Anda di halaman 1dari 24

TRADISI TINGKEBAN BAGI IBU HAMIL PADA MASYARAKAT

JAWA DI BLOK PESUKUNAN KECAMATAN SUMBER KABUPATEN


CIREBON

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Dosen pengampu : Dr. Rohadi, S. Th.I, S.H, M.Hum

Disusun oleh:

Tuti Anisah Sopandi (220811029)

Aang Anggraeni (220811022)

Kurnia Akmal Permana Chandra (220811017)

Lingga Dwiyatcita Musafi (220811057)

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita baginda Nabi besar Muhammad Saw,
beserta keluarga dan sahabatnya, dan kita semua sebagai umatnya sampai akhir zaman.
Terimakasih kepada Bapak Dr. Rohadi, S. Th.I, S.H, M.Hum. yang telah membantu
mengarahkan dalam menyusun karya ilmiah ini. Jazakumullah semoga amal ibadah dan
kebaikannya yang telah diperbuat akan mendapatkan yang lebih baik lagi dari Allah SWT.

Makalah ini kami buat untuk memberi informasi tentang Tradisi Tingkeban bagi ibu
hamil pada Masyarakat Jawa di Blok Pesukunan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon . Penulis
harap semoga makalah ini bermanfaat dan bermaslahat bagi pembaca. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Semoga hasil karya ilmiah ini dapat
bermanfaat dan berguna khususnya bagi penulis dan para pembaca, Aamiin ya robbal’alamin.
Kepada pihak-pihak dan rekan-rekan yang telah andil membantu serta mendukung, atas
perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Cirebon, 28 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................................................4
BAB II................................................................................................................................................6
METODE PENELITIAN.................................................................................................................6
2.1 Metode Pendekatan.............................................................................................................6
2.2 Lokasi Penelitian..................................................................................................................6
2.3 Sumber Data........................................................................................................................6
2.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................................................................7
BAB III..............................................................................................................................................8
PEMBAHASAN................................................................................................................................8
3.1 Makna dari Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil.................................................................8
3.2 Nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil...........................9
3.3 Proses Terjadinya Tingkepan (Tujuh Bulanan)..............................................................10
3.4 Peralatan dan Makanan sesaji yang digunakan untuk tradisi Tingkeban....................12
BAB IV.............................................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................................14
4.1 Kesimpulan.........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

2 Indonesia merupakan
Negara yang memiliki
beberapa suku yang
memiliki
3 hukum adatnya masing-
masing, dimana diakui oleh
hukum agama dan hukum
Nara.
4 Dalam praktiknya sebagian
masyarakat masih
menggunakan hukum
adatnya untuj
5 mengelola ketertibandalam
lingkungannya. Hukum adat
di akui keberadaannya tetatpi
iv
6 dibatasi dalam praktiknya.
7 Berkaitan dengan
keberadaan hukum adat,
dimana merupakan norma-
norma
8 dalam adat atau kebiasaan
yang berlaku dalam suatu
lingkungan dalam bentuk
aturan
9 yang tidak tertulis dan
tersebar di berbagai
masyarakat. Hukum yang
berlaku dalam
10 adat tersebut adalah suatu
kekhasan dan kekayaan

v
budaya untuk melestarikan
budaya
11 dan tradisi tersebut
tidak terlepas dari norma-
norma dan upaya
mempertahankan
12 norma dan aturan adat
kebiasaan.
13 Indonesia merupakan
Negara yang memiliki
beberapa suku yang
memiliki
14 hukum adatnya masing-
masing, dimana diakui oleh
hukum agama dan hukum
Nara.
vi
15 Dalam praktiknya
sebagian masyarakat masih
menggunakan hukum
adatnya untuj
16 mengelola
ketertibandalam
lingkungannya. Hukum adat
di akui keberadaannya tetatpi
17 dibatasi dalam
praktiknya.
18 Berkaitan dengan
keberadaan hukum adat,
dimana merupakan norma-
norma
19 dalam adat atau kebiasaan
yang berlaku dalam suatu
vii
lingkungan dalam bentuk
aturan
20 yang tidak tertulis dan
tersebar di berbagai
masyarakat. Hukum yang
berlaku dalam
21 adat tersebut adalah suatu
kekhasan dan kekayaan
budaya untuk melestarikan
budaya
22 dan tradisi tersebut
tidak terlepas dari norma-
norma dan upaya
mempertahankan
23 norma dan aturan adat
kebiasaan.
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beberapa suku yang memiliki hukum
adatnya masing-masing, dimana diakui oleh hukum agama dan hukum Negara. Dalam

viii
praktiknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adatnya untuk
mengelola ketertiban dalam lingkungannya. Hukum adat di akui keberadaannya tetapi
dibatasi dalam praktiknya. Berkaitan dengan keberadaan hukum adat, dimana merupakan
norma-norma dalam adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu lingkungan dalam
bentuk aturan yang tidak tertulis dan tersebar di berbagai masyarakat. Hukum yang
berlaku dalam adat tersebut adalah suatu kekhasan dan kekayaan budaya untuk
melestarikan budaya dan tradisi tersebut tidak terlepas dari norma-norma dan
upaya mempertahankan norma dan aturan adat kebiasaan

