Dalam melaksanakan pekerjaan saya sehari-hari, beberapa kali saya ditanya oleh klien-klien yang awam, yang menyatakan
bahwa mereka akan melakukan balik nama sertifikat berdasarkan kwitansi lunas dari Penjual atas pembelian tanah dan/atau
bangunan. Beberapa orang menganggap hanya dengan menggunakan kwitansi lunas tersebut mereka sudah dapat
melakukan balik nama sertifikat tanah yang mereka beli.
Pada kenyataannya tidak semudah itu. Yang menjadi persoalan adalah jika si penjual sudah tidak bisa ditemui lagi atau sudah
meninggal dunia, maka pembeli tersebut akan mengalami kesulitan dalam melakukan peralihan hak atas tanah dan bangunan
dimaksud.
Pada prakteknya, untuk dapat melakukan balik nama (dalam hal ini peralihan hak) atas tanah dan/atau bangunan, harus
dilakukan dengan cara tertentu, yaitu jual beli, hibah, tukar menukar, atau inbreng (pemasukan ke dalam suatu perusahaan).
Pada kesempatan ini akan saya bahas mengenai peralihan hak dengan cara jual beli.
Jual beli merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu, dan biasanya diatur dalam hukum Adat,
dengan prinsip: Terang dan Tunai. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dan Tunai artinya di
bayarkan secara tunai. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli dimaksud. Dewasa ini,
yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:
1.PPAT
sementara
>
adalah
Camat
yang
diangkat
sebagai
PPAT
untuk
daerah
daerah
terpencil
2.PPAT > Notaris yang diangkat berdasarkan SK Kepala BPN untuk wilayah kerja tertentu
Data-data apa saja yang harus dilengkapi untuk proses Jual Beli & balik nama tersebut?
Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tersebut, biasanya PPAT yang bersangkutan akan meminta data-data
standar, yang meliputi:
I.
Catatan: point a & b mutlak harus ada, tapi yang selanjutnya optional
II. Data Penjual & Pembeli (masing-masing) dengan kriteria sebagai berikut:
a. Perorangan:
a.1. Copy KTP suami isteri
a.2. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
a.3. Copy Keterangan WNI atau ganti nama (bila ada, untuk WNI keturunan)
b. Perusahaan:
b.1. Copy KTP Direksi & komisaris yang mewakili
b.2. Copy Anggaran dasar lengkap berikut pengesahannya dari Menteri kehakiman dan HAM RI
b.3. Rapat Umum Pemegang Saham PT untuk menjual atau Surat Pernyataan Sebagian kecil asset
c. Dalam hal Suami/isteri atau kedua-duanya yang namanya
tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia, maka yang melakukan jual beli tersebut adalah Ahli Warisnya. Jadi,
data- data yang diperlukan adalah:
c.1. Surat Keterangan Waris
-
Untuk pribumi: Surat Keterangan waris yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan oleh
Camat
Saya berpraktek di daerah kabupaten, seringkali saya didatangi klien yang datang untuk
mengurusjual beli tanahnya hanya dengan bermodalkan PBB dan kwitansi pembayaran yang sudah
lama dibuatnya. Mereka biasanya datang untuk melakukan balik nama sertifikatnya. Jual beli yang
mereka lakukan belum sah menurut hukum, karena tidak memenuhi asas "terang dan tunai", jual
beli tersebut dinamakan jual beli di bawah tangan. Akibat hukum dari jual beli bawah tangan ini
cukup merepotkan, terutama di pihak pembeli.
Hukum Agraria yang berlaku di negara ini bersumber dari hukum adat. Asas terang dan tunai
merupakan salah satu asas dari hukum adat, dimana yang berarti jual beli harus dilakukan di
hadapan pejabat yang berwenang (yaitu PPAT, Camat yang merangkap sebagai PPAT) dan harus
ada pembayaran atas jual beli tersebut. Apabila kedua syarat tersebut telah dipenuhi baru jual beli
tersebut dikatakan sah menurut hukum.Setelah jual beli dilakukan dibuktikan dengan adanya Akta
Jual Beli, PPAT berkewajiban mendaftarkan jual beli tersebut ke kantor pertanahan setempat untuk
melakukan balik namanya ke atas nama pembeli.
Apabila kita membeli tanah tanpa membuat akta PPAT dan tidak dilakukan balik nama maka kita
tidak tercantum sebagai pemilik. Tidak ada gunanya kita memegang fisik dari sertifikat, jika nama
kita tidak tercantum sebagai pemiliknya. Apalagi jika pembeli telah membayar lunas harga jual
belinya, hal ini akan berpotensi merugikan pembeli. Apabila suatu saat penjual meninggal atau
hilang (tidak diketahui keberadaannya), maka pelaksanaan jual beli dan balik nama secara resmi
akan terhambat, sebab penjual telah meninggal dan tanah tersebut menjadi obyek warisan,
sehingga untuk melaksanakan jual beli diperlukan tandatangan seluruh ahli waris dan perlu melalui
proses turun waris/balik nama ke atas nama pewaris. Apabila karena suatu hal jual beli belum bisa
dilakukan secara resmi dengan akta PPAT (misal harga jual beli belum lunas, belum bersertifikat),
sebaiknya dibuat perjanjian pengikatan jual beli terlebih dahulu jangan hanya memegang kuitansi
pembayaran uang muka saja. Demikian pula jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan
tanah sebagai warisan, sebaiknya jangan menunggu terlalu lama untuk melakukan balik nama ke
ahli waris. Hal ini mungkin tabu bagi sebagian besar masyarakat kita sepertinya ahli waris sangat
menginginkan warisan. Namun karena usia manusia tidak ada yang tahu, apabila ternyata salah
satu ahli waris juga akhirnya meninggal sebelum dilakukan balik nama, maka proses balik
namanya menjadi dua kali, tentu saja memakan waktu dua kali lebih lama dan dana dua kali
besarnya.
Beberapa waktu yang lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ada kasus sengketa tanah antara sebuah PT.
(Persero) milik Negara (disini saya singkat dengan pihak A) dengan sebuah Perusahaan Perorangan (saya
singkat dengan pihak B) dimana pihak A mengakui tanah tersebut merupakan Tanah Hak Pengelolaan yang
penguasaannya diberikan oleh Negara kepada pihak A dan dibuktikan dengan Sertifikat HPL (Hak
Pengelolaan) sementara pihak B juga mengakui bahwa tanah tersebut adalah miliknya yang dibeli dari
pihak Z dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan PPAT dan merupakan tanah dengan status Hak
Guna Bangunan (dalam hal ini menurut pemahamannya adalah HGB murni) dan dibuktikan dengan Sertifikat
HGB.
Dalam perkembangan perkara tersebut kemudian diketahui latar belakang mengapa tanah HPL milik Negara
tersebut kemudian bisa menjadi salah tafsir sebagai tanah HGB murni, adalah karena tanah tersebut
sebelumnya merupakan tanah dengan status HGB diatas HPL yang diberikan pihak A kepada pihak X dengan
Perjanjian Penggunaan Tanah HPL yang dalam salah satu klausulnya disebutkan bahwa tanah dengan
status HGB diatas HPL ini tidak boleh dialihkan kepada pihak lain melalui cara apapun tanpa persetujuan dari
pihak pemegang HPL (dalam hal ini adalah pihak A).
Pada kenyataannya, pihak X kemudian mengalihkan tanah dengan status HGB diatas HPL tersebut kepada
pihak Y melalui AJB dan disahkan dengan Sertifikat HGB di hadapan PPAT, dan selanjutnya dari pihak Y
mengalihkan lagi kepada pihak Z dengan proses pengalihan hak yang sama.
Dilatarbelakangi perkara yang telah saya ilustrasikan tersebut diatas, maka disini saya ingin menguraikan
sedikit mengenai definisi Hak Atas Tanah, termasuk Hak Pengelolaan berikut beberapa Peraturan Perundangan
yang mengaturnya.
Hak atas tanah ialah hak yang memberi wewenang kepada pemiliknya untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Ciri khasnya ialah si empunya hak berwenang untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. [1]
Pengelompokan hak-hak atas tanah ialah sebagai berikut :
1.
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
undang-undang.
e. Hak Sewa Tanah Bangunan
Adalah hak yang memberi kewenangan untuk mempergunakan tanah, dalam hal ini adalah tanah milik
orang atau pihak lain dengan membayar sejumlah uang pemasukan kepada pemilik tanah tersebut.
f. Hak Pengelolaan
Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1999 Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3)
huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara
yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, antara lain berupa
perencanaan dan peruntukan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya,
penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak
ketiga. Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak
Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan
Nasional yang berwenang, atas usul pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. Dalam Pasal 67
ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
diatur mengenai siapa saja yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, yaitu :
Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada :
1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
2. Badan Usaha Milik Negara
3. Badan Usaha Milik Daerah
4. PT. Persero
5. Badan Otorita
6. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Pada Pasal 67 ayat (2) ditambahkan ketentuan pemberian haknya yaitu :
Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah.
Sedangkan subjek dari Hak Pengelolaan adalah badan-badan hukum, disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu : [3]
1. bank-bank yang didirikan oleh Negara
2. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3. badan-badan keagamaan
4. badan-badan sosial.
Mengenai tatacara peralihan hak diatas tanah HPL kepada pihak ketiga dulu diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Bagian-Bagian
Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya (sudah dicabut dengan Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetapi disertakan dalam penulisan ini karena apa yang diatur di dalamnya
belum ada ketentuannya dalam peraturan penggantinya)
a. Pasal 3 ayat (1) menyatakan : Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah
Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang Hak Pengelolaan, baik yang disertai dengan
pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak
pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang bersangkutan.
b. Pasal 5 menyatakan : Hubungan hukum antara Lembaga, instansi, dan atau Badan atau Badan Hukum
(milik) Pemerintah pemegang Hak Pengelolaan, yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan
penyediaan tanah untuk berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang pengembangan pemukiman
dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak Pengelolaan yang telah diberikan kepadanya, tidak menjadi
hapus dengan didaftarkannya hak-hak yang diberikan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat.
c. Pasal 7 menyatakan : Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah,
Lembaga, Instansi, Badan atau Badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah
dan/tau Pemerintah Daerah untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah industri dan pariwisata,
dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur /
Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai
dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak
Pengelolaan yang bersangkutan.
d. Pasal 9 menyatakan : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sebagaimana termaksud dalam Pasal 7 tunduk
pada ketentuan-ketentuan tentang hak-hak tersebut, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Pokok
Agraria dan peraturan pelaksanaannya yang mengenai hak-hak itu serta syarat-syarat khusus yang
tercantum di dalam surat perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 3 dan Pasal 8.
e. Pasal 11 menyatakan : Terhadap tanah untuk keperluan Lembaga, Instansi Pemerintah atau Badan
/Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh
modalnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang bergerak dalam kegiatan usaha-usaha
sejenis dengan Perusahaan Industri dan Pelabuhan yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dapat
diperlakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10 , yang
ditegaskan di dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
Sebelum membeli properti, baik tanah, rumah, maupun apartemen, perlu Anda ketahui status hukum atas properti
tersebut. Soal sertifikat, misalnya. Apakah statusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangun, atau Hak
Pakai?
Urusan status tentu penting. Salah sedikit, ujung-ujungnya yang didapat bukan kenyamanan, melainkan kerugian
dan penyesalan.
Untuk itu, memilih hunian atau properti tidak bisa sembarangan. Pemilihannya harus dilakukan dengan pemikiran
matang dan investigasi yang mendalam, terutama pada sertifikat tanahnya. Karena sertifikat tanah menjadi bukti
kepemilikan atau penguasaan atas tanah berdirinya hunian Anda.
Kepala Bidang Humas Badan Pertanahan Republik Indonesia, Doli Manahan Panggabean, sertifikat kepemilikan
tanah sangat penting bagi siapa pun yang memiliki dan menguasai tanah tersebut. Sertifikat tanah juga menjadi
bukti penguasaan sah atas hukum pertanahan.
Ada beberapa macam sertifikat hak atas tanah yang dikenal dalam undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria, yaitu:
SHM (Sertifikat Hak Milik)
SHM merupakan jenis sertifikat dengan kepemilikan hak atas penuh oleh pemegang sertifikat tersebut. SHM juga
menjadi bukti kepemilikan paling kuat atas lahan atau tanah karena tidak ada lagi campur tangan ataupun
kemungkinan kepemilikan pihak lain.
Status SHM juga tak memiliki batas waktu. Sebagai bukti kepemilikan paling kuat, SHM menjadi alat paling valid
untuk melakukan transaksi jual beli maupun penjaminan untuk kepentingan pembiayaan perbankan.
SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangun)
SHGB memiliki batas waktu tertentu, biasanya 20 tahun. Pemilik SHGB bisa saja meningkatkan status
kepemilikan atas tanah yang mereka kuasai dalam bentuk SHM. Biasanya, peningkatan status sertifikat dari
SHGB ke SHM karena di atas tanah itu didirikan bangunan tempat tinggal.
Sepanjang bidang tanah tersebut terdapat bangunan yang dipergunakan untuk rumah tinggal, dapat ditingkatkan
menjadi hak milik. Biaya peningkatan itu sebenarnya tidak ada. Hanya cukup mendaftarkan diri untuk
peningkatan hak milik dengan ketentuan yang berlaku, ada IMB. Jika tak ada IMB, cukup diganti surat Model PNI
dari kelurahan di atas tanah bidang tersebut yang menyatakan untuk rumah tinggal, kata Doli.
SHSRS (Sertifikat Hak Satun Rumah Susun)
Adapun SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal, rumah susun yang dibangun di
atas tanah dengan kepemilikan bersama. Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun
digunakan untuk memberi dasar kedudukan atas bench tak bergerak yang menjadi obyek kepemilikan di luar unit,
mulai taman, tempat parkir, sampai area lobi.
Pahami Perbedaan Hukum dari PPJB dan AJB!
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat
dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat
dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Pada proses transaksi jual beli tanah, kita seringkali mendengar dua istilah ini, PPJB dan AJB. Kedua istilah itu
merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang berbeda.
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli. Perbedaan utama keduanya
adalah pada sifat otentikasinya.
PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat di bawah tangan atau akta
nonotentik. Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak atau calon penjual dan pembeli, tetapi
tidak melibatkan notarsi/PPAT.
Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya, dan
tentu, tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
Umumnya, PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli. Namun demikian, hal
tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu. Misalnya, tanahnya masih dalam jaminan bank
atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Maka, dalam sebuah transaksi jual beli tanah,
calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berbeda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat
dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat
dialihkan atau balik nama dari penjual kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat
dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat di bawah tangan untuk dapat
dilakukannya AJB yang bersifat otentik. Sekali lagi, AJB sifatnya otentik!
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah
harga transaksi.
Pada saat melakukan jual-beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual tentu akan dikenakan pajak.
Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang pembayaran harga tanah yang diterimanya,
sedangkan Anda, misalnya, sebagai pembeli akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) atas perolehan hak atas tanahnya. Nah, sudah tahu cara menghitungnya?
Perlu diketahui, BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual-beli tanah, melainkan juga terhadap
setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, seperti tukar-menukar, hibah, waris, pemasukan tanah ke dalam
perseroan, dan lain-lainnya. Pada transaksi jual-beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan itu, yaitu pembeli.
Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh Anda sebagai pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah harga transaksi. Ini jelas berbeda, misalnya, dengan
tukar menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek
Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil dari Nilai Jual Obyek
Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli. Terkadang, harga transaksi itu bisa juga sama
dengan nilai NJOP.
Namun, apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan NPOP adalah nilai
NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga
transaksi tersebut, yaitu nilai paling tinggi di antara NPOP dan NJOP.
NPOPTKP
Selain NPOP dan NJOP, faktor lain perlu Anda perhatikan dalam menentukan besarnya BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum
dikenakan tarif BPHTB.
Contohnya? Jika harga transaksi tanah Rp 100.000.000, maka sebelum harga transaksi tersebut dikenakan tarif
BPHTB (5 persen), terlebih dahulu harga transaksi itu dikurangi NPOPTKP. Misalnya. dikurangi NPOPTKP
sebesar Rp 80.000.000 untuk daerah DKI Jakarta. Hal ini akan membuat nilai pajak pembeli lebih kecil
dibandingkan nilai pajak penjual, karena penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Contoh menghitung BPHTB
Tentunya, setiap daerah memiliki penetapan NPOPTKP berbeda-beda, tergantung peraturan daerah tersebut.
Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah
dan Rp 350.000.000 untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah.
Anda membeli tanah milik si A dengan nilai jual beli sebesar Rp 200.000.000. Maka, pajak penjual dan pajak
pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB)
NPOP: Rp 200.000.000
NPOPTKP: Rp 80.000.000
NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000
BPHTB: : 5 % x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
NPOP: Rp 200.000.000
NPOP Kena Pajak: Rp 200.000.000
PPh: 5% x Rp 200.000.000 = Rp 10.000.000
Mengubah HGB ke SHM
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya NJOP (Nilai Jual Obyek
Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP sebagai berikut: 2 x (NJOP Tanah Rp 60 juta).
Tanah dengan status sertifikat hak guna bangunan (HGB) bisa ditingkatkan statusnya menjadi sertifikat hak milik
(SHM) dengan melakukan pengurusan pada kantor pertanahan di wilayah tanah itu berada. Selain tidak repot,
prosesnya juga cepat. Berikut langkah-langkah mengurusnya:
Sertifikat asli
Siapkan sertifikat asli HGB yang akan diubah status. Tanpa sertifikat ini, upaya Anda untuk mengubah status
akan sia-sia. Oleh karena itu, Anda harus menyiapkannya lebih awal dengan membuat copysertifikat HGB.
Fotokopi IMB
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini berguna sebagai bukti
legalitas yang memperbolehkan tanah digunakan untuk mendirikan bangunan.
Identitas diri
Jangan lupa juga untuk fotokopi identitas diri. Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai
keterangan identitas pengajuan Anda. Siapkan fotokopi SPPT PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang terakhir.
Lampiran ini diperlukan untuk melihat jejak rekam pajak, seperti luas tanah dan luas bangunan yang kena pajak.
Surat permohonan
Anda juga harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Surat ini sebaiknya
sudah diproses sebelum Anda mengajukan pengubahan status sertifikat HGB menjadi SHM. Ketika surat ini
sudah ada, segeralah di-copy beberapa lembar dan lampirkan aslinya bersama dengan lampiran lain.
Membayar biaya
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya NJOP (Nilai Jual Obyek
Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP sebagai berikut: 2% x (NJOP Tanah Rp 60 juta).
Sebagai gambaran, untuk tanah seluas 100m2 di Jakarta dengan NJOP sebesar Rp 1 juta per meter persegi,
Anda mesti membayar Rp 800.000. Perlu diingat, bahwa angka variabel tergantung daerahnya. Misalnya, Jakarta
angka variabelnya sebesar Rp 60 juta, Tangerang sebesar Rp 50 juta, dan Bekasi sebesar Rp 30 juta.
Jasa notaris
Namun, jika tak mau repot, Anda juga bisa menggunakan jasa notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk
pengurusan HGB ke SHM. Tentunya, Anda harus menyiapkan dana sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk jasa
notaris itu
Meningkatkan status tanah menjadi hak milik sangat penting. Namun, bagaimana dengan tanah girik atau kerap
disebut tanah adat atau tanah-tanah lainnya yang belum dikonversi sehingga memiliki salah satu hak tertentu?
Mengalihkan hak atas tanah girik biasanya dilakukan di depan lurah atau kepala desa. Namun, banyak pula yang
melakukan berdasarkan kepercayaan pihak-pihak tertentu, sehingga tidak ada surat-surat resmi yang bisa
menelusuri kepemilikannya.
Perubahan tanah girik menjadi tanah bersertifikat resmi disebut pendaftaran tanah pertama kali. Proses
pembuatan sertifikat ini dapat ditempuh dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Adapun tahapan prosesnya
sebagai berikut:
1. Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah atau camat perihal tanah yang bersangkutan. Isinya menyatakan
bahwa tanah tersebut belum pernah mengalami proses sertifikasi serta riwayat pemilikan tanah dimaksud.
2. Pembuatan surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari RT, RW, dan
kelurahan.
3. Dilakukan peninjauan lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan.
4. Penerbit gambar situasi atau surat ukur yang dilanjutkan dengan pengesahannya.
5. Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan [ BPHTB ] sesuai dengan luas yang tercantum
dalam Gambar Situasi atau Surat Ukur. Pembayaran BPHTB tersebut dilakukan apabila tanah yang dimohon
berasal dari tanah negara atau tanah garapan. Pada proses pelaksanaan, Akta Jual Beli [ AJB ] dulu, BPHTB
belum dibayarkan.
6. Proses pertimbangan pada panitia.
7. Pengumuman di kantor pertanahan dan kantor kelurahan setempat selama lebih kurang 2 bulan.
Pengesahan pengumuman.
8. Penerbitan sertifikat tanah.
Penasaran bagi saya kenapa setiap tanah dengan surat AJB para developer tidak mau garap padahal dikasih
kerjasama jg agak males, alasan mereka untuk ngurus perijinanya lama dan tidak bisa jualan klo belum di shm
kan dan dipecah, dengan alasan itu saya mencoba cari artikel dan menanyakan cara naikkin ke shm ternyata klo
dinotaris untuk ngurusnya lumayan lama dan biaya mahal, akhirnya coba ngurus sendiri berikut bagaimana
langkah langkahnya:
I. Akta Jual Beli (AJB) Si penjual dan si pembeli harus datang ke Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
untuk membuat akta jual beli tanah. PPAT adalah Pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli dimaksud. Sedangkan untuk
daerah-daerah yang belum cukup jumlah PPAT-nya, Camat karena jabatannya dapat melaksanakan tugas
PPAT membuat akta jual beli tanah.
II. Persyaratan AJB yang diperlukan untuk membuat Akta Jual Beli Tanah di Kantor Pembuat Akta Tanah adalah :
a. Penjual membawa : Asli Sertifikat hak atas tanah yang akan dijual. Kartu Tanda Penduduk. Bukti
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Surat Persetujuan Suami/Isteri bagi yang sudah berkeluarga.
Kartu Keluarga.
b. Sedangkan calon pembeli membawa : Kartu Tanda Penduduk. Kartu Keluarga.
III. Proses pembuatan akta jual beli di Kantot PPAT.
a. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli.
a. 1) Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah melakukan pemeriksaan mengenai
keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan.
a. 2) Pejual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) apabila harga jual tanah di atas enam puluh juta
rupiah di Bank atau Kantor Pos.
a. 3) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi
pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.
a. 4) Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa.
a. 5) PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa.
b. Pembuatan Akta Jual Beli :
b. 1) Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa
dengan surat kuasa tertulis.
b. 2) Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
b. 3) Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud
pembuatan akta.
b. 4) Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual,
calon pembeli, saksi-saksi dan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
b. 5) Akta dibuat dua lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lainnya
disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama).
b. 6) Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.
IV. Bagaimana langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli ?
a. Setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli, PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor
Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat.
b. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta
tersebut.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Foto copy KTP (Apabila sudah menikah maka Foto copy KTP suami dan Istri)
NPWP
2. Proses Pembuatan AJB di Kantor PPAT
A. Persiapan
Sebelum membuat AJB, PPAT akan melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor
Pertanahan.
Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh, sedangkan pembeli diharuskan membayar Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut:
Pajak Penjual (PPh
= NJOP/Harga Jual x 5 %
Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/Harga Jual - Nilai Tidak Kena Pajak} x 5 %
NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak, yakni harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar.
Calon pembeli dapat membuat surat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak
lantas menjadi pemegang Hak Atas Tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.
PPh maupun BPHTB dapat dibayarkan di Bank atau Kantor Pos. sebelum PPh dan BPHTB dilunasi
maka akta belum dapat dibayarkan. Biasanya untuk mengurus pembayaran PPh dan BPHTB dibantu
oleh PPAT bersangkutan.
Mengecek apakah jangka waktu Hak Atas Tanah sudah berakhir atau belum. Sebab untuk Sertifikat Hak
Guna BAngunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ada jangka waktunya. Jangan sampai
membeli tanah SHGB/SHGU dengan kondisi sudah jatuh tempo.
Mengecek apakah di atas tanah yang akan dibeli ada Hak yang lebih tinggi. Misalkan, tanah yang akan
dibeli adalah tanah SHGB yang di atasnya ada Hak Pengelolaan (HP). Maka penjual dan pembeli harus
meminta izin dahulu kepada pemegang Hak Pengelolaan tersebut.
Mengecek apakah rumah yang akan dibeli pernah menjadi jaminan kredit dan belum dilakukan
penghapusan (Roya) atau tidak. Apabila pernah maka harus diminta Surat Roya dan Surat Lunas dari
penjual agar nantinya bisa balik nama.
B. Pembuatan AJB
Pembuatan AJB harus dihadiri penjual dan pembeli (suami istri bila sudah menikah) atau orang yang
diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
Dihadirkan sekurang-kurangnya 2 saksi.
PPAT akan membacakan dan menjelaskan isi Akta. Bila pihak penjual dan pembeli menyetujui isinya
maka Akta akan ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi dan PPAT.
Akta dibuat 2 lembar asli, satu disimpan oleh PPAT dan satu lembar lain akan diserahkan ke Kantor
Pertanahan untuk keperluan Balik Nama. Salinannya akan diberikan pada pihak penjual dan pembeli.
C. Proses Ke kantor Pertanahan
Setelah AJB selesai di buat, maka PPAT menyerahkan berkas AJB ke kantor Pertanahan untuk Balik Nama.
Penyerahan berkas AJB harus dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditandatangani.
Adapun berkas-berkas yang diserahkan meliputi:
Nama pembeli selaku pemegang hak baru atas tanah akan ditulis pada halaman dan kolom yang ada
pada buku tanah dan sertifikat, dengan pembubuhan tandatangan Kepala Kantor Pertanahan atau
Pejabat yang ditunjuk.
Dalam waktu 14 hari, pembeli berhak mengambil sertifikat yang sudah balik atas nama pembeli di Kantor
Pertanahan setempat.
3. Tanah Warisan
Apabila suami/istri atau keduanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia dan ahli
warisnya akan melakukan jual beli maka tanah tersebut harus dibalik nama terlebih dahulu atas nama Ahli
Waris. Selain itu, Sebelum melakukan proses jual beli seperti di atas, data tambahan yang diperlukan adalah
sebagai berikut :
TENTANG HIBAH
(1666-1693 BW)
Hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan
dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan semua benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu (166 BW).
Beberapa ketentuan mengenai hibah :
1. Menurut 1666 BW, hibah merupakan keperluan sepihak :
a. dilakukan dengan cuma-cuma :artinya tidak memerlukan suatu pembayaran atau kompensasi dalam
bentuk apapun.
b. dilakukan semasa hidupnya, sedangkan hibah yang dicantumkan dalam surat Wasiat disebut Hibah
Wasiat.
c. tidak dapat ditarik kembali oleh si pemberi hibah.
2. Dapat diperjanjikan bahwa pemberi hibah akan berhak mengambil kembali hibahnya bila penerima hibah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pemberi hibah (1672). Hanya saja perjanjian yang demikian hanya
boleh bila untuk kepentingan penghibah sendiri (1672).
3. Hanya dapat terjadi mengenai benda yang sudah ada (1667).
4. Pemberian harus dengan akta Notaris (1682).
5. Hibah antara suami istri dilarang (1678).
6. Hibah dapat ditarik kembali (1688), bila :
a. karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan.
b. jika penerima hibah bersalah karena melakukan atau membantu melakukan pembunuhan atas
penghibah atau suatu kejahatan yang lain terhadap si penghibah.
c. jika penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelahnya
penghibah jatuh miskin.
7. Kuasa untuk menerima hibah harus dengan akta otentik.
8. Hibah yang berkaitan dengan tanah wajib dinyatakan dalam akta otentik yang dibuat PPAT.
9. Sebelum dilakukan hibah perlu dibayar pajaknya terlebih dahulu.
10. Cara penghitungan pajak hibah : ((NJOP NPOPTKP ) x 5% ) x 50%
-khusus untuk hibah dari garis keturunan vertikal (ortu ke anak maupun anak ke ortu).
Sedangkan dari keluarga sedarah lainnya dan orang tidak sedarah dihitung seperti menghitung pajak Jual
beli =((NJOP NPOPTKP ) x 5% )
Beberapa waktu yang lalu saya memberitahukan kepada klien saya bahwa ada UUPT yang baru,
menggantikan UUPT tahun 1995. Saya pun memberikan UU baru itu kepadanya agar klien saya
dapat mempelajarinya guna kepentingan Perseroan Terbatasnya.
Beberapa waktu berlalu dan saat kami bertemu kembali, kami berdiskusi hingga sampailah pada
pembicaraan bahwa Perseroan Terbatas (PT) klien saya tersebut harus memenuhi ketentuan
pasal 157 UUPT No. 40/2007 mengenai penyesuaian PT agar sesuai dengan UU yang baru berlaku
ini. UU memberi suatu jangka waktu untuk pelaksanaan penyesuian tersebut.
Pertanyaan klien saya dan mungkin pertanyaan semua klien Notaris yang merupakan sebuah PT
adalah :
K: Mengapa harus demikian, bukankah PT yang saya buat sudah sesuai aturan saat dibuat?
Sudak keluar SK, sah bukan? Apa efeknya jika kami tidak melakukan penyesuaian tersebut?
N: saya menjawab, Betul bahwa PT anda sah dan masih berupa badan hukum tapi di pasal 157
dikatakan bahwa status badan hukumnya masih ada sampai 1 tahun sejak UUPT. Berlakunya
UUPT tersebut dan menurut pasal 161, 1 tahun tersebut dihitung sejak tanggal diundangkan
yaitu tanggal 16 Agustus 2007, itu berarti statusnya masih berbadan hukum sampai dengan
tanggal 16 Agustus 2008. Jadi sebelum tanggal tersebut harus dibuat penyesuaian UUPT.
Efeknya: kalau anda tidak menyesuaikan PT anda sampai tanggal tersebut maka PT anda
dapat dibubarkan berdasarkan keputusan pengadilan, kejaksaan dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
K: tapi tidak segera dan seketika tentunya?
N: ya memang ada prosesnya, tapi berarti PT anda tidak dapat beroperasi dengan sebagaimana
mestinya karena itu pasti anda rugi.
Selain itu pula banyak hal yang berubah dalam UUPT baru ini sehingga Anggaran Dasar PT
anda yang dibuat berdasarkan UUPT 95 tidak relevan lagi tentunya dengan ketentuan UUPT
07 ini. Padahal Anggaran Dasar adalah pedoman aturan-aturan PT lebih lanjut setelah UUPT
itu sendiri.
Mengenai Direksi & Komisaris, dahulu Komisaris berupa Dewan tetapi tidak disebut demikian
dalam standar akta lama sehingga kerap kali terjadi ketidakpastian hukum antara lain ada
Komisaris yang bertindak sendiri bukan atas nama Dewan. Di UUPT baru & standar akta yang
baru jelas dinyatakan bahwa Komisaris berbentuk Dewan.
- Mengenai RUPS Tahunan ditentukan pula bahwa dalam rapat tidak hanya membahas laporan
tahunan tetapi juga rencana kerja, hal ini tidak ada dalam UUPT lama/ standar akta lama.
- Dalam standar akta yang baru ini ketentuan-ketentuan/ pasal-pasalnya lebih ringkas dan padat.
Hal-hal yang sudah diatur dalam UU tidak dimasukkan lagi, berbeda dengan standar yang dulu
memasukkan
ketentuan-ketentuan
yang
sudah
diatur
dalam
UUPT
95
seperti
soal
penggabungan, peleburan & pengambilalihan juga soal pembubaran & likuidasi. Sebagai contoh
perbedaan lainnya dalam UUPT yang baru adalah Mengenai kuorum rapat-rapat juga banyak
yang berubah dibandingkan UUPT lama.
Jika kita tidak mengadakan penyesuaian tentu hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum
dan ketidakselarasan bagi PT tersebut.
- Efek jangka panjang lainnya apabila tidak menyesuaikan, sewaktu-waktu nama PT tersebut
dapat digunakan oleh pihak lain karena PT anda sudah tidak terdaftar dalam daftar perusahaan
di Departemen Hukum & HAM RI, saat anda hendak mengubah suatu hal dalam Anggaran Dasar
maupun terjadi pembubaran hukum lain hal tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sah
karena perbuatan hukum tersebut tidak dapat disetujui, diberitahukan kepada Departemen
Hukum & HAM RI karena PT anda tidak terdaftar dan tidak bisa didaftar karena sudah lampau
waktu atau parahnya nama PT anda sudah dipakai pihak lain. Alangkah sulitnya apabila nama
perusahaan kita yang sudah dikenal luas ternyata tidak dapat digunakan lagi oleh kita karena
telah dipakai pihak lain. Apalagi Nama PT kadang sudah melekat image atau branding dari
produk atau jasa yang dihasilkannya. Apabila hanya melampaui jangka waktu 1 tahun namun
nama perusahaan anda belum terpakai orang lain maka anda dapat mengajukan pendirian PT
baru dan nama PT lama anda, tentu prosesnya mengulang dari awal dan PT anda dianggap PT
baru. Sebaiknya kita menyesuaiakan Anggaran Dasar PT yang sudah ada dengan ketentuan baru
ini, agar tidak timbul kesulitan di kemudian hari.