Anda di halaman 1dari 130

Dilema Pergaraman di Indonesia

INFO KOMODITI
GARAM

i
Ernawati Munadi

SANKSI PELANGGARAN

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002


1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

ii
Dilema Pergaraman di Indonesia

Info Komoditi
GARAM

EDITOR:
Zamroni Salim, Ph.D
Ernawati Munadi, Ph.D

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan


Al Mawardi Prima, Jakarta 2016

iii
Ernawati Munadi

Judul:
Info Komoditi Garam
Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D

Copyright © 2016
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved

Diterbitkan oleh
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan
Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya

Diterbitkan pertama: Juli 2016


Desain Cover: Piter Prihutomo
Sumber Cover depan searah jarum jam
1. Dokumentasi Piter Prihutomo;
Sumber cover belakang:
1. Piter Prihutomo;

x, 120 hlm, 16,5 x 25 cm


ISBN: 978-979-461-890-5

Pengarah: Penanggung Jawab: Redaksi Pelaksana:


Kepala Badan Pengkajian Sekretaris Badan 1. Puspita Dewi, SH, MBA
dan Pengembangan Pengkajian dan 2. Maulida Lestari, SE, ME
Perdagangan Pengembangan 3. Reni K. Arianti, SP, MM
Perdagangan 4. Suler Malau, SH
5. Primakrisna T, SIP, MBA
6. Dwi Yulianto, S.Kom

AMP Press
Imprint Al-Mawardi Prima
Anggota IKAPI JAYA
Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Telp/Fax. (021) 29325630
Email: info@almawardiprima.co.id
Website: www.almawardiprima.co.id

iv
Dilema Pergaraman di Indonesia

KATA PENGANTAR

Bunga Rampai Info Komoditi Garam merupakan salah satu dari serangkaian
Bunga Rampai Info Komoditi yang telah diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan (BPPP) sejak tahun 2013 yang dimaksudkan untuk
memberikan kompilasi singkat data dan statistik tentang produksi, konsumsi,
pengolahan, perdagangan, kebijakan dan peraturan yang terkait dengan
komoditas tertentu. Hal ini mengingat pentingnya sebuah pemahaman yang
kuat dari setiap produk, yang sangat diperlukan bukan hanya untuk pengambilan
keputusan kebijakan perdagangan yang efektif, namun juga pengembangan dan
pemahaman bagaimana untuk meningkatkan daya saing Indonesia.
Khusus untuk komoditas garam, pemahaman yang sangat mendalam
terkait dengan kondisi produksi dan konsumsi garam di Indonesia beserta
permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat diperlukan dan sangat
krusial bagi pengambil kebijakan khususnya dan masyarakat secara umum
dalam menyikapi pengembangan sektor pergaraman di Indonesia. Menarik untuk
dicermati misalnya, bagaimana Indonesia dengan produksi garam nasional pada
tahun 2015 yang mencapai 2,84 juta ton belum sepenuhnya mampu memenuhi
kebutuhan garam dalam negeri sebesar 3,75 juta ton pada tahun yang sama.
Ironisnya, ketidakmampuan produksi garam Indonesia dalam memenuhi
kebutuhan dalam negerinya bukan hanya disebabkan oleh produksi yang lebih
rendah dari konsumsi, namun juga karena kualitas garam yang dihasilkan juga
belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan industri yang mensyaratkan
kualitas garam yang lebih tinggi. Indonesia harus mengimpor dengan jumlah yang
tidak kalah banyaknya dengan yang diproduksi dalam negeri, yaitu sebesar 2,16
juta ton pada tahun 2014. Akibat situasi ini, garam bukan hanya berperan sebagai
komoditas strategis, namun juga sebagai komoditas politis karena garam sangat
potensial dalam memberikan keuntungan bagi beberapa pihak.
Pemahaman yang mendalam terkait dengan kondisi perdagangan garam
baik di dalam negeri maupun di pasar internasional serta bagaimana prospek
garam di masa yang akan datang juga sangat penting, khususnya bagi pengambil
kebijakan dalam rangka meningkatkan daya saing garam Indonesia di pasar
global. Dengan pemahaman yang sangat mendalam terkait dengan aspek-
aspek tersebut, yang secara mendalam di bahas dalam Bunga Rampai Info
Komoditi Garam ini, diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah mampu
menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi semua stakeholder yang terlibat

v
Ernawati
Bunga Rampai
Munadi
Info Komoditi Rumput Laut

dalam industri pergaraman di Indonesia serta tidak menimbulkan kerugian bagi


pihak-pihak tertentu.
Penerbitan Bunga Rampai Info Komoditi Garam diharapkan akan memainkan
peran penting dalam membantu peneliti, analis kebijakan dan stakeholder lain
dalam memahami pentingnya komoditi garam bagi Indonesia dan ekonomi global
sehingga analisis lebih efektif, strategi dan kebijakan dapat dikembangkan untuk
menguntungkan konsumen dan produsen Indonesia. Kami juga menyambut
setiap komentar atau koreksi serta saran untuk membuat media publikasi info
komoditi ini lebih informatif dan bermanfaat.
Pada masa yang akan datang, BPPP berencana untuk terus mengembangkan
Bunga Rampai Info Komoditi lainnya yang dianggap penting bagi Indonesia, baik
dalam kaitannya dengan situasi pasar dalam negeri maupun pasar global.

Jakarta, Juli 2016


Editor

vi
Dilema Pergaraman diPengantar
Kata Indonesia

DAFTAR ISI

Pengantar Editor............................................................................................v
Daftar Isi....................................................................................................... vii
Daftar Gambar............................................................................................. viii
Daftar Tabel...................................................................................................ix

BAB I DILEMA PERGARAMAN DI INDONESIA


Ernawati Munadi................................................................................................. 1

BAB II PRODUKSI GARAM INDONESIA


Septika Tri Ardiyanti............................................................................................. 7

BAB III KONSUMSI GARAM


Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari............................................................. 31

BAB IV PERDAGANGAN GARAM DI DALAM NEGERI


Nugroho Ari Subekti........................................................................................... 49

BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI GARAM


Aziza Rahmaniar Salam...................................................................................... 73

BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN GARAM DI INDONESIA


Aditya P. Alhayat............................................................................................... 89

BAB VII TATA NIAGA DAN ‘MANISNYA’ GARAM DI INDONESIA


Zamroni Salim................................................................................................ 109

Indeks ........................................................................................................116
Biografi Penulis..........................................................................................117

vii
Ernawati Munadi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin


No. 88/M-IND/PER/10/2014 ...................................................................... 10
Gambar 2.2 Proses Pembuatan Garam dengan Metode Kristalisasi............................. 20
Gambar 3.1 Kebutuhan Garam Nasional Tahun 2015................................................... 34
Gambar 3.2 Proses Bisnis Industri Garam..................................................................... 35
Gambar 3.3 Penggunaan Garam................................................................................... 37
Gambar 3.4 Alur Proses Membran Sel dalam Pembentukan Soda Kostik.................... 39
Gambar 3.5 Diagram Alur Proses Penyamakan Kulit Mineral........................................ 40
Gambar 4.1 Pola Distribusi Perdagangan Garam Nasional........................................... 54
Gambar 4.2 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh .55
Gambar 4.3 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Jawa Timur..................... 57
Gambar 4.4 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB).......................................................................................................... 58
Gambar 4.5 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Sulawesi Tengah............ 59
Gambar 5.1 Negara Utama Pengekspor Garam (Volume) Tahun 2014......................... 78
Gambar 5.2 Negara Utama Pengekspor Garam (Nilai) Tahun 2014.............................. 78
Gambar 5.3 Negara Utama Pengimpor Garam (Nilai) Tahun 2014 .............................. 79

viii
Dilema Pergaraman di Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, 2010 – 2013........................................ 15


Tabel 2.2 Produksi Garam Indonesia (Ribu Ton)........................................ 16
Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap
Produksi Garam Nasional Tahun 2014....................................... 17
Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia........................ 19
Tabel 2.5 Hasil Analisis Laboratorium Garam dengan Media Isolator........ 23
Tabel 2.6 Hasil Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Badan Kajian
Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Balai Besar Industri Agro...... 23
Tabel 2.7 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan
Pola Sewa di Cirebon dan Indramayu........................................ 26
Tabel 2.8 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan
Pola Bagi Hasil di Cirebon dan Indramayu................................. 27
Tabel 3.1 Neraca Garam Nasional, 2010 – 2015 (Dalam Ton)................... 33
Tabel 3.2 Syarat Mutu Garam untuk Bahan Baku Industri menurut
SNI 01-4435-2000...................................................................... 41
Tabel 3.3 Syarat Mutu Garam untuk Konsumsi Beryodium menurut
SNI 01-3556-2000...................................................................... 41
Tabel 3.4 Proporsi Konsumsi Garam Yodium oleh Rumah Tangga per
Provinsi di Indonesia Tahun 2013............................................... 42
Tabel 4.1 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP)......................... 60
Tabel 4.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi
Daerah Istimewa Aceh................................................................ 60
Tabel 4.3 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi
Jawa Timur............................................................................... 61
Tabel 4.4 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi
Nusa Tenggara Barat.................................................................. 62
Tabel 4.5 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi
Sulawesi Tengah......................................................................... 63
Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor
Garam Indonesia........................................................................ 75
Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Garam Indonesia HS 10 digit
(Ribu Ton)................................................................................... 75
Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Garam Meja Indonesia
Berdasarkan Negara Tujuan (Ribu Ton)..................................... 76

ix
Ernawati Munadi

Tabel 5.4 Perkembangan Volume Impor Garam Indonesia


HS 10 digit (Ton)......................................................................... 76
Tabel 5.5 Data Realisasi Impor Garam, 2008 – 2014 (RibuTon)................ 77
Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Garam (Yang Mengandung
Natrium Klorida Paling Sedikit 94,7%) Indonesia Berdasarkan
Negara Asal Impor (Ribu Ton).................................................... 77
Tabel 5.7 Harga Garam di Berbagai Negara.............................................. 80
Tabel 5.8 Daya Saing Garam Indonesia..................................................... 81
Tabel 5.9 Daya Saing 3 Negara Utama Pengekspor Garam...................... 81
Tabel 5.10 Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Menjadi
Permendag No. 125/2015........................................................... 84
Tabel 6.1 Realisasi dan Proyeksi Kebutuhan Garam Nasional
(Dalam Ribu Ton)........................................................................ 90
Tabel 6.2 Pendapatan Rata-rata Petambak Garam Tahun 2014
(Rp/musim)................................................................................. 92
Tabel 6.3 Dampak Iklim terhadap Produksi Garam dan Adaptasi
Petambak.................................................................................... 97

x
Dilema Pergaraman di Indonesia

BAB I
DILEMA PERGARAMAN DI INDONESIA
Ernawati Munadi

Garam bukan hanya sebagai komoditas strategis, garam juga merupakan


komoditas politik di Indonesia bahkan sejak zaman Kolonial Belanda.
Komoditas politik karena menyangkut kepentingan bangsa, komoditas
strategis karena semua orang mengkonsumsinya. Sebagai bukti bahwa
garam komoditas strategis dan politik dalam sejarah, tahun 1813 Raffles
menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik
produksi maupun distribusi. Hal itu mengingat peran esensial garam baik
sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat maupun kebutuhan untuk
industri. Akibatnya, garam merupakan salah satu komoditas strategis yang
sarat dengan campur tangan pemerintah.
Di Indonesia, garam digunakan bukan hanya untuk konsumsi langsung
rumah tangga sebagai salah satu kebutuhan pokok dan juga untuk kebutuhan
diet. Garam juga banyak digunakan untuk industri yang meliputi industri kimia,
industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, dan juga untuk
industri penyamakan kulit.
Garam diklasifikasikan sebagai garam konsumsi dan garam industri di
Indonesia. Klasifikasi garam sebagai garam konsumsi dan garam industri ini
didasarkan pada kandungan zat kimia yang diperlukan oleh masing-masing
pengguna. Garam konsumsi misalnya mensyaratkan kandungan NaCl
minimal 94%, sementara garam untuk diet mensyaratkan kandungan NaCl
maksimal 60%.
Garam untuk kebutuhan industri, kualitas garam yang diperlukan juga
sangat bervariasi, misalnya industri kimia memerlukan garam dengan
kandungan NaCl minimal 96%, industri makanan dan minuman memerlukan
garam dengan kandungan NaCl minimal 97%, serta industri farmasi
memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang lebih tinggi lagi yaitu
minimal 99,8%. Industri perminyakan memerlukan garam dengan kandungan
NaCl yang sedikit lebih rendah yaitu minimal 95%, serta industri water
treatment dan penyamakan kulit memerlukan garam dengan kandungan NaCl
yang lebih rendah yaitu 85%. Selain garam dengan kualitas kadar NaCl yang
tinggi, kualitas garam lain yang dipersyaratkan oleh industri adalah batas
maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang
tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan, ambang batas
maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah untuk industri chlor alkali plan
(Gatra, 2015).

1
Ernawati Munadi

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2015),


produksi garam nasional pada tahun 2015 mencapai 2,84 juta ton. Sebanyak
2,5 juta ton diproduksi oleh garam rakyat yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan garam konsumsi, dan sisanya berupa garam industri yang
diproduksi PT. Garam. Dengan total produksi garam pada tahun 2013 sebesar
1,09 juta ton, posisi Indonesia dibandingkan dengan negara produsen utama
garam dunia hanya berada ada urutan ke-36 dengan tiga negara yang
mendominasi produsen garam dunia pada tahun 2013, yaitu Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) dengan pangsa mencapai lebih dari 25%, Amerika Serikat
sebesar 15%, dan India 6% (USGS, 2013).
Di sisi lain, akibat peningkatan jumlah penduduk dan industri,
kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat, dari
hanya 2,7 juta ton pada tahun 2007 meningkat menjadi 3,75 juta ton pada
tahun 2015. Dari jumlah tersebut, 647,6 ribu ton (17,3%) merupakan kebutuhan
garam konsumsi dan 3,1 juta ton (82,7%) merupakan garam industri (BPS,
2015). Ironisnya kebutuhan industri yang memerlukan garam dengan kualitas
tinggi, yaitu dengan kandungan NaCl lebih dari 95% mencapai 61,5%.
Dari jumlah kebutuhan garam dengan kualitas tinggi yang mencapai
61,5% tersebut, hanya sekitar 31% yang bisa dipenuhi oleh kebutuhan garam
yang dihasilkan di dalam negeri. Hal itu terlihat dari data KKP (2015) yang
menunjukkan bahwa kualitas garam lokal yang dihasilkan, khususnya oleh
petambak garam (garam rakyat) tidak seragam sehingga penjualan garam
petani tambak juga digolongkan kedalam beberapa kelas sesuai dengan
kualitasnya. Kualitas pertama (KW1) adalah garam dengan tingkat NaCl
antara 95%-98%, kualitas kedua (KW2) mengandung NaCl antara 90%-95%,
dan kualitas ketiga (KW3) berkadar NaCl kurang dari 90%. Dari total produksi
nasional yang mencapai 2,84 juta ton pada tahun 2015, jumlah produksi
garam rakyat yang masuk dalam kategori KW1 baru mencapai 31,04%.
Dengan demikian, dengan asumsi bahwa kebutuhan garam industri yang
mencapai lebih dari 80%, maka masih terbuka peluang pasar sebesar 50%
bagi petani garam lokal jika petani garam bisa memproduksi garam yang bisa
memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (LPPM ITB, 2016).
Masih belum terpenuhinya kebutuhan garam dengan kualitas tinggi tersebut
mengingat berdasarkan studi KKP (2015), pembuatan garam di Indonesia
yang umumnya melalui metode solar evaporation pada areal petak yang kecil
mengakibatkan kualitas garam yang dihasilkan bervariasi. Kandungan NaCl
garam yang diproduksi dalam negeri hanya berkisar antara 81%-96%.
Beberapa uji laboratorium yang dilakukan oleh beberapa instansi juga
menunjukkan kandungan NaCl yang lebih rendah. Misalnya (1) Hasil analisis
uji sampel garam dari 42 Kabupaten/Kotamadya kepada para penerima

2
Dilema Pergaraman di Indonesia

program PUGAR yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP)


pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa garam tersebut memiliki rata-
rata kandungan NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm,
Arsen 0 ppm; (2) Hasil pengujian laboratorium beberapa Industri Pengolahan
Garam pada tahun 2014, garam rakyat memiliki kandungan NaCl sebesar
81,1 – 86,91%; kadar air = 9,68 – 9,77%; Ca = 0,15 – 2,02%; Mg = 0,89
– 2,31% (Hasil Peninjauan Tim Kemenko Perekonomian, Kemenperin, KKP
dan Kemendag); (3) Garam bahan baku premium PT. Garam (14 Maret dan
15 April 2014) memiliki kandungan NaCL (adbk) 95,47% – 96,45%, H2O:
0,24 – 6,23%, Ca 0,22 – 0,58. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan garam
dalam negeri khususnya garam industri, Indonesia pada 2014 mengimpor
sebanyak 2,16 juta ton dan jumlah ini sama dengan 69,6% kebutuhan industri
yang memerlukan garam dengan kualitas tinggi (Kemenperin, 2016). Adanya
perbedaan hasil yang cukup signifikan terkait dengan kualitas garam yang
ditunjukkan oleh beberapa institusi yang berbeda-beda ini kemungkinan
besar disebabkan oleh sampel yang berbeda-beda.
Terlihat bahwa garam yang dibutuhkan sektor industri menuntut kualitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan garam untuk konsumsi rumah
tangga. Supaya dapat memanfaatkan peluang tersebut, maka penting bagi
pemerintah untuk mengupayakan berbagai terobosan baru yang mampu
memberikan insentif kepada produsen garam dalam negeri untuk dapat
memproduksi garam dengan kualitas tinggi. Apalagi kebutuhan garam dari
sektor industri sendiri berkontribusi lebih dari 80% dari total kebutuhan garam
nasional (Sulistyono, 2015).
Selain permasalahan terkait dengan kualitas garam yang dihasilkan,
permasalahan lain dalam pergaraman adalah produktivitas garam yang
masih rendah. Sebagai contoh, produktivitas PT. Garam tidak lebih dari 70
ton/hektar (Kabar Bisnis, 2013). Jika produktivitas petani garam rakyat hanya
sebesar 60 ton/hektar, maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas garam
domestik hanya berkisar 60 ton/hektar hingga 70 ton/hektar. Angka ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat menghasilkan garam
dengan produktivitas yang mencapai 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015).
Ada banyak faktor yang diperkirakan berkontribusi terhadap rendahnya
produktivitas garam di Indonesia. Pertama, teknik produksi dan peralatan
yang digunakan masih sangat tradisional serta produksi garam yang
sangat bergantung pada cuaca yang secara umum hanya memungkinkan
memproduksi garam hanya dalam waktu 4 bulan (KKP, 2014). Masa
produksi ini jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan Australia yang
iklimnya memungkinkan untuk memproduksi garam hingga 8 bulan sehingga
menghasilkan garam yang jauh lebih banyak dengan kualitas tinggi.

3
Ernawati Munadi

Produksi garam di Indonesia sebagian besar juga merupakan produksi


garam rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan letak
yang terpencar-pencar. Kondisi ini menyulitkan pengembangan garam dalam
skala besar yang terintegrasi dan efisien yang membutuhkan kesatuan lahan
datar yang cukup luas yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga
mendapat manfaat dari skala ekonomi (Puska PDN, 2012). Faktor lain juga
usaha garam hanyalah merupakan mata pencaharian musiman, di mana
petani garam seringkali hanya memanfaatkan waktu jeda pada usaha tambak
udang sehingga usaha garam rakyat belum dilakukan secara optimal.
Melihat kondisi sektor pergaraman nasional tersebut adalah sebuah dilema
bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah harus melidungi petani garam mengingat
bahwa 85% produksi di Indonesia dihasilkan oleh garam rakyat dan hanya 15%
dari total produksi garam yang dihasilkan oleh PT. Garam (KKP, 2015). Meskipun
produksi garam dalam negeri yang sebenarnya dari jumlah tidak sedikit, namun
karena produksi garam tidak dikelola dengan teknologi tinggi maka sebagian
besar garam yang dihasilkan petani rakyat masih menghadapi kendala dalam
menghasilkan garam dengan kualitas yang memenuhi persyaratan yang
diinginkan oleh industri. Akibatnya, petani garam sering dihadapkan pada kondisi
yang sulit karena rendahnya harga garam impor seringkali memaksa petani
garam lokal membanting harga. Sayangnya, pasar akan tetap memilih produk
impor yang kualitasnya terjamin dan harganyapun tetap terjaga. Petani garam
ingin mendapatkan kepastian dari segi harga dan pasar.
Di sisi lain, pemerintah juga harus melindungi sektor industri yang
membutuhkan garam. Mereka juga merupakan stakeholder penting
yang harus dilindungi terkait dengan kebijakan garam, dan jangan sampai
kebijakan yang diambil oleh pemerintah merugikan salah satu stakeholder
penting tersebut. Hal ini mengingat bahwa industri pengguna garam juga
sangat memegang peranan penting dalam ekonomi.
Industri makanan dan minuman misalnya yang membutuhkan garam rata-
rata per tahunnya sebesar 509,6 ribu ton per tahun juga sangat memerlukan
kearifan pemerintah dalam melihat situasi pergaraman nasional yang terjadi
selama ini. Hal itu disebabkan karena garam merupakan bahan baku yang
sangat esensial dalam proses produksi industri makanan dan minuman.
Tanpa garam, industri makanan dan minuman tidak dapat berproduksi, yang
pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya industri
makanan dan minuman sangat penting untuk diperhatikan mengingat industri
ini sangat berkontribusi terhadap penyerapan lapangan kerja yang jumlahnya
tidak sedikit karena multiplier effect yang dihasilkan oleh industri makanan
dan minuman dapat memberikan dampak penyerapan tenaga kerja sebanyak
empat kali lipat.

4
Dilema Pergaraman di Indonesia

Sepertinya peningkatan kualitas garam rakyat pada level yang memenuhi


persyaratan industri pengguna garam merupakan solusi tepat yang harus
dilakukan oleh pemerintah dalam memecahkan dilema sektor pergaraman ini.
Hal itu mengingat bahwa sebenarnya garam rakyat juga mampu mencapai
kualitas seperti yang dipersyaratkan oleh industri yaitu dengan kandungan
NaCl yang mencapai lebih dari 95%. Hal itu terbukti bahwa sudah ada sekitar
31% garam rakyat yang berdasarkan uji laboratorium telah mampu mencapai
NaCl lebih dari 95% apalagi dengan perkembangan produksi yang terjadi
akhir-akhir ini dimana dengan bantuan KKP melalui teknologi membran sel
umumnya garam rakyat sudah memiliki kualitas dengan kandungan NaCl
yang tinggi. Namun upaya yang telah dilakukan oleh program PUGAR yang
dimotori oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu bersinergi dengan
kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian
Perdagangan untuk bisa menciptakan kepastian kualitas namun mampu
menjamin kepastian pasar dan harga bagi petani yang merupakan insentif
untuk meningkatkan kualitas garam.
Jika kepastian harga dan pasar bagi petani sudah tercipta, maka
permintaan garam untuk keperluan bahan baku industri yang masih sangat
terbuka lebar dapat menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan oleh petani yang
pada akhirnya mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani.
Dengan kata lain, kepastian yang diinginkan petani yaitu kepastian tentang
pasar dan harga otomatis tercapai jika garam yang dihasilkan rakyat bisa
memenuhi kebutuhan industri yang masih terbuka lebar. Belum lagi peluang
yang tercipta untuk ekspor garam. Diantara jenis garam yang masih diekspor
oleh Indonesia hingga detik ini adalah garam meja. Peluang ekspor garam
meja ini bisa menjadi salah satu alternatif solusi atas produksi garam rakyat
yang tidak sepenuhnya dapat diserap oleh industri domestik, terutama karena
persyaratan kadar NaCl yang sangat tinggi.
Beberapa ilustrasi di atas merupakan gambaran tentang sektor
pergaraman nasional. Fakta-fakta tersebut akan dibahas secara lebih
mendalam dalam Bunga Rampai Info Komoditi Garam edisi kali ini. Buku ini
selanjutnya disusun dengan Bab II yang akan membahas Produksi Garam,
dan akan dilanjutkan dengan gambaran tentang Konsumsi Garam di Bab
III, kemudian membahas lebih jauh terkait dengan Perdagangan Garam di
Dalam Negeri di Bab IV yang dilanjutkan dengan Perdagangan Luar Negeri
Garam di Bab V. Peluang dan Tantangan Komoditas Garam kemudian akan
dibahas di Bab VI dan diakhiri dengan bagian Penutup di Bab VII. Semoga
tulisan ini mampu memberikan wawasan tentang Komoditas Garam secara
luas dan bermanfaat bagi seluruh pembaca.

5
Ernawati Munadi

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Distribusi Perdagangan Komoditi Garam
Indonesia. Diunduh dari www.bps.go.id tanggal 31 Januari 2016.
Detik Finance. (2015, Oktober 7). Faisal Basri Kritik BUMN Garam.
Diunduh tanggal 29 Januari 2016 dari http://finance.detik.com/
read/2015/10/07/210546/3038896/ 1036/faisal-basri-kritik-bumn-
garam.
Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP. (2015). Refleksi 2014,
Outlook 2015. Jakarta: Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, KKP.
Gatra. (2015, April 20). Hingga Akhir 2015, Kebutuhan Garam Nasional 2,6
Juta Ton. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari http://www.gatra.
com/ekonomi/industri/143400-hingga-akhir-2015,-kebutuhan-
garam-nasional-2,6-juta-ton.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Laporan Kinerja
Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015). Laporan Kinerja
Kementerian Kelatuan dan Perikanan Tahun 2014. Diunduh tanggal
17 Februari 2016 dari http://kkp.go.id/assets/uploads/2015/03/
LAKIP-KKP-2014.pdf.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2016) Diunduh 11 Mei 2016,
dari http://kemenperin.go.id/artikel/11298/Garam-Industri-Masih-
Bergantung-Impor.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM ITB). (2016).
Peningkatan Kualitas dan Produksi Industri Garam Rakyat. Diunduh
tanggal 12 Februari 2016 dari http://www.lppm.itb.ac.id/pengabdian/
laporanpengabdian /peningkatan-kualitas-dan-produksi-industri-
garam-rakyat.
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (Puska PDN). (2012).
Penerapan Supply Chain Management untuk Meningkatkan Efisiensi
dan Efektifitas Distribusi pada Kasus Garam. Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Sulistyono, Endra. (2015). Mewujudkan Garam Nasional yang
Berswasembada. Diunduh 15 Mei 2016, dari: http://www.kemenkeu.
go.id/sites/default/files /Mewujudkan%20Garam%20Nasional%20
yang%20Berswasembada.pdf.
US Geological Survey (USGS). (2013). Publications: Mineral Yearbook.
Diambil kembali dari US Geological Survey (USGS): minerals.usgs.
gov/minerals/pubs/commodity/salt/myb1-2013-salt.xls.

6
Produksi Garam Indonesia

BAB II
PRODUKSI GARAM INDONESIA
Septika Tri Ardiyanti

2.1 Pendahuluan
Garam menjadi salah satu komoditas strategis nasional yang kedudukannya
tidak kalah penting jika dibandingkan dengan kebutuhan pokok lainnya,
mengingat peran dan fungsi yang dimilikinya. Selain berfungsi sebagai bahan
pangan, garam juga berfungsi sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri.
Sebagai bahan pangan yang mengandung unsur mineral yang dibutuhkan oleh
manusia, Sodium dan Klor (NaCl), keberadaan garam tentu mutlak diperlukan di
tiap rumah tangga masyarakat. Sementara sebagai bahan baku industri, garam
menjadi bahan baku penting bagi industri makanan olahan, industri kimia atau
farmasi, industri penyamakan kulit dan industri pengeboran minyak (Rismana
dan Nizar, 2014). Melihat peran esensial garam bagi konsumsi rumah tangga
yang menyangkut ketahanan pangan dan pemenuhan gizi nasional serta fungsi
sebagai bahan baku bagi industri di dalam negeri, tidak heran apabila garam
kemudian juga dijuluki sebagai salah satu “komoditas politik” (Gibran, 2015).
Sebagai “komoditas politik”, isu swasembada garam nasional kemudian
menjadi salah satu isu yang banyak diperbincangkan. Hal tersebut disebabkan
karena Indonesia masih bergantung pada garam impor untuk memenuhi
kebutuhan dalam negerinya, sebuah kondisi yang cukup ironis bagi Indonesia,
negara yang 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Meskipun pemerintah telah
menargetkan bahwa Indonesia harus menjadi poros maritim dunia di masa
mendatang, usaha produksi garam yang notabene merupakan salah satu
produk hasil laut ternyata masih belum banyak diminati di dalam negeri,
termasuk usaha untuk meningkatkan kualitas garam nasional (Purbani, 2001).
Hingga saat ini, sebagian besar produksi garam dilakukan secara individual
oleh petani garam sehingga produksi garam mempunyai produktivitas yang
rendah dan kualitas garam yang relatif rendah pula sehingga tidak memenuhi
spesifikasi yang disyaratkan oleh industri di dalam negeri (Efendy, et al.,
2016). Apabila dibandingkan antara kebutuhan nasional dan kemampuan
produksi, maka produksi garam nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan
dari sisi konsumsi saja, sementara untuk kebutuhan bahan baku industri
masih bergantung pada impor. Meskipun garam konsumsi telah dipenuhi
oleh produksi dalam negeri, namun ternyata sebagian besar produksi garam
rakyat tersebut masih membutuhkan proses pengolahan lebih lanjut untuk
dapat memenuhi segala standar yang dibutuhkan hingga layak dikonsumsi
oleh masyarakat (Efendy, Zainuri dan Hafiluddin, 2014).

7
Septika Tri Ardiyanti

Berbagai permasalahan yang terdapat pada usaha produksi garam


rakyat tersebut, tentu memberi dampak bagi para petani garam. Rendahnya
kualitas produksi garam serta persaingan dengan garam impor membuat
harga garam dalam negeri semakin tertekan yang pada akhirnya berdampak
pada kesejahteraan petani garam. Bahkan, salah satu faktor keengganan
petani garam untuk berproduksi dan memperbaiki kualitas produksi adalah
harga garam di pasar dalam negeri yang tidak stabil dan sering turun drastis
(Kompas, 2016). Padahal, usaha produksi garam rakyat juga merupakan
salah satu roda penggerak perekonomian karena menyediakan lapangan
kerja terutama bagi masyarakat di kawasan pesisir Indonesia dan menjadi
sarana untuk mengentaskan kemiskinan (Kusumastanto dan Satria, 2012).
Melihat fakta-fakta tersebut, maka produksi garam kemudian menjadi
salah satu isu nasional dan merupakan fokus pemerintah saat ini. Bab ini
membahas lebih lanjut berbagai isu terkait produksi garam nasional termasuk
kinerja produksi garam nasional dari sisi teknologi yang digunakan, luas areal
dan produksi garam nasional, permasalahan dalam produksi hingga kebijakan
yang telah dilakukan pemerintah guna meningkatkan dan memperbaiki
kuantitas dan kualitas produksi garam nasional.

2.2 Sumber dan Jenis Garam


Garam di dunia berasal dan diproduksi dari berbagai sumber. Secara
umum, terdapat tiga sumber utama garam, antara lain (Burhanuddin, 2001):
a. Air Laut dan Air Danau Asin
Sebesar 40% produksi garam dunia berasal dari air laut. Beberapa
negara produsen garam yang berasal dari air laut antara lain Australia,
Brazil, RRT India, Kanada dan Indonesia. Sementara itu, produksi garam
dunia yang berasal dari air danau asin menyumbangsebesar 20% dari
total produksi dunia. Negara produsen garam yang berasal dari air danau
asin antara lain: Yordania (Laut Mati), Amerika Serikat (Great Salt Lake),
RRT dan terdapat beberapa daerah di Australia.
b. Tambang Garam
Produksi garam dunia yang berasal dari dalam tanah (tambang garam)
memiliki pangsa sebesar kurang lebih 40% dari total produksi garam
dunia. Tambang-tambang garam terutama berada di Negara Amerika
Serikat, Belanda, RRT dan Thailand.
c. Air Dalam Tanah
Garam yang berasal dari air dalam tanah memiliki pangsa yang amat
kecil dari total produksi garam dunia. Kecilnya produksi garam yang
berasal dari air tanah disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi garam tersebut dinilai tidak efisien (tidak ekonomis).

