Anda di halaman 1dari 18

Konflik Perkebunan Aie Maruok, Pasaman

Barat
Kronologis Kasus

Pengantar

Kampung Air Maruap secara administrasi berada dalam Jorong VI Koto Nagari Kinali Kab.
Pasaman Barat. Sedangkan secara adat merupakan salah satu wilayah adat berdasarkan
territorial dan geneologis dalam kenagarian Kinali, dimana masing-masing kampung memiliki
ninik mamak yang dituakan secara adat. Di Kampung Air Marup yang dituakan secara adat
adalah Tenku Imbang Langit sebagai ninik mamak dan sekaligus sebagai Hakim Tongga di
Kenagarian Kinali. Secara adat di Kinali berlaku “Adat Babingkah Tanah”, artinya tanah ulayat
di Kinali telah terbagi kepada masing-masing Ninik Mamak dan berada dibawah penguasaannya
sesuai dengan wilayah adatnya (kampung).

Tanah ulayat Imbang Langit secara adat Kinali berada di Kampung Air Maruap (Kampung
Imbang Langit) dengan batas sipadan digambarkan sebagi berikut : arah Lereng Gunung
Pasaman ke utara berbatas dengan Datuak Tan Baraik Lubuk Lanur, Teuku Daulat Parit Batu
dan ke Barat berbatas dengan IV Koto dan Langgam, ke timur Gunung Pasaman”( berdasarkan
surat pernyataan batas tanah ulayat antara Luhak Anam Koto dengan Langgam menurut adat
Kinali tanggal 18 Juli 1977). Kemudian diperkuat dengan surat pernyataan batas tanah antara
Luhak dengan Langgam menurut adat Kinali pada tanggal 1 Mei 985 dengan perincian sebagai
berikut :

a. Arah ke Gunung Pasaman dari Muaro Anak Aie Pauh (di dekat perbatasan antara kampung
Aia Maruok VI Koto dengan Kampung Batang Bamban Langgam) ada 6 buah patok batas
menurut pituah adat lamo pusako using, arah ke laut dari Muaro Anak Aie ada 8 buah patok
batas menurut adat lamo pusako using”.
b. Arah Ke laut dari Muaro Anak Aie Pauh tersebut di atas ada 8 buah patok batas menurut adat
lamo pusako usang.

B. Posisi kasus Tanah Ulayat Imbang Langit

Kasus tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap Nagari Kinali Kab. Pasaman Barat,
merupakan konflik tanah ulayat yang pada awalnya diklaim oleh Pemda Kabupaten Pasaman
sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap,
selanjutnya dicadangkan sebagai lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan
kebun inti dan plasma seluas 800 Ha di Kampung Air Maruap. Konflik ini dalam
perkembangannya menimbulkan banyak permasalahan dengan melibatkan banyak pihak
sehingga kemudian berujung pada tindakan kriminalisasi oleh Polres Pasaman Barat terhadap
masyarakat dan Ninik Mamak Kampung Air Maruap.

Dengan kronologis permasalahan sebagai berikut :


1. Bahwa sekitar tahun 1992, sawah-sawah masyarakat Kampung Air Maruap (cucu kemenakan
Imbang Langit) dan Durian Kandang yang telah dikeluarkan dari kebun inti PTPN VI pada
tahun 1985 karena tidak termasuk dalam areal erfacht maatchappij ophir (Keputusan Panitia B),
tergusur kembali dengan keberadaan PT. Tunas Rimba membuka perkebunan sawit di
Kampung Air Maruap, hal mana atas dasar tanah negara Erfacht Verponding 372 sebagian yang
di Kampung Air Maruap;

2. Bahwa masyarakat yang tergusur oleh PT. Tunas Rimba, kemudian dilakukan pendataan oleh
BPN TK II Pasaman, diketahui Camat Pasaman dan Kepala Desa VI Koto Utara, dimana pada
tanggal 19 September 1995 daftar nama masyarakat tergusur tersebut telah dilaporkan Ninik
Mamak Kampung Air Maruap dan Durian Kandang Desa VI Koto Utara Kec. Perwakilan
Pasaman ke Pemda TK II Kab. Pasaman;

3. Bahwa pada tanggal 26 Mei 1996, Bupati Daerah TK II Pasaman mengeluarkan Surat
Keputusan No. 025/1276/Perak-1996, perihal pencadangan lahan untuk perkebunan kelapa
sawit pada lokasi tanah Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap Kec. Kinali,
dengan perincian sebagai berikut :

- Seluas ± 200 Ha untuk kebun Inti PT. Tunas Rimba


- Seluas ± 100 Ha untuk kebun plasma DPRD Pasaman
- Seluas ± 100 Ha untuk kebun plasma Kodim 0305 Pasaman
- Seluas ± 400 Ha untuk kebun plasma masyarakat

4. Bahwa pada tanggal 27 Mei 1996, Bupati Daerah TK II Kab. Pasaman menetapkan nama-
nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah negara
bekas Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Meruap dengan Surat Keputusan No.
188.45/348/BUP-PAS/1996, kemudian dirubah dengan Surat Keputusan No. 138.45/77/BUP-
PAS/1996 pada tanggal 31 Juli 1996, memuat 217 orang teridiri dari 47 orang anggota DPRD
TK I Sumbar periode 1992-1997, 47 orang anggota DPRD TK II Pasaman periode 1992-197, 73
orang keluarga Makodim 0305 Pasaman dan 50 orang dari masyarakat;

