Anda di halaman 1dari 24

TUGAS AKHIR HUKUM AGRARIA

NAMA: YOGIA PRASETIA

NIM: 1710611075

MATA KULIAH: HUKUM AGRARIA

LOKAL: D

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UPN “ VETERAN “ JAKARTA 2018


1. Permasalahan PT. KAI dan PT. BMP

Adanya aksi saling klaim dari PT KAI dan PT BMP terhadap lahan di lokasi yang kini
menjadi pintu gerbang Basko Hotel dan Basko Grand Mal. Klaimnya adalah, menurut PT KAI
lahan itu miliknya, makanya perlu ditertibkan, dipatok dan diamankan. Dasar hukum yang
diajukan untuk klaim ini adalah Grondkaart Nomor 10 tahun 1888 dan UU Nomor 23 Tahun
2007 tentang Perkeretaapian serta PP Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Perkeretaapian yang menyatakan batas ruang manfaat jalur kereta api dan ruang milik jalur kereta
api jarak dari rel lebih kurang 12 meter. PT KAI dalam surat bernomor KA.203/V/14/DIVRE II
SB-2015 tanggal 27 Mei 2015 juga mendalilkan bahwa lokasi yang akan ditertibkan sudah di-
manfaatkan oleh BMP sebagai jalan masuk dan lahan parkir sejak PT BMP mengadakan
perjanjian sewa tanah dengan PT KAI. Dengan dasar itu, maka aksi penertiban versi PT KAI itu,
dilakukan pada pagi Sabtu (6/6) dengan melibatkan sekitar seratusan karyawan PT KAI di bawah
pimpinan Vice President (VP) PT KAI Divre II Sumbar Ari Soepriadi. Sedang pihak PT BMP
meng/klaim, lahan itu adalah hak yang sudah mereka kuasai sejak tahun 1994 lalu dan sedang
dalam proses sertifikasi serta sudah ada Surat Ukur dari Kantor Pertanahan Kota Padang Nomor
00297/2011 tanggal 23 Juni 2011. Lahan itu, sama dengan tanah yang sudah ada sertifikat Hak
Guna Bangunan (HGB) atas nama Basrizal Koto sebelumnya, berasal dari lahan yang dibebaskan
dari masyarakat yang semula menempati di sana.

PT BMP juga punya surat penguasaan fisik serta Surat Keterangan Lurah Air Tawar Timur
tanggal 27 April 2011 Nomor 11/ATT-19/IV-2011 dan menegaskan status tanahnya adalah Tanah
Negara Eigendom Verponding 1648, bukan tanah PT KAI. Secara umum, sesuai dengan UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyangkut Hak-hak
atas tanah dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka PT BMP
berkeyakinan, bahwa tanah yang dikuasai dan sudah digunakan sebagai akses jalan masuk ke
Basko Hotel dan basko Grand Mal, adalah lahan mereka yang dilindungi Undang-Undang.
Merasa berhak, pihak BMP pun berusaha mempertahankan haknya dari tindakan –yang menurut
PT BMP adalah perbuatan melawan hukum, yakni masuk tanpa hak dan melakukan pengrusakan
di areal yang dilindungi UU. Buntut dari aksi saling klaim kebenaran atas penguasaan dan
kepemilikan lahan seluas 465 meter persegi itu, pihak BMP membuat dua laporan polisi di
Mapolresta Padang, yakni tindakan pengrusakan bersama-sama yang diduga dilakukan pimpinan
dan karyawan PT KAI serta laporan penghinaan terhadap pemilik BMP H Basrizal Koto yang di-
duga dilakukan VP PT KAI Divre II Sumbar Ari Soepriadi. Sementara tiga hari kemudian, PT
KAI balas melapor ke Mapolda Sumbar dengan tuduhan penyerobotan lahan milik PT KAI oleh
PT BMP.

Gugatan PT KAI dalam kasus sewa-menyewa dengan PT BMP, sampai sekarang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Di tingkat Pengadilan Negeri, PT KAI menang, di
Pengadilan Tinggi, BMP yang menang. Sekarang perkaranya masih di tingkat kasasi di MA.
Apalagi gugatan pembatalan sertifikat BMP ke PTUN dimenangkan pihak BMP dan sekarang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika ditelisik aturan UU Nomor 5 tahun 1960 tentang
Agraria dan PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PP Nomor 8 tahun 1953
tentang Penguasaan Tanah Negara, maka sudah sejak Indonesia merdeka, UU memerintahkan
agar setiap hak-hak atas tanah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelum tahun
1960 atau yang ada sejak zaman kolonial, harus didaftarkan ke Badan Pertanahan, baik data fisik
maupun data yuridis. Penataan tanah negara ini, sudah jauh hari diwajibkan sebelum lahirnya UU
Pokok Agraria, UU No 5 Tahun 1960. Makanya, jika hari ini ada ada instansi pemerintah atau
perusahaan negara mengklaim punya hak atas tanahnya, dia harus menunjukkan bukti sertifikat
hak pakai atau hak pengelolaan. Bila ini tidak ada, berarti instansi atau perusahaan negara itu lalai
menjalankan kewajibannya untuk tertib adimintrasi pertanahan. Yang juga sangat-sangat fatal
adalah tindakan PT. KAI yang menyewakan lahannya kepada pihak swasta, seperti yang
diungkapkan manajemen PT KAI kepada pers. Sebab, ulasnya, perusahaan negara seperti KAI,
jika memang menguasai tanah negara, itu hanya sebatas Hak Pakai Publik, yaitu hak pakai non
komersial, hak pakai yang tidak bisa dijual apalagi disewakan. “Jika KAI menyewakan tanah
negara yang statusnya hanya hak pakai publik, maka itu berarti tindakan melanggar hukum,” kata
Kurnia Warman. Sesuai dengan ketentuan pasal 44 UU Pokok Agraria, yang berhak menyewakan
tanah itu hanya pemilik atau orang atau lembaga yang punya sertifikat Hak Milik. Nah, PT KAI
atau instansi pemerintah bukanlah pemilik, melainkan hanya diberi hak pakai publik, maka
kesalahan fatal, bila instansi itu menyewakannya kepada pihak lain. Tanah negara yang
diserahkan pemakaiannya kepada instansi atau perusahaan negara, hanya diakui hak pakainya
sepanjang tanah itu digunakan sesuai fungsi dari instansi atau perusahaan negara itu. Bila tanah
itu ditelantarkan atau disewakan, maka sejak saat itu juga, menurut Kurnia Warman, lahan itu
otomatis beralih menjadi tanah negara. “Nah setiap tanah negara, bisa diserahkan kepada orang
atau badan hukum untuk diolah dan dimanfaatkan, sepanjang memenuhi persyaratan seperti
membayar uang pemasukan kepada negara dan membayar administrasi pertanahan.
https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-hak.html