8
Produksi Garam Indonesia

Selain pengelompokan berdasarkan sumber asal garam, garam di dunia


dikelompokkan menjadi empat jenis berdasarkan nomenklatur perdagangan
internasionalnya yaitu klasifikasi barang menurut ASEAN Harmonized Tariff
Nomenclature (AHTN). AHTN merupakan nomenklatur klasifikasi barang
yang bertujuan untuk menyederhanakan transaksi perdagangan intra-
ASEAN melalui suatu nomenklatur yang seragam. AHTN terdiri dari 6 digit
kode numerik HS yang dibuat oleh World Custom Organization (WCO) dan
kemudian disusun ke dalam 8 digit kode numerik HS yang seragam untuk
seluruh ASEAN. Jenis garam berdasarkan klasifikasi tersebut antara lain: 1)
Garam meja/ table salt (HS: 2501.00.10), 2) Rock salt (HS: 2501.00.20), 3)
Sea water (HS: 2501.00.50) dan other (HS: 2501.00.90) (Kemenkeu, 2016).
Berbeda dengan klasifikasi garam dunia, klasifikasi garam nasional secara
garis besar dikelompokkan menjadi dua jenis garam yaitu garam konsumsi dan
garam industri. Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri
Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang perubahan atas Peraturan
Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang peta panduan
(roadmap) pengembangan klaster industri garam (Gambar 2.1). Sebagai salah
satu komoditas strategis nasional, wajar bila pemerintah banyak mengeluarkan
beberapa kebijakan khusus yang mengatur garam dalam negeri, baik dari
sisi supply (pasokan), demand (permintaan) maupun dari sisi distribusinya
termasuk juga pengkategorian jenis dan kegunaan garam di dalam negeri.
Perbedaan klasifikasi garam dunia dan garam nasional tentu menimbulkan
permasalahan dalam perdagangan luar negeri khususnya pada saat impor.
Klasifikasi garam dunia berdasarkan kode HS tidak membedakan peruntukan
garam konsumsi ataupun garam industri sehingga garam impor yang masuk ke
dalam negeri masih sulit dibedakan apakah garam tersebut garam konsumsi
atau garam produksi yang meningkatkan resiko merembesnya garam impor
sebagai garam konsumsi.

9
Septika Tri Ardiyanti

Gambar 2.1 Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin


No. 88/M-IND/PER/10/2014.
Sumber: Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014

Berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014 yang dimaksud


dengan garam konsumsi adalah garam yang digunakan untuk konsumsi
masyarakat atau dapat diolah menjadi garam rumah tangga dan garam diet.
Garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan kandungan
NaCl minimal 94% atas dasar basis kering (adbk) dengan kandungan air
maksimum 7%, bagian yang tidak larut dalam air maksimum 0,5 mg/Kg
(adbk), Kadmiun (Cd) maksimum 0,5 mg/Kg, Timbal (Pb) maksimum 10,0 mg/
Kg, Raksa (Hg) maksimum 0,1 mg/kg dan cemaran Arsen (As) maksimum
0,1 mg/Kg serta Kalium Ioidate (KIO3) minimal 30 mg/kg yang berbentuk
padat dan dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Sementara itu, yang
dimaksud dengan garam diet adalah garam konsumsi beryodium berbentuk
cairan/padat dengan kadar NaCl maksimum 60% (adbk) serta Kalium Iodate
(KIO3) 30 mg/Kg yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Garam industri pada peraturan Menteri Perindustrian No. 88 Tahun 2014
tersebut adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong
yang digunakan pada proses produksi pada industri kimia, industri aneka
pangan, industri farmasi, industri perminyakan, industri penyamakan kulit dan
water treatment. Garam industri yang digunakan tersebut memiliki spesifikasi
teknis yang berbeda-beda bergantung pada jenis industrinya.
1. Garam Industri Kimia adalah jenis garam yang digunakan untuk
memproduksi senyawa kimia antara lain Chlor Alkali Plant (CAP), dengan

10
Produksi Garam Indonesia

standar high grade, dengan kadar NaCl minimum 96% (adbk), kadar
air (b/b) maksimum 2,5%, Calsium (Ca) maksimum 0,1%. Hasil produk
CAP digunakan untuk industri kertas, industri PVC, sabun (deterjen) dan
tekstil.
2. Garam industri aneka pangan adalah garam beryodium maupun tidak
beryodium yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong pada
industri aneka pangan untuk memproduksi makanan atau minuman.
Spesifikasi teknis yang dibutuhkan pada garam industri aneka pangan
adalah garam beryodium maupun tidak beryodium dengan standar food
grade dan telah diolah dengan tingkat kehalusan tertentu dengan kadar
NaCl minimum 97% (adbk), Calsium (Ca) maksimum 0,06%, Magnesium
(Mg) maksimum 0,06%, kadar air (b/b) maksimum 0,5%, bagian yang
tidak larut dalam air maksimum 0,5% dan cemaran logam Kadmium
(Cd) maksimum 0,5 mg/Kg, Timbal (Pb) maksium 10 mg/Kg, Raksa (Hg)
maksimum 0,1 mg/Kg dan Arsen (As) maksimum 0,1 mg/Kg untuk garam
beryodium minimum 30 mg/Kg. Garam jenis ini banyak digunakan untuk
industri mie, bumbu masak, biskuit, minuman gula, kecap, mentega dan
pengalengan ikan.
3. Garam industri farmasi adalah jenis garam yang digunakan pada industri
farmasi sebagai bahan baku/bahan penolong dengan spesifikasi kadar
NaCl minimal 99,8% (adbk), kadar impurities mendekati 0%. Garam jenis
ini banyak digunakan untuk pembuatan cairan infus, cairan pembersih
darah (Haemodialisa) atau garam murni.
4. Garam industri perminyakan adalah garam yang digunakan sebagai bahan
penolong pada proses pengeboran minyak. Spesifikasi garam industri
perminyakan yaitu garam dengan kadar NaCl minimal 95% (adbk), Sulfat
(SO4) maksimum 0,5%, Calsium (Ca) maksimum 0,2% dan Magnesium
(Mg) maksimum 0,3% dengan kadar air 3% sampai dengan 5%.
5. Garam industri penyamakan adalah garam yang digunakan sebagai
bahan penolong pada proses penyamakan kulit. Spesifikasi garam untuk
industri tersebut adalah garam yang peruntukannya sebagai bahan
penolong dengan standar NaCl minimal 85% (adbk).
6. Garam water treatment adalah garam yang digunakan sebagai bahan
penolong pada proses penjernihan air dan/atau pelunakan air pada
boiler. Spesifikasi yang dibutuhkan pada garam untuk water treatment
adalah kadar NaCl minimal 85% yang peruntukkannya sebagai bahan
penolong untuk penjernihan air. Sedangkan, untuk pelunakan air
pada boiler dibutuhkan spesifikasi garam dengan tingkat kadar NaCl
minimal 95%.

11
Septika Tri Ardiyanti

2.2 Areal dan Teknologi Pembuatan Garam


Areal untuk proses pembuatan garam terutama untuk garam yang berasal
dari air laut dengan menggunakan tenaga matahari secara umum harus dipilih
berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam memilih
lokasi tersebut antara lain letak dari permukaan air laut, topografi, sifat fisik
tanah dan sebagainya (Puska PDN, 2011). Faktor-faktor desain lokasi areal
pergaraman yang menentukan adalah “air laut” sebagai bahan baku, “tanah”
sebagai faktor sarana utama dan “iklim” sebagai faktor sumber tenaga serta
tenaga manusia sebagai faktor tambahan (Puska PDN, 2011).
1. Air Laut
Air laut untuk pembuatan garam harus memenuhi persyaratan:
Kadar garamnya tinggi, tidak tercampur aliran muara sungai tawar.
Jernih, tidak tercampur dengan lumpur, sampah dan lain sebagainya.
Mudah masuk ke areal ladang garam, pada saat pasang air laut dapat
masuk ke saluran/petak penampungan sehingga mudah dipompa ke
areal ladang garam.
2. Tanah
Sebagai sarana utama, tanah untuk ladang pegaraman harus memenuhi
persyaratan:
Kedap air, artinya tidak porous (rembes air) agar air laut yang
ditampung di atasnya tidak merembes (bocor) ke dalam tanah.
Ketinggian maksimum 3 meter di atas permukaan air laut rata-
rata (mean sea level/m.s.l) agar mudah serta murah dalam hal
pemompaan air ke dalam ladang pegaraman.
Harus cukup luas. Untuk ladang perorangan minimal 1 Ha, untuk
perusahaan besar diperlukan tanah minimal 4000 Ha.
3. Iklim
Sebagai sumber energi utama harus memenuhi persyaratan iklim:
Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam
antara 1000-1300 mm/tahun.
Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim
kemarau tidak pernah terjadi hujan (salah musim). Lama kemarau
kering ini minimal 4 bulan (120 hari).
Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup atau jarang
mendung/berkabut. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut
akan semakin cepat.
Mempunyai kelembaban rendah/kering. Makin kering udara di daerah
tersebut, penguapan akan makin cepat.

12
Produksi Garam Indonesia

Teknologi yang digunakan untuk pembuatan garam juga beragam dan


didasarkan oleh sumber dimana garam tersebut berasal. Proses pembuatan
garam tersebut antara lain (Puska PDN, 2011):
1. Garam dari tambang
Pembuatan garam dari tambang dapat dilakukan melalui dua proses,
yaitu
Proses 1: Penambangan langsung, kemudian dicuci (washing
plant),dihilangkan airnya sampai kadar air mencapai 3-5% dengan
centrifuge (untuk menghasilkan jenis garam bahan baku/garam
kasar) dan dilanjutkan dengan pengeringan (drying) dan penggilingan
(crushing) untuk menghasilkan garam halus atau garam meja.
Proses 2: Garam hasil penambangan dilarutkan dalam air (dapat
ditambang dahulu kemudan dicairkan atau dicairkan di bawah
permukaan tanah dengan sedikit air dengan tekanan yang sangat
tinggi). Larutan garam ini kemudian diberikan perlakuan khusus
agar jernih dan seminimum mungkin mengandung kotoran (baik
lumpur maupun senyawa kimia yang tidak dikehendaki), kemudian
dikristalkan kembali dalam kolom Kristalisasi (crystallization column).
Hasil re-kristalisasi kemudian dikeringkan, diayak (sleving) dan
terakhir dikantongi (packing).
2. Garam dari Air Laut
Garam dari air laut dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:
Proses 1: Penguapan air Laut di ladang garam dengan tenaga sinar
matahari (Solar Evaporation). Air laut diuapkan di ladang-ladang
garam dengan tenaga sinar matahari. Hasil garam diambil, kemudian
dicuci agar bersih serta sesedikit mungkin mengandung senyawa
lain yang tidak dikehendaki dan lumpur.
Proses 2: Pemisahan NaCl dengan aliran listrik (Elektrodialisa)
Air laut dimasukkan dalam sel-sel elektrolisa yang dialiri listrik sehingga
didapatkan larutan NaCl jernih. Larutan ini kemudian dikristalisasi dalam
kolom kristalisasi. Hasil re-kristalisasi dikeringkan, diayak dan terakhir
dikantongi (packing).
3. Garam dari Air Danau Garam(Salt Lake)
Pada prinsipnya proses pembuatan garam yang berasal dari air danau
sama dengan garam dari air laut, hanya karena kadar garamnya relatif
lebih tinggi maka hasil garam per satuan lahan maupun per satuan utility
(listrik,bahan bakar) hasilnya menjadi lebih besar dibandingkan dengan
penguapan air laut.

13
Septika Tri Ardiyanti

2.3 Produksi Garam Dunia


Di tahun 2013, total produksi garam dunia mencapai 262,0 juta ton,
atau mengalami penurunan sebesar 0,6% per tahun selama periode 5 tahun
terakhir (Tabel 2.1). Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan produsen
utama garam dunia, dengan produksi pada tahun 2013 mencapai 70,0 juta
ton atau memiliki pangsa sebesar 26,7% dari total produksi garam dunia.
Produksi garam RRT selama periode 2009-2013 menunjukkan kondisi yang
fluktuatif dengan peningkatan rata-rata 0,8% per tahun. Sebagian besar garam
RRT berasal dari air laut yaitu kurang lebih sebesar 75% dari total produksi.
Selain air laut, sumber garam RRT juga berasal dari danau air asin dan sumur
garam (air dalam tanah) (Bloch, 2016). Sementara itu, Amerika Serikat (AS)
menduduki peringkat ke-2 produsen garam dunia dengan total produksi pada
tahun 2013 mencapai 40,3 juta ton (pangsa 15,4% produksi dunia). Sama
seperti RRT, sebagian besar garam Amerika Serikat atau sebesar 63,0%
berasal dari garam air laut, sementara 37,0% lainnya berasal dari tambang
garam (USGS, 2013).
Selanjutnya India, Kanada dan Jerman masing-masing berada pada
urutan ke-3, ke-4 dan ke-5 dengan total produksi pada 2013 mencapai 16,0
juta ton (pangsa: 6,1%); 12,2 juta ton (pangsa 4,7%) dan 11,9 juta ton (pangsa
4,5%). Di India dan Kanada, hampir keseluruhan garam yang diproduksi
berasal dari air laut, bahkan hanya 0,01% yang berasal dari tambang garam
di India. Berbeda dengan kedua negara tersebut, produksi garam Jerman
sebagian besar berasal dari tambang garam dengan pangsa sebesar 51,5%
dari total produksi dan 48,5% lainnya berasal dari garam air laut (USGS, 2013).
Sementara itu, Australia yang letak geografisnya tidak jauh dari Indonesia dan
menjadi negara utama asal impor garam Indonesia berada di peringkat ke-6
dengan total produksi pada tahun 2013 sebesar 11,0 juta Ton atau sebesar
4,2% dari total produksi garam dunia yang sebagian besar berasal dari air laut
dan beberapa danau air asin (USGS, 2013; Hough, 2008) (Tabel 2.1).
Sebagai negara maritim, produksi garam Indonesia berdasarkan USGS
(2013) tercatat sebesar 0,72 juta ton atau memiliki pangsa sebesar 0,27% dari
total produksi dunia. Dengan total produksi tersebut, Indonesia menduduki
peringkat ke-36 dunia, berada tepat di bawah Filipina yang menduduki
peringkat ke-35 dunia. Produksi garam Indonesia berdasarkan data yang
dirilis oleh USGS selama periode 2009–2013 menunjukkan adanya tren
peningkatan dengan rata-rata kenaikan sebesar 5,9% per tahun (Tabel 2.1).

14
Produksi Garam Indonesia

Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, 2010 - 2013


No. Negara Juta Ton Tren. (%) Pangsa (%)
2009 2010 2011 2012 2013 09-13 2013
Total 265,00 270,00 272,00 260,00 262,00 (0,60) 100,00
1 RRT 66,63 70,38 67,42 69,12 70,00 0,81 26,72
2 AS 46,00 43,30 45,00 37,20 40,30 (4,08) 15,38
3 India 16,50 17,00 16,00 17,00 16,00 (0,61) 6,11
4 Kanada 14,62 10,54 12,63 10,85 12,21 (3,25) 4,66
5 Jerman 18,94 19,68 17,44 14,45 11,90 (11,65) 4,54
6 Australia 11,56 12,06 11,40 10,82 11,00 (2,05) 4,20
7 Meksiko 7,45 8,43 8,81 10,80 10,80 10,42 4,12
8 Brazil 5,91 7,03 6,16 7,48 7,50 5,54 2,86
9 Inggris 6,17 6,67 6,70 6,70 6,70 1,73 2,56
10 Chile 8,38 7,69 9,97 8,06 6,58 (4,30) 2,51
11 Ukraina 5,40 4,91 5,94 6,19 6,20 5,23 2,37
12 Perancis 6,20 5,87 5,43 5,46 6,10 (1,04) 2,33
13 Turki 3,77 4,04 6,55 5,25 5,30 9,92 2,02
14 Spanyol 4,29 4,35 4,37 4,39 4,44 0,78 1,69
15 Polandia 3,83 4,10 4,28 3,93 4,43 2,51 1,69
35 Filipina 0,52 0,56 0,72 0,72 0,72 9,65 0,27
36 Indonesia 0,59 0,60 0,65 0,70 0,72 5,86 0,27
Lainnya 8,53 8,73 9,09 8,13 8,50 (0,80) 3,2

Catatan: data produksi garam Indonesia yang tercatat oleh USGS lebih rendah dari data tercatat oleh KKP sehingga
kemungkinan data tersebut hanya sebatas garam untuk keperluan konsumsi rumah tangga karena volumenya hanya
di kisaran 700 ribu ton.

Sumber: USGS Minerals Yearbook (2013)

2.4 Kinerja Produksi Garam Nasional


2.4.1 Produksi Garam Indonesia
Produksi garam nasional hingga saat ini hanya mampu memenuhi
kebutuhan garam dalam negeri dari segi konsumsi saja, sementara untuk
kebutuhan garam industri dipenuhi dari impor (Efendy, et al., 2016). Produksi
garam Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
garam yang berasal atau diproduksi oleh PT. Garam (Persero) dan garam
yang berasal dari rakyat yang disebut dengan garam rakyat. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang
dimaksud dengan garam rakyat adalah garam yang diproduksi dan berasal
dari areal pegaraman selain yang dikelola/digarap oleh PT. Garam. PT. Garam
adalah satu-satunya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak di
bidang produksi garam.
Dalam berproduksi, PT. Garam memiliki areal lahan produksi tersendiri
yang dikelola oleh petani garam yang juga menjadi pegawai dari PT. Garam.
Dari beberapa lahan yang dimiliki oleh PT. Garam, sebagian ada yang

15
Septika Tri Ardiyanti

disewakan untuk dikelola oleh rakyat yang kemudian termasuk ke dalam


garam rakyat. Meskipun lahan tersebut dimiliki oleh PT. Garam, namun
karena pengelolaannya sepenuhnya dilakukan oleh non-PT. Garam maka
dikategorikan ke dalam garam rakyat. PT. Garam hingga saat ini menjadi
kompetitor utama bagi garam rakyat karena garam yang diproduksi sama-
sama diperuntukkan sebagai garam konsumsi.
Pada tahun 2015, produksi garam nasional mencapai 2,8 juta ton yang
terdiri dari 345 ribu ton garam yang diproduksi oleh PT. Garam (persero) dan
2,5 juta ton yang berasal dari garam rakyat. Dengan demikian, mayoritas
garam nasional pada periode tersebut bersumber dari garam rakyat dengan
pangsa 87,9% dari total produksi nasional, sementara garam yang berasal
dari PT. Garam (persero) hanya memiliki pangsa sebesar 12,1%.
Secara nasional, produksi garam selama periode 2009-2015 mengalami
tren peningkatan yang sangat signifikan dengan rata-rata pertumbuhan
46,6% per tahun. Meskipun pada tahun 2010, produksi garam nasional
sempat mengalami penurunan tajam hingga hanya mencapai 30,6 ribu ton,
turun signifikan dari produksi tahun sebelumnya yang mencapai 1,4 juta
ton. Kementerian Perindustrian yang saat itu menjadi kementerian pembina
sektor garam nasional, bahkan menyatakan bahwa produksi garam tahun
2010 hanya mencapai 2% dari rata-rata produksi garam dalam setahun
sebesar 1,2 juta ton. Merosotnya produksi di tahun 2010 disebabkan adanya
perubahan iklim dimana musim hujan yang terjadi hampir sepanjang tahun
sehingga merusak siklus produksi garam (Tempo, 2011).
Tren peningkatan produksi garam pada periode 2009-2015 dipicu oleh
peningkatan produksi garam rakyat yang naik sebesar 48,6% per tahun
dan produksi PT. Garam (persero) yang juga meningkat sebesar 37,1% per
tahun (Tabel 2.2). Peningkatan produksi tersebut tidak terlepas dari program
PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat) yang dicanangkan oleh
pemerintah pada tahun 2011 yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas
sumber daya manusia pada masyarakat pesisir, penguatan kelembagaan dan
pemangku kepentingan di sektor garam guna mendukung target pencapaian
swasembada garam konsumsi pada 2012 dan swasembada garam industri
pada tahun 2014.
Tabel 2.2 Produksi Garam Indonesia (Ribu Ton)
Uraian Tahun Tren. (%) Pangsa (%)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 09-15 2015

Produksi Indonesia 1.371,0 30,6 1.113,1 2.071,6 1.087,7 2.190,0 2.840,0 46,6 100,0
- PT. Garam (Persero) 308,5 4,5 156,7 307,3 156,8 315,0 345,0 37,1 12,1
- Garam Rakyat 1.062,5 26,1 956,4 1.764,3 930,9 1.875,0 2.495,0 48,6 87,9

Keterangan: Data produksi diambil dari neraca garam sehingga volume produksi tersebut sudah termasuk penyusutan 10%-25%.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2015a)

16
Produksi Garam Indonesia

Daerah Produsen Garam Rakyat


Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh KKP pada tahun 2010,
Indonesia memiliki luas lahan garam potensial sebesar 37,4 ribu hektar
yang dapat digunakan sebagai areal produksi garam di Indonesia. Namun
demikian, lahan garam produktif yang digunakan hanya seluas 19,9 ribu
hektar di tahun 2010 atau baru sekitar 53,2% dari total lahan potensial yang
tersedia (Manadiyanto, 2010). Areal potensial sebagai tempat produksi garam
tersebut tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa
Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan sebagian kecil di wilayah Papua.
Di tahun 2014, lahan garam produktif telah mengalami peningkatan menjadi
27,9 ribu hektar (74,6% dari total lahan potensial hasil pemetaan pada tahun
2010) (Tabel 2.3). Dengan demikian, masih terdapat 25,4% lahan potensial
pegaraman lainnya yang belum dimanfaatkan sehingga masih terdapat peluang
untuk melakukan ekstensfikasi lahan garam dalam negeri. Total area produktif
tersebut tersebar di beberapa Propinsi di Indonesia. Cirebon, Indramayu,
Pati, Sampang dan Sumenep merupakan wilayah produsen terbesar garam
Indonesia. Pada 2014, produksi garam rakyat yang berasal dari Cirebon,
Indramayu, Sumenep, Pati dan Sampang masing-masing memiliki pangsa
sebesar 12,6%; 12,4%; 11,7%; 11,5% dan 10,3% dari produksi garam tahun
2014. Dengan demikian, kelima kabupaten tersebut menyumbang sebesar
58,4% dari total produksi garam nasional di tahun 2014 (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap


Produksi Garam Nasional Tahun 2014
No.
Kab/Kota Produksi (%) No. Kab/Kota Produksi (%)
1 Cirebon 12,56 23 Gresik 0,35
2 Indramayu 12,43 24 Bangkalan 0,35
3 Sumenep 11,67 25 Buleleng 0,25
4 Pati 11,51 26 Sumbawa 0,18
5 Sampang 10,25 27 Pidie 0,16
6 Bima 6,25 28 Karawang 0,15
7 Kota Surabaya 6,24 29 Kupang 0,13
8 Rembang 5,67 30 Kota Bima 0,12
9 Demak 4,22 31 Aceh Utara 0,12
10 Pamekasan 3,57 32 Lombok Tengah 0,08
11 Jepara 2,91 33 Nagekeo 0,07
12 Pangkep 2,19 34 Karangasem 0,06
13 Lamongan 1,31 35 Kota Palu 0,04
14 Brebes 1,02 36 Selayar 0,03
15 Probolinggo 1,00 37 Ende 0,03
16 Tuban 1,00 38 Aceh Timur 0,03
17 Jeneponto 0,98 39 Sumba Timur 0,02
18 Lombok Timur 0,91 40 Aceh Besar 0,02
19 Pasuruan 0,64 41 Manggarai 0,01
20 Takalar 0,64 42 Alor 0,01
21 Kota Pasuruan 0,43 43 TTU 0,01
22 Lombok Barat 0,37 TOTAL 100,00

Sumber: Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014a)

17
Septika Tri Ardiyanti

Rata-rata masa produksi garam di Indonesia pada 2014 yaitu selama


4 bulan, dengan rata-rata produktivitas sebesar 89,7 ton/ha. Masa produksi
dan produktivitas garam nasional selama periode 2011 – 2014 mengalami
fluktuasi dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, produktivitas garam
tertinggi terjadi pada tahun 2011 mencapai 91,7 ton/ha dengan masa produksi
4,8 bulan, sementara masa produksi tercepat terjadi pada tahun 2013 yaitu 2
bulan namun memiliki produktivitas yang rendah yaitu hanya mencapai 39,6
ton/ha. Fluktuasi baik dari sisi produksi, produktivitas maupun masa panen
garam nasional tersebut terutama disebabkan teknik produksi dan peralatan
yang digunakan masih sangat tradisional serta masih sangat bergantung
pada cuaca yang juga berakibat pada produktivitas serta kualitas produksi
yang rendah (KKP, 2014a). Seperti yang terjadi pada tahun 2010, dimana
produksi mengalami penurunan cukup drastis akibat adanya anomali cuaca.
Produksi garam di Indonesia sebagian besar merupakan produksi garam
rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan letak yang
terpencar-pencar. Untuk mengembangkan garam dalam skala besar yang
terintegrasi dan efisien dibutuhkan satu kesatuan lahan datar yang cukup luas
yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga mendapat manfaat dari skala
ekonomi (Puska PDN, 2011).
Selain itu, usaha garam di Indonesia juga merupakan usaha musiman
yang sangat bergantung pada musim. Di luar musim produksi, petani garam
sebagian besar melakukan usaha lain misalnya budidaya tambak udang
seperti yang dilakukan oleh petambak garam di pulau Jawa. Dengan melihat
kondisi-kondisi tersebut di atas, produktivitas garam rakyat tentu dinilai belum
optimal dan masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara produsen
garam laut lainnya, seperti Australia yang mampu memproduksi garam
sebesar 350 ton/hektar (Kompasiana, 2015).

Luas Lahan dan Produktivitas Garam Rakyat


Produktivitas garam Indonesia sendiri dibagi menjadi 2 yaitu produktivitas
garam yang masuk ke dalam program PUGAR dan garam yang masuk ke
dalam program non PUGAR. Garam yang masuk ke dalam program PUGAR,
memiliki produktivitas sebesar 43,0 ton/ha di tahun 2013, sementara garam
yang masuk kategori non PUGAR memiliki produktivitas sebesar 23,7 ton/ha,
lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas garam PUGAR (Tabel
2.4).
Tingginya produktivitas garam PUGAR disebabkan karena adanya
penguatan kapasitas petani yang menerima bantuan PUGAR melalui
sosialisasi, pelatihan dan pendampingan serta tambahan dana berupa bantuan
dana langsung masyarakat melalui Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan

18
Produksi Garam Indonesia

(KUKP). Sebesar kurang lebih 81,6% dari total produksi garam rakyat berasal
dari produksi dengan mendapat bantuan PUGAR, sementara hanya sebagian
kecil lainnya yang belum mendapat bantuan PUGAR (KKP, 2014b). Namun
demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan KKP, program PUGAR terus
berusaha untuk memperluas cakupannya agar dapat semaksimal mungkin
dapat memberikan bantuan pada seluruh petani garam rakyat.

Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia


Tahun Lokasi Luas Lahan Masa Produksi Produktivitas
(Kab/Kota) (Ha) (Bulan) (Ton/Musim/Tahun)
PUGAR Non PUGAR
2011 40 24.139,94 3,50 78,04 58,28

2012 40 26.975,44 4,80 96,79 74,26

2013 42 29.367,82 2,00 43,02 23,67

2014 43 27.898,00 4,00 89,72 n/a

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014b)

Tenaga Kerja Garam Rakyat


Produksi garam rakyat hingga saat ini masih dilakukan dengan
menggunakan peralatan sederhana sehingga dalam berproduksi masih
bergantung pada tenaga kerja manusia. Tenaga kerja yang terdapat pada
sektor garam dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu tenaga kerja yang
terlibat langsung dan tenaga kerja yang tidak terlibat langsung (Puska PDN,
2011). Tenaga kerja yang terlibat langsung antara lain penggarap (tukang
garam), tukang pikul, tukang pemelihara areal dan penjaga. Namun demikian,
pada areal produksi garam rakyat yang memiliki luas areal produksi relatif
sempit, tugas dari tenaga-tenaga kerja tersebut dirangkap oleh penggarap
(tukang garam) dengan jumlah rata-rata sebanyak 4 orang tiap hektar areal
produksi. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka dengan luas lahan
produksi sebesar 27,9 ribu hektar, tenaga kerja langsung di Indonesia
berjumlah 111,6 ribu tenaga kerja.
Sementara itu, yang dimaksud dengan tenaga kerja tak langsung adalah
para pemilik lahan, penyewa lahan dan pengepul yang rata-rata tiap hektar
areal terdapat 2 orang tenaga kerja tak langsung (Puska PDN, 2011). Dengan
demikian, jumlah tenaga kerja tak langsung pada 2014 berjumlah 55,8
ribu tenaga kerja. Secara total, tenaga kerja yang bekerja di sektor garam
diprediksi berjumlah 167,4 ribu tenaga kerja. Lebih lanjut, Sumber Daya
Manusia (SDM) di sektor garam juga hanya terpusat di wilayah Madura dan
Jawa Timur sehingga SDM di areal produksi lainnya perlu diberikan pelatihan
untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keahliannya.

19
Septika Tri Ardiyanti

Teknologi Produksi Garam Rakyat


Hampir keseluruhan garam Indonesia diproduksi dengan menggunakan
teknologi penguapan air laut dengan tenaga sinar matahari (solar
evaporation). Secara umum, pembuatan garam air laut dengan metode
tersebut dilakukan melalui proses pemekatan dan proses pemisahan garam
(kristalisasi) (Assadad dan Utomo, 2011). Proses pemekatan dilakukan
dengan menguapkan airnya dengan panas matahari. Setelah garam melalui
proses kristalisasi maka garam akan mengandung berbagai macam unsur
mineral lainnya yang disebut dengan impurities yaitu sulfat, magnesium dan
kalsium (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Proses Pembuatan Garam dengan Metode Kristalisasi.


Sumber: Assadad dan Utomo (2011)

Proses solar evaporation secara lebih detail dilakukan melalui tahapan-


tahapan berikut (Puska PDN, 2011):
1. Air laut dimasukkan ke dalam waduk penampungan pada saat pasang
melalui saluran induk;
2. Dari waduk penampungan garam dipompa ke areal penguapan pada
level yang tertinggi;
3. Dari areal penguapan yang mempunyai level paling tinggi air dialirkan
secara gravitasi ke petak penguapan lainnya. Dalam perjalanannya air
laut dipetak penguapan ini mendapatkan pemanasan sinar matahari dan
hembusan angin sehingga terjadilah penguapan, hingga air laut menjadi
jenuh (konsentrasi air garam tinggi atau pekat);
4. Air laut yang jenuh dialirkan ke petak kristalisasi untuk mengkristalkan
garam;
5. Di petak kristalisasi ini, garam dibiarkan mengendap dengan jangka
waktu:

20
Produksi Garam Indonesia

Pegaraman Rakyat tiap umur garam 4-6 hari lalu dipanen


Pegaraman PT. Garam tiap umur +/- 10 hari lalu dipanen
6. Garam yang sudah dipungut lalu diangkut ke gudang untuk diproses
lebih lanjut.
Langsung dikarungi dan dijual sebagai garam bahan baku
Dicuci (washing), dikeringkan (drying) dan digiling (crushing)
menjadi garam meja (halus)
Teknologi pembuatan garam rakyat masih tradisional, baik ditinjau dari
peralatannya maupun proses produksinya:
Tata letak: Petakan trap luasan kecil (waduk kecil, paminihan yang
kadang-kadang merangkap sebagai meja kristalisasi; di beberapa
tempat disediakan tempat timbunan garam. Luas areal per unit
pergaraman adalah 0,5-3 hektar.
Pungutan: Pungutan garam langsung di atas lantai tanah. Umur
pungutan garam 3-5 hari; cara pungutan dengan menggunakan
tenaga manusia (padat karya).
Pengangkutan dan handling: dipikul, sepeda, pick-up mini
Dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional dalam
proses produksi garam rakyat tersebut, maka faktor-faktor yang berpengaruh
pada kualitas dan kuantitas garam yang kemudian menjadi kendala dalam
proses produksi antara lain (Puska PDN, 2011):
a. Air laut yang bercampur dengan polutan dan air tawar
Indonesia memiliki laut yang amat luas, 2/3 bagian Indonesia merupakan
lautan. Namun demikian, di banyak tempat di Indonesia air laut tersebut
bercampur dengan air tawar karena laut banyak menjadi muara bagi
aliran sungai tawar. Selain itu, banyak air laut Indonesia yang telah
tercemar dengan polutan sehingga tentu berpengaruh pada produksi.
b. Curah hujan yang cukup tinggi di areal produksi
Indonesia sebagai negara tropis mengalami musim kemarau yang cukup
panjang, berlangsung 4 hingga 6 bulan, namun di beberapa tempat
khususnya areal produksi garam musim kemarau yang berlangsung
tersebut masih diselingi oleh hujan. Curah hujan di areal produksi garam
Indonesia pada musim kemarau berkisar 100 – 300 mm per musim
dengan tingkat kelembaban 60% - 80%, sementara curah hujan pada
musim kemarau di negara produsen garam dunia seperti Australia hanya
berkisar 10 – 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30% - 40%.
Selain itu, musim kemarau di Indonesia juga berlangsung relatif lebih
pendek jika dibandingkan dengan Australia dimana musim kemaraunya
berlangsung selama 9 hingga 10 bulan. Dengan memperhatikan faktor-

21
Septika Tri Ardiyanti

faktor tersebut, maka tingkat kecepatan penguapan di Indonesia relatif


lebih lama jika dibandingkan dengan Australia.
c. Kualitas produk yang belum bisa memenuhi kebutuhan garam industri
Konsekuensi yang ditimbulkan dari pembuatan garam dengan solar
evaporation pada areal (petak) yang kecil adalah ketidak seragaman
dari sisi kualitas. Garam rakyat memiliki kandungan NaCl berkisar 81%
- 96%, sementara kadar NaCl yang dibutuhkan industri adalah rata-rata
di atas 95%, meskipun ada beberapa yang di bawah 95%. Beberapa uji
yang pernah dilakukan untuk mengetahui kualitas garam rakyat antara
lain (KKP, 2014b):
- Berdasarkan hasil analisis uji sampel garam dari 42 Kabupaten/
Kotamadya kepada para penerima program PUGAR yang dilakukan
oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tanggal 3 Juni 2013
menyatakan bahwa garam tersebut memiliki rata-rata kandungan
NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm, Arsen 0
ppm;
- Hasil pengujian laboratorium beberapa Industri Pengolahan Garam
pada tahun 2014 menyatakan bahwa garam rakyat memiliki
kandungan NaCl sebesar 81,1 – 86,91%; kadar air = 9,68 – 9,77%;
Ca = 0,15 – 2,02%; Mg = 0,89 – 2,31%, dimana hasil sampel diambil
langsung dari tambak garam (Hasil Peninjauan Tim Kemenko
Perekonomian, Kemenperin, KKP dan Kemendag);
- Hasil pengujian laboratorium garam bahan baku premium PT. Garam
(14 Maret dan 15 April 2014) menyatakan bahwa garam tersebut
memiliki kandungan NaCL (adbk) 95,47% – 96,45%, H2O: 0,24 –
6,23%, Ca 0,22 – 0,58.
Perbedaan hasil yang cukup signifikan dari beberpa hasil uji tersebut
terutama disebabkan oleh perbedaan sampel yang digunakan oleh masing-
masing institusi. Dengan demikian, garam rakyat hingga saat ini masih belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan garam industri di dalam negeri yang
mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl sebesar 85% hingga
99,8% serta standar kandungan mineral lainnya yang terkandung di dalamnya
serta dalam kuantitas yang juga cukup besar.
Namun demikian, berdasarkan informasi yang diberikan oleh petani
garam di Pati pada acara bedah naskah BRIK Garam yang diselenggarakan
oleh BPPP Kementerian Perdagangan, melalui program PUGAR produksi
garam dengan menggunakan media isolator terbukti mampu memperbaiki
kualitas garam rakyat, dengan peningkatan kadar NaCl yang bisa mencapai
lebih dari 95% dalam garam meskipun kadar air yang terkandung masih

22
Produksi Garam Indonesia

belum memenuhi standar yang disyaratkan. Tabel 2.5. dan Tabel 2.6. berikut
merupakan hasil uji garam yang merupakan hasil produksi dengan media
isolator di daerah Pati dengan kadar NaCL berkisar 97%-98%.

