Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS SENGKETA KEPEMILIKAN LAHAN DAGO ELOS

DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR


109/PK/PDT/2022

ABSTRAK
Sengketa kepemilikan lahan Dago Elos yang diklaim oleh Keluarga Muller dimulai sejak
tahun 2016 dan sudah dilakukan empat kali putusan. Putusan terakhir di Tingkat Kasasi yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI Nomor 109/PK/Pdt/2022. Isi dari putusan tersebut
menetapkan bahwa Keluarga Muller secara sah memiliki hak atas kepemilikan objek tanah
Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 3742 dan diserahkan kepada PT Dago Inti Graha.
Dikeluarkannya putusan tersebut menimbulkan pertentangan dari warga Dago Elos.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 109/PK/PDT/2022, serta menganalisis ketidaksesuaian putusan tersebut dari
perspektif Undang-Undang Pokok Agraria, peraturan perundang-undangan terkait
pendaftaran tanah, dan Undang-Undang Dasar 1945. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan hukum normatif pada objek kajian pokok ratio decidendi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim tidak sesuai dengan Undang-Undang
Pokok Agraria, ketentuan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen Kedua, dan
pembuktian hak lama dalam Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021.
Kata Kunci: Dago Elos; Sengketa Lahan; Putusan Hakim

ABSTRACT
The dispute over land ownership in Dago Elos, claimed by the Muller Family, began in 2016
and has undergone four court decisions. The most recent decision at the Cassation level was
issued by the Supreme Court of Indonesia with case number 109/PK/Pdt/2022. The content of
this ruling establishes that the Muller Family legitimately holds the rights to the ownership of
the land objects with Eigendom Verponding Numbers 3740, 3741, and 3742, which were
subsequently transferred to PT Dago Inti Graha. The issuance of this decision has sparked
controversy among the residents of Dago Elos. This research aims to explain the judge’s
considerations in the Supreme Court decision number 109/PK/PDT/2022, as well as to
analyze the inconsistency of the decision from the perspective of the Basic Agrarian Law,
regulations related to land registration, and the 1945 Constitution. The study employs a
normative legal approach, focusing on the ratio decidendi. The research findings indicate
that the judge’s considerations do not align with the Basic Agrarian Law, Article 28H
paragraph (4) of the Second Amendment to the 1945 Constitution, and the provisions
regarding proof of old rights in Article 5 of Government Regulation No. 18 of 2021.
Keyword: Dago Elos; Land Dispute; Court Decision
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belanda yang masuk ke Indonesia pada tahun 1912 menimbulkan dualisme hukum
pertanahan di Indonesia, di mana hukum pertanahan ini menganut sistem hukum Negara
Belanda (Syukur et al., 2022). Dualisme hukum pertanahan ini menyalahi ketentuan
Undang-Undang Pasal 33 Ayat 3 yang menegaskan bahwa ”Bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Pemberlakukan Hukum Negara Belanda di Indonesia memberikan
kesempatan kepada Warga Negara Asing untuk memanfaatkan serta menguasai tanah dan
kekayaan alam di Indonesia. Hal ini sangat bertentangan dengan kepentingan bagi rakyat
Indonesia.
Tindak lanjut dari amanah konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pada 33 Ayat 3 adalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA disebut
sebagai undang-undang pertanahan karena di dalamnya terdiri atas 58 pasal yang
didominasi oleh hukum mengenai pertanahan (Sulistyaningsih, 2021). Fungsi UUPA
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 yaitu ”Semua hak atas tanah mempunya
fungsi sosial”, makananya setiap pemilik tanah memiliki kewajiban untuk memanfaatkan
tanah tersebut sebaik-baiknya tanpa menimbulkan kerugian terhadap siapapun (Harefa et
al., 2020).
Pemberlakuan UUPA Tahun 1960 mengakhiri dualisme hukum pertanahan. Hak atas
tanah yang lama dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Tujuannya adalah untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi pemilik hak atas tanah melalui alat pembuktian
yang kuat berupa Surat Tanda Bukti Hak. Namun, meskipun sudah diberlakukan
ketentuan mengenai konversi hak atas tanah dari hak barat, permasalahan mengenai
perebutan hak atas milik tanah ini tetap terjadi di Indonesia, bahkan berlangsung dalam
jangka waktu yang cukup lama.
Tanah merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Pada awalnya, tanah
hanya berfungsi sebagai lahan pertanian, namun seiring berkembangnya zaman, tanah
beralih fungsi sebagai aset yang dapat diperjual-belikan dan digunakan untuk lahan
pembangunan. Oleh sebab itu, tidak jarang konflik terhadap perebutan hak atas milik
tanah pun terjadi di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Tanahkita.id, sejak
tahun 1988 – Juli 2023, tercatat 562 kasus konflik lahan di Indonesia. Luas lahan yang
menjadi kasus sengketa selama periode tersebut sebesar 5,16 juta hektare dan telah
memakan korban jiwa sebanyak 868,5 ribu orang (Databoks, 2023).
Kasus sengketa tanah di Dago Elos, Kota Bandung bermula dari 3 bersaudara
Keluarga Muller yang bernama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin
Sandepi Muller mengajukan gugatan klaim kepemilikan hak atas tanah berdasarkan
Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 3742. Mereka menggugat tanah milik
kakeknya yang bernama George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah
tinggal di Bandung pada masa pemerintah kolonial Belanda. Gugatan ini dibuat pada
tahun 2016 bersama dengan PT Dago Inti Graha, perusahaan yang bergerak dalam bisnis
real estate, perdagangan, dan konstruksi gedung. Tanah yang diklaim oleh keluarga
Muller sudah ditempati oleh masyarakat sejak bertahun-tahun lamanya. Jumlah warga
yang tinggal di kawasan tersebut adalah 335 orang, tepatnya di Kampung Cirapuhan dan
Dago Elos RW 1, RW 2, dan RW 3. Di kawasan tersebut juga terdapat fasilitas publik
berupa Kantor POS dan Terminal Dago (Bandung Bergerak, 2022).
Eigendom verponding adalah hak atas bagi warga negara Indonesia yang berasal dari
hak-hak barat yang terbit pada zaman pemerintah kolonial Belanda (Abdat & Winanti,
2021). Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tertanggal 24
September 1960, pemilik eigendom verponding ini harus mengonversi menjadi hak milik
paling lambat 20 tahun sejak diberlakukannya undang-undang ini. Maka dari itu,
Keluarga Muller seharusnya menggugat klaim kepemilikan tanah sebelum tanggal 24
September 1980. Setelah itu hak milik diserahkan kepada Warga Negara Indonesia, bank
pemerintah, badan sosial, dan badan keagamaan. Sedangkan Keluarga Muller pada saat
itu tidak menjalankan kewajibannya untuk melakukan pencatatan ulang hak milik tanah.
Mereka menghilang tanpa kabar dan kembali pada tahun 2016 untuk menggugat Warga
Dago Elos.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Agustus 2017 menyatakan bahwa
tanah Dago Elos sebagai objek sengketa adalah sah milik Keluarga Muller. Warga
diperintahkan untuk meninggalkan lahan tersebut dan membayar biaya perkara sebesar
238 juta (Tempo, 2023). Merasa diperlakukan tidak adil, pihak warga-pun mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, namun warga tetap kalah. Penggugat meminta
untuk segera menyelesaikan permohonan sertifikasi tanah kepada Kantor Pertanahan
Kota Bandung.
Warga tidak menyerah begitu saja, mereka menempuh upaya kasasi untuk
menyelamatkan tanah tempat tinggalnya. Pada Hakim Pengadilan Tingkat Kasasi, warga
Dago Elos menang dengan alasan sudah menempati lahan tersebut sejak lama,
berlangsung terus menerus, dan sebagian ada yang sudah memiliki sertifikat tanahnya
masing-masing. Keluarga Muller tidak berhak atas tanah tersebut karena tidak
mengajukan konversi hak milik tanah dari Eigendom Verponding. Sayangnya
kebahagiaan yang dirasakan oleh warga tidak berlangsung lama. Di tengah pengajuan
sertifikat tanah warga Dago Elos terhadap Kantor Pertanahan Kota Bandung, Keluarga
Muller dan PT Dago Inti Graha berhasil memenangkan peninjauan kembali di Mahkamah
Agung.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1) Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
109/PK/PDT/2022?
2) Bagaimana konversi dan ketidaksesuaian pertimbangan hakim dalam kasus
sengketa kepemilikan lahan Dago Elos ditinjau dari Undang-Undang Pokok
Agraria, Perturan Perundang-undangan Pendaftaran Tanah, dan Undang-Undang
Dasar 1945?
BAB II
METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian


hukum normatif. Penelitian hukum normatif bekerja pada hubungan timbal balik antara
fakta hukum dengan fakta sosial (Barus et al., 2013). Sedangkan menurut Philipus M.
Hadjon, penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan
menganalisis pokok permasalahan dan bertujuan untuk merumuskan argumentasi hukum
(Bachtiar, 2018). Spesifikasi penelitian ini menggunakan deskriptif analitis, yakni sebuah
metode yang berfungsi untuk mendeksripsikan objek penelitian yang dianalisis
sebagaimana adanya objek tersebut, tanpa bermaksud untuk membuat kesimpulan secara
umum atau melakukan generalisasi (Sugiyono, 2009).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu menggunakan data sekunder
melalui studi kepustakaan. Bahan yang digunakan untuk studi kepustakaan dalam
penelitian ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

Gambar 1. Bahan Penelitian Kepustakaan


Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang memiliki tujuan
untuk menjelaskan permasalahan hukum dengan mempelajari peraturan perundang-
undangan yang berlaku, jurnal, buku, dan bahan pustaka lainnya terkait objek penelitian
(Soemitro, 1985). Permasalahan hukum yang dianalisis adalah sengketa hak milik atas
tanah konversi bekas tanah hak barat. Penelitian ini juga menggunakan pendakatan kasus,
di mana kasus yang diteliti sudah memperoleh putusan pengadilan dan sampai pada status
quo. Putusan yang dikaji dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 109/PK/PDT/2022 dengan menggunakan objek kajian pokok ratio decidendi atau
reasoning. Ratio decidendi atau reasoning ini merupakan argumentasi hakim berdasarkan
fakta-fakta materi sebagai pertimbangan hukum dalam memutuskan suatu perkara
(Samanta, 2021).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 109/PK/PDT/2022


Putusan Mahkamah Agung dengan nomor register 109/PK/Pdt/2022 merupakan
putusan hasil pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Heri Hermawan
Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha (Jo Budi
Hartanto) dengan lawan warga Dago Elos. Sesuai dengan putusan majelis hakim nomor
109/PK/Pdt/2022 tersebut menetapkan bahwa Penggugat I, II, III dinyatakan sah sebagai
ahli waris Keluarga Muller. Kemudian, majelis hakim juga menyatakan sah dan berharga
sita hak milik (revindicatoir beslag) atas tanah-tanah negara bekas Eigendom Verponding
Nomor 3740, 3741, 3742. Tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741,
3742 ini diserahkan kepada PT Dago Inti Graha, yang dibuat dengan Akta Nomor 01,
tanggal 1 Agustus 2016 (Putusan MA Nomor 109 PK/Pdt/2022).
Majelis hakim memiliki pertimbangan berikut dalam mengeluarkan putusan nomor
109/PK/Pdt/2022.
1. Keluarga Muller mewarisi tanah dengan hak berupa Eigendom Verponding Nomor
3740, 3741, 3742 tetapi belum melakukan konversi terhadap objek sengketa yang
alas haknya sebelumnya adalah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 3742
sehingga sejak tanggal 24 September 1980 tanah tersebut menjadi tanah yang
dikuasai negara;
2. Tanah obyek sengketa adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, sehingga
siapa-pun berhak untuk mendapatkan hak atas tanah obyek sengketa;
3. Para tergugat mendalilkan menggarap tanah obyek sengketa, tetapi penggarapan
tersebut tidak didukung oleh bukti yang asli. Hanya foto kopi dari foto kopi saja,
artinya penggarapan yang dilakukan oleh para tergugat atas tanah obyek sengketa
tidak disertai bukti formil yang sah;
4. Para tergugat tidak memiliki hak atas tanah obyek sengketa, karena Eigendom
Verponding sebelumnya sudah berubah statusnya menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, karena tidak pernah diajukan pembaharuan hak hingga
batas tanggal 24 September 1980;
5. Berdasarkan keterangan dari Lurah dalam surat tanggal 24 Oktober 2016,
menyebutkan bahwa tidak ada satupun dari Para Tergugat/Penggarap atau yang
menghuni tanah obyek sengketa yang mengajukan hak atas obyek sengketa;
6. Fakta hukum dalam perkara a quo adalah:
1) Para Tergugat tidak memiliki bukti sah penggarapan lahan obyek sengketa;
2) Para Penggugat belum memperbaharui eigendom atas obyek sengketa;
7. Atas dasar Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 3742 Para Penggugat
terlebih dahulu mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah obyek
sengketa, sedangkan Para Tergugat tidak pernah terbukti mengajukan pendaftaran
hak atas tanah obyek sengketa;
8. Oleh karena Penggugat sebagai bekas pemegang hak atas tanah negara bekas hak
barat tersebut telah dapat membuktikan riwayat asal usul kepemilikan atas obyek
sengketa, maka Penggugat memiliki alas hak yang lebih kuat daripada Para
Tergugat yang tidak memiliki bukti penguasaan ataupun alas hak, sehingga
Penggugat telah dapat membuktikan dalilnya dalam perkara a quo sebagai pihak
yang lebih berhak mendaftarkan atas tanah obyek sengketa.