Hukum adat merupakan aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat
yang telah secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hukum adat
memiliki aturan adat tersendiri sesuai dengan daerah adat masing-masing, dan masih
bersifat tradisional. Hukum adat adalah aturan yang dibuat berdasarkan tingkah laku
masyarakat adat untuk mengatur masyarakat itu sendiri dan harus di taati secara tidak
tertulis.1

Istilah Hukum Adat pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul “De Atjehers” yang menyebutkan istilah hukum adat dengan
“Adat Recht” yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial atau
“Sosial Control” yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Istilah ini
selanjutkan di kembangkan oleh Van Vollenhoven, seorang pakar hukum adat pada masa
Hinda Belanda. Hukum adat yaitu aturan tidak tertulis yang menjadi pedoman untuk
sebagian besar masyarakat di Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. 2 Menurut Soekanto,
hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.3

Hukum adat di akui oleh negara sebagaimana yang tercantum dalam pasal 18B ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.4 Masyarakat hukum adat merupakan

1
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010)
hal.3-4
2
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat. (Aceh: Unimal Press, 2016) hal.2
3
Ibid, Hal. 8
4
Safrin Salam. “Konstitusi Masyarakat Hukum Adat”. (
https://gagasanhukum.wordpress.com/2017/08/17/konstitusi-masyarakat-hukum-adat/, diakses pada 4 Februari
2022)

ix
bagian dari negara Indonesia yang kedudukannya berpengaruh dalam membangun
politik, sosial, ekonomi, hukum dan hak asasi manusia untuk tercapainya ketahanan dan
keamanan nasional. Ada dua hal terkait hukum adat, yaitu diakui dan dihormati.
Masyarakat berhak dalam menjaga eksistensi hukum adat dan kewenangan aslinya.
Eksistensi dan kewenangannya tersebut merupakan hak untuk mempertahankan identitas
tradisional dan hak masyarakat tradisional.

Awal mula adanya tradisi Tingkeban yaitu Tingkeban secara historis berkembang dari
mulut ke mulut sejak zaman dahulu. Pada zaman kerajaan Kediri di perintah oleh Raja
Jayabaya, ada seorang wanita yang bernama Niken Satingkeb. Ia menikah dengan
punggawa kerajaan yang bernama Sadiyo. Dari perkawinan ini, lahirlah sembilan orang
anak. Akan tetapi, nasib malang menimpa mereka, dari kesembilan anak tersebut tidak
ada seorangpun yang berumur panjang. Sadiyo dan Niken Satingkeb tidak putus asa
dalam berusaha dan selalu berdoa agar mempunyai anak lagi yang kelak tidak bernasib
malang seperti anak- anak mereka sebelumnya. Segala petuah dan petunjuk dari siapa
saja selalu mereka perhatikan, tetapi tidak ada juga tanda-tanda bahwa istrinya
mengandung. Maka, pergilah suami istri tersebut menghadap raja untuk mengadukan
kepedihan hatinya dan mohon petunjuk sarana apakah yang harus mereka lakukan agar
dianugerahi seorang anak lagi yang tidak mengalami nasib seperti anak-anaknya
terdahulu.Sang raja yang arif bijaksana itu terharu mendengar pengaduan Nyai Niken
Satingkeb dan suaminya. Maka, beliau memberikan petunjuk agar Nyai satingkeb pada
setiap hari Tumbak (Rabu) dan Budha (Sabtu) harus mandi dengan air suci dengan
gayung berupa tempurung kepala yang disebut bathok.