ANALISIS:
Subyek dari kasus di atas adalah antara PT Basko Minang Plaza (BMP) dan PT Kereta
Api Indonesia (KAI) Divre II Sumbar. Berawal dari Adanya aksi saling klaim dari PT KAI dan
PT BMP terhadap lahan di lokasi yang kini menjadi pintu gerbang Basko Hotel dan Basko Grand
Mal. Klaimnya adalah, menurut PT KAI lahan itu miliknya, makanya perlu ditertibkan, dipatok
dan diamankan. Dasar hukum yang diajukan untuk klaim ini adalah Grondkaart Nomor 10 tahun
1888 dan UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian serta PP Nomor 56 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian yang menyatakan batas ruang manfaat jalur kereta api
dan ruang milik jalur kereta api jarak dari rel lebih kurang 12 meter. PT KAI dalam surat
bernomor KA.203/V/14/DIVRE II SB-2015 tanggal 27 Mei 2015 juga mendalilkan bahwa lokasi
yang akan ditertibkan sudah dimanfaatkan oleh BMP sebagai jalan masuk dan lahan parkir sejak
PT BMP mengadakan perjanjian sewa tanah dengan PT KAI. Dengan dasar itu, maka aksi
penertiban versi PT KAI itu, dilakukan pada pagi Sabtu (6/6) dengan melibatkan sekitar sera-
tusan karyawan PT KAI di bawah pimpinan Vice President (VP) PT KAI Divre II Sumbar Ari
Soepriadi. Sedang pihak PT BMP meng/klaim, lahan itu adalah hak yang sudah mereka kuasai
sejak tahun 1994 lalu dan sedang dalam proses sertifikasi serta sudah ada Surat Ukur dari Kantor
Pertanahan Kota Padang Nomor 00297/2011 tanggal 23 Juni 2011. Lahan itu, sama dengan tanah
yang sudah ada sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Basrizal Koto sebelumnya, ber-
asal dari lahan yang dibebaskan dari masyarakat yang semula menempati di sana.
Lalu kasus ini Di tingkat Pengadilan Negeri, PT KAI menang, di Pengadilan Tinggi,
BMP yang menang. Sekarang perkaranya masih di tingkat kasasi di MA.
2. Petani Keberatan soal Hak Guna Usaha Lahan

Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman Republik


Indonesia (ORI) menerima puluhan masyarakat tani dari Sumatera Utara, Senin malam (17/11).
Puluhan petani menuntut lahan pertanian yang mereka klaim sebagai miliknya.
"Kami punya surat tanah, sebagian masih ada, sebagian sudah diserahkan dulu (ke pemerintah)
dengan dalih mau diselesaikan. Ternyata sampai sekarang tidak dikembalikan," kata Koordinator
Masyarakat Tani, Samsul Hilal ketika ditemui di Kantor Ombudsman.

Menurut Samsul, pemerintah sejak rezim Orde Baru telah merampas tanah warga di 10
kabupaten di wilayah Sumatera Utara. Kabupaten tersebut adalah Langkat, Kota Binjai, Deli
Serdang, Serdang Bedage, Simalungun, Batu Bara, Asahan, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu
Selatan, dan Padang Lawas. "Kalau dijumlah, ada ribuan hektar," ujar Samsul.
Dalihnya, tanah tersebut merupakan tanah milik negara dan bukan tanah rakyat. Tanah tersebut
diserahkan ke perkebunan negara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II, PT PN III, dan PT PN IV,
termasuk perusahaan swasta nasional dan perusahaan swasta asing.
"Kami pikir setelah reformasi akan diselesaikan, tanah dikembalikan ke rakyat, ternyata sudah 16
tahun reformasi, belum dikembalikan," kata pria dari Labuhan Batu Selatan tersebut.
Petani tersebut tak lagi dapat menggarap lahan mereka sejak puluhan tahun silam. Alhasil,
pemasukan sektor pertanian pun terhenti. "Hak Guna Usaha diberikan ke perkebunan. Lamanya
bergantung, bisa 30 tahun dan perpanjangan 25 tahun," ujarnya.
Berbagai upaya telah dia tempuh. Negosiasi dengan pemerintah daerah sudah tak terhitung
banyaknya. Namun upaya mereka selalu terhenti sehingga mereka berharap Ombudsman dapat
memberikan rekomendasi kepada presiden untuk mengambil langkah politik.
Menanggapi keluhan masyarakat petani, Ketua Ombudsman RI Danang Giriwardana mengatakan
bakal berupaya menyelesaikan kasus tersebut. "Ombudsman akan memverifikasi sertifikat tanah
yang diajukan. Kami akan mencocokkan dengan data di instansi terkait, seperti Badan Pertanahan
Nasional," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta.
Setelah jejak sertifikat ditelusuri, Ombudsman akan memberi rekomendasi kepada
pemerintah daerah dan masyatakat setempat. Rekomendasi tersebut, dapat berupa ganti rugi tanah
oleh pemerintah. "Ombudsman baru saja menyelesaikan sengketa lahan di Lampung Timur.
Rekomendasi kami, meminta pemerintah daerah mengganti rugi Rp 11 miliar kepada masyarakat
yang lahannya tergusur untuk pembuatan jalan," katanya.
Ketika diatanya soal tuntutan masyarakat seperti Keputusan Presiden soal administrasi pertanahan
tersebut, ia mengaku bisa menjadi masukan. "Sebagai kepala negara, Jokowi punya cukup
kewenangan membuat kebijakan diskresional. Katakanlah, kebijakan pemutihan lahan dan itu
memungkinkan," kata lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut.
https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-hak.html

ANALISIS:
Subyek dari kasus tersebut adalah para petani yang keberatan soal HGU lahan. Berawal dari
Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menerima puluhan
masyarakat tani dari Sumatera Utara, Senin malam (17/11). Puluhan petani menuntut lahan pertanian
yang mereka klaim sebagai miliknya. pemerintah sejak rezim Orde Baru telah merampas tanah warga
di 10 kabupaten di wilayah Sumatera Utara. Kabupaten tersebut adalah Langkat, Kota Binjai, Deli
Serdang, Serdang Bedage, Simalungun, Batu Bara, Asahan, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu
Selatan, dan Padang Lawas.
Kasus tersebut mengenai Hak Guna Usaha yang dimana di atur oleh pasal 28 ayat 1 UUPA
nomor 5 tahun 1960. Lalu kasus tersebut Ombudsman baru saja menyelesaikan sengketa lahan di
Lampung Timur. Rekomendasi kami, meminta pemerintah daerah mengganti rugi Rp 11 miliar
kepada masyarakat yang lahannya tergusur untuk pembuatan jalan.

3. Kasus Penjualan Tanah Hak Pakai PT KAI: Ka Kanwil BPN dan Ka BPN Jakbar
Ditetapkan Tersangka

Jakarta,hariandialog.com-Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta melalui tim Jaksa


Penyidik Pidana Khusus telah menetapkan dua tersangka dalam kasus penjualan tanah hak
pakai PT Kreta Api Indonesia (KAI) di Pesing, Jakarta Barat. Kedua tersangka yang belum
dilakukan penahanan tersebut, menurut sumber di Pidsus Kejati DKI kepada Dialog, Senin
(14/1/2013) yalah Robert selaku Ka Kanwil BPN, dan Lukman selaku Ka Kantor BPN
Jakbar. Mereka disangka dengan Pasal 2 dan 3 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dan diperbaharui UU No.20 tahun
2001. “Baru dua orang tersebut yang ditetapkan sebagai tersangka,” kata sumber tersebut.
Dimana kasus penjualan tanah hak pakai PT KAI yang hingga dibuatkan sertifikatnya
tersebut berawal dari tindakan oknum PT KAI (sudah almarhum) menjual tanah kepada
sebuah pengusaha perusahaan guna dijadikan sebagai tempat usaha. Kemudian tanah
beberapa hektar yang ditaksir bernilai atau merugikan Negara puluhan miliar tersebut
diajukan untuk disertifikatkan menjadi HGB.
Oleh BPN Jakbar dan Kanwil BPN DKI Jakarta memuluskan pengajuan pemohon
sertifikat, meskipun tanah yang diajukan untuk mendapat sertifikat HGB merupakan aset
Negara yang di-hak pakai-kan kepada PT KAI. Perlu diketahui, saat Aditia Warman menjadi
Aspidsus Kejati DKI, ia dalam keterangan persnya mengatakan bahwa dalam kasus
penjualan dan pensertifikatan tanah yang merupakan hak pakai PT KAI, akan juga
menetapkan pembeli yang memohonkan HGB menjadi tersangka. Namun hingga berita ini
diturunkan, masih sesuai keterangan sumber di Kejati DKI, pengusaha itu masih belum
berstatus tersangka. Sementara Kasi Penyidikan Pidsus Kejati DKI, M.Reza tergolong sulit
untuk ditemui wartawan guna dikonfirmasi. Sikapnya tersebut bertentangan atau tidak
sejalan dengan arahan Kajati DKI Jakarta, Didiek Darmanto yang memerintahkan dalam
memberikan keterangan kepada publik terkhusus pers, supaya tidak perlu kaku dan sertiap
yang menangani perkara boleh memberikan keterangan asal jangan yang menyangkut
kebijakan.
https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-
hak.html

ANALISIS:
Subyek dari kasus tersebut adalah Ka KANWIL BPN dan Ka BPN Jakbar, berawal dari
menetapkan dua tersangka dalam kasus penjualan tanah hak pakai PT Kreta Api Indonesia (KAI)
di Pesing, Jakarta Barat. Kedua tersangka yang belum dilakukan penahanan tersebut, Robert
selaku Ka Kanwil BPN, dan Lukman selaku Ka Kantor BPN Jakbar. Mereka disangka dengan
Pasal 2 dan 3 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
sebagaimana diubah dan diperbaharui UU No.20 tahun 2001. “Baru dua orang tersebut yang
ditetapkan sebagai tersangka,” kata sumber tersebut.

Dalam Pasal 50 PP 40/1996 mengatur kewajiban pemegang Hak Pakai, diantara poinnya ada
yang berbunyi “Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberiannya. Atau perjanjian penggunaan hak tanah hak
pengelolaan atau hak perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik.”

Artinya tanah yang di hak-pakai-kan telah diatur dalam UU bahwa harus digunakan sesuai
dengan persyaratannya, jika tanah yang dalam kasus tersebut dijual oleh pihak PT KAI maka
melanggar perjanjian dan Pasal 50 PP 40/1996.

4. Persengketaan Hak Milik Atas Tanah

Setelah mereka membeli toko tersebut, Umar mengajukan permohonan sertifikat tanah
atas toko Mayko yang telah dibeli oleh kongsi dagang tersebut atas nama Umar pribadi tanpa
sepengetahuan Abdul Ghani dan istrinya. Tidak lama kemudian, terbitlah sertifikat tanah atas
nama Umar. Kemudian dengan menggunakan sertifikat hak milik tanah atas toko Mayko
tersebut, Umar secara pribadi mengajukan kredit dari Bank BNI dengan jaminan tanah atas
toko Mayko. Jaminan kredit yang diberikan oleh Umar berupa Sertifikat tanah tersebut
kemudian oleh Bank BNI dibebani dengan hak hipotik no. 205 dan sertifikat tanah No. 59,
Toko Mayko, Jalan Andalas Bireuen, dipegang oleh Bank.

Pada tahun 1968, timbul sengketa dalam kongsi dagang antara Abdul Ghani dan istrinya
Aisyah dengan Umar tentang masalah pembagian hak atas toko Mayko tersebut. Mereka
berusaha menyelesaikan sengketa ini dengan jalan musyawarah, dan akhirnya pada tanggal
28 September 1968 tercapai perdamaian atas tanah dengan bangunan toko Mayko di Jalan
Andalas di Bireuen dengan kesepakatan sebagai berikut:
1. Abdul Ghani berhak 40%
2. Aisyah berhak 20%
3. Umar berhak 40%

Namun pada kenyataannya, perjanjian yang telah disepakati oleh tiga orang tersebut,
tidak ditaati oleh Umar, dalam arti Umar tetap memegang kekuasaan penuh atas toko Mayko.
Berangkat dari ketidaktaatan Umar terhadap perjanjian tersebut, maka terungkap pula
kecurangan Umar selama ini mengenai penyalahgunaan sertifikat tanah atas toko Mayko.
Dan pihak Abdul Ghani dan Aisyah baru menyadari bahwa selama ini mereka telah
dirugikan oleh Umar, kemudian Abdul Ghani dan Aisyah mengajukan gugatan terhadap
Umar di Pengadilan Negeri. Selama gugatan Abdul Ghani dan Aisyah diproses, pihak Bank
BNI mengajukan gugatan intervensi bahwa Umar terikat perjanjian kredit 19 Desember 1960
dengan menyerahkan jaminan berupa bangunan toko, Sertifikat hak milik No. 59, dan telah
diikat dan dibebani hak hipotik dengan akta dan Sertifikat Hipotik No. 205.

Kemudian berdasarkan berbagai pertimbangan, maka Hakim memberi putusan bahwa


sertifikat yang dimiliki Umar adalah tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Umar
dihukum dengan ketentuan menyerahkan 40% bagian kepada Abdul Ghani dan 20% kepada
Aisyah. Kemudian terhadap gugatan intervensi yang diajukan oleh Bank, Hakim menyatakn
bahwa sesuai dengan apa yang seharusnya di berikan kepada pihak yang dirugikan,
Pengadilan menyatakan bahwa sertifikat yang telah dibebani hipotik hanya berlaku untuk
40% saja.

