Anda di halaman 1dari 44

BAB IV

PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP

PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PROSES BALIK NAMA

SERTIPIKAT

A. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Sertipikat Tanah

Yang Telah Diblokir Di Kantor Pertanahan

Penerbitan sertipikat dimaksudkan agar pemegang hak atas tanah dapat

dengan mudah membuktikan haknya, oleh karena itu sertipikat merupakan alat

pembuktian yang kuat. Namun apabila ada pihak yang merasa berhak terhadap

tanah tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Apabila dengan

putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, penggugat

dinyatakan yang berhak atau dimenangkan atas tanah yang disengketakan,

maka dapat dimohonkan pembatalan sertipikat pada Kantor Pertanahan.144

Sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor

400/Pdt.G/2017/PN.Bks, penggugat merasa memiliki hak atas suatu tanah

sehingga dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan negeri

untuk mendapatkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap yang menyatakan bahwa penggugatlah yang berhak atas tanah

yang disengketakan, dan didalam amar putusan menyatakan bahwa instansi

yang berwenang dalam hal ini Kantor Pertanahan Kota Bekasi untuk

144
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia,
Malang, 2007, hlm. 63.

1
2

mematuhi dan melaksanakan putusan pengadilan atas tanah yang menjadi

sengketa.

Selama proses persidangan di pengadilan sebaiknya pihak yang

berkepentingan seperti penggugat dan/atau Pengadilan meminta untuk

dilakukan pencatatan atau pemblokiran dalam buku tanah. Pencatatan

dilakukan terhadap sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun yang tanahnya menjadi obyek gugatan di Pengadilan pada

Kantor Pertanahan setempat.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 126 PMA/KBPN 3 Tahun 1997

tentang Peraturan Pelaksanaan PP 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa

pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa hak

atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek

gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang

bersangkutan. Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 hari

terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan

telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir. Jika waktu

berakhir tanpa ada tindak lanjut, dan dikemudian hari pemohon yang sama

ingin mengajukan permohonan lagi dengan alasan yang sama pula, maka dari

pihak Kantor Pertanahan akan menolak permohonan tersebut, kecuali

permohonan disertai dengan bukti keterangan bahwa objek tanah tersebut

telah di sengketakan dan dicatat Perkaranya di Pengadilan.


3

Berdasarkan ketentuan tersebut, penulis ketahui bahwa pencatatan dalam

buku tanah dilakukan karena terdapat suatu hak atas tanah yang akan

dijadikan sebagai objek gugatan di Pengadilan. Sebagai bukti bahwa suatu

hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan atau telah

dijadikan objek gugatan adalah adanya salinan surat gugatan dari pemohon

pencatatan. Permohonan pencatatan tersebut dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya mutasi atau peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun, sehingga segala bentuk perubahan dapat dihentikan

sementara untuk kelancaran penyelesaian sengketa.

Menurut pendapat penulis berdasarkan putusan-putusan yang diangkat

dalam penelitian ini, faktor-faktor yang menyebabkan suatu hak atas tanah

dapat diblokir sertipikatnya yaitu apabila dilakukannya perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan, dan juga

pemblokiran sertipikat dilakukan dikarenakan adanya pihak yang merasa

dirugikan apabila dilakukannya peralihan hak atas sertipikat tersebut, akan

tetap pihak yang merasa dirugikan harus terlebih dahulu dapat membuktikan

bahwa dirinya memiliki bukti yang kuat sebagai pemegang hak atas

sertipikat yang dimohonkan pemblokirannya.

Kantor pertanahan mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan

di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Oleh karena itu, Kantor BPN juga memiliki kewenangan dalam

melakukan pemblokiran sertipikat hak atas tanah. Kantor Pertanahan

berupaya sebaik mungkin untuk melaksanakan ketentuan dalam peraturan


4

perundang-undangan yang berlaku dengan tidak mengabulkan semua

permohonan pemblokiran sertipikat, karena untuk melakukan pencatatan

blokir pada suatu hak atas tanah haruslah memenuhi segala persyaratan yang

telah di tentukan dalam Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan

Pelayanan (SPOPP) yang telah diatur.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi

perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang

telah didaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan

perubahan yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan. Akta PPAT

merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran

tanah.Oleh karena itu, wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

dihadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran, pemindahan dan pembebanan

hak yang bersangkutan. Oleh karena itu berdasarkan Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Kantor pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa

syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, antara lain

mencocokkan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang

ada di Kantor Pertanahan.145

Sertipikat sebagai produk terakhir dari pendaftaran tanah merupakan

surat tanda bukti hak yang berisi salinan dari buku tanah yang dilengkapi

Surat Ukur berisi data yuridis dan data fisik bidang tanah, berlaku sebagai

145
Boedi Harsono, Op.Cit. hlm. 506-507.
5

alat pembuktian yang kuat, mengandung pengertian bahwa selama tidak

dapat dibuktkan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di

dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Perorangan atau badan

hukum yang merasa kepentingannya dirugikan terhadap diterbitkannya

sertipikat hak atas tanah tersebut, berhak mengajukan gugatan ke

Pengadilan. Oleh karena itu, pihak yang merasa kepentingannya dirugikan

dapat melakukan pemblokiran sertipikat hak atas tanah tersebut dengan

mengajukannya pada Kantor Pertanahan setempat.146

Menurut ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah 24

Tahun 1997 jo Pasal 94 PMA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997, selain diperjual

belikan, peralihan hak dapat pula terjadi karena hibah, tukar menukar,

pembagian hak bersama, karena penunjukkan lelang, putusan pengadilan,

warisan, wasiat dan pemasukkan dalam perusahaan. Kecuali karena lelang,

maka peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan bila dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Salah satu alasan PPAT menolak untuk

membuat akta adalah apabila obyek perbuatan hukum (tanah) yang

bersangkutan sedang dalam sengketa. Dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

disebutkan bahwa PPAT menolak membuat akta jika, mengenai bidang

tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun,

kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau

146
Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertipikat Tanah, Kata Pena, Jakarta,
2013, hlm. 68.
6

sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di

Kantor Pertanahan. Oleh sebab itu, maka PPAT wajib melakukan

pengecekan sertipikat di Kantor Pertanahan setempat.

Penulis berpendapat bahwa pembuatan akta oleh PPAT banyak yang

tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT. Hal ini disebabkan oleh

adanya situasi-situasi dan kondisi-kondisi dalam jual beli yang

menyebabkan ketidaksesuaian tersebut sepertinya harus dilakukan agar

transaksi atau proses jual beli tanah bisa dilangsungkan. Situasi-situasi dan

atau kondisi-kondisi seperti ini membuat PPAT kadang-kadang tidak

mempunyai pilihan lain selain melakukan pembuatan akta jual beli tanah

dengan “mengabaikan” tata cara pembuatan akta jual beli tanah

sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan-

peraturan pelaksanaannya.

Selain itu menurut J. Kartini Soedjendro, dalam kenyataan PPAT

acapkali menghadapi dilema, di satu pihak mereka harus tunduk kepada

ketentuan dengan sifatnya yang normatif, sementara di pihak lain, kenyataan

lapangan yang begitu kompleks sering tidak bisa ditangani dan ditampung

oleh peraturan yang begitu kaku. Oleh karena itu dalam konteks situasi

tersebut, PPAT melakukan penafsiran terhadap peraturan yang ada untuk

melayani kliennya. Penafsiran dalam konteks situasi antara PPAT dan klien

tidak dapat dihindari, di satu sisi PPAT karena fungsinya harus melayani
7

klien, sedangkan di lain sisi, klien membutuhkan pelayanan tanpa terlalu

peduli dengan peraturan yang mengikat PPAT. Dengan demikian yang

terjadi adalah rasionalisasi antara kebutuhan PPAT dan kliennya, artinya

dalam usaha menjaga kelangsungan pekerjaannya, PPAT membutuhkan

klien sementara klien sering tidak mau direpotkan oleh persyaratan-

persyaratan teknis yang disyaratkan secara hukum.147

Sengketa hukum timbul bermula dari pengaduan suatu pihak

(orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas

tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan

harapan dapat memperoleh penyelesaian secara admnistrasi sesuai dengan

ketentuan peraturan yang berlaku. Peristiwa pemblokiran sertipikat biasanya

terlihat pada saat pejabat PPAT akan membuat akta peralihan hak atas tanah,

akta pembebanan hak atas tanah atau akta pemberian kuasa membebankan

Hak Tanggungan. Sebelum dilakukan pembuatan dan penandatanganan akta

tersebut, PPAT berkewajiban untuk melaksanakan pemeriksaan atau

pengecekan sertipikat di kantor pertanahan yang bertujuan untuk

mengetahui informasi kesesuaian data fisik dan data yuridis pada sertipikat

dengan buku tanah pada kantor pertanahan. Apabila terdapat

ketidaksesuaian data antara sertipikat dengan data yang tercatat pada buku

tanah, maka kantor pertanahan akan menerbitkan Surat Keterangan

Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk PPAT berdasarkan data yang tercatat di

Kantor Pertanahan. Apabila semua data yang ada di sertipikat sudah sesuai,

147
J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm.26.
8

maka Kantor Pertanahan akan membubuhkan cap sebagai bukti bahwa data-

data sertipikat itu adalah benar adanya. Hal ini tidak dilakukan oleh PPAT

yang menjadi pejabat yang berwenang dalam kasus yang diangkat dalam

penelitian ini baik dalam Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor

400/Pdt.G/2017/PN.Bks ataupun dalam Putusan Pengadilan Negeri

Surabaya Nomor 877/Pdt.G/2013/PN.Sby. Proses pengecekan tersebut lalai

dilakukan oleh PPAT yang membuat Akta Jual Beli (AJB) pada proses jual

beli tanah dan bangunan dalam putusan-putusan yang tersebut, sehingga

menimbulkan akibat hukum yakni adanya pemblokiran dari pihak lain dan

menyebabkan tidak bisa dilakukannya peralihan hak atas tanah dari nama

pihak penjual menjadi nama pihak pembeli.

Dengan mengetahui sertipikat hak atas tanah dalam keadaan blokir,

maka PPAT tidak dapat membuatkan akta peralihan atas tanah tersebut, Jika

PPAT tetap membuatkan akta peralihan terhadap tanah yang berada dalam

keadaan blokir maka dapat batal demi hukum, sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 39 ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa : “obyek perbuatan hukum

yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data

yuridisnya”.

Kepala Kantor Pertanahan dapat menolak untuk melakukan pendaftaran

peralihan hak atas tanah sesuai Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jika salah satu syarat di bawah ini

tidak dipenuhi:
9

1. Sertipikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas

tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor

Pertanahan;

2. Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak dibuktikan

dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang (untuk lelang);

3. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan atau

pembebanan hak yang bersangkutan tidak lengkap;

4. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan;

5. Tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di

Pengadilan;

6. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal

atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap; atau

7. Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dibatalkan oleh

para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.

Dengan demikian sertipikat hak atas tanah yang diblokir tidak dapat

dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain karena PPAT sebagai pejabat

yang diberi kewenangan untuk membuat akta peralihan hak atas tanah sesuai

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Peraturan

Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat


10

Pembuat Akta Tanah (Diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24

tahun 2016) dilarang untuk membuat akta peralihan terhadap hak atas tanah

yang diblokir dan juga Kantor Pertanahan harus menolak untuk pendaftaran

peralihan atas tanah tersebut.

Dalam hal pembebanan hak tanggungan terkait dengan pemblokiran,

analisis Penulis bahwa suatu Hak Tanggungan harus didahului dengan

pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) di hadapan PPAT.

APHT dibuat agar menjadi bukti perjanjian pemberian hak tanggungan yang

merupakan perjanjian tambahan untuk melengkapi suatu perjanjian kredit

sebagai perjanjian pokoknya. Dengan adanya status blokir terhadap hak atas

tanah yang dijadikan objek hak tanggungan, maka tidak dapat dilaksanakan

pembuatan aktanya oleh PPAT, sebagaimana ketentuan Pasal 39 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa dilarang bagi PPAT untuk

pembuatan akta, jika tanah terdaftar tersebut tidak ditunjukkan sertipikat

aslinya, ataupun objek tersebut dalam pemblokiran. Hal ini dapat diketahui

dengan melakukan cek bersih atas tanah tersebut oleh PPAT pada Kantor

Pertanahan.

Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah (UUHT), di dalam Pasal 1 disebutkan: Hak Tanggungan

adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
11

yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur

tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dalam hal pembebanan hak tanggungan terkait dengan pemblokiran

tidak hanya pada saat pendaftarannya, akan tetapi suatu Hak Tanggungan

harus didahului dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan

(APHT) di hadapan PPAT. Dengan adanya status blokir terhadap hak atas

tanah yang dijadikan objek hak tanggungan, maka tidak dapat dilaksanakan

pembuatan aktanya oleh PPAT, sebagaimana ketentuan Pasal 39 PP No. 24

Tahun 1997 dilarang bagi PPAT untuk pembuatan akta, jika tanah terdaftar

tersebut tidak ditunjukkan sertifikat aslinya, ataupun objek tersebut dalam

pemblokiran. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan cek bersih atas

tanah tersebut oleh PPAT pada Kantor Pertanahan. Akan tetapi, dengan

adanya pemblokiran hak atas tanah pada Kantor Pertanahan, maka PPAT

dilarang untuk membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

APHT berfungsi sebagai bukti tentang pemberian Hak Tanggungan yang

berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi

dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok. Jadi, dengan tidak

adanya pembuatan APHT karena adanya pemlokiran terhadap hak atas tanah

tersebut, maka Hak Tanggungan tidak pernah terjadi. Dengan demikian

pemilik hak atas tanah yang diblokir pada Kantor Pertanahan tidak dapat

melakukan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah tersebut.


12

Berdasarkan hukum jaminan salah satu dari sifat Hak Tanggungan yaitu,

memberikan jaminan yang kuat terhadap kreditor yang menjadi pemegang

hak tanggungan dan hak tanggungan tetap mengikut objeknya dalam tangan

siapapun objek itu berada (droit de suite). Oleh karena itu, terhadap suatu

hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan dan dikemudian hari dijadikan

sebagai sengketa dipengadilan, pada dasarnya terhadap hak tanggungan

tersebut tidak dapat diletakkan sita jaminan, karena kedudukan hak

tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor

pemegang hak tanggungan tersebut.148

Selama adanya catatan dalam buku tanah dalam hal ini blokir sertipikat,

maka menurut Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa:

1. Kepala kantor pertanahan wajib menolak untuk melakukan

pendaftaran peralihan dan pembebanan hak apabila hak atas tanahyang

bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan menurut Pasal

45 ayat 1 huruf e.

2. PPAT dapat menolak membuat akta apabila obyek perbuatan

hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik

dan data yuridisnya dalam Pasal 39 ayat 1 huruf f.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah dan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang


148
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Hipotek, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
1978, hlm. 64.
13

Pendaftaran Tanah, tidak ada diatur mengenai perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas tanah dalam hal dilakukan pencatatan blokir dan sita

pada sertipikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Seorang pemegang

hak atas tanah yang sertipikatnya sedang dalam pencatatan blokir dan sita

tidaklah memiliki perlindungan hukum karena sudah menjadi resiko atau

akibat hukum apabila sertipikat tersebut sedang dalam keadaan diblokir

guna melindungi hak atas tanah yang ditangguhkan sampai jelas siapa yang

berhak atas tanah tersebut. Akan tetapi, penulis berpendapat berdasarkan

teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Satijipto Raharjo,

perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi

manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan

kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan

oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan

yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif

dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum

kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.

bahwa bentuk dari perlindungan hukum itu sendiri adalah hak dari setiap

orang yang merasa dirugikan dan merasa memiliki hak atas suatu tanah

memiliki hak untuk mengajukan gugatan secara perdata sehingga dapat

memperjuangkan hak-haknya dan hal tersebut dilindungi oleh hukum yang

berlaku di Indonesia.

Dengan terjadinya pemblokiran hak atas tanah tersebut Kantor

Pertanahan memberikan akibat hukum terhadap hak atas tanah, baik dalam
14

peralihan maupun terhadap pembebanan hak atas tanah tersebut. Dengan

adanya status blokir terhadap hak atas tanah, maka untuk sementara pemilik

sertipikat tidak dapat melakukan peralihan atau pembebanan hak atas

tanahnya karena PPAT sebagai pejabat dalam pembuatan akta tersebut tidak

dapat melaksanakan tugasnya, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 39

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilarang bagi PPAT untuk

membuat akta, jika tanah terdaftar tersebut tidak ditunjukkan sertipikat

aslinya, ataupun objek tersebut dalam pemblokiran.

Sedangkan terkait akibat hukum dari akta jual beli tanah yang tidak

sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT menurut Penulis haruslah

dibedakan antara akta PPAT itu sendiri dan perjanjian jual beli yang

dituangkan ke dalam akta oleh para pihak. Meskipun aktanya terdegradasi

kekuatan pembuktiannya tetapi perjanjian jual beli di antara para pihak

adalah tetap sah sepanjang syarat-syarat perjanjian jual belinya terpenuhi.

Kemudian analisis penulis mengenai akta jual beli telah ditandatangani

tapi sertipikat belum diperiksa kesesuaiannya dengan buku tanah di kantor

pertanahan, akibat hukumnya adalah:

1. Akta terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di

bawah tangan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh

undang-undang dan atau peraturan-peraturan lain;


15

2. Bagi pembeli terdapat resiko sertipikat diblokir atau sertipikat

tidak sesuai dengan daftar yang ada dalam buku tanah di Kantor

Pertanahan;

3. Para pihak atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat

memanfaatkan keadaan ini, misalkan pihak ketiga tersebut akan

mengajukan gugatan akan tetapi terbentur oleh adanya akta otentik yang

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (hanya satu bukti cukup

sebagai dasar pemutus perkara). Sesuai dengan bunyi Pasal 1870

KUHPerdata:

“Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya


ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu
akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang termuat di dalamnya”
Dengan adanya celah bahwa akta otentik tersebut dapat

didegradasikan menjadi akta di bawah tangan, sehingga pihak ketiga

yang berkepentingan tersebut memiliki kemungkinan untuk

memenangkan gugatannya.

B. Kepastian Hukum Dalam Proses Balik Nama Sertipikat Atas Tanah

Yang di Blokir di Kantor pertanahan.

Sejarah kepemilikan tanah di Indonesia berbeda dengan sejarah

kepemilikan yang dikenal di negara-negara kerajaan seperti Inggris.149 dan

Malaysia. Sekalipun belakangan belakangan Belanda memperlakukan model

149
A.W.B Simpson, A History of The Land Law, University Printing House, Oxford,
1986, hlm. 2.
16

kepemilikan tanah sama seperti di negaranya, itu hanya karena keinginan

Belanda untuk memudahkannya menguasai tanah di negeri ini.150

Sehubungan dengan misi dagangnya (leverentien dan contingenten).151

Belanda memperlakukan bahwa raja adalah pemilik tanah yang dikenal

dengan teori “semua yang terdapat di kolong langit adalah kepunyaan raja”.152

Sehingga ketika dia akan membutuhkan tanah di negara ini mereka hanya

menghubungi raja atau minta izin kepada raja agar mereka dapat menguasai

tanah untuk kepentingan usahanya itu di negara ini.153

Tetapi untuk Indonesia, raja bukanlah pemilik tanah. Atas nama

rakyatnya raja berkuasa untuk mengawasi dan memberikan tanah tersebut bagi

mendukung kehidupan dan hidup rakyatnya sehingga rakyatnya benar-benar

terayomi oleh kekuasaan saat itu. Dengan demikian, terdapat di bebrapa

kekuasaan rakyat ada raja yang kuasa, namun untuk kepemilikan tanah tetap

menjadi milik bersama rakyat. Raja hanya sekadar melegalisasikan tindakan

rakyat terhadap penguasaan dan pengusahaan tanah.154 Namun, karena

bersama-sama bertanggungjawab dalam memanfaatkan tanah untuk kehidupan

masyarakatnya, lalu muncullah hubungan tak terpisahkan antara tanah dengan

rakyat tersebut sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekling).155 Hubungan ini

150
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm 199.
151
Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2004, hlm. 155.
152
A.P. Parlindungan (selanjutnya disebut A.P Parlindungan V), Berbagai Aspek
Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 5.
153
Ibid.
154
Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Prad Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 61.
155
K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1980, hlm. 72.
17

terus melembagai sebagai hubungan religious magis,156 sehingga setiap ada

tindakan terhadap tanah selalu harus dengan restu atau bahkan harus seizin

raja untuk dapat dikerjakan tanpa diganggu manusia sekawasan atau mahluk

lain.157

Bahkan untuk mengalihkannya pun harus tetap mendapat restu raja atas

nama rakyat sekawasan. Dalam bahasa adat, untuk tindakan terhadap tanah

harus dilakukan secara terang dan tunai.158 Maka tindakan terhadap tanah dan

juga tindakan yang berhubungan dengan tanah harus tetap minta izin dan

dibuatkan secara terang, yang dilakukan dihadapan raja.

Tindakan terang dan tunai sebagai ciri khas tindakan dalam hukum adat

mewarnai pola legalnya tanah tersebut diusahakan atau dikelola oleh

warganya, sehingga sesama warga tidak saling mengambil lagi tanah yang

sudah diusahakan oleh kawan sedesa atau sekawasannya. Bagi yang

mengusahakannya pun akan selalu membuat tanda sebatas mana tanah itu

dapat diusahakannya dan inilah yang akhirnya disebut hak kepemilikan

komunal, yang kelama-lamaan atas pertambahan keluarga dengan berbagai

kepentingannya terhadap tanah yang komunal tadi terindividualisasi menjadi

hak individu dari seorang warga desa.159

Indonesia yang pendaftaran tanahnya didasarkan kepada filosofi hukum

adat (milik bersama) sangat berakibat kepada tujuan pendaftaran tanah yang

didapat. Salah satu contoh dalam hal ini misalnya bahwa dalam pemberian hak

156
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 1992, hlm. 231.
157
Ibid.
158
Ibid.
159
Muhammad Yamin, Op. Cit, hlm. 6.
18

atas tanah tidak dikenal lembaga verjaring (uit weizing procedure).160

Pendaftaran tanah ini hanya sekadar mengadministrasikan tanah tersebut,

bukan memberikan hak itu kepada seseorang. Namun, di tanah itu ada haknya

lalu dikukuhkan negara. Sekalipun memang hal ini mengalami perkembangan

dalam pendaftaran tanah, tapi tidak disangkal bahwa pada awalnya tidak ada

istilah memperoleh hak atas tanah dengan uit weizing procedure tersebut, lalu

dalam perkembangannya langsung diakui. Hukum adat telah memperkenalkan

lembaga rechtverwerking.161 Siapa yang meninggalkan tanahnya, maka

hilanglah haknya untuk mengelola tanah tersebut.

Untuk mengenal dan memahami lembaga utuh mengenai pendaftaran

tanah inin, maka baik sistem, asas, tujuan, dan aturan (in action-nya) sangat

mempengaruhi akan kehidupan dan perilaku yang harus dilaksanakan.

Pendaftaran tanah untuk saat ini telah dipusatkan pada instansi tertentu oleh

Kantor pertanahan Bagian Pendaftaran Tanah (PT) bekerjasama dengan

bagian pengukuran, serta pemberian hak.162

Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana digambarkan oleh

Douglas J. Willem merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak-

hak seseorang, sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas

bagian-bagian tanah yang didaftarkan. Lengkapnya disebutkan:

The register consist of the individual grant, certificates of folios


contained whitin it at anygiven time. Added to these are documents that
may bedeemed to be embodied in the register upon regristration.
Together these indicated the parcel of land in a particular title, the
160
Irawan Soerodjo, Op. Cit, hlm. 93.
161
Idem, hlm. 121.
162
Pasal 14 Perpres RI No. 10 Tahun 2006 tentang Kantor pertanahan, disebut sebagai
Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.
19

person entitle to interest there in and the nature abd extent of these
interest. Ther are also ancillary register wich assist in the orderly
administration of the system such a parcel index, a nominal index,
losting registered proprietors and a day book in wich documents are
entered pending final registration.163

Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata-mata

akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikan nya dalam menuju

kepastian hokum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan

kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal berikut:

1. Adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);

2. Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari

pendaftaran tersebut (simplity);

3. Adanya jaminan ketetlitian dalam system yang dilakukan (accuracy);

4. Mudah dilaksanakan (expedition);

5. Dengan biaya yang bias dijangkau oleh semua orang yang hendak

mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau kedepan dapat

diwujudkan tertama atas harga tanah itu kelak (suitable).164

Rekaman pendaftaran tanah itu secara berkesinambungan akan

terpelihara di kantor pertanahan. Begitu juga informasi mengenai fisik tanah

tersebut akan terpelihara dalam buku bentuk tanah, sehingga begitu sertipikat

hak atas tanah (bukti tanah) diberikan kepada yang berhak atas tanah, maka

segala aktivitas tanah itu bagi kepentingan pemiliknya benar-benar dijamin

oleh hokum. Bahkan kalaupun akan terjadi mutasi, haknya akan jelas terekam

dalam buku tanah, dan rekaman ini terpelihara demi kepentingan tanah itu atas
163
Douglas J. Whillan, The Torren System In Australia, Melbourne Brisbone Perth,
Sydney, 1982, hlm. 18.
164
A.P Parlindungan IV, Op. Cit, hlm. 10.
20

kedudukan orang yang berhak daripadanya. Sepanjang isi atau sifat hak itu

bias diagunkan atau dimutasikannya, maka tidak ada orang yang tidak

menghormati bila right to use dan right of disposal memang diberikan oleh

jenis haknya itu sendiri. Kenyataan terwujudnya kepastian hokum yang

diterapkan inilah yang menjadi persoalan pokok dari undang-undang untuk

saat ini.165

Menteri Agraria dan Tata Ruang menerbitkan Peraturan Tentang Tata

Cara Blokir dan Sita pada tanggal 9 Agustus 2017. Adapun dasar

diterbitkannya Permen ATR/ Kepala BPN No. 13 Tahun 2017 adalah untuk

pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kantor pertanahan,

Kantor Wilayah Kantor pertanahan dan Kantor Pertanahan dalam

melaksanakan pencatatan dan penghapusan blokir dan sita atau adanya

sengketa dan perkara mengenai hak atas tanah. Selainitu tata cara pencatatan

masih tersebar di beberapa ketentuan, belum lengkap, tidak seragam dan

terdapat pengaturan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan dinamika

perkembangan masyarakat, sehingga perlu disusun dalam peraturan

tersendiri.166

Definisi Pencatatan blokir adalah tindakan administrasi Kepala Kantor

Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk untuk menetapkan keadaan status

quo (pembekuan) pada hak atas tanah yang bersifat sementara terhadap

perbuatan hukum dan peristiwa hukum atas tanah tersebut.  Yang

165
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 206.
166
http://irmadevita.com/2017/ada-sengketa-tanah-baca-dulu-tata-cara-blokir-tanah-di-
sini/,diakses pada tanggal 29 Oktober 2018, pada pukul 16.13 WIB.
21

dimaksuddengan Status Quo adalah keadaan tetap sebagaimana keadaan

sekarang.167

Skorsing adalah pencatatan perintah Pengadilan Tata Usaha Negara

untuk penundaan pelaksanaan keputusan yang diterbitkan oleh Menteri

Agraria dan Tata Ruang/Kepala Kantor pertanahan, Kepala Kantor Wilayah

Kantor pertanahan atau Kepala Kantor Pertanahan. Penghapusan catatan

adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang

ditunjuk untuk menghapus adanya catatan blokir atau sita.168

Di dalam pasal 3 disebutkan, pencatatan blokir dilakukan terhadap hak

atas tanah atas perbuatan hukum atau peristiwa hukum, atau karena adanya

sengketa atau konflik pertanahan.

Pengajuan pencatatan blokir dapat dilakukan dalam rangka perlindungan

hukum terhadap kepentingan atas tanah yang dimohon blokir dan paling

banyak 1 (satu) kali oleh 1 (satu) pemohon pada 1 (satu) objek tanah yang

sama. Hak atas tanah yang buku tanahnya terdapat catatan blokir tidak dapat

dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Permohonan pencatatan blokir dapat diajukan oleh perorangan, badan

hukum atau penegak hukum (pasal 4).

Dalam permohonan pencatatan blokir harus mencantumkan alasan yang

jelas dan bersedia dilakukan pemeriksaan atas permohonan dimaksud.

Permohonan perorangan atau badan hukum wajib mempunyai hubungan

hukum dengan tanah yang dimohonkan pemblokiran (pasal 5).

167
Ibid.
168
Ibid.
22

1. Pemohon yang mempunyai hubungan hukum terdiri atas:pemilik tanah,

baik perorangan maupun badan hukum;

2. Para pihak dalam perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan atau

kepemilikan harta bersama bukan dalam perkawinan;

3. Ahli waris atau kepemilikan harta bersama dalam perkawinan;

4. Pembuat perjanjian baik notariil maupun di bawah tangan, berdasarkan

kuasa; atau

5. Bank, dalam hal dimuat dalam akta notariil para pihak.169

Persyaratan pengajuan blokir oleh perorangan atau badan hukum 

(pasal 6), meliputi:

1. Formulir permohonan, yang memuat pernyataan mengenai persetujuan

bahwa pencatatan pemblokiran hapus apabila jangka waktunya berakhir;

2. Fotokopi identitas pemohon atau kuasanya, dan asli Surat Kuasa apabila

dikuasakan;

3. Fotokopi Akta Pendirian Badan Hukum;

4. Keterangan mengenai nama pemegang hak, jenis hak, nomor, luas dan

letak tanah yang dimohonkan blokir;

5. Bukti setor penerimaan negara bukan pajak mengenai pencatatan blokir;

6. Bukti hubungan hukum antara pemohon dengan tanah, seperti: surat

gugatan dan nomor register perkara atau skorsing oleh Pengadilan Tata

Usaha Negara, dalam hal permohonan blokir yang disertai gugatan di

pengadilan; surat nikah/buku nikah, kartu keluarga, atau Putusan

Pengadilan berkenaan dengan perceraian atau keterangan waris, dalam


169
Ibid.
23

hal permohonan blokir tentang sengketa harta bersama dalam

perkawinan dan/atau pewarisan; dan Putusan Pengadilan berkenaan

dengan utang piutang atau akta perjanjian perikatan jual beli, akta

pinjam meminjam, akta tukar menukar yang telah dilegalisir oleh pejabat

yang berwenang, dalam hal permohonan blokir tentang perbuatan

hukum.

7. Syarat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.170

Pasal 8 menyebutkan, Pengajuan permohonan pencatatan pemblokiran

disampaikan melalui loket Kantor Pertanahan setempat disertai dengan

dokumen kelengkapan persyaratan. Petugas loket melakukan pemeriksaan

terhadap kelengkapan persyaratan. Dalam hal persyaratan permohonan telah

lengkap, petugas loket menyampaikan kepada pemohon bahwa persyaratan

telah lengkap dan pemohon membayar biaya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Biaya yang dimaksud merupakan biaya untuk

melaksanakan pengkajian dan pencatatan.

Bila setelah dilaksanakan pengkajian, permohonan tidak memenuhi

syarat untuk dilakukan pencatatan, maka biaya tidak dapat dikembalikan.

Petugas loket menerima berkas permohonan yang telah lengkap dilampiri

dengan bukti pembayaran dan kepada pemohon diberikan bukti penerimaan

berkas. Bila persyaratan permohonan belum lengkap, berkas permohonan

dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi.

170
Ibid.
24

Permohonan pencatatan pemblokiran (Pasal 9) dilanjutkan dengan

proses pengkajian dan pencatatan. Proses dilakukan dalam jangka waktu

paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak surat permohonan diterima lengkap.

Berkas permohonan yang telah lengkap disampaikan kepada pejabat

yang mempunyai tugas di bidang sengketa, konflik dan perkara. Pejabat

menindaklanjuti permohonan dengan melakukan pengkajian (pasal 10).

Pengkajian dilakukan dengan memperhatikan:

1. Subyek/pihak yang mengajukan permohonan pencatatan blokir;

2. Syarat dan alasan dapat dilakukannya pencatatan blokir;

3. Jangka waktu blokir; dan

4. Biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku

pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kantor pertanahan.

Permohonan pencatatan pemblokiran terhadap sebagian hak atas tanah

yang telah terdaftar, hanya dapat dilakukan setelah letak tanah dan batas tanah

yang dimohonkan pemblokiran diketahui. Hasil pengkajian sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) memuat diterima atau ditolaknya permohonan

pencatatan dan disertai pertimbangan. Hasil pengkajian disampaikan kepada

Kepala Kantor Pertanahan.

Bila hasil pengkajian menerima permohonan pencatatan, Kepala Kantor

Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk melakukan pencatatan blokir (pasal 11).

Namun bila hasil pengkajian menolak permohonan pencatatan, Kepala Kantor

Pertanahan memberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada


25

pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasan

penolakannya.  Pencatatan blokir dapat dilakukan secara manual atau

elektronik. Pencatatan blokir dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau

pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.

Pencatatan blokir paling sedikit memuat keterangan mengenai waktu (jam,

menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan

permohonan, serta alasan permohonan.171

Penulisan pencatatan blokir (pasal 12) dicatat di:

1. buku tanah, pada kolom pencatatan Pendaftaran Peralihan Hak,

Pembebanan dan Pencatatan Lainnya; dan

2. surat ukur, pada lembar gambar surat ukur yang masih tersedia.

Bila tidak tersedia ruang kosong pada surat ukur untuk mencatat blokir

maka pencatatan blokir dilakukan pada kertas terpisah dan dilekatkan pada

surat ukur dimaksud. Pencatatan blokir disahkan dengan ditandatangani oleh

pejabat yang melakukan pencatatan dan dibubuhkan cap Kantor Pertanahan. 

Setelah pencatatan blokir disahkan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat

yang mempunyai tugas di bidang hubungan hukum keagrariaan

memberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada pemohon blokir

dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut.

Adapun jangka waktu blokir adalah sebagai berikut:

1. Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum berlaku untuk jangka

waktu 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pencatatan

171
Hasil Interview dengan Pegawai Kantor Pertanahan Kota Bekasi, pada tanggal 1
November 2018.
26

blokir. Jangka waktu tersebutdapat diperpanjang dengan adanya perintah

pengadilan berupa penetapan atau putusan (pasal 13).

2. Catatan blokir oleh penegak hukum berlaku sampai dengan

dihentikannya kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan

penuntutan, atau sampai dengan dihapusnya pemblokiran oleh penyidik

yang bersangkutan (pasal 14). Kepala Kantor Pertanahan dapat meminta

keterangan kepada penyidik terkait kasus atas tanah yang dicatat

blokir.172

Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum, dapat hapus apabila

jangka waktu blokir berakhir dan tidak diperpanjang, pihak yang memohon

pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum jangka waktu berakhir,

Kepala Kantor menghapus blokir sebelum jangka waktunya berakhir, atau ada

perintah pengadilan berupa putusan atau penetapan (pasal 15).

Bila catatan blokir diperpanjang atas perintah pengadilan maka catatan

blokir dapat dihapus apabila ada perintah pengadilan berupa putusan atau

penetapan. Permohonan penghapusan catatan blokir disampaikan secara

tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Catatan blokir oleh penegak hukum, hapus apabila kasus pidana yang

sedang dalam penyidikan dan penuntutan telah dihentikan; atau penyidik

mengajukan penghapusan catatan blokir (pasal 16). Permohonan penghapusan

catatan blokir disampaikan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Penghapusan blokir dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atau

pejabat yang ditunjuk pada Buku Tanah dan Surat Ukur yang bersangkutan.
172
Ibid.
27

Penghapusan blokir paling kurang memuat keterangan mengenai waktu (jam,

menit dan detik) dan tanggal pencatatan, subyek yang mengajukan

permohonan, alasan penghapusan (pasal 17).

Ketentuan pencatatan blokir pada buku tanah dan surat ukur serta

pengesahannya mutatis mutandis (dengan perubahan-perubahan yang

diperlukan atau penting) dengan ketentuan penghapusan blokir. Penghapusan

catatan blokir diberitahukan secara tertulis melalui surat resmi kepada

pemohon blokir dan/atau pihak-pihak yang bersangkutan secara patut..

Menurut penulis dalam permohonan yang diajukan oleh tergugat selaku

penjual terkait pemblokiran sertipikat tidaklah sesuai dengan Permen ATR/

Kepala BPN No. 13 Tahun 2017, akan tetapi pada kenyataannya permohonan

tersebut tetap dikabulkan oleh Kantor pertanahan Kota Bekasi, dengan

demikian dalam hal ini Kantor pertanahan Kota Bekasi telah melanggar asas-

asas uum pemerintahan yang baik.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hal ini ditekankan pada

asas kecermatan formal dalam arti kecermatan pada waktu mempersiapkan

dan memeriksa persyaratan permohonan pemblokiran sertipikat. Yang

seharusnya sebagai instansi pemerintah harus lebih cermat mengenai semua

fakta-fakta yang relevan maupun semua kepentingan yang tersangkut atas

sertipikat tanah tersebut.

Suatu gugatan atau perkara, khususnya dalam pertanahan timbul akibat

sengketa atau konflik pertanahan yang tidak dapat diselesaikan oleh para

pihak, sehingga sengketa atau konflik tersebut harus diperiksa dan diputus
28

oleh pengadilan yang berwenang. Selanjutnya suatu gugatan dapat terjadi

apabila satu pihak atau lebih yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar,

akan tetapi pihak yang melanggar haknya tidak bersedia secara sukarela

melakukan penyelesaian secara damai, sehingga untuk menentukan siapa yang

benar dan berhak, maka dibutuhkannya suatu putusan hakim.

Penulis berpendapat berdasarkan teori kepastian hukum yang

dikemukakan oleh Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula

oleh Jan M. Otto bahwa kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal

dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan

hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus

serupa yang telah diputus.

Faktor ini menunjukan bahwa suatu putusan pengadilan memiliki

kekuatan hukum yang besar. Hal tersebut terlihat dalam tujuan diadakannya

suatu proses di muka pengadilan adalah memperoleh putusan hakim. Putusan

hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan suatu

yang sangat diinginkan atau dinanti-natikan oleh pihak-pihak yang berperkara

guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab

dengan putusan hakim tersebut pihak yang bersengketa mengharapkan adanya

kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang dihadapi.

Untuk dapat memberikan putusan yang benar-benar menciptakan

kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur Negara

yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara

yang sebenarnya, serta peraturan hukum yang mengaturnya yang akan


29

diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan maupun hukum yang tidak tertulis seperti hukum kebiasaan. 173

Karenanya dalam Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan,

bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam beberapa literature yang ada, para ahli hukum mencoba untuk

memberikan definisi terhadap apa yang dinamakan dengan putusan hakim

atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan. Terdapat beberapa

definisi yang berbeda mengenai putusan hakim, namun bila di dipahami

secara seksama diantara definisi-definisi tersebut maka akan mendapatkan

suatu pemahaman yang sama antara satu definisi dengan definisi lainya.

Prof. Sudikno Mertukusumo, S.H. memberikan definisi putusan hakim

sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi

wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 174

Mengenai kekuatan putusan hakim dalam hukum acara perdata terdapat

tiga macam kekuatan putusan hakim, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan

pembuktian, kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dijalankan.175

Kekuatan mengikat putusan hakim merupakan putusan yang pasti atau tetap,

terhadap putusan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila terhadap

putusan hakim tersebut tidak lagi dilakukan upaya hukum maka putusan

173
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka
Kartini, Jakarta, 1998, hlm. 83.
174
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 158.
175
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Pradnya Paramiitra, Jakarta 2002, hlm. 94.
30

tersebut menjadi pasti atau tetap dan memperoleh kekuatan yang mengikat.

Hukum acara perdata dikenal res judicata pro veritate habetur yang artinya

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dengan

sendirinya mengikat apa yang diputus pengadilan dianggap benar dan pihak-

pihak wajib mematuhi dan memenuhi putusan tersebut.176

Sifat mengikat putusan pengadilan bertujuan untuk menetapkan suatu

hak atau suatu hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara. Akibat

dari kekuatan mengikat suatu putusan adalah apa yang telah diperiksa dan

diputus oleh pengadilan tidak boleh diajukan lagi kepengadilan yang

kedudukannya sama untuk kedua kalinya atau yang dikenal dengan asas ne

bis in idem. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dapat

dijadikan sebagai alat bbukti oleh pihak yang berperkara asalkan putusan

tersebut sejalan dengan peristiwa yang terjadi. Karena putusan pengadilan

merupakan pembentukan hukum sehingga putusan sehingga memperoleh

kekuatan bukti sempurna.177

Putusan hakim sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik menurut

undang-unbdang yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, oleh karena itu

putusan pengadilan mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap dan

sempurna. Karena putusan hakim tersebut dituangkan dalam bentuk akta

otentik maka putusan hakim tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Putusan hakim mempunyai kekuatan executorial yaitu kekuatan memaksa,

hal ini berarti apa yang ditentukan dalam putusan tersebut dapat dijadikan
176
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya, Bandung,
2008, hlm. 175.
177
Idem, hlm. 176.
31

dengan paksaan oleh alat-alat negara.178 Kekuatan executorial suatu putusan

hakim ini pada dasarnya tidak dapat dihilangkan kecuali apabila apa yang

telah ditentukan dalam putusan tersebut dijalankan secara sukarela oleh para

pihak. Kekuatan untuk dilaksanakan suatu putusan terletak pada kepala

putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Ditinnjau dari segi sifatnya, dlam

hukum acara perdata terdapat beberapa jenis putusan yang dapat dijalankan

yaitu:

1. Putusan Deklaratoir

Merupakan putusan yang sifatnya hanya menerangkan atau

menegaskan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-

mata.179 Putusan yang bersifat deklaratoir, amar atau diktum putusannya

hanya mengandung pernyataan hukum tanpa dibarengi dengan

penghukuman. Putusan ini pada umumnya terdapat pada perkara

volunter yakni perkara permohonan secara sepihak yang tidak

mengandung sengketa dengan pihak lain. Putusannya hanya mengikat

pada diri pemohon sehingga tidak mengandung kekuatan eksekutorial.

2. Putusan Constitutief

Putusan constituief atau konstitutif yaitu putusan yang memastikan

suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan

hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Putusan

konstitutif tidak memerlukan eksekusi karena ketika putusan dibacakan


178
R. Soepomo, Op. Cit, hlm. 107
179
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 876.
32

maka seketika itu juga hilang suatu keadaan hukum dan muncul suatu

keadaan hukum baru.180

3. Putusan Condemnatoir

Putusan condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang

bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.

Amar dari putusan kondemnator adalah menghukum salah satu pihak

yang berperkara. Hanya puttusan kondemnator yang memiliki kekuatan

eksekutorial, sehingga apabila para pihak tidak mau memenuhi amar

suatu putusan maka dapat dijalankan eksekusi.

Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 400/Pdt.G/2017/Pn. Bks

bersifat kondemnator, sehingga apabila para pihak yang kalah dalam perkara

tersebut menolak untuk melaksanakan amar putusan maka eksekusi dapat

dilakukan. Dalam hal ini eksekusi dilakukan pada proses balik nama sertipikat

atas nama penggugat, dengan telah dikeluarkannya putusan tersebut maka

telah memenuhi persyaratan untuk mencabut pemblokiran sertipikat hak atas

tanah sebagaimana telah diuraikan diatas. Pencabutan pemblokiran sertipikat

hak atas tanah dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan

putusan pengadilan, hal tersebut dapat memberikan kepastian hukum bagi

penggugat selaku pemegang hak atas tanah dalam proses balik nama

sertipikat.

Proses balik nama sertipikat atau peralihan hak atas tanah bertujuan

untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum, yang dikarenakan sertipikat

atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak
180
Ibid.
33

atas tanah. Sebagaimana telah diikemukakan bahwa hak atas tanah yang sudah

terdaftar dan memperoleh sertipikat telah mendapat mendapat jaminan

kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum yang dimaksud meliputi

kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek serta proses administrasi

penerbitan sertipikat. Hal ini jelas dinyatakan sebagai salah satu tujuan

pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts kadaster.

Berdasarkan hasil interview penulis dengan Pegawai Kantor pertanahan

Kota Bekasi, Kepastian hukum objek hak atas tanah adalah meliputi kepastian

mengenai bidang teknis yang meliputi aspek fisik, yaitu kepastian mengenai

letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan. Letak dan luas tanah

merupakan salah satu unsur untuk menentukan kepastian hukum. Untuk

mendapatkan letak dan luas yang pasti, dilakukan pengukuran secara

kadasteral atas bidang tanah dilapangan. Hasil pengukuran dipetakan secara

jelas dalam suatu surat ukur, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari satu

sertipikat tanah. Sebelum dipetakan, hasil pengukuran dan batas-batas tanah

diperlihatkan kepada pemilik tanah yang berbatasan untuk mendapatkan

kepastian letak batas tanah. Apabila telah disepakati, maka pemilik tanah

berbatasan membubuhkan tanda tangan persetujuan yang diistilahkan dengan

contradictoire delimitatie. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat (sengketa

batas), maka dilakukan upaya perdamaian. Persetujuan batas oleh pemilik

yang berbatasan, menjadi dokumen yang disatukan dengan data-data lainnya


34

dalam bentuk warkah pendaftaran tanah, yang pada saat dibutuhkan dapat

diuji kebenaran materilnya oleh pejabat yang berwenang.181

Kepastian hukum mengenai objek hak tergantung dari kebenaran data

yang diberikan oleh pemohon hak dan adanya kesepakatan batas tanah dengan

pemilik berbatasan (contradictioire delimitatie) yang secara fisik ditandai

pemasangan patok-patok batas tanah dilapangan. Hak atas sebidang tanah di

samping pemegang haknya, juga terkait kepentingan lain termasuk

masyarakat. Keterkaitan pihak lain dapat secara langsung misalnya dalam

hubungan penggunaan, atau jaminan dan lain-lain.182

Dalam hal kepastian hukum subjek hak atas tanah, pemegang hak

mempunyai wewenang untuk berbuat atas miliknya, sepanjang tidak

bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atau kepentingan

orang lain. Di samping hak-hak dan kewenangan-kewenangan yang dimiliki

tersebut, juga melekat kewajiban-kewajiban, baik trehadap negara maupun

terhadap masyarakat. Di dalam menikmati hak-hak dan kewenangan-

kewenangan itu, pemilik membutuhkan ketenangan dan perlindungan hukum

yang lahir dari adanya kepastian hukum hak atas tanahnya.

Sehubungan dengan hal itu, unsur-unsur hukum yang harus dipenuhi

dalam rangka peralihan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat hak atas

tanah, yaitu unsur hukum tertulis. Hukum tertulis dijumpai dalam bentuk

peraturan perundang-undnagan (undang-undang, peraturn pemerintah,

keputusan presiden, keputusan menteri, yurisprudensi, dan sebagainya).


181
Hasil Interview dengan Pegawai Kantor pertanahan Kota Bekasi, pada tanggal 30
November 2018.
182
Ibid.
35

Dalam hukum tanah nasional, UUPA sebagaimana ditegaskan dalam

penjelasannya bahwa sebagai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada

pokonya bertujuan:

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,

yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,

kebahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,

dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan

kesedrhanaan dalam hukum pertanahan;

3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dasar-dasar

tersebut merupakan manifestasi dari prinsip yang tercantum dalam Pasal

33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Bumi dan air serta kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kepastian hukum yang menjadi tujuan dari peralihan hak atas tanah

harus diwujudkan dari penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah

berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Kajian tentang kepastian hukum

hak atas tanah harus dikaji menurut hukum tertulis dan juga hukum tidak

tertulis menurut relitas sosial yang berkembang didalam masyarakat.

Dalam Putusan 400/Pdt.G/2017/PN Bks yang menjadi dasar sebagai

peralihan hak atas tanah adalah proses jual-beli. Syarat sahnya jual beli hak

atas tanah untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak ada dua yaitu:
36

1. Syarat Materiil

Pemegang hak atas tanah berhak dan berwenang menjual hak atas

tanah, dan pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek)

hak dari hak atas yang menjadi objek jual beli.

Uraian tentang syarat materiil dalam jual beli hak atas tanah dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Bagi Penjual

1). Penjual berhak dan berwenang menjual hak atas tanah,

yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum

dalam sertipikat;

2). Seseorang berwenang menjual tanahnya apabila dia

sudah dewasa;

3). Apabila penjualnya belum dewasa, maka diwakilkan

oleh walinya;

4). Apabila penjualnya dalam pengampunan, maka

diwakilkan oleh pengampunya;

5). Apabila penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai

penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa

notariil;
37

6). Apabila hak atas tanah adalah harta bersama, maka

penjualnya harus mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari

suami atau isteri.183

b. Bagi Pembeli

1). Apabila objek jual beli itu tanah Hak

Milik, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah

perseorangan warga negara Indonesia, bank pemerintah, badan

keagaman, dan badan sosial;

2). Apabila objek jual beli itu tanah Hak

Guna Usaha, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah

perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

3). Apabila objek jual beli tanah itu tanah

Hak Guna Bangunan, maka pihak yang dapat membeli tanah

adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

4). Apabila objek jual beli tanah itu adalah

Hak Pakai, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subjek

Hak Pakai yang bersifat privat, yaitu perseorangan warga negara


183
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 367-368.
38

Indonesia, perseorangan warga negara asing yang berkedudukan

di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut Hukum

Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di

Indonesia.184

2. Syarat Formal

Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak atas

tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan

Pejabatan Pembuat Akta Tanah (PPAT). Syarat jual beli harus

dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1)

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:

”Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Syarat formal dalam jual beli hak atas tanah tidak mutlak harus

dibuktikan dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan

Kabbupaten/Kota dapat mendaftar pemindahan haknya meskipun tidak

dibuktikan dengan akta PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 ayat

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:

Dalam Keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri,


Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas
bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan antara perorangan warga
negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh
PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar
184
Idem, 368-369.
39

kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak


yang bersangkutan”.
Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997, menunjukan bahwa untuk kepentingan pendaftaran

pemindahan hak kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, jual beli

hak atas tanah atau Hak Milik harus dibuktikan dengan akta PPAT, akan

tetapi apabila Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menganggap

bukti yang diajukan bukan akta PPAT tetapi kebenarannya dianggap

cukup, maka pendaftaran pemindahan hak dapat dilakukan.

Berdasarkan putusan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Bekasi

Nomor 400/Pdt.G/2017/Pn. Bks, hakim memutuskan bahwa

pemblokiran sertipikat yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota

Bekasi merupakan tidak benar dan pemblokiran atas sertipikat tanah

tersebut harus dicabut, dan dalam putusannya pula hakim menyatakan

bahwa penggugat merupakan sebagai pemegang hak atas tanah yang

timbul karena hasil proses jual beli.

Dalam hal ini penggugat berdasarkan putusan pengadilan tersebut

dapat melakukan proses lanjutan peralihan hak atas tanah ke Kantor

Pertanahan Kota Bekasi, untuk mengajukan proses peralihan hak atas

tanah penggugat terlebih dahulu penggugat menghadap ke PPAT dan

PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain

yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran pemindahan hak atas tanah

yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan Kota Bekasi, berdasarkan


40

hasil interview dengan pegawai Kantor pertanahan Kota Bekasi,

dokumen-dokumen yang diserahkan oleh PPAT dalam rangka

pemindahan hak atas tanah adalah sebagai berikut:

a. Surat permohonan pendaftaran pemindahan hak yang

ditandatangani oleh penerima hak (pembeli) atau kuasanya;

b. Surat kuasa tertulis dari penerima hak (pembeli)

apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran pemindahan hak

bukan penerima hak (pembeli);

c. Bukti identitas pihak yang mengalihkan (penjual);

d. Bukti identitas pihak yang menerima (pembeli);

e. Sertipikat hak atas tanah asli yang dialihkan

(diperjual-belikan);

f. Izin pemindahan hak apabila diperlukan;

g. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB, dalam hal bea tersebut terutang; dan

h. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan

(PPh), dalam hal pajak tersebut terutang.185

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota wajib memberikan tanda

penerimaan atas penyerahan permohonan pendaftaraan pemindahan hak

185
Hasil Interview dengan Pegawai Kantor Pertanahan Kota Bekasi, tanggakl 28 Oktober
2018.
41

beserta akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang dilampirkan yang

diterimakan kepada PPAT yang bersangkutan.186

PPAT yang bersangkutan memberitahukan kepada penerima hak

(pembeli) mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran

pemindahan hak ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan

menyerahkan tanda penerimaan tersebut kepada penerima hak (pembeli).

Pengurusan penyelesaian permohonan pendaftaran pemindahan hak

selanjutnya dilakukan oleh penerima hak atau PPAT atau pihak lain atas

nama penerima hak (pembeli).

Pencatatan pemindahan hak dalam buku tanah, sertipikat, dan daftar

lainnya dilakukan sebagai berikut:

a. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dicoret

dengan tinta hitam dan dibubuhi paraf Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat;

b. Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru (pembeli)

dituliskan pada halaman dan kolom yang ada dalam buku tanahnya

dengan dibubuhi tanggal pencatatan, dan kemudian ditandatangani

oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat atau

pejabat yang ditunjuk dan cap dinas Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.187

186
Ibid.
187
Ibid.
42

Apabila pemegang hak baru (pembeli) lebih dari satu orang dan hak

tersebut dimiliki bersama, maka untuk masing-masing pemegang hak

dibuatkan daftar nama dan di bawah nomor hak atas tanahnya diberi

garis dengan tinta hitam.

Sertipikat hak atas tanah yang telah diubah nama pemegang haknya

dari pemegang hak yang lama sebagai penjual menjadi pemegang hak

yang baru sebagai pembeli oleh Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat, kemudian diserahkan kepada pemohon

pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui pembeli, atau

kuasanya.188

Dalam proses balik nama sertipikat atas tanah yang diblokir di Kantor

pertanahan, pemegang hak atas tanah yang memperoleh hak atas tanah

diakibatkan hasil dari proses jual beli yang telah dilaksanakan dengan itikad

baik mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam banyak

peraturan tanah di Indonesia seperti UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta Permen ATR/ Kepala BPN No.

13 Tahun 2017, yang pada intinya memberikan kepastian hukum dalam proses

peralihan hak atas tanah. Pemblokiran atas sertipikat tanah yang dilakukan

dengan dasar permohonan yang tidak kuat dapat dibatalkan dengan Putusan

Pengadilan, serta dapat dicabutnya pemblokiran sertipikat hak atas tanah

tersebut.

188
Ibid.
43

Penulis menyimpulkan bahwa bentuk penerapan kepastian hukum dalam

proses balik nama sertipikat yang telah diblokir adalah berupa putusan

pengadilan yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa Kantor

pertanahan sebagai instansi yang berwenang melakukan proses balik nama

harus mengikuti dan melaksanakan putusan pengadilan, hal tersebut

memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dalam proses

balik nama sertipikat yang telah diblokir. Adapun langkah awal yang harus

dilakukan oleh Kantor pertanahan adalah melakukan penghapusan

pemblokiran atas tanah yang menjadi objek sengketa, tata cara penghapusan

pemblokiran sertipikat diatur pada Pasal 15 Peraturan Menteri Agraria Dan

Tata Ruang/Kepala Kantor pertanahan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2017 Tentang Tata Cara Blokir Dan Sita menyebutkan bahwa:

1. Catatan blokir oleh perorangan atau badan hukum, hapus


apabila:
a. Jangka waktu blokir berakhir dan tidak diperpanjang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
b. Pihak yang memohon pencatatan telah mencabut
permintaannya sebelum jangka waktu berakhir;
c. Kepala Kantor menghapus blokir sebelum jangka
waktunya berakhir; Atau
d. Ada perintah pengadilan berupa putusan atau penetapan.
(2) Dalam hal catatan blokir diperpanjang atas perintah pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat.
2. Maka catatan blokir dapat dihapus apabila ada perintah
pengadilan berupa putusan atau penetapan.
3. Permohonan penghapusan catatan blokir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Pertanahan.

Menurut Penulis berdasarkan pasal diatas maka penghapusan

pemblokiran didasarkan putusan pengadilan harus dilaksanakan dan dipatuhi

oleh Kantor pertanahan dikarenakan telah diatur oleh peraturan yang ada,
44

apabila tidak dilaksanakan maka pihak yang merasa dirugikan dapat

mengajukan upaya hukum yakni mengajukan gugatann ke Pengadilan Tata

Usaha Negara terkait tindakan yang Kantor pertanahan sebagai instansi

pemerintah yang tidak melaksanakan putusan pengadilan. Pengapusan

pemblokiran dapat diajukan oleh pihak yang memiliki hubungan atas

sertipikat tersebut dengan didasari putusan pengadilan secara tertulis.

Anda mungkin juga menyukai