Setelah mandi, ia memakai pakaian yang serba bersih. Kemudian dijatuhkan dua butir
kelapa gading melalui jarak antara perut dan pakaian. Kelapa gading tersebut digambari
Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri atau Arjuna dan Sumbadara. Maksudnya adalah agar
jika kelak anaknya lahir, ia mempunyai paras elok atau cantik seperti yang dimaksud
dalam gambar itu. Selanjutnya, wanita yang hamil itu harus melilitkan daun tebu wulung
pada perutnya yang kemudian dipotong dengan keris. Segala petuah dan anjuran sang
raja itu dijalankannya dengan cermat, dan ternyata segala yang mereka minta dikabulkan.
Semenjak itu, upacara ini diwariskan turun-temurun dan menjadi tradisi bagi masyarakat
Jawa.

x
Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari jawa dan sudah dikenal oleh
masyarakat Jawa khususnya di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur
berfokus pada budaya Jawa yang fokus dalam keseimbangan dan keselarasan dalam
kehidupan sehari-hari. Suku Jawa memiliki beragam tradisi yang diturunkan dari nenek
moyangnya. Tradisi itu sendiri dipraktikan sebagai perbuatan yang telah berkembang
menjadi sistem nilai luhur.

Berbagai upacara adat dalam masyarakat Jawa dilakukan sebelum manusia lahir
hingga meninggal dunia. Salah satu adat dan tradisi tersebut adalah Tingkeban (Tujuh
Bulanan), Situs Tedak, Ruwatan, Upacara Pernikahan dan lain sebagainya. Salah satu
tradisi dalam masyarakat Jawa yang masih sering dilakukan hingga saat ini adalah tradisi
pada saat masa kehamilan yang disebut dengan Tradisi Tingkeban. Tingkeban dan ritual
sejenis lainnya merupakan bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan untuk melakukan
sebuah ritual tersebut untuk meminimalkan kecemasan yang berlebihan, terutama
kecemasan orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu, ketakutan calon orang tua
memenuhi harapan mereka hingga kehamilan tentang kelahiran dan harapan agar anak
yang dilahirkan sehat jasmani dan rohani. karena itu dimulai dari nenek moyang mereka
yang tidak mengenal agama, mereka melakukan ritual tersebut.

Upacara tujuh bulan atau biasa disebut Tingkeban merupakan salah satu dari adat
istiadat selamatan di mana upacara tujuh bulanan dilakukan oleh ibu hamil pada
kehamilan pertama dan juga usia kehamilannya adalah tujuh bulan. Upacara ini biasanya
dilakukan setelah sholat maghrib, tetapi ada juga beberapa daerah lain yang
melaksanakan Tingkeban pada pagi hari. Tradisi nujuh bulan tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia karena acara ini dilakukan oleh banyak suku bukan hanya suku
Jawa saja melainkan suku lainnya juga, yang menjadi perbedaannya hanya nama dan
prosesinya saja. Walaupun memiliki nama dan prosesi yang berbeda-beda tetapi,
tujuannya sama.

Tingkeban (Tujuh Bulanan) harus dilaksanakan sebagai sarana untuk pemujaan saat
berdoa kepada Allah SWT agar para ibu dan bayi yang mereka kandung juga memiliki
kesehatan dan keselamatan, upaya membesarkan anak dalam kandungan seperti upacara
Tingkeban melibatkan berbagai nilai budaya nenek moyang umat Islam. Setelah
mengetahui definisi dan makna dari Tradisi Tingkeban di sini Peneliti ingin mengetahui
nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam Tradisi.

xi
Masyarakat Jawa Barat khususnya di Blok Pesukunan, Kecamatan Sumber,
Kabupaten Cirebon masih tetap mengakui, melestarikan, melaksanakan dan melestarikan
sebuah Tradisi Tingkeban upacara Setiap tujuh bulan masa kehamilan. Upacara tujuh
bulan (Tingkeban) ini salah satu warisan budaya Jawa dari nenek moyang mereka, yang
kemudian diwariskan kepada siapa saja yang mau memeliharanya. Dengan adanya
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis
diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang tradisi Tingkeban yang dilaksanakan
oleh masyarakat Jawa khusunya di Blok Pesukunan, Kecamatan Sumber, Kabupaten
Cirebon bagi masyarakat luar yang minim pengetahuan tentang tradisi Tingkeban.
Sedangkan untuk secara praktis diharapkan untuk masyarakat jawa khususnya di Blok
Pesukunan supaya terus melestarikan tradisi Tingkeban karena sudah menjadi tradisi
turunmenurun. Supaya budaya ataupun tradisi neneng moyang tidak akan pernah luntur
maupun hilang dengan perkembangan zaman yang semakin maju sekarang.

Berdasarkan latar belakang diatas, dinyatakan adanya tujuan yang ingin dicapai
penulis yaitu mengetahui Tradisi Tingkeban Bagi Ibu Hamil Pada Masyarakat Jawa Di
Blok Pesukunan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Hasil karya ilmiah ini penulis
harapkan bermanfaat bagi pembaca dan menjadi acuan bagi penulis lain yang juga ingin
membuat karya ilmiah yang serupa.

1.2 Rumusan Masalah


Dilihat dari latar belakang diatas, ada permasalahan yang perlu dikaji. Untuk itu maka
dilakukan untuk mencari solusi dari rumusan masalah berikut ini :
a. Apa Makna dari Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil?
b. Apa saja Nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil?
c. Bagaimana proses Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil?
d. Peralatan dan makanan sesaji apa saja yang dipakai dalam proses Tingkeban bagi ibu
hamil?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk meneliti dan mengkaji tentang
makna dari Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil, nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi
Tingkeban bagi ibu hamil, proses Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil, dan peralatan dan
makanan sesaji apa saja yang dipakai dalam proses Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil.

xii
BAB II

METODE PENELITIAN
2.1 Metode Pendekatan
Metode yang digunakan peneliti adalah metode pendekatan kualitatif deskriptif.
Yang mencoba untuk menggambarkan dan merekam peristiwa-peristiwa yang ada
berdasarkan kenyataan yang diamati sebagai kata-kata atau lisan dan perilaku manusia

xiii
dengan menggunakan Teknik-teknik yang ada. Informasi dari proses eksplorasi ini,
yaitu:
1. Pengertian dan proses Tradisi Tingkeban yang dilakukan oleh masyarakat Jawa
khususnya di Blok Pesukunan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.
2. Makna dan nilainilai yang terdapat dalam Tradisi Tujuh Bulanan (Tingkeban).

2.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini berlokasi di Blok Pesukunan merupakan salah satu Blok yang
berada di Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Penduduk
Blok Pesukunan sangat mempercayai akan adanya adat istiadat maupun tradisi yang
sudah turun temurun dari nenek moyang zaman dahulu. Dalam hal ini akan
menjelaskan mengenai masalah yang berhubungan dengan Tradisi Tingkeban bagi ibu
hamil pada masyarakat Blok Pesukunan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.
Obyek yang akan diteliti, yaitu Tradisi Tingkeban, sedangkan untuk subyeknya yaitu:
ibu-ibu hamil dan sesepuh di Blok Pesukunan.

2.3 Sumber Data


Sumber data hukum adalah sumber yang dapat digunakan untuk melengkapi
data penelitian. Sumber data hukum meliputi sumber primer dan sumber sekunder.
Adapun di sini penulis menggunakan sumber data hukum tersebut:

a. Sumber data Primer


Data hukum primer adalah data yang didapatkan langsung dari masyarakat di
lapangan melalui kegiatan wawancara. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak
yang bersangkutan secara langsung dalam penelitian ini, seperti masyarakat adat
Tradisi Tingkeban, kepala desa adat, dan sesepuh atau tokoh masyarakat adat yang
memahami dan mengerti pelaksanaan Tradisi Tingkeban menurut sudut pandang
masyarakat blok Pesukunan.
b. Sumber data Sekunder
Data hukum sekunder adalah data yang tidak secara langsung didapat dari
tempat atau lokasi penelitian, atau keterangan-keterangan yang secara tidak
langsung didapat tetapi cara didapatkannya dengan studi pustaka, buku-buku,
jurnal ilmiah, media massa ataupun elektronik, dan sumber-sumber lain yang
dirasa berkaitan dengan penelitian hukum ini.

xiv
2.4 Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu metode penelitian yang digunakan untuk
mengumpulkan data melalui interaksi verbal secara langsung antara pewawancara
dengan narasumber atau responden yang mengetahui permasalahan maupun yang
terlibat langsung dalam topik yang sedang penulis angkat dalam penelitian ini.
Wawancara dilakukan melalui sistem yang sistematis dan sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu guna mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai Tradisi
Tingkeban Bagi Ibu Hamil Pada Masyarakat Jawa Di Blok Pesukunan Kecamatan
Sumber Kabupaten Cirebon.
b. Kepustakaan
Teknik kepustakaan berarti suatu cara guna mengumpulkan data menggunakan
buku-buku terkait pendapat, teori, atau hukum yang berhubungan dengan masalah
penelitian yang sedang penulis susun. Tujuan menggunakan studi kepustakaan
dalam penulisan penelitian ini adalah supaya penulis dapat mencari dan
mengumpulkan pendapat, teori, atau hukum yang lebih khusus yang berkaitan
dengan masalah yang sedang penulis teliti. Selain itu, penulis juga dapat
memanfaatkan dan menggunakan informasi yang ada sehingga dasar penulisan
penelitian ini lebih relevan dengan pendapat, teori, atau hukum yang berlaku
hingga saat ini.

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Makna dari Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil
Menurut Ibu Erni, Tradisi Tujuh Bulanan (Tingkeban) adalah upacara untuk
mendoakan ibu dan calon bayi agar proses persalinan nanti bisa berjalan dengan lancar,
baik ibu dan calon bayi yang lahir diharapkan nantinya selamat, sehat, kondisi baik-baik
saja, dan sekaligus sebagai rasa syukur kepada sang pencipta. Tradisi Tujuh Bulanan
(Tingkeban) sudah menjadi tradisi di masyarakat Blok Pesukunan sudah turun temurun
sejak dari nenek moyang. (Wawancara Ibu Erni, 25 Januari 2023 Pukul 10.00 WIB).

xv
Pengertian di atas, menyatakan Upacara Tujuh Bulanan (Tingkeban) adalah sebuah
prosesi adat Jawa, upacara ditujukan kepada ibu yang usia kandungannya tujuh bulan dan
sebagai sebuah doa agar pertolongan datang pada ibu yang mengandung dan diberikan
kelancaran selama proses persalinan. Pada penelitian Baihaqi, fungsi dari tradisi Upacara
Tujuh Bulanan (Tingkeban), antara lain: untuk mendoakan jabang bayi, sebagai tolak
bala, ajang silaturahmi masyarakat sekitar, memperkuat ukhuwah islamiah, melestarikan
tradisi nenek moyang, mengandung sistem proyeksi, dan untuk pengesahan kebudayaan.5
Tradisi tujuh bulanan ini memiliki beberapa tahapan setiap rangkaian atau tata cara
harus dilakukan, dalam ritual pembasuhan tujuh bulan ini pasti memiliki arti dan tujuan
tersendiri. Salah satunya adalah mintalah bahwa ibu dan anak akan diberikan kemudahan
di kemudian hari dan dihindarkan oleh marabahaya.6
Tingkeban berasal dari kata tingkebdalam bahasa Jawa yang artinya tutup atau sudah
genap.7 Maksudnya adalah agar si ibu yang sedang mengandung tidak bekerja berat lagi
karena bayi yang dikandungnya sudah semakin besar, hal ini untuk menghindari sesuatu
yang tidak diinginkan. Tingkeban disebut juga dengan mitoni. Mitoni berasal dari kata
pitu dalam bahasa Jawa yang artinya tujuh45 karena tradisi ini dilaksanakan pada saat
kehamilan berusia tujuh bulan.Ketika kehamilan memasuki usia tujuh bulan, masyarakat
suku Jawa menyebutnya ‚wes mbobot‛ (sudah berbobot atau sudah berkualitas). Karena
pada usia itu, bentuk bayi dalam kandungan sudah sempurna atau sudah waktunya,
dengan kata lain sudah dianggap wajar jika bayi lahir.
Acara tingkeban ini hanya dilaksanakan ketika seorang wanita mengandung anak
pertama. Artinya untuk kandungan anak-anak berikutnya tidak lagi dilaksanakan
tingkeban. Tradisi tingkeban ini biasanya dilaksanakan di rumah yang memiliki hajat dan
dihadiri oleh anggota keluarga, tetanggadekat dan termasuk juga kenalanyang tinggal
tidak jauh.8
Masyarakat Jawa pada dasarnya adalah masyarakat yang masih memertahankan
budaya dan upacara tradisional, serta ritual apapun yang berhubungan dengan peristiwa
alam atau bencana, yang masih dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam
acara mitoni, masa kehamilan, kelahiran, masa anak-anak, masa remaja, masa

5
Dikutip dari http://eprints.uny.ac.id/8538/3/BAB%202%20-%2008401244022. pdf, tanggal 7 April
2023, Pukul 19;48.
6
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta : Bandung, hal. 5
7
Maria. S. W. Sumard jono, 1996. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, hal. 56.
8
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hal. 30.

xvi
perkawinan, dan masa kematian. Masyarakat Jawa memegang teguh kepercayaan tentang
daur hidup. Daur hidup dipandang sebagai bagian dari kehidupan ritual yang menandai
tingkatan usia dan kedewasaan seseorang. 9
Berdasarkan itu, ada harapan di setiap tradisi mandi tujuh bulan hanya satu keinginan
dia sendiri dan Allah SWT menjamin keselamatan dan kesehatannya untuk bayi dan
orang tuanya setelah lahir. Jadi, keinginan yang membuat seseorang percaya pada hal-hal
yang bersifat tabu berharap bantuan dan menghindari semua bahaya yang sebelumnya
sudah ditakdirkan oleh Allah SWT, maka itu menjadi harapan yang tidak mengkaitkan
kepada Allah SWT.