Mungkin putusan pengadilan telah dianggap adil, akan tetapi pihak Umar mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi untuk dapat memenangkan perkara ini. Kemudian hasil dari
banding itu sendiri adalah membatalkan putusan pengadilan Negeri Biruen dan menyatakan
bahwa setifikat yang dimilki oleh Umar adalah sah dan berharga. Putusan di tingkat banding
ini didasari dengan pertimbangan bahwa toko Mayko adalah sah milik Umar karena didasari
bukti Sertifikat Hak Milik atas Tanah dengan nama Umar, dan kongsi dagang seperti yang
telah disebut-sebut kini sudah tidak ada lagi karena sudah dibongkar dalam rangka
peremajaan kota. Setelah putusan banding ini, terang saja pihak Abdul Ghani dan Aisyah
merasa dirugikan. Kemudian mereka mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, yang
mana Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan Pengadilan tinggi dianggap batal dan
memutuskan sendiri bahwa Umar hanya mempunyai hak 40% atas tanah dan dikenai hak
hipotik. https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-
hak.html

ANALISIS:
Hak hipotik sebenarnya sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UU no. 4
tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan Indonesia.
Namun karena kasus yang dianalisis oleh penulis dalam makalah ini terjadi pada tahun 1960,
maka kasus ini tetap dapat dijadikan sebagai bahan analisis kasus hukum perdata khususnya
mengenai hak hipotik.

Dari sini Saya menganalisis bahwa bilamana salah seorang yang mempunyai hubungan
kerja sama dengan orang lain, kemudian secara diam-diam membuat Sertifikat Hak Milik Tanah
atas namanya pribadi, maka Sertifikat Hak Milik Tanah tersebut adalah cacat hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.

Dalam kasus hak sewa rumah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No.44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik, Pasal 3 dalam
peraturan tersebut berbunyi “Penghunian rumah yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin pemilik
dinyatakan sebagai penghunian tanpa hak atau tidak sah.”

Pada kasus di Villa Bintaro Regency tentu Penyewa 1 telah melanggar persyaratan &
perjanjian dengan Pemilik rumah, karena Penyewa 1 telah menyewakan kembali rumahnya
kepada pihak lain. Penghunian rumah yang dilakukan oleh Penyewa 2 tidak mendapat
persetujuan dari Pihak Pemilik Rumah, maka sewa rumah Penyewa 2 dan Penyewa 1 adalah
tidak sah.
5. Sengketa Tanah, Izin Proyek Sedayu City Diminta Tak Diterbitkan

JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan diminta tidak menerbitkan izin
mendirikan bangungunan (IMB) dan izin-izin lainnya kepada PT CAM (Group PT AS) atas
pembangunan proyek perumahan dan apartemen Sedayu City Kelapa Gading.

Berdasarkan peta rincik tahun 1975 dan peta BPN sebagian proyek berada di atas tanah milik
ahli waris Alm Drs A Rachman Saleh seluas 13,598 hektare. Namun tanah tersebut belum
dibayar ganti rugi dan telah dikuasai secara sepihak selama 38 tahun dari satu perusahaan
keperusahaan lainnya, terakhir adalah PT CDA (Group PT SA), dan PT CAM (Group PT AS).

Tanah itu berada di Jalan Pegangsaan II, Kelurahan Rawa Tarate, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur. Di atas tanah Alm. A Rachman Saleh, itu direncanakan akan dibangun mall,
apartemen dan perumahan mewah cluster eropa. Ahli warisnya Ibu Juraidah telah bersurat
meminta gubernur tidak menerbitkan izin IMB dan lainnya," kata Ketua Koalisi Rakyat
Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, Selasa (6/11/2018).Lebih Lanjut Sugiyanto
menambahkan, atas lahan 13,598 hektare tersebut telah dibuatkan 24 sertifikat hak milik (SHM).
Di mana 6 sertifikat dengan luas tanah 44.980 m2 (4,49 hektare) milik sendiri Alm A Rachman
Saleh.

Untuk 18 sertifikat dengan tanah seluas 91.00 m2 (91 hektare) saat proses pembelian
tanahnya bekerja sama dengan PT DM. Namun dalam perjalanannya ada masalah dan telah
diselesaikan melalui proses hukum yang dimenangkan oleh Alm A Rachman Saleh. 24 SHM itu
dikuasai PT DM. Kemudian untuk 18 sertifikat yang terjadi masalah tersebut, Alm A.Rachman
Saleh memggugat PT DM ke Pengadilan Negeri dan menang. Lalu PT DM melanjutkan gugatan
pada Mahkamah Agung (MA) melaui proses kasasi hingga peninjauan kembali (PK) akan tetapi
Alm A. Rahman Saleh tetap menang,"

SGY menjelaskan, putusan PK bernomor 225/PK/Pdt/1997 mewajibkan PT DM


mengembalikan 18 SHM tersebut kepada Alm A. Rachmat Saleh. Tetapi hingga A.Rachman
Saleh meninggal pada 2007, ke-18 SHM, dan juga 6 SHM yang jumlahnya 24 SHM itu tidak
diserahkan kepada ahli waris Alm A Rachman Saleh dan tetap dikuasai PT DM. "Atas
permintaan A Rachman Saleh, pada 22 Juni 2004 untuk 18 SHM itu telah dikelurkan sertifikat
penganti oleh kepada BPN Jakarta Timur, dan diumumkan pada satu surat kabar bahwa sertifikat
yang lama tak berlaku lagi," ungkap SGY.Namun pada 4 Oktober 2013, tiba-tiba saja Kanwil
BPN DKI Jakarta memgeluarkan Surat Keputusan bernomor 90/HM/BPN.31-BTL/2013 yang
isinya membatalkan penerbitan 18 SHM pengganti. Berbagai upaya yang dilakukan ahli waris
untuk mendapatkan kembali ke-24 SHM itu dari PT DM, kandas. Bahkan kemudian ketahuan
kalau ke-24 SHM itu telah berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT CAM.
https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-hak.html

ANALISIS:
Subyek dari kasus tersbut adalah PT CAM, berawal dari Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid
Baswedan diminta tidak menerbitkan izin mendirikan bangungunan (IMB) dan izin-izin lainnya
kepada PT CAM (Group PT AS) atas pembangunan proyek perumahan dan apartemen Sedayu
City Kelapa Gading. Berdasarkan peta rincik tahun 1975 dan peta BPN sebagian proyek berada
di atas tanah milik ahli waris Alm Drs A Rachman Saleh seluas 13,598 hektare. Namun tanah
tersebut belum dibayar ganti rugi dan telah dikuasai secara sepihak selama 38 tahun dari satu
perusahaan keperusahaan lainnya, terakhir adalah PT CDA (Group PT SA), dan PT CAM
(Group PT AS). Kasus tersebut mengenai kasus sengketa tanah, dimana semua hal mengenai
pertanahan di atur pada UUPA nomor 5 tahun 1960. Dan dari kasus tersebut penyelesaian nya
yakni putusan PK bernomor 225/PK/Pdt/1997 mewajibkan PT DM mengembalikan 18 SHM
tersebut kepada Alm A. Rachmat Saleh. Tetapi hingga A.Rachman Saleh meninggal pada 2007,
ke-18 SHM, dan juga 6 SHM yang jumlahnya 24 SHM itu tidak diserahkan kepada ahli waris
Alm A Rachman Saleh dan tetap dikuasai PT DM. "Atas permintaan A Rachman Saleh, pada 22
Juni 2004 untuk 18 SHM itu telah dikelurkan sertifikat penganti oleh kepada BPN Jakarta Timur,
dan diumumkan pada satu surat kabar bahwa sertifikat yang lama tak berlaku lagi," ungkap
SGY.Namun pada 4 Oktober 2013, tiba-tiba saja Kanwil BPN DKI Jakarta memgeluarkan Surat
Keputusan bernomor 90/HM/BPN.31-BTL/2013 yang isinya membatalkan penerbitan 18 SHM
pengganti. Berbagai upaya yang dilakukan ahli waris untuk mendapatkan kembali ke-24 SHM
itu dari PT DM, kandas. Bahkan kemudian ketahuan kalau ke-24 SHM itu telah berubah menjadi
Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT CAM.
6. Kasus Pelanggaran Perjanjian Hak Sewa Rumah
Untuk mendapatkan rumah tempat berlindung, seseorang dapat menyewa rumah orang lain.
Untuk itu diawali dengan membuat perjanjian sewa-menyewa antara pihak pemilik rumah
dengan pihak penyewa. Perjanjian ini dapat dibuat secara lisan dapat pula secara tertulis.
Selanjutnya sewa-menyewa rumah itu dilaksanakan sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa
yang telah dibuat.

