Bagi masyarakat yang awam terhadap hukum, segala permasalahan tentang tanah dan
kepemilikannya terasa rumit. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus sengketa tanah yang semakin
hari semakin banyak. Setiap proses peralihan tanah baik melalui jual-beli, warisan,hibah, tukar
menukar dan lain sebagainya sebenarnya dapat diselesaikan dengan prosedur hukum yang benar.
Hal ini penting untuk menghindari sengketa yang muncul dikemudian hari.
Sebagai contoh dalam kasus hibah berikut ini. Tuan Sadath memiliki sebidang tanah berikut
bangunan toko diatasnya seluas 300 meter persegi, terletak di Jalan Pamulang Barat no 7
Tangerang Selatan. Tanah tersebut sudah bersertifikat hak milik. Dikarenakan sudah terlalu tua
dan tidak bisa lagi mengurusi tokonya. Kemudian Tuan Sadath menjual tanah beserta tokonya
kepada Tuan Hidayat selaku partner bisnisnya.
Pertanyaan :
Dari kasus tersebut, bagaimana prosedur jual beli yang benar agar di kemudian hari tidak timbul
permasalahan?
Jawab :
Atau prosedur jual beli yang benar agar di kemudian hari tidak timbul permasalahan yakni:
1. Memastikan keaslian tanda bukti hak atas tanah di Kantor Pertanahan tempat lokasi
tanah.
2. Memeriksa secara detail tentang ukuran, batas, bentuk, dan luas tanah yang tercantum
dalam sertifikat sesuai dengan kondisi di lapangan. Karena, menurut Keputusan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tahun 1995 tentang
Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, diatur bahwa objek pengikatan jual beli harus
diuraikan secara jelas di dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli yang terdiri dari
luas bangunan, luas tanah, lokasi tanah, dan harga rumah dan tanah. Maka pastikan
semua komponen ini tidak merugikan kedua pihak.
3. Membuat Akta Jual Beli (AJB) tanah yang dibuat di Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang bertugas di wilayah lokasi tanah, jangan menggunakan PPAT di luar
wilayah kewenangan kerjanya.
4. Jika penjual akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau
uang muka berdasarkan kesepakatan dan akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu
maka diperlukan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PBJB) di hadapan
Notaris, karena PBJB yang dihadapan notaris merupakan akta otentik yang memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna sesuai dengan Pasal 1870 KUH Perdata.
5. Apabila penjual sudah menikah, maka tanah dan bangunan akan menjadi harta
bersama, sehingga penjualan tanah tersebut harus atas dasar persetujuan suami/istri
dengan penandatanganan surat persetujuan khusus, atau turut menandatangani AJB.
Apabila suami atau istri sudah meninggal, dapat dilakukan dengan melampirkan surat
keterangan kematian dari kantor kelurahan.
6. Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh) dan pembeli harus membayar Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut
Pajak Penjual (PPh) = Harga Jual x 2,5 %, Pajak Pembeli (BPHTB) = {Harga Jual –
Nilai Tidak Kena Pajak} x 5%, Pembeli dan Penjual kemudian juga membayar
pembuatan AJB di PPAT yang pada umumnya akan ditanggung bersama atau jika
kedua belah pihak bersepakat ditanggung oleh salah satu pihak yang nilainya maksimal
1% dari harga transaksi tanah.