Tabel 2.5 Hasil Analisis Laboratorium Garam dengan Media Isolator


No Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji
1 Kadar Air % bb 11,44 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.2
2 Kadar NaCl dihitung dari
Jumlah Khlorida % bb adbk 97,73 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.3
3 Bagian Tidak Larut dalam Air % bb adbk Tak nyata SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.5
4 Yodium dihitung sebagai
Kalium Iodat (KIO3) mg/Kg adbk 2,09 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.4
5 Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/Kg 1,45 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.6.1
- Kadmium (Cd) mg/Kg <0,01 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.6.1
- Raksa (Hg) mg/Kg <0,02 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.6.2
6 Cemaran Arsen mg/Kg <0,005 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.7
Keterangan: Uji dilakukan oleh Ir. Bambang Sugeng Suryatna, MT (Dosen FT Unnes Semarang)

Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016b)

Tabel 2.6 Hasil Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Badan Kajian


Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Balai Besar Industri Agro
No. Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji
1 Kadar Air % bb 10,3 SNI 01-4435-2000, butir 6.4
2 Kadar NaCl dihitung dari Jumlah Khlorida % bb adbk 98,4 SNI 01-4435-2000, butir 6.3
3 Bagian Tidak Larut dalam Air % 0 SNI 01-4435-2000, butir 6.5
4 Kalsium (Ca) mg/100gram 148 AAS
5 Kalsium (Ca) mg/100gram 1446 AAS
6 Cemaran logam
Timbal (Pb) mg/Kg <0,040 AOAC. 999.11 / 9.1.09.2015
Kadmium (Cd) mg/Kg <0,005 SNI 01-2896-1998, Butir 5
Raksa (Hg) mg/Kg <0,005 SNI 01-2896-1998, Butir 6
7 Cemaran Arsen mg/Kg <0,003 SNI 01-4866-1998
Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016b)

2.5 Kebijakan Pemerintah Untuk Mendorong Produksi Garam


Nasional
Sebagai salah satu komoditas strategis nasional, pemerintah telah
berupaya untuk dapat mendorong produksi garam nasional melalui kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan, salah satunya adalah Program Pemberdayaan
Usaha Garam Rakyat (PUGAR) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. PER.41/MEN/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun
2011. Pada saat diluncurkan, PUGAR merupakan salah satu komponen dari
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan
(PNPM Mandiri KP) yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui

23
Septika Tri Ardiyanti

peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat serta pengembangan


usaha kelautan dan perikanan.
Terdapat empat isu utama yang menjadi landasan dalam pelaksanaan
PUGAR pada tahun 2011 antara lain: (1) Isu kelembagaan yang menyebabkan
rendahnya kuantitas dan kualitas garam rakyat; (2) Isu permodalan yang
menyebabkan para petani garam khususnya petani garam skala kecil
terjerat pada tengkulak yang kemudian dapat menekan harga jual garam;
(3) Isu regulasi yang berdampak pada lemahnya keberpihakan dan proteksi
pemerintah pada sektor garam rakyat, sehingga usaha garam rakyat menjadi
tidak prospektif dan marketable; serta (4) Isu tata niaga garam rakyat yang
dirasa sangat bebas pada waktu itu seperti tidak adanya standar serta
belum adanya harga dasar bagi garam rakyat (KKP, 2014a). PUGAR saat ini
telah menjadi salah satu program prioritas nasional yang dilaksanakan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program PUGAR adalah
untuk memacu produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitas garam
melalui penguatan kapasitas petani garam (Neraca, 2012). Penguatan
kapasitas tersebut dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan dan pendampingan
serta dengan tersedianya tambahan dana berupa bantuan dana langsung
masyarakat atau Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang diterimakan melalui
Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP).
Dalam pelaksanaan program PUGAR, KKP menetapkan lokasi yang
dipilih untuk menjadi sentra PUGAR dan lokasi yang menjadi penyangga
PUGAR. Lokasi sentra PUGAR biasanya merupakan sentra produksi garam.
Di tahun 2014, KKP menetapkan 7 lokasi sebagai sentra PUGAR antara lain:
Cirebon, Indramayu, Rembang, Pati, Pamekasan, Sampang dan Sumenep,
sementara lokasi yang terpilih sebagai peyangga PUGAR sebanyak 33 lokasi
seperti Karangasem, Buleleng, Bima, Sumbawa, Kota Bima, Lombok Timur,
Lombok Barat, Lombok Tengah, dll (BKIPM, KKP, 2014).
Pada tahun 2015, pola kegiatan dan bantuan yang biasanya diterima
oleh petani garam atau kelompok petani garam melalui program PUGAR
mengalami perubahan. Program PUGAR di tahun 2015 tidak lagi memberikan
Bantuan Langsung Mandiri (BLM) kepada petani garam akan tetapi dirubah
menjadi bantuan pembangunan infrastruktur bagi para petani garam.
Pembangunan infrastruktur tersebut berupa pembangunan jalan di sekitar
areal tambak garam serta saluran air (Koran Kabar, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara dengan KKP, program PUGAR di tahun
2016 juga sudah mulai menyasar pada penerapan teknologi-teknologi baru
bagi para petani garam sehingga dapat mengoptimalkan dan mengupayakan

24
Produksi Garam Indonesia

peningkatan produksi dan produktivitas garam dalam negeri serta sebagai


antisipasi apabila terjadi anomali cuaca, seperti pengimplementasian
teknologi geomembrane1. Geomembrane adalah sebuah lembaran yang
terbuat dari High Density Polyetylene (HDPE) yang berfungsi untuk mencegah
merembesnya air ke dalam pori-pori tanah sehingga dapat memperbaiki
tekstur tanah di tambak garam. Tekstur tanah dengan tingkat permeabilitas
yang rendah merupakan lokasi yang baik untuk memproduksi garam (Efendy,
Zainuri dan Hafiluddin, 2014).
Selain perbaikan dalam hal infrastruktur dan teknologi yang digunakan,
KKP melalui program PUGAR juga saat ini fokus pada pembenahan
kelembagaan petani garam melalui rencana korporatisasi garam rakyat.
Korporatisasi garam rakyat didefinisikan sebagai sejumlah areal garam
yang kemudian pengelolaanya dilakukan secara kolektif berdasarkan ikatan
komunal sehingga dapat mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya
(Efendy, et al., 2016). Dengan perbaikan kelembagaan itu diharapkan para
petani garam dapat memperoleh akses yang lebih mudah untuk mengakses
sumber daya yang dibutuhkan sehingga dapat mengoptimalkan kapasitas
usahanya serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia petani
garam melalui komunitas yang terorganisasi dengan baik.

2.6 Biaya Produksi dan Analisis Finansial


Berdasarkan hasil wawancara dengan petani garam yang berasal dari
Indramayu pada FGD BRIK Garam yang diselenggarakan di Kementerian
Perdagangan, secara umum terdapat dua pola usaha garam yang dilakukan
di daerah Indramayu dan Cirebon yaitu pola sewa dan pola bagi hasil. Pada
usaha garam rakyat dengan pola sewa, segala modal yang dibutuhkan
berasal dari petani penggarap. Biaya yang diperlukan untuk produksi garam
dengan menggunakan pola sewa yaitu sebesar Rp 584/kg dengan asumsi
produktivitas garam yang digunakan adalah 90 ton/ha (Tabel 2.7).

1
Teknologi geomembrane menggunakan lembaran yang lebih lebar dan tebal dibandingkan dengan teknologi geoisolator
(media isolator) sehingga diharapkan tidak akan mudah robek untuk menjaga kualitas garam yang dihasilkan (KKP, 2015b).

25
Septika Tri Ardiyanti

Tabel 2.7 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan
Pola Sewa di Cirebon dan Indramayu
No. Komponen Satuan Jml. Biaya (Rp)

I Masa Persiapan dan Produksi


1 Sewa Lahan Rp./Ha 7.000.000
2 Perbaikan lahan dan saluran
selama 10 hari Rp./Orang 2 2.000.000
3 Peralatan slide pemadat Rp./Buah 1 350.000
4 Tenaga kerja pemadatan dengan
slide selama 5 hari Rp./Orang 1 500.000
5 Peralatan kincir Rp./Buah 2 1.200.000
6 Paralon 3” Rp./Buah 2 240.000
7 Elbow 3” Rp./Buah 2 100.000
8 Mesin pompa air 3 Pk Rp./Unit 1 4.500.000
9 Selang air 3” Rp./m 5 250.000
10 Keranjang bamboo Rp./Buah 2 200.000
11 Baumeter Rp./Buah 1 35.000
12 Ember besar isi 25 Kg Rp./Buah 4 360.000
13 Ember kecil isi 5Kg Rp./Buah 2 30.000
14 Cangkul Rp./Buah 1 200.000
15 Garukan kayu papan Rp./Buah 2 100.000
16 Bilik bambu ukuran 2x3 m Rp./Buah 4 120.000
17 Terpal plastik ukuran 2x3 m Rp./Buah 1 90.000
18 Bahan bakar mesin pompa
selama 90 hari Rp./Lt 147.375
19 Bambu besar Rp./Buah 20 240.000
20 Bambu kecil Rp./Buah 3 30.000
21 Tali Plastik Rp./m 5 7.500

II Masa Panen
22 Tenaga kerja selama 90 hari Rp./Orang 3 27.000.000
23 Karung plastik ukuran 50 Kg Rp./lembar 1800 3.240.000
24 Tali plastik raffia Rp./Kg 10 130.000
25 Biaya pengangkutan garam 4.500.000

Total biaya produksi Rp/Ha 52.569.875
Asumsi Produktivitas Tahun 2014
(90 Ton/Ha) Biaya Produksi/Kg 584,11
Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016a)

Berbeda dengan pola sewa, pada pola bagi hasil biaya modal sebagian
berasal dari pemilik lahan seperti lahan, pembelian kincir, mesin pompa dan
beberapa peralatan lain yang dibutuhkan sehingga komponen biaya produksi
yang dikeluarkan oleh petani garam dengan pola sewa dan pola bagi hasil
terdapat perbedaan dikarenakan beberapa komponen biaya berasal dari
pemilik lahan. Untuk membantu dalam permodalan yang diperlukan, pemilik
lahan/ koperasi petani garam juga memberikan pinjaman kepada petani
penggarap dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 3.500.000. Lebih lanjut,
struktur biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani penggarap dengan
menggunakan pola bagi hasil disajikan pada Tabel 2.8.

26
Produksi Garam Indonesia

Tabel 2.8 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan
Pola Bagi Hasil di Cirebon dan Indramayu
No. Komponen Satuan Jml. Biaya (Rp.)

I Masa Persiapan dan Produksi
Biaya perbaikan lahan 500.000
Pembelian bamboo Rp./Buah 300.000
Pembelian Bilik Bambu Rp./Buah 4 120.000

II Masa Panen
Tenaga kerja selama 90 hari Rp./orang 3 27.000.000
Karung plastik ukuran 50 Kg Rp./Buah 1800 3.240.000
Tali plastik raffia Rp./Kg 10 130.000
Biaya pengangkutan garam 4.500.000
Total biaya produksi 35.790.000
Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016a)

2.7 Penutup
Garam merupakan salah satu komoditas strategis nasional. Selain peran
dan fungsinya bagi pemenuhan pangan dan gizi serta sebagai bahan baku
industri dalam negeri, garam menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu
tenaga kerja serta sebagai sarana pengentasan kemiskinan bagi masyarakat
khususnya di wilayah pesisir. Produksi garam nasional selama 7 tahun terakhir,
2009 – 2015 terus mengalami peningkatan dengan tren pertumbuhan sebesar
46,6% per tahun. Meningkatnya produksi garam nasional merupakan salah
satu bukti besarnya perhatian khusus yang diberikan pemerintah pada sektor
garam khususnya garam rakyat melalui berbagai program dan kebijakan
yang dikeluarkan.
Namun demikian, besarnya perhatian pemerintah yang diberikan pada
sektor garam bukan berarti bahwa dari sisi produksi garam nasional telah
terbebas dari berbagai masalah dan hambatan. Permasalahan yang timbul
dari sisi produksi tersebut salah satunya disebabkan karena pola pengelolaan
yang masih bersifat individual sehingga luas lahan sempit dan terpencar-
pencar yang tidak memungkinkan petani untuk mendapat manfaat dari skala
ekonomi. Selain itu, produksi garam dalam negeri juga masih mengalami
kendala baik dari sisi teknologi, sumber daya manusia, infrastruktur serta
kualitas garam yang dihasilkan.
Teknologi yang digunakan dalam pembuatan garam rakyat masih
sangat tradisional sehingga berpengaruh pada produktivitas dan kualitas
garam yang dihasilkan oleh petani. Produksi garam nasional hanya mampu
memenuhi kebutuhan sisi konsumsi sementara untuk keperluan industri
masih bergantung pada impor. Sumber Daya Manusia (SDM) garam juga

27
Septika Tri Ardiyanti

masih berpusat di beberapa lokasi sentra industri garam seperti Madura dan
Jawa Timur.
Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dengan dua
per tiga wilayahnya merupakan laut, Indonesia ternyata belum mampu
memenuhi kebutuhan garamnya sendiri. Oleh karena itu, berbagai kebijakan
guna mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas garam dalam negeri
baik melalui intensifikasi seperti peningkatan teknologi, pengembangan SDM
dengan perbaikan kelembagaan serta pembangunan infrastruktur di sekitar
tambak garam harus terus dilaksanakan. Selain intensifikasi, ekstensifikasi
dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial harus tetap terus dilanjutkan,
dioptimalkan serta terus dilakukan monitoring pelaksanaannya di lapangan.
Upaya yang baik tersebut diperlukan sehingga swasembada garam nasional
dapat terwujud danpada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia khususnya di wilayah pesisir.

DAFTAR PUSTAKA
Assadad, L., Utomo, B. S. (2011). Pemanfaatan Garam Dalam Industri
Pengolahan. Buletin Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, Vol. 6 (1), pp. 26 - 37.
BKIPM, KKP. (2014, Maret 17). KKP Perkuat Basis Produksi Garam Rakyat.
Diunduh tanggal 7 April 2016 dari http://palu.bkipm.kkp.go.id/2014/03/
kkp-perkuat-basis-produksi-garam-rakyat/.
Bloch, D. (2016). Salt Monopolies - China. Diunduh tanggal 28 April 2016
dari http://salt.org.il/frame_china1.html.
BPPP, Kementerian Perdagangan. (2016a). Focus Group Discussion (FGD)
(18 Mei 2016).
BPPP, Kementerian Perdagangan. (2016b). Bedah Naskah BRIK Garam (10
Juni 2016).
Burhanuddin, S. (2001). Proceeding: Forum Pasar Garam Indonesia. Forum
Pasar Garam Indonesia. Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non Hayati, KKP.
Efendy, M., Heryanto, A., Sidik, R. F., Muhsoni, F. F. (2016). Perencanaan
Usaha Korporatisasi Usaha Garam Rakyat. Jakarta: Sekretariat
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
Effendy, M., Zainuri, M., Hafiluddin. (2014). Persembahan Program Studi Ilmu
Kelautan untuk Maritim Madura. Intensifikasi Lahan Garam Rakyat di
Kabupaten Sumenep. Bangkalan: UTM Press.

28
Produksi Garam Indonesia

Gibran, M. (2015). Sebuah Optimisme Untuk Industri Garam Indonesia.


Selasar Ekonomi, 20 Mei.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014a). Laporan Kinerja
Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014b). Data Produktivitas
Lahan dan Kualitas Garam Periode 2011 -2014. Makalah: Disajikan
Pada Rapat Teknis Harmonisasi Tarif Bea Masuk Garam Pada
Tanggal 14 Desember 2015.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015a). Data Neraca Garam
Periode 2009 -2015.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015b, 17 September). KKP
Dorong Produksi Garam Rakyat Menjadi Kualitas Industri. Diunduh
tanggal 1 Juni 2016 dari http://kkp.go.id/index.php/berita/kkp-dorong-
produksi-garam-rakyat-menjadi-kualitas-industri/.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu). (2014). Kegiatan Pembahasan
Penyusunan ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) 2017.
Diunduh tanggal 7 April 2016 dari http://www.kemenkeu.go.id/sites/.
default/files/ Laporan%20Kegiatan%20Penyusunan%20AHTN%20
2017.pdf.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2015, Januari 12). Kemenperin
Dorong Pembangunan Industri Berbasis Maritim. Diunduh tanggal
3 Maret 2016 dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/10860/
Kemenperin-Dorong-Pembangunan-Industri-Berbasis-Maritim.
Hough, J.K. (2008).Salt production in South Australia. Diunduh tanggal 28
April 2016 dari http://www.pir.sa.gov.au/__data/assets/pdf_file/
0005/93803/mj50_salt_production.pdf.
Kompasiana. (2015, Oktober 28). Indonesia Swasembada Garam: Realita Vs
Harapan. Diunduh tanggal 20 Juni 2016 dari http://www.kompasiana.
com/bernalizafuad/indonesia-swasembada-garam-realita-vs-harapa
n_5630902286afbd2a0861c610.
Koran Kabar. (2015, Juni 3). KKP Ubah Pola Bantuan Pugar. Diunduh tanggal
28 April 2016 dari http://korankabar.com/kkp-ubah-pola-bantuan-
pugar/.
Kusumastanto, T. & Satria, A. (2011). Strategi Pembangunan Desa Pesisir
Mandiri. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari https://www.researchgate.
net/.
Manadiyanto. (2010). Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah Dalam
Menuju Swasembada Garam. Diunduh tanggal 28 April 2016 dari
http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/policybrief/03garam.pdf.

29
Septika Tri Ardiyanti

Neraca. (2012, Mei 4). Swasembada Garam Terbelit Kebijakan Impor. Diunduh
tanggal 14 Maret 2016 dari http://www.neraca.co.id/article/13378/
swasembada-garam-terbelit-kebijakan-impor.
Peraturan Menteri Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang
perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/
PER/10/2009 tentang peta panduan (road map) pengembangan
klaster industri garam. 2014. Jakarta.
Purbani, D. (2001). Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Jakarta: Pusat
Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan.
Pusat Kebijakan Perdagangan dalam Negeri (Puska PDN). (2011). Analisis
Kebijakan Harga Garam Nasional. Jakarta: Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan.
Rismana, E., Nizar. (2014). Kajian Proses Produksi Garam Aneka Pangan.
Chemistry Progress, Vol. 7 (1), pp. 25-28.
Tempo. (2011, Januari 6). Produksi Garam Terjun Bebas. Diunduh tanggal
7 April 2016 dari http://bisnis.tempo.co/read/news/2011/01/06/
090304207/produksi-garam-terjun-bebas.
US Geological Survey (USGS). (2013). Publications: Mineral Yearbook.
Diunduh tanggal 14 Februari 2016 dari http://minerals.usgs.gov/
minerals/pubs /commodity/salt/myb1-2013-salt.xls.

30
Konsumsi Garam

BAB III
KONSUMSI GARAM
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

3.1 Pendahuluan
Garam merupakan salah satu bahan pokok kebutuhan masyarakat
yang mengandung unsur sodium dan chlor (NaCl), dimana unsur sodium
sangat penting untuk mengatur proses keseimbangan cairan di dalam tubuh,
disamping fungsinya dalam mengatur kelancaran proses transmisi saraf dan
kerja otot (klikdokter, 2016). Khusus untuk garam konsumsi rumah tangga,
harus menggunakan garam yang mengandung yodium. Kekurangan yodium
memiliki konsekuensi buruk bagi kesehatan yang disebut sebagai Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
mencakup keterbelakangan mental yang permanen, gondok, kegagalan
reproduksi, meningkatnya kematian anak dan penurunan sosial ekonomi.
Anak dengan kekurangan yodium memiliki rata-rata IQ 13,5 poin lebih rendah
dibandingkan yang cukup yodium. Untuk mengatasinya penanggulangan
GAKY difokuskan pada peningkatan konsumsi garam beryodium (depkes.
go.id, 2016).
Selain sebagai konsumsi rumah tangga, garam juga sangat diperlukan
untuk kebutuhan industri, yakni sebagai bahan baku dalam pembuatan
berbagai produk industri. Industri Kimia merupakan salah satu industri yang
sangat banyak menggunakan garam dimana lebih dari 50% produk kimia
menggunakan garam dalam proses produksinya. Garam juga digunakan
dalam memproduksi berbagai macam produk industri antara lain kaca, kertas,
karet dan pengolahan air (EUsalt, 2016).
Garam yang dibutuhkan sektor industri harus memiliki kualitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan garam untuk konsumsi rumah tangga.
Oleh karena itu, penting bagi produsen garam dalam negeri untuk dapat
memproduksi garam dengan kualitas tinggi, mengingat kebutuhan garam dari
sektor industri sendiri berkontribusi 65% dari total permintaan garam nasional.
Disinilah pemerintah perlu mengeluarkan terobosan baru untuk memenuhi
kebutuhan garam berkualitas tersebut (Sulistyono, 2015).
Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada
kandungan NaCl yang tinggi (minimal 97%). Namun demikian, terdapat
beberapa persyaratan lain seperti batas maksimal kandungan logam berat
seperti kalsium dan magnesium. Kandungan kedua logam berat tersebut
tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan. Adapun untuk
industri Chlor Alkali Plant (CAP) atau soda kostik mensyaratkan ambang batas

31
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

kandungan logam berat tidak melebihi 200 ppm serta kadar air yang rendah.
Sementara itu, garam untuk kebutuhan industri farmasi yang digunakan untuk
memproduksi infuse dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl
99,9-100% (Kemenperin, 2014). Namun dari sekian banyak sentra produksi
garam di Indonesia, daerah yang saat ini mampu memenuhi kebutuhan
garam industri salah satunya dari Nusa Tenggara Timur (NTT) (Maulana &
Abdurrahma, 2016).
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan
industri, kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Kebutuhan garam pada tahun 2007 sebesar 2,7 juta ton, meningkat menjadi
2,9 juta ton pada tahun 2008 dan 2009, serta menjadi 3 juta ton pada tahun
2010. Dari jumlah kebutuhan garam tersebut di atas, sekitar 1,6-1,9 juta
ton dipenuhi dari impor (Aprilia & Ali, 2011 dalam Assadad & Utomo, 2011).
Berdasarkan data pada tahun 2014, kebutuhan garam di Indonesia adalah
sebanyak 3,53 juta ton. Kebutuhan garam itu meliputi antara lain garam
konsumsi 756.000 ton dan garam industri 2,57 juta ton.

3.2 Kondisi Kebutuhan Garam Nasional Tahun 2015
Total kebutuhan/konsumsi garam nasional, baik untuk konsumsi rumah
tangga maupun industri, terus meningkat selama 6 tahun terkahir. Pada tahun
2010, total kebutuhan garam mencapai 3,0 juta ton, lalu meningkat rata-rata
4,3% per tahun menjadi 3,75 juta ton di tahun 2015. Peningkatan kebutuhan
tersebut terutama disumbang oleh peningkatan kebutuhan garam industri
yang signifikan, yakni naik rata-rata 6,8% per tahun selama 2010-2015,
sedangkan kebutuhan garam konsumsi hanya naik 0,4% per tahun.
Berdasarkan data dari KKP (2015), penggunaan garam konsumsi
didominasi oleh sektor Rumah Tangga. Namun demikian, kebutuhan garam
konsumsi untuk industri pengasinan naik cukup tajam 13,7% per tahun selama
2010-2015, sehingga kontribusinya mencapai lebih dari 50% dari kebutuhan
garam konsumsi nasional tahun 2015. Adapun penggunaan garam industri
didominasi oleh industri CAP dan Farmasi, yang mencapai 73,5% dari total
kebutuhan garam industri tahun 2015. Selain itu, kebutuhan garam untuk
industri CAP dan Farmasi mengalami peningkatan 2,1% per tahun.
Kementerian Perindustrian (2014) memproyeksikan kebutuhan garam
untuk industri akan terus meningkat sekitar 50.000 ton setiap tahun. Tingginya
kebutuhan garam ini dipicu oleh industri pangan nasional yang terus tumbuh.
Potensi kebutuhan garam nasional sangat tinggi dan terus mengalami
peningkatan, sehingga diperkirakan Indonesia masih belum akan terbebas
dari impor garam. Hal tersebut dikarenakan produksi garam lokal, masih
belum bisa memenuhi kebutuhan industri baik secara kuantitas, meskipun

32
Konsumsi Garam

jumlahnya mengalami peningkatan lebih dari 90 kali lipat selama 2010-2015,


maupun dari segi kualitas seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya.
Pada tahun 2015, produksi garam nasional mencapai 2,84 juta ton,
yang terdiri dari 2,5 juta ton garam rakyat, yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan garam konsumsi, dan sisanya berupa garam industri (yang
diproduksi PT. Garam). Selama 2010-2015, produksi garam nasional naik
signifikan rata-rata 98,7% per tahun. Namun demikian, produksi garam,
khususnya garam industri, masih belum dapat memenuhi kebutuhan
nasional. Sehingga Indonesia masih melakukan impor garam sebesar 1,86
juta ton. Meskipun demikian, impor garam mengalami penurunan rata-rata
3,85% per tahun (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Neraca Garam Nasional, 2010 – 2015 (Dalam Ton)


No. Uraian Tahun Tren (%)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2010-2015

I Kebutuhan 3.003.550 3.228.750 3.270.086 3.573.954 3.532.719 3.750.284 4,29


Garam Konsumsi 1.200.800 1.426.000 1.466.336 1.546.454 1.281.494 1.303.095 0,40
a. Rumah tangga 720.000 747.000 732.645 746.454 756.494 647.595 -1,34
b. Industri Aneka Pangan 165.800 269.000 282.000 300.000 *) *)
c. Industri Pengasinan Ikan 315.000 410.000 451.691 500.000 525.000 655.500 13,74
Garam Industri 1.802.750 1.802.750 1.803.750 2.027.500 2.251.225 2.447.189 6,83
a. Industri CAP dan Farmasi 1.600.000 1.600.000 1.601.000 1.822.500 1.604.500 1.797.618 2,08
b. Industri Non CAP 202.750 202.750 202.750 205.000 200.000 140.000 -5,23
( Perminyakan, Kulit, Tekstil,
Sabun, dsb )

c. Industri Aneka Pangan - - - -
446,725
509,571
II Produksi **) 30.600 1.113.118 2.071.601 1.087.715 2.190.000 2.840.000 98,74
i. PT. Garam (Persero) 4.497 156.713 307.348 156.829 315.000 345.000 93,60
ii. Garam Rakyat 26.103 956.405 1.764.253 930.886 1.875.000 2.495.000 99,54
Impor 2.083.285 2.835.755 2.212.507 1.922.269 2.267.095 1.861.850 -3,85
Ekspor 2.064 1.917 2.638 2.849 2.546 1.705 -0,08
III Stok Akhir (891.729) 718.206 1.011.384 (566.819) 921.830 949.861

Keterangan:
*) Garam Aneka Pangan dikategorikan ke dalam garam industri sejak 2014 berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/
PER/10/2014 tentang Perubahan atas Permenperin No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap)
Pengembangan Klaster Industri Garam
**) Data produksi sudah termasuk penyusutan 10% - 25%
Data ekspor dan impor yang digunakan dalam perhitungan ini berasal dari Badan Pusat Statistik (2016)
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016), diolah

Kebutuhan garam nasional merupakan total keseluruhan dari kebutuhan


garam konsumsi dan kebutuhan garam industri di Indonesia. Total kebutuhan
Garam Nasional pada tahun 2015 adalah sebesar 3.750.284 ton yang dipenuhi
dari produksi sebesar 2,8 juta ton dan sisa kebutuhan dipenuhi oleh impor.
Terdapat kenaikan kebutuhan garam nasional dengan persentase sebesar
lebih kurang 6% dibandingkan dengan total kebutuhan garam nasional
pada tahun 2014. Berikut adalah tabel kebutuhan garam nasional 2015 dan
beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pergaraman.

33
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

Kebutuhan Garam 2015

Garam Konsumsi Garam Industri


(1.303.095 Ton) (2.447.189 Ton)

Ind.
Perminyakan,
Industri Aneka Penyamakan
R.Tangga Pengasian/ Industri Farmasi Industri Kimia Kulit, Pakan
Pangan
(NaCL min 94%) Pengawetan Ikan (NaCL (NaCL min 96%) Ternak/
( NaCL
min 99,8%) ikan, Water
min 97%)
Treatment, Es
Batu, Dll
(NaCL min
85%)

647.59 655.500 2.418 1.795.200 509.571 140.000


Ton Ton Ton Ton Ton Ton

1. PT. Otsuka 1. PT. Indah Kiat 1. PT. Saltindo 1. PT. Garam


Indonesia Pulp & Paper Perkasa 2. PT. Saltindo
2. PT. Intan Jaya 2. PT. Pabrik 2. PT.Unichemcandi Perkasa
Medika Solusi Kertaas Tjiwi 3.PT.Sumatraco 3. PT.
3. PT. Jayamas Kimia Langgeng Sumatraco
Medika 3. PT. Asahimas Makmur Langgeng
Industri Chemical 4. PT. Susanti Makmur
4. PT. Amerta 4. PT. Sulfindo Megah 4. PT. Kao
Indah Otsuka Adiusaha 5. PT. Garindo Indonesia
5. PT. Finusol- 5. PT. Riau Anda- Sejahtera Abadi 5. PT. Chetham
prima Farma lan Pulp&Paper 6. PT. Cheetam Garam
Internasional 6. PT. Lontar Garam Indonesia Indonesia
6. PT. Sanbe Papyrus 7. PT. Niaga Garam 6. PT. Niaga
Farma 7. PT. Toba Cemerlang Garam
7. PT. Widatra Pulp&Paper Cemerlang
Bhakti 8. PT. Tanjung 7. PT. Gunajaya
8. PT. Emjebe Enin Pulp&- Santosa
Pharma Paper
9. PT. Pindodeli
Pulp&Paper
10. PT.Pakerin

Gambar 3.1 Kebutuhan Garam Nasional 2015.


Sumber: KKP (2015)

Sebesar 73% dari volume garam industri dikonsumsi oleh Industri kimia
(NaCl min. 96%) sehingga dapat dikatakan bahwa Industri Kimia mendominasi
kebutuhan total garam untuk industri tahun 2015 sebanyak 1.795.200 ton
garam untuk kebutuhan industri dikonsumsi oleh industri kimia diikuti oleh
Industri Aneka Pangan, Industri Perminyakan, Penyamakan Kulit, Pakan
Ternak/Ikan, Water Treatment, es batu dan Industri Farmasi.

34
Konsumsi Garam

Standar Mutu
Industi Soda Abu

IMPOR
Industri CAP
Standar Mutu

Industri Perumahan Standar Mutu


Pergaraman Industri Industri Farmasi
(Purifikasi)

AIR LAUT
Garam Konsumsi Pangan
Industri Pangan
saat
Beryodium Olahan
masak/saji

Pergaraman Rakyat
K1
Industri Catering/ Pangan Siap
Resto/Hotel Santap
Bisnis Bisnis
K2 Pencucian Iodisasi
Garam
Industri Pengasinan ikan, Konsumen Rumah Garam
Industri Pakan Ternak dan Tangga Bumbu
Industri Perkebunan K3 Masak

Gambar 3.2 Proses Bisnis Industri Garam.