Salah satu ketentuan sewa-menyewa yang lazim dibuat adalah pihak penyewa dilarang
menyewakan ulang rumah sewa kepada pihak lain. Hal ini untuk mencegah terjadinya
kerugian pada pihak pemilik rumah disebabkan perbuatan tidak bertanggung jawab pihak
penyewa kedua, berupa perusakan rumah, penggunaan rumah untuk praktek asusila, dan lain-
lain. Tentunya, pemilik rumah berharap, rumah yang disewakannya bermanfaat tanpa
mendatangkan masalah dikemudian hari. Pelanggaran atas hal tersebut memberi hak kepada
pemilik rumah untuk meminta kembali rumahnya dari pihak penyewa. Dengan kata lain
pemilik rumah sewa berhak untuk membatalkan perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah
dibuatnya bersama penyewa.

Setelah pembatalan perjanjian, pihak pemilik rumah berhak mendapatkan kembali rumahnya
tanpa harus mengembalikan biaya sewa. Akan tetapi hal ini sering kali tidak diterima oleh
pihak penyewa. Mereka menganggap dihentikannya sewa, maka membuat mereka berhak
untuk mendapatkan kembali biaya sewa yang telah diserahkan kepada pemilik rumah,
sebagaimana kasus berikut ini.

Di Villa Bintaro Regency Nomor 12A RT 1 RW2 Kelurahan Pondok Kacang Timur,
Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten, penyewa rumah (selanjutnya
disebut Penyewa 1) menyewakan kembali rumah yang disewanya kepada pihak lain
(selanjutnya disebut Penyewa 2) tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Hal ini membuat
pemilik rumah merasa dirugikan, karena dalam perjanjian yang disepakati, rumah yang
disewa tersebut akan dipakai sendiri oleh penyewa. Oleh karena itulah pemilik rumah sewa
meminta Penyewa 2 untuk mengosongkan rumah karena dianggap tidak berhak berada di
rumah itu.

Penyewa 2 yang merasa tidak bersalah, karena tidak mengetahui duduk perkara
permasalahan, tidak mau pergi dari rumah. Akhirnya setelah dijelaskan duduk perkaranya,
Penyewa 2 mau pergi dari rumah, jika uang sewa yang telah diberikannya kepada Penyewa 1,
dikembalikan lagi utuh oleh pemilik rumah. Akan tetapi pemilik rumah tidak mau
mengembalikan uang sewa, karena merasa tidak pernah menerima uang itu dan menyatakan
bahwa pihak yang harus mempertanggungjawabkan hal tersebut adalah Penyewa 1.

Penyewa 1 sendiri mau mengembalikan biaya sewa Penyewa 2, jika pemilik rumah
mengembalikan biaya sewa yang telah diberikannya sebelumnya. Penyewa 1 merasa bahwa
pembatalan perjanjian sewa-menyewa secara sepihak oleh pemilik rumah, membuat pemilik
rumah wajib mengembalikan keadaan seperti semula dengan cara mengembalikan uang sewa
dan menganggap perjanjian sewa itu tidak pernah ada.
https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-hak.html

ANALISIS:
Kasus tersebut berawal dari Di Villa Bintaro Regency Nomor 12A RT 1 RW2 Kelurahan
Pondok Kacang Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten, penyewa
rumah (selanjutnya disebut Penyewa 1) menyewakan kembali rumah yang disewanya kepada
pihak lain (selanjutnya disebut Penyewa 2) tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Hal ini
membuat pemilik rumah merasa dirugikan, karena dalam perjanjian yang disepakati, rumah
yang disewa tersebut akan dipakai sendiri oleh penyewa. Oleh karena itulah pemilik rumah
sewa meminta Penyewa 2 untuk mengosongkan rumah karena dianggap tidak berhak berada
di rumah itu.

Penyewa 2 yang merasa tidak bersalah, karena tidak mengetahui duduk perkara
permasalahan, tidak mau pergi dari rumah. Akhirnya setelah dijelaskan duduk perkaranya,
Penyewa 2 mau pergi dari rumah, jika uang sewa yang telah diberikannya kepada Penyewa 1,
dikembalikan lagi utuh oleh pemilik rumah. Akan tetapi pemilik rumah tidak mau
mengembalikan uang sewa, karena merasa tidak pernah menerima uang itu dan menyatakan
bahwa pihak yang harus mempertanggungjawabkan hal tersebut adalah Penyewa 1. Penyewa
1 sendiri mau mengembalikan biaya sewa Penyewa 2, jika pemilik rumah mengembalikan
biaya sewa yang telah diberikannya sebelumnya. Penyewa 1 merasa bahwa pembatalan
perjanjian sewa-menyewa secara sepihak oleh pemilik rumah, membuat pemilik rumah wajib
mengembalikan keadaan seperti semula dengan cara mengembalikan uang sewa dan
menganggap perjanjian sewa itu tidak pernah ada.
Kasus tersebut mengenai hak sewa yang dimana di atur pada UUPA nomor 5 tahun 1960.
Namun pada kasus tersebut hak sewa tersebut dilanggar atau bisa dibilang wanprestasi yang
dimana di atur pada pasal 1,2,3,4 BW yang dimana dilakukan oleh pihak ke 1 dalam kasus
tersebut.

7. Kasus Perjanjian Hak Sewa Perumahan

PT Pos dan Giro (Persero) dengan CV. Bina Remaja. Permasalahan yang timbul yaitu
perseroan Terbatas Pos dan Giro (Persero) sebagai pemegang hak atas tanah yang dikuasai
oleh negara. Perjanjian sewa menyewa perumahan yang berdiri di atas tanah yang dikelola
oleh PT Pos dan Giro (Persero) dengan pihak swasta, dan Perseroan Terbatas Pos dan Giro
(Persero) selaku perusahaan yang berbentuk badan hukum mempunyai hak untuk
memperoleh bagian- bagian tanah yang dikuasai oleh negara dengan hak milik jika negara
menetapkan PT Pos dan Giro (Persero) dapat menguasai hak atas tanah dengan hak milik,
atau dengan hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah. Sebagai pemegang hak yang sah
atas tanah, PT Pos dan Giro (Persero) mempunyai kewenangan untuk membangun atau
menyuruh orang lain membangun hak atas tanah dengan suatu perjanjian. Pembahasan
dengan menggunakan metode yuridis normatif, diperoleh jawaban sebagai berikut: Hak atas
tanah yang dikuasai oleh PT Pos dan Giro (Persero) yang dibangun rumah dan toko, dapat
disewakan kepada pihak lain yang dibuat dalam perjanjian sewa menyewa. Perjanjian sewa
menyewa perumahan yang berdiri di atas tanah yang dikelola oleh PT Pos dan Giro (Persero)
dengan pihak swasta tersebut mempunyai kekuatan sebagaimana mengikatnya undang
undang sebagaimana diatur dalam pasal 1338 B.W. Perjanjian sewa No. 27 tersebut oleh PT
Pos dan Giro (Persero) dibatalkan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan CV Bina
Remaja. Pembatalan secara sepihak, yang berarti mengakhiri suatu perjanjian sewa sebelum
batas waktu berakhir, maka dapat dikatakan ingkar janji, yaitu menyerahkan obyek sewa
tetapi tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
https://icankmohammad88.blogspot.com/2017/01/contoh-kasus-hak-atas-tanah-hat-hak.html

ANALISIS:
Subyek dari kasus tersebut adalah PT Pos dan Giro (Persero) dengan CV. Berawal dari
perseroan Terbatas Pos dan Giro (Persero) sebagai pemegang hak atas tanah yang dikuasai oleh
negara. Perjanjian sewa menyewa perumahan yang berdiri di atas tanah yang dikelola oleh PT
Pos dan Giro (Persero) dengan pihak swasta, dan Perseroan Terbatas Pos dan Giro (Persero)
selaku perusahaan yang berbentuk badan hukum mempunyai hak untuk memperoleh bagian-
bagian tanah yang dikuasai oleh negara dengan hak milik jika negara menetapkan PT Pos dan
Giro (Persero) dapat menguasai hak atas tanah dengan hak milik, atau dengan hak guna
bangunan atau hak pakai atas tanah. Sebagai pemegang hak yang sah atas tanah, PT Pos dan Giro
(Persero) mempunyai kewenangan untuk membangun atau menyuruh orang lain membangun hak
atas tanah dengan suatu perjanjian. Penyelesaian dari kasus tersebut Hak atas tanah yang
dikuasai oleh PT Pos dan Giro (Persero) yang dibangun rumah dan toko, dapat disewakan
kepada pihak lain yang dibuat dalam perjanjian sewa menyewa. Perjanjian sewa menyewa
perumahan yang berdiri di atas tanah yang dikelola oleh PT Pos dan Giro (Persero) dengan pihak
swasta tersebut mempunyai kekuatan sebagaimana mengikatnya undang undang sebagaimana
diatur dalam pasal 1338 B.W. Perjanjian sewa No. 27 tersebut oleh PT Pos dan Giro (Persero)
dibatalkan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan CV Bina Remaja. Pembatalan secara
sepihak, yang berarti mengakhiri suatu perjanjian sewa sebelum batas waktu berakhir, maka
dapat dikatakan ingkar janji, yaitu menyerahkan obyek sewa tetapi tidak sesuai dengan yang
dijanjikan.
8. Sengketa Tanah Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Sinar Kasih Kabupaten Serdang
Bedagai

Terdapat permasalahan yang dihadapi oleh PT Soeloeng Laoet dengan pihak masyarakat
dan pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai terkait dengan sengketa lahan perkebunan
dengan luas tanah yang telah diukur sebagaimana seharusnya. Dalam persengketaan tanah
perkebunan yang terjadi, telah disebutkan dalam suatu berita bahwasanya permasalahan
sengketa tersebut sudah terjadi sejak tahun 2011. Tanah yang disengketakan pada mulanya
merupakan milik Saelan, mantan Kepala Desa Sinah Kasih, Kec.Seirampah, Kab. Serdang
Bedagai. Permasalahan tersebut bermula saat tanah perkebunan kelapa sawit milik Saelan
yang telah diberi kuasa untuk menempati dan menggunakan tanah perkebunan kelapa sawit,
timbul penanaman pohon kelapa sawit tanpa seizin Saelan.

Saelan, mantan kepala desa Desa Sinar Kasih, Kec. Seirampah, Kab. Serdang Bedagai,
merupakan pemilik tanah perkebunan kelapa sawit yang diberikan oleh PT Soeloeng Laoet
sebagai ganti uang pesangon setelah berhenti dari PT Soeloeng Laoet. Tanah yang diberikan
pada seluas 2.849 Ha berdasarkan HGU no.1/Desa Sinah Kasih tanggal 22 Februari 1990,
lalu tanpa izin dari PT Soeloeng Laoet Saelan telah menggunakan tanah seluas 3.036 m2
yang sekarang menjadi objek sengketa yang diatasnya berdiri rumah kedai ransum sampai
sekarang atas izin Tengku Razali Hafaz dalam kapasitas sebagai administrator/komisaris
PT.Soeloeng Laoet yang tidak berhak meminjam pakaikan tanah sengketa kepada Saelan
berdasarkan surat izin/penggunaan bengunan kedai ransum tanggal 10 Desember 1984.

Dari persepektif PT Soeloeng Laoet sebagai penggugat, apa yang dilakukan oleh
oposisinya sebagai tergugat adalah perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian
yang harus dibayar Saelan, Tengku Razali Hafaz, dan Pemerintah Serdang Bedagai kepada
PT Soeloeng Laoet berdasarkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata. Namun dalam persoalan
yang dipertanyakan, bagaimana bisa tindakan yang dilakukan oleh Saelan diangga sebagai
tindakan melawan hukum, sementara Saelan telah mendapat izin berdasarkan surat
izin/penggunaan bangunan kedai ransum tanggal 10 Desember 1984, yang diberikan oleh
Tengku Razali Hafaz sebagai komisaris/administratur PT. Soeloeng Laoet.
Dari situ muncul persoalan yang menjadi perbedaan kesimpulan antara Majelis Hakim
Tinggi dengan kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan
kepemilikan tanah sengketa masih merupakan pokok sengketa. Walaupun disimpulkan
bahwa tanah sengketa semula merupakan bagian dari areal perkebunan milik PT. Soeloeng
Laoet karenanya menurut pasal 311 RBG/174 HIR dianggap bukti yang sempurna, tapi
kesimpulan Majelis Hakim Tinggi ini perlu diuraikan untuk menjelaskan kepemilikan tanah,
dengan perlu adanya bukti lain yang dapat memperkuat fakta penggugat.