5. Bahwa pada tanggal 23 Juli 1997, KUD Saiyo Air Gadang dengan Bank Nagari Cab.
Simpang Empat membuat persetujuan membuka kredit KKPA untuk pembangunan kebun
kelapa sawit di areal plasma Keltan. Air Maruap seluas 600 Ha dengan nominal Rp.
19.730.179.600,00. Sedangkan penggerjaannya akan dilakukan oleh PT. Tunas Rimba selaku
kontraktor sesuai dengan perjanjian kerjasama pada tanggal 4 Agustus 1997;

6. Bahwa pada tanggal 13 Juli 1998, PT. Tunas Rimba menyatakan menarik diri dari
pekerjaannya karena adanya gangguan dari masyarakat Desa Durian Kandangan, Air Maruap
dan masyarakat dari orang-orang Talu. Tetapi hingga tanggal 20 Desember 1998, PT Tunas
Rimba masih mengerjakan perawatan tanaman di areal plasma anggota DPRD TK I Sumbar dan
DPRD TK II Pasaman seluas 200 Ha, selanjutnya diserahkan kepada kepada Kelompok Tani
Air Meruap, terhitung sejak tanggal 1 Januari 1999;

7. Bahwa pada tanggal 6 Mei 1999, Bupati Daerah TK II Kab Pasaman mengeluarkan surat
keputusan No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tentang perubahan sebagian nama peserta plasma
perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah negara bekas erpach
verponding No 372 sebagian di Desa VI Koto Utara Kec. Kinali. Dimana nama peserta plasma
seluruhnya berjumlah 335 orang, terdiri dari 47 orang anggota DPRD TK I Sumbar dan 47
orang DPRD TK II Pasaman, 176 orang masyarakat kampung Air Maruap (anggota Kodi), 36
masyarakat di Kampung Durian Kandang, 29 orang masyarakat di Kampung Langgam, dengan
luas lahan masing-masing 2 Ha;

8. Bahwa sampai pada tahun 2000, kebun plasma kelapa sawit Keltan. Air Maruap seluas ± 600
Ha yang terealisasi menjadi kebun (berisi sawit) diperkirakan hanya seluas ± 165 Ha, sedangkan
sisanya terlantar dan menjadi rimba kembali, kemudian diolah dan digarap kembali oleh
masyarakat (anak cucu kemenakan Datuk Imbang Langit) Kampung Air Maruap menjadi kebun
kelapa sawit;

9. Bahwa pada tanggal 8 Mei 2000 Bank Nagari, PTPN VI dan KUD Saiyo Air Gadang
mengadakan rapat pembentukan Tim inventarisasi dan pengukuran ulang lahan plasma Keltan.
Air Maruap Unit sawit KUD Saiyo Air Gadang (areal 200 Ha dan 400 Ha), karena banyaknya
terjadi permasalahan dalam pengelolaan perkebunan plasma kelapa sawit Keltan. Air Maruap
(masalah lahan dan kredit macet);

10. Bahwa pada tanggal 23 Juni 2007, Drs H. BGD Letter mewakili Mantan Anggota DPRD
Prop Sumbar dan Drs. Jufri Hadi mewakili Mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode
1992-1997, menyurati Pimpinan Cab. Bank Nagari BPD Simpang Empat, perihal mohon
penghapusan bunga kredit kebun sawit mantan anggota DPRD Kabupaten Pasaman dan mantan
angota DPRD Propinsi Sumbar peride 1992-1997, dengan alasan belum pernah sepersen pun
menerima hasil dari lahannya seluas 200 Ha dan kondisi lahan tersebut berisi pohon sawit hanya
30 %, sisanya 70% kembali menjadi rimba dan tidak ada pohon sawitnya;

11. Bahwa pada tanggal 3 Juli 2007, Pengurus Kelompok Tani Air Maruap pimpinan Maesar
mengirimkan surat kepada BPD Simpang Empat yang pada intinya persetujuan pindah hak,
khusus areal lahan DPRD TK I dan TK II seluas 200 Ha di areal Keltan Air Maruap Kec.
Kinali;

12. Bahwa pada tanggal 20 November 2007, Drs H. BGD Letter mewakili Mantan Anggota
DPRD Propinsi Sumbar dan Drs. Jufri Hadi mewakili Mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman
periode 1992-1997 mengirimkan surat Ketua KUD Saiyo Air Gadang untuk memberitahukan
jual beli kebun sawit miliknya kepada CV. Tiara Jaya dan pengelolaan selanjutnya diserahkan
kepada CV. Tiara Jaya.

13. Bahwa pada tanggal 23 November 2007, KUD Saiyo Air Gadang mengirimkan surat No.
46/KUD-SAG/US/1107, kepada Pengurus Kelompok Tani Air Meruap, perihal pemberitahuan
pengelolaan kebun Air Maruap yang pada intinya meminta kepada Pengurus Kelompok berserta
jajaran pekerja lapangan untuk menghentikan pengelolaan kebun kelompok tani Air Meruap,
khusus areal DPR seluas 200 Ha karena sudah menjadi milik CV Tiara Jaya dan pengelolaannya
langsung ditangani oleh CV. Tiara Jaya.
14. Bahwa pada tanggal 27 November 2007, Ninik Mamak Air Maruap mengirimkan surat
kepada Drs. H. Djufri Hadi mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997 dan Drs.
H. Bgd. M. Leter, mantan anggota DPRD Prov. Sumbar periode 1992-1997, yang pada intinya
meminta mencabut kembali jual beli atas kebun sawit unit masyarakat yang berjumlah 100 Ha
kepada CV. Tiara Jaya karena penjualan dilakukan tidak melalui kelompok unit kebun sawit
masyarakat Air Meruap;