Sumber: KKP (2015)

Dalam memenuhi kebutuhan garam sebagai bahan baku, industri


memanfaatkan garam dari produksi nasional (garam rakyat) dan juga dari
impor. Meskipun berdasarkan Permendag Nomor 125 tahun 2015 tentang
Ketentuan Impor Garam tidak mewajibkan produsen/industri untuk menyerap
garam rakyat, namun ada beberapa perusahaan yang memanfaatkan garam
rakyat sebagai bahan baku produksi.

3.3 Garam Konsumsi Rumah Tangga


Sebagaimana dijelaskan pada Bab II, garam diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
a. Garam Rumah Tangga
Garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan
kandungan NaCl min. 94% atas dasar basis kering (adbk), air maks. 7%,
bagian yang tidak larut dalam air maks. 0,5 mg/kg (adbk), Kadmium (Cd)
maks. 0,5 mg/kg, Timbal (Pb) maks. 10,0 mg/kg, Raksa (Hg) maks. 0,1
mg/kg, dan cemaran Arsen (As) maks 0,1 mg/kg, serta Kalium Iodate
(KI03) min. 30 mg/kg yang berbentuk padat dan dapat dikonsumsi
langsung oleh masyarakat.

35
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

b. Garam Diet
Garam diet adalah garam konsumsi beryodium berbentuk cairan/padat
dengan kadar NaCl maks 60% (adbk) serta Kalium Iodate (KI03) min. 30
mg/kg yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Garam Konsumsi merupakan kebutuhan penting bagi rumah
tangga. Sudah dapat dipastikan bahwa setiap rumah tangga di Indonesia
mengkonsumsi garam untuk kebutuhan sehari-hari sebagai bahan pangan.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan garam konsumsi
rumah tangga yang mengandung yodium cukup, dalam rangka menjaga
kecukupan gizi bagi masyarakat.
Menurut pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (2013), konsumsi
garam di Indonesia dianggap berlebih sehingga rentan menimbulkan berbagai
penyakit seperti hipertensi, diabetes, jantung koroner, kanker dan stroke.
Konsumsi garam yang dianjurkan per orang per hari adalah 5 gram (setara 1
sendok teh), sementara saat ini, konsumsi garam masyarakat dapat mencapai
10 gram (setara 2 sendok teh) per orang per hari. Untuk mencegah hal ini,
pemerintah akan mengatur dan menerbitkan buku saku tentang pembatasan
konsumsi garam, sebagai pedoman konsumsi.

3.4 Konsumsi Garam Industri


Pada sub Bab 3.1 sudah dijelaskan bahwa sebagai bahan baku proses
produksi, industri membutuhkan garam yang memiliki kualitas khusus, yang
memiliki kualitas lebih tinggi dibanding garam konsumsi rumah tangga,
dan memiliki spesifikasi yang berbeda pada masing-masing jenis industri
yang menggunakan. Berdasarkan Permenperin 88/M-IND/PER/10/2014:
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134/M-IND/
PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster
Industri Garam, Garam industri didefinisikan sebagai garam yang digunakan
sebagai bahan baku/penolong pada proses produksi.

Penggunaan garam industri secara detil dijelaskan sebagai berikut:


a. Konsumsi Garam pada Industri Farmasi
Industri farmasi merupakan industri obat jadi dan industri bahan baku
obat. Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan
mutu dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena
menyangkut soal nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur
secara ketat. Industri farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang
diatur dalam CPOB. Garam farmasi merupakan garam dengan kualitas
tertinggi dengan kadar NaCl > 99,5 % serta dengan kandungan pengotor

36
Konsumsi Garam

NaCL

Soda Soda
Klorin Farmasi
Abu Kostik

Lain-lain

Pengolahan
Air

Senyawa Pecah Cat Minyak


Natrium Belah
Disinfektan De-Icing

Organik Pulp & Aluminium Keramik


Paper & Metal

Garam Meja Industri


Pangan
Pewarna Sabun &
Pewarna Konstruksi
Tekstil Deterjen
Tekstil

Gambar 3.3 Penggunaan Garam.


Sumber: EUsalt (2016)

seperti Ca dan Mg <50 ppm, sulfat <150 ppm serta tidak adanya logam
berat lainnya (Rismana, 2014). Berdasarkan informasi dari Kementerian
Perindustrian, saat ini industri masih sangat tergantung pada bahan baku
impor. Bahkan, hampir 95% Bahan Baku Obat (BBO) masih dipenuhi
dari impor. Salah satu bahan baku obat yang masih dipenuhi dari impor
adalah garam farmasi. Garam farmasi merupakan bahan baku yang
banyak digunakan dalam industri farmasi yakni antara lain sebagai bahan
baku infus, produksi tablet, pelarut vaksin, sirup, oralit, cairan pencuci

37
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

darah, minuman kesehatan dan lain-lain. Kebutuhan garam farmasi


masih dipenuhi dari impor dikarenakan belum adanya industri lokal yang
dapat memproduksi garam farmasi dengan spesifikasi yang tepat.
b. Konsumsi Garam pada Industri Kimia
Lebih dari 70% kebutuhan garam industri diserap oleh industri kimia.
Salah satu jenis Industri kimia adalah industri kimia dasar yang
memproduksi Caustic Soda. Industri ini banyak menyerap garam dalam
proses produksinya. Caustic Soda sendiri merupakan bahan baku dasar
yang digunakan dalam beragam industri antara lain (Sumber: Asahimas
Chemical, 2016):
- Pulp dan Kertas:
Industri ini merupakan pengguna Caustic Soda terbesar di dunia
dimana caustic soda digunakan sebagai bahan baku untuk proses
pulping, bleaching dan de-inking sisa kertas.
- Tekstil:
Caustic Soda digunakan untuk memproses katun dan pewarnaan
serat sintetis seperti nilon dan polyester.
- Sabun dan Detergen:
Caustic Soda digunakan dalam proses saponification yaitu proses
kimia yang merubah vegetable oil menjadi sabun. Pada industri
detegen, caustic soda digunakan untuk membuat anionic surfactants
yang merupakan komponen penting dalam produksi detergen dan
produk pembersih.
- Minyak dan Gas:
Pada tahap eksplorasi, produksi dan proses dari petroleum gas dan
gas alam, Caustic Soda digunakan untuk menghilangkan bebauan
tajam yang berasal dari hydrogen sulfide dan mercaptans.
- Industri Pengolah Kimia lainnya:
Caustic Soda digunakan sebagai bahan baku untuk produk sepert
plastik, lem, tinta. coating, pelarut dll.

c. Konsumsi Garam pada Industri Aneka Pangan


Garam industri aneka pangan adalah garam yang beryodium maupun
tidak beryodium dan digunakan sebagai bahan baku/penolong pada
industri aneka pangan untuk memproduksi makanan maupun minuman.
Garam untuk industri aneka pangan diperuntukkan bagi industri mie,
bumbu masak, biskuit, minuman, gula, kecap, mentega dan pengalengan
ikan (Kemenperin, 2014). Dari hasil FGD dengan perwakilan dari
GAPMMI menyatakan bahwa industri ini memerlukan garam dengan

38
Konsumsi Garam

Gambar 3.4 Alur Proses Membran Sel dalam Pembentukan Soda


Kostik.
Sumber: Eurochlor (2016)

kualitas tinggi dan merupakan bahan baku yang penting dalam proses
produksi walau hanya dibutuhkan dalam kuantitas yang tidak banyak.
Sebagai contoh untuk industri mie, garam digunakan dalam adonan mie
dan campuran pada bumbu mie. Menurut Rismana (2014), garam aneka
pangan banyak digunakan di industri pangan seperti makanan ringan
mempunyai kadar NaCl sekitar 99,00% dengan kandungan kalsium dan
magnesium < 200 ppm.
d. Konsumsi Garam pada Industri Penyamakan Kulit
Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolahberbagai macam
kulit mentah, kulit setengah jadi (kulit pikel, kulit wetblue, kulit kras) menjadi
kulit jadi. Terdapat 4 jenis penyamakan kulit, yaitu penyamakan nabati,
penyamakan minyak, penyamakan sintetis dan penyamakan mineral.
Garam dibutuhkan oleh industri penyamakan kulit sebagai bahan baku/
penolong dalam penyamakan mineral. Garam yang digunakan tersebut
berupa Garam Krom (Cr) basa yang mempunyai valensi III (Kromium
trivalent) (Setiyono dan Yudo, 2014). Garam Krom tersebut harus

39
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

memiliki spesifikasi kandungan NaCl minimal 85%. Kromium merupakan


unsur terbanyak dalam kulit bumi ke-22 dengan konsentrasi rata-rata 100
ppm. Senyawa-senyawa kromium ditemukan dalam lingkungan, karena
erosi batu-batuan yang mengandung kromium dan dapat didistribusikan
oleh ledakan gunung berapi. Konsentrasi dalam tanah berkisar antara 1
sampai 300 mg/kg, dalam air laut antara 5 sampai 800 µg/liter, dan dalam
sungai serta danau 26 µg/liter sampai 5,2 mg/liter. Kromium diperoleh
dari tambang dalam bentuk batu logam (ore) kromit (FeCr2O4) (Kotaś &
Stasicka, 2000).
Proses Penyamakan kulit mineral dibagi menjadi 3 tahap yaitu: Beam
house, Tanning, dan Finishing (Iswahyuni, 1997 dalam Hatibi,1998).
Adapun garam industri digunakan pada proses Beam House, yakni pada
saat pengawetan; dan pada proses Tanning, yakni saat penyamakan
Krom (Setiyono dan Yudo, 2014).

Gambar 3.5 Diagram Alur Proses Penyamakan Kulit Mineral.


Sumber: Setiyono & Yudo (2014)

40
Konsumsi Garam

3.5 Persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) Garam


Sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri
dan perlindungan terhadap konsumen pengguna produk, maka pemerintah
menerapkan standar tertentu untuk suatu produk dengan penerapan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang dalam hal ini ditetapkan oleh Badan Standarisasi
Nasional. Pemenuhan terhadap persyaratan SNI dibuktikan melalui kegiatan
penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian
yang terdiri dari Laboratorium Penguji, Lembaga Sertifikasi Produk (LSpro),
Lembaga Inspeksi, Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen sesuai dengan
produknya (BSN, 2014).
Pemerintah telah memiliki standar mutu khusus untuk komoditi garam,
baik untuk garam industri dan garam konsumsi. Pemerintah dalam hal ini
juga memiliki perhatian khusus terhadap standar garam konsumsi dengan
menerapkan SNI Wajib untuk produksi Garam Konsumsi Beryodium,
sementara SNI mutu garam untuk bahan baku industri belum diwajibkan.
Tabel 3.2 dan 3.3 menunjukkan data SNI mutu garam.

Tabel 3.2 Syarat Mutu Garam untuk Bahan Baku Industri menurut
SNI 01-4435-2000
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
- bau - Normal
- rasa - Asin
- warna - Putih Normal
2 Natrium Klorida (NaCl) % (b/b) adbk Minimal 94,7
3 Air (H2O) % (b/b) Maksimal 7
4 Bagian tidak larut dalam air % (b/b) adbk Maksimal 0,5
5 Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 10,0
- Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 10,0
- Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,1
6 Cemaran arsen (As) mg/kg Maksimal 0,1

Keterangan: b/b= bobot/bobot; adbk= atas dasar bahan kering.


Sumber: Assadad dan Utomo (2011)

Tabel 3.3 Syarat Mutu Garam untuk Konsumsi Beryodium


menurut SNI 01-3556-2000
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1 Kadar air (H2O) % (b/b) Maksimal 7,0
2 Kadar NaCl (natrium klorida) % (b/b) adbk Minimal 94,7
dihitung dari jumlah klorida (Cl)
3 Yodium dihitung sebagai kalium mg/kg Minimal 30,0 iodat (KIO3)
4 Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 10,0
- Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 10,0
- Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,1
5 Cemaran arsen (As) mg/kg Maksimal 0,1

Keterangan: b/b= bobot/bobot; adbk= atas dasar bahan kering


Sumber: Assadad dan Utomo (2011)

41
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

3.6 Garam Konsumsi Beryodium


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013, telah
melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 di
Indonesia secara keseluruhan (perkotaan dan pedesaan) yang salah satu
hasilnya adalah data konsumsi garam beryodium di Indonesia.

Tabel 3.4 Proporsi Konsumsi Garam Yodium oleh Rumah Tangga


per Propinsi di Indonesia Tahun 2013

Sumber: Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI (2013)

Berdasarkan Hasil Riskesdas 2013, Indonesia pada tahun 2013


seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3.1, rumah tangga di Indonesia yang
mengonsumsi garam mengandung cukup yodium sudah mencapai 77,1%,
namun masih ada rumah tangga yang mengonsumsi garam mengandung
yodium kurang sebesar 14,8% dan ada rumah tangga mengkonsumsi garam
yang tidak mengandung yodium sebesar 8,1%.

42
Konsumsi Garam

Berdasarkan data World Bank (2016), pada tahun 2013, jumlah rumah
tangga di negara dengan pendapatan menengah ke atas mengonsumsi garam
cukup yodium mencapai 91,3%, jauh lebih tinggi dibanding di negara dengan
pendapatan menegah ke bawah yang hanya 73,6%. Beberapa negara
dengan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam cukup yodium tinggi
antara lain RRT (96,7%), Brazil (95,7%), dan Meksiko (91,0%). Sementara
beberapa negara dengan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam
cukup yodium rendah antara lain Mauritania (7,3%), Sudan (9,5%), dan
Ethiopia (15,4%). Adapun negara ASEAN yang masih berada di bawah
standar kecukupun yodium adalah Vietnam (45,1%), Myanmar (68,8%),
Thailand (70,9%), dan Laos (79,5%),
World Health Organization (WHO) menargetkan bahwa standar
kecukupan Yodium (Universal Salt Iodization/USI) atau garam beryodium
untuk semua, adalah kondisi dimana Rumah Tangga telah mengkonsumsi
minimal 90% garam dengan kandungan yodium cukup. Pada tahun 2013,
13 propinsi di Indonesia telah mencapai syarat USI. Hal ini menunjukkan
peningkatan 2 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2007 dimana saat itu
hanya 6 propinsi yang sudah memenuhi syarat USI.
Kekurangan garam yodium dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kesehatan manusia. Selain berupa pembesaran kelenjar gondok
dan hipotiroid, kekurangan yodium jika terjadi pada wanita hamil mempunyai
resiko terjadinya abortus, lahir mati, sampai cacat bawaan pada bayi yang
lahir berupa gangguan perkembangan syaraf, mental dan fisik yang disebut
kretin. Semua gangguan ini dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar
anak usia sekolah, rendahnya produktifitas kerja pada orang dewasa serta
timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat yang dapat
menghambat pembangunan.
Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah
melalui garam yang telah difortifikasi yodium sesuai standar. Masalah
rendahnya konsumsi garam beryodium cukup (>30ppm) di rumah tangga,
antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya
kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum
memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan
garam beryodium di masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga melakukan beberapa upaya percepatan
pemenuhan garam beryodium dalam mengatasi GAKY, antara lain melalui
(BAPPENAS, 2004):
a. Membina dan mengawasi produsen dan distributor garam beryodium
melalui pembinaan penerapan sistem manajemen mutu dan penerapan
hukum

43
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

b. Melakukan yodisasi garam di sentra-sentra produksi garam rakyat melalui


kelompok pegaram.
c. Melakukan yodisasi garam di lingkungan distribusi dan pemasaran
untuk konsumen di daerah-daerah konsumsi non-produksi, terutama di
kabupaten/kota yang memiliki daerah endemik GAKY.
d. Menjamin pemenuhan kebutuhan Kalium Yodat (KIO3) ke produsen
garam beryodium dan sentra produksi melalui kerja sama antara
PT. Kimia Farma, Asosiasi Produsen Garam Beryodium dan Dinas
Perindag propinsi dan kabupaten/kota.
e. Mengembangkan jaringan distribusi garam beryodium lintas daerah baik
propinsi maupun kabupaten/kota.
Sedangkan dalam melaksanakan sistem pemantauan kualitas garam
beryodium yang terintegrasi di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi,
pemerintah melakukan upaya (BAPPENAS, 2004):
a. Mensosialisasikan sistem pemantauan mutu garam beryodium dalam
era otonomi daerah secara terintegrasi antara pemantauan produksi dan
distribusi garam rakyat, pengadaan dan distribusi garam impor, produksi
dan distribusi garam beryodium, pengadaan dan distribusi KIO3 dan
pemantauan mutu garam di tingkat distribusi.
b. Melakukan pemantauan mutu garam di tingkat produksi, distribusi dan
konsumsi.
c. Mengkoordinasikan hasil pemantauan secara periodik di tingkat produksi,
distribusi dan konsumsi serta melaksanakan tindak lanjut pembinaan,
pengawasan, pengumuman kepada masyarakat dan tindakan hukum
bila diperlukan.
d. Melaksanakan pemantauan distribusi garam rakyat dan garam impor,
serta pengadaan dan distribusi Kalium Yodat (KIO3).
e. Menstandarisasi dan mensosialisasikan metode uji kadar yodium dengan
cepat.
f. Mengadakan dan mendistribusikan peralatan dan bahan uji mutu garam
ke kabupaten/kota, masyarakat dan pengusaha.

3.6 Kebijakan Konsumsi Garam Nasional dan Internasional


World Health Organization (WHO) memberikan panduan bahwa orang
dewasa sebaiknya mengkonsumsi 5 gram garam atau kurang dari 2000mg
sodium dan 3510mg potasium per hari menekankan bahwa konsumsi garam
yang melebihi melebihi dari batas normal dapat meningkatkan resiko terkena
penyakit jantung dan stroke (WHO,2016). Sementara untuk kebutuhan
yodium, WHO, UNICEF dan ICCIDD merekomendasikan kebutuhan yodium

44
Konsumsi Garam

perhari 90 mikrogram pada anak usia 0-59 bulan, 120 mikrogram pada anak
usia 6-12 tahun, 150 mikrogram diatas 12 tahun dan 200 mikrogram pada
wanita hamil dan menyusui. Untuk mengurangi resiko kekurangan konsumsi
garam yodium, pemerintah menerbitkan beberapa regulasi, yaitu Keputusan
Presiden Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Konsumsi
Beryodium; dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 2010
tentang Pedoman Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
di Daerah.

3.7 Penutup
Berdasarkan jenisnya, Garam Konsumsi dibagi menjadi 2 yaitu Garam
Konsumsi untuk Rumah Tangga dan Garam Industri dengan berbagai
spesifikasi khusus yang dibutuhkan oleh masing-masing industri sehingga
dalam menyelesaikan masalah konsumsi garam, pemerintah perlu membuat
kebijakan yang sesuai bagi Garam Konsumsi dan Garam Industri. Kebutuhan
garam nasional yang mencapai sebesar 3.750.284 ton per tahun pada tahun
2015 dengan total produksi garam rakyat nasional mencapai 2,84 juta ton
pada tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa dari sisi kuantitas Indonesia masih
belum mampu memenuhi kebutuhan garam nasional.
Garam yang dikonsumsi masyarakat tercatat masih belum memenuhi
standar Yodium yang dipersyaratkan oleh WHO dimana kondisi ideal adalah
90% rumah tangga sudah memenuhi kebutuhan yodium. Saat ini baru 13
propinsi dari total 33 propinsi di Indonesia yang sudah memenuhi standar
WHO tersebut. Sedangkan dari sisi kebutuhan garam untuk keperluan
industri, Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan pemenuhan
standar kualitas dan spesifikasi garam yang dibutuhkan oleh industri.
Menyadari permasalahan ini, pemerintah perlu cepat tanggap untuk
membuat kebijakan yang tepat untuk Garam Konsumsi dan Garam Industri.
Dalam menyelesaikan permasalahan Garam Konsumsi, pemerintah perlu
membuat kebijakan dan sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya
mengkonsumsi garam beryodium dengan tujuan utama untuk mempercepat
pemerataan penyerapan Garam Konsumsi beryodium dengan fokus pada 20
propinsi di Indonesia yang masih belum memenuhi standar WHO. Sementara
untuk pemenuhan kebutuhan industri pemerintah perlu mengupayakan dan
membangun banyak industri yang mampu memurnikan dan meningkatkan
kualitas garam rakyat agar mampu memenuhi standar Industri.

45
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

DAFTAR PUSTAKA

Asahimas Chemical. (2016). Caustic Soda. Diunduh 27 Mei 2016 dari http://
www.asc.co.id/?idm=3&id=11.
Assadad, L., & Utomo, B. S. (2011). Pemanfaatan Garam Dalam Industri
Pengolahan. Buletin Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, Vol 6 No.1, 26 - 37.
Badan Standardisasi Nasional (2014). Perumusan & Penerapan SNI
(Termasuk SNI Wajib), Serta Peran GAPMMI. Disampaikan dalam
Member Gathering GAPMMI
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. (2013).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI.
Bappenas. (2004). Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program
Penanggulangan Gaky. Diunduh 27 Mei 2016 dari: http://kgm.
bappenas.go.id/document/ makalah/23_makalah.pdf
Depkes.go.id. (2010). Konsumsi Garam Beryodium Untuk Semua. Diunduh
22 Maret 2016 dari: http://gizi.depkes.go.id/konsumsi-garam-
beryodium-untuk-semua.
Eusalt. (2016). Salt Uses. Diunduh 27 April 2016 dari http://eusalt.com/salt-
uses.
Eurochlor. (2016). Membrane Cell Process. Diunduh 27 Mei 2016 http://www.
eurochlor.org/media/7812/membrane_300dpi2.pdf.
Klikdokter. (2016). Garam. Diunduh 27 April 2016 dari: http://www.klikdokter.
com/rubrikspesialis/gizi/info-nutrisi/garam.
Kementerian Perindustrian. (2016). Garam Industri Masih Bergantung Impor,
Diunduh 11 Mei 2016 dari http://kemenperin.go.id/artikel/11298/
Garam-Industri-Masih-Bergantung-Impor.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Peningkatan Kualitas Garam
Menuju Swasembada Garam Nasional. Bahan Paparan Kementerian
Kelautan Dan Perikanan.
Kotaś, J. & Stasicka, Z (2000). Chromium occurrence in the environment and
methods of its speciation. Environmental Pollution 107 (3): 263–283
Maulana, A. G. & Abdurahma, M. (2016). Industri Jamin Serap Garam
Petani. Diunduh 7 April 2016 dari http://industri.bisnis.com/
read/20160127257/513492/industri-jamin-serap-garam-petani.

46
Konsumsi Garam

Peraturan Menteri Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang


perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/
PER/10/2009 tentang peta panduan (road map) pengembangan
klaster industrigaram. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 melalui
http://regulasi.kemenperin.go.id/site/baca_peraturan/1862.
Peraturan Menteri Perdagangan No.58/M-DAG/PER/8/2012 tentang Ketentuan
Impor Garam. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 melalui http://
jdih.kemendag.go.id/id/regulations?year=2012&group=&type=&q=
&N=2&N=3&N=2&N=1&N=2 .
Rismana, Eriawan & Nizar. (2014). Kajian Proses Produksi Garam Aneka
Pangan Menggunakan Beberapa Sumber Bahan Baku. Diunduh
19 Juni 2016, dari http://download.portalgaruda.org/article.
php?article=163913&val=1039&title=Kajian%20Proses%20
Produksi%20Garam%20Aneka%20Pangan%20Menggunakan%20
Beberapa%20Sumber%20Bahan%20Baku.
Setiyono & Yudo, Satmoko. (2014). Daur Ulang Air Limbah Industri
Penyamakan Kulit “Studi Kasus di Lingkungan Industri Kulit,
Magetan, Jawa Timur”. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Sulistyono, Endra. (2015). Mewujudkan Garam Nasional yang
Berswasembada. Diunduh 15 Mei 2016, dari: http://www.kemenkeu.
go.id/sites/default/files/Mewujudkan%20Garam%20Nasional%20
yang%20Berswasembada.pdf.
World Bank. (2016). World Consumption of iodized salt (% of households).
Diunduh 1 Juni 2016 dari : http://data.worldbank.org/indicator/
SN.ITK.SALT.ZS
World Health Organization. (2013). WHO issues new guidance on dietary
salt and potassium. Diunduh 27 April 2016 dari: http://www.who.int/
mediacentre/news/notes/2013/salt_potassium_20130131/en/.

47
Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari

48
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

BAB IV
PERDAGANGAN GARAM DI DALAM NEGERI
Nugroho Ari Subekti

4.1. Gambaran Umum Perdagangan


Dua masalah umum yang dihadapi komoditi garam nasional yaitu produksi
dan distribusi. Dari sisi produksi, permasalahan komoditi garam disebabkan
karena beberapa faktor diantaranya ketergantungan produksi garam pada
iklim, teknologi yang digunakan, sifat produksi garam yang padat karya, lokasi
areal pegaraman yang mempunyai skala yang bervariasi, petani garam yang
secara sosial ekonomi lemah, keterbatasan modal, serta struktur kepemilikan
lahan. Faktor-faktor tersebut merupakan potret masalah di industri garam
Indonesia (Lintang, 2013 dalam Syarifudin, 2013).
Dari sisi distribusi, berdasarkan analisis yang dilakukan Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (2012) secara umum
sistem distribusi produk garam di Indonesia belum efisien dan efektif.Beberapa
indikator yang mengindikasikan buruknya sistem distribusi garam antara
lain ditandai dengan besarnya margin distribusi, fluktuasi harga yang tinggi,
pembagian keuntungan tidak merata diantara elemen rantai pasok, serta
munculnya spekulan-spekulan di bidang perdagangan (Puska PDN, 2012).
Sejalan dengan penelitian Puska PDN (2012), Heriansah dan Fathuddin
(2014) menemukan jika di sisi rantai yang paling hulu yakni petani garam
memiliki posisi tawar yang sangat lemah dikarenakan jalur distribusi garam
yang inefisien dan ketergantungan pada tengkulak. Kondisi ini menyebabkan
harga garam yang diterima petambak jauh lebih rendah dibandingkan dengan
harga yang diterima di tingkat elemen rantai pasok selanjutnya khususnya
ketika waktu panen raya garam berlangsung.
Dalam rangka meningkatkan daya tawar petani, pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan telah memberlakukan beberapa kebijakan
khususnya terkait dengan tata niaga impor garam. Langkah-langkah kongkrit
yang telah dilakukan adalah dengan menerbitkan beberapa peraturan yang
melarang impor garam satu bulan sebelum panen raya, selama panen
raya dan dua bulan setelah panen raya sampai dengan kebijakan Menteri
Perdagangan yang terakhir yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 58/M-DAG/PER/9/2012. Kebijakan tata niaga impor juga
dilengkapi dengan kebijakan harga acuan pembelian garam rakyat sesuai
dengan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 2/DAGLU/
PER/5/2011.
Isu terkait dengan komoditas garam di dalam negeri akan selalu terkait
dengan isu pada sisi hulu yaitu produksi dan sisi hilir yaitu konsumsi. Dalam

49
Nugroho Ari Subekti

bab ini akan dibahas lebih komprehensif tata niaga garam di dalamnya dan
tentu saja akan bersentuhan dengan berbagai sisi baik di sektor hulu maupun
hilir seperti struktur pasar garam, pola pemasaran dan distribusi garam, serta
kebijakan garam.

4.2 Struktur Pasar Garam di Indonesia


Produsen garam di Indonesia secara umum dapat dibedakan menjadi dua
yaitu: 1) Pegaraman PT. Garam (Persero); dan 2) Petani garam atau pemilik
garam swasta. Dari total produksi garam nasional yang dihasilkan, sekitar
70% garam berasal dari petani garam atau pemilik garam swasta (Kemala,
2013). Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015) menunjukkan
total produksi nasional sebesar 2,84 juta ton dengan proporsi produksi garam
rakyat sebesar 2,49 juta ton atau lebih dari 85% dari total produksi dan sisanya
merupakan produksi dari PT. Garam. Dengan situasi ini, permasalahan terkait
dengan garam akan menjadi isu yang sangat sensitif karena melibatkan
banyak kepentingan di dalamnya, khususnya petani garam.
Secara umum pasar garam di Indonesia adalah untuk kebutuhan
garam konsumsi dan garam industri. Kelompok kebutuhan garam konsumsi
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu foodgrade dengan kandungan NaCl 97%,
medium grade dengan kadar NaCl 94,7%-97% dan low grade dengan kadar
NaCl 90 – 94,7%. Sementara untuk garam industri, secara garis besar dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu garam industri perminyakan dengan kadar NaCl
95% - 97%, garam industri lainnya (industri kulit, industri tekstil, pabrik es
dan lain-lain) dengan kadar NaCl minimal 95% dan Garam Industri Chlor
Alkali Plant (CAP) dan Industri Farmasi minimal 99,8% (Permenperin Nomor:
88/M-IND/PER/10/2014).
Produksi garam yang dihasilkan oleh produsen garam di Indonesia
yaitu PT. Garam (Persero) dan garam rakyat pada prinsipnya pangsa
pasarnya adalah untuk kebutuhan bahan baku garam konsumsi. Namun
pada kenyataanya, hanya garam yang dihasilkan oleh PT. Garam (Persero)
yang memenuhi syarat mutu garam konsumsi beryodium dan untuk garam
industri perminyakan dan garam industri lainnya dengan kadar NaCl sebesar
95-97%. Sementara untuk garam rakyat, garam yang dihasilkan memiliki
kadar NaCl kurang dari 95% dengan kualitas campuran garam mutu rendah
dan menengah yang memerlukan pengolahan lebih lanjut untuk memenuhi
bahan baku garam beryodium. Kebutuhan garam industri CAP, garam industri
farmasi maupun industri pangan tertentu hingga saat ini masih harus dipenuhi
melalui impor. Kondisi inilah yang hingga sekarang menimbulkan berbagai
polemik, mengapa Indonesia harus mengimpor garam sementara sumber

50
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

daya yang diperlukan untuk memproduksi garam di Indonesia melimpah


(Boenarco, 2012).
Dalam upaya mendorong perkembangan industri garam di dalam negeri
khususnya garam rakyat pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan terkait
tata niaga garam impor. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka melindungi
garam rakyat, dan bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani sehingga mampu meningkatkan produksi dan produktivitas garam.
Beberapa kebijakan yang telah dirilis oleh pemerintah menyebutkan bahwa
impor garam dilakukan oleh importir produsen non iodisasi, importir garam
iodisasi dan importir terdaftar serta importir terdaftar umum.
Struktur industri garam beryodium di Indonesia berdasarkan direktori
industri dari Kementerian Perindustrian (2016) menunjukkan struktur
yang kompetitif dengan jumlah lebih dari 150 perusahaan. Namun dalam
realitasnya, hanya beberapa perusahaan yang menguasai pasar garam bahan
baku konsumsi di Indonesia. Penguasaan struktur pasar garam beryodium
oleh beberapa perusahaan diperkuat oleh adanya kebijakan pemerintah
sebelumnya yang menunjuk 10 perusahaan Importir Produsen (IP) untuk
mengimpor garam yaitu PT. Garam (Persero), PT. Garindo Sejahtera Abadi,
PT. Sumatraco, PT. Budiono, PT. Susanti Megah, PT. Unichem, PT. Sumatera
Palm Raya, PT. Surya Mandiri Utama, PT. Graha Reksa Manunggal dan PT.
Saltindo Perkasa (Biro Umum dan Humas Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, 2004). Kesepuluh perusahaan inilah yang secara normatif
harus menyerap garam rakyat sebesar 50% sebelum mendapat izin
melakukan impor garam.
Selain IP garam beryodium, IP non iodisasi juga melakukan impor
garam untuk kebutuhan industrinya selain Importir Terdaftar (IT) yang juga
melakukan impor garam. Secara struktur industri, IP non iodisasi dapat
teridentifikasi dengan mudah karena pelaku usahanya hanya beberapa
perusahaan. Berdasarkan data dari Direktorat Jasa Kelautan, Direktorat
Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Perikananan dan Kelautan
(2015), ada 10 IP non iodisasi yaitu PT. Indah Kiat Pulp and Paper, PT. Pabrik
Kertas Tjiwi Kimia, PT. Asahimas Chemical, PT. Riau Andalan Pulp and Paper,
PT. Lontar Papyrus Pulp and Paper, PT. Toba Pulp and Paper, PT. Tanjung
Enim Pulp and Paper, PT. Pindodeli Pulp and Paper Mils dan PT. Pakerin.
Selain kedua pelaku industri pengguna bahan baku garam tersebut, IT
juga melakukan importasi garam sebagai bahan penolong industri seperti yang
disebutkan sebelumnya. Banyaknya pelaku importir garam mengindikasikan
adanya kemudahan dalam melakukan impor garam. Selain hal tersebut,
klasifikasi garam yang diimpor juga sangat sulit dibedakan peruntukannya

51
Nugroho Ari Subekti

kecuali garam yang digunakan untuk industri farmasi dan CAP. Kondisi ini
semakin diperparah dengan fakta yang terjadi bahwa terdapat dua izin sekaligus
yang bisa diperoleh yaitu sebagai IP dan IT yang memungkinkan terjadinya
penyimpangan garam yang seharusnya untuk industri menjadi untuk konsumsi.
Tujuan utama pemerintah dalam rangka melindungi industri garam
rakyat menjadi bumerang karena ketidakmampuan pemerintah mengawasi
tata niaga garam impor. Banyaknya pelaku importir tidak serta merta
meningkatkan penyerapan garam rakyat. Ketiadaan sanksi tegas bagi IP
iodisasi yang tidak melakukan kewajiban penyerapan garam rakyat menjadi
kendala dalam penegakan kebijakan tersebut. Kondisi ini diperburuk dengan
berubahnya status Perusahaan Negara Garam menjadi Perusahaan Persero
PT. Garam (Persero) Garam berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun
1991. Perubahan bentuk institusi ini berdampak pada tidak adanya lagi
kemampuan pemerintah dalam mengatur tentang produksi dan distribusi
atau pemasaran garam.
Menurut penelitian yang dilakukan Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam
Negeri (2012) dengan sampel 5 perusahaan garam terbesar di Jawa Timur,
menemukan fakta bahwa tidak ada rantai distribusi yang bersifat eksklusif.
Secara normatif, mereka menyatakan tidak ada halangan baik dalam bentuk
aturan maupun perjanjian antar mereka dalam melakukan distribusi garam.
Dengan kata lain tidak ada satu perusahaan yang menguasai atau memonopoli
distribusi garam dalam negeri. Namun berdasarkan analisis Rochwulaningsih
(2013) walaupun ada banyak importir produsen dan importir terdaftar, dalam
kenyataanya distribusi bahan baku garam di Indonesia hanya dikuasai oleh
beberapa importir produsen.
Kondisi ini diperkuat dengan temuan KPPU pada tahun 2005 terkait
kartel garam bahan baku di Sumatra Utara yang dilakukan empat IP di
Indonesia yaitu PT. Garam, PT. Budiono, PT. Garindo, PT. Graha Reksa, dan
PT. Sumatera Palm. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui
ada ‘7 begal garam’ yang mengendalikan harga garam di Indonesia (finance.
detik.com, 2015). Meskipun kasus yang ditangani tahun 2005 oleh KPPU
sedikit berbeda, namun diyakini pelanggaran yang terjadi di tahun tersebut
kemungkinan masih berkaitan dengan indikasi kartel garam yang terjadi saat
ini (2016) dengan pelaku yang sebagian besar adalah pemain lama.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi, secara umum struktur
pasar garam di Indonesia cenderung berbentuk oligopoli. Dengan struktur
pasar yang oligopolistik berdampak pada penguasaan pasar garam yang
kuat sehingga diindikasikan menimbulkan praktek kartel di dalamnya. Tiga
modus praktek kartel menurut KPPU (kkpnews.kkp.go.id, 2015) yaitu: 1)

52
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

Pengambilan marjin keuntungan yang berlipat karena disparitas harga garam


impor yang jauh lebih murah dibandingkan dengan garam lokal; 2) Pembelian
garam petani hanya oleh sekelompok usaha yang menekan harga garam
petani lokal; 3) Kombinasi dari modus pertama dan kedua yaitu dengan
memasukkan garam impor ke pasar garam lokal sehingga harga garam lokal
tertekan turun. Modus ketiga dilakukan untuk menyiasati peraturan yang
mewajibkan IP untuk menyerap garam lokal.

