ANALISA PTSL
DISUSUN OLEH:
NIM : 010002001404
UNIVERSITAS TRISAKTI
2022
ANALISA PTSL
KASUS :
ANALISA:
Tanah tongkonan adalah salah satu bentuk tanah adat, dalam pengertian luas istilah tanah
adat dapat menunjuk kepada dua pengertian, yaitu:
1. Tanah adat dalam pengertian sebagai tanah “bekas milik adat”; . Tanah kepunyaan warga
hukum adat.Penulis beranggapan bahwa tanah milik masyarakat hukum adat memiliki
pengertian yang sama dengan suatu pengertian mengenai tanah yang kekuasaannya telah
menjadi hak milik oleh kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA), dan mengenai ini juga
telah diakui dalam Pasal 3 UUPA, serta dalam istilah terjemahan yang digunaka oleh Cornelis
Van Vollenhoven, beschikkingrecht disebut juga dengan istilah hak pertuanan. Terdapat
sebagian kategori tongkonan menurut kedudukan pemiliknya dalam warga, yaitu:
c) Tongkonan Batu a’riri Bangunan yang berfungsi untuk mempererat persatuan dan
warisan keluarga. Perbedaannya hanya pada jenis tongkonan layuk dan tongkonan
pekandoran yang memiliki tiang tengah yang ditandai dengan hiasan kepala kerbau dan
ayam, Secara umum adat istiadat dan tradisi di setiap wilayah berasal dari sumber
peradaban yang sama yaitu suku Toraja, namun dalam prakteknya terdapat perbedaan.
Bidang tanah pada zaman Hindia Belanda tidak didaftarkan dengan cara recht
cadaster dan secara general diklasifikasikan menjadi tanah adat dan sebagai suatu tujuan
utama pendaftaran, Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang
Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi
Hak-Hak Barat dinyatakan bahwa Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai asal konversi hak barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada
tanggal 24 September 1980 sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), dan pada saat berakhirnya hak
yang bersangkutan akan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hak mengenai
tanah adat yang patuh terhadap hukum suatu adat telah membuat penetapan khusus yaitu
pada sebuah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 DDA/1970, dimana
perubahan hak-hak ulayat tidak ada batas konversi yang disebabkan oleh pertimbangan
untuk mengfokuskan pada biaya, rancangan prosedur, dan ketidaktahuan masyarakat untuk
menlegalkan tana mereka. Pasal 88 ayat (1) sub b, Peraturan Menteri agraria/KBPN Nomor 3
Tahun 1997 disebutkan bahwa hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada
tetapi telah dibuktikan kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun, yang
diakui sebgai hak milik.
Pada zaman sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), terjadi dualisme hukum pertanahan di Indonesia,
yakni berlaku hukum adat dan hukum kolonial Belanda secara bersamaan. Bukti
kepemilikkan tanah secara adat secara umum tidak tertulis, hanya pengakuan dari
masyarakat sekitar dengan batas-batas tanda alam. Sedangkan bukti kepemilikkan menurut
hukum kolonial Belanda adalah bentuk tertulis seperti rincik dan girik yang pada dasarnya
adalah bukti pembayaran pajak tanah. Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis, diadakan
pembedaan antara pembuktian hak baru dan hak lama. Hak-hak yang baru adalah hak-hak
atas tanah yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya UUPA. Sedangkan
yang dimaksud dengan hak-hak lama adalah hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi
hak-hak yang ada pada waktu mulai berlaku UUPA dan hak-hak yang belum diatur
didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah. Mengenai kenyamanan sebagian besar para penduduk yang tidak mempunyai alat
bukti juga dapat diusahakan melalui alat bukti melewati wewenang fisik yang asli, hal
tersebut ialah tanah yang telah dikuasai secara berkelanjutan pada jangka waktu yang
digunakan ialah 20 (dua puluh) tahun, yang dilakukan oleh pengawas pendahulu, sehingga
dapat didaftarkan dan menerbitkan sertifikat.1 Julukan “dikuasai” atau “dikendalikan untuk
menggunakan” atau “diselenggarakan dengan maksud yuridis” memiliki makna yang tidak
sama dan memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, pengertian “dikuasai” mempunyai
makna yang beda dengan “dimiliki.” Karena penyebutan tanah yang telah dikuasai atau
menguasai dalam pengertian “possesion,” secara yuridis memiliki pengertian bahwa tanah
tersebut dikuasai secara fisik oleh pekerja atau penggarap, tetapi tidak dapat dipastikan
secara yuridis bahwa dialah pemiliknya.
Pemilik tanah umumnya memiliki bukti hak atas tanah, dengan bukti tersebut yang
jelas menandakan bahwa pemilik tanah menempati atau menguasai tanah secara fisik.
Begitu pula jika disebutkan bahwa tanah dalam pengertian “ownership” berarti tanah
tersebut dimiliki, tetapi tidak berarti tanah tersebut dapat dikuasai secara fisik karena
adanya suatu hubungan kontrak dan kerjasama tertentu.3 Hak mengenai tanah adat yang
patuh terhadap hukum suatu adat telah membuat penetapan khusus yaitu sebuah
Penetapan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 / 1970, dimana perubahan hak ulayat tidak ada
batasan konversi yang disebabkan oleh pertimbangan difokuskan pada biaya dan rancangan
prosedur dan ketidaktahuan masyarakat untuk melegalkannya tanahnya.