15. Bahwa pada tanggal 10 Desember 2007, Bank Nagari menyurati KUD Saiyo Air Gadang
dan meminta pembatalan surat No 46/KUD-SAG/US/1107 tertanggal 23 November 2007,
karena belum adanya penyelesaian kewajiban kredit kepada Bank Nagari dan sertifikat masih
agunan kredit sehingga secara hukum CV. Tiara Jaya tidak berhak atas lahan areal tersebut,
selanjutnya pada tanggal 11 Desember 2008, KUD Saiyo Air Gadang mengirimkan
pembatalannya surat No 46/KUD-SAG/US/1107 kepada CV. Tiara Jaya dan meminta
menghentikan pengelolaan kebun Keltan. Air Meruap terutama areal DPRD seluas 200 Ha;

16. Bahwa pada tanggal 12 Desember 2007, Bank Nagari Cab. Simpang Empat mengeluarkan
surat Nomor : SR/1053/SE/CL/12-2007 kepada KUD Saiyo Air Gadang, perihal Sertifikat Hak
milik (SHM) Keltan. Air Maruap yang pada intinya disampaikan SHM anggota Keltan. Air
Maruap yang telah diterbitkan BPN Lubuk Sikaping dan telah diterima Bank Nagari Cab.
Simpang Empat sebanyak 94 Persil dengan perincian 47 persil Mantan anggota DPRD TK II
Pasaman dan 47 Persil Mantan Anggota DPRD TK I Sumbar.

17. Bahwa pada tanggal 13 Desember 2007, Ninik Mamak Air Meruap mengirmkan surat
kepada Bupati Pasaman yang pada intinya meminta Bupati Pasaman memfasilitasi penyelesaian
kebun masyarakat Air Meruap terutama areal unit mantan anggota DPRD Pasaman periode
1992-1997 karena lahan yang diperjualbelikan merupakan kebun inti yang telah dikuasai
masyarakat bukan lahan anggota DPRD;

18. Bahwa pada tanggal 24 Desember 2007, Ninik Mamak Air Meruap mengirimkan surat
kepada Direktur CV. Tiara Jaya yang pada intinya meminta penangguhan pembayaran jual beli
kebun kelapa sawit Air Meruab a.n unit mantan anggota DPRD Provinsi Sumbar 1992-1997,
sebelum ada penyelesaiannya lebih lanjut;

19. Bahwa pada tanggal 7 Januari 2008, Ninik Mamak Air Meruap mengirimkan surat kepada
Direktur CV. Tiara Jaya, yang pada intinya meminta menghentikan kegiatan perluasan
penebasan di dalam areal kebun kelapa sawit, baik dalam areal 100 Ha maupun yang telah
melampaui batas kebun milik masyarakat sebelum diukur ulang kembali oleh BPN dan
disahkannya jual beli plasma kebun sawit yang dimaksud oleh Pemda Kab. Pasaman Barat;

20. Pada tanggal 3 Maret 2008, mulai Jam 08.00 Wib masyarakat anak cucu Imbang Langi
melakukan demonstrasi dengan tertib ke lahan kebun masyarakat yang dikuasai oleh CV Tiara
Jaya dan membuat portal berupa galian bandar seluas 1,5 M untuk menghambat jalur
transportasi kegiatan CV Tiara Jaya, sebelumnya CV. Tiara Jaya juga membuat portal dengan
besi melintang jalan.

21. Bahwa pada tanggal 28 Maret 2008, Bupati Pasaman Barat mengeluarkan surat Keputusan
No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tentang Pembentukan Tim Indentifikasi tunjuk batas pada
lahan erpacht 372 ex lahan anggota DPRD TK I Sumatera Barat periode 1992-1997 dan ex
lahan anggota DPRD TK II Pasaman Periode 1992-1997 yang telah dijual kepada CV. Tiara
Jaya di Air Meruap Nagari Kinali, Kecamatan Kinali;

22. Bahwa pada tanggal 30 Maret 2008, dibuat surat pernyataan dan kesepakatan bersama
antara CV. Tiara Jaya dengan masyarakat cucu kemenakan Imbang Langit yang pada intinya
menyatakan Kami sepakat untuk menghentikan aktifitas khusus panen sawit di lingkungan
lokasi bermasalah yang dijual oleh mantan DPRD Periode 1992-1997 Kab Pasaman menjelang
adanya keputusan menurut hukum yang berlaku yang difasilitasi oleh Pemda Kabupaten
Pasaman Barat, bagi yang melanggar akan diselesaikan dengan masyarakat terlebih dahulu,
kemudian akan diajukan sesuai hukum;

23. Bahwa pada tanggal 29 April 2008, Bupati Pasaman Barat mengeluarkan surat No
130/352/Pem-2008 yang ditujukan kepada Nazar Ikhwan Imbang Langit dan Pimpinan CV.
Tiara Jaya, perihal identifikasi sertifikat lahan 200 Ha, CV. Tiara Jaya yang pada intinya
menyatakan hasil identifikasi dan peninjauan ditambah dengan data pendukung peta
menunjukan lahan tersebut berada pada sebagian lahan ex erpacht 372 Air Meruap;

