Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jual beli adalah salah satu proses yang dapat menjadi bukti adanya peralihan hak dari
penjual kepada pembeli. Prinsip dasarnya adalah Terang dan Tunai, yakni dilakukan di
hadapan pejabat umum yang berwenang dan dibayarkan secara tunai. Ini artinya jika harga
yang dibayarkan tidak lunas maka proses jual beli belum dapat dilakukan.
Jual beli hak atas tanah harus dibuat dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB) yang
merupakan dokumen yang membuktikan adanya peralihan hak atas tanah dari pemilik
sebagai penjual kepada pembeli sebagai pemilik baru. Menurut, Pasal 37 Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli
(AJB) merupakan bukti sah (selain risalah lelang, jika peralihan haknya melalui lelang)
bahwa hak atas tanah dan bangunan sudah beralih kepada pihak lain. AJB dibuat di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Camat untuk daerah tertentu yang masih jarang
terdapat PPAT. Secara hukum Peralihan Hak atas tanah dan bangunan tidak bisa dilakukan di
bawah tangan.
Proses jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan diawali dengan langkah mendatangi
PPAT untuk mendapatkan keterangan mengenai proses jual beli dan menyiapkan persyaratan
untuk proses jual beli tersebut. Sebelum dilakukan jual beli PPAT akan menerangkan
langkah-langkah dan persyaratan yang diperlukan untuk melaksanakan jual beli. Kepentingan
lainnya adalah untuk menyerahkan asli sertifikat terlebih dahulu untuk dilakukan pengecekan
terhadap kesesuaian data teknis dan yuridis antara sertifikat dan buku tanah yang ada di
kantor pertanahan. Dengan demikian langkah atau proses serta keperluan dokumen atau
sertipikat dalam pembuatan AJB, antara lain terdiri dari :

Pemeriksaan Sertifikat dan PBB


Umumnya langkah pertama yang dilakukan PPAT sebelum transaksi dilakukan adalah

melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Untuk pemeriksaan tersebut PPAT akan meminta asli sertifikat hak atas tanah dan Surat
Tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari Penjual. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah

diperlukan untuk memastikan kesesuaian data teknis dan yuridis antara sertifikat tanah
dengan Buku Tanah di Kantor Pertanahan. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah juga
dilakukan PPAT untuk memastikan bahwa tanah tersebut tidak sedang terlibat sengketa
hukum, tidak sedang dijaminkan, atau tidak sedang berada dalam penyitaan pihak berwenang.
Pemeriksaan STTS PBB dilakukan PPAT untuk memastikan bahwa tanah tersebut tidak
menunggak pembayaran PBB. Dengan deikian, pemeriksaan sertifikat ke BPN dilakukan
oleh PPAT yang bertujuan untuk mengetahui bahwa objek jual beli tidak dalam sengketa
hukum, dalam jaminan, sita atau blokir dari pihak lain. Dimana jika ada catatan di dalam
buku tanah yang ada di BPN maka penjual berkewajiban terlebih dahulu untuk menbersihkan
catatan tersebut. Jika catatan tersebut berupa blokir maka blokir tersebut harus diangkat
terlebih dahulu. Tanpa proses ini jual beli tidak bisa dilaksanakan.

Persetujuan Suami/Istri
Hal lain yang perlu dipastikan sebelum menandatangani AJB adalah adanya

persetujuan dari suami atau istri penjual dalam hal penjual telah menikah. Dalam suatu
perkawinan akan terjadi percampuran harta bersama kekayaan masing-masing suami-istri,
begitupun dengan hak atas tanah. Oleh karena hak atas tanah merupakan harta bersama dalam
perkawinan, maka penjualannya memerlukan persetujuan dari suami atau istri. Persetujuan
tersebut dapat diberikan dengan cara penandatanganan Surat Persetujuan khusus, atau suami
atau istri dari pihak penjual turut menandatangani AJB.
Dalam hal suami atau istri penjual telah meninggal, maka keadaan tersebut perlu
dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian dari kantor Kelurahan. Dengan meninggalnya
suami atau istri, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka akan hadir sebagai ahli
waris dari tanah yang akan dijual. Anak-anak tersebut juga wajib memberikan persetujuannya
dalam AJB sebagai ahli waris menggantikan persetujuan dari suami atau istri yang
meninggal.

Komponen Biaya Dalam AJB


Selain harga jual-beli tanah, komponen biaya lainnya yang perlu dikeluarkan baik

oleh penjual maupun pembeli adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak Penghasilan wajib dibayar oleh Penjual sebesar 5%
dari harga tanah, sedangkan Pembeli wajib membayar BPHTB sebesar 5% setelah dikurangi

Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Selain pajak, biaya lainnya yang perlu
dikeluarkan adalah jasa PPAT yang umumnya ditanggung bersama oleh Penjual dan Pembeli.

Penandatanganan AJB
Setelah Penjual dan Pembeli menyerahkan sertifikat tanah, bukti setor pajak dan

dokumen identitas para pihak serta membayar komponen biaya transaksi, maka Penjual dan
Pembeli menghadap ke PPAT untuk menandatangani AJB. Penandatanganan tersebut wajib
dilakukan di hadapan PPAT dan biasanya disaksikan oleh 2 orang saksi yang juga turut
menandatangani AJB. Umumnya kedua orang saksi tersebut berasal dari kantor PPAT yang
bersangkutan.

Balik Nama
Setelah penandatanganan AJB dilakukan langkah berikutnya adalah melakukan balik

nama sertifikat dari nama Penjual menjadi nama Pembeli. Proses balik nama dilakukan di
Kantor Pertanahan oleh PPAT. Proses balik nama ini bisa berlangsung kurang lebih satu
sampai tiga bulan. Teknisnya adalah nama yang ada di sertifikat pada awalnya dicoret dan
digantikan oleh pembeli dengan mencantumkan dasar peralihannya, yakni nomor dan tanggal
AJB beserta PPAT yang membuatnya.

Dokumen Yang Perlu Disiapkan Oleh Penjual

1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Penjual beserta suami/istri.


2. Fotokopi Kartu Keluarga.
3. Fotokopi Akta Nikah.
4. Asli Sertifikat Tanah.
5. Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
6. Surat Persetujuan Suami/Istri (atau bisa juga persetujuan tersebut diberikan dalam
AJB).
7. Asli Surat Keterangan Kematian jika suami/istri telah meninggal.
8. Asli Surat Keterangan Ahli Waris jika suami/istri telah meninggal dan ada anak yang
dilahirkan dari perkawinan mereka.

Dokumen Yang Perlu Disiapkan Oleh Pembeli

1. Fotokopi Kartu Tanda Penduruk (KTP).


2. Fotokopi Kartu Keluarga (KK).
3. Fotokopi Akta Nikah jika sudah menikah.
4. Fotokopi NPWP.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah jika istri tidak ikut tanda tangan dalam Akta Jual Beli (AJB), maka hak atas
tanah tersebut sah atau tidak? Kenapa istri ikut tanda tangan dalam AJB yang
sebenarnya hanya atas nama suaminya saja? Berikan dasar hukumnya (jika istri
memang harus ikut tanda tangan)!
2. Apakah istri ketika tanda tangan bertindak sebagai penghadap atau para pihak?
Jelaskan!

BAB II

KEABSAHAN HAK ATAS TANAH DALAM AKTA JUAL BELI YANG


DITANDATANGANI OLEH SUAMI BESERTA ISTRI DAN ALASAN ISTRI TURUT
SERTA DALAM PENANDATANGANAN AKTA JUAL BELI

Perkawinan di Indonesia menganut sistem pencampuran harta dalam perkawinan,


apabila tidak diperjanjikan mengenai pisah harta sebelum melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dengan sistem harta bersama menyebabkan penggabungan semua harta yang
diperoleh baik oleh suami atau istri pada saat perkawinan berlangsung. Hal ini berlaku pula
bagi hak atas tanah yang diperoleh suami atau istri tersebut.
Salah satu proses atau syarat dalam membuat AJB adalah adanya persetujuan suami
atau istri. Salah satu hal yang perlu dipastikan sebelum menandatangani AJB adalah adanya
persetujuan dari suami atau istri penjual dalam hal penjual telah menikah. Dalam suatu
perkawinan akan terjadi percampuran harta bersama kekayaan masing-masing suami-istri,
begitupun dengan hak atas tanah. Oleh karena hak atas tanah merupakan harta bersama dalam
perkawinan, maka penjualannya memerlukan persetujuan dari suami atau istri. Persetujuan
tersebut dapat diberikan dengan cara penandatanganan Surat Persetujuan khusus, atau suami
atau istri dari pihak penjual turut menandatangani AJB.
Terhadap harta bersama, maka suami atau istri dapat bertindak setelah terdapat
persetujuan dari kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan(UU No. 1/1974). Pengertian dari harta bersama diatur dalam Pasal
35 ayat (1) UU No. 1/1974, sebagai berikut:
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
Namun, untuk membuktikan bahwa objek jual beli tersebut merupakan harta bersama,
tentunya diperlukan suatu bukti pencatatan perkawinan (akta perkawinan) sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 jo. Pasal 11 dan Pasal 12 PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari bukti tersebut dapat diketahui apakah objek jual beli tersebut merupakan harta benda
yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan, kartu keluarga pada hakikatnya adalah suatu
kewajiban pelaporan oleh warga Negara Indonesia atas susunan keluarganya sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 11 Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sehingga, kartu keluarga dapat
dianggap kurang memadai untuk membuktikan suatu perkawinan maupun harta bersama.

BAB III
KEDUDUKAN HUKUM ISTRI KETIKA TURUT SERTA MENANDATANGANI
AKTA JUAL BELI
Salah satu proses atau syarat dalam membuat AJB adalah adanya persetujuan suami
atau istri. Salah satu hal yang perlu dipastikan sebelum menandatangani AJB adalah adanya
persetujuan dari suami atau istri penjual dalam hal penjual telah menikah. Dalam suatu
perkawinan akan terjadi percampuran harta bersama kekayaan masing-masing suami-istri,
begitupun dengan hak atas tanah. Oleh karena hak atas tanah merupakan harta bersama dalam
perkawinan, maka penjualannya memerlukan persetujuan dari suami atau istri. Persetujuan
tersebut dapat diberikan dengan cara penandatanganan Surat Persetujuan khusus, atau suami
atau istri dari pihak penjual turut menandatangani AJB.
Istri bertindak sebagai penghadap atau para pihak pada saat turut serta
menandatangani AJB karena istri merupakan pihak yang juga berwenang dalam pelaksanaan

jual beli atas hak atas tanah yang merupakan harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan dan tidak ada perjanjian pisah harta sebelum melangsungkan perkawinan.
Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan bahwa :
Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta
bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak
dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam
perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta
bersama itu.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa, Akta Jual Beli yang dibuat untuk hak atas tanah yang merupakan harta
bersama baru menjadi sah menurut hukum apabila istri turut serta
menandatangani Akta Jual Beli tersebut, sebab salah satu proses atau syarat
dalam membuat AJB adalah adanya persetujuan suami atau istri. Salah satu hal
yang perlu dipastikan sebelum menandatangani AJB adalah adanya
persetujuan dari suami atau istri penjual dalam hal penjual telah menikah.
Dalam suatu perkawinan akan terjadi percampuran harta bersama kekayaan
masing-masing suami-istri, begitupun dengan hak atas tanah. Oleh karena hak
atas tanah merupakan harta bersama dalam perkawinan, maka penjualannya
memerlukan persetujuan dari suami atau istri. Persetujuan tersebut dapat
diberikan dengan cara penandatanganan Surat Persetujuan khusus, atau suami
atau istri dari pihak penjual turut menandatangani AJB. Menurut ketentuan
Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perbuatan hukum atas harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan harus memperoleh persetujuan istri dan suami, jadi AJB baru

menjadi sah apabila istri telah memberi persetujuan baik dengan cara turut
serta menandatangani AJB maupun memberi kuasa khusu kepada suami untuk
menandatangani AJB. Hal-hal di atas merupakan alasan istri harus turut serta
menandatangani AJB.
2. Bahwa, kedudukan hukum istri pada saat turut serta menandatangani AJB
adalah sebagai penghadap atau para pihak karena berdasarkan ketentuan Pasal
36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, baik
suami atau istri tidak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta
bersama tanpa adanya persetujuan dari pasangan mereka, oleh karena itu istri
di sini bertindak pula sebagai penghadap atau para pihak sama halnya seperti
suami.

TUGAS
HUKUM AGRARIA

OLEH :

DAVID BUDIANTO
124214502

MAGISTER KENOTARIATAN ANGKATAN XV


UNIVERSITAS SURABAYA

Anda mungkin juga menyukai