Anda di halaman 1dari 14

Nama : Rian Cantona

Nim : 4012011116

LEGAL OPINION

Duduk Perkara

Masyarakat adat Tano Batak menuntut Presiden dan Menteri LHK untuk
mencabut izin PT Toba Pulp Lestari (TPL) atas kasus kekerasan,
diskriminasi, kriminalisasi masyarakat Adat Tano dan perampasan hutan
adat Tano Batak yang sedang berlangsung sejak tahun 1987 sampai
sekarang. Sebagai tambahan informasi, kronologis perkara bermula, pada
31 Oktober 1984, Gubernur Sumut yang kala itu dijabat oleh Kaharuddin
Nasution mengabulkan permohonan lokasi pabrik PT Indorayon sekarang
PT TPL seluas kurang lebih 200 hektar di daerah Sosor Ladang,
Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba. Pada tahun yang sama pula, di 19
November 1984, PT Indorayon memperoleh Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) seluas kurang lebih 150 ribu hektare, meliputi hutan pinus merkusi
yang ada di sejumlah wilayah kabupaten di Sumut.

Tahun 1986, PT Indorayon dilaporkan melakukan perampasan tanah adat


turunan Raja Sidomdom Barimbing di Desa Sugapa Kecamatan Silaen,
seluas 51,36 hektare, dengan memanipulasi hukum adat. Juni hingga
Agustus 1987, masyarakat dari Desa Sianipar I dan Sianipar II serta
Simanombak mengajukan protes kepada PT Indorayon terkait longsor
yang menutupi persawahan. Longsor tersebut terjadi akibat pembuatan
jalan di hutan Simare yang kurang memenuhi syarat. Seluas 15 hektare
sawah milik 43 kepala keluarga tertimbun.

Berlanjut pada 7 Oktober 1987, terjadi longsor lagi di Desa Natumingka,


Kecamatan Habinsaran, yang mengakibatkan 18 warga meninggal.
Longsor itu disebabkan oleh aktivitas pembukaan jalan yang dilakukan
oleh PT Indorayon (PT TPL). 9 Agustus 1988, penampungan air limbah
(aerated lagoon) dilaporkan jebol ketika dilakukan uji produksi.
Diperkirakan satu juta meter kubik limbah mencemari Sungai Asahan
yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Tano Batak.

Pada Oktober 1988, 150 hektare perladangan yang digarap 100


KK(kepala keluarga) di Desa Negeri Dolok dirusak menggunakan alat
berat oleh PT Indorayon, dengan alasan ladang tersebut masuk dalam
areal konsesi PT Indorayon. Longsor lagi-lagi terjadi, pada 25 November
1989. Kali ini terjadi di Desa Bulu Silape, Kecamatan Silaen. Longsor ini
disebabkan oleh aktivitas PT Indorayon yang melakukan pembukaan jalan
untuk dilalui truk (logging) di atas bukit, dengan cara mengeruk tanah
serta batu di perut Dolok Tampean. saat turun hujan, terjadi longsor yang
menimpa perkampungan dan areal persawahan. 13 orang warga tewas,
lima rumah hancur, 30 hektare persawahan tertimbun, 6 hektare
perladangan rusak.

Pada 15 Desember 1989 warga menolak atas kehadiran PT Indorayon


karena sangat merusak dan merugikan warga baik dari ekonomi, sosial
dan budaya. Masih dalam Desember 1989, 70 hektare lahan kopi,
cengkeh, kemiri dan jenis lainnya, yang diusahakan 43 KK Huta Maria, di
Desa Dolok Parmonangan, ditraktor oleh PT Indorayon karena dianggap
masuk dalam konsesi perusahaan.

