Anda di halaman 1dari 21

PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA OLEH

KEPOLISIAN MELALUI PENDEKATAN PENAL

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupan bermasyarakat cenderung untuk mengalami
suatu perubahan dalam kehidupan yang sederhana menuju suatu kehidupan
yang lebih modern atau lebih baik dari kehidupan sebelumnya, hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat mengalami suatu perubahan. Perubahan-
perubahan yang terjadi dan terdapat dalam masyarakat dipengaruhi oleh adanya
inovasi-inovasi baru yang terjadi dan terdapat dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Akibat dari adanya perubahan-perubahan yang terjadi sangat cepat
terutama sekali sangat dirasakan oleh masyarakat di wilayah perkotaan, di mana
sering terjadi suasana yang tidak harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
Terkadang masyarakat melakukan suatu tindakan yang secara cepat
menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tanpa
bekerja keras atau ada juga yang melakukan tindakan tanpa memikirkan
dampaknya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat luas, salah satunya
adalah dengan melakukan tindakan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat juga menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Mengimpor,
mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan
menggunakan narkotika dan psikotropika tanpa pengendalian dan pengawasan
yang ketat serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah kejahatan, karena sangat merugikan dan merupakan bahaya

1
yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara
serta ketahanan nasional Indonesia.
Dewasa ini masalah penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sangat
menghantui para orang tua, baik orang tua yang mencurigai remajanya terlibat
penggunaan narkotika dan psikotropika, maupun mereka yang yakin anaknya
tidak terlibat. Meskipun banyak orang dewasa menyalahgunakan narkotika dan
psikotropika, usia remaja dan pra remaja memang lebih rawan. Penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika dapat menimpa setiap orang tanpa pandang bulu.
Para orang tua yang takut anaknya menyalahgunakan narkoba/psikotropika,
bukan karena semata-mata peduli akan anak, tetapi lebih karena rasa malu jika
hal itu menimpa mereka. Paradigma yang menganggap penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika adalah masalah moral, membuat orang tua cenderung
menolak atau tidak mengakuinya. Banyak juga orang tua yang menganggap
anak mereka cukup kebal, dan tidak mungkin menyalahgunakan narkotika dan
psikotropika. Orang tua biasanya bukan orang pertama yang mengetahui
anaknya melakukan perbuatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.
Berbicara mengenai penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berarti
berkaitan dengan penggunaan narkotika dan psikotropika oleh seseorang atau
sekelompok orang yang tidak dimaksudkan untuk tujuan pengobatan, namun
untuk menikmati pengaruhnya pada suasana perasaan hatinya. Karena
pemakaiannya sering tidak terkendali, maka terjadi gangguan kesehatan
jasmani, mental-emosional dan fungsi sosialnya.
Ada beberapa alasan mengapa narkotika dan psikotropika
disalahgunakan, terutama oleh anak-anak dan remaja atau generasi muda.
Alasan yang sering digunakan adalah mencari pengalaman yang
menyenangkan. Mereka ingin mencari sensasi, mereka ingin merasa aman dan
gembira, mereka ingin sesuatu yang baru, yang mengairahkan dan nyerempet
bahaya, mereka penasaran (ingin tahu), serta ingin menghilangkan rasa jenuh
dan bosan. Selain itu pemakaian narkoba dan psikotropika juga karena alasan
mengatasi stres. Narkotika dan psikotropika hadir sebagai pintu keluar bagi
perasaan untuk lari dari masalah yang dihadapi dan mengubah suasana hati.

2
Mereka memakai narkotika dan psikotropika agar merasa rileks atau
tenang dari situasi yang menegangkan. Narkotika dan psikotropika memberi rasa
nyaman, dapat menghindari rasa sedih, tertekan atau marah, juga meredakan
ketegangan atau ketakutan. Tidak hanya itu, penggunaan narkotika dan
psikotropika juga merupakan sebuah tanggapan akan pengaruh sosial. Memakai
narkotika dan psikotropika menjadikan remaja tampak jantan, dewasa atau cool
(sosok yang dianggap asyik atau keren). Mereka ingin diterima dan diakui oleh
kelompok sebayanya, mereka ingin meniru apa yang dilakukan idola mereka.
Media massa juga sering menggambarkan kebutuhan orang untuk merasa high
sebagai bagian dari gaya hidup, dengan merokok, minum alkohol, dan memakai
narkotika dan psikotropika (Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, 2006: 9).
Pencegahan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika perlu dilakukan
sedini mungkin, akan tetapi upaya pencegahan tidak dapat dilakukan hanya
dengan pemberian informasi tentang bahaya narkotika dan psikotropika kepada
anak atau remaja. Pemberian informasi, pengajaran atau penyuluhan, tidak akan
menghasilkan manfaat pencegahan yang bermakna, jika tidak dikaitkan dengan
upaya mengubah perilaku anak atau remaja. Bahkan dikhawatirkan pemberian
informasi tentang bahaya narkotika dan psikotropika saja (apalagi dengan cara
menakut-nakuti) malah dapat meningkatkan keingintahuan dan keinginan untuk
mencoba pada anak atau remaja, yang pada dasarnya selalu ingin tahu dan
ingin mencoba hal-hal baru hingga hal-hal yang menantang bahaya. Informasi
tentang narkotika dan psikotropika harus diikuti dengan pemberian keterampilan
psikososial agar anak dapat memenuhi kebutuhan mental-emosionalnya tanpa
memakai narkotika dan psikotropika.
Mencegah adalah upaya mengubah sikap, keyakinan dan perilaku
seseorang atau sekelompok orang, agar tidak memakai atau berhenti memakai
narkoba/psikotropika. Hal itu hanya mungkin bila melalui proses pendidikan serta
intervensi lain. Pendidikan tidak sama dengan pengajaran, pendidikan lebih luas
daripada sekedar pengajaran. Mendidik bukan semata-mata memberi bekal
pengetahuan kepada anak. Mendidik adalah membimbing anak, agar menjadi
dewasa dalam seluruh aspek kepribadiannya, baik aspek pengetahuan,

