Kasus Posisi
Kasus bermula pada saat Perusahaan Umum Daerah DKI Jakarta Pembangunan Sarana
Jaya membeli sebidang tanah di wilayah Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Luas tanah
yang dibeli oleh perumda tersebut adalah seluas 41.921 meter persegi dengan harga jual
Rp2.500.000,00 per meter persegi dengan harga taksiran keseluruhannya adalah
Rp104.000.000.000,00 (Seratus Empat Miliar Rupiah). Tanah dibeli dari Kongregasi Suster-
Suster. Kedua belah pihak sudah melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau PPJB pada
tanggal 25 Maret 2019. Namun, diketahui bahwa yang melakukan perjanjian tersebut bukan
merupakan orang yang ditunjuk oleh Kongregasi Suster-Suster CB provinsi Indonesia sehingga
pihak dari Kongregasi Suster-Suster tersebut akhirnya membatalkan PPJB dengan pihak
Perumda. Diketahui juga bahwa proyek pengadaan tanah tersebut adalah untuk kepentingan
Bank Tanah Provinsi DKI Jakarta namun belum ada rencana ke depannya tanah tersebut akan
digunakan untuk kepentingan pembangunan apa.
Sumber: Nirmala Maulana Achmad, “Kondisi Lahan di Pondok Ranggon untuk Proyek yang
Diusut KPK,” https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/12/10223281/kondisi-lahan-di-
pondok-ranggon-untuk-proyek-rumah-dp-rp-0-yang-diusut?page=all, diakses 21 Maret 2021.
Pengadaan tanah sebagai salah satu cara untuk memperoleh tanah oleh orang perorangan
maupun badan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak.1 Dalam memperoleh tanah tersebut, terdapat beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam perolehan hak atas tanah. Hal yang harus diperhatikan tersebut antara lain:
1
Indonesia, Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, UU No. 2 Tahun 2012, LN No.
22 Tahun 2012, TLN 5280, Ps. 1.
diketahui statusnya, akan dilihat lebih lanjut mengenai aspek yuridis dan fisik dari tanah
tersebut. Apabila tanah sudah terdaftar, hal yang harus dilihat adalah salinan buku tanah
dan surat ukur dari Kantah setempat. Apabila tanah ternyata statusnya belum terdaftar,
hal yang harus diperhatikan adalah tanda bukti pembayaran pajak seperti girik, ketitir,
atau pipil.
3. Respon/kesediaan pemilik tanahnya
Respon pemilik tanah menjadi penting dalam perolehan hak atas tanah karena nantinya
akan menyangkut pada ganti rugi dan juga sengketa atas tanah. Terdapat beberapa
kemungkinan dalam peroleh hak atas tanah, yaitu:
- Setuju tanpa syarat apapun
- Setuju tapi ada syarat tertentu
- Tidak setuju tanpa alasan apapun
- Menentang/over reactive
Hal yang menjadi faktor pemicu adanya perlawanan atau sengketa atas tanah biasanya
berkaitan dengan nilai ganti rugi, letak tanah, batas-batas tanah, luas tanah, dan okupasi
illegal dan penguasaan fisik oleh bukan pemilik.
Analisis kasus pengadaan tanah di Pondok Ranggon dengan aspek-aspek dalam perolehan
hak atas tanah
Dari kasus posisi beserta dengan berbagai keterangan yang ada di media berkaitan
dengan kasus pengadaan tanah di Pondok Ranggon, dapat dilihat keterkaitan antara aspek
perolehan hak atas tanah dengan kasus tersebut. Hal pertama yang dapat dilihat adalah berkenaan
dengan jenis penggunaan tanah atau proyek apa yang akan dibangun di atas tanah yang akan
diperoleh. Diketahui bahwa pembelian sebidang tanah oleh Perumda Sarana Jaya diperuntukan
untuk Bank Tanah Provinsi DKI Jakarta. Lalu, diketahui pula bahwa tanah tersebut belum
memiliki tujuan peruntukan yang jelas. Seharusnya, Perumda sebagai BUMD memiliki tujuan
peruntukan yang jelas, tidak hanya memiliki alasan pembelian untuk bank tanah di DKI Jakarta.
Jika dilihat lebih lanjut mengenai aspek bank tanah dalam tujuan peruntukan tersebut, di dalam
UUPA sendiri tidak mengenal adanya istilah bank tanah. Konsep bank tanah baru saja
diperkenalkan setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang mana dalam ketentuan tersebut
juga tidak merujuk pada UUPA sebagai landasan hukum tanah di Indoensia.
Hal selanjutnya yang dapat dilihat dari kejadian tersebut adalah mengenai status tanah
yang tersedia. Dalam kasus dijelaskan bahwa status tanah yang dibeli oleh Perumda Sarana Jaya
berstatus hak perorangan. Hal ini dibuktikan dengan peralihan kepemilikan yang menggunakan
sistem peralihan tanah hak perorangan. Lalu, hal ketiga yang dapat dicermati adalah
respon/kesediaan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya tersebut kepada Perumda Sarana
Jaya. Diketahui dari kasus bahwa tanah yang dijual ternyata tidak mendapat izin dari keseluruhan
anggota Kongregasi Suster-Suster CB Indonesia. Hal ini menandakan bahwa adanya pernyataan
tidak setuju tanpa alasan apapun dari orang tersebut terhadap penjualan tanah yang sudah
mencapai tahap pembuatan PPJB. Penyelesaian dari permasalahan tersebut dilakukan dengan
cara pihak yang memiliki wewenang penuh atas tanah tersebut membatalkan PPJB dan
mengembalikan uang muka yang telah diberikan oleh Perumda Sarana Jaya.
Aspek terakhir yang dapat dilihat adalah berkaitan dengan letak lokasi tanah dengan
RTRW setempat dan juga berkaitan dengan izin lokasi sebagai dasar penerbitan perolehan hak
atas tanah. Diketahui bahwa Perumda Sarana jaya dalam usahanya untuk memperoleh tanah di
wilayah Pondok Ranggon belum memiliki izin lokasi yang diterbitkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan wilayah Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan ketentuan dalam PMATR No. 5 Tahun
2015. Perumda Sarana jaya juga bukan pihak yang dianggap tidak perlu memiliki izin lokasi
dalam hal perolehan hak atas tanah. Apabila melihat pada RTRW Jakarta Timur tepatnya di
wilayah Cipayung, maka akan didapatkan fakta sebagai berikut:
Wilayah yang dibeli oleh Perumda Sarana jaya menurut RTRW kebanyakan akan digunakan
sebagai Area Ruang Terbuka Hijau, Area Perumahan, Area Perkantoran, dan juga tubuh air.
Melihat pada ketentuan tersebut dan melihat pada ketidakjelasan peruntukan tanah oleh Perumda
Sarana Jaya, seharusnya Sarana Jaya dapat dikenakan sanksi karena tidak sesuai dengan RTRW
yang telah ada.