Tahun 1990, 18 hektare lahan penggembalaan ternak warga Desa Sianjur


Kecamatan Siborong-Borong, Tapanuli Utara, dirampas PT Indorayon.
Sebelumnya warga telah menyerahkan 225 hektare lahan dengan ganti
rugi Rp1,25 per meter persegi. Perampasan lahan ini mendapat
perlawanan dari 14 KK di sana. sekitar 1989 sampai 1990 tanah-tanah
adat di Sampuara-Jangga dan Parsoburan dijadikan areal HPH PT
Indorayon dan ditanami eukaliptus dengan memanipulasi hukum adat.
namun warga sadar akan bahaya eukaliptus dan meminta tanah-tanah
adat mereka dikembalikan. Dua tahun berikutnya, 1 Juni 1992, Izin HPH
PT Indorayon bertambah luas menjadi 269.060 hektare. Lewat SK Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/92 tentang Pemberian Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dikeluarkan Menteri
Kehutanan Hasjrul Harahap.

Pada 1991 PT Indorayon dilaporkan melakukan penanaman eukaliptus di


atas tanah adat milik para ahli waris Ompu Debata Raja Pasaribu di Huta
Maria, Desa Dolok Parmonangan, Dolok Panribuan. dengan alasan tanah-
tanah adat itu masuk dalam konsesi PT Indorayon sesuai SK Menteri
Kehutanan. Pada 5 November 1993 terjadi insiden meledaknya boiler
serta kebocoran klorin, mengakibatkan pencemaran udara dan pabrik PT
Indorayon terpaksa ditutup. Insiden itu memicu kemarahan warga yang
sejak awal menolak keberadaan PT Indorayon. Warga melakukan
perusakan terhadap tempat tinggal karyawan pabrik, 125 tempat tinggal
dilaporkan rusak, lima mobil pickup, lima sepeda motor, satu mini market,
satu statsiun radio dan satu traktor dibakar. Warga juga melakukan
penutupan akses jalan bagi truk PT Indorayon. Pemerintah Daerah
kemudian memutuskan untuk menutup sementara pabrik tersebut.

Namun penutupan pabirk PT Indorayon itu hanya berumur beberapa hari


saja, pada 12 November 1993, Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo
memberi izin PT IUU beroperasi kembali. Insiden jebolnya penampungan
limbah atau aerated lagoon kembali terulang pada 2 Maret 1994. Lagi-lagi
itu mengakibatkan Sungai Asahan tercemar dan menyebabkan banyak
ikan mati.

Pada Maret 2003 PT Indorayon yang telah berganti nama jadi PT TPL.
Tahun 2004, Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita anggota
masyarakat adat Sihaporas dicokok polisi beserta pihak keamanan PT
TPL karena melakukan protes kepada PT TPL, dan akhirnya harus
menjalani persidangan hingga divonis bersalah.
Berlanjut di 2006, penggarapan tanah adat oleh PT Indorayon kembali
terjadi di 11 desa Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan. Tanah adat
dan hutan kemenyan seluas 3.500 hektare, milik keturunan Bius Marbun
dirusak dan ditebangi oleh PT TPL dengan alasan tanah adat tersebut
masuk dalam areal HPHHTI PT TPL. pada 2009, tanah adat dan hutan
kemenyan yang sudah dimiliki masyarakat adat secara turun temurun
sejak 300 tahun lalu yang merupakan sumber mata pencaharian utama
700 KK, di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Polung,
Humbang Hasundutan, juga ditebang dan dirusak oleh PT TPL, karena
diklaim konsesi HPHHTI PT TPL.

Kemudian tahun 2010, pohon-pohon pinus yang berada di tanah adat


milik bersama Bius Lontung (Sinaga dan Situmorang) ditebang oleh PT
TPL, dan tanah adantya diambil alih dengan dalih sudah melakukan
pembelian dengan beberapa orang. Masih pada tahun yang sama PT TPL
menggarap secara paksa lahan Lumban Naiang, di Desa Aek Lung,
Kecamatan Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan.

Pada 25 Februari 2013, pekerja PT TPL diketahui menanam eukaliptus di


wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa
Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Masih tahun
2013, Rusliana Boru Marbun dari Komunitas adat Matio diketahui
dikriminalisasi oleh PT TPL dan mendapat vonis 6 bulan penjara. Karena
mempertahankan dan memprotes sawahnya ditimbun oleh PT TPL yang
membuka perkebunan eukaliptus.