3
perasaan, kemauan dan perilakunya, serta mampu bertanggung jawab atas
perilakunya itu.
Berbagai pendapat mengungkapkan bahwa penyalahguna
narkoba/psikotropika (pecandu) merupakan populasi tersembunyi, karena di satu
sisi berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum dan di sisi lain karena
keterbatasan akses terapi dan rehabilitasi atau pembiayaan pengobatan yang
cukup besar. Komunitas narkoba/psikotropika umumnya menyadari bahwa
mengkonsumsi obat-obatan terlarang secara berlanjut merupakan perbuatan
melanggar hukum, sehingga mendorong mereka untuk tetap bersembunyi.
Karena itu para pecandu sulit didekati untuk dilakukan treatment, kecuali inisiatif
keluarga masing-masing.
Pendekatan institusional untuk penyembuhan pun banyak mengalami
hambatan apabila para pecandu merasa tidak aman dari penindakan hukum.
Karena itu penting artiya merumuskan dan menerapkan definisi terhadap
penyalahguna, apakah merupakan korban atau pelaku kriminal. Apa kreterianya
sehingga seseorang penyalahguna bisa dianggap korban atau sebagai pelaku
kriminal.
Peredaran atau penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tidak hanya
terjadi di Kota-Kota besar, saat ini peredaran atau penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika sudah sampai ke daerah dan bahkan sampai ke desa. Hal
tersebut juga terjadi di Kabupaten Pontianak atau di wilayah hukum Polres
Mempawah. Berdasarkan data penanganan kasus narkoba/psikotropika
diketahui bahwa pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 (bulan April tahun
2007) terdapat 15 (lima belas) kasus penyalahgunaan narkotka dan psikotropika
yang terjadi di wilayah hukum Polres Mempawah, baik yang melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
maupun melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997
tentang Psikotropika.
Dalam kedua undang-undang tersebut dinyatakan bahwa untuk
kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dan
psikotropika dapat memiliki, menyimpan dan/atau membawa narkotika dan

4
psikotropika. Penggunaan narkotika dan psikotropika harus mempunyai bukti
bahwa narkotika dan psikotropika yang dimiliki, disimpan, dan/atau di bawa
untuk digunakan diperoleh secara sah. Sedangkan penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika menurut kedua undang-undang tersebut di atas adalah
seseorang yang menggunakan narkotiks dan psikotropika di luar dari
kepentingan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana dalam bukunya “Apakah Saya
Pecandu Narkoba” (dalam Majalah Sadar, Nomor 12/Th IV/Desember 2006: 51)
menyebutkan bahwa ketergantungan/ kecanduan Narkoba dapat dikatakan
sebagai penyakit, lebih tepatnya disebut penyakit adiksi. Berbagai tanda
mengikuti penyakit kronis ini, seperti gangguan fisik, psikologis, dan sosial akibat
dari pemakaian narkoba secara terus menerus dan berlebihan. Gangguan medis
atau fisik berarti terjadi gangguan fungsi atau penyakit pada organ-organ tubuh.
Gangguan ini tergantung dari jenis narkoba yang digunakan dan cara
menggunakannya, seperti penyakit hati, jantung dan HIV/AIDS. Gangguan
psikologis meliputi rasa cemas, sulit tidur, depresi, dan paranoia. Biasanya wujud
gangguan fisik dan psikologis tergantung pada jenis narkoba yang digunakan.
Kemudian gangguan sosial meliputi kesulitan dengan orang tua, teman, sekolah,
pekerjaan, keuangan, dan berurusan dengan pihak berwenang.
Pemakian narkotika dan psikotropika secara terus menerus tidak berarti
harus setiap hari. Pemakaian tiap akhir pekan sudah dapat dikatakan terus
menerus. Pemakaian narkotika dan psikotopika secara berlebihan tidak
menunjukkan pada jumlah atau dosisnya, tetapi yang paling penting adalah
akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika dan psikotropika tersebut.
Proses seseorang menjadi ketergantungan narkoba dapat digambarkan seperti
seseorang yang telah menembus tembok. Pada tahap pemakaian ia masih dapat
menghentikannya. Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke
pemakaian sosial, betapapun ia berusaha, kecuali jika menghentikan sama
sekali pemakaiannya.
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika menimbulkan masalah sosial
dan hukum dalam kehidupan masyarakat. Hukum adalah gejala dalam