4.3 Pola Pemasaran dan Distribusi Garam


Secara umum, kelembagaan utama yang terlibat dalam rantai pasokan
garam dari hulu ke hilir adalah petani garam, PT. Garam, importir, distributor,
sub-distributor, agen, sub agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, dan
pedagang eceran.Pada tulisan ini pola pemasaran dan distribusi garam yang
diambil pada empat wilayah di Indonesia yang diharapkan dapat memberikan
gambaran pola pemasaran dan distribusi garam di wilayah Indonesia. Keempat
daerah terpilih dalam tulisan diharapkan dapat memotret pola pemasaran dan
distribusi pada sentra pasar di Indonesia dengan membandingkan keempat
daerah tersebut dengan kelembagaan rantai pasokan secara nasional.
Keempat wilayah tersebut yang pertama adalah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh yang merupakan representasi daerah sentra produksi di
Pulau Sumatra dan bisa mewakili kawasan barat Indonesia. Kedua adalah
Propinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi terbesar garam
di Indonesia dan mewakili pulau Jawa. Ketiga adalah Propinsi Nusa Tenggara
Barat yang merupakan salah satu daerah sentra produksi garam di kawasan
timur Indonesia. Keempat adalah Propinsi Sulawesi Tengah yang merupakan
representasi daerah bukan sentra produksi di Indonesia.
Keempat daerah yang dipilih merupakan hasil survei yang dilakukan oleh
BPS tahun 2014. Dua kerangka sampel yang digunakan dalam survei BPS
adalah kerangka sampel pedagang dan kerangka sampel produsen. Kerangka
sampel pedagang dan produsen mengacu pada Sensus Ekonomi tahun 2006
yaitu perusahaan perdagangan menengah dan besar dan direktori industri
skala besar dan sedang. Namun demikian, BPS menghadapi kendala dalam
survei khususnya terkait dengan responden perusahaan sebagai produsen
yang tidak memberikan respons sehingga BPS mempublikasikan hasil
survei dengan mengasumsikan perusahaan berfungsi sebagai pedagang.
Berdasarkan data tersebut juga empat daerah yang diangkat dalam buku ini
untuk menguraikan rantai distribusi secara umum belum bisa memotret dua
sisi rantai distribusi garam yaitu rantai distribusi garam bahan baku dan rantai
distribusi garam olahan.

53
Nugroho Ari Subekti

4.3.1 Kelembagaan
4.3.1 Kelembagaan Rantai
Rantai PasokanPasokan
Nasional Nasional
Rantai pasokan perdagangan garam secara nasional menunjukkan pola
Rantai pasokan perdagangan garam secara nasional menunjukkan pola yang
yang kompleks sebagaimana tampak pada Gambar 4.1. Seluruh fungsi usaha
kompleks sebagaimana tampak pada Gambar 4.1. Seluruh fungsi usaha perdagangan
perdagangan terlibat dalam rantai distribusi perdagangan garam, termasuk di
terlibat dalam
dalamnya rantaiyang
importir distribusi perdagangan garam,
mendistribusikan garamtermasuk
dari luardi negeri
dalamnya
ke importir
Indonesia.
Kelembagaan utama garam
yang mendistribusikan yang dari
terlibat dalam
luar negeri ke rantai pasokan
Indonesia. Kelembagaangaram dariyang
utama hulu ke
hilirterlibat
adalah petani garam, PT. Garam, importir, pengumpul, pedagang
dalam rantai pasokan garam dari hulu ke hilir adalah petani garam, PT. Garam, besar,
produsen garam beryodium, distributor, sub distributor, pedagang eceran dan
importir, pengumpul, pedagang besar, produsen garam beryodium, distributor, sub
konsumen. Berdasarkan analisis lapangan dari Pusat Kebijakan Perdagangan
distributor, pedagang eceran dan konsumen. Berdasarkan analisa lapangan dari Pusat
Dalam Negeri (2012), rantai pasokan perdagangan garam dibedakan menjadi
dua Kebijakan Perdagangan
yaitu sisi Dalam Negeri
sentra produksi yang(2012),
merujukrantaipada
pasokan perdagangan
garam bahan garam
baku dan
sentra pasarmenjadi
dibedakan yang merujuk
dua yaitu pada garam
sisi sentra olahan.
produksi yang merujuk pada garam bahan
baku dan sentra pasar yang merujuk pada garam olahan.
Sentra Produksi/
Garam Lokal Sentra Pasar/
Garam Bahan Baku
Garam Olahan

Perkebunan/Pupuk
Petani
Garam
PabrikPenyamakankulit

Konsumen
Akhir
Ladang
PT. Pengecer
Gudang
Garam Pedagang Pengumpul
Besar

Pabrik Garam Sub-


Distributor
Beryodium
Garam Impor Distributor

Importir
Prod.
Garam Gudang
PT Garam
Pabrik
Makanan
Pengeringan
Importir Ikan
Industri
Industri Pabrik
Kimia Skala
Kimia Sendiri Menengah
(CAP)

Perminyakan

Gambar 4.1 Pola


Gambar Distribusi
4.1 Pola Perdagangan
Distribusi Perdagangan Garam
Garam Nasional.
Nasional.
Sumber: Puska PDN (2012)
Sumber: Puska PDN (2012)
Sumber garam bahan baku di Indonesia berasal dari garam lokal
yang dihasilkan oleh petani garam (garam rakyat) dan ladang PT. Garam,
67
sedangkan bahan baku garam yang berasal dari luar diimpor oleh importir

54
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

produsen garam beryodium dan importir produsen non yodium. Kebutuhan


garam bagi industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan farmasi dilakukan oleh importir
produsen itu sendiri karena mempunyai spesifikasi yang sangat spesifik dan
industri pengolahan di dalam negeri belum bisa menghasilkan garam dengan
spesifikasi yang dibutuhkan oleh garam kedua industri tersebut.
Pada sentra produksi, garam bahan baku domestik yang dihasilkan oleh
garam rakyat akan diserap oleh pengumpul, pedagang besar, PT. Garam
dan sebagian akan masuk ke pabrik garam beryodium. Untuk garam yang
dihasilkan oleh PT. Garam akan disalurkan ke pedagang besar, pabrik garam
beryodium dan sebagian disimpan sebagai stok di gudang PT. Garam dan
sebagai garam bahan baku bagi unit produksi garam olahan PT. Garam.
Sementara itu, garam bahan baku dari impor akan diserap oleh pedagang
besar, masuk ke gudang PT. Garam, dan masuk ke pabrik garam beryodium.
Dua industri pengolahan yaitu pabrik garam beryodium dan industri
kimia menjadi sentral pengolahan garam bahan baku menjadi garam olahan
yang siap digunakan sebagai bahan konsumsi langsung atau sebagai
bahan penolong industri lainnya. Produksi garam beryodium selanjutnya
akan diserap oleh distributor dan disalurkan ke rantai di bawahnya hingga
konsumen serta industri makanan dan minuman. Untuk garam olahan non
yodium akan disalurkan ke industri-industri sebagai bahan penolong produksi
mereka melalui distributor ataupun langsung dari importir garam bahan baku.

4.3.1.1 Kelembagaan Rantai Pasokan di Aceh


Lembaga usaha perdagangan dan jenis pedagang di Aceh memperlihatkan
bahwa terdapat beberapa elemen di dalam rantai pasok yang meliputi
produsen, distributor, agen, sub agen, pedagang grosir, pedagang eceran
dan konsumen akhir yang terbagi menjadi dua yaitu kegiatan usaha lainnya
dan rumah tangga (BPS, 2015).
0,8% Kegiatan
17,2% Usaha
8,4% 72,6% Lainnya

Sub Pedagang
Produsen Distributor Agen Pedagang 100%
Agen Grosir
5,1% 8,2% 74,7%

24,6%
5,6% Rumah
4,3% Tangga

Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi


Daerah Istimewa Aceh.
Sumber: BPS (2015)

Bahan baku pembuatan garam diperoleh produsen dari wilayah Aceh


sendiri dan dari wilayah Sumatera Utara khususnya Kota Medan yang
dipasok dari daerah lain melalui Pelabuhan Belawan (BPS, 2015). Propinsi

55
Nugroho Ari Subekti

Daerah Istimewa Aceh tidak melakukan impor garam dalam proses produksi
garam. Dibandingkan dengan pola distribusi garam nasional, pola distribusi
perdagangan garam di Aceh relatif memiliki rantai yang cukup panjang untuk
mencapai konsumen akhir. Di Aceh, rantai pasok garam terpanjang harus
melewati lima elemen rantai pasok sebelum sampai ke konsumen akhir yaitu
kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga.
Pada rantai pasok yang terpanjang, pendistribusian garam ke konsumen
akhir dikuasai dua elemen rantai pasok yaitu pedagang grosir dan pedagang
eceran. Pedagang grosir akan menyalurkan garam ke pedagang eceran
sebesar 74,4% dan sebesar 24,6% langsung ke rumah tangga, dan sisanya
ke kegiatan usaha lainnya. Selain dari pedagang grosir, pedagang eceran
mendapatkan garam dari agen dan sub agen yang selanjutnya akan
memasarkan seluruhnya ke konsumen rumah tangga. Sementara rantai
pasok terpendek adalah dari distributor ke konsumen rumah tangga, namun
jumlahnya sangat kecil (4,3%). Dengan jumlah pasokan yang sedikit, harga
garam yang disalurkan ke konsumen dari distributor akan mengikuti harga
jual dari pedagang eceran dan pedagang grosir.

56
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

4.3.1.2 Kelembagaan Rantai Pasokan di Jawa Timur


Dari pola distribusi yang terbentuk di Jawa Timur, penyaluran garam di
Jawa Timur sangat merepresentasikan kegiatan pola distribusi garam secara
nasional. Ini terlihat dari kompleksitas penyaluran garam dari produsen
hingga ke konsumen akhir yang melibatkan berbagai elemen rantai pasok.
Selain itu, dilihat dari sisi bahan baku, produsen di Jawa Timur memperoleh
garam bahan baku selain dari produsen dalam negeri, garam bahan baku
juga diperoleh dari garam yang diimpor langsung. Di tingkat konsumen akhir,
garam juga tidak hanya disalurkan ke konsumen rumah tangga namun juga
ke kegiatan usaha lainnya dan ke industri pengolahan garam.

Produsen
Impor

39,8%

Distributor

Sub
Distributor

0,2%

Agen

20,9%
0,1%

29,6% Sub Agen

1,35% 30,2%
73,8%
30,1%
Pedagang
2,8% Grosir
0,03% 81,3%
0,07%

40,2%
Supermarket/ 71,3% Pedagang
Swalayan Eceran

1,7%
26,3%
2,5%
15%
0,12% 0,07% 72%
Industri Kegiatan Usaha Rumah
29,8% Pengolahan Lainnya tangga
7,1% 5,2%

0,1% 18.6%

Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi


Jawa Timur.
Sumber: BPS (2015)

Tidak seperti pola distribusi garam di daerah lain seperti Aceh, terlihat
pola distribusi perdagangan garam di Propinsi Jawa Timur sangat dikuasai
oleh distributor dan sub distributor. Dari 100% garam yang dikuasai distributor,
hampir sepertiganya diperuntukkan untuk industri pengolahan, sementara

57
Nugroho Ari Subekti

sisanya akan dibagikan ke sub distributor dan pedagang eceran. Dari dua
elemen rantai distribusi ini, garam akan disalurkan ke konsumen rumah
tangga dan ke kegiatan usaha lainnya.
Sedikit berbeda dengan pola distribusi nasional, di Jawa Timur, pedagang
grosir dan pedagang eceran memegang peranan penting dalam distribusi
garam ke konsumen akhir khususnya rumah tangga. Dengan penguasaan
garam hampir 70% di kedua lembaga ini, maka harga garam sangat ditentukan
oleh kedua lembaga ini. Namun demikian, dari sisi penguasaan garam,
pedagang eceran mempunyai keuntungan yaitu sumber pasokan garam
di Jawa Timur tidak hanya tergantung pada pedagang grosir. Hampir 70%
pasokan garam didapatkan dari rantai distribusi sebelum pedagang grosir
yaitu sub distributor dan distributor. Sehingga dari sisi marjin keuntungan
yang diperoleh, pedagang eceran kemungkinan mempunyai persentase yang
lebih besar dari pedagang grosir.

4.3.1.3 Kelembagaan Rantai Pasokan di Nusa Tenggara Barat (NTB)


Di NTB sebagai salah satu sentra produksi garam di kawasan timur
Indonesia, bahan baku garam seluruhnya berasal dari produsen lokal. Pola
distribusi di NTB juga jauh lebih sederhana dibandingkan dengan daerah Aceh
maupun Jawa Timur. Secara umum, jalur penjualan hasil produksi garam di
NTB dimulai dari produsen ke pedagang grosir sebagai pedagang besar,
pedagang eceran, dan terdapat konsumen akhir yaitu kegiatan usaha lainnya
dan rumah tangga.
30,9% Kegiatan
Usaha
Lainnya

55,3%

Produsen Pedagang Pedagang


Grosir Eceran

70,1%

0,9%

29,1%
Rumah
Tangga
13,9%

Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi


Gambar 4.4 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Nusa Tenggara
Nusa Tenggara Barat (NTB).
Barat (NTB).
Sumber: BPS (2015)

Rantai
Sumber: BPS distribusi di NTB boleh dikatakan pendek karena hanya ada dua
(2015)
elemen rantai pasok di dalamnya yaitu pedagang grosir dan pedagang eceran.
Pedagang grosir menjadi awal perdagangan garam yang menjual barang
Rantai distribusi
dagangannya di NTB boleh
ke pedagang eceran dikatakan pendek
(55,27%), industri karena hanya
pengolahan ada dua elemen
(30,88%),

rantai pasok di dalamnya yaitu pedagang grosir dan pedagang eceran. Pedagang
grosir menjadi
58 awal perdagangan garam yang menjual barang dagangannya ke
pedagang eceran (55,27%), industri pengolahan (30,88%), dan ke rumah tangga
(13,85%). Pedagang grosir juga menjadi elemen rantai pasok yang menjadi distributor
bagi industri pengolahan.
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

dan ke rumah tangga (13,85%). Pedagang grosir juga menjadi elemen rantai
pasok yang menjadi distributor bagi industri pengolahan.
Pada pola distribusi perdagangan garam di NTB terlihat bahwa pedagang
grosir memiliki peran yang sangat penting dalam distribusi garam ke dua
elemen konsumen akhir yaitu kegiatan usaha lainnya dan rumah tangga.
Hal ini terindikasi dari persentase penyaluran ke kedua elemen tersebut
yang menyentuh 45%, sementara sisanya dipasok ke pedagang eceran.
Jadi secara umum dalam pembentukan harga di tingkat konsumen akhir,
kemungkinan besar dua lembaga rantai pasok ini akan mempunyai peranan
yang sama besar.

4.3.1.4 Kelembagaan Rantai Pasokan di Sulawesi Tengah


Pola dan jalur distribusi garam di Sulawesi Tengah secara umum
menunjukkan karakteristik yang hampir serupa dengan pola distribusi garam
di NTB. Namun, ada perbedaan mendasar dalam pola distribusi garam di
Sulawesi Tengah yaitu daerah ini bukan merupakan sentra produksi garam.
Kondisi ini berdampak pada pengadaan garam yang berasal dari daerah
dari distributor. Dari distributor, garam dijual ke pedagang eceran sebesar 90% dan ke
lain sehingga elemen rantai pasok pertama diawali dari distributor. Dari
rumah tangga garam
distributor, sebesardijual
10%.keDistributor
pedagangmendapatkan pasokan
eceran sebesar garam
90% dan dari distributor
ke rumah
lainnya.
tanggaSehingga
sebesarrumah tangga sangat
10%. Distributor tergantung
mendapatkan pada pasokan
pasokan garam
garam dari yang berasal
distributor
lainnya sehingga
dari pedagang eceran. rumah tangga sangat tergantung pada pasokan garam yang
berasal dari pedagang eceran.
33,3%

90,2%
66,7%
Pedagang Grosir Pedagang Rumah Tangga
Distributor
Eceran

90% 10%

9,8%

Gambar 4.2 Pola Distribusi Perdagangan Garam di Propinsi



Gambar SulawesiPerdagangan
4.5 Pola distribusi Tengah. Garam di Propinsi Sulawesi Tengah.
Sumber: BPS (2015)

Sumber: BPS (2015)


Pedagang grosir merupakan elemen rantai pasok selanjutnya yang
mendistribusikan garam ke pedagang eceran sebesar 90,18% dan ke rumah
tanggaPedagang grosir merupakan
sebesar 9,82%. Sama denganelemen rantai dipasok
pola distribusi NTB, selanjutnya
pedagang yang
mendistribusikan
pengecer juga garam
menjualkekepedagang
pedagangeceran sebesar
pengecer 90,18%
lainnya dan sepertiga
sebanyak ke rumah tangga
dan sisanya
sebesar 9,82%.disalurkan ke konsumen
Sama dengan akhir yaitudirumah
pola distribusi NTB, tangga. Di sisi
pedagang lain
pengecer juga
distributor juga memegang peran dalam distribusi garam secara langsung ke
menjual ke pedagang pengecer lainnya sebanyak sepertiga dan sisanya disalurkan
konsumen akhir.
ke konsumen akhir yaitu rumah tangga. Di sisi lain distributor juga memegang peran
dalam distribusi garam secara langsung ke konsumen akhir.
59
4.3.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) Nasional

Tabel 4.1 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP)


Nugroho Ari Subekti

4.3.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) Nasional


Tabel 4.1 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP)
Uraian Pedagang Pedagang PB + PE
Besar Eceran
(PB) (PE)

Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) 913.742 199.804 561.736


Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) 732.143 167.925 453.963
Rata-rata MPP (000 Rp) 181.581 31.880 107.773
Rasio Marjin (%) 24,8 18,9 23,7
Sumber: BPS (2015)

Berdasarkan hasil survei BPS 2015 marjin perdagangan dan


pengangkutan nasional adalah seperti pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel
4.1, diperoleh informasi bahwa rata-rata MPP untuk lembaga usaha yang
termasuk kategori Pedagang Besar (PB) garam adalah sekitar Rp 181,58
juta dengan rasio marjin sebesar 24,80%, artinya PB mengambil keuntungan
rata-rata sebesar 24,80%. Rata-rata MPP untuk lembaga usaha yang
termasuk kategori Pedagang Eceran (PE) Garam adalah sekitar Rp 31,88
juta dengan rasio marjin sebesar 18,98%, artinya PE mengambil keuntungan
rata-rata sebesar 18,98%. Jika digabung, rata-rata Marjin Perdagangan dan
Pengangkutan untuk PB dan PE adalah sekitar Rp 107,77 juta dengan rasio
marjin sebesar 23,74%, artinya pedagang garam mengambil keuntungan
rata-rata sebesar 23,74%. Jadi secara umum marjin keuntungan yang diambil
PB cenderung lebih besar dari PE. Dengan karakteristik PB yang secara
teori jumlah pemainnya jauh lebih sedikit dari pedagang kategori PE, kondisi
ini mengindikasikan bahwa tingkat keuntungan hanya menjadi monopoli
pedagang dengan kategori PB.

4.3.2.1 MPP di Propinsi Daerah Istimewa Aceh

Tabel 4.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di


Propinsi Daerah Istimewa Aceh

Uraian Pedagang Pedagang PB + PE


Besar Eceran
(PB) (PE)

Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) 145.593 9.014 129.525


Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) 124.667 6.761 110.795
Rata-rata MPP (000 Rp) 20.926 2.254 18.729
Rasio Marjin (%) 16,8 33,3 16,9
Sumber: BPS (2015)

60
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

Rata-rata MPP untuk elemen rantai pasok yang termasuk ketegori PB


garam adalah sekitar Rp 20,93 juta dengan rasio marjin sebesar 16,79%
(Tabel 4.2). Hal ini dapat diartikan bahwa PB mengambil keuntungan rata-
rata sebesar 16,79%. Sementara untuk rata-rata MPP untuk elemen rantai
pasok yang termasuk kategori PE garam adalah sekitar Rp 2,25 juta dengan
rasio marjin sebesar 33,33%. Ini berarti PE mengambil keuntungan rata-rata
sebesar 33,33% atau hampir dua kali lipat dibandingkan lembaga usaha yang
dikategorikan PB. Secara rata-rata gabungan (PB dan PE), nilai yang didapat
sekitar Rp 18,73 juta dengan rasio marjin sebesar 16,90%. Sehingga, kedua
lembaga usaha tersebut mengambil keuntungan rata-rata sebesar 16,90%.
Secara sederhana, MPP di Aceh menunjukkan fakta yang sudah
seharusnya terjadi dalam suatu perdagangan yaitu PE akan memiliki marjin
keuntungan yang lebih besar. Kondisi ini terjadi karena berdasarkan fakta
antara lain: 1) Rantai pasokan garam sebelum ke PE melewati beberapa
rantai yang tiap rantai akan mengambil keuntungan; 2) Volume penjualan
PE yang mempunyai karakteristik eceran dan volumenya kecil; dan 3) PE
jumlahnya lebih banyak dibandingkan elemen rantai pasok sebelumnya.
Kondisi rantai pasok di Aceh secara umum terlihat lebih baik dibandingkan
dengan kondisi rantai pasok di tingkat nasional. Tingkat marjin yang diperoleh
cenderung tersebar pada elemen rantai pasok dengan kategori PE.
4.3.2.2 MPP di Jawa Timur
Tabel 4.3 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di
Propinsi Jawa Timur
Uraian Pedagang Pedagang PB + PE
Besar Eceran
(PB) (PE)

Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) 2.117.372 4.556 1.075.843


Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) 1.388.591 3.950 706.021
Rata-rata MPP (000 Rp) 728.782 607 369.822
Rasio Marjin (%) 52,5 15,4 52,4
Sumber: BPS (2015)

Berdasarkan Tabel 4.3, di Jawa Timur lembaga usaha yang termasuk


kategori kategori PB garam MPP yang diperoleh adalah sekitar Rp 728,78 juta
dengan rasio marjin sebesar 52,48%. Atau dengan kata lain, PB mengambil
keuntungan rata-rata sebesar 52,48%. Sementara untuk lembaga usaha yang
termasuk kategori PE garam, didapatkan MPP sebesar Rp 607 ribu dengan
rasio marjin sebesar 15,36%. Artinya keuntungan rata-rata yang diambil PE
sebesar 15,36% jauh lebih kecil jika dibandingkan PB. Kondisi ini berbeda

61
Nugroho Ari Subekti

dengan marjin keuntungan yang diambil PE di Aceh yang dua kali lebih besar
dibandingkan PB.
Sebagai representasi pola distribusi dan pemasaran garam tingkat
nasional, Jawa Timur memiliki kemiripan temuan marjin perdagangan dan
pengangkutan di tingkat nasional. Marjin keuntungan yang diambil PB
di Jawa Timur memiliki nilai lebih tinggi dari PE. Fenomena ini juga dapat
mengindikasikan bahwa, PB di Jawa Timur kemungkinan hanya dikuasai oleh
beberapa pemain dengan penguasaan pasar yang sangat besar sehingga
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga garam.

4.3.2.3 Nusa Tenggara Barat (NTB)


Tabel 4.4 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di
Propinsi Nusa Tenggara Barat
Uraian Pedagang Pedagang PB + PE
Besar Eceran
(PB) (PE)

Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) 666.793 6.523 299.976


Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) 373.552 5.322 168.980
Rata-rata MPP (000 Rp) 293.241 1.201 130.996
Rasio Marjin (%) 78,5 22,6 77,5
Sumber: BPS (2015)

Tabel 4.4 menunjukkan informasi bahwa rata-rata MPP PB garam adalah


sekitar Rp 293,24 juta dengan rasio marjin sebesar 78,50%. Dengan kata
lain, PB mengambil keuntungan rata-rata sebesar 78,50%. Sementara, rata-
rata MPP untuk kategori PE garam adalah sekitar Rp 1,20 juta dengan rasio
marjin sebesar 22,56%, sehingga keuntungan yang diambil PE rata-rata
sebesar 22,56%. Jadi, rata-rata MPP untuk kedua lembaga tesebut (PB dan
PE) adalah sekitar Rp 131,00 juta dengan rasio marjin sebesar 77,52%, yang
berarti di tingkat pedagang garam keuntungan yang diambil rata-rata sebesar
77,52%.
Serupa dengan kondisi di Jawa Timur atau di tingkat nasional, marjin
keuntungan yang diperoleh elemen distribusi dengan kategori PB di Nusa
Tenggara Barat juga jauh lebih tinggi dibanding elemen distribusi kategori PE.
Namun demikian, fenomena di NTB sedikit berbeda karena pola distribusi
ke konsumen akhir. PB memiliki keuntungan yang lebih besar karena selain
memasok ke PE, PB juga memasok langsung ke konsumen akhir seperti
industri pengolahan dan rumah tangga. Sementara PE hanya memasok ke
rumah tangga, meskipun dari jumlah memiliki persentase yang cukup besar
sebesar 70%.

62
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

4.3.2.4 MPP di Sulawesi Tengah


Tabel 4.5 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di
Propinsi Sulawesi Tengah
Uraian Pedagang Pedagang PB + PE
Besar Eceran
(PB) (PE)

Rata-rata Nilai Penjualan (000 Rp) 34.515 7.389 18.691


Rata-rata Nilai Pembelian (000 Rp) 31.533 6.943 17.189
Rata-rata MPP (000 Rp) 2.982 446 1.502
Rasio Marjin (%) 9,5 6,4 8,7
Sumber: BPS (2015)

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rata-rata MPP untuk PB garam sebesar Rp


2,98 juta dengan rasio marjin sebesar 9,46%, yang berarti bahwa keuntungan
yang diambil PB rata-rata sebesar 9,46%. Sementara untuk MPP kategori PE
garam adalah sebesar Rp 446 ribu dengan rasio marjin sebesar 6,42%, yang
berarti rata-rata keuntungan yang diambil PE sebesar 6,42% sehingga jika
digabung, rata-rata MPP (PB dan PE) adalah sebesar Rp 1,50 juga dengan
rasio marjin sebesar 8,74%, yang berarti keuntungan yang diambil pedagang
garam rata-rata sebesar 8,74%.
Berdasarkan deskripsi MPP yang ada, rasio marjin yang diambil oleh PB
dan PE di Sulawesi Tengah cenderung berbeda dari tiga wilayah sebelumnya.
Sebagai daerah yang murni mengandalkan pasokan garam dari daerah
lain, perbandingan rasio marjin yang didapat dari PB dan PE tidak memiliki
perbedaan yang besar seperti di daerah lain. Sekilas terlihat angka yang cukup
besar di PB dan PE, namun demikian jika dilihat dari struktur elemen rantai
distribusi yang berkecimpung di dalamnya, maka angka tersebut tidak akan
jauh berbeda. secara teori pelaku kategori PB akan lebih sedikit dibandingkan
dengan pelaku kategori PE. Dengan nilai persentase yang tidak memiliki gab
yang terlalu besar, kemungkinan marjin yang diambil kedua elemen tersebut
tidak berbeda secara signifikan.

4.4 Kebijakan Garam Nasional


Peraturan atau kebijakan garam di tingkat nasional pada dasarnya
bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat atau
konsumen dan sekaligus juga menumbuhkembangkan kegiatan usaha di
bidang garam. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai kebijakan telah
dibuat dan diimplementasikan yang mencakup penumbuhan iklim usaha yang
kondusif, pembinaan dan pengembangan yang dilakukan secara sinergi dan
saling mendukung antar lintas sektoral dan regional.

63
Nugroho Ari Subekti

Disamping itu kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan garam nasional


telah dilakukan baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk industri seperti
dalam pelaksanaan stok nasional garam pada tahun 1977 sampai dengan
1993 (Puska PDN, 2012). Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah dengan
menunjuk PN Garam sebagai pemegang stok nasional garam dengan membeli
garam rakyat. Disatu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan petani garam dengan cara meningkatkan kualitas, membantu
pemasaran, stabilisasi stok dan harga garam serta melindungi petani garam
dari pengijon, tengkulak dan sebagainya. Disisi lain, kepentingan konsumen
dapat terpenuhi dengan terjaganya ketersediaan kebutuhan akan garam.
Kebijakan ini memberikan hasil yang cukup menggembirakan bagi petani
karena harga di tingkat petani relatif menguntungkan. Namun dipihak pengelola
yaitu pemerintah, pengelolaan stok garam memerlukan ketersediaan dana yang
tidak sedikit. Dalam pengelolaannya ternyata, perputaran dana yang terbentuk
menunjukkan kinerja yang tidak menggembirakan ditambah kondisi administrasi
keuangan pemerintah pada dekade 90-an mulai menunjukkan kinerja yang
menurun. Kondisi tersebut memaksa pemerintah menghentikan kebijakan stok
dan Tim pelaksanaan stok nasional dibubarkan (Puska PDN, 2012).
Pada awal tahun 1990-an juga, Indonesia dihadapkan pada Kampanye
internasional untuk memerangi Iodine Deficiency Disorder (IDD) atau
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI). Serangkaian pertemuan
internasional terkait dengan hal tersebut secara otomatis mendorong
pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Kebijakan ini mengatur
garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau
ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan. Jenis garam
yang digunakan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar
Nasional Indonesia (SNI) dan terlebih dahulu diolah melalui proses pencucian
dan iodisasi.
Garam beryodium juga wajib dikemas dan diberi label sesuai dengan
keputusan Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/1995
dan telah dirubah menjadi Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia
Nomor: 42/M-IND/PER/11/2005 tentang persyaratan teknis pengolahan,
pengemasan, dan pelabelan garam beriodium. Berdasarkan kebijakan ini,
pengadaan garam beryodium harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
1. Garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia
atau ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan
adalah garam beryodium yang telah memenuhi SNI.
2. Garam beryodium yang diperdagangkan wajib dikemas dan diberi label
(Wahyuni, 2007).