Konflik masih berlanjut, pada 14 Juli 2015, Sammas Sitorus dari


Komunitas adat guru Datu Sumalanggak Sitorus, Lumban Sitorus,
Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, dilaporkan PT TPL ke Polres
Toba atas dugaan pemukulan dan penaniayaan terhadap seorang
karyawan PT TPL. Laporan ini menuai kontroversi dan amarah warga.
Pada September 2016, Hotman Siagian anggota Komunita adat Matio,
Kabupaten Toba, dikriminalisasi oleh PT TPL atas tuduhan merusak
hutan, menduduki lahan konsesi dan melawan hak PT TPL.

Pada Januari 2019, keturunan Op. Sinta Manurung melaporkan PT TPL


ke Penegakan hukum Kementrian Lingkungan hidup (Gakum KLHK)
daerah Sumutera atas rusaknya lahan pertanian milik keturunan Op. Sinta
Manurung dan milik masyarakat yang terletak di kampung Parbulu Desa
Banjar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba akibat
terpaparnya limbah Nursery milik PT TPL. namun hampir 3 tahun laporan
tadi belum juga menerima kejelasan. tidak hanya itu dengan hal tersebut,
pada 8 Mei 2019 keturunan Op. Sinta Manurung juga melaporkan PT TPL
ke Polda Sumatera Utara atas dugaan tindak pidana pemakaian tanah
tanpa izin (penyerobotan), yang mana tanah milik Op. Sinta Manurung
tersebut digunakan menjadi saluran pembuangan Limbah Nursery milik
PT TPL. Lagi-lagi laporan tadi tidak mendapat kejelasan sampai sekarang.

Lalu pada 10 Juni 2019, PT TPL melaporkan Komunitas rakyat adat Tor
Nauli Parmonangan ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan
penyerobotan tanah. Tetapi masyarakat adat Tor Nauli menolak
menghadiri pemanggilan yang dilakukan oleh Polres Tapanuli Utara,
karena menganggap tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai
secara turun temurun.

Selanjutnya pada 16 September 2019 warga adat Sihaporas juga terlibat


bentrok dengan karyawan PT TPL. bentrokan terjadi sebab pegawai PT
TPL mencemari sumber air minum dan merusak tanaman milik
masyarakat adat Sihaporas serta melarang masyarakat adat bercocok
tanam di tanah adatnya, dari konflik tersebut Thomson Ambarita dan
Mario Teguh Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari
tindakan kekerasan oleh Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan
security PT TPL.
Pada Oktober 2019, PT TPL membawa kepolisian dan aparat Tentara
Nasional Indonesia bersejata lengkap melakukan intimidasi terhadap
warga adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmodanangan,
Simalungun. 27 Mei 2020 Bahara Sibuea yang dilaporkan oleh Thomson
Ambarita diketahui telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polres
Simalungun. dalam menindak lanjuti laporan tersebut, masyarakat adat
Sihaporas melakukan beberapa upayam baik mendesak Polres
Simalungun, Polda Sumut, Audiensi ke Kapolres Simalungun hingga
melaporkan Penyidik ke Wasidik Polda Sumut. Namun hingga saat ini
Bahara Sibuea (Humas PT. TPL) belum juga diseret ke Pengadilan dan
tidak pernah dilakukan penahanan terhadap Bahara Sibuea.

Juni 2020, PT TPL dituding melakukan kriminalisasi terhadap lima orang


warga adat Huta Tor Nauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan
Parmonangan, Tapanuli Utara. Perusahaan tersebut melaporkan Bohari
Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Jamanti Manalu, Ranto
Dayan Manalu dengan tuduhan perkebunan tanpa izin di daerah Hutan.

Pada 17 September 2020, Komunitas masyarakat adat OP. Panggal


Manalu melaporkan PT TPL ke Polres Tapanuli Utara atas dugaan tindak
pidana perusakan tanaman milik masyarakat adat yang terletak di Ladang
Parbutikan, Desa Aek Raja, Kecamatan Parmonangan Kabupaten
Tapanuli Utara. Kemudian, pada 22 September 2020, PT TPL melaporkan
Komunitas masyarakat adat Ompu Ronggur Sipahutar ke Polres Tapanuli
Utara dengan tuduhan tindak pidana penggunaan kawasan hutan.

