Anda di halaman 1dari 15

POTRET KAWASAN HUTAN MENTAWAI

Oleh: Pinda
Simanjuntak
Staf Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM)

Sejak Tahun 1970_an, sebelum Kabupaten Kepulauan Mentawai defenitif (masih wilayah
administrasi kabupaten padang pariaman), regulasi dari kementerian kehutanan tentang
penunjukan kawasan hutan sudah berlangsung sejak tahun 1972. Regulasi tersebut
berdampak pada struktur dan pola ruang Kepulauan Mentawai saat ini.

Melihat kawasan hutan yang ada di wilayah Kab. Kepulauan Mentawai seluas ± 491.935,29
Ha atau sekitar 82 % dari luas wilayah, sedangkan 109,199,71 Ha (18 %) adalah kawasan
Area Penggunaan Lain (APL) dimana sebagian besar pemukiman penduduk berada
disekitar dan di dalam kawasan hutan dengan lokasi yang terpencar-pencar pada 4 (empat)
pulau utama. Hal ini sangatlah mempengaruhi kelestarian hutan itu sendiri karena tingginya
ketergantungan mata pencaharian dan kehidupan masyarakat terhadap keberadaan hutan,
disisi lain Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas belum mampu melakukan
pemberdayaan masyarakat secara langsung.

Keberadaan fungsi kawasan hutan lebih banyak hanya diakui dan dipahami oleh aparatur
pemerintahan, sementara ditengah-tengah masyarakat kurang begitu dipahami dan diakui
adanya penunjukan kawasan hutan karena kuatnya klaim pengakuan kepemilikan lahan
ulayat yang dikuasai masyarakat secara turun-temurun dalam bentuk tanah ulayat suku.
Hal ini wajar saja terjadi karena dilihat dari sejarahnya sejak zaman belanda memang tidak
pernah masyarakat mentawai menyerahkan tanahnya sebagai kawasan hutan
sebagaimana yang terjadi di daratan Pulau Sumatera (khususnya Sumatera Barat) yang
dikenal dengan adanya Solok Regheling, peta register dan adanya bukti bukti penyerahan
lahan/tanah dari ninik mamak kepada Pemerintahan Hindia Belanda sebagai hutan
larangan dan hutan simpanan.

Meski demikian, masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai selama ini mungkin banyak
yang tidak paham dan mengerti dengan adanya Hutan Suaka Alam, Hutan Lindung dan
Hutan Produksi yang ditetapkan pemerintah. Mereka hanya paham bahwa mereka tinggal
dan berladang atau bercocok tanam di tanah ulayat yang mereka peroleh dan kuasai secara
turun temurun dari nenek moyangnya dan kepemilikan tanah-tanah ulayat suku tersebut
diakui oleh masing-masing suku yang ada. Inilah yang menjadi tantangan bagaimana kita
bersama pemerintah dapat mensinergikan antara pengakuan kepemilikan ulayat
masyarakat ditengah-tengah masyarakat dengan kebijakan penunjukan fungsi kawasan
hutan.

Meskipun penunjukan kawasan hutan disusun berdasarkan hasil penelitian tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kepulauan
Mentawai, hal ini diyakini belum ada batas-batas garis yang jelas, sehingga telah
mempersempit ruang kelola APL (Area Penggunaan Lain) untuk pemukiman, perladangan,
ternak dan lain sebagainya demi keberlanjutan ekenomi penduduk setempat

Politik dan kebijakan kehutanan di Indonesia bahkan di Mentawai sangat mengabaikan


eksistensi manusia beserta realita sosial yang ada. Realita masyarakat Mentawai yang
tinggal di kawasan hutan adalah salah satu kelompok marginal dari suku bangsa dimana
masyarakat Mentawai telah merasakan dampak dari marginalisasi negara terhadap sendi
perekonomian maupun sosial.
Sebelum disentralisasi 1969-1992, Kawasan Hutan Siberut sudah dieklpoistasi oleh 5 (lima)
Perusahan besar dengan total luas area konsesi ± 285.000 Ha. Setelah presiden R.I
Soeharto (Orde Baru) menandatangani kesepakatan siberut menjadi sebagai cagar alam
melalui penetapan kawasan Taman Nasional Siberut (1992) seluruh aktivitas perusahaan
yang beroperasi ditutup oleh presiden Soeharto.

Setelah hampir 10 tahun (1992) bebas dari ekploitasi dan pembalakan hutan besar-besaran
oleh perusahaan, tahun 2001 (Pasca Otoda) sebanyak 7 (tujuh) izin konsesi HPH dan IPK
diterbitkan lagi oleh pemerintah kabupaten Mentawai, seperti Koperasi Andalas Madani
(KAM) mendapat konsesi HPH di wilayah siberut. Kemudian izin konsesi HPH PT. Summa
Salaki Sejahtera (PT. SSS). Selanjutnya di Tiniti, Koperasi Purimanuaijat yang mendapat
IPK, Di Gurukna, KUD Muara Sikabaluan mendapat Izin IPK, Di Sirilogui PT. Alam Indah
Lestari Konsesi , diujung selatan Pulau Siberut terdapat koperasi KOSUM (Koperasi Serba
Usaha Murimaua) beroperasi di Katurei, Koperasi KOSTAM yang mengajukan perkebunan
kelapa di Taileleu untuk mendapatkan izin IPK (Dokumen YCMM).

Sementara di wilayah pagai utara dan pagai selatan terdapat 1 (satu) perusahaan HPH
yang masih beroperasi saat ini, yakni PT Minas Pagai Lumber dengan areal konsesi sejak
1972 yang diperpanjang pada 1995 seluas 83.330 hektar atau lebih dari setengah luasan
Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan yang hanya mencapai 121.171, 32 Hektar.
Kemudian di wilayah Sipora HPH Bahara Union seluas 35.000 hektar. Perpanjangan Izin
perusahan Bhara Union belum diberikan oleh kementerian kehutanan hingga saat ini.