64
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

Kebijakan garam beryodium yang sudah dikeluarkan pemerintah


berdasarkan laporan dari UNICEF (Boenarco, 2012) menyebutkan bahwa
sekitar 70% populasi Indonesia telah mendapatkan asupan yodium secara
cukup dibandingkan tahun 1990an yang hanya sekitar 20-30%. Namun
demikian, tidak hanya dampak positif yang dinikmati oleh konsumen.
Persyaratan yang komplek terkait dengan produksi garam beryodium
mengakibatkan biaya produksi garam meningkat. Sebagai imbasnya, untuk
mendapatkan garam yang berkualitas dengan standar yang tinggi cara instan
yang dilakukan adalah dengan melakukan impor garam.
Kebutuhan akan garam konsumsi semakin mendorong meningkatnya
impor garam yang berujung pada tertekannya produksi garam domestik.
Untuk melindungi keberadaan garam nasional, pemerintah telah merilis
beberapa kebijakan yang berhulu pada Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor: 360/MPP/Kep/5/2004 terkait dengan tata niaga impor
garam. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan secara khusus bertujuan untuk
menstimulasi produksi garam nasional khususnya garam rakyat. Selain itu,
jatuhnya harga garam setiap musim panen raya garam menjadi latar belakang
diberlakukannya kebijakan tersebut (Wahyuni, 2007).
Sebagai komoditas yang dalam proses produksinya sangat tergantung
oleh kondisi iklim, pemerintah juga menerbitkan peraturan yang bertujuan
untuk melindungi petani garam dari anomali cuaca yang terjadi pada waktu itu.
Dengan bergesernya masa panen yang terjadi pada tahun 2004, pemerintah
juga meresponnya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan lanjutan
seperti Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 422/MPP/Kep/6/2004 tentang
tentang masa panen garam rakyat tahun 2004 yang berlangsung mulai 1
Agustus hingga 31 Oktober 2004. Dalam kebijakan tersebut, secara detil
ditetapkan ketentuan larangan impor garam selama periode tertentu yaitu: 1)
satu bulan sebelum musim panen raya garam rakyat; 2) selama panen raya
garam rakyat; 3) dan dua bulan setelah masa panen raya garam rakyat.
Pada tahun 2005, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor: 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang ketentuan impor
garam yang diikuti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
44/M-DAG/PER/10/2007 yang merupakan perubahan peraturan sebelumnya
yang secara khusus mengatur siapa yang boleh melakukan impor garam.
Importir yang boleh melakukan impor garam dibagi menjadi dua yaitu importir
garam iodisasi dan non idodisasi dan hanya boleh mengimpor di luar masa
panen garam rakyat. Kebijakan tata niaga impor garam itu diperbaharui lagi
dengan Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 tanggal 4 September 2012.
Jo Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 88/M-DAG/PER/10/2015. Terkait
dengan perbaikan harga dasar garam rakyat telah diatur melalui Peraturan

65
Nugroho Ari Subekti

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/DAGLU/PER/5/2011,


bahwa harga garam rakyat di tingkat pengumpul atau collecting point (kondisi
curah di atas truk) yang harus dibeli oleh IP untuk KP1 minimal Rp 750/Kg dan
KP2 minimal Rp 550/Kg (Kemendag, 2012b).
Dalam rangka memberi kepastian harga, sebenarnya pemerintah telah
merilis Undang-Undang No. 9 tahun 2011 Junto Undang-Undang No. 9
Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang dilanjutkan dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2014 Junto Peraturan Pemerintah No.
36 Tahun 2007 mengenai Pelaksanaan Sistem resi gudang. Berdasarkan
peraturan inilah lahir satu jenis Resi Gudang baru di Indonesia, dimana resi
gudang bukan hanya sekedar bukti kepemilikan atas barang yang disimpan
di gudang, melainkan dapat berfungsi sebagai surat berharga yang dapat
diperdagangkan baik secara domestik maupun internasional, juga dapat
dijadikan bukti penyerahan barang dalam kontrak derivatif yang dilakukan
dalam suatu kontrak berjangka yang diperdagangkan dalam bursa berjangka.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08/M-DAG/
PER/02/2013 ada sepuluh komoditas yang bisa diresigudangkan yaitu Gabah,
Beras, Jagung, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput Laut, Rotan dan Garam.
Namun hingga saat ini, hanya lima komoditas yang bisa dilakukan resi gudang.
Dan menurut rencana, di akhir tahun 2016, garam akan menjadi salah satu
komoditas yang didorong dapat diresigudangkan. Untuk mewujudkan hal
tersebut, Kementerian Perdagangan akan bekerja sama dengan Kementerian
Kalautan dan Perikanan (KKP) dan PT. Garam (Persero) (Tribunbisnis, 2016)
Sejalan dengan program deregulasi dari pemerintah, ketentuan tentang
impor garam diperbarui lagi di akhir tahun 2015 yaitu dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015.
Semangat dari kebijakan ini adalah untuk mendorong peningkatan daya
saing nasional dengan salah satunya menyederhanakan proses perizinan
di bidang perdagangan khususnya impor garam industri. Namun demikian,
praktisi pergaraman khususnya petani garam merasa kebijakan tersebut
tidak mendukung perbaikan peningkatan kinerja garam domestik khususnya
garam rakyat. Menurut mereka,ada tiga hal perubahan fundamental dalam
kebijakan ini yang berbeda dengan kebijakan sebelumnya yaitu: 1) Tidak
adanya kewajiban bagi IP untuk menyerap garam rakyat dengan persentase
50% dari total produksi; 2) Tidak ada harga pembelian pemerintah (HPP); dan
3) Tidak ada periode pembatasan waktu impor (Detik, 2016).
Kebijakan tersebut cukup banyak mendapat perhatian karena kebijakan
sebelumnya yang mewajibkan IP untuk menyerap garam rakyat tidak cukup
berhasil. Terkait dengan harga, kebijakan sebelumnya yang mengatur tentang
HPP garam juga kecenderungan dilanggar IP karena pada realitasnya, IP

66
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

menyerap garam dengan harga di bawah HPP. Anjloknya harga garam


rakyat juga terkait dengan lemahnya pengawasan terkait masuknya garam
impor ke pasar garam konsumsi. Fenomena lemahnya law enforcement dari
kebijakan sebelumnya serta longgarnya kebijakan yang terbaru, mendorong
rasa kekhawatiran dari pelaku garam rakyat jika kebijakan ini akan membawa
dampak yang lebih buruk kepada masa depan industri garam rakyat. Melihat
fakta-fakta dan fenomena-fenomena yang telah terjadi, kekhawatiran para
pelaku industri garam rakyat tersebut menjadi wajar.
Namun demikian, jika kita telaah lebih dalam lagi terkait dengan kebijakan
tersebut (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015
tentang Impor Garam) maka akan ditemukan hal-hal baik secara eksplisit dan
implisit sangat mendukung perkembangan industri garam rakyat. Sebagai
contoh adalah, pengaturan impor garam yang secara tegas diatur hanya
garam industri yang dilakukan oleh Importir Produser. Sementara, garam
impor untuk garam bahan baku konsumsi hanya dapat diimpor dalam kondisi
tertentu (gagal panen) dan hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang berkecimpung dalam bisnis garam setelah mendapat
rekomendasi dari kementerian pembinanya. Secara implisit industri garam
konsumsi mau tidak mau harus menggunakan garam bahan baku yang
dihasilkan oleh petani garam yang diasumsikan lebih dari cukup dalam
memenuhi kebutuhan garam bahan baku konsumsi.
Dari semua kebijakan tata niaga garam yang telah dirilis dan dijalankan
oleh pemerintah secara umum belum mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan
khususnya terkait tata niaga garam rakyat. Kondisi ini menurut Rochwulaningsih
(2013) karena kebijakan yang telah ada hanya mengatur tata niaga garam
impor, sementara yang menyangkut garam rakyat hanya diselipkan menjadi
bagian kecil dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain, hingga saat ini belum
pernah ada kebijakan yang secara khusus dan otonom mengatur tentang tata
niaga garam rakyat. Isu garam rakyat hingga saat ini masih terus hangat dan
menjadi komoditas ‘pencetak uang’ bagi pemburu rente.

67
Nugroho Ari Subekti

4.4 Penutup
Rantai distribusi suatu barang dimulai dari produsen hingga ke konsumen
yang pada akhirnya akan menggambarkan suatu pola distribusi. Setiap
elemen yang terbentuk dalam rantai distribusi mempunyai peran yang sangat
penting dalam perekonomian masyarakat antara lain sebagai katalisator
antara produsen dan konsumen serta dapat memberikan nilai tambah bagi
pelakunya. Secara normatif, rantai distribusi yang baik adalah suatu gabungan
elemen-elemen pelaku distribusi yang mampu membangun suatu mekanisme
pergerakan barang dari produsen ke konsumen secara kontinyu dengan biaya
yang efisien dan dapat mensejahterakan seluruh pelaku di dalamnya.
Permasalahan utama dari komoditas garam dalam negeri adalah tidak
seimbangnya antara pasokan dan kebutuhan. Selain itu, kualitas garam yang
dihasilkan secara umum belum bisa memenuhi kebutuhan industri dalam
negeri. Selain faktor ketergantungan pada cuaca, keterbatasan penerapan
teknologi dan lahan menjadi hambatan utama dalam peningkatan kuantitas
dan kualitas produksi garam. Komoditas garam yang cenderung bersifat
musiman menjadikan komoditas ini sangat rentan pada tekanan harga pada
waktu masa panen. Harga cenderung akan menurun drastis ketika masa
panen, namun tidak akan membaik ketika tidak musim garam.
Perbaikan kebijakan yang mendukung industri garam perlu dilakukan
untuk menjamin semua kepentingan pelaku komoditas garam di dalam
negeri. Kebijakan penetapan harga garam di tingkat petani diharapkan dapat
mendorong kualitas garam yang dihasilkan oleh petani garam. Dalam beberapa
tahun terakhir, pemerintah juga mendorong peningkatan produksi garam
nasional dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR).
Kebijakan ini secara nyata telah meningkatkan tingkat produksi garam rakyat
secara signifikan di berbagai daerah sentra industri garam di Indonesia. Rantai
distribusi yang terlalu panjang juga menjadikan komoditas garam tidak efisien.
Ini terlihat dari tidak meratanya marjin biaya dan pendapatan di berbagai
tingkat rantai distribusi. Penguatan peran PT. Garam sebagai kepanjangan
tangan pemerintah untuk memotong panjangnya rantai distribusi menjadi
sangat penting dalam rangka meningkatkan efisiensi rantai distribusi garam di
Indonesia. Diperlukan kebijakan yang lebih ketat terkait dengan pengawasan
impor garam industri agar tidak terjadi perembesan garam di pasar garam
konsumsi. Dan yang terakhir, diperlukan suatu kebijakan yang secara khusus
mengatur tentang tata niaga garam rakyat.

68
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

DAFTAR PUSTAKA:
Badan Pusat Statistik. (2015). Distribusi Perdagangan Komoditi Garam
Indonesia. Diunduh tanggal 31 Januari 2016 dari www.bps.go.id.
Biro Umum dan Humas Departemen Perindustrian dan Perdagangan. (2004).
2004 Impor Garam Dilarang, mulai 1 Juli sampai 31 Desember
2004. Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari http://www.kemenperin.
go.id/artikel/544/Impor-Garam-Dilarang,-Mulai-1-Juli-Sampai-31-
Desember-2004.
Boenarco, I. S. (2012). Kebijakan Impor Garam Indonesia (2004-2010):
Implikasi Liberalisasi Perdagangan Terhadap Sektor Pergaraman
Nasional. Universitas Indonesia. Diunduhtanggal 15 Januari 2016
dari www.lib.ui.ac.id.
Detik Finance. (22 September 2015). KPPU: Kartel Garam Sudah Sejak 2006,
kok Baru Ribut Sekarang? Diunduhtanggal 29 Februari 2016 dari
http://finance.detik.com/read/2015/09/22/100742/3025169/4/kppu-
kartel-garam-sudah-sejak-2006-kok-baru-ribut-sekarang.
Detik Finance. (30 Maret 2016). Gubernur Jatim Keberatan Permendag
125 Tentang Impor Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016 dari
http://finance.detik.com/read/2016/03/30/074230/3175512/1036/
gubernur-jatim-keberatan-permendag-125-tentang-impor-garam.
Direktorat Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut. (2016).
Peningkatan Kualitas Garam Menuju Swasembada Garam Nasional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tidak dipublikasikan.
Fathuddin dan Heriansah. (2014). Analisis Tata Niaga Garam Untuk
Pengembangan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pangkep.
Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari http://stitek-balikdiwa.ac.id/
images/jbd_v5n2_1.pdf.
Kompas. (27 Januari 2016). Harga Garam Masih Anjlok diunduh tanggal 31
Januari 2016 dari http://print.kompas.com/baca/2016/01/27/Harga-
Garam-Masih-Anjlok.
Kemala, G. W. R. (2013). Analisis Faktor-faktor yang memengaruhi Impor
Garam Indonesia (dari Negara Mitra Dagang Australia, India,
Selandia Baru, dan Cina). Institut Pertanian Bogor. Diunduh tanggal
15 Januari 2016dari www.repository.ipb.ac.id.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (23 September 2015). Importir Lakukan
3 Modus Kartel Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari http://
kkpnews.kkp.go.id/index.php/importir-lakukan-3-modus-kartel-
garam/.

69
Nugroho Ari Subekti

Kementerian Perindustrian. (2014). Peraturan Menteri Perindustrian Nomor


88/M-IND/PER/10/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Perindustrian No 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan
(Road Map) Pengembangan Klaster Industri Garam Tahun 2014.
Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari www.regulasi.kemenperin.
go.id.
Kementerian Perindustrian. (2016) Direktori Perusahaan Industri Garam
Beryodium. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari http://kemenperin.
go.id/direktori-perusahaan?what=garam+yodium&prov=0.
Kementerian Perdagangan. (2005). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Diunduh
tanggal 29 Februari 2016dari http://ews.kemendag.go.id/download.
aspx?file= Permendag+No+20+Tahun+2005.pdf&type=policy.
Kementerian Perdagangan. (2007). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
44/M-DAG/PER/10/2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan
Impor Garam. Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari http://
ews.kemendag.go.id/download.aspx?file=Permendag+No+44+
Tahun+2007.pdf&type=policy.
Kementerian Perdagangan. (2012a). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
58/M-DAG/PER/9/2012 tentang tentang Ketentuan Impor Garam
Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari http://inatrade.kemendag.
go.id/files/peraturan/147.pdf.
Kementerian Perdagangan. (2012b). Lindungi Petani, Pemerintah Hentikan
Impor Garam Konsumsi Jelang Panen Raya. Diunduh tanggal 29
Februari 2016dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2012/09/14/
jakarta-lindungi-petani-pemerintah-hentikan-impor-garam-
konsumsi-jelang-panen-ra-id1-1353753875.pdf.
Kementerian Perdagangan. (2015). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
125/M-DAG/PER/12/2015 tentang tentang Ketentuan Impor Garam.
Diunduh tanggal 30 April 2016dari http://www.kemendag.go.id/files/
regulasi/2016/01/29/125m-dagper122015 -id-1452583962.pdf.
Keputusan Presiden 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium.
Diunduh tanggal 29 Februari 2016dari http://www.hukumonline.com/
pusatdata/downloadfile/lt4e96608ccda48/parent/22383.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (2005). Putusan Perkara Nomor: 10/
KPPU-L/2005. Diunduh tanggal 29 Februari 2016 dari http://www.
kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_garam.pdf.
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. (2012). Penerapan Supply
Chain Management untuk Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas
Distribusi pada Kasus Garam. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam
Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta.

70
Perdagangan Garam di Dalam Negeri

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1991 Tentang Pengalihan Bentuk


Perusahaan Umum (PERUM) Garam Menjadi Perusahaan
Perseroan (PERSERO). Diunduhtanggal 29 Februari 2016 darihttp://
ews.kemendag.go.id/download.aspx?file=PP+No+12+Tahun+1991.
pdf&type=policy.
Rochwulaningsih, Y. (2013). Tata Niaga Garam Rakyat dalam Kajian Struktural.
Jurnal Sejarah CITRA LEKHA Vol XVII, No. 1 Februari 2013: 59-66.
Diunduh tanggal 15 Januari 2016dari www.ejournal.undip.ac.id.
Syarifudin, A. (2013). Kebijakan Garam Nasional: Dilema Potensi dan
Permasalahan Produksidiunduh tanggal 1 Februari 2016 dari https://
shalifijarresearchcenter.wordpress.com.
Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 77/M/SK/1995 tentang
Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beriodium
diunduh dari http://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/
Kepmenperin_77_1995.pdf.
Tribunbisnis. (1 Juni 2016). Gandeng Kementerian, Bappepti Wujudkan Sistem
Resi Gudang Garam. Diundah tanggal 16 Juni 2016 dari http://www.
tribunnews.com/bisnis/2016/06/01/gandeng-kementerian-bappebti-
wujudkan-sistem-resi-gudang-garam.
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 42/M-IND/
PER/11/2005 tentang Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan
Garam Beriodium diunduhtanggal 29 Februari 2016 dari http://jdih.
pom.go.id/showpdf.php?u=439.
Wahyuni, R. T. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output
Industri Garam Beryodium di Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

71
Nugroho Ari Subekti

72
Perdagangan Luar Negeri Garam

BAB V
PERDAGANGAN LUAR NEGERI GARAM
Aziza Rahmaniar Salam

5.1 Pendahuluan
Indonesia masih mengandalkan pemenuhan sebagian besar kebutuhan
garam dari impor. Impor garam Indonesia pada tahun 2014 mencapai 2,3
juta ton dari total kebutuhan yang mencapai 3,53 juta ton setiap tahunnya
sebagaimana yang telah disampaikan pada bab sebelumnya (BPS, 2016).
Kondisi pergaraman Indonesia saat ini bertolak belakang dengan apa yang
terjadi pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana saat itu Indonesia
merupakan eksportir garam. Hal ini menunjukkan bahwa garam sejak dulu
merupakan komoditas strategis yang menjadi perhatian dan kepentingan
pemerintah yang berkuasa. Namun sejak Indonesia merdeka, yang terjadi
justru merupakan kebalikannya yaitu garam tidak lagi dipandang sebagai
komoditas strategis. Kebutuhan akan garam ini seharusnya sudah mulai
dapat dipenuhi dari dalam negeri, mengingat selama ini walaupun Indonesia
mengimpor garam namun juga mengekspor garam (Rochwulaningsih, 1989).
Direktur Utama PT. Garam (Persero) menyampaikan setidaknya ada 3
penyebab mengapa Indonesia masih menjadi negara importir garam (Sutianto,
2015b). Pertama, masa panen dan pengolahan garam di Indonesia relatif
sangat singkat dan sederhana. Akibatnya, kualitas garam Indonesia menjadi
sangat rendah. Selain itu, petani garam yang mayoritas masih tradisional
tidak melakukan beberapa tahapan pengolahan garam, utamanya tahapan
refinery guna menaikkan kualitas garam. Berbeda dengan garam yang
diproduksi oleh industri pengolahan garam yang melakukan beberapa tahap
untuk memperoleh garam kualitas tinggi (high grade). Australia melakukan
pengolahan garam dengan beberapa tahapan skala industri modern. Masa
panen yang lama, skala industri yang modern dengan teknologi pengolahan
yang modern juga serta lahan pengolahan yang luas yang mencapai ribuan
hektar membuat garam produksi Australia lebih banyak dan berkualitas.
Kendala kedua adalah teknologi. Indonesia belum memiliki teknologi
pengolahan (refinery) untuk garam yang berkualitas rendah. Refinery
diperlukan untuk menaikkan kualitas garam agar sesuai kebutuhan industri
makanan minuman yang selama ini masih impor.
Kendala ketiga adalah kesulitan mencari lahan baru. Indonesia
memerlukan tambahan lahan baru di tepi pantai yang relatif luas, minimal
5.000 hektar yang tidak terpisah-pisah. Selama ini lahan yang ada secara
total cukup luas bahkan belum dimaksimalkan tetapi berada pada lokasi yang

73
Aziza Rahmaniar Salam

terpisah-pisah, atau tidak berada dalam satu lokasi. Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah adalah dengan merencanakan membuka lahan baru di
Nusa Tenggara Timur tetapi masih terkendala pembebasan lahan.
Tujuan lahan baru ini seluas 13 ribu hektar adalah untuk memproduksi
garam industri yang kebutuhannya sekitar 2,2 juta ton per tahun. Diharapkan
strategi ekstensifikasi ini dapat menutupi seluruh kebutuhan garam industri
secara bertahap dengan estimasi dalam 1.000 hektar (ha) tambak garam
mampu memproduksi sekitar 200.000 ton per tahun (Khayam, 2015).
Pemilihan lokasi pembukaan tambak baru di NTT, dinilai sangat tepat karena
wilayah ini memiliki masa kemarau yang jauh lebih panjang dibandingkan
daerah lainnya sekitar 8,5 bulan atau mendekati lamanya masa kemarau di
Australia yaitu selama 11 bulan. Diharapkan pembukaan tambak garam baru
sebanyak 13.000 ha tersebut bisa menutup kebutuhan impor garam industri
yang kriteria dan kualitasnya lebih tinggi dari garam konsumsi.

5.2 Perkembangan Ekspor–Impor


Dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012, garam masuk
dalam heading 25.01 yaitu garam (termasuk garam meja dan garam
didenaturalisasi) dan natrium khlorida murni, dalam larutan air atau
mengandung tambahan bahan anti-caking atau free-flowing maupun tidak.
Garam ini terbagi atas 5 pos tarif dalam level 10 digit yaitu 2501.00.10.00
(garam meja), 2501.00.20.00 (garam batu), 2501.00.50.00 (air laut, yaitu
air laut dari laut terdalam yang digunakan sebagai bahan baku kosmetik),
2501.00.90.10 (lain-lain yang mengandung natrium khlorida paling sedikit
94,7% dihitung dari basis kering), dan 2501.00.90.90 (lain-lain selain garam
meja, garam batu dan air laut).
Indonesia walau merupakan negara kepulauan namun hingga saat ini
masih merupakan negara importir garam, utamanya garam industri. Ekspor
garam Indonesia hanya 0,26 % dibandingkan impor pada tahun 2014, dimana
kondisi ini tidak banyak berubah jika dilihat dari data tahun 2010 sampai 2014
walau sempat terjadi sedikit kenaikan ekspor garam pada tahun 2012.
Jika dilihat dari sisi nilai, eskpor Indonesia selama tahun 2010–2014
mengalami fluktuasi namun cenderung menurun sebesar 4,9 per tahunnya,
pada 2014 ekspor Indonesia mencapai USD 0,54 juta atau 2,55 ribu ton.
Namun jika dilihat dari sisi volume, mengalami peningkatan sebesar 8,5%
setiap tahunnya Dari 2,06 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 2,55 ribu ton
pada tahun 2014.
Impor garam Indonesia baik dilihat dari sisi nilai maupun volume
mengalami penurunan sebesar 5,76% dan 2,16% setiap tahunnya. Dari sisi
neraca, baik dari sisi nilai maupun volume cenderung mengalami penurunan.

74
Perdagangan Luar Negeri Garam

Pada tahun 2014, impor Indonesia mencapai USD 104,35 juta atau 2.268,2
ribu ton. Harga satuan ekspor jauh diatas harga satuan impor. Harga satuan
ekspor garam Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 0,21/Kg dan harga
satuan impor mencapai USD 0,05/Kg. Hal ini mengindikasikan bahwa harga
garam impor jauh lebih murah dibandingkan harga garam yang diekspor
(Tabel 5.1).

Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor Garam


Indonesia
Nilai (USD Juta) 2010 2011 2012 2013 2014 Tren 2010-2014 (%)
Ekspor 0,53 0,67 1,16 0,43 0,54 -4,15
Impor 218,37 292,89 215,05 177,33 208,55 -5,77
Neraca -217,84 -292,22 -213,89 -176,90 -208,02
Volume (Ribu Ton) 2010 2011 2012 2013 2014 Tren 2010-2014 (%)
Ekspor 2,06 1,92 2,64 2,85 2,55 8,50
Impor 4.166,66 5.671,63 4.435,54 3.845,22 4.535,27 -2,17
Neraca -4.164,60 -5.669,71 -4.432,90 -3.842,37 -4.532,73
NILAI SATUAN (USD/Kg) 2010 2011 2012 2013 2014 Tren 2010-2014 (%)
Ekspor 0,26 0,35 0,44 0,15 0,21 -11,66
Impor 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 -3,68
Sumber: BPS (2015)

Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Garam Indonesia


HS 10 digit (Ribu Ton)
Tren
Kode HS Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014 2010-2014 Pangsa
(%) (%)

2501.00.10.00 Garam meja 1,54 1,64 2,33 2,64 2,35 14,19 92,23
2501.00.90.00 Lain-lain, mengandung natrium 0,03 - - - 0,03 25,74 1,02
klorida paling sedikit 94,7%
dihitung dari basis kering
2501.00.50.00 Air laut 0,47 0,28 0,28 0,20 0,17 (21,08) 6,71
2501.00.90.90 Lain-lain 0,02 - 0,03 0,01 - - 0,04
Sumber: BPS (2015), diolah

Dilihat dari BTKI, HS 2501.00.10.00 merupakan produk garam yaitu


garam meja dan HS 2501.00.90.00 merupakan lain-lain selain garam meja
dan garam batu serta selain air laut yang mengandung natrium klorida paling
sedikit 94,7% dihitung dari basis kering. Garam meja ini mendominasi ekspor
garam Indonesia akan produk garam, dimana pada tahun 2014 mencapai
92% dari total ekspor Indonesia akan produk garam. Namun jika dilihat dari
sisi pertumbuhan, HS 2501.00.90.10 (produk lain-lain selain garam meja
dan air laut yang mengandung natrium klorida paling sedikit 94,7%) memiliki

75
Aziza Rahmaniar Salam

pertumbuhan paling tinggi, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 25,7% per


tahun. Pada tahun 2014, ekspor garam meja ini mencapai 2,35 ribu ton.
Negara yang menjadi tujuan utama ekspor garam meja Indonesia adalah
Timor Timur dengan pangsa sebesar 35,57% atau 1,66 ribu ton, diikuti oleh
Filipina dengan pangsa 13,27% atau 0,62 ribu ton dan Jepang sebesar
0,43% atau 0,02 ribu ton. Sepuluh negara tujuan utama ekspor Garam Meja
Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut (Tabel 5.3):
Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Garam Meja Indonesia
Berdasarkan Negara Tujuan (Ribu Ton)
NO Negara Volume : Ribu Ton Pangsa 2014
2010 2011 2012 2013 2014 (%)
1 Timor Timur 0,51 0,83 1,42 1,94 1,66 35,57
2 Filipina 0,74 0,78 0,71 0,62 0,62 13,27
3 Jepang 0,07 0,02 0,04 0,04 0,02 0,43
4 Malaysia 0,00 - - 0,00 0,01 0,19
5 Papua Nugini 0,20 - - 0,03 0,01 0,12
6 Singapura 0,00 0,00 0,02 0,01 0,00 0,09
7 Korea Selatan - - - 0,00 0,00 0,04
8 Australia 0,00 - 0,00 0,00 0,00 0,02
9 Italia - - 0,00 0,00 0,00 0,00
10 UEA - 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Sub Total 1,52 1,63 2,19 2,64 2,32 49,73
Lainnya 0,02 0,01 0,13 0,00 0,03 0,54
Sumber: BPS (2015), diolah

Dilihat dari sisi impor, jenis garam yang banyak diimpor adalah
HS 2501.00.90.10 (lain-lain yang mengandung natrium khlorida paling sedikit
94,7% dihitung dari basis kering) dengan pangsa impor pada tahun 2014
sebesar 99,9 % atau mencapai 2,3 ton dari total impor Garam Indonesia
(Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Perkembangan Volume Impor Garam Indonesia
HS 10 digit (Ton)
Tren
Kode HS Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014 2010-2014 Pangsa
(%) (%)
2501.00.10.00 Garam meja 32,4000 0,5560 5,4420 0,5260 1,5020 -46,20 0,00006622
2501.00.90.00 Lain-lain, mengandung natrium
klorida paling sedikit 94,7%
dihitung dari basis kering 2.083,285 2.835,755 2.212,527 1.922,284, 2.267,112 -2,17 99,954
2501.00.50.00 Air laut 1,1530 0,8440 0,9080 0,7540 0 - 0,00
2501.00.90.90 Lain-lain 23,98 114,38 10,471,64 643,69 1,046,67 152,95 0,04615

Sumber: BPS (2015), diolah

Berdasarkan negara asal impor (Tabel 5.6), untuk impor garam yang
mengandung natrium khlorida paling sedikit 94,7%, didominasi dari Belanda
dengan pangsa 49,06% atau 1.174, 46 ribu ton diikuti Australia sebesar

76
Perdagangan Luar Negeri Garam

22,19% atau 531,33 ribu ton dan India dengan pangsa sebesar 16,62%
atau 398,01 ribu ton. Dilihat dari negara asal impornya, yang mengalami
peningkatan impor ke Indonesia paling tinggi adalah Belanda sebesar
141,6%, diikuti Jerman dan Australia dengan peningkatan impor masing-
masing sebesar 20,3 % dan 0,23 %.
Data dari Direktorat Impor Kementerian Perdagangan (2016)
menunjukkan berdasarkan perijinan impor yang dikeluarkan, impor terbesar
adalah perijinan untuk impor garam industri dan sejak tahun 2013-2014 tidak
ada perijinan impor garam untuk garam konsumsi.
Tabel 5.5 Data Realisasi Impor Garam, 2008-2014 (RibuTon)
No Jenis Garam 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Garam Iodasi/Garam
Konsumsi 88,5 99,8 597,6 923,8 495,0 0 0
2 Garam Non Iodasi/
Garam Industri 1.542,3 1.636,7 1.590,1 1.691,4 1.819,8 2.020,9 2.251,6
Da
Total 1.630,8 1.736,5 2.187,6 2.615,2 2.314,8 2.020,9 2.251,6
Sumber: KSO Sucofindo – Surveyor (2016)
201

Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Garam (Yang


Mengandung Natrium Klorida Paling Sedikit 94,7%)
Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor (Ribu Ton)
Tren
No Negara Volume : Ribu Ton 2010-2014 Pangsa 2014
2010 2011 2012 2013 2014 (%) (%)

1 Belanda 49,22 72,40 765,52 861,08 1,174,46 141,59 49,06


2 Australia 472,96 744,82 775,16 603,60 531,33 0,23 22,19
3 India 491,80 955,91 637,26 472,36 398,01 (10,67) 16,62
4 Amerika Serikat - 5,50 79,61 73,40 92,37 3,86
5 Jerman 388,79 1,13 56,17 150,73 84,69 20,28 3,54
6 Selandia Baru - 37,50 55,69 50,25 65,20 2,72
7 Jepang 20,16 0,12 0,74 - 23,96 1,00
8 RRT 0,12 0,15 0,79 - 23,96 1,00
9 Hongkong 0,2 0,121 0,148 0,074 0,140 (8,10) 0,01
Sub Total 1.423,21 1.817,64 2.371,09 2.211,49 2.394,13 13,16 100,00
Lainnya 206,61 451,66 413,01 0,09 - 0,00
Sumber: BPS (2015), diolah

5.3 Peta Perdagangan Internasional


Data Trade Map (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia
hanya menempati urutan ke 86 sebagai negara pengekspor garam. Negara
pengekspor utama garam dilihat dari sisi volume adalah Chili, dengan pangsa
ekspor ke dunia pada tahun 2014 sebesar 17,99% atau 9,9 miliar ton. Urutan
berikutnya adalah Meksiko dengan pangsa 16,34% atau setara dengan 9
miliar ton dan Kanada sebesar 10,46% atau 5,7 miliar ton. Sepuluh negara
utama pengekspor garam menguasai pasar ekspor dunia sebesar 77%,
sisanya disuplai oleh negara-negara lainnya termasuk Indonesia.

77
Aziza Rahmaniar Salam

Chili
Lainnya 18%
23%

Belarusia
2% Meksiko
RRT
16%
3%
Bahama
3%
Ukraina
3% Kanada
Jerman Belanda 10%
8% India
5%
9%

Gambar 5.1 Negara Utama Pengekspor Garam (Volume) Tahun 2014.


Sumber: Trade Map (2015), diolah

Namun jika dilihat dari sisi nilai ekspor, negara pengekspor garam
terbesar tahun 2014 adalah Belanda dengan pangsa ekspor 12% atau senilai
USD 0,32 miliar, diikuti Jerman dan Chili dengan pangsa ekspor sebesar 7%
dan 6% atau setara dengan USD 0,199 miliar dan USD 0,198 miliar. Sepuluh
negara utama pengekspor garam menguasai 60% pasar, 40% sisanya
dipenuhi oleh negara-negara lainnya termasuk Indonesia yang menempati
urutan ke-89. Belanda sebagai negara pengekspor garam terbesar di dunia
(Salt Partners, 2016) memiliki 4 perusahaan yang menghasilkan garam
yaitu Akzo Nobel, Frisia Zout, Solvay Chemicals, dan Esco-European Salt
Company, dimana sumber utama garam di Belanda adalah berasal dari
pertambangan (Ezco Salt, 2016).
Akzo Nobel memproduksi garam berdasarkan pada teknologi garam
vakum. Bahan baku utama yang digunakan adalah air garam mentah dan
energi (steam dan listrik). Akzo Nobel memiliki produksi tahunan sekitar 6 juta
ton garam. Esco-European Salt Company, yang memiliki beberapa pabrik
di Eropa memproduksi beberapa jenis garam seperti garam dapur, garam
farmasi, garam industri dan garam untuk diet, serta menghasilkan juga “water
softening” yang banyak digunakan dalam proses industri.

Gambar 5.2 Negara Utama Pengekspor Garam (Nilai) Tahun 2014.


Sumber: Trade Map (2015), diolah

78
Perdagangan Luar Negeri Garam

Dilihat dari nilai impor, negara pengimpor terbesar pada tahun 2014
adalah Amerika Serikat dengan pangsa impor sebesar 15% atau USD 0,589
Juta. Urutan ke-2 adalah Jepang dengan pangsa 11% (USD 0,43 Juta)
dan ke-3 adalah RRT dengan pangsa 9% (USD 0,341 Juta). Indonesia
menempati urutan ke-10 negara pengimpor garam terbesar di dunia dengan
pangsa 3% atau dengan nilai impor sebesar USD 0,104 Juta pada tahun
2014.

Gambar 5.3 Negara Utama Pengimpor Garam (Nilai) Tahun 2014.


Sumber: Trade Map (2015), diolah

5.4. Harga Internasional


Hingga saat ini belum ada harga referensi internasional untuk garam
sebagaimana komoditas lainnya seperti kelapa sawit dan timah. Masing-
masing negara baik negara pengekspor maupun pengimpor menentukan
sendiri. Sebagai contoh, data dari Puska Daglu (2016) menunjukkan bahwa
Jerman sebagai salah satu negara pengekspor garam utama pada tahun
2014, harga garam yodium pada periode April 2016 sebesar USD 1,4/Kg
atau Rp 18.925/Kg. Adapun untuk garam tanpa yodium (salt plain) sebesar
USD 1,61/Kg atau sekitar Rp 21.276/Kg. Untuk Amerika Serikat, harga
garam per Kg adalah Rp 15.268. Harga garam di Indonesia pada periode
yang sama yaitu April 2016 sebesar Rp 7.799/Kg.
Harga garam di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan
Australia yang mencapai Rp 43.257/Kg, Jerman (Rp 18.925) dan Malaysia
atau Singapura yang mencapai Rp 40.554/Kg dan Rp 10.003/Kg. Namun
harga garam Indonesia masih diatas India, Filipina, Thailand bahkan RRT
yang posisinya sama seperti Indonesia yaitu sebagai pengekspor sekaligus
pengimpor garam.

79
Aziza Rahmaniar Salam

Tabel 5.7 Harga Garam di Berbagai Negara


No. Negara Rp/Kg Ekspor ke Dunia 2015 (Juta Ton)
1 Australia 43.257 0,01
2 Jerman 18.925 3,13
3 Amerika Serikat 15.268 0,95
4 Kanada 13.247 5,99
5 Singapura 40.554 0,003
6 Malaysia 10.003 0,03
7 Indonesia 7.799 0,004
8 India 1.689 6,49
9 RRT 1.419 1,31
10 Filipina 5.947 0,003
11 Thailand 1.487 0,12
Sumber: Puska Daglu (2016), diolah dari berbagai sumber

Harga garam Australia yang relatif cukup mahal dibandingkan India, RRT,
dan Thailand, namun impor garam terbesar Indonesia salah satunya berasal
dari Australia. Hal ini karena yang diimpor dari Australia adalah garam dengan
kualitas tinggi yang dibutuhkan oleh industri makanan minuman, farmasi dan
pertambangan. Secara kualitas memang garam dari Australia lebih baik
dibandingkan kualitas garam dari India (Saad S dalam Suhendra, 2011).
Alasan memilih Australia antara lain karena 1) Merupakan produsen terbesar
dengan lokasi yang terdekat dari Indonesia, 2) Kualitas garam Australia
yang baik disebabkan proses periode produksi garam lebih lama daripada
Indonesia yakni mencapai 3-4 bulan dan dilakukan secara beberapa tahap
dengan skala industri modern, dan 3) Memiliki puluhan ribu hektar untuk
produksi garam sehingga persediaan garamnya cukup banyak (Sutianto,
2015a).
Harga garam Australia yang mencapai Rp 43.257 per kilogram, sangat
mahal dibandingkan dengan harga garam di negara lain, tetapi jika dilihat dari
jumlah garam yang di ekspor, Australia jauh dibawah India dan RRT. India
memiliki jumlah garam yang jauh lebih banyak dan harga yang murah karena
saat ini khusus untuk tujuan ekspor, India memiliki lebih dari 300.000 hektar
lahan garam (Suhana, 2016). Harga garam India yang murah menjadikan
India sebagai salah satu negara pengekspor garam utama di dunia. Secara
kualitas garam Indonesia tidak kalah bahkan lebih bagus dari India, tetapi
Indonesia belum mampu mengekspor sebanyak India. India sangat serius
dalam upaya penambahan kuantitas garam. Salah satu hal yang dilakukan
pemerintah India pada penambak garam adalah pemberian asuransi dan
beasiswa pada anak penambak garam. Hal ini membuat para penambak
garam India tidak dipusingkan lagi dengan masalah biaya. Pemerintah India

80
Perdagangan Luar Negeri Garam

juga menyediakan fasilitas fisik untuk menunjang kegiatan produksi sehari-


hari, termasuk alat keselamatan kerja dan akses jalan menuju tambak garam.

5.5 Daya Saing Garam Indonesia


Garam Indonesia mempunyai daya saing yang rendah. Dari hasil
perhitungan dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA),
menunjukkan daya saingnya dibawah 1 atau tidak berdaya saing. Kenapa
daya saing Indonesia rendah? Hal ini dikarenakan karena kualitas yang
rendah sehingga ekspor garam Indonesia rendah. Perhitungan RCA adalah
menggunakan data total ekspor garam dibandingkan dengan total ekspor
Indonesia dan total ekspor garam dunia. RCA untuk Garam Indonesia dari
tahun 2011 sampai 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.8 Daya Saing Garam Indonesia


No Tahun Indeks RCA
1 2011 0,0247
2 2012 0,0797
3 2013 0,0204
4 2014 0,0231
Sumber: Trade Map (2015), diolah

Adapun tiga negara utama ekportir garam yaitu Belanda, Kanada dan
Jerman, mempunyai RCA cukup tinggi yaitu hingga mencapai 4, hal ini
dikarenakan penggunaan teknologi yang tinggi dan masa pembuatan garam
yang cukup lama sehingga kualitas garam baik dan meningkatkan nilai dan
kuantitas ekspor. Perhitungan RCA untuk Belanda, Kanada dan Jerman
adalah sebagai berikut:

Tabel 5.9 Daya Saing 3 Negara Utama Pengekspor Garam


Negara Tahun Indeks RCA
Belanda 2011 3,472
2012 3,722
2013 4,332
2014 4,123
Kanada 2011 2,442
2012 2,377
2013 2,550
2014 3,036
Jerman 2011 1,146
2012 1,063
2013 1,078
2014 0,922
Sumber: Trade Map (2015), diolah

81
Aziza Rahmaniar Salam

5.6 Regulasi Impor Garam di Indonesia


Regulasi impor yang dijelaskan dalam bagian ini adalah regulasi
mengenai importasi garam yang dikeluarkan sejak terjadinya krisis moneter
di Indonesia pada tahun 1997.Regulasi mengenai garam yang ada sebelum
tahun 1997 mengatur mengenai program produksi garam dalam negeri, mutu
garam dan penunjukkan PT. Garam.
Tujuan dari dikeluarkannya regulasi mengenai importasi garam adalah
melindungi usaha garam Indonesia dan memenuhi kebutuhan konsumen
akan garam. Pada tahun 1997 melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No 230/MPP/Kep/7/1997 Tentang Barang Yang Diatur Tata
Niaga Impornya, dimana dalam peraturan ini disebutkan bahwa alasan impor
adalah karena kualitas garam dalam negeri dianggap kurang memenuhi
syarat dan harganya mahal serta kualifikasi garam untuk industri belum dapat
dipenuhi dari dalam negeri (Boenarco, 2012).Proses importasi garam telah
diatur dengan dikeluarkannya berbagai peraturan impor garam yang pada
dasarnya bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat
atau konsumen dan sekaligus juga menumbuhkembangkan kegiatan usaha
di bidang garam. Kebijakan importasi garam juga mengatur mengenai ijin
importasi untuk importir produsen yang menggunakan garam sebagai bahan
baku industri dan tidak dapat diperjualbelikan secara bebas.
Regulasi mengenai tata niaga garam berikutnya adalah Surat
Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
No. 360/MPP/Kep/5/2004 tentang Ketentuan Impor Garam, dimana dalam
peraturan ini mengatur bahwa yang dimaksud dengan garam adalah
senyawa kimia yang komponen utamanya mengandung natrium klorida dan
mengandung senyawa air, magnesium, kalsium, sulfat dan bahan tambahan
yodium, anti-caking atau free-flowing maupun tidak, yaitu Garam meja HS
2501.00.10.00; Garam tambang, tidak diproses, padatan atau larutan air,
yaitu HS 2501.00.21.00 dan HS 2501.00.29.00; Garam lainnya, yaitu HS
2501.00.31.00, HS 2501.00.32.00 dan HS 2501.00.33.00; dan Lain-lain, yaitu
HS 2501.00.90.00, hanya dapat diimpor oleh Importir (IT) Garam. Importasi
dilarang dilakukan dalam masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya garam
rakyat, selama panen raya garam rakyat dan 2 (dua) bulan setelah panen
raya garam rakyat.
Pengaturan selanjutnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI
(Permendag RI) No. 20/MDAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam
jo. Permendag No. 44/MDAG/PER/10/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Perdagangan No. 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor
Garam. Dalam Peraturan ini mengatur mengenai Importir Garam Iodisasi,

82
Perdagangan Luar Negeri Garam

Importir Garam Non Iodisasi, Importir Terdaftar Garam, kewajiban untuk


membeli garam rakyat dan proses verifikasi untuk importasi garam.
Kondisi garam rakyat yang semakin terpuruk, membuat pemerintah
mengambil langkah strategis dengan menerapkan kebijakan tata niaga impor
garam melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 58/M-DAG/
PER/9/2012 tanggal 4 September 2012.Permendag ini mengatur bahwa
garam yang dapat diimpor adalah garam konsumsi dan garam industri. Garam
konsumsi adalah garam dengan kadar NaCl paling sedikit 94,7% dan yang
dimaksud dengan garam industri adalah garam dengan kadar NaCl paling
sedikit 97%.
Untuk dapat melakukan importasi garam baik garam konsumsi maupun
garam industri, importir harus memiliki izin sebagai Importir Produsen (IP)
garam konsumsi dan Importir Produsen (IP) garam industri. Izin sebagai
importir produsen ini harus diajukan kepada Direktur Jenderal Perdagangan
Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan menyertakan:
1. Fotocopy surat izin usaha industri/tanda daftar industri/izin usaha lain
yang setara.
2. NPWP, API-P
3. Rencana kebutuhan dalam 1 tahun dan
4. Rekomendasi dari Kementerian Perindustrian
Setiap importasi yang dimaksud harus melalui verifikasi yang dilakukan
oleh surveyor yang telah ditunjuk oleh pemerintah, dimana yang diverifikasi
meliputi jenis, volume, pos tarif atau nomor HS, uraian, negara dan pelabuhan
muat, waktu pengapalan dan pelabuhan tujuan. Importasi dapat dilakukan
oleh industri yang memiliki IP garam konsumsi.
Pada tahun 2015, pemerintah melakukan berbagai perubahan sebagai
amanah dari debirokratisasi dan deregulasi, dimana salah satu peraturan
yang direvisi adalah Permendag No. 58 Tentang Ketentuan Impor Garam.
Hasil dari revisi atas Permendag tersebut adalah Permendag No. 125 Tahun
2015 Tentang Ketentuan Impor Garam, Permendag No. 125 Tahun 2015
ini berlaku sejak 1 April 2016, namun ditunda sampai 1 Juni 2016 melalui
Permendag No. 23 Tahun 2016. Adapun pokok perubahan dalam Permendag
No. 125 Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

83
Aziza Rahmaniar Salam

Tabel 5.10 Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Menjadi


Permendag No. 125/2015
No. Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Permendag No 125/2015

1 Definisi Garam konsumsi: Kadar NaCl paling Garam konsumsi: Kadar NaCl paling
sedikit 94,7% sedikit 94,7% sampai dengan <97%
Garam industri: kadar NaCl
Garam industri: kadar NaCl paling paling sedikit 97%
sedikit 97%

2 Instrumen IP Garam Konsumsi dan IP Garam Persetujuan Impor (PI) Garam Industri
Perizinan IndustriDiajukan kepada Dirjen diajukan secara online kepada
Daglu Koordinator Pelaksana UPTP I

3 Persyaratan Fotocopy Surat Izin Usaha IUI, API-P


dokumen Industri/Tanda Daftar Industri/Izin Surat pernyataan yang memuat
Perizinan usaha lain yang setara keterangan mengenai rencana impor
NPWP, API-P sesuai kebutuhan riil industri dan
Rencana kebutuhan dalam 1 tahun penyerapan garam produksi petambak
Rekomendasi Kementerian garam dan tidak untuk
Perindustrian diperjualbelikan/dipindahtangankan

4 Rekomendasi Kementerian Perindustrian Tidak ada rekomendasi

5 Impor Garam IP Garam Konsumsi Dilakukan oleh BUMN yang bergerak


Konsumsi dibidang pergaraman dan hanya dapat
diimpor saat gagal panen raya yang
menyebabkan stok Garam Konsumsi tidak
dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri
dan kebutuhan Garam Konsumsi melebihi
ketersediaan Garam Konsumsi di dalam
negeri serta berdasarkan rekomendasi
dari KKP.

6 Verifikasi oleh Jenis, Volume, Pos TArif atau No Penambahan data atau keterangan
Surveyor HS, Uraian, Negara dan Pelabuhan mengenai spesifikasi
Muat, Waktu Pengapalan dan
Pelabuhan Tujuan

7 Kuota Impor Diatur untuk impor garam Tidak diatur


konsumsi

8 Waktu Impor IP Garam Konsumsi tidak dapat Tidak diatur


mengimpor pada masa sebelum
panen, panen raya dan setelah
panen raya

9 Penyerapan penyerapan garam petani oleh Tidak diatur


Garam rakyat importir sedikitnya 50% dari
kapasitas total produksi
perusahaan
Sumber: Pusat Humas Kemendag (2016), diolah

84
Perdagangan Luar Negeri Garam

Permendag yang baru tersebut, tidak mengatur tentang pengaturan


masa impor garam dan juga pengaturan harga garam seperti yang ada
dalam permendag sebelum. Kedua hal tersebut yang menjadi keberatan
pelaku garam khususnya petani karena dikhawatirkan akan merugikan petani
khususnya ketika masa panen garam yang umumnya ketersediaan garam
yang berlimpah menyebabkan harga rendah. Namun demikian, ketentuan
mengenai tidak adanya pengaturan masa impor garam pada Permendag
No. 125/2015 bukan berarti pada waktu menjelang panen raya, saat panen
raya dan sesudah panen raya, garam konsumsi dapat diimpor. Pasal 11
Permendag 125 menyebutkan bahwa jika terjadi gagal panen garam sehinga
stok garam konsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi garam di
dalam negeri, pemerintah dapat menugaskan BUMN yang bergerak dibidang
penggaraman untuk melakukan impor garam konsumsi. Hal ini menyiratkan
bahwa kebutuhan garam konsumsi dapat dipenuhi sepenuhnya dari dalam
negeri, dan impor yang dapat dilakukan oleh BUMN hanya dapat dilakukan
jika gagal panen raya garam. Disini menunjukkan bahwa Permendag 125
melindungi garam yang dihasilkan petambak garam yang ditujukan untuk
konsumsi dalam negeri.
Selain melalui peraturan, terdapat juga wacana pemerintah untuk
memisahkan kode HS garam dalam sistem perdagangan internasional
antara garam konsumsi dan garam industri. Namun hal ini masih menjadi
diskusi karena perubahan HS dilakukan setiap lima tahun sekali, dan apabila
terlaksana, pemisahan ini baru akan terjadi di tahun 2017. Jika terjadi
pemisahan HS garam konsumsi industri dan konsumsi yang dibedakan
karena kandungan NaCl maka diperlukan uji laboratorium untuk dapat
membedakannya karena secara kasat mata tidak dapat dilakukan sehingga
ini mempengaruhi waktu penyerahan barang impor.

5.7 Penutup
Indonesia yang semula eksportir garam, saat ini merupakan negara
pengimpor walaupun masih ada sebagian kecil garam yang diekspor. Hal ini
menunjukkan adanya peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri
garam nasional dan meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan.
Rendahnya daya saing garam Indonesia memerlukan perhatian yang
serius baik dari pemerintah maupun produsen garam. Peningkatan penguasaan
teknologi produksi menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan guna
meningkatkan kualitas yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing
garam Indonesia sehingga dapat bersaing di pasar internasional. Diperlukan
berbagai kebijakan pemerintah yang dapat mendukung peningkatan daya
saing dan perlindungan terhadap produsen lokal.

85
Aziza Rahmaniar Salam

Program pemerintah untuk dapat menyediakan lahan tambak garam


dengan luas dan lokasi yang tidak terpecah-pecah yang direncanakan di Nusa
Tenggara Timur, sebaiknya dapat segera direalisasikan, ditunjang dengan
penyediaan teknologi produksi yang modern diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dan daya saing maupun jumlah garam Indonesia sehingga ke depan
Indonesia mampu menjadi negara pengekspor garam.

DAFTAR PUSTAKA
Akzonobel. (2016). Company Profile. Diunduh pada 11 Maret 2016 melalui
https://www.akzonobel.com/ic/products/salt/.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Data Ekspor dan Impor Garam Indonesia.
Jakarta.
Boenarco. I.S. (2012) Kebijakan Impor Garam Indonesia (2004-2010):
Implikasi Liberalisasi Perdagangan Terhadap Sektor Pergaraman
Nasional (Tesis). Jakarta Univeritas Indonesia. Diunduh pada tanggal
26 Mei 2016 melalui ib.ui.ac.id/file?file=digital/20300588-T30500.
pdf.
Esco Salt. Company Profile. Diunduh pada 11 Maret 2016 melalui http://www.
esco-salt.com/water_softening.html?&L=1.
Kementerian Perdagangan. (2004). Keputusan Menteri Perindustrian Dan
Perdagangan No360/MPP/Kep/5/2004. Diunduh pada 11 Mei
2016 melalui http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2004/05/
MPP_360_04.htm.
Kementerian Perdagangan. (2007). Permendag No. 44/MDAG/
PER/10/2007. Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui https:
//www.google.co.id/ search?q=Permendag+No.+
44%2FMDAG%2FPER%2F10%2F2007&oq=
Permendag+No.+44%2 FMDAG%2FPER%2F10%2F2007
&aqs=chrome..69i57.299j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8.
Kementerian Perdagangan. (2012). Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012.
Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui https://www.google.co.id/
search?q= Permendag +No.+44%2FMDAG%2FPER%2
F10%2F2007&oq=Permendag+No.+ 44%2FMDAG%2FPER%
2F10%2F2007&aqs=chrome..69i57.299j0j4&sourceid=
chrome&ie=UTF-8#q=Permendag+No. +58%2FM-
DAG%2FPER%2F9%2F2012.
Khayam. M. (2015). Pemerintah Dorong Pembukaan Lahan Garam Industri.
Gatra.com. Diunduh pada 9 Mei 2016 melalui http://redaksi.gatra.
com/ekonomi/industri/152455-pemerintah-dorong-pembukaan-
lahan-garam-industri.
Pusat Humas Kementerian Perdagangan. (2016). Jakarta.

86
Perdagangan Luar Negeri Garam

Rochwulaningsih. Y. (2012). Pendekatan Sosiologi Sejarah pada Komoditas


Garam Rakyat: dari Ekspor Menjadi Impor, diunduh pada 26 April
2016 dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/
view/1840/1989.
Rochwulaningsih. Y. (2013). Tata Niaga Garam Rakyat Dalam Kajian
Struktural. Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Volume XVII No 1 Februari
2013 : 59-66.
Salt Partners. (2016) Company Profile. Diunduh pada 11 Maret 2016 melalui
http://www.salt-partners.com/salt_producers.htm.
Suhana. (2016). Soal Garam, Indonesia Bisa Belajar Dari India. Diunduh
pada 11 Mei 2016 melalui http://bisniskeuangan. kompas.com/read/
2016/01/12/124600926/Soal.Garam.Indonesia.Bisa.Belajar.dari.
India
Suhendra. (2011). Berkualitas Buruk, Garam India Tetap Laris di Indonesia.
Diunduh pada 11 Mei 2016 melalui http://finance.detik.com/
read/2011/08/08/085512/ 1698550/4/berkualitas-buruk-garam-india-
tetap-laris-di-indonesia.
Sutianto., F.D. (2015a). RI Impor Garam Industri dari Australia Hingga China.
Detik Finance. Diunduh pada 27 April 2016 melalui http://finance.
detik.com/read/2015/09/22/092142/3025127/4/ri-impor-garam-
industri-dari-australia-hingga-china.
Sutianto., F.D. (2015b). Kenapa Sih Indonesia Masih Impor Garam?. Detik
Finance. Diunduh pada 13 Januari 2016 melalui http://finance.detik.
com/read/2015/09/22/081257/3025068/4/ kenapa-sih-indonesia-
masih-impor-garam.
Trade Map. (2015). Data Ekspor dan Impor Data Dunia.
Trade Map. (2016). Data Ekspor dan Impor Data Dunia.

87
Aziza Rahmaniar Salam

88
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

BAB VI
PELUANG DAN TANTANGAN KOMODITAS GARAM
DI INDONESIA
Aditya P. Alhayat

6.1 Pendahuluan
Dari segi proses produksi, garam sebenarnya komoditas yang sederhana.
Garam dapat dibuat dengan hanya menguapkan air laut memanfaatkan
sinar matahari, melalui penambangan batuan garam (rock salt), ataupun
diperoleh dari sumur air garam (brine) (Rositawari, Taslim, dan Soetrisnanto,
2013). Proses pembuatan garam dapat dilakukan dengan tanpa melibatkan
teknologi yang komplek. Namun demikian, permasalahan garam di Indonesia
relatif kompleks. Bagi sebagian masyarakat tentu tidak bisa menerima
suatu kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki
sumber daya air laut melimpah dan menjadi salah satu negara dengan garis
pantai terpanjang di dunia, ternyata masih impor garam dalam jumlah yang
tidak sedikit. Garam merupakan salah satu potret ironis industri Indonesia, di
satu sisi potensi garam yang tinggi mengingat Indonesia merupakan negara
bahari, namun di sisi lain produksi garam Indonesia masih sangat rendah
(Manadiyanto, 2010).
Garam juga dianggap sebagai produk strategis karena manfaat
kegunaannya. Garam bukan hanya sekedar digunakan sebagai penyedap
rasa untuk konsumsi rumah tangga, namun juga dimanfaatkan sebagai
bahan baku industri makanan dan minuman, tekstil, kertas, kimia, farmasi,
hingga untuk pengeboran minyak bumi. Selain itu, meskipun importasi garam
telah diatur, namun dalam implementasinya seringkali mengundang pro dan
kontra, yaitu dari industri yang memanfaatkan garam sebagai bahan baku
dan Kementerian Perindustrian selaku unit pembina dengan petani garam
yang didukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dalam bab ini akan diulas lebih detil mengenai permasalahan atau
tantangan pengembangan garam di Indonesia. Selain itu, dibahas pula
mengenai prospek dan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh stakeholder
terkait. Kebijakan pergaraman terkini juga menjadi salah satu topik bahasan
dalam bab ini.

6.2 Peluang Pergaraman di Indonesia dan Dunia


6.2.1 Kebutuhan Domestik Garam Terus Meningkat
Kebutuhan garam dalam negeri yang besar dan terus meningkat dari
tahun ke tahun merupakan salah satu penyebab utama mengapa pasar garam

89
Aditya P. Alhayat

domestik Indonesia sangat prospektif saat ini dan masa depan. Berdasarkan
data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP (2016a), total kebutuhan
garam nasional tahun 2015 mencapai 3,7 juta ton, mengalami peningkatan
16,2% dibandingkan kebutuhan garam nasional tahun 2011 dengan volume
sebesar 3,2 juta ton. Apabila dihitung secara rata-rata menggunakan metode
Compound Annual Growth Rate (CAGR), maka pertumbuhan kebutuhan
garam nasional periode 2011-2015 mencapai 3,8% per tahun. Dengan
asumsi rata-rata pertumbuhan 2011-2015, kebutuhan domestik untuk tahun
2019 diperkirakan mencapai 4,4 hingga 4,6 juta ton.

Tabel 6.1 Realisasi dan Proyeksi Kebutuhan Garam Nasional


(Dalam Ribu Ton)
Keterangan Tahun
2015 2019*
Total Kebutuhan 3.750,3 4.571,9
Garam Konsumsi 1.303,1 1.571,3
a. Rumah Tangga 647,6 780,9
b. Industri Pengasinan Ikan 655,5 790,4
Garam Industri 2.447,2 2,989,8
a. Industri CAP dan Farmasi 1.797,6 2.167,6
b. Industri Non-CAP 140,3 218,5
c. Industri Aneka Pangan 509,6 614,5
Keterangan: * Diproyeksikan secara linier menggunakan Compound Annual Growth Rateperiode
2011-2015.

Sumber: KKP (2015a dan 2016a) dan hasil olah data penulis

Peningkatan kebutuhan garam didukung oleh peningkatan garam


konsumsi serta peningkatan garam industri. Sejak diterbitkannya Peraturan
Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang
Perubahan atas Permenperin No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang
Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Garam, KKP
mengelompokkan garam konsumsi terdiri dari garam untuk keperluan rumah
tangga (dapur) dan industri pengasinan ikan. Salah satu hal yang mendasari
kategori garam konsumsi adalah kandungan NaCl paling sedikit 94%
Sementara itu, garam aneka pangan diklasifikasikan ulang ke dalam garam
industri. Dengan demikian, garam industri terbagi menjadi garam untuk
keperluan industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan farmasi, industri non-CAP
(perminyakan, kulit, tekstil, sabun, dan lainnya), dan industri aneka pangan.
Dalam kategori garam industri, kadar NaCl untuk garam industri adalah paling
sedikit 97% dihitung dari basis kering.
Untuk konsumsi rumah tangga, permintaan garam diperkirakan konstan
pada angka 750 hinga 780 ribu ton. Hal tersebut didasarkan pada data KKP

90
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

(2015a) yang mencatat jumlah konsumsi garam rumah tangga yang konstan
selama 2011-2013, yaitu pada kisaran 732 ribu ton hingga 747 ribu ton2.
Meskipun garam untuk industri aneka pangan dan pengasinan ikan masing-
masing belum sebesar konsumsi rumah tangga, namun pertumbuhan
permintaannya relatif tinggi. Dengan menggunakan metode perhitungan
CAGR, industri aneka pangan selama periode 2011-2015 tumbuh 17,3%
per tahun, sedangkan industri pengasinan ikan tumbuh 12,4% per tahun.
Permintaan garam untuk pengasinan ikan diperkirakan meningkat seiring
dengan melimpahnya pasokan ikan laut karena kebijakan Pemerintah
Indonesia yang gencar memberantas illegal, unreported, unregulated fishing.
Konsumsi garam industri terbesar digunakan untuk industri CAP dan
farmasi dengan pangsa mencapai 90% dari kebutuhan garam industri dan
diperkirakan terus meningkat dengan pertumbuhan 7,9% per tahun. Industri
CAP yang merupakan industri kimia dasar menghasilkan bahan baku utama
untuk 500 industri hilir dan berfungsi sebagai katalisator industrialisasi di
Indonesia dengan kontribusi pembayaran pajak sebesar Rp1,5 triliun per
tahun (Sindo News, 2015). Seiring dengan pertumbuhan perekonomian
Indonesia dan penguatan perekonomian global, kebutuhan garam untuk
bahan baku industri tentu akan semakin meningkat. Pada tahun 2014,
kebutuhan garam industri di Indonesia mencapai 2,1 juta ton (KKP, 2015a).
Untuk tahun 2016, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI)
memperkirakan kebutuhan garam industri meningkat menjadi 2,3 juta ton
(Kontan, 2015a). Dengan demikian, permintaan garam industri diproyeksikan
meningkat kurang lebih 5% per tahun.

6.2.2 Usaha Garam Rakyat Menjadi Sumber Pendapatan


Masyarakat Pesisir
Seperti diketahui bersama bahwa industri garam merupakan industri
rakyat karena melibatkan banyak tenaga kerja dan menjadi sumber andalan
pendapatan masyarakat pesisir ketika hasil melaut kurang memadai.
Berdasarkan perhitungan KKP (2015c), usaha garam rakyat mampu menyerap
tenaga kerja baru pada tahun 2014 sebanyak 15.876 orang.Bahkan pada
tahun sebelumnya, penyerapan tenaga kerja baru di bidang penggaraman
mencapai 32.447 orang.Jumlah orang yang terlibat pada usaha garam rakyat
meliputi buruh tambak produksi, kuli pengangkut, serta pengepul.
Target pendapatan petambak garam di tahun 2014 adalah sebesar Rp 2 juta,
realisasi hingga bulan Desember 2014 adalah Rp 2,9 juta atau 145,00% dari
target. Apabila dibandingkan dengan nilai estimasi pendapatan rata-rata per
1
Data konsumsi garam rumah tangga dikritisi oleh Faisal Basri karena jumlah konsumsi rumah tangga relatif sama selama
periode 2009-2013 yaitu sekitar 700 ribu ton. Namun, pada tahun 2014, konsumsi garam rumah tangga turun drastis
sehingga menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat diet makan garam (Medan Bisnis, 2015).

91
Aditya P. Alhayat

KK/bulan untuk kelompok PUGAR 2013 sebesar Rp 2,82 juta pendapatan


tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 2,86%. Peningkatan ini dikarenakan
oleh kenaikan harga di tahun 2014 lebih baik dari 2013 yaitu rata-rata sebesar
Rp 900/kg dibandingkan dengan tahun 2013 rata-rata sebesar Rp 500/kg
(KKP, 2015c). Namun demikian jika dibandingkan laju kenaikan pendapatan
petambak garam KK/bulan tersebut tidak setinggi laju kenaikan harga rata-
rata/kg yang persentasinya mencapai 80%.
Pada tahun 2014, rata-rata pendapatan petambak garam mencapai
Rp 2,9 juta, mengalami peningkatan 2,86% dibandingkan tahun 2013 yang
nilainya sebesar Rp 2,82 juta. Rata-rata pendapatan tersebut dihitung dari
jumlah pendapatan petambak garam penerima PUGAR per-Kepala Keluarga
(KK) selama musim panen dibagi lama bulan produksi (KKP, 2015c). Apabila
dilihat berdasarkan kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada Tabel 6.2,
pendapatan petambak garam sangat bervariasi. Rata-rata pendapatan
tertinggi diterima petambak di Kota Surabaya yaitu sebesar Rp 71,1 juta
permusim dan pendapatan terendah diterima petambak di Sumba Timur yaitu
sebesar Rp 0,7 juta per musim.
Tabel 6.2 Pendapatan Rata-rata Petambak Garam Tahun 2014
(Rp/musim)
No. Kab./Kota Pendapatan No. Kab./Kota Pendapatan
Rata-rata Rata-rata
1 Aceh Besar 6.755.420 23 Sumenep 12.418.384
2 Aceh Timur 8.699.605 24 Karangasem 13.754.904
3 Aceh Utara 36.151.685 25 Buleleng 22.086.735
4 Pidie 45.334.734 26 Lombok Barat 26.806.172
5 Karawang 6.886.230 27 Lombok Tengah 8.898.955
6 Indramayu 40.731.335 28 Lombok Timur 18.959.683
7 Cirebon 19.911.359 29 Sumbawa 15.596.579
8 Brebes 13.295.718 30 Bima 12.756.119
9 Demak 34.696.251 31 Kota Bima 3.188.477
10 Jepara 42.445.887 32 Manggarai 1.288.174
11 Pati 21.235.585 33 Nagekeo 2.166.654
12 Rembang 15.677.804 34 Ende 2.163.363
13 Tuban 31.505.530 35 Alor 4.607.647
14 Lamongan 38.927.119 36 Sumba Timur 669.780
15 Gresik 37.964.111 37 Kupang 9.146.657
16 Kota Surabaya 71.095.613 38 Timor Tengah Utara 636.575
17 Pasuruan 25.477.070 39 Kota Palu 7.022.375
18 Kota Pasuruan 48.909.091 40 Takalar 30.107.642
19 Probolinggo 22.788.197 41 Jeneponto 3.286.205
20 Bangkalan 18.407.038 42 Selayar 8.021.053
21 Sampang 24.436.445 43 Pangkep 27.041.374
22 Pamekasan 12.166.842 Total 2.900.000
Sumber: KKP (2015c)

92
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

6.2.3 Peluang Investasi untuk Garam Industri masih Prospektif


Besarnya kebutuhan garam domestik khususnya garam industri
merupakan peluang investor domestik maupun asing untuk masuk ke
industri ini. Salah satu investor asing yang berminat berinvestasi di sektor ini
adalah PT. Cheetham Salt Indonesia yang merupakan perusahaan jaringan
Cheetham Salt Ltd asal Australia. Sementara itu, daerah favorit yang menjadi
target investasi industri garam adalah Nusa Teggara Timur (NTT).
Areal penggaraman di Nagekeo, NTT merupakan lokasi terbaik untuk
pengembangan garam industri di Indonesia, karena selain lahan yang tersedia
cukup luas, kondisi air laut dan curah hujan juga sangat mendukung usaha
tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila PT. Cheetham Salt
Indonesia tertarik mendirikan industri pengolahan garam di lokasi tersebut
dengan luas lahan yang dibutuhkan sekitar 1.000 hetare (ha) (Antara News,
2014). Apabila terealisasi, maka produksi awal atas investasi tersebut ditaksir
mencapai 150 ribu ton per tahun dengan kapasitas terpasang mencapai 200
ribu ton per tahun (Bisnis, 2015) yang tentu saja berpotensi mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap garam impor.
Namun demikian, rencana investasi di Nagekeo menghadapi masalah
pembebasan lahan yang serius.Sejak tahun 2011 hingga sekarang,
PT. Cheetham harus berjuang untuk pembebasan lahan di NTT (Kontan,
2015c). Dari 1.000 hektar lahan yang akan dikelola oleh PT. Cheetham
sekitar 776 ha merupakan lahan eks HGU, sedangkan sekitar 300 ha
sisanya merupakan lahan hak transmigrasi yang dikelola koperasi dan
akan dikelola dengan sistem sewa melalui kesepakatan antara perusahaan
dan masyarakat. Kejelasan status lahan masih terkendala untuk lahan eks
HGU yang akan dialihnamakan kepada 276 nama warga sekitar yang akan
diberikan sertifkat, yaitu seluas 231 ha. Sementara itu, 545 ha eks HGU telah
diberikan hak pakainya kepada Pemerintah Daerah Nagekeo (Bisnis, 2015a).
Permasalahan lahan juga menjadi permasalahan utama yang masih dihadapi
dalam pembangunan industri nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana
Strategis Kementerian Perindustrian 2015-2019. Belum terselesaikannya
pembebasan lahan di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur sangat menghambat
rencana investasi industri garam di wilayah tersebut (Kemenperin, 2015).
Untuk mengatasi permasalahan lahan yang belum tuntas, PT. Cheetham
berencana membangun pabrik dalam skala kecil pada lahan yang telah
dibebaskan dengan bekerja sama dengan koperasi garam setempat dengan
jumlah penyerapan tenaga kerja langsung ditaksir mencapai 200 orang.
Proyek tersebut dimaksudkan agar masyarakat menerima manfaat atas
kehadiran investasi PT. Cheetam, sehingga turut melancarkan target akhir yaitu

93
Aditya P. Alhayat

pembangunan industri garam di Nagekeo seluas 1000 ha. Untuk mendukung


pembangunan pabrik tersebut, PT. Cheetham telah mengalokasikan dana
sebesar USD 30 juta yang ditargetkan beroperasi pada akhir 2016 (Kontan,
2015c).

