OLEH KELOMPOK 1:
1. LINA FEBRIANI
2. DICKY SYACH PUTRA SIAHAAN
3. ABDUL ALI MUTAMMIMA AMAR ALHAQ
4. AHMAD NASIR
5. AIDA RIDATUL RIZKI
6. AJIBURRAHMAN
7. ALFIAN HIDAYAT
8. ALMIRA INDRIANI
9. ANITA KARDIYANTI
10. ARDI HILMANSYAH
11. ARIK PUSPITA PURNAMA PUTRI
12. ARINA NUR AULIA
13. INDAH VIRGINA SARI
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2019
Konflik Agraria
Konflik agrarian adalah pertikaian atau pertentangan yang timbul karena adanya hak yang
dilanggar pada hak penguasaan atau hak pemilikan lahan atau sumber daya yang terjadi anatara
dua pihak atau lebih. Konflik agrarian dapat terjadi secara vertikal, yakni anatara dengan
masyarakat dengan pemetintah atau pengusaha dan horizontal yakni antar sesame masyarakat itu
sendiri. Beberapa tahun terakhir di Indonesia memang angka konflik agraria terus meningkat, hal
ini disebabkan karena memang Indonesia memiliki lahan yang sangat luas khususya untuk
pertanian.
Konflik Samin VS Semen
Konflik Samin VS Semen terjadi di daerah di Jawa Tengah Kabupaten Pati. Daerah ini
dikenal sebagai daerah penghasil bahan baku semen, maka dari itu banyak dari masyarakatnya
bekerja dibidang ini. Sumber daya semen ini menjadi bahan pokok dalam melakukan
pembangunan infrastruktur oleh karena itu banyak para perusahaan mulai mengincar daerah ini
untuk dibangunnya pabrik semen yang tentunya akan berkeuntungan besar. Tentu pembangunan
itu membutuhkan daerah yang sesuai dengan kebutuhan, dan salah satu daerah dengan potensi
bakan baku semen yang besar adalah daerah ini. PT SEMEN GRESIK adalah perusahaan yang
pernah mencoba untuk membangun pabrik semen disini pada tahun 2006, PT SEMEN GRESIK
mengklaim hal ini dilakukan ntuk mengantisipasi terjadinya kekurangan stok semen. Namun
usaha mereka mendapatkan penolakan dan pertentangan yang sangat keras dari masyarakat.
Hingga pada tahun 2009 masyarakat membawa kasus ini ke jalur hukum dan memenangkan
gugatan di PTUN hingga MA. PT SEMEN GRESIK berhasil di paksa mundur dari daerah
mereka, kemudian pada tahun 2010 PT SEMEN GRESIK pindah ke Kecamatan Gunem,
Kabupaten Rembang dengan rencana pembangunan pabrik di Kecamatan Kayen dan
Tambakromo yang merupakan tetangga desa orang-orang samin.
Dalam pembangunan pabrik semen tersebut dinilai telah menyimpang dari Undang-
Undang Nomor 33 ayat 3 tahun 1945 yang berbunyi “ Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Jika dimaknai secara kasar itu artinya siapa pun tidak boleh memonopoli dan menguasai
sumber daya alam untuk kepentingan pribadi dan golongan semata. Segala bentuk pengelolaan
kekayaan alam diatur oleh negara yang kemudian hasilnya akan didistribusikan untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan dalam kasus ini terjadi bias karena negara
sebagai pemegang kekuasaan utama dalam mengelola sumber daya justru mengalihkannya pada
sektor-sektor swasta yang memiliki modal besar yang berpotensi akan menghidupkan kembali
semnagat kapitalisme yang jelas akan merugikan rakyat. Keberadaan sektor swasta yang
diberikan izin oleh pemerintah untuk mendirikan pabrik dinilai seolah mengabaikan
kemakmuran rakyat. Masyarakat mengaku sering mendapatkan intimidasi baik dari TNI maupun
POLRI serta perlakuan-perlakuakn yang tidak baik. Bahkan mereka sampai mendapatkan
ancaman berupa penculikan dan pembunuhan dari preman yang diduga merupakan preman yang
sengaja di sewa oleh pihak perusahaan agar masyarakat mundur dari usaha penolakan tersebut.
Pendirian pabrik semen yang berada dipegunungan karst tersebut banyak sekali
menyalahi praturan yang ada seperti data AMDAL yang tidak falid, tidak adanya sosialisasi
langsung serta tidak sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa
Tengah No. 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area yang didirikan pabrik semen sebagai
kawasan indung inbuhan air dan Perda RTRW kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 pasal 19
yang berbunyi “kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf
F berupa kawasaan imbuhan air meliputi: cekungan watu putih dan cekungan Lasem” sehingga
menetapkan area rembang terutama pegunungan kendeng sebagai kawasan lindung geologi.
(Batubara, 2015: 31). Disisi lain masyarakat menilai pembangunan pabrik semen ini akan
berdampak psitif bagi perekonomian, mereka menilai perekonomian akan lebih maju karena
penghasilan yang mereka dapat ketika bekerja dipabrik semen akan lebih besar. Inilah yang
menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua, ada yang pro semen dan kontra semen.
Masyarakat pro semen adalah masyarakat yang menjual tanahnya kepada pihak PT
INDOSEMEN untuk dijadikan sebagai pabrik. Menurut perkiraan,sekitar 30% masyarakat sudah
menjual tanahnya, hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk membeli alat
ransportasiseperti truk, yang meruakan alat transportasi yang sangat dibutuhkan untuk
mengangkut hasil tambang. Namun ada juga masyarakat yang kontra semen yakni masyarakat
yang menolak adanya pembangunan pabrik semen ini dan enggan menjual tanah mereka kepada
pihak PT INDOSEMEN. Mereka menilai pembangunan pabrik ini akan merusak lingkungan
mereka dan akan menimbulkan berbagai dampak negatif yang dapat merugikan mereka. Banyak
juga yang beralasan tidak ingin menjual tanahnya karena menganggap tanah tersebut merupakan
warisan nenek moyang yang harus dijaga untuk anak cucu mereka kelak. Jika mereka
menjualnya, mereka hanya akan mendapatkan uang dan akan mudah habis, tetapi jika mereka
tetap mempertahankannya untuk pertanian, mereka akan tetap mendapatkan manfaatnya untuk
jangka panjang.
Dalam hal ini terlihat terjadi interaksi yang tidak seimbang, dimana interaksi antara
masayarakat Rembang dengan pihak PT INDOSEMEN tidak terjalin dengan baik. Hal ini terjadi
karena pihak PT INDOSEMEN tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu tentang
pembangunan pabrik semen tersebut, baik dampak positif maupun negatifnya. Inilah yang
menyebabkan multitafsir dimasyarakat, ada yang menilai pembangunan ini berdampak positif
adapula yang menilai akan berdampak negatif. Tentu ini berpengaruh pada hubungan antar
sesam masyarakat Rembang juga. Selain dapat menimbulkan dampak lingkungan, sebenarnya
jika dilihat dari kacamata ekonomi pembangunan pabrik semen ini juga akan dapat memajukan
laju perekonomian bagi sebagian masyarakat. Tentu dalam hal ini masyarakat hanya mengetahui
hal-hal yang merugikan bagi mereka tanpa mengetahui terdapat keuntungan bagi masyarakat.
Selanjut terdapat interaksi antara masyarakat dengan pemerintah dimana mereka melakukan
tuntutan untuk menolak pembangunan pabrik tersebut. Namun pemerintah daerah malah
mengacuhkan tuntutan masyarakat dan memberikan izin kepada perusahaan semen untuk
melakukan pembangunan, inilah yang menyebabkan pemberontakan di dalam masyarakat terus
berlanjut. Masyarakat menilai pemerintah daerah tidak pro rakyat, lebih merangkul pengusaha
tanpa memberikan solusi atas konflik yang terjadi.