5
kenyataan masyarakat yang majemuk, yang mempunyai banyak aspek, dimensi
dan fase. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek
kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi), dibentuk dan ikut
membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan
berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat
masyarakat itu sendiri. Jadi dalam dinamikanya, hukum itu dikondisi dan
mengkondisikan masyarakat. Karena menyandang tujuan untuk mewujudkan
ketertiban dan keadilan secara konkrit dalam masyarakat, maka dalam hukum
terkandung baik kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara
apa yang sudah tercapai) maupun kecenderungan moderenise (membawa,
menganalisasi dan mengarahkan perubahan) dalam masyarakat (Mochtar
Kusumaatmadja dalam Bernard Arief Sidharta, 2000: 116).
Dari pandangan di atas jelas terlihat adanya hubungan antara hukum
dengan perkembangan masyarakat. Jika hal ini dihubungkan dengan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, maka perkembangan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dengan berbagai dampak negatif
yang ditimbulkan seharusnya sudah diantisipasi oleh hukum. Salah satu
pertanyaan mendasar berkaitan dengan hal ini adalah apakah semua
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dapat dikenakan ketentuan hukum
Pidana, baik yang diatur dalam KUHP maupun berbagai aturan di luar KUHP
seperti undang-undang Narkotika dan undang-undang Psikotropika. Hal ini
memerlukan kerja keras dari aparat penegak hukum, khusus aparat kepolisian
untuk melakukan penanganan/penanggulangan terhadap kejahatan ini.
Usaha-usaha penanggulangan masalah kejahatan telah banyak dilakukan
dengan berbagai cara, namun hasilnya belum memuaskan. Menarik sekali apa
yang dikemukan oleh Habib Ur Rahman Khan (dalam Barda Nawawi Arief, 2001:
16-17) dalam tulisannya yang berjudul Prevention of Crime-It is Society Which
Needs The Treatment and not the Criminal, sebagai berikut:
“Dunia modern sepenuhnya menyadari akan problem yang akut ini
(maksudnya problem tentang kejahatan). Orang demikian sibuk melakukan
makalah, seminar-seminar, konferensi-konferensi internasional dan menulis

6
buku-buku untuk mencoba memahami masalah kejahatan dan sebab-sebabnya
agar dapat mengendalikannya. Tetapi hasil bersih dari semua usaha ini adalah
sebaliknya, kejahatan bergerak terus”.
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum
pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun
masih sering dipersoalkan. Perbedaan mengenai peranan pidana dalam
menghadapi masalah kejahatan ini, menurut Inkeri Anttila telah berlangsung
beratus-ratus tahun, dan menurut Herbert L. Packer (Barda Nawawi Arief, 2001:
16-17), Usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan menggenakan pidana
pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana merupakan suatu
persoalan sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.
Dalam kaitannya dengan makalah tesis ini akan dikaji mengenai
penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika oleh
aparat kepolisian khususnya aparat kepolisian yang berada di bawah naungan
Polres Mempawah, karena salah satu tugas kepolisian adalah memelihara
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Tugas ini sejalan/selaras dengan
salah satu tujuan hukum, yaitu untuk mencapai ketertiban masyarakat dan
kepastian hukum. Adanya ketertiban dalam masyarakat merupakan salah satu
penunjang pelaksanaan pembangunan. Namun dalam kenyataan sering juga
terjadi adanya tindakan-tindakan anggota masyarakat yang membawa dampak
negatif bagi masyarakat, yaitu terjadinya pelanggaran hukum dan munculnya
berbagai kejahatan yang pada akhirnya ketertiban dan keamanan tidak dapat
terwujud dengan baik. Menghadapi dinamika kehidupan sosial ekonomi yang
diikuti dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat pada umumnya,
maka Polri dituntut untuk mampu menjawab tantangan tugasnya dalam rangka
menciptakan rasa aman dan tentram bagi warganya. Bahwa rasa aman dan
tentram merupakan salah satu kunci pokok bagi terciptanya kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat.
Berbagai pelanggaran hukum dan/atau terjadinya tindakan kejahatan
yang dapat menganggu keamanan dan ketertiban, mendorong aparat kepolisian
untuk melakukan usaha-usaha pencegahah dan penegakan hukum dalam

7
rangka menanggulangi berbagai pelanggaran dan tindakan kejahatan tersebut
atau melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan yang telah dilakukan.
Peran dan fungsi aparat kepolisian sebagai aparat penegak hukum diharapkan
dapat menciptakan keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat sesuai
dengan tugas yang diemban oleh kepolisian.
Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam makalah tesis ini akan diteliti mengenai pelaksanaan tugas pokok
Polri dalam menangani tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika di wilayah hukum Polres Mempawah, baik dalam rangka
memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, menegakkan hukum,
maupun dalam rangka memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat, sehingga penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dapat
ditekan seminimal mungkin, keamanan dan ketertiban dalam msyarakat tetap
terjaga, dan masyarakat baik pelaku penyalahgunaan narkotika dan psikotropika
maupun masyarakat luas tetap merasa terlindungi hak-haknya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat
dikemukakan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut:
Bagaimana penanganan kasus tindak pidana penyalahgunaan
narkotikadan psikotropika oleh aparat kepolisian melalui pendekatan penal