Tabel Konsesi Hutan di Siberut Sebelum dan Setelah Disentralisasi


LUAS JENIS
NO NAMA PERUSAHAAN MULAI BERAKHIR
(HA) KONSE
SI
1 PT. Cahaya Pharmin 35.000 HPH 1969 Tidak Diketahui
Siberut
2 PT. Cirebon Agung 70.000 HPH 1970 1992
3 PT. Kayu Siberut Inkappa 110.000 HPH 1973 1992
4 PT. Sumber Jaya Indah 70.000 HPH 1977 1992
5 PT. Sumber Surya Tidak HPH 1987 1992
Semesta Diketahui
6 Koperasi Andalas Madani 45.650 HPH 2001 2046
7 KUD Sikabaluan 1.000 IPK 2003 2006
8 KUD Sikabaluan (IPK 1.664 IPK 2003 2007
Jalan)
9 KSU Taileleu Mandiri 1.000 IPK 2003 2006
10 KSU Purimanuaijat 700 IPK 2003 2005
11 PT. Alam Indah Lestari 1.000 IPK 2004 2007
12 KSU Mitra Sakato 1.800 IPK 2004 2007
13 PT. Suma Salaki Sejahtera 48.440 HPH 2008 2052
Sumber: Tesis Frans Siahaan 2012

Dapat disimpulkan, melalu Kebijakan masa lalu yang memberikan hak pengusaan hutan
(HPH/IPK) pada perusahaan-perusahaan kayu di Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara dan
Pagai Selatan serta Pulau Sipora telah menimbulkan perubahan tutupan lahan yang
signifikan, selain itu kebijakan kehutanan di Mentawai menjadi sebuah proses “pemiskinan
sistematis”
Berdasarkan paparan di atas, Mentawai butuh ruang kelola untuk program-program
pembangunan khususnya Trans Mentawai. Selain itu model-model pengelolaan kawasan
hutan adat berdasarkan Putusan MK. 35/PUU-X/2012 dimana Hutan Adat bukan Hutan
Negara perlu disosialisaikan segera kepada masyarakat Mentawai, kemudian DPRD
Mentawai segeralah membahas draf perda pengakukuan masyarakat hukum adat yang
sudah disusun oleh Pemerintah melalui Bappeda Mentawai, dengan demikian proses
penurunan status fungsi kawasan hutan di Mentawai akan berlangsung melalui sebuah
kemauan politik semua pemangku kepentingan Mentawai.

HUTAN DI MATA MASYARAKAT MENTAWAI

Pulau Siberut, k epulauan Mentawai, Propins i Sum atera Barat. terletak sebelah tim ur di
lepas pantai datar an Sum atera

Pulau Siberut termasuk dalam Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat
bersama dengan 3 pulau besar lainnya, yaitu Pulau Pagai Utara dan Selatan serta Pulau
Sipora. Kabupaten Kepulauan Mantawai berpenduduk sekitar 60.000 jiwa yang tersebar di 10
kecamatan. Pulau Siberut sendiri terdiri dari 5 kecamatan: Siberut Utara, Siberut Selatan,
Siberut Barat, Siberut Barat Daya dan Siberut Tengah, dengan 18 desa tercatat tersebar
didalamnya. Jumlah penduduk Siberut diperkirakan sekitar 28000 jiwa, sebagian besar
berasal dari suku Mentawai dan lainnya dari suku Minangkabau serta pedatang yang telah
lama tinggal di Siberut. Jarak dari pantai Sumatera Barat dari titik Teluk Bayur adalah 168
km atau kurang lebih 12 jam perjalanan laut.

Penduduk asli Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah masyarakat adat Mentawai, yang
dianggap berakar dari Austronesia dan diperkirakan datang ke Pulau Siberut sekitar 3000
tahun yang lalu. Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku
disebut ’uma’. Mereka tinggal dalam rumah besar yang juga disebut uma yang berada di
tanah-tanah suku. Uma dihuni oleh 2 sampai 8 keluarga inti yang mempunyai garis keturunan
patrilinial. Setiap uma dipimpin oleh seorang laki-laki senior yang disebut rimata dan dibantu
oleh satu atau dua orang sikerei (dukun). Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan,
egalitarian dan otonom secara politik. Setiap anggota dewasa dalam uma memiliki kedudukan
yang sama kecuali sikerei yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan
penyakit dan memimpin upacara keagamaan.

Penduduk asli Siberut menganut kebudayaan Neolitikum dan mempunyai kepercayaan


animisme yang banyak mengaitkan alam dengan berbagai tradisinya. Hutan, tumbuhan dan
satwa dianggap mempunyai jiwa dan mengisi berbagai upacara adatnya dan kehidupan
sehari-harinya. Secara tradisional, masyarakat adat Mentawai menanam sagu, memelihara
babi dan anjing serta mengumpulkan rotan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain
bertani sagu, keterkaitan dengan hutan diperlihatkan masyarakat adat Mentawai dengan
budaya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dilakukan oleh kaum pria.

Sedangkan kaum wanitanya melakukan penangkapan ikan, serta kebiasaan menggunakan


tanaman obat dalam upaya pengobatan tradisional. Ini memperlihatnya pentingnya hutan bagi
seluruh penghuni Siberut dan pentingnya diupayakan pengelolaan hutan lestari.
Nilai-nilai dari Ekosostem Hutan Tropis terhadap Kelangsungan Budaya Masyarakat
mentawai, dipandang dari sisi Sikerei maupun Simatak adalah :
• Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan para Sikerei, untuk
melakukan ritual dan pengobatan bagi orang sakit. Artinya semakin dekat Hutan dengan
tempat tinggal masyarakat, semakin mudah dan cepat dilakukannya pengobatan tradisional,
sehingga si penderita sakit, baik badan maupun jiwanya, bisa segera disembuhkan.
• Hutan akan menjadi kekuatan roh bagi sikerei dalam bermain dengan roh, untuk ritual dan
pengobatan yang dilakukannya.
• Tanpa ada hutan Sikerei tidak akan mampu menunjukkan keagungannya, karena Hutan
adalah bagian dari kekuatan kerei, dalam menambah tingkatan pengalaman dan
kesenioritasannya.
• Hutan merupakan aspek terpenting dalam melakukan pengobatan tradisional yang
dilakukan oleh Sikerei maupun Simatak (simatak adalah orang /Penyembuh tradisional yang
bukan sikerei). Pengertian Simatak adalah Mentah, yang berarti daun-daunan yang segar dan
hijau, serta berada di tengah-tengah hutan yang dijadikan obat oleh penyembut tradisional
yang bukan sikerei.

Namun, kini semakin banyak masyarakat di Siberut yang terpecah-pecah. Beberapa tertarik
dengan keuntungan cepat yang diperoleh dari penebangan pohon atau perkebunan sawit,
sejalan dengan masyarakat Mentawai yang kini masuk ke dalam ekonomi uang tunai.

Sementara yang lainnya yakin kalau masa depan mereka terletak pada pengolahan hutan
yang berdasarkan pada pengetahuan dan praktek adat. Jika hutan mereka hilang, begitu
jugalah kebudayaan unik dan sistem keyakinan para penduduk pulau. Masyarakat Siberut
menjadikan sungai sebagai sarana transportasi antar wilayah. Terdapat 28 batang sungai
yang bermuara di pantai timur maupun barat Siberut, yang diantaranya cukup besar untuk
dilayari sampai ke hulu. Potensi pengembangan sumber air tawar di Pulau Siberut lebih besar
dibandingkan dengan 3 pulau lainnya. Pulau Siberut memiliki curah hujan cukup tinggi, 3.320
mm per tahun sehingga tutupan vegetasi terutama hutan menjadi sangat vital untuk menahan
erosi tanah.

Masyarakat asli Mentawai di Siberut terdiri dari berbagai suku yang memiliki bahasa dan adat
istiadat yang berbeda. Sedikitnya ada 15 bahasa berbeda yang digunakan di Siberut. Desa
Sagulubek, Saibi Samukop, Madobag, Matotonan, Taileleu dan Saliguma cenderung memiliki
latar belakang bahasa dan adat istiadat yang sama, sehingga secara tidak langsung juga
mendasari cara berpikir masyarakat di 6 desa tersebut yang juga cenderung sama. Proyek
TFCA-Sumatera dijalankan di desa-desa ini yang memiliki kesamaan bahasa, adat istiadat
dan cara berpikir. Dengan demikian pengelolaan wilayah melalui sinergi antara masyarakat,
pemerintah dan pihak lainnya, menuju ekosistem Siberut lestari, dapat tercapai dengan lebih
efektif dan efisien.
Betapa Hutan Begitu Penting bagi Orang Mentawai (Bagian 1)

Toggilat Sabulukungan dan Stefanus Satoutou, bergantian mengucap mantra sambil


menghadap ke sebuah pohon durian tumbang. Dua lelaki Mentawai ini menyiapkan beberapa
helai dedaunan yang dipetik di tengah perjalanan. Mereka masukkan dalam batang bambu.

Toggilat mendekati pohon tumbang sambil berbicara dalam bahasa Mentawai. Volume suara
cukup keras seolah sedang berbicara menyampaikan kabar kepada pohon itu. Tangan lelaki
70-an tahun yang biasa disapa teteu (kakek) ini terlihat memegang secarik kain kecil
berwarna kuning.

Dia terus berucap sambil menghadap ke akar pohon yang terjungkit ke luar. Secarik kain dia
taruh di ujung akar, dan mengambil daun tadi lalu diusapkan ke batang pohon sembari terus
mengucapkan mantra.

Setelah itu, giliran Stefanus bergerak. Dia mengambil bambu berisi dedaunan kemudian
memutari pohon. Kalimat-kalimat mantra terus terucap. Terakhir dia memercikkan air dalam
bambu ke akar hingga batang pohon dan ke rombongan yang ikut ke lokasi itu. Sepercik air
terasa membasahi kulit kepala saya.

Dua orang tetua adat Suku Sabulukungan dan Satotou ini baru saja melakukan Pasinenei
mone, ritual meminta maaf kepada pohon kirekat karena tergusur untuk pembukaan jalan
transmentawai.

Dalam kepercayaan Mentawai (arat Sabulungan) setiap makhluk hidup punya jiwa atau roh,
terlebih yang terpilih sebagai kirekat.

Kirekat adalah tanda kenangan terhadap orang yang meninggal, bentuk berupa ukiran
cetakan telapak kaki dan tangan dari orang yang meninggal di batang (pohon) durian di
tengah hutan.

Kirekat dibuat dengan menggambar langsung dari telapak kaki atau telapak tangan orang
yang meninggal ke pelepah batang sagu. Pelepah batang sagu diiris sesuai gambar dan jadi
cetakan untuk ditorehkan pada batang durian.

Guratan begitu halus mengikuti alur garis telapak kaki dan tangan manusia. Di pohon durian
yang jadi kirekat di depan kami itu, selain ukiran telapak kaki juga buat penanda untuk postur
tubuh dengan menandai pohon berupa lubang kecil untuk posisi lutut, pinggang, bahu dan
kepala.

Biasanya, pohon durian untuk mengukir kirekat harus dari jenis paling baik. Pohon besar,
buah lebat dan rasa enak. Pohon kirekat tak boleh ditebang atau jadi “alak toga” atau mas
kawin untuk perempuan. Sebagai penanda, persis di sebelah pohon kirekat ditanam bunga
surak. Bunga ini berpagar, berarti semua orang tahu kalau ada kirekat.

“Ini kirekat abang dan anak saya, jika rindu dengan mereka saya akan mendatangi pohon ini,”
kata Toggilat usai ritual pasinenei mone pada pohon kirekat di Bad Mara, perbatasan Dusun
Gotap, Desa Saliguma, Siberut Tengah dengan Desa Muntei, Siberut Selatan, akhir
November lalu.

Sebuah pohon durian yang jadi kirekat. Kirekat adalah tanda kenangan terhadap orang yang
meninggal, bentuknya berupa ukiran cetakan telapak kaki dan tangan dari orang yang telah
meninggal di batang pohon durian di tengah hutan. Pohon yang dipilih menjadi kirekat ini tidak
boleh ditebang.
Kesedihan si teteu bukan tanpa sebab. Pohon durian kirekat keluarga ini tumbang bikin dia
amat terpukul. Tak ada lagi monumen atau kenangan dari keluarga yang meninggal.

Tak hanya teteu, keluarga besar dari Suku Sabulukungan juga merasakan kesedihan
mendalam. Bagi mereka, pohon kirekat merupakan salah satu lambang kehormatan, harkat
dan martabat anggota uma (suku).

“Kirekat ini berpuluh-puluh tahun kami rawat, ada rumput di sekitarnya, dibersihkan, jika ada
kayu-kayu atau ranting jatuh juga kami bersihkan. Kami sangat menghargai dan menjaga
pohon ini,” katanya.

Heronimus Sabulukungan, Kepala Dusun Puro II yang ikut rombongan mengatakan,


penggusuran kirekat di Jalan Transmentawai sekitar pertengahan November. Toggilat saat itu
tengah di ladang mendengar eksavator bekerja. Kala dilihat, ternyata pohon kirekat sudah
tumbang.

Atas penggusuran sepihak ini, Suku Sabulukungan menjatuhkan tulou (denda) kepada
kontraktor penggusur.

“Kami minta kepada Pemkab Mentawai meninjau dan melihat langsung kirekat yang tumbang.
Bagi kami, kirekat ini suatu kebudayaan sakral dan tak bisa dimainkan,” katanya.

Dia bilang, jangankan menebang atau menggusur pohon, mematahkan bunga yang mereka
tanam di pinggir saja akan dapat sanksi adat. “Kalau ada yang mematahkan atau merusak
akan didenda adat, apalagi orang luar yang melakukannya,” kata Heronimus.

Aturan adat ini, katanya, sudah berlaku sejak nenek moyang mereka. “Kalau dulu, jika ada
menebang kirekat akan terjadi peperangan antar suku, karena menurut kepercayaan
Mentawai, kirekat itu seolah-olah ada orang yang berdiri disitu.”

“Penebangan ini diibaratkan orang yang sedang berdiri lalu tiba-tiba dibacok. Seandainya ada
kami disitu, mungkin akan langsung kami panah orang itu,” katanya.

Atas kasus ini, pemkab lakukan mediasi. Kontraktor sudah bayar denda. “Mereka memberikan
uang tulou Rp2 juta. Uang itu kami pakai untuk ritual adat termasuk membeli beberapa babi
yang daging dibagi-bagikan kepada anggota suku.”

Hutan, bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Mentawai seperti para Sikerei.
Ritual pasinenei mone, hanya salah satu ritual Mentawai yang berkaitan erat dengan alam.

Bagi mereka, hutan tak sekadar tempat menyambung hidup seperti mencari rotan, berladang
dan berburu. Lebih dari itu, hutan dalam kepercayaan tradisional Mentawai juga tempat
tinggal roh-roh leluhur yang turut menjaga segala jenis tumbuh-tumbuhan obat yang sangat
berguna bagi hidup manusia.

Hutan juga untuk ritual dan pengobatan bagi orang sakit. Aturan-aturan adat dan kepercayaan
tradisional dalam pengelolaan hutan terlihat jelas dalam kegiatan-kegiatan penting uma.

Khawatir masuk HTI

Kini hutan mereka terancam perkebunan kayu atau hutan tanaman industri yang bakal masuk.
Masyarakat Mentawai menolak rencana HTI milik PT. Biomass Andalan Energi, yang peroleh
izin 20.030 hektar di Pulau Siberut.
“Sapru leleu sappru engatta (kalau hutan kita habis, habislah kehidupan kita),” kata Bruno
Tatebburuk, tetua Suku Sabulukungan.

Menurut dia, tanah klaiman HTI antara lain merupakan wilayah adat mereka yang
membentang dari Desa Saliguma hingga Saibi, Siberut Tengah.

Di tanah leluhur itu, terdapat goa sangat bersejarah bagi Suku Sabulukungan, yakni Goa
Sipukpuk. Menurut cerita orang tua mereka, Goa Sipukpuk merupakan jelmaan uma, tempat
menyagu dan tempat ayam leluhur yang tersambar petir dan jadi batu karena
mempermainkan anjing.

Seluruh anggota Sabulukkungan dalam uma juga ikut jadi batu. Uma yang jadi batu
dinamakan Goa Sipukpuk.

Andai nanti akhirnya tak bisa mempertahankan tanah ulayat dari ekspansi HTI, Goa Sipukpuk,
akan mereka pertahankan hingga titik darah penghabisan.

“Tak ada cara lain, jika Sipukpuk dirusak HTI, kami bersedia berperang,” katanya.

Bagi Suku Sabulukkungan, merusak Goa Sipukpuk sama dengan menabuh genderang
perang.

Selama ini, katanya, warga tak pernah dilibatkan dalam pembahasan HTI meski wilayah
masuk konsesi. Warga baru tahu ketika mahasiswa Mentawai membicarakan itu pada
mereka.

“Kami tak pernah dilibatkan. Kenapa tiba-tiba tanah kamimasuk? Ini tak bisa diterima.”

Tabib Mentawai Boroi Ogok dan Pangarita Sabaggalet juga gusar. Eksploitasi hutan oleh
perusahaan, kata mereka, akan menghabisi tanaman obat tradisional. “Kehadiran perusahaan
kayu maupun HTI akan menyusahkan kami menjalankan ritual sebagai Sikerei,” katanya.

Orang Mentawai di Dusun Puro, Siberut Selatan sedang mencari daun-daun obat untuk
pengobatan dan ritual

Pangarita mengatakan, banyak ramuan obat tersimpan di hutan. Jenis tanaman biasa mereka
ambil lebih subur tumbuh di hutan dan lebih berdaya magis daripada di pekarangan rumah.
Beberapa tumbuhan obat atau daun bebetei, katanya, tak bisa hidup di pekarangan rumah
karena memerlukan lingkungan lebih sejuk.

