangkap dan dituntut oleh aparat penegak hukum.

Anda mungkin juga menyukai