Lalu setelah muncul bukti kuat berupa sertifikan HGU yang menunjukkan bahwa tanah
sengketa semula adalah milik Penggugat. Terlebih lagi karena stelsel hukum pertanahan di
Indonesia menganut asas pemisahan antara tanah dengan benda-benda yang ada di atasnya,
walaupun kemudian tanah sengketa karena hukum menjadi tanah yang di kuasai oleh negara,
namun statusnya adalah tanah yang dikuasai negara masih terikat karena diatasnya ada
bangunan maupun tanaman milik PT Soeleoeng Laoet, sehingga lebih berhak untuk
memperoleh hak baru diatasnya.
http://www.academia.edu/11777505/ANALISIS_KASUS_SENGKETA_TANAH_PERKEB
UNAN_KELAPA_SAWIT_DI_DESA_SINAR_KASIH_KABUPATEN_SERDANG_BED
AGAI

ANALISIS:
Dari penyelesaian hukum yang disebutkan pada kronologi, maka tanah yang
disengketakan dinyatakan milik Penggugat berdasarkan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU)
No.1/Desa Sinah Kasih tertanggal 22 Pebruari 1990. Lalu, pemberikan izin penggunaan tanah
milik PT Soeleong Laoet kepada Saelan sesuai dengan SURAT IZIN/PENGGUNAAN TANAH
KEDAI RANSUM bertanggal 10 Desember 1984 adalah merupakan perbuatan Tengku Razali
Hafaz secara pribadi dan bukan merupakan tanggung jawab PT Soeleong Laoet, sehingga
perbuatan Saelan, Tengku Razali Hafaz, dan Pemerintah Kab. Serdang Bedagai yang telah
meningkatkan status Surat Izin/Penggunaan Tanah Kedai Ransum.
bertanggal 10 Desember 1984 menjadi SK Tanah No 592.2/002/SK.2002 adalah
merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan serta merugikan PT Soeleong
Laoet. Surat Keterangan Tanah No 592.2/002/SK.2002 yang dikeluarkan tidak mempunyai
kekuatan hukum, sehingga Saelan harus mengosongkan tanah serta bangunan rumah kedai
ransum sekarang serta rumah tempat tinggal yang ada diatasnya, dan bila perlu dengan
menggunakan aparat pemerintah yang berwenang.

9. Sengketa Tanah Bumi Flora

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Warga di sekitar lokasi PT Bumi Flora di Kecamatan


Banda Alam, Aceh Timur, kembali mendatangi kantor DPR Aceh, guna menuntut penyelesaian
sengketa tanah antara warga dan perusahan perkebunan tersebut. Pemerintah dinilai tidak serius
menangani kasus ini. “Kami menpertanyakan hasil kerja tim yang pernah dibentuk oleh anggota
DPRA sebelumnya, sekaligus mempertanyakan hasil kerja tim yang dibentuk Gubernur atas kasus
penyerobotan tanah kami oleh PT Bumi Flora” kata Tengku Idris A Manaf, kordinator warga Banda
Alam, di Banda Aceh, Senin, (25/1). Menurut Idris, PT Bumi Flora sejak tahun 1990
telah menyerobot lahan perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan memasukannya dalam kawasan
perkebunan tersebut. Warga telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada pemerintah Aceh Timur
dan juga kepada pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur pernah berjanji untuk mengganti lahan baru
bagi kami, tapi lahan yang dijanjikan itu juga sudah menjadi pemukiman warga lainnya. Kami
meminta pemerintah serius menyelesaikan sengketa tanah ini,” sebutnya. Dia menyebutkan, warga
menuntut agar pemerintah meninjau kembali pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahan
perkebunan itu. Warga juga berharap perusahaan tersebut dapat mengembalikan tanah mereka atau
membayar ganti rugi. “Memang kami tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah itu, tetapi tanah
itu sudah kami garap sebelum PT Bumi Flora ada. Gubernur Syamsuddin Mahmud waktu itu juga
telah meminta Bumi Flora untuk tidak menyerobot tanah garapan masyarakat,” ujarnya. Selain itu
warga juga berharap DPR Aceh periode kali ini dapat menyelesaikan kasus penyerobotan lahan ini
dengan tuntas. Mereka juga berharap Gubernur Aceh lebih serius dalam menyelesaikan kasus
tersebut. “Tim bentukan Gubenur untuk menyelesaikan kasus Bumi Flora diketuai Kepala Satpol PP
Drs Marzuki. Kita meminta kepastian sejauh mana sudah tim itu bekerja. Kami sudah capek mengadu
ke sana-kemari,” keluhnya.

http://www.acehkita.com/warga-tuntut-penyelesaian-sengketa-tanah-bumi-flora/

IDI – Sebanyak 800 KK warga yang bersengketa lahan dengan PT Bumi Flora dan PT Dwi Kencana,
bakal mendapat hak-hak mereka yang selama ini diperjuangkan. Hasil pertemuan antara tim mediasi
pemerintah dengan pihak perusahaan itu akhirnya menyepakati, para korban akan memperoleh
haknya 2 hektare lahan baru, dan akan dibantu dengan pola plasma oleh pihak perusahaan. Pola
plasma perkebunan adalah pola kemitraan antara petani dengan bapak angkat/pengusaha perkebunan
yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.Kesepakatan itu diambil dalam pertemuan dengan unsur
Muspida Aceh Timur dengan pihak perusahaan yang berlangsung, Senin (21/5) lalu di Idi. Sejumlah
unsure Mupida turut berhadir antara lain, Pj Bupati Nasrullah Muhammad, Kapolres AKBP Iwan Eka
Putra, Dandim 0104 Letkol Inf Mohamad Hasan dan juga Sekda Aceh Timur, Syaifannur SH
MM.Kepada Serambi, Kamis (24/5) kemarin, Sekda Syaifannur mengatakan, proses mediasi kasus
tersebut sudah menujukkan kemajuan yang menggembirakan. Pasalnya, pihak perusahaan dan korban
juga sudah sepakat untuk menerima dua hektare lahan. Selain itu, pihak perusahaan juga akan turut
membantu para korban dengan pola plasma.Namun, kata Sekda, satu hal yang masih menjadi kendala
penyelesaian kasus ini adalah, masih kurangnya cadangan lahan yang akan diberikan sebagai
kompensasi bagi warga. Jumlah lahan yang tersedia sekitar 1.663 hektare. Namun, jumlah korban
sengketa mencapai 800 orang. Sehingga masih kurang lahan sedikitnya 457 hektare. “Tapi hasil rapat
kemarin menunjuk Dinas Kehutanan untuk mencarikan lahan yang dicadangkan untuk para korban,”
kata Sekda. http://www.acehkita.com/warga-tuntut-penyelesaian-sengketa-tanah-bumi-flora/

ANALISIS:
Permasalahan dari kasus diatas bermula sejak tahun 1990 dimana PT Bumi Florea menyerobot
lahan perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan memasukkannya dalam Kawasan perkebunannya.
Sementara itu, objek tanah yang diklaim dimiliki oleh warga Banda Alam setempat, adalah tanah
yang belum terdaftar atau belum didaftarkan oleh warga setempat, tetapi keberadaannya diakui oleh
warga bahwa lahan itu adalah milik warga setempat. Diatas juga disebutkan bahwa pihak warga
Banda Alam sudah berulang kali mencoba melaporkan kasus ini kepada pemerintah daerah Aceh
Timur dan kepada pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur yang bersangkutan pernah menjanjikan akan
memberikan lahan baru bagi warga Banda Alam, namun ternyata lahan baru tersebut telah diberikan
kepada warga lainnya, sehingga belum ada ganti rugi secara konkrit dari pihak PT Bumi Flora dan
Bupati Aceh Timur.