Pendaftaran tanah, sebagai pelaksanaan Pasal 19 UUPA merupakan salah satu upaya
Pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum
tersebut meliputi: jaminan kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum yang
menjadi pemegang hak (subyek hak atas tanah); jaminan kepastian hukum mengenai letak,
batas, dan luas suatu bidang tanah (obyek hak atas tanah); dan jaminan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanahnya.85 Dengan pendaftaran tanah, pemegang hak atas tanah
akan menerima tanda bukti hak atas tanahnya yakni sertifikat. Sehingga dengan sertifikat itu
pemegang hak atas tanah akan terjamin eksistensi haknya. Sekalipun tanah itu akan
difungsikan dalam lalu lintas perdagangan. Sungguhpun pelaksanaan pendaftaran tanah ini
harus terus dilakukan sehingga kelak makna tanah bagi manusia benarbenar dapat
memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya sebagaimana yang diharapkan.
Pendaftaran tanah di Indonesia terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu pendaftaran tanah
untuk pertama kali kemudian pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah
untuk pertama kali dilaksanakan melalui 2 (dua) jenis pendaftaran yaitu pendaftaran tanah
sistematik dan pendaftaran tanah sporadik. Pendaftaran tanah sistematik dilakukan secara
serentak dengan prakarsa Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional
(selanjutnya disebut BPN), untuk mendaftarkan bidang tanah yang belum bersertifikat
berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sedangkan
pendaftaran tanah sporadik dilakukan atas prakarsa pemilik bidang tanah yang belum
terdaftar.
2) Apabila volume bidang pada desa/kelurahan yang ditetapkan lebih kecil dari
kapasitas jumlah bidang tanah yang dapat dikerjakan oleh panitia, maka panitia
tersebut dapat mengerjakan pada beberapa desa/kelurahan;
(3) Satgas yang membantu panitia sebagaimana disebutkan pada angka 2 dapat
dibentuk pada masing-masing desa/kelurahan;
5) Jika lokasi yang ditetapkan terdiri dari beberapa desa, upayakan agar desa yang
menjadi obyek Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap letaknya berdekatan;
6) Dalam hal dipandang perlu, untuk efisiensi dan efektivitas capaian target kinerja
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap maka dimungkinkan penyebaran target
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dikonsentrasikan pada beberapa
kabupaten/kota saja dalam satu provinsi;
7) Jika letak satu desa dengan desa lainnya memerlukan waktu perjalanan yang
panjang, sementara jumlah bidang dalam satu desa tidak memerlukan Satgas
Yuridis maka cukup dibentuk satu panitia dengan 1 pengumpul data yuridis;
8) Jika diperlukan Kepala Kantor dapat melakukan perubahan lokasi yang sudah
ditetapkan dan melaporkan ke Kantor Wilayah BPN Provinsi; 9) Lokasi tanah
obyek landreform yang ditetapkan menjadi obyek pendaftaran tanah sistematis
lengkap dengan sendirinya dikeluarkan dari obyek landreform.
2) Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dapat
menugaskan pegawai dari Kantor Pertanahan membantu pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
lain dalam satu wilayah Provinsi;
4) Dalam hal diperlukan, anggota panitia dapat ditunjuk pegawai dari komponen
seksi lain selain dari seksi Hubungan Hukum Keagrarian dan Infrastruktur
Keagrariaan di lingkungan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
5) Untuk memperlancar pendaftaran tanah sistematis lengkap, Kepala Kantor
Pertanahan dapat menetapkan unsur Kelurahan/Desa, RT/RW atau warga
setempat melaksankan pengumpulan data yuridis.
KESIMPULAN
Sebaiknya pemerintah terus melakukan perbaikan dalam sistem pedaftaran tanah, sehingga
sertifikat yang dikeluarkan benar bisa memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan hukum terhadap pemiliknya, sehingga akan mengurangi sengketa pertanahan.
Sebaiknya kinerja BPN dalam melaksanakan program percepatan PTSL untuk tahun-tahun
berikutnya bisa dipertahankan dan ditingkatkan lebih baik lagi.Agar Pelaksanaan PTSL di
Kota dapat berjalan dengan baik dan dapat menunjukan bahwa program PTSL dapat
mendorong adanya percepatan pelaksanaan legalisasi asset di wilayah Kota , dan
dapatdilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Untuk kebijakan dan solusi
yang diberikan oleh pihak BPN Kota terhadap masalah dan hambatan yang terjadi selama
pelaksanaan program percepatan PTSL sudah baik, bisa dilihat dari solusi yang diberikan
dapat mengurangi atau meminimalisir hambatan yang terjadi, sehingga target tetap bisa
terlaksana. Sebaiknya BPN Kota melakukan evaluasievaluasi terhadap pelaksanaan program
percepatan PTSL setiap tahunnya, agar masalah yang sama tidak terulang di periode
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyuni, 2017, Problematika Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Alternatif
Penyelesaiannya (Studi Kasus di Provinsi Sumatera Utara), Puslitbang Kementrian ATR/BPN
Puslitbang Kementrian ATR/BPN, hlm. 10
Rahmat Riardo, 2019, Konversi Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak Milik Melalui
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Kota Solok, Soumatera Law Review, 2(2),
hlm. 195
Riyadi Ismanto dan Margareta Maria, Rumah Tongkonan Toraja Sebagai Ekspresi Estetika
Dan Citra Arsitektural, Laporan Akhir Penelitian, Fakultas Teknik Universitas Kristen
Indonesia, (2020), http://repository.uki.ac.id/2123/ (diakses 09 September 2020).
Farida Patittingi, 2011, Penegasan Alas Hak Penguasaan Fisik Turun-temurun Dalam Praktik
Pendaftaran Tanah, Jurnal Amanna Gappa, 19(4), hlm. 355-356.
Muhammad Ilham Saputra dan Sri Wildan Ainun Mardiah, 2019 Kedudukan Hukum tanah
Adat dalam Pengembangan Administrasi Pertanahan di Indonesia: Studi Komparartif, Jurnal
Amanna Gappa, 27(2), hlm. 76