3.2 Nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Tingkeban bagi ibu hamil
Menurut Bapak Ayi, mengatakan nilai religius yang merupakan hubungan manusia
dengan Tuhan dapat terjalin dengan baik, karena alam dan setiap substansinya adalah
manifestasi Sang Tuhan. Semakin dekat seseorang kepada Allah SWT maka semakin
berkah.

Menurut Ibu Erni, nilai yang paling utama, yaitu nilai sosial dan nilai ekonomi.
Nilai religius karena tujuan dari Tradisi Tujuh Bulanan (Tingkeban) ini, yaitu memohon
keselamatan. Sedangkan, nilai sosialnya terletak pada saling menghargai baik adat
istiadat dan yang lainnya. (Wawancara Ibu Erni, 25 Januari 2023 Pukul 11.20 WIB).

Jadi nilai-nilai yang terkadung di dalam tradisi tingkeban (tujuh bulanan) yaitu:
Pertama, nilai-nilai religius yang ada dalam tradisi tingkeban di masyarakat Jawa, yaitu
pada saat kegiatan membaca Ayat-ayat Al-Qur'an yang dipimpin oleh pemuka agama
dan lain-lain. Surat yang dibaca yaitu surat Yusuf, Luqman, Al-Waqiah, Maryam, Annisa
dan surat Yasin. Tujuan dari pembacaan AlQur’an adalah agar anak yang akan lahir
kelak selalu menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Kedua, nilai-nilai sosial yang mendalam dalam penelitian ini, kerabat dan tetangga
membantu untuk mempersiapkan acara penelitian material selama tujuh bulan untuk
keselamatan dan bantuan, tolong menolong yang dibantu oleh saudara ataupun kerabat
dalam hal memasak makanan untuk acara selamatan, mengundang para para tetangga
dan saudara untuk datang menghadiri selamatan dan do’a bersama. Menghargai tamu
yang datang kerumah dengan memberikan makanan dan minuman. Tujuan dari tolong

9
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP
Regional Centre in Bangkok, 2006), hal. 23

xvii
menolong ini adalah untuk mempererat tali silaturahmi, menambah kerukunan antar
tetangga dan saudara.

Ketiga, nilai ekonomi dalam tradisi tingkeban masyarakat Jawa di Blok Pesukunan
yaitu adanya sumbangan dari saudara dan tetangga yang diberikan kepada tuan rumah
sesuai dengan kemampuan masing-masing, pemberian bingkisan kepada para tamu yang
datang sebagai ucapan terimakasih, memberikan makanan kepada para saudara dan
tetangga yang telah datang membantu, terakhir pertimbangan dalam pembelian barang-
barang yang diperlukan sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga.

Setiap calon ibu berusia tujuh bulan harus menjalankan sebuah tradisi yang
dianggap sebagai tradisi tertua dimana tradisi tujuh bulan dianggap sebuah identitas diri.
Tradisi Tujuh bulanan itu istilahnya do’a selamat bahwa pada saat tujuh bulan itu dalam
ilmu kesehatan retan, mohon do’a supaya bayinya sehat.

3.3 Proses Terjadinya Tingkepan (Tujuh Bulanan)


Dalam sebuah tata cara pelaksanaan tradisi adat tingkepan ada beberapa tahapan yang
harus dilakukan yaitu :
1. Membuat Rujak, Dalam tradisi Jawa membuat rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi.
Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan dan bila tidak asin
jabang bayi lahir laki-laki. Akan tetapi karena teknologi medis sudah ada dan semakin
canggih sampai ditemukan USG empat dimensi, Jenis kelamin bayi sudah dapat
diketahui sejak dini dan lebih efektif.
2. Siraman Calon Ibu Siraman, biasanya dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang.
Rangkaian acara ini bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah
upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka,
setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.
3. Memasukkan Telur Ayam Kampung ke dalam kain calon ibu oleh suami melalui kain
sampai pecah simbol harapan agar bayinya lahir dengan mudah dan tanpa kesulitan
4. Berganti Nyamping Sebanyak Tujuh Kali secara bergantian, disertai kain putih. Kain
putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi yang akan
dilahirkan adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.
5. Pemutusan Lawe atau janur kuning, Pemutusan Lawe atau janur kuning yang
dilingkarkan di perut calon ibu, dilakukan calon ayah menggunakan keris Brojol yang