PT Bumi Flora membeli tanah tersebut melalui Pemerintah Banda Timur, namun sebenarnya
tanah tersebut merupakan tanah tempat tinggal warga setempat. Namun, karena PT Bumi Flora
merasa sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) diatas tanah tersebut, maka lahan itu diambil dan
dipergunakan untuk perkebunan yang diusahakan oleh PT Bumi Flora tanpa melihat kepentingan dan
kedudukan rakyat atas tanah tersebut. Akibatnya, warga setempat merasa marah atas diberikannya
izin dari pemerintah untuk PT Bumi Flora dalam menggunakan tanah yang merupakan tempat tinggal
mereka. Menurut warga setempat, tanah yang mereka tinggali sudah dimiliki selama bertahun-tahun
dan turun-temurun, sehingga menyerupai hak milik. Namun jika kita lihat secara yuridis, warga
Banda Alam tidak memiliki sertifikat atas hak milik atas tanah tersebut, sehingga belum memiliki
bukti hukum yang kuat.
Jika kita lihat dari sisi PT Bumi Flora, yang sudah memiliki HGU atas tanah yang digunakannya,
dengan warga setempat yang tidak memiliki sertifkat atas tanah yang digunakannya, tentu memberi
PT Bumi Flora kekuatan secara yuridis yang lebih ketimbang masyarakat Bumi Alam. Tetapi pada
Senin, 21 Mei 2012, terjadi kesepakatan yang diambil dengan unsur Muspida Aceh Timur dengan
pihak perusahaan. Kemudian pada Kamis, 24 Mei, pihak perusahaan dan korban sudah sepakat untuk
menerima 2 hektar lahan. Selain itu, pihak perusahaan juga akan turut membantu para korban dengan
pola plasma. Tetapi, satu hal yang masih menjadi kendala penyelesaian kasus ini adalah, masih
kurangnya cadangan lahan yang akan diberikan sebagai kompensasi bagi warga. Jumlah lahan yang
tersedia sekitar 1.663 hektar. Namun, jumlah korban sengketa mencapai 800 orang. Sehingga masih
kurang lahan sedikitnya 457 hektare. Tetapi Sekda Aceh Timur Syaifannur SH MM mengatakan
bahwa mereka sudah menunjuk Dinas Kehutanan untuk mencarikan lahan yang dicadangkan untuk
para korban.

Dasar hukum yang menjadi landasan untuk kasus diatas yang pertama merupakan hak yang
melekat dari PT Bumi Flora, adalah Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha itu sendiri menurut UUPA
Pasal 28 adalah hak untuk mengusahakan tanah bagi perusahaan, dan tanah tersebut dikuasai
langsung oleh Negara, penggunaan tanah ini menggunakan jangka waktu tertentu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 29, dan Hak Guna Usaha ini digunakan sebagai usaha perusahaan dibidang
pertanian, perikanan ataupun peternakan.

Dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No. 65 Tahun 2006 juga menyebutkan sebagai berikut “Dalam
hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan
secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan
pertama.”Dalam hal ini jelaslah PT Bumi Flora telah melewati jangka waktu yang ditetapkan
seharusnya jika lokasi pemukiman warga tersebut belum dapat direlokasi, haruslah terlebih dahulu
untuk melakukan musyawarah dengan warga setempat agar tidak menyebabkan konflik yang
berkepanjangan serta berlarut-larut hingga sekarang dan harusnya musyawarah dengan warga
setempat itu dilakukan dalam jangka waktu 120 hari sejak undangan pertama. Dan dalam ayat 2
dalam pasal ini dinyatakan pula harus diadakan pula ganti rugi apabila tentang pengadaan jika
menggangu kepentingan.

10. Kasus Sengketa Tanah Meruya Selatan

Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni,
Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973
dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah
dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di
meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik.

Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun
turun tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya
sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli
tanah dari PT Portanigra, namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000
kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak
hanya tanah milik warga, tanah milik negara yang diatasnya terdapat fasilitas umum dan
fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi
30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, di mana warga meruya sekarang
mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Di sini terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan hukum
pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih
bersengketa.

Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT.
Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan
1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain
sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996).

Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun
waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni,
lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih berganti.
Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah meruya tersebut. Mereka
merasa telah menjalankan tugas dengan baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya
dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya.

Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan sekarang.
Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang
lalu pada saat ini telah banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang
belum memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi
kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.

Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah
dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang
masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah
ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung
mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan
eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat
tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.
http://www.academia.edu/11777505/ANALISIS_KASUS_SENGKETA_TANAH_PERKEB
UNAN_KELAPA_SAWIT_DI_DESA_SINAR_KASIH_KABUPATEN_SERDANG_BED
AGAI

ANALISIS:
Proses sengketa tanah untuk mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun lalu tidak
menghasilkan keadilan yang diharapkan, bahkan justru menimbulkan ketidakadilan baru.
Sehingga tidak ada penanggung jawab tunggal untuk disalahkan kecuali berlarut-larutnya
waktu sehingga problema baru bermunculan.

Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara mudah, sederhana,


dan mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan Indonesia memiliki asas yang
menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Putusan yang jelas-jelas sulit atau tidak bisa dilaksanakan dapat mencederai kredibilitas
lembaga peradilan.

Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah yang
asli harus beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa)
seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban atau
dikorbankan sebab dapat menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya
bukan sekedar keperdataan.
Perlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah sesuai
ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa. Juga dilakukan
penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana
umum: sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun kompleks pertokoan.

Pemerintah daerah dan BPN dalam pengeluaran sertifikat Hak Milik terutama pemberian
setifikat dalam jumlah massal seharusnya benar – benar memperhatikan aspek – aspek
apakah orang yang bersangkutan sudah sesuai menerima hak untuk memiliki sertifikat Hak
Milik atau belum. Hal ini berkaitan dengan dampak pemberian sertifikat Hak Milik kepada
orang yang tidak semestinya. Dalam kasus ini, sesusai putusan MA seharusnya sertifikat Hak
Milik jatuh kepada PT. Portanigra. Mengingat pencabutan sertifikat Hak Milik tidak mudah
dan memerlukan waktu yang lama.

Penyelesaian kasus ini adalah Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang
dihasilkan adalah pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di
warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati tanahnya
tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan
pemilik sebelumnya.

Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola
lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya
Residence lebih tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke PT.
Portanigra.

Anda mungkin juga menyukai