Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PROPERTI DAN BISNIS

MMPP-USU-KELAS EKSEKUTIF
Dosen: Dr. Rudy Haposan Siahaan, SH, Sp1, MKn

Paper dengan tema: (pilih salah satu)


1. Hukum Pertanahan Dalam Menunjang Pembangunan Nasional
2. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Masyarakat
3. Penatagunaan Tanah dan Tata Ruang Dalam Menunjang
Pembangunan
4. Kepemilikan Hak Atas Tanah Terhadap Orang Asing Dalam Sistem
Hukum di Indonesia
5. Fungsi Pendaftaran Terhadap Peralihan dan Pembebanan Hak Atas
Tanah Dalam Memberi Kepastian Hukum.
6. Suatu Tinjauan Hukum Mengenai Permasalahan/Sengketa Hak Atas
Tanah. (Kasus berkaitan dengan pertanahan)

Format tugas:
1. Tulisan Times New Roman dengan spasi 1.5, Ukuran kertas A4
2. Maksimal 10 halaman sudah termasuk cover/sampul, serta referensi (daftar
bacaan)
3. Kerangka:
- Judul
- Pendahuluan
- Permasalahan
- Pembahasan
- Kesimpulan
- Referensi (daftar bacaan)
4. Tugas di upload dalam Google Classroom pada portal yang tersedia
Langkah Hukum Penyelesaian
Sengketa Tanah yang Tak
Bersertifikat
Pertanyaan
Keluarga saya membeli tanah di daerah Parapat dari Pak Majol dan membangun
rumah, surat surat dan kepemilikan tanah sudah ada, namun belum sertifikat
nasional. Setelah 7 tahun ada pihak yang mengklaim (si A) bahwa tanah Pak
Majol adalah milik mereka, akibatnya hampir 28 rumah kena klaim kepemilikan si
A, yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun lamanya. Setelah ditelusuri dan
mengambil jalur hukum, si penuntut tidak menahu soal batas-batas tanah
miliknya, karena tanah Pak Majol dan si penuntut dulunya adalah warisan nenek
moyang mereka, jadi dari pihak tergugat mendatangkan saksi orang tua (kakek-
kakek) ataupun orang yang mengerti batasan-batasan tanah dan mengaku tahu
bahwa tanah yang kami tinggali bukanlah bagian dari tanah si A. Karena waktu
pembagian tanah dia ikut sebagai saksi zaman dahulu, sementara saksi dari si
penggugat adalah saksi yang tidak menahu batas-batas tanah tapi mengklaim itu
tanah si A. Pak Majol sendiri sudah meninggal sesudah perkara ini. Setelah di
pengadilan ayah saya dan seluruh warga mengajukan banding, karena kalah
dalam sidang. Kami merasa tidak adil, karena saksi dari si penggugat kurang
relevan. Langkah apa yang harus kami tempuh?

Ulasan Lengkap
 

Untuk pertanyaan ini, akan dijawab satu per satu sesuai dengan topik yang bersangkutan.

Pemindahan Hak atas Tanah karena Jual Beli

Pada dasarnya, setiap pemindahan hak atas tanah wajib dibuktikan melalui akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana dijelaskan pada Pasal 37 (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), sebagai
berikut:
 

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Jadi secara prinsip, seharusnya jual beli yang dilakukan oleh Anda dengan Pak Majol dituangkan
di dalam Akta Jual Beli (“AJB”) yang disahkan oleh PPAT, dan kemudian disampaikan kepada
Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran tanah (perolehan surat tanda bukti
kepemilikan tanah atau sertifikat).[1]

Diasumsikan bahwa sertifikat nasional yang dimaksud di sini adalah pendaftaran AJB yang
disahkan oleh PPAT pada Kantor Pertanahan yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar
perolehan sertifikat tanah (AJB sebagai dasar perolehan sertifikat tanah), dengan tidak adanya
pendaftaran AJB tersebut, maka kekuatan pembuktian yang menandakan terjadinya pemindahan
hak atas tanah yang menjadi sengketa mau tidak mau tidak kuat, terutama di pengadilan.[2]

Selain itu perlu diketahui bahwa AJB saja tidak cukup untuk membuktikan kepemilikan tanah.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah, AJB
memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi jual beli tanah. Akan tetapi, untuk pembuktian
yang kuat mengenai kepemilikan atas tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertifikat tanah
sebagai surat tanda bukti hak atas tanah.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32 PP 24/1997, yaitu:

1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat  mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
2. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai
hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila
dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
 

Untuk itu jika Anda ingin membuktikan bahwa tanah tersebut merupakan tanah keluarga Anda
yang telah dibeli dari Pak Majol, maka idealnya harus dibuktikan dengan adanya AJB sebagai
bukti telah terjadi transaksi jual beli dan sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut.