8
BAB III
PEMBAHASAN
Pelaksanaan Penegakan Hukum Penanggulangan Tindak
Pidana Psikotropika
Penyidikan terhadap tindak pidana merupakan salah satu wujud
penanggulangan kejahatan yang bersifat represif. Di bidang penanggulangan tindak
pidana psikotropika, berada pada pasaran bebas atau gelap. Artinya jika bahan zat
psikotropika tersebut ternyata ada di pasaran gelap maka harus dicari asal muasalnya
dan ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Upaya ini sering disebut dengan law enforcement (penegakan hukum) terpaksa
dilakukan apabila usaha lain seperti pre-emtif dan preventif mengalami kegagalan atau
kebocoran. Upaya penanggulangan dibidang penyalahgunaan obat psikotropika ini
hendaknya dijalankan secara berimbang antara welfare approach di satu pihak dan
security approach di lain pihak. Dengan kata lain, upaya deman reduction dan supply
reduction dijalankan secara simultan, sinkron, koordinatif, konsisten dan kontinyu oleh
semua pihak yang terkait baik instansi pemerintah maupun non-pemerintahan.
Selanjutnya dikemukakan responden, pelaksanaan penyidikan di bidang tindak pidana
narkotika dan psikotropika serta bahan-bahan berbahaya lainnya oleh penyidik dari
Poltabes Bandar Lampung dilakukan melalui operasi khusus (Opsus) dan operasi rutin
(Opstin) dengan perincian sebagai berikut:
1. Sasaran dan penindakan, yaitu (a) Penindakan terhadap narkotika; (b) Penindakan
terhadap psikotropika; (c) Penindakan terhadap bahan-bahan berbahaya lainnya.
2. Ditinjau dari subyek pelaksanaan penindakan diarahkan pada: (a) Pelaku kejahatan
(penyelundup, pengedar, pedagang, dan perkara); (b) Penyalahgunaan (dalam hal
ini pemakaian tanpa hak); (c) Badan Hukum; (d) Pejabat yang lalai; (e) Oknum-
oknum yang mempersulit penyidikan Narkoba.
3. Ditinjau dari sudut kegiatan, penyidikan diarahkan pada: (a) Kultifasi (penanaman);
(b) Produksi (mengolah, mengkonversi, meracik); (c) Distribusi (pengedaran); (d)
Konsumsi (pemakai/pengguna secara tanpa hak).
Kegiatan-kegiatan penyidik yang dilakukan dalam penyidikan adalah memeriksa
tersangka dan saksi-saksi untuk memperoleh alat-alat bukti, mengadakan pemeriksaan

9
laboratorium terhadap barang bukti bahan-bahan psikotropika, melakukan upaya-upaya
paksa baik yang diatur dalam KUHAP (penangkapan, penahanan, penggeledahan,
pemeriksaan surat-surat, dan penyitaan) maupun yang diatur dalam Pasal 55 UU
Psikotropika, menyerahkan berkas perkara (BAP) beserta tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum. UU Psikotropika memberikan kewenangan yang cukup luas
kepada polisi dalam melakukan upaya-upaya hukum (dwang middelen) dalam tindak
pidana psikotropika, di luar upaya-upaya hukum yang diatur dalam KUHAP, yang
berkemungkinan melanggar hak-hak asasi tersangka. Luasnya kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepada penyidik tidak lain tujuannya agar penyidik dapat
memenuhi kewajibannya sebagai penyidik yang bertugas mencari dan menemukan
tersangka pelaku tindak pidana psikotropika yang menimbulkan kerugian tidak hanya
kepada perorangan, tetapi juga masyarakat secara luas.
Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa kewenangan penyidik polisi yang
telah ditentukan dalam KUHAP dan UU Psikotropika merupakan kewenangan penyidik
yang seharusnya dilakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan
rasa keadilan masyarakat dalam rangka untuk memberikan perlindungan hukum
kepada individu dan masyarakat secara luas pula. Penuntut umum yang menerima
berkas perkara (BAP) beserta tersangka dan barang bukti mempelajari BAP dan
apabila telah lengkap, penuntut umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan
perkara ke Pengadilan. Tetapi apabila belum lengkap, penuntut umum mengembalikan
BAP kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk untuk melengkapi BAP. Menurut
responden M. Zen Manaf (Wakil Kajari Bandar Lampung) untuk perkara-perkara tindak
pidana psikotropika pada umumnya berkas perkara (BAP) yang disampaikan kepada
Kejaksaan telah lengkap, sehingga semua BAP perkara tindak pidana psikotropika dari
penyidik Poltabes Bandar Lampung tidak ada yang dikembalikan lagi kepada penyidik
untuk dilengkapi. Pemeriksaan di muka sidang Pengadilan dalam perkara-perkara
tindak pidana psikotropika berjalan baik dan lancar. Menurut A. Gani Parlaungan (hakim
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang), pada umumnya surat dakwaan yang
dibuat penuntut umum telah memenuhi syarat-syarat formal dan material. Begitu pula
dalam pembuktian perkara tindak pidana psikotropika penuntut umum menampilkan

10
pembuktian yang meyakinkan kepada majelis hakim untuk mengenakan pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana psikotropika.
Pelaksanaan putusan Pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa
Tanjungkarang dan pelaksanaan program pembinaan narapidana pada umumnya
berjalan cukup baik. Menurut responden Wawan Hendrawan (Kepala LP Rajabasa),
pada umumnya terpidana tindak pidana psikotropika mengikuti semua program
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga diharapkan terpidana tidak akan lagi
melakukan tindak pidana psikotropika setelah terpidana selesai menjalankan
hukumannya dikemudian hari. Menurut responden, ada beberapa terpidana tindak
pidana psikotropika yang pada mulanya menunjukkan gejala-gejala kecanduan
psikotropika, tetapi dengan terapi dari petugas Lembaga Pemasyarakatan, terpidana
merubah perilakunya dan mengikuti program pembinaan.

Efektivitas Sistem Peradilan Pidana dalam Penanggulangan


Tindak Pidana Psikotropika
Tindak pidana psikotropika yang terjadi dan diproses di wilayah hukum Poltabes
Bandar Lampung antara tahun 1998—2001 tercantum pada tabel berikut ini.
Pada tahun 1998-1999 saat mulai berlakunya UU Psikotropika, tindak pidana
psikotropika di wilayah hukum Poltabes Bandar Lampung relatif kecil (10 perkara),
tetapi pada tahun 2000-2001 jumlahnya meningkat dengan drastis mencapai (39
perkara).
Pelaku tindak pidana psikotropika berdasarkan ketentuan UU Psikotropika terdiri
dari pengedar, pemilik dan pengguna dan ancaman sanksi pidana yang berbeda-beda,
dimana sanksi pidana untuk pengedar lebih tinggi daripada pemilik dan pengguna.
Sebagian besar pelaku tindak pidana psikotropika di wilayah hukum Polresta Bandar
Lampung adalah pemilik.
Menurut responden Prasetyo Utomo, Poltabes Bandar Lampung telah
memproses semua pelaku tindak pidana psikotropika dan menyerahkan berkas perkara
(BAP) beserta tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (clearance rate
100%), sedangkan penuntut umum, sebagaimana dikemukakan responden M. Zen
Manaf, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung telah memproses semua perkara tindak

11
pidana psikotropika dan melimpahkannya ke Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjungkarang (prosecution rate 100%). Begitu pula pengadilan, berdasarkan
keterangan responden A. Gani Parlaungan, setelah melalui proses pemeriksaan
perkara di muka sidang Pengadilan, Majelis Hakim menjatuhkan pemidanaan terhadap
semua pelaku tindak pidana psikotropika (conviction rate 100%).
Dari segi kecepatan penanganan perkara (speedy trial), menurut para
responden, mereka menyelesaikan kegiatan penyidikan maksimal 60 hari, penuntutan
(maksimal 50 hari) dan pemeriksaan di muka sidang Pengadilan (maksimal 90 hari).
Cepatnya penanganan perkara tindak pidana psikotropika karena semua pelaku tindak
pidana psikotropika dikenakan penahanan. Jangka waktu yang tercantum di atas
adalah jangka waktu penahanan oleh masing-masing instansi penegak hukum, dimana
para aparat penegak hukum telah bekerja dengan cepat dan tidak melampaui jangka
waktu penahanan, karena apabila jangka waktu penahanan terlewati, sesuai dengan
ketentuan KUHAP tersangka/terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan. Keadaan
demikian menurut para responden dapat menyulitkan pelaksanaan tugas penegakan
hukum pidana dalam mendapatkan bukti-bukti dan kemungkinan tersangka/terdakwa
melarikan diri.
Pelaku-pelaku tindak pidana psikotropika yang telah dijatuhi pemidanaan,
ternyata tidak ada yang mengulangi perbuatan melakukan tindak pidana psikotropika,
dimana tidak ada diantara pelaku telah selesai menjalani pemidanaan di Lembaga
Pemasyarakatan kembali lagi dipidana karena perbuatan yang sama (recall to prison).
Berdasarkan keseluruhan di atas dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana efektif
menanggulangi tindak pidana psikotropika di wilayah hukum Bandar Lampung.

Faktor Penghambat Penegakan Hukum Penanggulangan

Tindak Pidana Psikotropika

Tindak pidana yang diproses oleh penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan petugas
lembaga pemasyarakatan) bukanlah tindak pidana psikotropika yang sebenarnya terjadi
dalam masyarakat. Selama tahun 1998—2001, aparat penegak hukum berhasil
menyelesaikan 96 perkara tindak pidana psikotropika, selama empat tahun tersebut
kemungkinan terjadi ratusan atau bahkan ribuan tindak pidana psikotropika di wilayah
12
hukum Bandar Lampung yang tidak dapat dideteksi oleh Kepolisian sehingga tidak
diproses ke penuntutan, ke Pengadilan dan ke Lembaga Pemasyarakatan.

Oleh karena itu dapat dikatakan, ibarat gunung es, penegakan hukum
penanggulangan tindak pidana psikotropika baru memangkas “puncak” gunung es dan
belum dapat menanggulangi secara tuntas tindak pidana psikotropika sampai dengan
keakar-akarnya. Hal itu dapat kita lihat dalam pemberitaan media massa, setiap hari
masih saja disajikan adanya orang-orang yang meninggal karena overdosis
menyalahgunanakan psiktropika, pelaku-pelaku tindak pidana psikotropika yang
ditangkap, penggerebekan terhadap pabrik pembuatan psikotropika, dan sebagainya.

Menurut para pendapat kelemahan penegakan hukum penanggulangan tindak


pidana psikotropika, paling tidak dikarenakan empat faktor, yaitu: (1) peraturan
perundang-undangan (hukum) itu sendiri; (2) aparatur penegak hukum; (3) fasilitas
hukum yang dibutuhkan dalam penegakan hukum; (4) kesadaran hukum warga
masyarakat.

1. Peraturan Perundang-undangan tentang Psikotropika


Peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana psikotropika pada
dasarnya menyangkut berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
tindak pidana dan psikotropika. Tetapi dalam kajian ini hanya dibahas UU Psikotropika
dan KUHAP saja. Sejak UU Psikotropika diundangkan, seluruh warga Negara Republik
Indonesia dianggap sudah mengetahui, sesuai dengan asas hukum bahwa setiap orang
mengetahui undang-undang. Aparat penegak hukum, tentu sangat berkepentingan dan
wajib untuk meneruskan dan melaksanakan sosialisasi UU Psikotropika ini, di samping
berkewajiban menegakkannya melalui pelaksanaan penegakan hukum.
UU Psikotropika erat kaitannya dengan Convention on Psychotropics
Substances 1971, yang diratifikasi dan dianggap merupakan suatu keberhasilan
Indonesia di bidang penanggulangan penyalahgunaan psikotropika, sekalipun ratifikasi
tersebut baru dilakukan setelah 26 (dua puluh enam) tahun berlalu. Keberhasilan
tersebut sangat bermakna dengan terciptanya UU Psikotropika. Dikatakan sebagai
keberhasilan dan diundangkannya UU Psikotropika, maka penyalahgunaan psikotropika

13
yang menimbulkan dampak negatif yang sangat luas bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang dapat ditanggulangi secara
represif, sebab telah memiliki landasan hukum positif.Dalam kenyataan di lapangan,
penanggulangan tindak pidana psikotropika secara represif melalui sistem peradilan
pidana berdasarkan UU Psikotropika, tidak semulus dan sesuai dengan harapan para
pembentuk undang-undang, terutama dalam tingkat penyidikan khususnya yang
dilakukan oleh penyidik polisi yang bertugas di lingkungan Poltabes Bandar Lampung.
Adapun faktor penghambat penyidikan tindak pidana psikotropika oleh penyidik
Kepolisian yang bertugas di lingkungan Poltabes Bandar Lampung, dilihat dari segi
peraturan perundang-undangan itu sendiri UU Psikotropika tidak tegas menetapkan
status pengguna psikotopika bagi diri sendiri, apakah sebagai pelaku tindak pidana atau
sebagai korban tindak pidana psikotropika. Apabila status pengguna sebagai pelaku
tindak pidana, maka ia dikenai sanksi pidana, tetapi jika statusnya sebagai korban
tindak pidana psikotropika, maka ia dapat tidak dipidana tetapi di rehabilitasi.
Ketidaktegasan UU Psikotropika dalam status pengguna psikotropika yang tidak
sesuai dengan ketentuan undang-undang (penyalahgunaan pemakaian dengan
penggunaan psikotropika), apakah sebagai korban atau sebagai pelaku tindak pidana
psikotropika, telah mengakibatkan timbulnya berbagai macam persepsi dalam
penerapan (setidak-tidaknya ada dua macam persepsi dan penerapan khususnya yang
menyangkut penetapan status pemakai atau pengguna sebagai korban tindak pidana
psikotropika atau sebagai pelaku tindak pidana psikotropika) di lapangan. Menurut
responden Prasetyo Utomo, kurang berhasilnya penanggulangan penyalahgunaan
psikotropika secara represif oleh Poltabes Bandar Lampung dilihat dari sisi peraturan
perundang-undangan psikotropika, karena undang-undang tentang psikotropika tidak
tegas menentukan status pengguna psikotropika, apakah sebagai pelaku atau sebagai
korban tindak pidana psikotropika.
Berdasarkan Radiogram Kepala Direktorat Serse (Kaditserse) Kepolisian Daerah
(Polda) Lampung No. Pol.: TR/OPS-951/1999 tanggal 15 Agustus 1999, telah dilakukan
operasi khusus terhadap kejahatan tindak pidana narkoba dengan sasaran tempat-
tempat hiburan di Kota Bandar Lampung. Dalam operasi tersebut, Poltabes Bandar
Lampung dapat menangkap para pelaku kejahatan narkoba dan 36 orang diantaranya

14
ditahan karena hasil test urine dan darah menunjukkan adanya zat psikotropika di
dalam tubuhnya (sebagai pengguna ectasy). Penahanan terhadap mereka ini
didasarkan pada Pasal 59 UU Psikotropika. Tetapi, sehari setelah penahanan, melalui
telepon langsung kepada Kapoltabes, Kaditserse Polda Lampung memberikan
pengarahan, bahwa penerapan Pasal 59 UU Psikotropika masih diragukan dan agar
dipakai Pasal 60 ayat (5) UU Psikotropika terhadap pengguna dan segera dilakukan
penangguhan penahanan. Padahal dalam kurun waktu yang sama dan kasus yang
sama, Polda Metro Jaya melakukan penahanan berdasarkan Pasal 59 UU Psikotropika.
Lebih lanjut dikatakan responden, di lingkungan Polda Lampung tetap dipegang
anggapan, bahwa Pasal 14 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 59 ayat (1), ayat
(2), ayat (3) bukan mengatur tentang menggunakan bagi dirinya sendiri alias menerima,
memakan, menghisap, menyuntik untuk dirinya sendiri alias pengguna.
Di lingkungan Polda Lampung disepakati, bahwa ketentuan yang mengatur
tentang menggunakan psikotropika dagi diri sendiri adalah Pasal 60 ayat (5) UU
Psikotropika. Adapun bunyi Pasal 60 ayat (5) tersebut adalah sebagai berikut:
“Barang siapa menerima penyerahan psikotropika selain yang diterapkan dalam pasal
14 ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang
menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) bulan (tidak bisa ditahan).”
Anggapan atau persepsi penyidik polisi di lingkungan Polda Lampung terhadap
ketentuan yang mengatur tentang menggunakan psikotropika bagi diri sendiri adalah
ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 60 ayat (5), bukanlah merupakan anggapan
atau persepsi yang diakui juga oleh fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) yang bertugas menyusun UU Psikotropika. Kesepakatan fraksi-
fraksi di DPR RI itu menyatakan, bahwa pemakai adalah dianggap sebagai korban oleh
karena itu sanksi hukum yang dijatuhkan kepada mereka adalah dalam rangka upaya
pengiriman ke tempat rehabilitasi. Demikian juga yang disepakati oleh Panitia Khusus
(Pansus) penyusunan Undang-Undang Psikotropika ini. Oleh karena itu, jiwa dan tujuan
pembuat undang-undang pada Pasal 59 ayat (1) UU Psikotropika bukan untuk pemakai

