Anda di halaman 1dari 3

ETIKA DAN HUKUM BISNIS

Oleh:

Aqira Pakuanzahra K14160112

Dosen:

Dr. Yudha Heryawan Asnawi, MM

Program Studi Sarjana Bisnis

Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor

2018
Kelapa sawit adalah salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan yang menarik
perhatian serius pemerintah, investor, dan petani karena menyumbang devisa negara dalm
jumlah yang besar. Perkemabngan kelapa sawit di Indonesia cukup pesat terutama pada tahun
1970 hingga saat ini. Perkebunan kelapa sawit berkembang dan meluas ke hampor semua
kepulauan besar di Indonesia walaupun mayoritas tetap berada di kepulauan Sumatera dan
Kalimantan.

Masalah yang dihadapi dengan adanya perluasan perkebunan kelapa sawit adalah
pengalihfungsian lahan yaitu berkurangnya hutan hujan tropis di Indonesia yang disertai
dengan musnahnya berbagai spesies endemik di berbagai daerah. Selain itu, penurunan kualitas
dan entitas air yang terus tercemar akibat libah kebun kelapa sawit berdampak pada aktivitas
masyarakat termasuk pada sektor pertanian.

Masalah utama yang terlihat dari perluasan perkebunan kelapa sawit adalah sering kali kelapa
sawit dibudidayakan dengan mengorbankan hutan yang kaya akan keragaman hayati,
khususnya hutan hujan tropis. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis-jenis lahan yang baik yang
dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit dan bagaimana membuat perusahaan
mengembangkan perkebunan kelapa sawit di lahan nonhutan.

Pada sektor ekonomi sering kali timbul permasalahan dan konflik kepentingan di mana di satu
sisi terdapat kebutuhan pembangunan yang memanfaatkan sumber daya alam, sedangkan di
sisi lain terdapat pula kebutuhan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Pembangunan
ekonomi berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan
akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri. Maka, diperlukan suatu perencanaan
pembangunan berkelanjutan yang memiliki berbagai strategi untuk mengelola kualitas
lingkungan agar tetap terjaga kelestariannya tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan hidup
manusia yang memanfaatkan sumber daya alam.

Di tingkat kebijakan, pemerintah masih memberikan peluang untuk melakukan ekspansi secara
besar-besaran seperti: Peraturan Menteri No.26/2007 tentang pedoman perizinan usaha
perkebunan (memperluas luasan izin dari 20.000 ha sampai 100.000 ha per perusahaan dalam
satu provinsi untuk minyak sawit perkebunan) serta Peraturan Menteri Pertanian – Permentan
No.14 / 2009 tentang pedoman penggunaan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit) yang
memungkinkan konversi lahan gambut semua hingga 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit.
Dorongan besar ini terutama dipicu oleh peningkatan permintaan minyak nabati dunia, dimana
sawit merupakan salah satu sumber minyak nabati yang paling ekonomis, baik dari segi
produksi maupun pengolahannya. Selain itu, lebih dari 100 produk turunan bisa dihasilkan
yang tidak hanya bagi kebutuhan pangan saja, namun kosmetik, pembersih, sampai dengan
bahan bakar nabati. Maka tidak mengherankan jika posisi minyak sawit sangat sulit digantikan
oleh sektor agro komoditas penghasil minyak nabati lainnya.

Euforia minyak sawit ini tidaklah dirasakan oleh semua pihak, dimana masyarakat adat dan
masyarakat lokal tidak selalu menjadi pihak yang diuntungkan dalam sistem industri sawit ini.
Dengan sistem perkebunan kelapa sawit yang monokultur, “menghalalkan” land
grabbing serta berpotensi menguasai lahan lebih dari 160 tahun, maka sejak awal tahun 2005,
muncul kekhawatiran besar dari kelompok masyarakat lokal atas dampak negatif ekspansi
perkebunan kelapa sawit terhadap keberlangsungan hidup hutan dan masyarakat lokal.

Posisi mereka terbilang cukup rentan, dimana benefit yang mungkin mereka dapatkan sangat
minim dan lebih sebagai penerima trickle down effect atau tetesan kecil dari keuntungan besar
dari sistem industri ini. Dampak akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit kepada
masyaralat lokal antara lain, pola pengembangan perkebunan kelapa sawit telah
menghancurkan sumber-sumber ekonomi masyarakat yang telah ada, memunculkan
ketergantungan dan penguasaan masyarakat oleh pengusaha, yang secara nyata juga telah
menyebabkan hancurnya tatanan kehidupan dan pranata sosial budaya komunitas-komunitas
masyarakat lokal dan, proses pelepasan lahan kerap kali menimbulkan konflik yang
berkepanjangan, baik secara vertikal maupun konflik horizontal.

Untuk itu, diperlukan suatu dimensi pemahaman baru dalam pembangunan yang lebih
berkelanjutan, berkeadilan, dan memastikan tetap tersedianya sumber-sumber penghidupan
bagi masyarakat berbasis potensi lokal, mendorong perbaikan mekanisme pasar yang tetap
memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity), menjunjung tinggi asas
transparansi dan akuntabilitas guna mengeliminir peluang-peluang praktek korupsi,
memperjuangkan HAM, prinsip-prinsip good governance, berperspektif kesetaraan gender,
memperhatikan potensi risiko kerawanan/kelangkaan pangan dan air (food and water scarcity),
yang pada intinya mempertimbangkan keadilan social dan ekologis serta resiliensi budaya lokal
terhadap laju pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah, baik yang ditopang
oleh pendanaan dalam negeri maupun didukung oleh bantuan luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai