Anda di halaman 1dari 7

Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya


dikuasai negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. UUD 1945
Pasal 33 (3).  
 Minggu, 01 Oktober 2017
 Siaran Pers
 379061

Siaran Pers Konferensi Rakyat Sumatera Selatan,


Memperingati Hari Tani Nasional 2017-Koalisi Rakyat
Sumsel Menggugat- Palembang, 02 Oktober 2016.
Sejatinya tugas negara adalah memakmurkan
rakyatnya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Namun 72 tahun sudah Republik ini dibentuk,
tanpa ada sedikipun amanat rakyat yang dicapai secara
signifikan oleh penyelenggara Negara, yakni
Pemerintah. Seperti halnya yang terjadi di Sumatera
Selatan (Sumsel), kegagalan-kegagalan tersebut antara
lain; gagalnya pemerintah memastikan rakyat
mendapat kehidupan yang layak. Kondisi ini ditengarai
oleh luasan 8 juta hektar luas wilayah Sumsel yang saat
ini dikuasai oleh korporasi-korporasi besar; sektor
kehutanan dengan tanaman industri (kebun
Akasia/ekaliptus) seluas 1,5 jt hektar, sektor
perkebunan (di dominasi oleh kebun sawit) seluas 1 jt
hektar, pertambangan 2,5 jt hektar, kawasan lindung
1,3 jt hektar. Setidaknya rakyat hanya menguasai tidak
lebih dari 1 jt hektar dengan segala keterbatasan yang
ada. Dengan lahan yang terbatas tersebut, petani dan
masyarakat Sumsel masih harus berjuang dengan
berbagai persoalan dan karakteristik yang ada. Di
wilayah yang banyak dikuasai oleh izin pertambangan
misalnya, kasus-kasus pencemaran dan krisis ekologi
telah menghilangkan daya dukung lingkungan bagi
petani yang disebabkan oleh watak industri energi
kotor yang terus menghisap sumber daya alam.

Tidak heran banyak komoditi-komoditi lokal yang


selama ini menjadi unggulan terus tergerus oleh
konsesi (izin) pertambangan. Kondisi ini belum lagi
ditambah pembangunan PLTU Mulut Tambang yang
berdiri di tengah lahan pertanian dan pemukiman
masyarakat. Sebagaimana kita ketahui keberadaan
PLTU Mulut Tambang akan semakin mempercepat
kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dimana
lahan pertanian masyarakat merupakan wilayah yang
paling rentan tercemar. Di Sektor industri berbasiskan
lahan lainnya, yakni perkebunan kelapa sawit dan
industri hutan melalui kebun akasia dan ekaliptus
menjadi sektor terbesar perampasan wilayah kelola
masyarakat. Tidak sedikit perampasan tanah yang
merupakan lahan pertanian dan kehidupan masyarakat
disertai kekerasan oleh pihak korporasi dengan
menggunakan aparat (TNI-POLRI) sebagai alat
kekerasan. Misalnya perampasan wilayah kelola rakyat
yang terus terjadi dan berulang oleh PT. Musi Hutan
Persada. Sedikitnya sebanyak 35 desa yang tersebar di
7 kabupaten terus mengalami perampasan tanah yang
disertai kekerasan. Kasus-kasus tersebut dimulai sejak
korporasi tersebut mendapat izin konsesi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa industri kehutanan


(kebun akasia dan ekaliptus) oleh korporasi merupakan
watak warisan penghancuran hutan alam di Sumatera
Selatan oleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Dimana industri ini telah memisahkan kehidupan
petani dan masyarakat adat dari hutan, padahal dalam
sejarahnya para petani hutan dan masyarakat adat
sangat bijak dalam mengelola sumber daya alam. Selain
itu, perampasan tanah dan konflik agraria yang
mayoritasnya disertai dengan kekerasan, pelanggaran
HAM dan kriminalisasi menimbulkan dampak berlapis
bagi perempuan, termasuk  meningkatkan beban
perempuan. Di sektor kehutanan tumpang tindih
perijinan areal kawasan hutan juga merupakan salah
satu faktor terjadi konflik agraria. Hilangnya akses dan
kontrol masyarakat atas tanah sebagai sumber
kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga
maupun untuk ekonomi keluarga, berdampak pada
meningkatnya beban perempuan dalam memastikan
tersedianya pangan keluarga dan komunitasnya setiap
hari. Atas dasar berbagai persoalan di atas kami Koalisi
Rakyat Sumatera Selatan Menggugat,
menuntut/mendesak Negara untuk:

1. Melakukan review dan mencabut izin


perusahaan-perusahaan yang selama ini
terbukti merampas dan menggusur
kehidupan masyarakat, sebab konflik yang
terjadi saat ini adalah konflik yang terus
mengulang. Karena tidak ada itikad baik dari
korporasi untuk menghargai hak-hak
masyafrakat.
2. Mempercepat pelaksanaan reforma agraria
di Sumatera Selatan, terutama wilayah yang
selama ini dirampas oleh sejumlah korporasi
antara lain di wilayah; Kabupaten Musi
Rawas: Dusun Cawang, Desa Bumi Makmur,
Desa Semangus, Desa Sungai Pinang, Desa
Muara Rengas, Desa Anyar, Desa Semangus
Lama, Desa Pendingan, Desa Mukti Karya,
Desa Muara Megang. Kabupaten Muratara;
Desa Tebing Tinggi. Kabupaten OKU Induk;
Desa Merbau. Kabupaten Muba; Desa
Simpang Bayat, Desa Simpang
Tungkal/Belido. Kabupaten Muara Enim;
Desa Sumber Mulya, Desa Karang Mulya,
Desa Karang Agung. Kabupaten Muara Enim;
Wilayah Adat Rimbo Sekampung.
3. Memastikan pelaksanaan reforma agraria
yang berkeadilan gender dengan memastikan
keterlibatan perempuan maupun
keterwakilan kepentingan perempuan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan
reforma agraria secara inkslusif; Perempuan
sebagai subjek pemangku kepentingan dalam
agenda reforma agraria, serta memastikan
penyelesaian konflik agraria harus dijalankan
dengan prinsip-prinsip yang sensitif dan
responsif gender."
4. Segera membentuk kelembagaan reforma
agraria yang independent dengan pelibatan
masyarakat sipil.
5. Moratorium izin perkebunan, hutan tanaman
industri (HTI), dan pertambangan, dan segera
melakukan pemulihan lingkungan hidup
6. Menghentikan dan menarik pelibatan aparat
negara (TNI-POLRI) di wilayah-wilayah yang
rentan terjadinya konflik tenurial.

-Koalisi Rakyat Sumsel Menggugat- WALHI Sumsel,


Lingkar Hijau, Solidaritas Perempuan (SP Palembang),
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, AMAN
PW Sumsel, WCC Palembang, LP3HAM, Komunitas
Masyarakat Pengelola Rawa Gambut (KOMPAG
Sumsel), IMPALM, Serikat Petani Sriwijaya (SPS),
Mafesripala, Sahabat WALHI Sumsel, Green Student
Movement (GSM), Serikat Petani Cawang (SPC),
Masyarakat: Kabupaten Musi Rawas: Desa Bumi
Makmur, Desa Semangus, Desa Sungai Pinang, Desa
Muara Rengas, Desa Anyar, Desa Semangus Lama,
Desa Pendingan, Desa Mukti Karya, Desa Muara
Megang. Kabupaten Muratara; Desa Tebing Tinggi.
Kabupaten OKU Induk; Desa Merbau. Kabupaten
Muba; Desa Simpang Bayat, Desa Simpang
Tungkal/Belido. Kabupaten Ogan Ilir; Desa Sri
Bandung. Kabupaten Muara Enim; Desa Sumber Mulya,
Desa Karang Mulya, Desa Karang Agung. Kabupaten
Muara Enim; Masyarakat Adat Rimbo Sekampung  

SHARE :
 FACEBOOK  TWITTER

 WHATSAPP

DONASI SEKARANG

BERITA TERBARU
RPJPN 2005–2025 Tidak Prioritaskan
Keselamatan Lingkungan Hidup dan Keadilan
Iklim
Sabtu, 15 April 2023

Laju Cepat Pengampunan Kejahatan Kehutanan


di Tahun Politik
Jumat, 14 April 2023

Konflik, Ketimpangan Akut dan Perjuangan


Warga Pakel
Kamis, 06 April 2023

WALHI beserta nelayan Desak Pemerintah


Indonesia Cabut UU Cipta Kerja dan PP
Penangkapan Ikan Terukur 
Kamis, 06 April 2023

Surat Tanggapan Walhi dan FOE US Terkait


Investigasi Baru atas Pelanggaran Lingkungan
dan HAM Astra Agro Lestari
Kamis, 06 April 2023

Tweet dari @walhinasional

WALHI
@walhinasional · 3j

Selamat idulfitri kawan-kawan semua!

Di hari yang fitri ini, mari terus mengajak semua orang untuk
senantiasa menjaga Bumi tempat tinggal kita. Idulfitri kali ini
juga bertepatan dengan Hari Bumi.

Kita tahu bersama bahwa situasi bumi kita sedang tidak baik-
baik saja atau sedang…
  

KONTAK WALHI
 Jln. Tegal Parang Utara No 14, Jakarta Selatan
12790. INDONESIA
 informasi@walhi.or.id
 +62-21-79193363
 +62-21-7941673

 SITEMAP
 BERANDA
 BLOG
 REGULASI
 PUBLIKASI
 DUKUNG KAMI
 TENTANG KAMI
 KONTAK

© 2023 WALHI

Anda mungkin juga menyukai