Berlanjut, 15 Desember 2020 PT TPL diduga melakukan kriminalisasi


terhadap masyarakat adat keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa
Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara. pada Januari
2021, pihak PT TPL melaporkan 3 orang anggota Komunitas masyarakat
adat Huta Natumingka, dengan tuduhan perusakan tanaman milik PT
TPL. tiga orang tersebut yakni, Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak,
dan Risna Sitohang. Ketiganya kemudian ditetapkan menjadi tersangka
oleh Polres Toba pada 31 Maret 2021.

20 April 2021, Pdt. Faber Manurung bersama kurang lebih 15 warga


melakukan aksi protes di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian.
Protes yang dilakukan dengan memberhentikan truk pengangkut kayu PT
TPL tersebut dilakukan menyuarakan kerusakan lingkungan yang sudah
berlangsung lama di kampung mereka, Dusun Parbulu, Desa Bandar
Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba. Akibat aksi protes
tersebut Pdt. Faber Manurung ditahan pihak kepolisian.

18 Mei 2021, Komunitas masyarakat adat Natumingka bentrok dengan


ratusan karyawan PT TPL. Hal tersebut diawali oleh keinginan PT TPL
memaksa melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Op.
Punduraham Simanjuntak, di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor
Kabupaten Toba. dampak peristiwa tersebut, 12 orang Komunitas
masyarakat adat Natumingka menjadi korban penganiayaan pegawai PT
TPL.

26 November 2021 sebanyak 40 orang dari masyarakat adat Tano Batak


melakukan aksi untuk mendesak pemerintah menutup PT TPL, aksi
dilaukan di depan kantor Kemenko Marves dan Istana Negara. Sebanyak
40 orang perwakilan masyarakat adat dari Tano Batak yang tergabung
dalam Aliansi Gerakan rakyat (gerak) Tutup TPL dari jaringan organisasi
petani, buruh, lingkungan, dan mahasiswa di nasional meminta Mentri
LHK menemui mereka di depan kantor LHK.

Namun hingga menjelang akhir unjuk rasa Menteri LHK tidak juga
menemui masyarakat adat dari Tano Batak. Masyarakat adat dari Tano
Batak menuntut Presiden jokowi dan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar
untuk segera mengembalikan wilayah adat, mencabut izin dan menutup
PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Investasi yang dilakukan PT Toba Pulp
Lestari (TPL) pada 12 Kabupaten di Sumatera Utara, menurut mereka
sudah melahirkan banyak sekali praktek perusakan lingkungan. Termasuk
perampasan tanah serta ruang hidup masyarakat adat Tano Batak,
bahkan tindak kekerasan terhadap masyarakat.

Ketika aksi dilakukan pada 26 November 2021 di Depan kantor LHK


aparat kepolisian melakukan tindakan represif terhadap masyarakat adat
yang hendak bertemu menteri LHK Aliansi gerakan rakyat tutup TPL yang
menyampaikan aspirasi di kantor KLHK, pada sore pukul 17.40 WIB di
angkut oleh pihak aparat kepolisian dari Jakarta Timur. ada pun
perwakilan yang di bawa paksa oleh polisi adalah 40 masyarakat adat
yang datang dari kawasan danau Toba yang hendak beraudiensi dengan
Menteri Siti Nurbaya dari KLHK.

Kemudian beberapa anggota organisasi masyarakat sipil yang tergabung


dengan aliansi gerak tutup TPL juga ikut di bawa bersama dengan
rombongan masyarakat adat. Tindakan aparat kepolisian tersebut
merupakan gambaran negara yang sangat represif terhadap rakyat yang
hendak bertemu dengan menteri LHK. Orang-orang tua yang hadir dari
perwakilan masyarakat adat juga mengalami kekerasan dari aparat
kepolisian.