24. Bahwa pada tanggal 28 Mei 2008, sekitar Jam 08.00 pagi masyarakat berkumpul di rumah
Hasar untuk berangkat ke lahan menggunakan mobil Colt Diesel, dalam perjalanan ditemukan
mobil milik CV. Tiara Jaya yang mengangkut buah sawit sekitar 2 Ton. Masyarakat meminta
Datuak Bandaro untuk menghalangi pemanenan oleh CV. Tiara Jaya, selanjutnya pada pukul
11.00 WIB masyarakat bersama-sama menurunkan buah sawit dari mobil milik CV. Tiara Jaya
dan meletakannya di depan Camp. Pada pukul 14.00 WIB, Sdr. Eti dari CV. Tiara Jaya datang
bersama aparat kepolisian dengan memanggil Datuak Bandaro dan mengatakan perbuatan
masyarakat yang melakukan pendudukan Camp adalah illegal;

25. Bahwa pada tanggal 31 Juni 2008, sekitar Jam 16.30 WIB, pihak CV Tiara Jaya bersama
aparat kepolisian (1 mobil Dalmas) mengangkat sawit sebanyak 2 lansir (hartop) dari lahan
dengan tidak ada perlawanan dari masyarakat yang pada saat itu berada di lahan;

26. Bahwa pada tanggal 4 Juli 2008, CV. Tiara Jaya kembali melakukan panen sawit, mulai
sekitar jam 10.00-17.00 wib dengan dikawal oleh aparat kepolisian Polres Pasaman Barat (kira-
kira sebanyak 14 orang-1 mobil Dalmas) dari pihak CV Tiara Jaya (3 orang atas Eti, Memen
dan Beben) dan sekitar 10 orang dari karyawan bekerja memanen sawit. Pada panen sawit
dilakukan masyarakat hanya berkumpul di Camp (Camp dibuat masyarakat) berada di atas
tanah 200 Ha (objek sengketa). Selain itu polisi juga melakukan penimbunan portal yang dibuat
oleh masyarakat sedangkan portal yang dibuat oleh CV. Tiara Jaya yang menghambat jalan ke
perkebunan masyarakat tidak disentuh sama sekali.

Sekitar Jam 18.00 wib, panen sudah selesai dilakukan dan sambil pulang datang polisi
memanggil Kasmir (sebanyak 3 kali), ketika panggilan ke 3 kali baru polisi menghampiri
Kasmir pangilan Simir, ada reaksi dari warga sehingga polisi tersebut kemudian meletuskan
tembakan ke udara sebanyak dua kali. Pada saat itu polisi menangkap Kasmir tanpa surat
penangkapan (di lahan).
27. Bahwa pada tanggal 4 Juli 2008, Polres Pasaman Barat mengeluarkan Surat Perintah
Penangkapan atas nama Kasmir pgl Simir, karena dugaan melakukan tindak pidana perkebunan
sebagaimana dimaksu Pasal 21 Jo 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55
dan Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 5 Juli ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;

28. Pada tanggal 5 Juli 2008, lebih dari 100 masyarakat mendatangi Kapolres sampai disana
sekitar pada jam 11.00 wib untuk menuntut pembebasan warga yang ditangkap oleh Kapolres
dan meminta polisi juga menahan mereka, namun polisi menolak. Pada saat itu beberapa orang
warga dipanggil dan diproses untuk memberikan keterangan sebagai saksi berkaitan dengan
masalah portal, penurunan hasil panen sawit pada tanggal 28 Mei 2008 dan pengusiran CV.
Tiara Jaya oleh warga. Warga yang diproses untuk memberikan keteranfan adalah Kalibasa,
Sampono, Bandaro dan Basri.

Dihadapan penyidik Datuk Sampono menerangkan bahwa dia tidak ikut membuat fortal (berupa
pengalian tanah), tetapi kesepakatan dibuat secara bersama, waktu penurunan buah sawit pada
tanggal 28 Mei 2008 dia tidak ikut tetapi hasil panen di atas mobil disuruh turunkan oleh
Bandaro atas permintaan dari warga dan warga menghalang-halanginya karena ada perjanjian
warga dengan CV. Tiara Jaya.

Datuk Bandaro dihadapan penyidik mengakui menurunkan buah sawit dan melarang panen
yang disampaikan atas permintaan warga, sedangkan masalah portal tidak ditanyanya sama
sekali, sedangkan keterangan Kalibasa tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Bandaro.
Dari ke- 4 orang tersebut hanya Basri yang tidak diminta keterangannya pada saat itu dengan
alasan telah cukup saksi 3 orang.

29. Bahwa pada tanggal 5 Juli 2008, Polres Pasaman Barat mengeluarkan Surat Penangkapan
atas nama Rivai (55 th), karena diduga melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana
dimaksud Pasal 21 Jo 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 dan Pasal 56
KUHP dan sejak tanggal 6 Juli 2008, Rivai ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;

30. Bahwa pada tanggal 8 Juli 2008, Polres Pasaman Barat juga mengeluarkan surat perintah
penangkapan atas nama Nazar Ikhwan Imbang Langit, karena diduga melakukan tindak pidana
perkebunan sebagaimana dimaksud Pasal 21 Jo Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang
perkebunan Jo Pasal 55 Jo Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 9 Juli 2008 resmi ditahan di Rutan
Polres Pasaman Barat;

31. Bahwa perkembangan terakhir kasus ini, pada tanggal 2 September 2008, Rivai dipindahkan
ke LP Lubuk Sikaping dengan perpanjangan penahanan, sedangkan Kasmir sejak tanggal 2
September 2008 telah dibebaskan dari tahanan, saat ini hanya NI Imbang Langit yang masih
berada di Rutan Polres Pasaman Barat dimana masa penahanannya akan berakhir pada tanggal 6
September 2008;

C. ANALISIS

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di atas, maka dapat ditarik beberapa analisis atau
cacatan penting dalam kasus ini, yakni sebagai berikut :

