Anda di halaman 1dari 3

Bismillaahirrohmaanirrohim.

Assalaamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Kami, IRWAN MEI KUSTANTO

NIM. 047861973

UPBJJ MATARAM.

Izin menjawab pertanyaan Tugas 3 ini.

Mengapa proses jual beli tanah harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat dan dikeluarkan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT?

Hak kepemilikan atas tanah, sewaktu-waktu dapat terjadi peralihan hak dan yang umum terjadi
peralihan tersebut terjadi karena adanya jual beli tanah antara pemilik tanah dengan pembeli.
Supardy Marbun Direktur Sengketa Konflik Wilayah 1, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengatakan tidak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui apa
saja yang perlu dilakukan dalam jual beli tanah, akibatnya banyak masyarakat yang merasa dirugikan
akibat transaksi jual beli tanah.

Supardy Marbun mengatakan setidaknya ada lima hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat jika
ingin jual beli tanah :

• Pertama adalah memastikan keaslian tanda bukti hak atas tanah di Kantor Pertanahan tempat
lokasi tanah Anda berada.
• Kedua, buatlah Akta Jual Beli (AJB) tanah yang dibuat di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
bertugas di wilayah lokasi tanah, jangan menggunakan PPAT di luar wilayah kewenangan
kerjanya.
• Ketiga, jika penjual akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau
uang muka berdasarkan kesepakatan dan akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu maka
diperlukan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PBJB) di hadapan Notaris, karena PBJB
yang dihadapan notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna sesuai dengan Pasal 1870 KUH Perdata.
• Keempat, apabila penjual sudah menikah, maka tanah dan bangunan akan menjadi harta
bersama, sehingga penjualan tanah tersebut harus atas dasar persetujuan suami/istri dengan
penandatanganan surat persetujuan khusus, atau turut menandatangani AJB. Apabila suami atau
istri sudah meninggal, dapat dilakukan dengan melampirkan surat keterangan kematian dari
kantor kelurahan.
• Kelima, penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh) dan pembeli harus membayar Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut Pajak
Penjual (PPh) = Harga Jual x 2,5 %, Pajak Pembeli (BPHTB) = {Harga Jual – Nilai Tidak Kena Pajak} x
5%, Pembeli dan Penjual kemudian juga membayar pembuatan AJB di PPAT yang pada umumnya
akan ditanggung bersama atau jika kedua belah pihak bersepakat ditanggung oleh salah satu
pihak yang nilainya maksimal 1% dari harga transaksi tanah.

Lebih lanjut Supardy berharap kepada masyarakat yang sudah memiliki tanah agar menjaga
tanahnya, menjaga tanah itu ada dua hal yaitu menjaga fisik tanahnya agar tidak dikuasai oleh orang
lain yaitu dengan memberi patok atau batas tanah dan memanfaatkan tanahnya dengan baik,
kemudian menjaga surat-suratnya agar tidak hilang atau dipegang oleh orang lain. Sementara itu
terkait maraknya mafia tanah, Supardy Marbun mengatakan saat ini Kementerian ATR/BPN sudah
melakukan kerja sama dalam MoU dengan Kepolisian RI tentang pemberantasan mafia tanah. Mulai
tahun kemarin, Kementerian ATR/BPN sudah melakukan banyak hal untuk memberantas mafia
tanah.

Berdasarkan pada Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) jual beli adalah suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Harga dapat diartikan dengan alat
pembayaran yang sah berupa sejumlah uang.

Kemudian dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan
ruang angkasa. Maka sebelum transaksi jual beli tanah harus diteliti terlebih dahulu, mengenai jenis
hak atas tanah sebagai transaksi jual beli tersebut, serta pihak yang menjadi pemegangnya. Dalam
jual beli tanah, ada aturan mendasar yang harus dipenuhi yaitu proses transaksi dan keabsahan
dokumen sertifikat. Proses jual beli tanah tidak boleh dilakukan dibawah tangan atau secara
kesepakatan saja tanpa dokumen sah yang akui secara hukum oleh pemerintah.. Semua prosedur
transaksinya harus dilakukan di hadapan pejabat negara atau yang disebut Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) disebut sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-
akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu terkait hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun. Meski demikian, tak semua daerah memiliki PPAT. Untuk daerah-daerah yang belum
memiliki PPAT, camat dapat berperan sebagai PPAT sementara. Hal ini juga diatur dalam PP No. 37
Tahun 1998 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT.” Kemudian selanjutnya adalah membawa berkas-berkas asli yang bisa
dipertanggung jawabkan. Tanah yang diperjual belikan harus memiliki sertifikat tanah asli, tidak
sedang dalam penyitaan dan PBB-nya sudah dibayar lunas. Jika pemilik sertifikat sudah meninggal
dunia, pastikan sertifikat tersebut sudah balik nama, menjadi nama ahli warisnya. Kemudian Notaris
akan membantu memeriksa keabsahan berkas tersebut. Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No.2
Tahun 2014, Notaris memiliki kewenangan berupa:

❖ Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
❖ Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
❖ Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
❖ Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
❖ Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
❖ Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
❖ Membuat Akta risalah lelang.

Syarat sah jual beli tanah menurut Hukum Perdata.


Ada Empat syarat yang dikemukakan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 agar
suatu persetujuan dikatakan sah, yaitu:

➢ Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya,


➢ Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
➢ Suatu pokok persoalan tertentu, dan
➢ Suatu sebab yang tidak terlarang.

Namun jika perjanjian tersebut dibuat berdasarkan paksaan atau kekhilafan maka menjadi tidak sah.
Hal tersebut telah diatur dalam pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada suatu persetujuan pun
mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau
penipuan.” Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 5, pengertian jual beli tanah yang sah
mengacu pada pengertian jual beli tanah menurut hukum adat. Di dalamnya terdapat dua konsep
utama, yaitu terang dan tunai. Terang maksudnya pemindahan hak dilakukan di hadapan kepala
adat, yang berperan sebagai pejabat, dalam hal ini PPAT. Sedangkan tunai mengacu pada
pemindahan hak yang dilakukan secara serentak.

Dua syarat utama dalam jual beli tanah, yakni:

Syarat Materiil

Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang ingin ia jual. Maksudnya yang berhak menjual
tanah adalah pemilik sah. Jika ia sudah berkeluarga, maka suami dan istri harus hadir dalam
penandatanganan perjanjian dan bertindak sebagai penjual. Kemudian Pembeli adalah orang yang
berhak atas tanah yang dibelinya. Maksudnya pembeli adalah orang-orang yang telah ditetapkan
secara hukum boleh untuk memiliki tanah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria,
hanya WNI dan badan hukum yang sudah ditetapkan perundang-undangan saja yang boleh memiliki
tanah di wilayah RI.

Tanah yang diperjual belikan tidak dalam kondisi sengketa. Menurut UUPA, tanah-tanah yang bisa
dijadikan objek peralihan hak adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai.

Syarat Formil

Syarat formil berupa jual beli yang dilakukan di hadapan PPAT dan dipenuhi setelah syarat materiil
terpenuhi.

Implikasi hukum apabila proses jual beli tanah tidak dilakukan di depan PPAT.

Dikarenakan pentingnya keabsahan kepemilikan tanah yang sah dan diakui negara secara hukum
sehingga jula beli yang dilakukan tidak didepan PPAT akan menghasilkan permasalahan dalam arti
tidak terbitnya bukti transakasi jual-beli yang disaksikan oleh saksi dan disahkan oleh pejaabat yang
diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk permasalahan tersebut. Jika bukti transaksi tidak sah
bagaimana mungkin dapat menjadi dasar proses selanjutnya untuk penerbitan sertipikat hak atas
tanah dimaksud. Dalam jangka panjang, jika terjadi permasalahan terhadap tanah dimaksud maka
sangat rentan bagi pembeli untuk mengalami kerugian bahkan kehilangan tanahnya. Jadi
kesimpulannya bahwa transaksi jual-beli yang terjadi tidak didepan PPAT tidak memiliki dasar hukum
yang kuat untuk bisa mempertahankan haknya atas tanah.

Sumber : https://ekonomi.bisnis.com

Anda mungkin juga menyukai