Atas duduk perkara tersebut, masyarakat Adat Tano Batak meminta LO


dari kami mengenai rencana pelaporan tindakan yang dilakukan oleh PT
Toba Pulp Lestari (TPL) sejak 1987 ke pihak KPK dan MK.
Dasar Hukum

Terkait dengan duduk perkara diatas, kami mencatat sejumlah peraturan


yang dilanggar oleh PT TPL (Toba Pulp Lestari) yaitu;

1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, tentang Hutan


Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi
Hutan Negara.
2. Permen LHK P.21/menlhk/setjen/kum.1/4/2019 tentang Hutan Adat
Dan Hutan Hak.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
4. Pasal 351 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Pendapat Hukum

Tindakan yang dilakukan oleh PT TPL (Toba Pulp Lestari) telah


melakukan pelanggaran hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 35/PUU-X/2012, tentang Hutan Adat, yang dimana dalam putusan
tersebut menyebutkan bahwa Hutan adat adalah hutan yang berada di
wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Artinya Hutan adat disahkan
menjadi milik komunitas adat, bukan lagi milik negara. Mahkamah
Konstitusi menjelaskan hutan adat dan hutan negara merupakan hal yang
berbeda, negara memiliki wewenang penuh terhadap hutan negara untuk
dikelola dan dimanfaatkan di wilayah di hutan negara. Sedangkan
terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.

Lebih jelas dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun


1999 tentang Kehutanan jo. Penetapan hutan adat dilakukan melalui
permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh
pemangku adat, lalu dilakukan validasi dan verifikasi. Menurut Mahkamah
Konstitusi, Negara mempunyai wewenang penuh terhadap hutan negara
untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan
hukum yang terjadi di wilayah hutan negara 1. Sedangkan terhadap hutan
adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang
tercakup dalam hutan adat. Hutan adat berada dalam cakupan hak ulayat
dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum
adat.

1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,
Depok,2018, Hlm.140.
Dalam kasus PT TPL negara tidak memiliki kewenangan untuk
memberikan izin kepada pihak manapun termasuk PT TPL untuk
mengelola hutan adat masyarakat Tano Batak yang wilayahnya meliputi
Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban
Julu, dan sekitarnya seluas 20.753 hektar.

PT TPL melakukan perampasan hutan adat di kawasan yang dilindungi


oleh Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat. Selain
melakukan perampasan masyarakat adat Tano Batak mengalami tindak
kekerasan, diskriminasi, kriminalisasi, pengrusakan lahan perkebunan dan
kerugian-kerugian yang dilakukan oleh PT TPL di daerah Kabupaten Toba
Samosir. Putusan MK bersifat final artinya tujuan-tujuan yang ditetapkan
undang-undangsecara dwigend recht (hukum yang memaksa)2

Total wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan


sekitar 20.754 hektar. Dampak perampasan wilayah adat ini, telah
menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat baik secara ekonomi, sosial,
budaya, dan ekologi. Sebelum ada PT TPL, masyarakat di kawasan
Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah.
Saat ini, sumber pencaharian ini terus mengalami penurunan. Negara
dalam kasus ini yang diwakilkan oleh Menteri Lingkungan Hidup justru
memperluas area kerja dengan memberikan izin kepada PT TPL melalui
SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 ha dan tersebar di
kampung-kampung mereka yang berlokasi di 12 kabupaten dengan
batasan yang tidak jelas.

Kami mencatat adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT TPL


yaitu melakukan perbuatan illegal berupa perampasan hutan adat dan
tindak kekerasan kepada masyarakat Tano Batak melalui perluasan area
lahan untuk ditanami eucalyptus sebagai bahan baku dari pembuatan
bubur kertas. Berikut pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT TPL;

