Akibat PT.MSM
Masyarakat tidak mengetahui adanya rencana proses HGU karena kami tidak
dilibatkan. Selain itu, padang dan tempat ritual masyarakat saat ini telah diambil oleh
perusahaan, katuoda (tempat ibadah) kami juga dirusak. Jika perusahaan
mengambil lahan lewat HGU karena sejak dahulu kami memanfaatkan padang
tersebut sebagai tempat hidup masyarakat, kalau kemudian saat ini jadi HGU oleh
perusahaan selama puluhan tahun, maka warga sekitar yang menggantungkan
hidupnya dengan bertani dan berternak tidak dapat lagi mengakses lahan tersebut.
Sementara warga dari marga/suku Lamuru yang berprofesi sebagai petani/peternak
di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu juga menegaskan hal yang sama terkait
rencana perusahaan terkait HGU merasa keberatan dan menolak rencana
perusahaan mengambil lahan dan padang penggembalaan, apa lagi sampai 35
tahun.Masyarakat tidak pernah diberikan informasi tentang apa itu HGU dan
sejauhmana manfaatnya bagi masyarakat.mereka tidak memahaminya. Sedangkan
Umbu Retang Hada Mbiwa, dari marga/suku Lamuru di desa Patawang mengaku,
tidak mengetahui adanya rencana perusahaan untuk mengambil lahan dan padang
masyarakat adat lewat HGU.
Masyarakat menolak dengan tegas rencana HGU tersebut karena belum ada
kesepahaman dari berbagai suku (kabihu) yang tinggal bersama dalam paraing-
paraing (kampung-kampung) adat di wilayah itu.masyarakat juga tidak memahami
apa itu HGU dan manfaatnya apa. Bagi mereka jika padang dan lahan diambil
perusahaan selama puluhan tahun, maka kami tidak bisa lagi menggembalakan
ternak kami yang menjadi sumber hidup untuk untuk menyekolahkan anak-anaknya
Kasus ini menjadi sorotan wakil rakyat. DPR mengungkapkan jika investasi
PT. MSM malah menciptakan konflik sosial. Selain itu, DPR juga mengungkapkan
adanya pembabatan hutan yang dilakukan PT.MSM. Ketua DPRD Sumba Timur
Palulu Ndima menuturkan indikasi perusakan hutan ditandai dengan penebangan
pohon-pohon berukuran besar.Ironisnya, pembabatan hutan itu dianggap tidak
melanggar aturan oleh Dinas Kehutanan Sumba Timur. Ia menjelaskan kasus itu
pernah diklarifikasi oleh Komisi DPRD Sumba Timur, tapi Dinas Kehutanan Sumba
Timur justru menganggap bahwa hutan itu adalah semak belukar biasa. Hal tersebut
aneh karena jika masyarakat yang menebang satu pohon kecil saja, dianggap illegal
logging. DPRD Sumba Timur juga sudah mencoba memfasilitasi perebutan tanah
ulayat. Namun, masyarakat adat dan PT MSM sama-sama bersikukuh merasa
paling berhak. Akibatnya, belum ada titik temu.
Beberapa kali, Komisi A turun mencari solusi yang bisa diterima kedua belah
pihak, terakhir Pemda Sumba Timur yang memfasilitasi. Namun semua tak ada
hasilnya.Sementara itu, Deputi Walhi NTT, Umbu Tamu Ridi berpendapat bahwa
investasi pabrik tebu oleh PT MSM di Kabupaten Sumba Timur menciptakan konflik
sosial di masyarakat. Selain adanya perampasan hak atas tanah rakyat, pabrik itu
juga berdampak pada kerusakan sumber air dan lingkungan hingga warga
mengalami kekeringan. Ada monopoli sumber air sehingga masyarakat kekeringan
dan tidak bisa bertani seperti biasa, akibatnya terjadi gagal panen.
Berbeda dengan Palulu dan Walhi, Ketua Fraksi Golkar DPRD Sumba Timur,
Ali Oemar Fadaq berpendapat bahwa investasi PT.MSM sudah sesuai prosedur
dan tidak melanggar hak rakyat. "Persoalan tanah yang dulu sudah selesai. .Omar
juga membantah ada kerusakan lingkungan akibat investasi PT.MSM di Sumba
Timur.Belum ada produksi, mana bisa ada pencemaran.Kehadiran investor
perkebunan tebu milik PT Muria Sumba Manis (MSM) di Kabupaten Sumba Timur
menuai pro kontra warga setempat. Aksi warga menolak kehadiran PT MSM dibalas
aksi tandingan dari warga yang mendukung investasi perusahan itu.Aksi itu pun
menelan korban jiwa. Salah satu warga yang diduga sekuriti pada PT MSM, John
Tay Hungga yang meninggal dunia saat berunjuk rasa.