xviii
ujungnya diberi rempah kunir, dengan maksud agar bayi dalam kandungan akan lahir
dengan mudah.
6. Membelah Kelapa Gading, Calon nenek dari pihak calon ibu, menggendong kelapa
gading dengan ditemani oleh ibu besan. Sebelumnya kelapa gading diteroboskan dari
atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu lewat perut, terus ke bawah, diterima
(ditampani) oleh calon nenek, maknanya agar bayi dapat lahir dengan mudah, tanpa
ada kesulitan. Calon ayah memecah kelapa, dengan memilih salah satu kelapa gading
yang sudah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Harjuna dan Wara Sembodro
atau Srikandi.
7. Selametan, Upacara memilih nasi kuning yang diletak di dalam takir sang suami.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara jual dawet dan rujak, pembayaran dengan
pecahan genting, yang dibentuk bulat, seolah-olah seperti uang logam. Hasil
penjualan dikumpulkan dalam kuali yang terbuat dari tanah liat. kuali yang berisi
uang kreweng dipecah di depan pintu. Maknanya agar anak yang dilahirkan banyak
mendapat rejeki, dapat menghidupi keluarganya.
8. Hidangan, Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang disediakan
dalam upacara tingkepan antara lain :
- Tujuh Macam Bubur, termasuk bubur Procot.
- Tumpeng Kuat, maknanya bayi yang akan dilahirkan nanti sehat dan kuat, Jajan
Pasar, syaratnya harus beli di pasar (kue, buah, makanan kecil)
- Rujak buah-buahan tujuh macam, dihidangkan sebaik-baiknya supaya rujaknya
enak, bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam keluarga.
- Dawet, supaya menyegarkan.
- Keleman Semacam umbi-umbian, sebanyak tujuh macam.
- Sajen Medikingan, dibuat untuk kelahiran setelah kelahiran anak pertama dan
seterusnya.

3.4 Peralatan dan Makanan sesaji yang digunakan untuk tradisi Tingkeban
Tradisi tingkeban tidak memerlukan perlengkapan khusus. Apabila dilakukan proses
siraman maka peralatan yang dibutuhkan yaitu :

a. Tujuh helai kain berfungsi untuk melenggang perut ibu wamil yang bertujuan
utnuk melemaskan tubuhnya serta proses kelahiran lancar dan mudah.
b. Benang warna putih makna, apabila dalam proses melahirkan terdapat hambatan
maka dengan harapan dapat diselesaikan dengan cepat sebagai mana dengan

xix
membakar simpu tadi.
c. Bunga Kembang : supaya wangi dan segar
d. Beberapa Minyak Kelapa berfungsi untuk mengurut perut serta meletakkan posisi
bayi yang baik
e. Beberapa Lilin merupakan untuk memutuskan simpulan tali
f. Cermin : melihat diri sendiri untuk menhadapi proses kelhirn sehingga tidak takut
g. Pucuk Kelapa untuk hiasan ember untuk mandi
h. Kunyit Bermakna untuk menguningkan Benang putih
i. Ketupat Lepas : bahwa proses melahirkan membutuhkan bantuan orang lain.

Setiap agama dalam arti luas tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek
kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang
suci, atau yang gaib. didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau
diimani. Dalam Tinjauan Islam Terhadap Pelaksanaan Tradisi Mandi Tujuh Bulanan
jika diyakini dan menyebabkan ketakutan jika tidak melaksanakannya, maka hal ini
jelas menyimpang dari syariat Islam dan tergolong perbuatan bid'ah yang sesat.

Nama-nama makanan dalam sesaji selamatan tingkeban dipandang urgen untuk


diteliti karena seiring dengan perkembangan zaman, banyak khalayak mulai kurang
akrab dengan nama-nama makanan tersebut dan lebih dekat dengan nama-nama
makanan dari negara asing

a. Tumpeng Pitu, Angka tujuh mengisyaratkan bahwa kehamilan telah mencapai usia
tujuh bulan, mempunyai harapan penyajian tumpeng yang berjumlah tujuh ini
diharapkan keadaan kehamilan baik-baik saja.
b. Tumpeng Bathok Bolu, Makna tumpeng bathok bolu adalah permohonan dan
harapan untuk tumbuh dan berkembangnya janin dalam rahim ibu, yang
disimbolkan dengan telur pada bathok bolu.
c. Tumpeng Playon, Dengan sesaji berupa tumpeng playon ini diharapkan kelak anak
yang lahir pikirannya cerdas, pintar, dan gesit, serta penuh inisiatif.
d. Sega Rogoh, Makna sega adalah perlambang adanya harapan bahwa pecahing
kawah ‘pecahnya air ketuban‘ bisa seketika ‘pyoh’ seperti pecahnya sega rogoh.
e. Sega Gendhong, Maknanya adalah bahwa nasi sebagai sesuatu yang berwarna
putih yang digendong ibarat seonggok bayi dalam kandungan, yang jika kelak lahir
siap digendong dan segala daya dan upaya dijaga kesuciannya.