Kalau HTI masuk, akan melenyapkan tanaman yang mereka perlukan, seperti pengalaman
saat HPH merajalela di Siberut dekade 1970-an.

Obat-obatan mereka merupakan racikan beragam tanaman. Kalau salah satu racikan
tumbuhan kurang, katanya, sama saja tak ada guna. Jadi, katanya, berapapun jauh tempat
mencari obat di hutan, para Sikerei akan menjelajah hutan sampai memperoleh daun yang
diperlukan.

Boroi juga bilang, tempat baik tumbuhan obat di hutan. Setiap mereka mengambil tumbuhan
obat, katanya, selalu mengajak roh penjaga membantu mengobati atau menjalankan ritual.

Kekuatan obat, kata Boroi, bukan hanya karena daun, namun daya magis dan mantra saat
memetik maupun menggunakan.
Otomatis kalau hutan rusak mereka akan kesusahan. “Kami susah karena tanaman akan
payah didapat juga tak mabajou (daya penyembuh hilang).”

Serupa dikatakan Teu Lakka Tatebburuk. Selain untuk bahan obat-obatan, hutan juga
penyedia kayu untuk membangun uma. Hutan bagi kehidupan mereka, katanya, sangat
penting.

“Kami membuat uma kayu diambil dari hutan, mengambil daun bebetei (pengusir roh jahat)
juga dari hutan, itulah fungsi hutan bagi kami.”

Sebagai bentuk rasa hormat atas roh penguasa hutan, katanya, tiap kali menebang kayu
besar di hutan diawali ritual panangga. Panangga merupakan ritual meminta izin kepada
penguasa hutan atas pemakaian kayu milik ‘mereka’.

Saat ritual panangga mempersembahkan secarik kain, rokok dan barang-barang lain sebagai
bukti mereka memberi mahar kepada penguasa hutan.

Ritual panangga juga kerap dilakukan saat mereka membuka ladang atau membuka tempat
pemeliharaan ternak seperti babi dan ayam. “Kepada roh penguasa mereka meminta berkat
agar dijauhkan dari malapetaka dan hasil panen melimpah.”

Orang Mentawai, katanya, tak sembarangan memperlakukan hutan karena roh penguasa bisa
mengamuk dan memberikan penyakit kepada pembuat onar atau perusak hutan.

Kala Hutan Mentawai Terus Jadi Incaran Pemodal (Bagian 2)

Pada Maret 1981, saat pemerintah sibuk merelokasi masyarakat adat, dan tentara membakari
budaya sikerei, Gubernur Sumatera Barat, Azwar Anas dalam sebuah pidato berkata, jika
sejak awal tahun pembangunan lima tahun (Pelita) pertama, hutan di Kepulauan Mentawai
sebagai hutan produksi. Ia akan menghasilkan devisa dan sumber pendapatan negara.

Meskipun begitu, eksploitasi hutan Mentawai telah mulai satu dekade sebelumnya. Pada
1971, pemerintah mengeluarkan izin HPH pada enam perusahaan besar: PT.Cirebon Agung,
PT Jaya Sumber Indah, PT CPPS, PT Bhara Union, CV Minas Lumber Corporation, dan PT
Kayu Siberut.

Masuknya perusahaan ke Mentawai mengundang masalah, konflik muncul antara perusahaan


dan masyarakat adat. Pada 2 Maret 1997, lebih 200 warga Desa Betumonga, marah dan
mengeroyok camat, kapolsek dan anggota Koramil Pagai Utara Selatan, serta manajer
lapangan PT Fajar Mentawai Sakato—anak perusahaan Mudan Sakti Grup. Mereka dipukuli,
ditendang ke sana-kemari. Keributan terjadi saat perusahaan yang menebang kayu tanpa izin
itu diminta berhenti, tetapi tak menggubris.

Dalam laporan Yayasan Citra Mandiri, yang dibukukan dengan judul “Yang terus di garis
lurus” bercerita bagaimana orang Mentawai berulang kali menolak perusahaan yang ingin
mengeksploitasi hutan mereka.

Kurun 1996-2012, belasan kali masyarakat adat Mentawai melawan untuk tujuh rencana
penguasaan hutan oleh perusahaan.

Pada pertengahan November 1996, Selester Saguruwjuw, Kepala Desa Madobag


menunjukkan sebuah dokumen yang lama membuat warga Rogdok resah.
Dokumen berisi penyerahan lahan dari empat suku: Samalelet, Sukulok, Sarogdok dan
Saluluni, seluas 360 hektar pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Sumbar untuk proyek
PKMT Rogdok, Siberut Selatan. Dokumen itu ditandatangani 14 Januari 1992 oleh Rokdak,
wakil Suku Samalelet, Benediktus Suku Sakulok, Malaikat dari Suku Sarogdok dan Albertus
wakil Suku Saluluni.

Dokumen yang tak sengaja ditemukan di kantor sementara Depsos itu menyulut amarah 11
suku lain. Sementara perwakilan keempat suku merasa hanya menyerahkan 36 hektar untuk
lokasi 56 rumah. Selester dituduh menjual tanah pada pemerintah, tetapi dia merasa tak
bersalah.

Masyarakat menuntut ke pengadilan, lantaran tandatangan dan cap jempol empat orang
perwakilan suku di Madobag dipalsukan. Buktinya, dua orang di antara mereka tak bisa baca
tulis.

Upaya jalur hukum justru ditentang Camat Siberut Selatan, Khaidir. Dia mempermasalahkan
mengapa persoalan tanah sampai ke pengadilan. “Saya katakan bukan tanda tangan saya di
surat itu,” kata Malaikat dan langsung kepalanya ditempeleng Khaidir.

Sidang di pengadilan berlanjut sembilan kali, namun masalah ini akhirnya diselesaikan damai.
Tanah 360 hektar diserahkan kembali pada 15 suku pemilik.

***

Pada perayaan Natal akhir Desember 1996, di Gereja Katolik Stasi Desa Sabili, Siberut
Tengah, berlangsung pertunjukan teater yang menceritakan kehidupan warga porak-poranda
karena perkebunan sawit. Cerita tak selesai. Jemaah gereja ribut dan saling tuding ada yang
terima suap.

Teater dilakoni aktivis Yayasan Cinta Mandiri (YCM) dan Walhi Sumatera Barat ini menolak
perkebunan sawit masuk di Siberut. Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin mengeluarkan dua
izin prinsip perkebunan sawit di Siberut Selatan dan Utara seluas 70.000 hektar, untuk PT
Maharani Puri Citra Lestari dan PT.Citramandiri Widyanusa.

Menurut Kortanius Sabeleake, aktivis YCM—belakangan jadi Wakil Bupati Mentawai 2017-
2022—mengatakan, kedua perusahaan ini milik Siti Hediati Soeharto.

Pada Agustus 1997, kedua perusahaan mulai pembibitan di Peipei dan Katurei. Penolakan
terus belanjut, aktivis YCM dan Walhi melawan lewat kesenian teater. Pasca pertunjukan
teater, muncul penolakan masyarakat dan gereja. Akhirnya, pemerintah menghentikan izin
prinsip kedua perusahaan ini.

Sebelum itu, 13 Mei 1997, saat pagi masih buta, 80 pria pakai belasan perahu mengarungi
Sungai Bosua, Sipora Selatan. Mereka meninggalkan Bosua menuju hulu, jauh ke pedalaman
di Pangareuruat.

Sebagian mereka menggenggam parang. Ada pula yang menyandang panah. Perahu berisi
orang-orang siap perang.

Sagu, salah satu sumber pangan Orang Mentawai di Pulau Siberut. Foto: Rachmadi/ Mongabay
Indonesia
Rombongan yang dipimpin pendeta, kepala desa, dan tokoh masyarakat ini datang ke kamp
PT Bahara Union, perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 43.000
hektar di Sipora sejak 1971. Perusahaan milik Yayasan Polri ini sudah lama bikin masyarakat
resah. Perusahaan menebang kayu-kayu besar di hutan Pangareuruat—di luar izin HPH.

Awal Desember 1996, Bhara Union mau masuk Bosua, selama dua minggu perusahaan
membuat tapal batas. Pada 30 Januari 1997, perusahaan justru mengambil kayu di tanah
adat Bosua. Perusahaan mengklaim tanah adat masuk izin HPH. Warga protes. Menurut
mereka tanah adat itu sudah jadi hak mereka sejak lama.

Warga Bosua sempat menyandera Syarif Erijon, manajer lapangan Bhara Union dan tujuh
pegawai. “Kami pulang seperti pemburu yang baru mendapat buruan, disambut warga
kampung yang sudah cemas menunggu,” kata Rijel Samaloisa, aktivis YCM. Dia pernah jadi
Wakil Bupati Mentawai 2011-2016.

Pasca penyanderaan, Rijel jadi buronan polisi. Kamar kos di Jalan Enggang, Air Tawar,
Padang, digeledah dan diobrak-abrik. Karena tak ketemu, polisi menangkap lima tokoh
masyarakat Bosua, mereka disiksa, dipaksa menunjukkan persembunyian Rijel.

Bhara Union, jadi salah satu dari enam perusahaan yang mendapatkan izin HPH dari
Kementerian Kehutanan sejak hutan di Kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai hutan industri
pada 1971.

Data Dinas Kehutanan Sumbar 2001, jatah produksi tahunan Bhara Union mencapai 73.800
meter kubik. Pada 2005, Menteri Kehutanan tak lagi mengeluarkan rencana kerja tahunan
perusahaan Polri ini.

***

Namanya Parabatu. Ia dusun di Desa Makalo, Pagai Selatan, sekitar empat jam perjalanan
dengan perahu motor dari Sikakap. Tujuh suku di Parabatu hidup bergantung pada hutan.

Pada 1996, PT Minas Pagai Lumber Corporation (MPLC) menebang kayu di hutan mereka.
Suku di Parabatu tak tahu kalau 6.000 hutan adat mereka wilayah HPH MLPC. Warga marah
dan mengusir pegawai perusahaan.

Sampai Juni 1997, enam kali warga Parabatu mengusir pekerja MPLC. Warga sempat
menyandera manajer lapangan MPLC, Pardede dan dipukuli. Setelah itu, sembilan warga
ditahan polisi selamat lima hari. Mereka dipaksa menandatangi surat yang berisi setuju MPLC
menebang di hutan Parabatu.

MPL didirikan di Jakarta 4 November 1975. Sebelumnya perusahaan berbentuk CV. Pada 13
April 1971, Menteri Pertanian mengeluarkan surat keputusan HPH dan addendum SK pada 26
Desember 1976, dengan luas kelola 90.000 hektar. Ia terbagi 38.390 hektar di Pulau Pagai
Utara dan 51.610 hektar di Pagai Selatan.

Pada 11 Oktober 1995, Menteri Kehutanan memperpanjang izin HPH sampai 13 April 2013,
luas areal kerja 83.330 hektar, 60% saham MPL milik Titik Soeharto.
Pada 18 Juli 2013, MPL kembali mendapat perpanjangan izin HPH dari Kementerian
Kehutanan melalui seluas 78.000 hektar hingga 2056.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kepulauan Mentawai, Binsar Saleleubaja, MPL


mendapatkan izin rencana kerja tahunan untuk 14 petak seluas 1.500 hektar.

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), mengatakan, pada 2001,
empat tahun setelah keributan di Parabatu, warga Saibi marah.

Batista masih ingat, bagaimana dia dan masyarakat adat Mentawai melawan Koperasi
Andalas Madani (KAM) dan PT Sinar Minang Sejahtera dengan beringas.

Duapuluh satu Mei pagi, 100 laki-laki memegang parang dan kapak. Mereka menaiki empat
perahu motor bertenaga 40 PK memecah perairan Saibi di Siberut Selatan menuju Teluk
Subelen, Siberut Utara.