1. Bahwa tindakan Pemerintah Daerah TK II Kab. Pasaman mengklaim tanah ulayat Imbang
Langit di Kampung Air Maruap sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 dengan
mengeluarkan izin (HGU) PT. Tunas Rimba pada tahun 1992 dan Surat Keputusan Bupati
Kepada Daerah TK II No. 025/1276/Perak-1996 tanggal 26 Mei 1996 perihal pencadangan
lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada lokasi tanah Erpacht Verponding 372 sebagian di
Kampung Air Maruap Kec. Kinali adalah :

a. Merupakan tindakan sepihak dan bertentangan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 Jo Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria Jo Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang pada intinya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat adat, termasuk di dalamnya hak atas tanah ulayat;

b. Keberadaan Tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap merupakan harta kekayaan
Ninik Mamak Kampung Air Maruap yang diperoleh secara turun temurun sebagai lahan
cadangan yang diperuntukan bagi anak cucunya dikemudian hari, memiliki batas-batas yang
jelas dan telah mendapat pengakuan secara adat dari pihak batas sipadan sebagaimana dimaksud
dalam surat pernyataan batas tanah ulayat antara Luhak Anam Koto dengan Langgam menurut
adat Kinali tanggal 18 Juli 1977, dimana batas sipadan tanah ulayat Imbang Langit di Kampung
Air Maruap adalah “arah Lereng Gunung Pasaman ke utara berbatas dengan Datuak Tan Baraik
Lubuk Lanur, Teuku Daulat Parit Batu dan ke Barat berbatas dengan IV Koto dan Langgam, ke
timur Gunung Pasaman”;

c. Keberadaan tanah ulayat di Minangkabau, termasuk tanah ulayat Imbang Langit di Kampung
Air Maruap berlaku ketentuan hukum adat Minangkabau yang menyatakan “tak sejengkal-pun
tanah di Minangkabau yang tak berpunya (bertuan), sebagaimana disebutkan dalam pepatah
adat “sawah bapiring lah diagieh lantak, ladang babidang lah diagieh batumpak, tanah nan
sabidang lah diagieh bamilik”, diperkuat juga dengan pepatah adat, tanah ulayat tidak dapat
diperjualbelikan “Tajua indak dimakan bali, tak gadai indak dimakan sando, aienyo nan buliah
diminum, buahnyo nan buliah dimakan, kabau tagak kubangan tingga, luluak sado nan tabao
dibadan”. Oleh karenanya klaim tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 di atas tanah
ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap tidak dapat dibenarkan secara adat karena di
Minangkabau tidak dikenal adanya tanah negara;

d. Keberadaan tanah ulayat Imbang langit di Kampung Air Maruap juga diperkuat dengan
adanya persetujuan Panitia B (Panitia Pemeriksaan Tanah Permohonan HGU PTP VI) dalam
Risalah Pemeriksaan Tanah pada huruf C angka 2 tentang kepentingan orang lain dan
kepentingan umum secara tegas disebutkan “Panitia B telah menyetujui permintaan masyarakat
pemilik sawah (anak cucu kemenakan Imbang Langit) agar sawah-sawah rakyat yang terletak
disekitar Patok X dikeluarkan dari kebun inti PTP VI karena sejak dahulu sawah tersebut telah
ada dan tidak termasuk dalam areal Erfacht Maatchappij Ophir yang dimohonkan PTP VI”.
Halmana juga diperkuat dengan Surat Pemerintah Propinsi Daerah TK I Sumbar Direktorat
Agraria tanggal 31 Agustus 1985 yang pada intinya meminta PTP VI agar segera melakukan
perubahan gambar situasi sesuai dengan hasil pemeriksaan Panitia B dan membuat patok-patok
batas tanah dengan tanah penduduk yang telah dikeluarkan dari perkebunan PTP VI.

2. Bahwa tindakan Bupati Kepada Daerah TK II Kab. Pasaman yang mencantumkan nama-
nama mantan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 sebagai anggota plasma
di atas lahan seluas 600 Ha dalam Surat Keputusan No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 tanggal 31
Juli 1996 Jo surat keputusan No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tanggal 6 Mei 1999 dan
diterbitkan sertifikat hak milik (SHM) oleh BPN TK II Pasaman pada tahun 1997 bertentangan
dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah TK II Kab. Pasaman No. 025/1276/Perak-1996
tanggal 26 Mei 1996 yang tidak ada memperuntukan lahan bagi mantan anggota DPRD TK I
Provinsi Sumbar periode 1992-1997;

3. Bahwa tindakan mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar
periode 1992-1997 melakukan proses penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit di areal
Keltan. Air Maruap seluas seluas 200 Ha kepada CV. Tiara Jaya pada tanggal 20 November
2007, patut dipertanyakan keabsahan secara hukum karena :

a. Bertentangan Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 tanggal 31


Juli 2006 Jo surat keputusan Bupati No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tanggal 6 Mei 1999
tentang Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis S2

Konflik Antar Etnik (Sebuah Studi Kasus Di Kinali Kabupaten


Pasaman Sumatera Barat)   
Afrizal Azhar   

Abstrak

Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang Konflik yang terjadi antara Etnik Batak
Toba dan Mandailing berhadapan dengan Etnik Minangkabau di Kinali Kabupaten Pasaman
yang meletus pada bukan Juli tahun 2000. Konflik Kinali bukan merupakan konflik agama
karena pihak yang bertikai adalah orang Batak yang Kristen dan orang Mandahiling yang Islam
berhadapan dengan orang Minangkabau yang juga beragama Islam. Konflik di Kinali ini
disebabkan oleh beberapa faktor budaya sehingga memunculkan kurangnya toleransi dalam
hubungan antar etnik, pola interaksi yang cenderung disertai dengan stereotype, prejudice,
kebencian dan dendam. Pola interaksi yang buruk yang dijalani selama ini sebenarnya disadari
oleh masing-masing etnik tetapi tidak ada usaha untuk melakukan konsolidasi menjadikan
hubungan yang ada menjadi lebih balk lagi. Maka konflik yang masih berupa tension dan
disagreement ini akhirnya pecah menjadi konflik kekerasan. Tesis ini juga menemukan
fenomena baru tentang sikap orang Batak yang tidak adaptif dalam pola hubungannya dengan
kebudayaan dominan yang ada di Kinali padahal beberapa penelitian oleh para ahli sebelumnya
menganggap bahwa orang Batak adaptif terhadap kebudayaan dominan. Berdasarkan basil
penelitian ini, hal ini disebabkan oleh sikap diskriminatif orang Minang Kinali terhadap orang
Batak dalam berbagai segi kehidupan yang mereka jalani selama ini yang akhirnya berbuah
keengganan untuk membaur dan bergaul secara normal dan wajar_ Konflik Kinali juga telah
menyadarkan orang dan kelompok yang bertikai tentang berbahayanya kandungan konflik yang
apabila muncul dan meletus menjadi konflik kekerasan akan mendatangkan kerugian yang
begitu besar kepada semua pihak. Keadaan setelah konflik membuktikan hal tersebut dimana
interaksi yang terjadi diantara pihak yang pernah bertikai menunjukkan keteraturan sosial yang
berlaku yang ditandai oleh sikap saling menghargai dan toleransi. Tetapi seperti dipercayai oleh
para penganut teori konflik bahwa keadaan harmoni adalah sesuatu yang temporer dan konflik
akan selalu muncul menyertai keadaan yang harmoni. Maka tugas kita semualah untuk mampu
menjaga keadaan harmoni sehingga tidak meletus menjadi sebuah konflik kekerasan.
penetapan nama-nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada
lokasi tanah ex. Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap karena dalam
penetapannya pada bagian ketiga nomor 3 (tiga) disebutkan Peserta Plasma tidak diperkenankan
melakukan pemindahtanganan lahan tanpa seizin Bupati Pasaman;

b. Lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas seluas 200 Ha yang
perjualbelikan oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar
periode 1992-1997 kepada CV. Tiara Jaya merupakan angunan kredit KKPA Bank Nagari Cab.
Simpang Empat berdasarkan persetujuan kerjasama kredit KKPA Bank Nagari Cab. Simpang
Empat Pasaman dengan KUD Saiyo Air Gadang Nomor : 001/SE/KOP/INV/0797/0709 tanggal
23 Juli 1997 Jo perjanjian Addendum I Nomor : 002-001/SE/ADD/0198/0797 tanggal 5 Januari
1998 dengan nominal Rp. 19.730.179.600,00. Halmana dipertegas dengan Surat Bank Nagari
Cab. Simpang Empat Nomor : SR/1053/SE/CL/12-2007 tanggal 12 Desember 2007 kepada
KUD Saiyo Air Gadang, perihal Sertifikat Hak Milik (SHM) Keltan. Air Maruap yang pada
intinya menyatakan SHM anggota Keltan. Air Maruap telah diterbitkan BPN Lubuk Sikaping
dan telah diterima Bank Nagari Cab. Simpang Empat sebanyak 94 Persil dengan perincian 47
persil Mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan 47 Persil Mantan Anggota DPRD TK I
provinsi Sumbar periode 1992-1997;

c. Proses penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas 200 Ha
kepada CV. Tiara Jaya juga terdapat kejangalan-kejangalan dalam hal izin usaha perkebunan
milik CV. Tiara Jaya, dimana izin usaha perkebunan milik CV. Tiara diduga tanpa dilengkapi
dokumen AMDAL dan lebih dahulu dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat tertanggal 31 Juli
2007 dari pada proses pembelian lahan oleh CV. Tiara Jaya pada tanggal 20 November 2007.

4. Bahwa tindakan Polres Pasaman Barat melakukan penangkapan, penahanan dan intimidasi
kepada Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, sejak tanggal 4 Juli 2008 hingga
sekarang adalah tindakan sewenang-wenang, karena :
a. Sengketa penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit seluas 200 Ha oleh mantan anggota
DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 kepada CV. Tiara
Jaya yang menimbulkan sengketa dengan Ninik Mamak dan Masyarakat Kampung Air Maruap
adalah murni sengketa perdata, hal mana sedang dalam penyelesaian Tim berdasarkan Surat
Keputusan Bupati Kab. Pasaman No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tanggal 28 Maret 2008;

b. Terjadinya tindakan diskriminasi dan keberpihakan dari Polres Pasaman Barat kepada CV.
Tiara Jaya dalam sengketa, dimana Polres Pasaman Barat secara langsung terlibat sebagai
backing dalam panen kelapa sawit di lahan sengketa oleh CV. Tiara Jaya pada tanggal 28 Mei
2008, 31 Juni 2008 dan 4 Juli 2008, tindakan mana telah melanggar kesepakatan status quo atas
lahan sengketa dan sekaligus mengabaikan keberadaan Tim yang dibentuk dengan Surat
Keputusan Bupati Kab. Pasaman No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tanggal 28 Maret 2008.
c. Tindakan Polres Pasaman Barat sebagaimana tersebut di atas, merupakan tindakan yang telah
melampaui kewenangannya dan berakibat terlanggarnya hak-hak Ninik Mamak dan masyarakat
Kampung Air Maruap, berupa pelanggaran :
- Pelanggaran hak pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana terdapat
dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang;