3.2 Konversi dan ketidaksesuaian pertimbangan hakim dalam kasus sengketa


kepemilikan lahan Dago Elos ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria,
Peraturan Perundang-Undangan tentang Pendaftaran Tanah, dan Undang-Undang
Dasar 1945
Hukum yang melandasi konversi hak atas tanah termuat dalam Pasal 1 sampai dengan
Pasal 9 Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam pelaksanaannya, konversi hak atas tanah
harus sesuai dengan asas penguasaan oleh negara, di mana negara berwenang untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Selain asas penguasaan negera, asas lainnya juga meliputi asas fungsi sosial, asas
hukum adat, dan asas nasionalitas/kebangsaan. Kemudian, konversi hak atas tanah juga
berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan
Ketentuan Undang-Undang Pokok, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun
1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas
Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, serta Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak
Indonesia atas Tanah (Sanjaya et al., 2021).
Kedudukan eigendom verponding yang dimiliki oleh Keluarga Muller terbilang lemah
karena sudah melewati batas waktu pendaftaran konversi hak atas tanah barat. Batas
waktu pendaftaran konversi hak atas tanah barat adalah 20 tahun sejak diberlakukannya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu 24 September 1980. Kemudian, eigendom
verponding merupakan ketentuan yang berlaku sebelum disahkannya UUPA. Setelah
UUPA disahkan, eigendom verponding tersebut harus dikonversi sesuai dengan ketentuan
yang ada di UUPA. Dengan demikian, eigendom verponding yang dimiliki oleh Keluarga
Muller tidak bisa dijadikan sebagai alat pembuktian sebab Negara Indonesia tidak lagi
menganut hukum agraria yang bersifat dualisme. Kepemilikan atas tanah didasarkan pada
Hukum Adat, bukan pada Hukum Tanah Barat (Ginting & Lidjon, 2020).
Kemudian, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen
Kedua menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara berwenang-wenang oleh siapapun”.
Diketahui bahwa warga Dago Elos sebagian ada yang sudah memiliki sertifikat tanah.
Namun, hakim Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali tidak
mempertimbangkan hal tersebut. Putusan Mahkamah Agung tidak sesuai dengan fakta
bahwa masyarakat Dago Elos sudah menduduki lahan tersebut dalam waktu yang lama,
terus menerus, dan sebagiannya sudah memiliki sertifikat hak atas tanah mereka. Selain
itu, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 H ayat (4) juga menegaskan bahwa hak milik
pribadi tidak boleh diambil secara berwenang-wenang oleh siapapun.
Landasan hukum terkait ketentuan pembuktian hak lama diatur dalam Pasal 95 PP No.
18 Tahun 2021 ayat 2. Isi pasal tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan
statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara bukan tanah bekas
milik adat;
2. Tanah secara fisik dikuasai;
3. Penguasaan tersebut dilakukan dengan i’tikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; dan
4. Penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.
Hakim dalam mempertimbangkan kasus a quo yang terkait dengan permohonan
pendaftaran tanah oleh Keluarga Muller terhadap obyek tanah sengketa menurut penulis
tidak memperhatikan ketentuan dalam Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021. Hal ini dikarenakan
tanah yang menjadi obyek sengketa merupakan tanah yang sebagiannya sudah memiliki
hak milik, tidak dikuasai secara fisik, dan memperoleh pertentangan dari warga Dago
Elos.
BAB IV
PENUTUP