Masyarakat adat di Saibi, marah setelah mendapat kabar ponton milik KAM merapat
membawa 22 alat berat. Mereka dapat dukungan dari masyarakat adat di Rogdok, Maileppet
dan Puro.

Universitas Andalas di era Rektor Marlis Rahman mulai ‘main kayu’ setelah mendapatkan
lahan hibah dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan, lewat program Land Grant
Colleage (LGC) seluas 49.650 hektar di Pulau Siberut pada 1999.

Program LGC bertujuan agar Unand bisa memanfaatkan hutan untuk penelitian dan
pendidikan. Namun, Maret 2001 Menteri Kehutanan, Nur Mahmudi Ismail mengganti izin LGC
jadi hak penguasaan hutan alam, yang diterjemehkan pihak kampus sebagai izin HPH.

Untuk mengelola kawasan hutan, Unand membentuk KAM dan menggandeng PT Sinar
Minang Sejahtera (SMS) untuk penebangan kayu hutan.

Warga Saibi gusar. KAM dianggap ancaman serius. Di hutan Saibi ada wilayah sangat sakral,
Lulut Utek—hutan dari pembayaran denda untuk tebusan bagi anggota Suku Sanenek yang
dibunuh suku lain.

Tanah ini hanya bisa untuk menebus kasus sama, dan tidak bisa dipindahtangankan pada
orang lain.

Kemarahan warga Saibi meledak saat SMS tak mau menarik kembali semua alat berat.
Mereka ngamuk, membakar base camp dan merusak alat berat.

Situasi tak terkendali. Pegawai perusahaan lari pontang-panting menyelamatkan diri ke


Kampung Subelen. Petugas kapal ponton bergegas memutus tali ponton dan melarikan diri.

Rombongan Besman Saleleubaja, Kades Maileleppet dan Puro datang ke Saibi sekira pukul
12,00. Encu, operator perahu melihat asap hitam mengepul ke langit di Teluk Subelen.

“Kami cemas dan khawatir dengan nasib kawan-kawan dari Saibi,” katanya, seperti tertulis
dalam laporan YCM.

Sebagian dari rombongan menuju Subelen mencari kabar. “Ketika kami datang semua terlihat
bersemangat, mereka berlompatan ke dalam perahu bagaikan jatuh dari langit.”
Batista bilang, pembakaran itu tak akan terjadi kalau perusahaan mau menarik seluruh alat
berat. Mereka khawatir, KAM dan SMS akan mengambil hutan mereka. “Mengambil hutan
berarti merampas kehidupan kami,” katanya.

Markus bilang, anggota uma pernah melayangkan surat keberatan pada pemerintah, tetapi
diabaikan. “Seandainya mereka kabulkan permintaan kami, tidak terjadi kejadian itu,” katanya.

Pada 28 Desember 2005, Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan SK.5431/Menhut-


VI/BRPHP/2005 tentang persetujuan dan pengesahan rencana kerja lima tahun HPH atas
nama KAM untuk periode 2006-2010.

Rencana kerja pada 2006 ditetapkan seluas 945 hektar dan volume 40.362 meter kubik. Pada
2007, KAM resmi menutup operasional HPH di Siberut, sebelum izin HPH berakhir. Meskipun
begitu, hutan di Saibi dibiarkan gundul tanpa pemulihan—belakangan kawasan ini jadi izin HTI
PT. Biomass Andalan Energi.

WWF didukung UNESCO menerbitkan laporan berjudul Saving Siberut, yang menunjukkan
hutan di Sipora Utara dan Pagai Selatan, hancur karena penebangan perusahaan. WWF
meminta hutan Siberut jadi cagar biosfer.

Frans Siahaan dari YCM mengatakan, penebangan hutan di Siberut, merenggut hak-hak adat
masyarakat Siberut Utara, karena mereka bergantung hutan.

Menteri Kehutanan Muhammad Prakoso pada 2004, justru mengeluarkan izin HPH untuk PT
Salaki Summa Sejahtera (SSS) seluas 48.420 hektar di Siberut Utara. SSS adalah
metamorfosa PT Tjirebon Agung, sudah 22 tahun menguras kayu di hutan Mentawai lewat izin
HPH seluas 70.000 hektar pada 1970. Belakangan, 20.000 hektar wilayah jadi Taman
Nasional Siberut.

Putusan Prakoso banyak ditentang. YCM dan Walhi Sumbar mengirimkan surat penolakan
pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Walhi juga melayangkan gugatan perdata di PN
Padang, namun ditolak.

Sepulang dari Korea Selatan, Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, pernah mengumumkan
pemerintah akan mambuka hutan akasia mengium 70.000 hektar untuk perusahaan kertas
multinasional Kore Selatan, Morin Paper. Pembukaan HTI ini mendatangkan investasi
US$105 juta. HTI batal.

Dinas Kehutanan Sumbar menyebutkan IUPHHK-HA PT SSS seluas 47.605 hektar baru
berahir pada 2049.

Pada 2010, setahun di ujung masa jabatan periode kedua, Edison Saleleubaja sebagai Bupati
Kepulauan Mentawai, mengeluarkan izin pada empat perusahaan sawit: PT Swasti Siddi
Amgra, PT Rajawali Anugrah Sakti, PT Golden Plantation Pratama, PT Siberut Golden
Plantation Pratama, total 73.500 hektar.

November 2011, masyarakat Mentawai dan masyarakat sipil Sumbar mengeluarkan petisi
bahwa 29 kampung di Mentawai terancam jadi sawit. Sekitar 763 orang, 20 kepala suku dari
23 kampung, 15 organisasi mahasiswa, 102 organisasi peduli Mentawai, dan 130 akademisi
sepakat menolak sawit masuk Mentawai.

Anggota uma di Puro tak pernah tahu rencana pemerintah yang ingin menyawitkan hutan adat
mereka. Menurut Markus, masalah tanah dan hutan adat adalah hak mereka. Dia mengaku,
tak mengerti bagaimana tanah adat itu bisa ada izin sawit dan HTI.
“Tiba-tiba dapat kabar orang dari Padang, Jakarta dari mana-mana yang mengatakan ‘kami
(investor) sudah lihat peta tanah kalian, itu akan masuk perusahaan sawit,’ tentu kami
terkejut, kok tanah kami mau jadi sawit, terus kami mau hidup dari mana?” kata Markus.