Peralihan Hak karena Pewarisan

Di sisi lain sebaliknya, sebenarnya pihak A juga wajib melakukan pendaftaran atas pewarisan
tanah yang menjadi sengketa tersebut, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) PP 24/97:

Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah
didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun susun sebagai yang diwajibkan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada
Kantor Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya
dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.

Namun, mengenai hal ini, bukti-bukti dapat diajukan di dalam persidangan dan ditanyakan
kepada Kantor Pertanahan terkait, jika memang tanah warisan tersebut telah didaftarkan secara
sah dan perndaftaran tanah tersebut menunjukkan bahwa hak atas tanah telah ada pada pihak A.
Jika tidak ada bukti-bukti mengenai pendaftaran peralihan hak karena pewarisan di Kantor
Pertanahan akibat pewarisan sudah terjadi jauh sebelum dikeluarkannya kewajiban pendaftaran
tanah ini, maka kita dapat lanjut pada isu selanjutnya.

Sengketa Batas Tanah

Sebenarnya, yang menjadi permasalahan adalah apakah tanah yang dibeli oleh keluarga Anda
masuk sebagai tanah A atau tidak berdasarkan batas-batas tanah yang sebenarnya juga kabur
berdasarkan penuturan Anda. Diasumsikan, bahwa penentuan batas-batas tanah (patok-patok
tanah) diselenggarakan pertama kali setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok Agraria (“UUPA”) berlaku, sehingga dianggap penentuan batas-batas tanah ini sebagai
penyelenggaraan pendaftaran tanah yang pertama kali.

 
Di dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, dilakukan pengukuran perpetaan dan
pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut beserta dengan
pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.[3]

Maka dari itu, memang benar perlu dihadirkan saksi-saksi yang berkaitan pada saat pengukuran
tanah berlangsung, tetapi jika tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang menguatkan
keterangan saksi, maka berlaku adagium unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi, jika
hanya terdapat satu saksi maka harus sesuai dengan alat bukti lain),[4] sehingga keterangan saksi
pihak Penggugat menjadi ditiadakan.

Ditambah lagi dengan adanya saksi tandingan yang dihadirkan oleh Tergugat, meskipun memang
akhirnya keterangannya dianggap tidak berdasar, tetapi karena sifat hukum acara perdata yang
menerapkan hakim yang bersifat pasif, maka harus dibuktikan oleh Penggugat bahwa keterangan
saksi Tergugat memanglah tidak berdasar.

Langkah Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam duduk perkara, bahwa perkara ini sudah pada tahap
banding di Pengadilan Tinggi. Maka langkah hukum selanjutnya adalah jelas mengajukan upaya
kasasi di Mahkamah Agung.[5]

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Ada Calon Tak Paham Ius Curia Novit, karena
pemeriksaan tingkat kasasi yang bersifat judex juris, yakni memeriksa penerapan hukum atau
penerapan asas-asas hukum pada putusan tingkat di bawahnya, maka tidak dapat diajukan alat-
alat bukti baru, kecuali pada tingkat Peninjauan Kembali, jika memang perkara harus sampai
pada tingkat Peninjauan Kembali.

Akan tetapi pada tingkat kasasi ini, masih dapat diusahakan bahwa terjadi kekeliruan penerapan
asas hukum oleh hakim di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, seperti misalnya
hakim di tingkat peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan beberapa alat
bukti yang diajukan atau sebaliknya, hakim justru mempertimbangkan saksi yang sama sekali
tidak relevan terhadap kasus, padahal hakim diwajibkan untuk mempertimbangkan kesesuaian
kesaksian dengan alat bukti lainnya.[6]

Atau, dapat pula diinvestigasi apakah sebenarnya saksi yang dihadirkan oleh Penggugat adalah
saksi yang benar-benar independen atau ternyata disewa oleh pihak Penggugat untuk membela
pihak mereka. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang saksi yang dihadirkan oleh Penggugat. Jika
terbukti bahwa saksi tersebut tidak independen, maka keterangan saksi tersebut dapat tidak
dihiraukan oleh hakim.