15
atau pengguna bagi diri sendiri akan tetapi adalah menggunakan psikotropika golongan
I bagi diri orang lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Polda Lampung beranggapan, bahwa
penerapan Pasal 59 UU Psikotropika bagi dirinya sendiri adalah kurang tepat dan
kemungkinan dapat di praperadilankan, karena telah melakukan penahanan terhadap
pemakai yang seharusnya tidak ditahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 ayat (5)
UU Psikotropika, yang berbunyi, “Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna,
maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan”.
Terbukanya kemungkinan penyidik polisi negara Republik Indonesia dipraperadilankan
apabila melakukan tindakan penahanan terhadap pengguna atau pemakai untuk dirinya
sendiri, didasarkan pada dua ketentuan undang-undang sebagai berikut:

a. Ketentuan Pasal 60 ayat (5) UU Psikotropika, yang berbunyi: “Apabila yang


menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidanadengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) bulan”.

b. Ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang menyatakan: “Penahanan tersebut hanya
dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana
dan atau percobaan maupun memberikan bantuan dalam tindak pidana tersebut
dalam hal:
1) tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
2) tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal459, Pasal 480 dan Pasal
506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir
diubah dengan Staadblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-Undang Tindak Pidana Imegrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun
1955, Lembaran Negara tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3086).

16
Berdasarkan kedua ketentuan undang-undang yang dikutip di atas dapat
dinyatakan, bahwa terhadap pelaku penyalahgunaan psikotropika dinyatakan, bahwa
terhadap pelaku penyalahgunaan psikotropika yang berstatus sebagai pengguna atau
pemakai untuk dirinya sendiri, tidak dapat dikenakan penahanan. Jika penyidik
melakukan penahanan terhadap pelaku penyalahgunaan psikotropika yang berstatus
sebagai pemakai atau pengguna untuk dirinya sendiri, maka terbuka bagi pelaku untuk
melakukan gugatan praperadilan terhadap penyidik yang melakukan penahanan.
Menurut penulis, pemakaian atau pengguna psikotropika harus dimasukkan dalam
kategori pelaku tindak pidana. Hal ini berdasarkan ketentuan UU Psikotropika Pasal 60
ayat (4) dan ayat (5), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3) ayat (4) dan ayat (5), pasal 62,
Pasal 65, Pasal 54 ayat (2), Pasal 68, dan Pasal 69, yang pada intinya mengandung
pengertian, bahwa setiap perbuatan penyalurkan, meyerahkan, menerima penyaluran
dan penyerahan serta menggunakan psikotropika yang dilakukan oleh perorangan
bukan dokter dan/atau bukan untuk keperluan pengobatan dan ilmu pengetahuan
adalah tindak pidana psikotropika.
Dengan demikian, anggapan yang menyatakan pengguna atau pemakai
psikotropika adalah korban tindak pidana psikotropika, tidak dapat diterima. Oleh
karena itu anggapan tersebut harus ditolak. Sebab, jika anggapan yang menyatakan
pengguna atau pemakai adalah korban tindak pidana psikotropika diterima dalam
penyelenggaranaan penanggulangan penyalahgunaan psikotropika secara represif
melalui sistem peradilan pidana, maka penerimaan tersebut akan sangat merugikan
bahkan dapat menggagalkan upaya penanggulangan penyalahgunaan psikotropika
baik secara represif maupun secara preventif, di samping itu akan menumbuhsuburkan
penyalahgunaan psikotropika di dalam masyarakat. Pengkategorian pengguna atau
pemakai psikotropika sebagai korban tindak pidana atau merugikan bahkan
mangagalkan upaya penanggulangan penyalahgunaan psikotropika itu sendiri
khususnya upaya penanggulangan yang bersifat represif, dapat dilihat dalam uraian di
bawah ini. Pengkategorian pemakai atau pengguna psikotropika sebagai korban, akan
membawa konsekuensi, bahwa pengguna atau pemakai psikotropika tersebut tidak
dapat dihukum bahkan harus dilindungi. Padahal sebagian besar pengguna atau
pemakai psikotropika merangkap sebagai pengedar atau paling tidak berpotensi