Sekitar 2013-2014, keluarga Cendana juga gencar mencari tanah di Mentawai untuk izin
perkebunan sawit “Baru penjajakan, orang-orangnya Tomi Soeharto,” kata Rifai, Direktur
YCMM—sebelumnya bernama Yayasan Citra Mandiri.

Yudas Sabggalet dan Rijel Samaloisa yang memenangi pilkada pada 2011, kedua mantan
aktivis YCM itu sepakat menghentikan investasi sawit. Hal itu diperkuat dengan keluarnya
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah 2012-2032 pada April 2014, bahwa tak ada lagi ruang
untuk sawit, perkebunan hanya untuk coklat, cengkih, pala, kelapa dan gaharu.

“Kami lebih memikirkan generasi Mentawai mendatang, kami tidak bicara hari ini atau
beberapa tahun ke depan dengan keuntungan ekonomi, kami lebih memikirkan untuk
mewariskan sumber daya alam Mentawai yang berkesinambungan dan lingkungan yang baik
buat anak cucu kami,” kata Rijel, waktu itu.

Saya menghubungi Rifai, lebih dari 20 tahun YCMM mendampingi masyarakat adat Mentawai.
Tiga tahun terahir, YCMM juga didukung Kemitraan. Dia cerita, sejak perusahaan masuk
Mentawai pada 1970an, kayu hutan dikuras habis, hanya sedikit tersisa di Siberut. Saat itu,
banyak hutan kosong, ditinggalkan warga yang relokasi lewat program PKMT. Budaya
Mentawai juga hilang, dimusnahkan.

Rifai tak bisa memastikan jika semua keributan yang terjadi di Mentawai, satu dekade awal
masa Presiden Soeharto itu saling berkaitan. Namun tak menutup kemungkinan jika itu suatu
yang terencana. “Skenario ini sangat mungkin, tapi sulit dibuktikan.”

Pemerintah menebar ketakutan lewat kekuatan militer. Putusan Rapat Tiga Agama digunakan
untuk memaksa masyarakat adat meninggalkan Arat Sabulungan, agama kehidupan yang
menghubungkan mereka dengan Tuhan sekaligus alam lingkungan.

“Dengan dihabisi agamanya, hubungan dengan alam juga habis.”

Kembali memanas

Pada 2 Mei 2017, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengeluarkan izin prinsip untuk PT
Biomass Andalan Energi (BAE). Pemerintah Sumbar merestui biomasa menebang 20.030
hektar hutan di Siberut Tengah dan Utara, dan mengubah jadi perkebunan kaliandra.
Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno ikut mendukung dengan mengeluarkan izin lingkungan
seluas 19.876,59 hektar.

Warga menolak. Mahasiswa, LSM demo, dan 40 suku menentang. Rieke Diah Pitaloka—
penulis, artis, cum anggota DPR RI dari PDIP—turun ke Siberut, mendukung penolakan.
Pemerintah Mentawai juga ikut menolak.

Kortanius Sabeleake, Wakil Bupati Mentawai mengatakan Pemerintah Mentawai konsisten


menolak HTI.

“Tanah di Mentawai tanah ulayat, tanah kaum, itu pengikat keluarga Mentawai dan sumber
hidup bagi seluruh turunannya. Bila jadi HGU (hak guna usaha-red), otomatis status tanah
ulayat hilang,” katanya lewat pesan elektronik.
Menurut dia, sudah puluhan perusahaan membabat kayu di hutan Mentawai lewat izin HPH,
namun tak juga masyarakat sejahtera. Kehadiran perusahaan kayu, katanya, justru memicu
timbul konflik suku.

Para tetua Suku Saunene’, Sabulukkungan, Satoutou, Saguruk, Sabaggalet, Satoko dan 34
suku lain, mengganggap BAE masuk ke Siberut, sebagai ancaman bagi hutan adat mereka.

Saya mengunjungi Suku Sabulukkunggan di Uma Puro, Desa Muntei, Muara Siberut. Di sana,
ada beberapa suku hidup satu perkampungan, Suku Sabulukkungan masih satu klan dengan
Tatebburuk.

Tetua suku di Puro marah!

Saya tanya, jika HTI diizinkan apa yang akan terjadi?

“Perang!”

“Akan ada tumbal, karena itu tanah adat kami,” kata Markus, tanpa ragu.

“Kami tak mau hutan kami diperlakukan seenaknya, karena kami tak bisa hidup tanpa hutan.”

Damien, pembina besar Suku Sabulukungan mengatakan kedatangan perusahaan akan


memicu amarah bagi masyarakat adat Mentawai. Sebelumnya, ada kesepakatan bahwa
semua perusahaan ke wilayah adat harus seizin mereka.

Mereka merasa, merekalah yang berhak menentukan bagaimana pengelolaan untuk wilayah
hutan adat.

“Kamilah yang menentukan bagaimana pengelolaan, bukan mereka (pemerintah)yang


menentukan. Karena kami yang tahu persis buat apa hutan itu untuk kehidupan kami. Mereka
kan tidak tahu itu buat kami, yang tahu arti hutan buat kami hanyalah kami. Jadi ketika ada
investor atau program-program apapun, harus kami yang diajak bicara,” kata Daniel
Tonggilak.

Tetua Adat Uma Sabulukkungan ini bilang, anggota uma telah meminta wartawan
menyampaikan pada pemerintah lewat berita, bahwa mereka keras menolak HTI.

“Tetapi kalau ternyata usaha itu tidak berhasil, mungkin yang terakhir ya itu ambil panah,
parang, membakar apa yang bisa kami lakukan, apabila kami mati ya mati, apa boleh buat.”
(Bersambung)

Keterangan foto utama:SIkerei Stefanus usai mencari ramuan di hutan. Foto: Yitno Suprapto/
Mongabay Indonesia

Anda mungkin juga menyukai