Sebagai informasi tambahan Anda dapat simak artikel Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria ;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung  sebagaimana
diubah beberapa kali dan terakhir diubah melalui Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung;
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ;
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana diubah melalui Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

[1] Pasal 95 ayat (1) huruf a dan Pasal 102 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana diubah melalui Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 dan Pasal 1 angka 1 PP 24/1997

[2] Lihat Pasal 284-285 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (“RBg”),
terutama mengenai kekuatan pembuktian akta otentik. Diasumsikan Parapat adalah daerah di
Sumatra Utara, sehingga RBg berlaku sebagai hukum acara perdata

[3] Pasal 19 ayat (2) UUPA


[4] Pasal 306 RBg

[5] Pasal 23 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[6] Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
sebagaimana diubah beberapa kali dan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 dan Pasal 309 RBg.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi A DPRD Medan, Ratna Sitepu kepada wartawan, Senin
(15/12). Dijelaskannya, secara keseluruhan luas lahan yang termasuk aset PT KAI adalah
70.316 m2. Selanjutnya pada 1982 sebagian dari luas lahan tersebut atau seluas 34.776 m2
di ruislag ke Pemko Medan dan melibatkan pihak swasta berdasarkan persetujuan Menteri
Keuangan dengan surat Nomor S-1378.MK.011/1981 dan surat Menteri Perhubungan
Nomor A.106/pl.101/MPHB tanggal 6 Februari 1982.

Kepemilikan lahan tersebut milik PT Kereta Api Indonesia dan tercatat dalam Groondkaart
(peta tanah) Nomor 2476/0122345. Tanah berstatus dalam groondkaart tersebut
berstatus recht van eigendom (hak kepemilikan) atas nama Het Gouvernement Van Nederlands
Indie yang telah diperuntukan bagi PT Kereta Api Indonesia (persero) sebagaimana diuraikan
dalam lampiran neraca pembukuan posisi per 31 Mei 1999 pada saat peralihan status dari
Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Hal itu disampaikan Ketua Komisi A DPRD Medan, Ratna Sitepu kepada wartawan, Senin
(15/12). Dijelaskannya, secara keseluruhan luas lahan yang termasuk aset PT KAI adalah
70.316 m2. Selanjutnya pada 1982 sebagian dari luas lahan tersebut atau seluas 34.776 m2
di ruislag ke Pemko Medan dan melibatkan pihak swasta berdasarkan persetujuan Menteri
Keuangan dengan surat Nomor S-1378.MK.011/1981 dan surat Menteri Perhubungan
Nomor A.106/pl.101/MPHB tanggal 6 Februari 1982.

Kepemilikan lahan tersebut milik PT Kereta Api Indonesia dan tercatat dalam Groondkaart
(peta tanah) Nomor 2476/0122345. Tanah berstatus dalam groondkaart tersebut
berstatus recht van eigendom (hak kepemilikan) atas nama Het Gouvernement Van Nederlands
Indie yang telah diperuntukan bagi PT Kereta Api Indonesia (persero) sebagaimana diuraikan
dalam lampiran neraca pembukuan posisi per 31 Mei 1999 pada saat peralihan status dari
Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Selasa, 7 April 2015, Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung menahan Direktur PT Arga Citra
Kharisma (PT ACK), tersangka Handoko Lie, beserta dua orang mantan Walikota Medan, Abdilah
dan Ruhudman H. terkait kasus kasus dugaan tindak pidana korupsi pengalihan tanah milik PT KAI
menjadi HPL Pemda Tingkat II Medan tahun 1982, penerbitan HGB tahun 1994, pengalihan HGB
tahun 2004, serta perpanjangan HGB 2011. Penahanan dilakukan selama 20 hari, terhitung dari
tanggal 7 s.d. 26 April 2015 di Rumah Tahanan (Rutan) Negara Salemba Cabang Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan. (sumber: pemberitaan di berbagai media massa)
PT KAI menyambut baik dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kejaksaan Agung atas
upaya penanganan kasus aset PT KAI di Gang Buntu, Medan dengan mengeluarkan keputusan
penahanan Direktur PT ACK. Sebelumya, PT KAI telah menempuh jalan panjang dalam rangka
mempertahankan asetnya seluas kurang lebih 7,3 hektar yang diklaim seolah-olah adalah milik PT
ACK. Kondisi lahan milik PT KAI yang diserobot PT ACK itu kini sudah berdiri mall, ruko,
apartemen yang semuanya tidak mempunyai IMB.
Pengalihan tanah milik PT KAI menjadi HPL Pemerintah Kota Medan pada tahun 1982, pemberian
HGB di atas HPL Pemko Medan kepada PT Bonauli pada tahun 1994, pengalihan HGB dari PT
Bonauli kepada PT ACK pada  tahun 2004, serta perpanjangan HGB pada tahun 2011 tersebut
merupakan satu urutan kejadian yang terkait dengan Perjanjian Pengelolaan lahan Gang Buntu milik
PT KAI. Konsep awal perjanjian antara pihak swasta dengan PT KAI pada waktu itu diawali dengan
rencana PT KAI untuk membangun perumahan karyawan PT KAI dan fasilitas umum lainnya di atas
lahan Gan Buntu. Konsep awal ini bermula pada tahun 1981. Dengan kurangnya dana milik PT KAI
pada waktu itu maka PT KAI mencari pola lain yang akhirnya PT KAI memilih pola kerjasama
dengan pihak swasta. Pihak swasta tersebut akan membangun seluruh fasilitas perumahan dan pihak
swasta mendapat imbalan berupa bidang lahan dari PT KAI.
Pola kerjasama tersebut kemudian dituangkan dengan beberapa perjanjian. Dalam kerjasama tersebut
pada awalnya PT KAI (dahulu Djawatan Kereta Api) melakukan kerjasama dengan PT Inanta.
Kerjasama pengelolaan mengharuskan Djawatan untuk melepaskan hak atas tanah terlebih dahulu
dengan pihak swasta tersebut. Namun pemerintah pada saat itu tidak menyetujui pelepasan tanah
Djawatan dengan pihak swasta. Pemerintah hanya dapat menyetujui apabila pelepasan hak dilakukan
dengan pemerintah. Djawatan Kereta Api kemudian melepaskan hak atas tanah kepada Pemerintah
Kota Medan. Pemerintah Kota Medan kemudian mengajukan HPL atas tanah tersebut pada tahun
1982 yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun yang sama. Dalam perjalanan waktunya
antara tahun 1982 hingga tahun 1994, terjadi perubahan-perubahan atas perjanjian. Salah satu
perubahan yaitu pengalihan hak dan kewajiban PT Inanta kepada PT Bonauli pada tahun 1989,
kemudian perubahan lokasi pembangunan perumahan karyawan pada tahun 1990.
Hingga tahun 1994, PT Bonauli yang telah menerima pengalihan hak dan kewajiban dari PT Inanta
tersebut tidak juga melakukan pembangunan perumahan karyawan sebagaimana dalam perjanjian.
Anehnya, PT Bonauli pada waktu itu dapat memperoleh HGB atas tanah HPL meskipun telah tegas
diatur dalam perjanjian bahwa pihak PT Bonauli tidak dapat memperoleh HGB apabila kewajiban
para pihak yaitu untuk membangun perumahan karyawan belum dilakukan. Lebih lanjut bahwa tanpa
persetujuan PT KAI, pada tahun 2002 PT Bonauli kemudian mengalihkan hak dan kewajibannya
kepada PT ACK hingga saat ini.
Atas kejanggalan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ini maka PT KAI mencurigai adanya
tindak pidana yang dilakukan dalam penerbitan HGB atas HPL tersebut. PT KAI kemudian
melaporkan ke kepolisian dan Kejaksaan Agung, yang diikuti dengan Penetapan tersangka atas
Direktur PT ACK yaitu Handoko Lie berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No: 10/F.2/Fd.1/01/
2014tanggal 20 Januari 2014.  
“Setelah keputusan penahanan Direktur PT ACK dilakukan oleh Kejaksaan, PT KAI berharap kasus
perdata yang sedang ditangani dapat segera memperoleh penyelesaian dari Mahkamah
Agung,”ungkap Direktur Utama PT KAI, Edi Sukmoro.
http://ptkaiaddres.blogspot.com/2015/10/penahanan-direktur-pt-ack-pt-kai.htmlß
mengadili :

 Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT.


Kereta Api (Persero) tersebut;

 -  Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 12 September 2011 Nomor


314/ Pdt.G/ 2011/ PN.Mdn. yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan
tanggal 12 Januari 2012 nomor 415.PDT/ 2011/ PT-MDN dan Putusan Mahkamah Agung
nomor No. 1040 K/ PDT/ 2012 Tanggal 5 November 2012;

TURUT TERGUGAT - I ADALAH PEMILIK TANAH SELUAS ± 73,352 M2 (TUJUH PULUH TIGA
RIBU TIGA RATUS LIMA PULUH DUA METER PERSEGI) TEMPAT PUSAT PERBELANJAAN
MALL CENTRE POINT BERDIRI;

TURUT TERGUGAT - I akan menjelaskan latar belakang kepemilikan tanah seluas ± 73,352 M2
(tujuh puluh tiga ribu tiga ratus lima puluh dua meter persegi) tempat dimana Mall Centre Point
berdiri sebagai berikut:

1. Pusat perbelanjaan Mall Centre Point sebagaimana disampaikan oleh PENGGUGAT dalam
perkara a quo berdiri di atas lahan yang terletak di Jl. Jawa dan Jl. Madura, setempat dikenal
sebagai Kelurahan Gang Buntu Medan, seluas ±12.827 m2 atau disebut juga dengan “Lahan A”,
dan seluas ±22.700 m2 atau disebut juga dengan “Lahan C” yang merupakan bagian dari
Gronplan atau Grondkart No. I K.6 D.S.M.W.W tertanggal 13 Agustus 1931 dan Peta Tanah No.
2476/01245 yang merupakan gabungan dari ex. Eigendom Verponding No. 9 dan No. 33 yang
terdaftar pada Kantor Pertanahan Kota Medan atas nama Het Government Nederland Indie, yang
telah diberikan kepada Deli Spoorweg Matschappij (“DSM”) di Indonesia pada tahun 1918
dengan Hak Konsesi ;

BahwaDSMsebagaimanadimaksudpadaangka1diatas,sebelumnya merupakan bagian dari 12


(dua belas) Perusahaan Kereta Api Swasta milik Belanda yang beroperasi di wilayah Sumatera
Utara yang tergabung dalam Vereniging Van Nederlands Indische Spooren Tramweg
Maatschappij atau disebut juga Verenigde Spoorwegbedrijft (“VS”), disamping keberadaan
Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah Belanda yang disebut Staats Spoorwegen (“SS”).
Kemudian setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka berdasarkan
Maklumat Kementerian Perhubungan RI Nomor 1/ KA tanggal 23 Oktober 1946 dibentuklah
Perusahaan Kereta Api yang dikelola oleh Djawatan Kreta Api Republik Indonesia (“DKARI”) ;

Selanjutnya, berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan, Tenaga Kerja dan Pekerjaan


Umum Nomor 2 tanggal 6 Djanuari 1950, dinyatakan bahwa sejak tanggal 1 Januari 1950 DKARI
dan SS/ VS digabungkan menjadi satu Djawatan dengan nama Djawatan Kereta Api (“DKA”).
Kemudian DKA diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (“PNKA”) berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 22 Tahun 1963. Lalu diubah kembali menjadi Perusahaan Djawatan Kereta Api
(“PJKA”) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1971. Selanjutnya, berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1990, PJKA diubah kembali menjadi Perusahaan Umum
Kereta Api (“Perumka”); Dan pada akhirnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
1998, Perumka diubah menjadi PT Kereta Api Indonesa (Persero) hingga saat ini.

Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958, tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan Pengumuman Menteri Perhubungan, Tenaga Kerja
dan Pekerjaan Umum Nomor 2 Tanggal 6 Djanuari 1950, tanah DSM dinasionalisasi menjadi
tanah negara. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1959 tentang
Nasionalisasi Perusahaan Kereta-Api dan Tilpon Milik Belanda yang dikuasai (Hak Beheer) oleh
Djawatan Kereta Api (“DKA”), sebagaimana diuraikan pada angka 3. di atas, saat ini terhadap
tanah-tanah tersebut telah berubah menjadi aset PT Kereta Api Indonesa (Persero) (TURUT
TERGUGAT - I)

1. Riwayat tanah dari Grondplan Nomor K.6b D.S.M. W.W. tanggal 18


Oktober 1888 dan Peta Tanah Deli Spoorweg Matschappij Emplacement Medan
Nomor IJ135d D.S.M. W.W. membuktikan dan menerangkan bahwa riwayat
tanah dari bidang – bidang tanah yang terletak dan/atau dibatasi oleh Jalan Jawa,
Jalan Veteran, Jalan Madura, Kelurahan Gang Buntu ,Kecamatan Medan Timur,
seluas ±73.352 m2 (Lahan A, B, C dan D) adalah bagian dari Eigendom
Verponding Nomor 9 dan Nomor 33 yang diuraikan dalam Grondplan Nomor I
K.6b D.S.M. W.W. tanggal 18 Oktober 1888 dan Peta Tanah Deli Spoorweg
Matschappij Emplacement Medan Nomor IJ135d D.S.M. W.W.

2. Obyek tanah yang terletak di Jalan Jawa dan Jalan Madura, setempat dikenal
sebagai Kelurahan Gang Buntu, Medan, seluas ±12.827 m2 atau disebut juga
dengan “Lahan A”, dan seluas ±22.700 m2 atau disebut juga dengan “Lahan C”
yang disengketakan dalam perkara a quo merupakan bagian dari Gronplan atau
Grondkart Nomor I K.6 D.S.M.W.W tertanggal 13 Agustus 1931 dan Peta Tanah
Nomor 2476/01245 yang merupakan gabungan dari ex. Eigendom Verponding
Nomor 9 dan Nomor 33 yang terdaftar pada Kantor Pertanahan Kota Medan atas
nama Het Government Nederland Indie telah diberikan kepada Deli Spoorweg
Matschappij (“DSM”) di Indonesia pada tahun 1918 dengan Hak Konsesi

3. Riwayat tanah dari lahan objek sengketa dalam perkara a quo yang diputus di
tingkat Kasasi ini secara hukum adalah aset kekayaan Deli Spoorweg Matschappij
di Indonesia, yang kemudian setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, berdasarkan Maklumat Kementerian Perhubungan RI Nomor 1/KA
tanggal 23 Oktober 1946 dibentuklah Perusahaan Kereta Api yang dikelola oleh
Djawatan Kreta Api Republik Indonesia, dan pada akhirnya berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1998, diubah menjadi PT Kereta Api
Indonesa (Persero) (dalam hal ini Pemohon Peninjauan Kembali) hingga saat ini;
Dengan demikian, seluruh aset-aset kekayaan milik Deli Spoorweg Matschappij
di Indonesia demi hukum menjadi aset milik PT Kereta Api Indonesa (Persero)
(dalam hal ini Pemohon Peninjauan Kembali)
4. Pemerintah Indonesia telah melakukan pembayaran ganti rugi terhadap aset-aset
kekayaan Deli Spoorweg Matschappij di Indonesia dalam kurun waktu tahun
1969 sampai tahun 2002 dengan total jumlah pembayaran ganti rugi sebesar f.
11.900.000, sebagai bentuk tanggung jawab Pemerintah Repulik Indonesia atas
penerapan kebijakan nasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan Kereta-Api dan Tilpon Milik
Belanda

5. Grondplan Nomor I K.6b D.S.M. W.W. tanggal 18 Oktober 1888 dan Peta Tanah
Deli Spoorweg Matschappij Emplacement Medan Nomor I J135d D.S.M. W.W.;
dan Gronplan atau Grondkart Nomor I K.6 D.S.M.W.W tertanggal 13 Agustus
1931 dan Peta Tanah Nomor 2476/01245 yang merupakan gabungan dari ex.
Eigendom Verponding Nomor 9 dan Nomor 33 yang terdaftar pada Kantor
Pertanahan Kota Medan atas nama Het Government Nederland Indie, yang secara
yuridis telah beralih menjadi aset–aset kekayaan milik Pemohon Peninjauan
Kembali berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1959 tentang
Nasionalisasi Perusahaan Kereta- Api dan Tilpon Milik Belanda

Anda mungkin juga menyukai