Lahan yang menjadi obyek sengketa di Dago Elos telah ditempati oleh 335 warga
serta terdapat fasilitas umum seperti Terminal Dago dan Kantor POS. Keluarga Muller
mengajukan gugatan klaim kepemilikan hak atas tanah berdasarkan Eigendom
Verponding Nomor 3740, 3741, 3742. Gugatan ini berhasil dimenangkan oleh Keluarga
Muller pada sidang putusan Mahkamah Agung Nomor 109/PK/Pdt/2022. Pertimbangan
hakim dalam membuat putusan Nomor 109/PK/Pdt/2022 didasarkan atas fakta bahwa
tidak memiliki bukti sah penggarapan lahan obyek sengketa serta belum memperbaharui
eigendom atas obyek sengketa.
Ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), kedudukan eigendom
verponding yang dimiliki oleh Keluarga Muller terbilang lemah karena sudah melewati
batas waktu pendaftaran konversi hak atas tanah barat. Batas waktu pendaftaran konversi
hak atas tanah barat adalah 20 tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), yaitu 24 September 1980. Kemudian, Majelis Hakim juga mengabaikan
fakta bahwa sebagian warga Dago Elos ada yang memiliki sertifikat hak atas lahannya
masing-masing. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 Amandemen
Kedua di mana hak milik pribadi tidak boleh diambil secara sewenang-wenang. Putusan
yang dibuat juga tidak memenuhi syarat pendaftaran tanah sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021 ayat 2.
DAFTAR PUSTAKA

Abdat, A. A., & Winanti, A. (2021). Penyelesaian Sengketa Tanah Terhadap Eigendom
Verponding Yang Dikuasai Pihak Lain. Borneo Law Review, 5(1), 69–87.
https://doi.org/10.35334/bolrev.v5i1.1979
Bachtiar. (2018). Metode Penelitian Hukum. UNPAM Press.
Bandung Bergerak. (2022). Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga.
Bandungbergerak.Id. https://bandungbergerak.id/article/detail/2816/dago-elos-dalam-
angka-warisan-kolonial-merongrong-warga
Barus, Z., Hukum, F., Veteran, U. ", Jakarta, ", Fatmawati, J. R., Labu, P., & Selatan, J.
(2013). Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif Dan
Penelitian Hukum Sosiologis. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 307–318.
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/212
Databoks. (2023). Ini Provinsi dengan Kasus Konflik Lahan Terbanyak di Indonesia.
Databoks.Katadata.Co.Id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/12/ini-
provinsi-dengan-kasus-konflik-lahan-terbanyak-di-indonesia
Ginting, S. B., & Lidjon, W. (2020). Analisis Kasus Sengketa Tanah di Dago Elos akibat
Hukum Eigendom Verponding (Studi Putusan Nomor 570/PDT/2017/PT Bandung).
Jurnal Law Pro Justitia, VI(1), 54–72.
Harefa, D. F., Soepeno, M. H., & Simbala, Y. (2020). Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah
dalam Menunjang Pembangunan di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lex Administratum, 3(3), 89–99.
http://hpj.journals.pnu.ac.ir/article_6498.html
Putusan MA Nomor 109 PK/Pdt/2022, Pub. L. No. 109 PK/Pdt/2022, 1 (2022).
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaece55f7dc4c1f0bd21313331
313233.html
Samanta, D. (2021). Difference between obiter dicta and ratio decidendi. Pen Acclaim
Journal, 15, 1–5.
Sanjaya, I. M. S., Seputra, I. P. G., & Suryani, L. P. (2021). Akibat Hukum Konversi Hak
Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Jurnal Analogi Hukum, 3(3), 282–287.
Soemitro, R. H. (1985). Metodologi Penulisan Hukum. Sinar Grafika.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R & D. Alfabeta.
Sulistyaningsih, R. (2021). Reforma Agraria Di Indonesia. Perspektif, 26(1), 57–64.
https://doi.org/10.30742/perspektif.v26i1.753
Syukur, A. N., Nuraini, H., & Yusmiati, Y. (2022). Analisis Pertimbangan Hakim Dalam
Kasus Warga Dago Elos Melawan Keluarga Muller: Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan
Nomor 109 Pk/Pdt/2022. Jurnal Poros Hukum Padjadjaran, 4(1), 51–72.
https://doi.org/10.23920/jphp.v4i1.1085
Tempo. (2023). Sengketa Tanah Dago Elos Bandung, Warga Lapor Lagi ke Polda Jabar.
Nasional.Tempo.Co. https://nasional.tempo.co/read/1765716/sengketa-tanah-dago-elos-
bandung-warga-lapor-lagi-ke-polda-jabar

Anda mungkin juga menyukai