- Pelanggaran terhadap hak pengakuan dan jaminan keamanan masyarakat hukum adat untuk
mengelola dan mempertahankan hak ulayat selama tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara serta peraturan yang lebih tinggi dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Jo Pasal 5 Undang-Undang
No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

- Pelanggaran terhadap beberapa hak sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama hak Sipil Politik, berupa hak :
a. Hak atas keadilan Pasal 17 Jo Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2);
b. Hak atas rasa aman sebagaimana di atur Pasal 30 Jo Pasal 9 ayat (1) dan (2);
c. Hak atas kesejahteraan sebagaimana di atur dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2), Pasal 37 ayat (1)
Jo Pasal 38 ayat (1);
d. Hak atas pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diatur
dalam Pasal (6).

- Pelanggaran terhadap hak untuk kebebasan dan keamanan pribadi sebagaimana termuat dalam
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

D. Rekomendasi

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam posisi kasus sebagaimana tersebut di atas, maka
berkaitan dengan pendampingan kasus yang akan dilakukan oleh LBH Padang, maka
direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Sengketa lahan kebun plasma di areal Keltan. Air Maruap seluas 200 Ha yang perjualbelikan
oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar,
mestinya dilihat sebagai bagian yang tidak terpisah dari sengketa tanah ulayat Kampung Air
Maruap yang klaim secara sepihak oleh Pemda TK II Pasaman sebagai tanah negara bekas
Erfacht Verponding 372;

2. Kriminalisasi terhadap Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Maruap, sejak tanggal 4 Juli
2008 sampai sekarang, mesti dilihat sebagai bagian dari skenario berbagai pihak (termasuk
Pemda Kab. Pasaman Barat) untuk mematahkan (membungkam) perjuangan Ninik Mamak dan
masyarakat Kampung Air Maruap, sekaligus upayanya untuk memperkuat legitimasi tanah
negara bekas Erfacht Verponding 372 di atas tanah ulayat Ninik Mamak Kampung Air Maruap;
3. Berkaitan dengan pendampingan hukum terhadap Ninik Mamak dan masyarakat Kampung
Air Maruap dalam permasalahan di atas, dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk pendampingan :

a. Pendampingan hukum secara litigasi (di pengadilan), terutama pendampingan 3 orang Ninik
Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap;

b. Pendampingan hukum secara non litigasi terutama advokasi terhadap upaya-upaya


penyelesaian kasus tanah ulayat Imbang Langit dengan Pemda Kab. Pasaman Barat dan
Perusahan perkebunan sawit.

E. Penutup

Demikianlah gambaran posisi kasus, kronologis dan beberapa catatan penting pada kasus tanah
ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap Kec. Kinali Kab. Pasaman, semoga dapat
dipergunakan untuk membantu dalam –upaya upaya pendampingan kasus ini , terima kasih.

[+/-] Selengkapnya...

Senin, Februari 09, 2009 | Label: advokasi |   0 Comments

Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis S2

Konflik Antar Etnik (Sebuah Studi Kasus Di Kinali Kabupaten


Pasaman Sumatera Barat)   
Afrizal Azhar   
Deskripsi Dokumen: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=70805
---------------------------------------------------------------------------------
---------
Abstrak
Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang Konflik yang terjadi antara Etnik Batak
Toba dan Mandailing berhadapan dengan Etnik Minangkabau di Kinali Kabupaten Pasaman
yang meletus pada bukan Juli tahun 2000. Konflik Kinali bukan merupakan konflik agama
karena pihak yang bertikai adalah orang Batak yang Kristen dan orang Mandahiling yang Islam
berhadapan dengan orang Minangkabau yang juga beragama Islam. Konflik di Kinali ini
disebabkan oleh beberapa faktor budaya sehingga memunculkan kurangnya toleransi dalam
hubungan antar etnik, pola interaksi yang cenderung disertai dengan stereotype, prejudice,
kebencian dan dendam. Pola interaksi yang buruk yang dijalani selama ini sebenarnya disadari
oleh masing-masing etnik tetapi tidak ada usaha untuk melakukan konsolidasi menjadikan
hubungan yang ada menjadi lebih balk lagi. Maka konflik yang masih berupa tension dan
disagreement ini akhirnya pecah menjadi konflik kekerasan. Tesis ini juga menemukan
fenomena baru tentang sikap orang Batak yang tidak adaptif dalam pola hubungannya dengan
kebudayaan dominan yang ada di Kinali padahal beberapa penelitian oleh para ahli sebelumnya
menganggap bahwa orang Batak adaptif terhadap kebudayaan dominan. Berdasarkan basil
penelitian ini, hal ini disebabkan oleh sikap diskriminatif orang Minang Kinali terhadap orang
Batak dalam berbagai segi kehidupan yang mereka jalani selama ini yang akhirnya berbuah
keengganan untuk membaur dan bergaul secara normal dan wajar_ Konflik Kinali juga telah
menyadarkan orang dan kelompok yang bertikai tentang berbahayanya kandungan konflik yang
apabila muncul dan meletus menjadi konflik kekerasan akan mendatangkan kerugian yang
begitu besar kepada semua pihak. Keadaan setelah konflik membuktikan hal tersebut dimana
interaksi yang terjadi diantara pihak yang pernah bertikai menunjukkan keteraturan sosial yang
berlaku yang ditandai oleh sikap saling menghargai dan toleransi. Tetapi seperti dipercayai oleh
para penganut teori konflik bahwa keadaan harmoni adalah sesuatu yang temporer dan konflik
akan selalu muncul menyertai keadaan yang harmoni. Maka tugas kita semualah untuk mampu
menjaga keadaan harmoni sehingga tidak meletus menjadi sebuah konflik kekerasan.   

Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik “wewenang” dan ‘posis’ sebgaai konseptual sentral
teorinya. Ia melihat yang terlibat konflik adalah kelompok semu yaitu para pemegang kekuasaan atau
jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan.
Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok kepntingan, yang terdiri dari kelompok semu yang lebih
luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai strujtur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang
jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.
Seperti halnya consensus dan konflik adalah sebuah realitas sosial. Teori konflik dahrendorf adalah
mata rantai antara konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai.
Menurut Marx “kepentingan” selalu dipandang dari segi materialnya saja tetapi sebenarnya menurut
dahrendorf “kepentingan” selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam memegang peran penguasa
seseorang tersebut akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam
kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.

Dahrendorf melihat masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama, sehingga segala
sesuatunya dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktual dan dapat pula dengan konflik.
Harapannya bersama Coser, agar perspektif konflik dapat digunakan dalam rangka memahami dengan
lebih baik fenomena sosial. Sebalikmya, Durkheim cenderung, meihat konflik yang berlebihan sebagai
sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat. Simmel juga berasumsi bahwa konflik dan
ketegangan adalah sesuatu yang “abnormal” atau keduanya merusakkan persatuan kelompok,
merupakan suatu perspektif yang penuh bias yang tidak didukung oleh kenyataan.
Dahrendorf dalam mejelaskan konflik berpindah dari struktur peran kepada tingkah laku peran. Tetapi
keduanya tidak bisa berjalan bersama-sama dalam bentuk hubungan sebaba-akibat. Karena keduanya
tidak dipisahkan secara jelas sebagai fenomena yang berbeda. Masing-masing tergantung pada yang
lain tanpa melakukan penjelasan satu sama lain.

Konflik ambon

A.PENDAHULUAN

Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia
terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap
bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera
menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang
lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan
yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan
kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.

Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum
menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain
dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara hidup atau identitas
golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan
kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang
besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.

Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa
kita lihat di banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman
Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.

Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok
sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.

Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di
Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya
konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan
oleh Karl Marx.

B.PERMASALAHAN

Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang,
yang perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga
puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa
termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang yang bisa
kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.

Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas
yang mampu berkuasa dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-
an, ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong
pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian negara-negara Asia
Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan politik yang tak kunjung selesai dan
kebijakan pemerintah yang seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada
tahun 1965-1967.

Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan
rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad—namun mengabaikan
hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal berupa
keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya
kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat
ketat yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari
pemerintah terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan proses
dan hasil-hasil pembangunan—telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara
anak bangsa hanya terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.

Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda
kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas
bangsa Timur Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam
benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen hidup
dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh penjajah Belanda.

Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim
ternyata secara tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai
pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah
menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.

Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan
warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah
memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh karena warga Muslim
telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan melahirkan pedagang
dan para intelektual yang relatif lebih banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam
pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap
warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.

Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan
(security approach) yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-
orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat, demikianlah seterusnya
keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang
tampak di permukaan adalah kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai
—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.

Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu
saja—terlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi justru
adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat
dahsyat.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di
Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen
ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau
material semata.
C.PEMBAHASAN

Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan
kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam
menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada
saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di
tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim
dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara
mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-
kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama
mereka.

Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling
kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan
perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi
dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi
dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.

Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat,
pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat
kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya
ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur
tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat,
membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.

Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa
pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan
ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari
posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh
dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat
penting.

Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha
kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya,
mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang
mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan
norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok
dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan
lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok
dominan dibentuk. Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong
tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—
untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat
untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori
Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong
tersebut.

Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur
kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan
dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara
kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang
ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta
nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara
“kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang
yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan
apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam
melaksanakan pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin
terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas
merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari
dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada
teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara
nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap
golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru
sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang
termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses
pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga
akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan
pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan
revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi
bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang dari kelas
subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa
kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.

Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi
kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah
pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas
ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik
kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu
pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan
kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka
sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu
dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.

Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil
dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan
bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing
pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam
kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut,
sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar
kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu,
mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang
lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan
dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola
saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme
penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat
bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau
mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada
kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah
pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya
mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya
merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini
Pemerintah dan kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah.
Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka
berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan
kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.

Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini
menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari
seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari
proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari
dirinya sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya menunjuk pada
perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain
terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx
bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan
kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi
subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks
kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan
empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan
dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan
sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang
mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara
empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.

D.PENUTUP

Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk
memberikan sumbangan bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik
yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi,
terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.

Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik
yang berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang
termarjinalkan. Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama
antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan material, seperti
yang telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan di muka.

Jika memang benar suatu konflik didasarkan perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William
Liddle, kondisinya tidak terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran,
bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak terlalu membesar-besarkan
masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak
akan mengancam kepentingan, cara hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle
mengemukakan, sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui seorang
Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama lain. Dalam konteks
teori konflik Marx—seperti yang juga telah saya kemukakan di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi
dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik —yang seringkali ditemukan adalah ketakutan
dalam dua versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen
(misalnya pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal yang sebaliknya yaitu
ketakutan orang Kristen pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi
atau ketika ICMI mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk berpoltik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan
mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya.

Anda mungkin juga menyukai