2
Philipus Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia, Jogyakarta,
1994: Gadjahmada Press, hal. 26.
Pertama, pelanggaran yang dilakukan oleh PT TPL melanggar Permen
LHK 21/2019 pasal 16 telah menegaskan hak dan kewajiban dari
pemangku hutan adat yaitu:
Pasal 16
(1) Hak pemangku Hutan Adat dan Hutan Hak meliputi:
a. mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan
pencemaran lingkungan;
b. mengelola dan memanfaatkan hutan adat sesuai dengan
kearifan lokal;
c. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan tradisional
dalam pemanfaatan sumber daya genetik yang ada di dalam
hutan adat;
d. mendapat perlindungan dan pemberdayaan terhadap
kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan hutan
adat;
e. memanfaatkan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan
jasa lingkungan sesuai dengan fungsi hutan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
f. memperoleh dokumen legalitas kayu.
(2) Kewajiban pemangku Hutan Adat dan Hutan Hak:
a) meliputi:mempertahankan fungsi hutan adat;
b) menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari;
c) memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan; dan
d) pengamanan dan perlindungan terhadap hutan adat, antara
lain perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan.
Pasal 16 diatas menjamin hak atas perlindungan dari gangguan
kerusakan hutan adat yang disebabkan oleh pihak selain masyarakat
adat. PT TPL melanggar pasal tersebut maka sanksi pidana yang
mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan., perbuatan
perusahaan yang membabat hutan adat tanpa izin, dapat dipidana penjara
paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar, karena:
a) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak
sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;
b) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa
memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;
dan/atau
c) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak
sah.
Kedua, sejak 1987 sampai 2021 PT TPL melakukan kekerasan terhadap
warga sekitar dan warga adat Tano Batak. Kekerasan bahkan sampai
menimbulkan luka ringan, luka berat bahkan kematian,dan penjara yang
seharusnya secara hukum dapat dikenakan Pasal 351 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana);
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4.500,–.
2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun. (K.U.H.P 90).
3. Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun. (K.U.H.P. 338).
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang
dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum
(K.U.H.P. 37, 53, 184 s, 353 s, 356, 487).

Ketiga, pemerintah tidak hadir untuk menjadi katalisator hukum dan


membiarkan kebebasan demokrasi masyarakat Tano Batak dirampas PT
TPL , artinya penyelenggaraan pemerintah baik dalam arti tindakan atau
perilaku para stakeholder dalam menjalankan pemerintahan (government)
berlandaskan pada etika atau moral tidak dijalankan dengan baik 3. Sejalan
dengan pendapat Robert C. Salomon, yang mengartikan “etika” adalah
merupakan bagian dari filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang
yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam
hidup4. Demokrasi dikungkung, kebesan dikebiri, kekerasan dilakukan
oleh PT TPL dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai pencasila dan
demokrasi.
Kesimpulan

Kami menyimpulkan bahwa terdapat cukup alasan dan dasar hukum


untuk melaporkan aktivitas yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari
(TPL) sejak 1987 sampai sekarang tahun 2021 kepada Masyarakat adat
Tano Batak atas kasus kekerasan, kriminalisasi, diskriminasi, perampasan
hutan adat, dan pencemaran lingkungan yang termasuk dalam kategori
pelanggaran HAM.
PT Toba Pulp Lestari digugat dkarena melanggar (1). Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, tentang Hutan Adat adalah Hutan yang
berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara, (2). Permen LHK
P.21/menlhk/setjen/kum.1/4/2019 tentang Hutan Adat Dan Hutan Hak, (3).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan. Dan (4). Pasal 351 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) oleh karena atas konflik yang berlanjut
selama 30 tahun, masyarakat Tano Batak memintas kepada Presiden
untuk mencabut izin dan melarang PT TPL beroperasi di wilayah
masyarakat adat.

3
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, (2008)
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hal.141-142.
4
Robert C. Salomon dan Ando Karo-Karo, Etika Suatu Pengantar,(1987) Jakarta:
Erlangga, hal.2
Sumber Referensi

Philipus Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia,


Jogyakarta, 1994: Gadjahmada Press, hal. 26.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,


Depok,2018, Hlm.140.

Robert C. Salomon dan Ando Karo-Karo, Etika Suatu Pengantar,(1987)


Jakarta: Erlangga, hal.2

Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, (2008)


Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hal.141-142.

https://business-law.binus.ac.id/2020/05/04/latihan-penulisan-legal-
opinion/ diakses pada 26 November 2021

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f48f57a576b0/jerat-
pidana-perusahaan-pembabat-hutan-adat/ diakses pada 26
November 2021

https://betahita.id/news/detail/6261/kehadiran-pt-tpl-di-tano-batak-
menyeret-banyak-permasalahan.html.html diakses pada 26
November 2021

https://yuridis.id/pasal-351-kuhp-kitab-undang-undang-hukum-pidana/
diakses pada 26 November 2021

Anda mungkin juga menyukai