17
sebagai pengedar. Dengan demikian, pengkategorian penggunan psikotropika sebagai
korban tindak pidana psikotropika pada akhirnya akan menumbuhsuburkan
penyalahgunaan psikotropika di dalam masyarakat.
Selain akan menumbuhsuburkan penyalahgunaan psikotropika di dalam
masyarakat, pengkategorian pengguna atau pemakai psikotropika sebagai korban
tindak pidana yang membawa konsekuensi tidak dapat dihukumnya para pengguna
atau pemakai psikotropika, mengandung makna, bahwa para pemakai atau pengguna
psikotropika tidak dapat dijadikan tersangka atau terdakwa. Padahal secara umum
adanya produsen (termasuk pengedar) karena adanya konsumen. Dengan kata lain
lebih mudah dilakukan jika perbuatan memproduksi, mengedarkan dan menggunakan
psikotropika dengan cara yang bertentangan dengan undang-undang dinyatakan
sebagai tindak pidana atau kehjahatan. Pemahaman yang demikian sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru, karena undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi dan undang-undang pemberantasan tindak pidana suap melakukan hal
yang demikian, dimana penyuap dan penerima suap dinyatakan sebagai pelaku tindak
pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa zat atau obat psikotropika yang antara lain
berwujud ecstasy, merupakan obat yang berharga tinggi. Saat ini harga satu butir
ecstasy berkisar antara Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) sampai dengan Rp
125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah). Jika tingginya harga ecstasy ini
dikaitkan dengan kecenderungan ketagihan bagi pengguna atau pemakai ecstasy,
maka sudah tentu bagi pengguna atau pemakai ecstasy yang tidak tergolong keluarga
yang benar-benar kaya, sudah pasti akan kekurangan uang untuk memenuhi
kebutuhannya akan ecstasy. Padahal di satu sisi kecenderungan ketagihan akan
ecstasy menuntut dipenuhinya kebutuhan akan ecstasy, di sisi lain uang untuk membeli
ecstasy tidak ada, maka satu-satunya jalan keluar yang mudah dan ringan untuk
mengatasi masalah ini adalah menjadi pengedar.

18
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tindak pidana psikotropika merupakan tindak pidana yang tidak hanya merugikan
individu tetapi juga masyarakat secara luas, bahkan adanya peredaran gelap narkotika
dapat menimbulkan kerugian perekonomian nasional.
Pelaku tindak pidana psikotropika terdiri dari pengedar, pemilik dan pengguna,
dimana ancaman pidana bagi pengedar lebih tinggi daripada pemilik atau pengguna,
bahkan terhadap pengguna hanya dikenakan ancaman pidana maksimal 3 (tiga) bulan
penjara dengan pelaku dapat direhabilitasi/perawatan kesehatan.
Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan petugas Lembaga
Pemasyarakatan) di Bandar Lampung, kurang dapat menanggulangi tindak pidana
psikotropika, hal itu dapat dilihat penegakan hukum tindak pidana psikotropika selama 4
(empat) tahun periode 1998—2001 hanya dapat menyelesaikan 96 perkara saja.
Padahal dari pemberitaan media massa, tindak pidana psikotropika marak terjadi di
kalangan masyarakat di Bandar Lampung.
Pelaksanaan penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana sebagai
salah satu sarana penanggulangan tindak pidana psikotropika diselenggarakan melalui
empat tahap, yaitu dimulai dari tahap penyidikan sebagai tahap awal berprosesnya
sistem peradilan pidana, kemudian berdasarkan hasil penyidikan dilakukan penuntutan
sebagai tahap berikutnya yang diikuti tahap pemeriksaan di persidangan guna
menetapkan putusan hakim serta diakhiri oleh tahap pelaksanaan putusan hakim.
Peradilan pidana efektif menanggulangi tindak pidana psikotropika, dimana tingkat
penyelesaian perkara oleh penyidik, penuntut umum, hakim dan petugas Lembaga
Pemasyarakatan mencapai 100%, sedangkan kecepatan penanganan perkara sangat
cepat dalam batasan jangka waktu lamanya penahanan oleh masing-masing aparat
penegak hukum. Begitu pula dalam kaitannya dengan pengulangan kejahatan tidak ada
pelaku yang mengulangi kejahatan dan kembali ke Lembaga Pemasyarakatan.

19
Faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana psikotropika di
Bandar Lampung disebabkan oleh faktor-faktor perundang-undangan, aparat penegak
hukum, fasilitas dan kesadaran hukum masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Poernomo, Bambang, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Abdurrahman, 1987, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat, Media
Sarana Press, Jakarta.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
1995,

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Hukum, Mandar Maju,
Bandung.

Kartanegara, Satochid, Tanpa Tahun, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur
Mahasiswa, Tanpa Kota.

Kunarto, 1997, Merenung Kritik Terhadap Polri, PT. Cipta Manunggal, Jakarta.

Kusumah, Mulyana, W., 1986, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas), PT. Armico, Bandung.

Tegoeh Soejono, 2006, Penegakan Hukum Demi Keadilan dan Kepastian Hukum,
Termuat Dalam Buku Kapita Selekta Penegakan Hukum Di Indonesia,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, 2006, Penyalahgunaan Norkoba Dapat
Menimpa Setiap Orang, termuat dalam Majalah SADAR, Edisi Khusus HANI,
No. 06/Th IV/Juni 2006, Jakarta.

Moeljatno, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai