Anda di halaman 1dari 4

Kerugian Petani di Sumba Timur

Akibat PT.MSM

Perusahaan Perkebunan Tebu

Perwakilan masyarakat Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama


Direktur Lokataru Hariz Azhar mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) di Kuningan,Jakarta Selatan. Mereka datang untuk mengadu kan dugaan
suap terkait PT.MSM (Muria Sumba Manis) yang melakukan okupasi sepihak
terhadap tanah yang mereka kelola.sebagian masyarakat adat yang mengelola
kawasan tersebut, mereka merasa dirugikan oleh pendudukan sepihak terhadap
puluhan ribu hektare lahan di sana. Mereka juga tidak mendapat sosialisasi
mengenai investasi itu. Mereka datang ke gedung KPK untuk melaporkan izin
pemakaian lahan dan dugaan suaap. Artinya dalam pemberian izin itu dugaan
masyarakat adat ada suap menyuap, yang tidak di libatkan sebagai pemilik lahan,
ada pendudukan sepihak. Dalam proses di lapangan dari sekitar 52 ribu hektare
permohonan lahan dari perusahaan, hampir 20 ribu hektare yang telah di garap.
Selain penggusuran tanah secara sepihak oleh PT. MSM, hutan Bulla seluah 0,58
hektar di okupulasi untuk pemakaian embung. Sehingga total lahan perusahaan
31,420 hektar. Akibat penggusuran tanah secara sepihak oleh PT. MSM banyak
masyarakat yang di rugikan salah satunya para petani meraka mengalami gagal
panen akibat daerah aliran sungai yang di bendung oleh PT.MSM di hulu yang
berkepanjangan.

Sementara sabana sebagai padang pengembalaan hewan masyarakat


diahlifungsikan menjadi lahan perkebunan tebu. Sehingga para pengembala hewan
kehilangan pekerjaan mereka. Semenjak lahan mereka di jadikan perkebunan tebu
terjadi baanyak pelanggaran HAM. Dalam biang keagamaan dan kebudayaan,
terjadi karena pembukaan lahan perkebunan memicu kerusakan situs adat serta
peribadatan masyarakat penganut keyakinan marapu.Pelanggaran di bidang
ketenagakerjaan, karena masyarakat yang beralih menjadi buruh PT.MSM tidak di
penuhi hak-haknya. Tidak ada jaminan kesehatan bagi pekerja. Tidak ada fasilitas
toilet, tempat istirahat, dan kantin bagi pekerja. Pihak perusahaan melakukan
pekerja dengan sewenang-wenang tanpa ada perjanjian tertulis dengan menetapkan
target kerja tak manusiawi dan upah yang tak sepadan.

Dalam bidang pertahanan terjadi pelepasan tanah ulayat milik beberapa


kabihu (marga) secara sepihak oleh penjabat desa dan kecamatn. Selain itu ada
juga pelepasan lahan dengan penggunaan status tanah eks swapraja atasa tanah
ulayat, yang dilakukan oleh kepala suku. Dalam pengukuran tanah secara sepihak
oleh PT.MSM dan pejabat pemerintahan dengan dalih demi kepentingan umum
juga terjadi, di tambah lagi ada penerbitaan izin yang tidak sesuai dengan prosedur
hukum.Kasus yang di lakukan oleh PT.MSM mengakibatkan banya kontroversi
antara pihak masyarakat dengan penjabat pemerintahan. Salah satunya empat
masyarakat adat yang di laporkan ke kepolisian selama proses advokasi ini. Proses
hukum yang tidak sesuai serta tekanan yang terus di terima masyarakan adat juga
melanggar pelanggaran HAM yang terjadi. Upaya masyarakat adat di sumba yang
datang ke jakarta untuk mencari ke adilan sudah di lakukan mulai 2015, namun tidak
mendapat respon dengan baik dan masalah tidak kunjung tuntas. Masyarakat juga
malakukan dialog, segala cara sampai dengan secara masa mendatangi
pemerintahan dan pihak berwajib, tetapi keadilan tidak pernah di dapatkan.

Selogan PT.MSM yang berbunyi “ mensejahterahkan masyarakat sekitar’


nyatanya bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di Sumba Timur. Secara
administrasi PT.MSM belum layak melakukan aktifitas karena belum memiliki
AMDAL, jikapun ada AMDAL PT.MSM saat ini,AMDAL itu lahir setelah perusahaan
beroprasi. PT. MSM harus di cabut oleh Bupati Sumba Timur selaku pihak yang
memberi izin, karena ada banyak hal yang telah di langgar oleh pihak perusahaan.
“jika izin tidak di cabut di khawatirkan aksi penolakan masyarakat akan semakin
masif, karena masyarakat yang melakukan protes baru dua kecamatan dan enam
desa sementara wilayah konsesi PT. MSM berada di 6 kecamatan dan 30 desa. Ke
khawatiran ini wajar karena hampir 90% di semua wilayah pola yang di bangun oleh
pihak perusahaan sama ketika melakukan aktifitas. Pada saat ini masyarakat Sumba
Timur keberatan dan menolak proses penerbitan izin Hak Guna Usaha. Kegelisahan
masyarakat adat, petani/peternak akan tempat ritual, padang dan lahan menjadi
alasan dasar yang kuat masyarakat membentuk sarana gerakan rakyat.
Masyarakat saat ini fokus pada perjuangan mempertahankan lingkungan dan
melestarikan budaya Sumba dari berbagai ancaman yang datang. Bahwa dengan
perkembangan teknolgi yang begitu pesat masyarakat perlu diproteksi dengan
regulasi dan kearifan lokal yang ada. Salah satu perwakilan warga mendatangi
kantor ATR/BPN Kabupaten Sumba Timur untuk menyerahkan surat keberatan
rencana penerbitan Hak Guna Usaha atas nama PT. MSM di Kabupaten Sumba
Timur.Lewat surat tersebut masyarakat berharap pemerintah benar-benar
mempertimbangkan rencana peneribatan HGU di enam desa karena masih menuai
konflik baik antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Oleh karena itu, kami
berharap pemerintah mengawal ini dengan serius.Hapu Tara Mbiha dari marga/suku
Mbarapapa yang berprofesi sebagai petani di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu,
Kabupaten Sumba Timur menyatakan, keberatan dan menolak HGU selama 35
tahun yang dimohonkan PT. Muria Sumba Manis ke pihak pemerintah daerah.

Masyarakat tidak mengetahui adanya rencana proses HGU karena kami tidak
dilibatkan. Selain itu, padang dan tempat ritual masyarakat saat ini telah diambil oleh
perusahaan, katuoda (tempat ibadah) kami juga dirusak. Jika perusahaan
mengambil lahan lewat HGU karena sejak dahulu kami memanfaatkan padang
tersebut sebagai tempat hidup masyarakat, kalau kemudian saat ini jadi HGU oleh
perusahaan selama puluhan tahun, maka warga sekitar yang menggantungkan
hidupnya dengan bertani dan berternak tidak dapat lagi mengakses lahan tersebut.
Sementara warga dari marga/suku Lamuru yang berprofesi sebagai petani/peternak
di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu juga menegaskan hal yang sama terkait
rencana perusahaan terkait HGU merasa keberatan dan menolak rencana
perusahaan mengambil lahan dan padang penggembalaan, apa lagi sampai 35
tahun.Masyarakat tidak pernah diberikan informasi tentang apa itu HGU dan
sejauhmana manfaatnya bagi masyarakat.mereka tidak memahaminya. Sedangkan
Umbu Retang Hada Mbiwa, dari marga/suku Lamuru di desa Patawang mengaku,
tidak mengetahui adanya rencana perusahaan untuk mengambil lahan dan padang
masyarakat adat lewat HGU.

Masyarakat menolak dengan tegas rencana HGU tersebut karena belum ada
kesepahaman dari berbagai suku (kabihu) yang tinggal bersama dalam paraing-
paraing (kampung-kampung) adat di wilayah itu.masyarakat juga tidak memahami
apa itu HGU dan manfaatnya apa. Bagi mereka jika padang dan lahan diambil
perusahaan selama puluhan tahun, maka kami tidak bisa lagi menggembalakan
ternak kami yang menjadi sumber hidup untuk untuk menyekolahkan anak-anaknya

Kasus ini menjadi sorotan wakil rakyat. DPR mengungkapkan jika investasi
PT. MSM malah menciptakan konflik sosial. Selain itu, DPR juga mengungkapkan
adanya pembabatan hutan yang dilakukan PT.MSM. Ketua DPRD Sumba Timur
Palulu Ndima menuturkan indikasi perusakan hutan ditandai dengan penebangan
pohon-pohon berukuran besar.Ironisnya, pembabatan hutan itu dianggap tidak
melanggar aturan oleh Dinas Kehutanan Sumba Timur. Ia menjelaskan kasus itu
pernah diklarifikasi oleh Komisi DPRD Sumba Timur, tapi Dinas Kehutanan Sumba
Timur justru menganggap bahwa hutan itu adalah semak belukar biasa. Hal tersebut
aneh karena jika masyarakat yang menebang satu pohon kecil saja, dianggap illegal
logging. DPRD Sumba Timur juga sudah mencoba memfasilitasi perebutan tanah
ulayat. Namun, masyarakat adat dan PT MSM sama-sama bersikukuh merasa
paling berhak. Akibatnya, belum ada titik temu.

Beberapa kali, Komisi A turun mencari solusi yang bisa diterima kedua belah
pihak, terakhir Pemda Sumba Timur yang memfasilitasi. Namun semua tak ada
hasilnya.Sementara itu, Deputi Walhi NTT, Umbu Tamu Ridi berpendapat bahwa
investasi pabrik tebu oleh PT MSM di Kabupaten Sumba Timur menciptakan konflik
sosial di masyarakat. Selain adanya perampasan hak atas tanah rakyat, pabrik itu
juga berdampak pada kerusakan sumber air dan lingkungan hingga warga
mengalami kekeringan. Ada monopoli sumber air sehingga masyarakat kekeringan
dan tidak bisa bertani seperti biasa, akibatnya terjadi gagal panen.

Berbeda dengan Palulu dan Walhi, Ketua Fraksi Golkar DPRD Sumba Timur,
Ali Oemar Fadaq berpendapat bahwa investasi PT.MSM sudah sesuai prosedur
dan tidak melanggar hak rakyat. "Persoalan tanah yang dulu sudah selesai. .Omar
juga membantah ada kerusakan lingkungan akibat investasi PT.MSM di Sumba
Timur.Belum ada produksi, mana bisa ada pencemaran.Kehadiran investor
perkebunan tebu milik PT Muria Sumba Manis (MSM) di Kabupaten Sumba Timur
menuai pro kontra warga setempat. Aksi warga menolak kehadiran PT MSM dibalas
aksi tandingan dari warga yang mendukung investasi perusahan itu.Aksi itu pun
menelan korban jiwa. Salah satu warga yang diduga sekuriti pada PT MSM, John
Tay Hungga yang meninggal dunia saat berunjuk rasa.

Kematian salah satu pendukung PT MSM itu membuat aktivis Wahana


Lingkungan Hidup NTT (Walhi) sebagai organisasi yang selama ini gencar
mengadvokasi persoalan itu angkat bicara. Deputi Walhi NTT, Umbu Tamu Ridi
mengatakan aksi tandingan itu mengadu domba warga dan menimbulkan konflik
antarmasyarakat.LSM tak boleh mengadvokasi kasus perampasan tanah karena
mereka beralasan PT. MSM telah merekrut tenaga kerja banyak Menurut Umbu,
unjuk rasa warga yang memiliki hak atas tanah, pemilik ulayat dan masyarakat yang
mendapat dampak dari hadirnya PT. MSM beberapa waktu lalu itu murni gerakan
masyarakat yang mendapat dampak negatif dengan adanya PT MSM. Sementara itu
Corporate Legal & Communication Office PT. MSM, Milton Ph. Butar-Butar enggan
menanggapi pernyataan Walhi NTT. Dia mengaku PT. MSM sudah memenuhi
permintaan keluarga korban tewas saat aksi. “Semua biaya sudah kami tanggung,"

Anda mungkin juga menyukai