xx
f. Sega Guyeng, Sesaji sega guyeng ini menjadi petanda atas konsep yang berupa
harapan bahwa bayi yang terlahir kelak menjadi manusia pilihan, yang perilakunya
dapat menjadi contoh bagi orang lain.
g. Jenang Procot, Nama jenang procot menjadi penanda sebuah konsep pengharapan
dimudahkannya proses persalinan, yaitu diharapkan keluarnya bayi dari rahim
ibunya berlangsung sangat cepat.
h. Jenang Baro-Baro, Jenang baro-baro bermakna seseorang perlu hormat dan sayang
pada kakang kawah adhi ari-ari.
i. Klapa Gadhing, Maknanya adalah permohonan agar anak yang akan dilahirkan
berada dalam keadaan sehat dan berwajah rupawan.

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa Tradisi Tujuh Bulanan (Tingkeban) bagi ibu hamil pada masyarakat Blok
Pesukunan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon yaitu sebagai berikut:

- Tingkeban merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Jawa yang sampai
saat ini masih terus dilaksanakan. Sebagai ciri khas budaya suku Jawa,
menjadikan tingkeban sebagai salah satu pusat perhatian masyarakat Jawa. Oleh
karena itu untuk menghormati, melestarikan dan mempertahankan budaya adat,
sampai saat ini masyarakat Jawa khususnya Blok Pesukunan masih menggunakan
dan melaksanakan tingkeban pada prosesi acara tujuh bulan.
- Tradisi Mandi Tujuh Bulanan masyarakat jawa khususnya di Blok Pesukunan
memiliki makna yaitu berdo’a untuk keselamatan dalam proses persalinan bagi ibu
hamil dan bagi calon anak.

xxi
- Pesan Moral yang terdapat dalam Tradisi Mandi Tujuh Bulanan ini adalah
perlunya beriikhtiar dalam upaya keselamatan melalui berdoa bersama.
- Tolong menolong yang dibantu oleh saudara dan tetangga dalam hal memasak
makanan untuk acara selamatan, mengundang para para tetangga dan saudara
untuk datang menghadiri selamatan dan do'a bersama. Ini adalah contoh tonggak
sosial. Saudara dan Tetangga Menghargai tamu yang datang kerumah dengan
memberikan makanan dan minuman. Bantuan bantuan ini bertujuan untuk
mempererat Silaturahmi Tali dan mempererat tali persaudaraan antara Tetangga
dan Saudara.

xxii
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika


Aditama, 2010

Yulia, Buku Ajar Hukum Adat. Aceh: Unimal Press, 2016

Mulyati Rahmanuddin, Hukum Pidana, Jakarta : Mitra Wacana Media, 2015

Muhammad Busbar, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta : PT. Penebar Swadaya, 2004

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : Toko Gunung
Agung, 1995

B. Jurnal/Makalah

Ervina Dwi Indriati, “Implementasi Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum Adat


di Indonesia Dalam Mengatasi Kesenjangan Sosial”, Jurnal Juristic, Volume 1,
Nomor 3, Desember 2020

Ahmad Tahali, “Hukum Adat Di Nusantara Indonesia”, Jurnal Syariah Hukum Islam,
Volume 1, Nomor 2, 2018

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, “Hukum Adat Dan Hukum Nasional : Elaborasi
Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Mewujudkan Kesejahteraan
Masyarakat”, Jurnal Majelis, Edisi 02, Agustus 2020

Khudzaifah Dimyati, “Perkembangan Dan Eksistensi Hukum Adat: Dari Sintesis,


Transplantasi, Integrasi Hingga Konservasi”, Jurisprudence, Volume 6, Nomor
2, September 2017

C. Situs Internet

xxiii
Safrin Salam. “Konstitusi Masyarakat Hukum Adat”.
(https://gagasanhukum.wordpress.com/2017/08/17/konstitusi-masyarakathukum-
adat/, diakses pada 7 April 2023)

Institut Dayakologi, “Adat Istiadat dan Hukum Adat”


(https://kebudayaandayak.com/budaya/0-251/hukum-adat-umum.html, diakses
pada 8 April 2023)

xxiv

Anda mungkin juga menyukai