6.3 Permintaan Garam di Pasar Dunia yang Terus Meningkat


Transparancy Market Research (2015) memprediksi bahwa permintaan
garam global terus mengalami peningkatan hingga tahun 2023. Sementara
itu, PR Newswire (2014) juga memprediksikan hal yang serupa dengan angka
yang lebih jelas, yaitu peningkatan rata-rata sebesar 1,5% per tahun hingga
2018 mencapai 324 juta ton. Faktor utama yang menentukan peningkatan
prediksi permintaan garam dunia adalah tingginya permintaan garam
untuk keperluan industri kimia, khususnya chlor-alkali.PR Newswire (2014)
menyebutkan bahwa industri kimia merupakan pasar terbesar bagi komoditi
garam, mencapai kurang lebih 60% dari permintaan dunia di tahun 2013.
Tingginya pangsa pasar permintaan garam dunia juga didokumentasikan oleh
IHS (2013) dimana produsen kimia menyerap lebih dari setengah permintaan
garam dunia, diikuti dengan segmen konsumsi garam untuk pencair es (14%),
garam untuk keperluan makanan (12%), serta untuk keperluan lainnya (19%).
Pasar garam dunia dapat pula dikelompokkan berdasarkan wilayah
sesuai dengan kegunaan garam dan perkembangan industrinya
(Transparancy Market Research, 2015).Berdasarkan wilayah geografis, pasar
garam dibagi menjadi Asia Pasifik, Eropa, Amerika Utara, dan Lainnya. Asia
Pasifik merupakan pasar terbesar garam dunia yang diproyeksikan semakin
meningkat seiring dengan berkembangnya industri kimia yang membutuhkan
garam sebagai bahan baku. Permintaan garam untuk industri makanan di
kawasan Asia Pasifik juga diprediksi meningkat yang didorong oleh besarnya
jumlah penduduk RRT dan India.Pasar Amerika menempati peringkat kedua
pasar garam dunia yang utamanya digunakan untuk keperluan mencairkan
es dan salju (deicing) mengingat wilayah tersebut mengalami musim dingin.
Negara Amerika Utara yang memiliki permintaan garam tinggi adalah Amerika
Serikat, Kanada, dan Meksiko.Sementara itu, pasar Eropa diproyeksikan terus
meningkat yang juga kebanyakan digunakan dengan keperluan mencairkan es.

6.4 Peluang Ekspor Garam Tetap Terbuka


Peluang ekspor garam tetap terbuka, khususnya untuk garam meja.
Meskipun Indonesia termasuk sebagai salah satu importir terbesar garam
di dunia, namun BPS (2015) juga mencatat adanya ekspor garam dari
Indonesia.Hal ini setidaknya mengindikasikan bahwa peluang Indonesia

94
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

untuk menjadi eksportir garam terbuka lebar. Namun dengan catatan bahwa
jenis garam yang potensial untuk diekspor merupakan kategori garam meja
(HS 2501.00.10), dan bukan merupakan garam industri dengan kadar NaCl
yang tinggi.
Selama periode 2011-2015, Indonesia rata-rata mampu mengekspor
garam sebesar 2,3 ribu ton per tahun. Sementara itu, impor garam rata-rata
pada periode tersebut mencapai 2,2 juta ton per tahun (BPS, 2015). Dengan
demikian, volume ekspor garam Indonesia hanya sebesar 0,1% dari total
kuantitas garam yang diimpor. Namun apabila dilihat secara spesifik pada
jenis garam meja, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Pada
tahun 2015, surplus neraca perdagangan garam meja mencapai USD 0,4
juta, lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang mencapai USD 0,5 juta. Dari
sisi volume, rata-rata ekspor garam meja Indonesia ke dunia periode 2011-
2015 mencapai 2,1 ribu ton per tahun, sedangkan rata-rata impornya hanya
sebesar 1,9 ton per tahun. Pada tahun 2015, Indonesia banyak mengekspor
garam meja ke Timor Timur, Filipina, dan Malaysia dengan pangsa volume
ekspor kumulatif ketiga negara tersebut sebesar 96,1%.

95
Aditya P. Alhayat

Salah satu kemungkinan alasan mengapa garam meja Indonesia banyak


diekspor ke Negara-negara berkembang seperti Timor Leste dan Filipina
karena garam merupakan bahan makanan yang mudah digunakan sebagai
media untuk penambahan zat gizi tertentu (fortifikasi). Fortifikasi garam
beryodium umum digunakan untuk menanggulangi gangguan kesehatan
akibat kekurangan zat yodium.Kekurangan yodium dapat berakibat pada
keguguran pada ibu hamil, lahir mati dan cacat bawaan pada janin, gondok,
kretin/cebol, serta keterbelakangan mental pada anak dan remaja (Pratama,
2012). Peluang ekspor garam meja ini bisa menjadi salah satu alternatif solusi
atas produksi garam rakyat yang tidak sepenuhnya dapat diserap oleh industri
domestik, terutama karena persyaratan kadar NaCl yang sangat tinggi.
Meskipun Indonesia termasuk sebagai salah satu importir terbesar garam
di dunia, namun BPS juga mencatat adanya ekspor garam dari Indonesia.
Hal ini setidaknya mengindikasikan bahwa peluang Indonesia untuk menjadi
eksportir garam terbuka lebar. Namun dengan catatan bahwa jenis garam yang
potensial untuk diekspor merupakan kategori garam meja (HS 2501.00.10),
dan bukan merupakan garam industri dengan kadar NaCl yang tinggi.

6.5 Tantangan Pergaraman di Indonesia


6.5.1 Pemenuhan Pasar Garam Nasional oleh Produsen Domestik
Terkendala pada Sisi Produksi
6.5.1.1 Faktor Cuaca Menentukan Produksi Garam
Tingginya permintaan garam domestik tidak bisa diimbangi oleh produksi
garam lokal, bahkan total produksi garam yang dihasilkan oleh petani tambak
(garam rakyat) dan PT. Garam berfluktuasi setiap tahunnya.Jumlah produksi
garam domestik tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan 2011,
namun turun di tahun 2013 dan naik kembali di tahun 2014 (KKP, 2015a).
Produksi yang berfluktuasi tersebut tentu kontras apabila disandingkan
dengan luas tambak garam rakyat yang tiap tahunnya cenderung meningkat,
mengingat garam rakyat merupakan penghasil terbesar garam domestik.
Berdasarkan Data KKP (2015b), luas tambak garam rakyat di tahun 2011
sebesar 20,1 ribu hektar dan terus meningkat menjadi 23,4 ribu hektar di
tahun 2014.
Salah satu penyebab utama mengapa peningkatan luas tambak tidak
sejalan dengan jumlah produksi adalah faktor cuaca. Proses produksi garam
melibatkan proses penguapan air laut yang telah dialirkan pada lahan-lahan
tambak garam. Selain harus didukung oleh radiasi sinar matahari yang
memadai, terjadinya evaporasi air garam juga harus didukung oleh kondisi
iklim mikro pada areal penggaraman, yang meliputi angin, curah hujan,

96
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

suhu, kelembaban, serta durasi penyinaran matahari (Kumala, 2012). Studi


empiris yang dilakukan oleh Adiraga dan Setiawan (2014) menggunakan data
produksi garam di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati menunjukkan bahwa
jumlah curah hujan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah
produksi garam. Semakin berkurangnya jumlah curah hujan, maka jumlah
produksi garam semakin tinggi. Sementara itu berdasarkan penelitian yang
sama, luas tambak dan jumlah petani garam tidak berpengaruh signifikan
terhadap jumlah produksi garam.
Dampak iklim terhadap produksi garam bukan hanya berdampak
pada penurunan kuantitas produksi garam, tetapi juga mempengaruhi
ketersediaan sarana dan prasarana produksi garam yang pada akhirnya
dapat turut mempengaruhi kesejahteraan petambak garam (Kurniawan dan
Azizi, 2012). Kondisi cuaca yang terkadang tidak menentu dan sulit diprediksi
menyebabkan petambak harus meresponnya melalui strategi adaptasi
tertentu. Dengan demikian, petambak tetap akan memperoleh penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti yang terlihat pada Tabel 6.3,
saat curah hujan tinggi, petani cenderung lebih memilih untuk menunda atau
berhenti produksi (tidak melakukan adaptasi). Karena bila proses produksi
tetap dilanjutnya, hasil produksi tidak maksimal bahkan biaya produksi yang
telah dikeluarkan tidak mampu ditutupi oleh hasil penjualan saat panen.
Angin yang terlalu kencang akan merusak kincir angin yang biasa digunakan
petambak tradisional untuk mengangkat air laut dari penampungan ke dalam
tambak garam maupun dapat merusak gudang penampungan sementara.
Perbaikan kincir angin dan gudang tentu akan menambah biaya yang
membebani petambak. Kekhawatiran terbesar dari dampak cuaca adalah
ketika gelombang pasang menenggelamkan tambak garam (berkurangnya
lahan produksi) serta merusak infrastruktur jalan yang biasa digunakan untuk
mengakses tambak.

Tabel 6.3 Dampak Iklim terhadap Produksi Garam dan Adaptasi


Petambak
No. Iklim Dampak Adaptasi
1 Hujan Produksi turun Tidak ada
2 Angin dan puting beliung Hancurnya kincir angin dan Perbaikan kincir angin
gudang dan gudang
3 Gelombang pasang Hancurnya tambak Perbaikan tambak garam,
penanaman mangrove,
penggunaan sak garam
Tenggelamnya sebagian Dibiarkan dan dibuat
tambak dan munculnya sertifikat untuk
tambak-tambak baru tambak-tambak baru
Sumber: Kurniawan dan Azizi (2012)

97
Aditya P. Alhayat

6.5.1.2 Kualitas Garam Lokal dapat Memenuhi Standar Industri, namun


dalam Jumlah Terbatas
Adanya mismatch antara kebutuhan/permintaan dengan produksi
mengakibatkan produsen garam lokal terutama petambak tidak diuntungkan
dengan potensi pasar garam domestik yang besar. Mayoritas produksi garam
domestik dihasilkan oleh petambak rakyat, sedangkan sebagian besar
permintaan garam domestik berasal dari industri. Namun demikian, kualitas
garam yang dihasilkan petambak tidak seluruhnya bisa memenuhi standar
yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri. Kandungan NaCl pada garam
rakyat umumnya tidak dapat mencapai kadar 97% seperti yang disyaratkan
oleh industri sehingga peruntukannya hanya sebagai garam konsumsi rumah
tangga atau untuk industri dengan basis teknologi yang sederhana, seperti
industri pengasinan ikan atau industri makanan skala rumah tangga. Selain
kadar NaCl yang tinggi, kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri juga
mensyaratkan batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan
magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan,
ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah untuk industri
chlor alkali plan (Gatra, 2015).
Kualitas garam lokal yang dihasilkan terutama oleh petambak garam
(garam rakyat) tidak seragam. Oleh karena itu, garam yang dijual oleh petani
tambak umumnya digolongkan ke dalam beberapa kelas sesuai dengan
kualitasnya. Kualitas pertama (KW1) adalah garam dengan tingkat NaCl
antara 95% - 98%, kualitas kedua (KW2) mengandung NaCl antara 90% - 95%,
dan kualitas ketiga (KW3) berkadar NaCl kurang dari 90% (LPPM ITB, 2016).
Sebagai tambahan informasi, persentase jumlah produksi garam rakyat KW1
dibandingkan total produksi pada tahun 2014 baru mencapai 31,04% (KKP,
2015c). Serupa dengan data KKP, Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam
Indonesia (AIPGI) menyatakan bahwa persentase garam rakyat kualitas KW1
sebesar 30%, KW2 sebesar 30%, dan KW3 sebanyak 60% (Bisnis, 2015c).
Dengan batas bawah kadar NaCl pada garam KW1 yang lebih rendah dari
persyaratan garam industri (NaCl minimal 97%) maka jumlah garam rakyat
yang memenuhi persyaratan kualitas industri tentu kurang dari 30%.
Untuk meningkatkan kualitas garam menjadi kualitas yang lebih tinggi
diperlukan proses pencucian. Hal ini dikarenakan garam yang dipanen
tercampur dengan tanah dan kotoran baik disebabkan oleh bahan baku air
laut yang sudah terkontaminasi ataupun pada saat proses produksi yang
kurang baik. Namun demikian, proses pencucian garam menimbulkan biaya
yang tidak sedikit sehingga kebanyakan garam hasil panen dijual tanpa
proses lebih lanjut. Dikarenakan kualitas garam domestik yang belum mampu

98
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

memenuhi persyaratan industri, maka garam industri harus diimpor dari luar
negeri.

6.5.1.3 Faktor Lain yang Mengakibatkan Produktivitas Garam Lokal


Rendah
Faktor cuaca yang dikombinasikan dengan teknik pengolahan yang
relatif sederhana/tradisional mengakibatkan produktivitas garam di Indonesia
tergolong rendah. Sistem teknologi yang digunakan dalam pembuatan
garam di Indonesia mayoritas masih mengandalkan penguapan air laut
menggunakan sinar matahari pada areal tambak (di atas tanah). Meskipun
demikian, terdapat beberapa daerah yang memproduksi garam dengan cara
memasak karena kondisi tanah yang berpori (porous) seperti propinsi Aceh
dan Bali (Nofiyenti, 2011). Dengan menggunakan teknik produksi garam
secara tradisional, produktivitas garam rakyat hanya berkisar 60 ton/
hektar per musim (BPPP Tegal, 2016). Sementara itu, produktivitas garam
oleh PT. Garam tidak lebih dari 70 ton/hektar (Kabar Bisnis, 2013). Dengan
kata lain, produktivitas garam domestik hanya berkisar 60 ton/hektar hingga
70 ton/hektar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Australia
yang dapat hasilkan garam sebanyak 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015a).
Produksi garam di Australia telah menggunakan teknologi maju dengan lahan
tambak garam yang luas sehingga dapat dilakukan produksi secara masif
dengan skala keekonomian yang terjaga.
Sentra produksi garam di Indonesia tersebar dari Aceh hingga Nusa
Tenggara Timur. Dengan kondisi geografis yang berbeda, produktivitas
lahan garam menjadi beragam. Secara total, luas areal penggaraman rakyat
lebih luas dibandingkan arael penggaraman PT. Garam. Namun, luas lahan
tambak petani relatif kecil rata-rata kurang dari 3 hektar, dimiliki oleh pribadi
dan terpencar. Sementara itu, PT. Garam memiliki lahan penggaraman yang
relatif terpusat yang berlokasi di Pulau Madura. PT. Garam memiliki luas areal
penggaraman sebesar 5.340 hektar yang terletak di Sampang seluas kurang
lebih 1.100 hektar, Pamekasan 980 hektar, Sumenep I 2.620 hektar, dan
Sumenep II 640 hektar (Kontan, 2015b).

6.5.2 Penghasilan Petani Garam Tidak Menentu


Usaha penggaraman dapat menjadi sumber penghasilan masyarakat,
khususnya yang berdomisili di pesisir pantai.Namun demikian, besarnya
jumlah penghasilan usaha garam sedikitnya ditentukan oleh berapa faktor
utama, yaitu: luas tambak, masa dan waktu panen, kualitas, dan model
pemasaran (Kurniawan, Suryono, dan Saleh, 2014). Semakin luas areal

99
Aditya P. Alhayat

tambak yang dimiliki petani, umumnya juga akan memperoleh pendapatan


yang lebih besar. Luas lahan garam juga menjadi suatu indikator kemampuan
ekonomi dan status sosial petani tambak.Petani yang memiliki tambak garam
relatif luas biasanya memiliki kemampuan finansial yang memadai sehingga
dapat mempekerjakan penggarap tambak.Hal ini tentu berbeda dengan petani
dengan kepemilikan lahan tambak sempit yang harus turut serta langsung
menggarap lahan tambaknya. Menurut Heriansah dan Fathuddin (2014),
untuk luas tambak sekitar satu hektar mempekerjakan tiga sampai empat
orang, sedangkan pada luas tambak empat hingga lima hektar memerlukan
pekerja sejumlah lima hingga enam orang. Di samping itu, sebagaimana hasil
studi Kurniawan, Suryono, dan Saleh (2014) menyebutkan bahwa komponen
terbesar pengeluaran usaha garam terletak pada sewa lahan yang nilainya
mencapai lima hingga sepuluh juta rupiah per hektar setiap tahunnya. Apabila
petani memiliki tambak sendiri tentu akan mengurangi biaya usaha garam
karena tidak perlu sewa lahan.
Penghasilan petani garam rakyat di Indonesia tidak menentu karena
sangat tergantung dari faktor alam.Apabila musim kemarau panjang maka
potensi penghasilan petani semakin tinggi karena frekuensi panen garam
semakin banyak.Selain itu, sinar matahari yang cukup merupakan salah satu
prasyarat untuk menghasilkan garam yang berkualitas.Semakin tinggi kualitas
garam semakin besar harga jualnya sehingga berpotensi meningkatkan
penghasilan. Namun demikian, untuk mendapatkan kristal garam dengan
kadar NaCl 95% diperlukan waktu panen sedikitnya enam hingga delapan
hari (Heriansah dan Fathuddin, 2014). Dengan demikian, diperlukan cuaca
yang mendukung dan waktu yang cukup untuk satu kali siklus produksi garam.
Pemasaran garam rakyat umumnya dilakukan melalui pedagang
perantara (pengelup/tengkulak).Pada tingkat inilah sebenarnya harga garam
terbentuk dan secara langsung menentukan penghasilan petani garam.
Namun demikian, seringkali harga yang diberikan pedagang perantara
lebih rendah dari harga patokan pemerintah dan petani tidak memiliki
alternatif jalur pemasaran karena telah terjerat hutang. Para petani garam
banyak yang terjerat hutang oleh pedagang perantara dengan sistem ijon
karena memerlukan dana sebagai modal kerja awal sehingga memiliki
keterikatan untuk menjual hasil panen garam kepada mereka dengan harga
yang ditentukan secara sepihak (Heriansah dan Fathuddin, 2014). Dengan
demikian, marjin pemasaran lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara
daripada petani garam karena harga jual ke industri yang jauh lebih tinggi
dibandingkan harga beli dari petani garam.
Pentingnya kualitas garam untuk menunjang perbaikan penghasilan tidak
sepenuhnya mampu dipahami oleh pelaku usaha garam rakyat.Pemilik lahan

100
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

garam berkeyakinan bahwa kualitas garam berpengaruh pada keuntungan,


sedangkan tenaga penggarap lahan garam pesimis bahwa kualitas garam
menguntungkan bagi mereka (Kurniawan, Suryono, dan Saleh, 2014).Tidak
responsifnya penggarap lahan garam terhadap kualitas garam kemungkinan
disebabkan oleh sikap pragmatis bahwa semakin cepat garam dipanen
semakin cepat pula penggarap lahan garam mendapatkan penghasilan dari
usaha garam.Selain itu, tenaga penggarap hanya memiliki hak memproduksi
garam sedangkan pemilik lahan yang lebih berhak menentukan harga dan
menentukan kepada siapa hasil panen garam dijual.Meskipun pada akhirnya
pedagang perantaralah yang lebih kuasa dalam menentukan harga.

6.5.3 Posisi Daya Tawar Petani Garam Lemah


Pasar garam lokal di Indonesia memiliki kecenderungan bersifat
oligopsoni (Antara News, 2015).Hal ini berarti bahwa terdapat sedikit pembeli
yaitu perusahaan besar pengolahan garam dan terdapat banyak sekali
penjual yaitu petani garam.Praktek oligopsoni merugikan petani secara
langsung karena menekan harga penjualan garam di tingkat petani, terlebih
ketika musim panen terjadi. Dengan alasan suplai garam melimpah maupun
kualitas garam yang rendah, pembeli dapat menekan petani garam dengan
menawarkan harga murah. Seringkali petani garam juga tidak memiliki pilihan
selain menerima harga yang rendah tersebut. Hal ini dikarenakan upaya untuk
meningkatkan kadar kualitas garam, baik dengan memperlama waktu panen
maupun proses pencucian, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan
oleh petani. Apalagi bila petani membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup
sehari-hari, tentu petani garam akan memilih menjual hasil panen garam apa
adanya.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan pengimpor garam diduga melakukan
kartel dengan indikasi keuntungan yang mereka terima mencapai Rp 2,25
triliun per tahun (Antara News, 2015). Praktek oligopoli yang dilakukan importir
akan melemahkan daya beli konsumen karena harga garam impor sebagai
bahan baku industri semakin mahal yang berujung pada mahalnya output.
Selain itu, praktek nakal importir garam juga terbongkar dengan ditangkapnya
direktur pada salah satu perusahan importir garam karena melakukan
penyuapan agar kuota impornya tidak berkurang (Berita Satu, 2015).
Permasalahan pergaraman nasional menjadi lebih kompleks karena PT. Garam
selaku Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang bergerak pada industri
garam memiliki peran yang belum optimal.PT Garam melakukan produksi
garam konsumsi sehingga langsung bersaing dengan petani garam yang
masih menggunakan teknis tradisional (Detik Finance, 2015b). PT. Garam
seharusnya fokus pada produksi garam industri, atau setidaknya menyerap

101
Aditya P. Alhayat

garam petani untuk selanjutnya diproses lebih lanjut menjadi garam industri.
Uniknya, penggarap areal tambak yang dimiliki PT. Garam juga melibatkan
petani secara perseorangan dengan sistem sewa.Terlebih pada Oktober 2015,
PT. Garam menaikkan harga sewa lahan dengan sangat tinggi sehingga
semakin memberatkan bagi petani di tengah produksi yang terbatas.Sewa
lahan di ring I meningkat dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 3 juta per tahun; ring
II naik dari Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta; ring III semula Rp 750 ribu menjadi
Rp 1,5 juta; dan ring IV dari Rp 500 ribu menjadi Rp 1 juta (Tempo, 2015).

6.6 Kebijakan Pemerintah untuk Mengembangkan Industri Garam


Lokal
Sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Pemerintah Indonesia ingin
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik, salah satunya dengan peningkatan kedaulatan
pangan. Sasaran kedaulatan pangan mencakup barang-barang kebutuhan
pokok masyarakat maupun yang menyangkut kepentingan rakyat seperti
padi, kedelai, daging sapi, gula, ikan, dan garam.Khusus sasaran kedaulatan
sektor garam, produksi garam ditargetkan memenuhi konsumsi garam rumah
tangga (Bappenas, 2014). Dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan
dan Perikanan 2015-2019, produksi garam rakyat ditargetkan meningkat dari
3,3 juta ton di tahun 2015 menjadi 4,5 juta ton di tahun 2019 (KKP, 2015d).
Meskipun target peningkatan produksi garam untuk mendukung
kedaulatan pangan dirumuskan dalam sasaran pembangunan 2015-2019,
namun usaha untuk mewujudkan swasembada garam telah dimulai sejak
tahun 2011 melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)
yang dijalankan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP). Program
tersebut fokus pada empat isu strategis yaitu: (1) isu kelembagaan yang
menyebabkan rendahnya kuantitas dan kualitas garam rakyat; (2) isu
permodalan yang menyebabkan para petambak garam terutama dalam
kategori kecil dan penggarap menjadi terjerat pada bakul, tengkulak dan
juragan; (3) isu regulasi yang menyebabkan lemahnya keberpihakan dan
proteksi pemerintah pada sektor garam rakyat, sehingga usaha garam rakyat
menjadi tidak prospektif dan marketable; dan (4) isu tata niaga garam rakyat
yang sangat liberalistik dengan tidak adanya penetapan standar kualitas
dan harga dasar garam rakyat, sehingga terjadi deviasi harga yang sangat
tinggi di tingkat produsen petambak garam dan pelaku pasar, serta terjadinya
penguasaan kartel perdagangan garam di tingkat lokal (KKP, 2015d).
Pada awalnya, bantuan progam PUGAR berupa bantuan langsung
mandiri.Petambak garam rakyat menerima uang tunai (modal) dan sarana

102
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

produksi yang digunakan untuk mengurangi beban biaya produksi (Rohman,


2014). Namun sejak tahun 2015, pola bantuan diubah dalam bentuk
infrastruktur untuk petani garam, yaitu infrastruktur jalan di area lahan tambak
garam atau infrastruktur saluran air (Koran Kabar, 2015). Selain itu, bantuan
program diberikan dalam bentuk alat produksi dan sarana budidaya, seperti
media isolator sebagai alas tambak (Bisnis, 2015b). KKP menerapkan skema
baru untuk lebih mengembangkan usaha garam rakyat sejalan dengan
perubahan nama program dari Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar)
menjadi Pengembangan Usaha Garam Rakyat (Pugar). Selain peningkatan
produksi, pemerintah juga mendorong peningkatan kualitas garam rakyat
menjadi garam industri untuk keperluan kimia dan farmasi.Bantuan alas
tambak yang dulunya berupa geoisolator diganti dengan geomembrane
karena lebih tebal sehingga sarana produksi tersebut dapat digunakan lebih
lama.Dengan demikian, kualitas garam yang baik dapat terus terjaga dan
produktivitasnya dapat ditingkatkan dari 60 ton per hektar menjadi 100 ton
per hektar (KKP, 2016b). Peningkatan kualitas garam dan produktivitas petani
garam akan membantu petani garam mendapatkan pendapatan yang lebih
baik sehingga kesejahteraannya pun meningkat.
Untuk memberikan kepastian hukum dalam perlindungan dan
pemberdayaan petambak garam serta nelayan dan pembudidaya ikan.
Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak
Garam dan telah mendapatkan persetujuan DPR pada Maret 2016 (WikiDPR,
2016). Adapun tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam perlindungan dan
pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam adalah: (1)
menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan
usaha; (2) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; (3) meningkatkan
kemampuan, kapasitas, dan kelembagaan nelayan, pembudi daya ikan,
dan petambak garam serta penguatan kelembagaan dalam menjalankan
usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan serta
mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; (4) menumbuhkembangkan
sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; (5)
melindungi dari risiko bencana alam dan perubahan iklim; dan (6) memberikan
perlindungan hukum dan keamanan di laut (DPR, 2016).

6.7 Penutup
Pasar garam Indonesia sangat prospektif yang ditandai dengan tingginya
kebutuhan garam dalam negeri, terutama sebagai bahan baku industri.
Namun demikian, peluang tersebut belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan
oleh petani garam rakyat sebagai produsen terbesar garam domestik.Kendala

103
Aditya P. Alhayat

yang dihadapi petani garam diantaranya produksi garam masih banyak


dilakukan secara tradisional, bergantung pada faktor cuaca, serta kualitas
garam yang belum memenuhi standar industri.Selain itu, lahan penggaraman
yang terpisah-pisah menyebabkan skala keekonomian produksi garam
tidak tercapai.Terlebih, daya tawar petani garam relatif lemah dibandingkan
pembeli/pengepul garam mengakibatkan harga penjualan hasil panen garam
rendah.Kondisi sosial ekonomi petani garam membuat posisinya semakin
dilematis.Petani garam sebenarnya sudah tahu dan paham bahwa harga jual
garam yang baik ditentukan oleh kualitas garam.Namun, terkadang upaya
peningkatan kualitas garam tidak sebanding dengan biaya yang harus
ditanggung, apalagi kebutuhan harian keluarga yang sulit untuk ditunda-
tunda lagi.
Potensi besar usaha garam di Indonesia telah menarik investor untuk
mendirikan pabrik pengolahan garam berkualitas industri.Apabila investasi
sektor ini terealisasi, importasi garam industri tentu dapat ditekan. Namun,
pembangunan industri garam terkendala masalah pembebasan lahan.
Sebagai gambaran, PT. Cheetham Salt Indonesia harus berjuang selama
enam tahun untuk mendapatkan lahan penggaraman sekaligus tempat
mendirikan pabrik pengolah garam.
Untuk meningkatkan produksi garam rakyat dari segi kuantitas maupun
kualitas, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah
menjalankan program pemberdayaan dan pengembangan usaha garam
rakyat (PUGAR). Bahkan, perlindungan kepada petambak garam diupayakan
untuk diwujudkan secara legal formal melalui suatu Undang-Undang.Namun,
kebijakan pemerintah bidang pergaraman saat ini masih terlihat parsial dan
belum padu.KKP lebih memihak pada usaha garam rakyat dan Kemenperin
mendukung kepentingan industri, sementara Kemendag sebagai pihak
penengah yang mengelola tata niaga (importasi) garam belum menjalankan
perannya dengan baik.Untuk mendukung pengambilan kebijakan, hal yang
paling penting adalah tersedianya data produksi dan konsumsi garam yang
valid dan reliable. Data tersebut harusnya berasal dari sumber yang sama
dan dikeluarkan oleh institusi yang netral seperti Badan Pusat Statistik
(BPS). Dengan demikian, alokasi impor garam benar-benar mencerminkan
kebutuhan industri yang tidak mampu diproduksi oleh usaha garam rakyat.
Informasi kadar garam yang digunakan untuk tiap-tiap industri pengguna juga
akan bermanfaat bagi dalam rangka menyeraskan permintaan industri dengan
produksi garam rakyat. Bisa jadi bahwa permintaan garam yang besar untuk
keperluan industri tidak seluruhnya mengharuskan kadar NaCl yang tinggi
(97%). Pengawasan dalam realisasi impor juga penting agar praktek suap
alokasi impor garam tidak kembali terulang.

104
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Adiraga, Y. dan Setiawan, A. H. (2014). Analisis Dampak Perubahan Curah
Hujan, Luas Tambak Garam dan Jumlah Petani Garam Terhadap
Produksi Usaha Garam Rakyat di Kecamatan Juwana Kabupaten
Pati Periode 2003 – 2012. Diponegoro Journal Of Economics, Vol. 3
(1), pp. 1-13.
Antara News. (2014, November 16).Nagekeo Terbaik untuk Garam Industri di
Indonesia.Diunduh tanggal 2 Maret 2016 dari http://www.antaranews.
com/berita/464595/nagekeo-terbaik-untuk-garam-industri-di-
indonesia.
Antara News. (2015, Agustus 11). Pelaku kartel garam untuk Rp2,25 triliun
setiap tahun. Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari http://www.
antaranews.com/berita/511836/pelaku-kartel-garam-untuk-rp225-
triliun-setiap-tahun.
Berita Satu. (2015, September 13). Tersangka Suap Kuota Impor Garam
Akhirnya Ditahan. Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari http://
www.beritasatu.com/nasional/306633-tersangka-suap-kuota-impor-
garam-akhirnya-ditahan.html.
Bisnis. (2015a, April 15). Nasib Investasi Garam Cheetham Di NTT Masih
Terkatung-katung. Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari http://industri.
bisnis.com/read/20150415/99/422954/nasib-investasi-garam-
cheetham-di-ntt-masih-terkatung-katung.
Bisnis. (2015b, April 1). Skema Bantuan Pugar Berubah, Petani Garam
Cirebon Tetap Kurang Puas. Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari
http://bandung.bisnis.com/read/20150401/61825/530545/skema-
bantuan-pugar-berubah-petani-garam-cirebon-tetap-kurang-puas.
Bisnis. (2015c, Mei 28).Pembatasan Impor Garam Bakal Ganggu Kinerja
Industri.Diunduh tanggal 24 Mei 2016 dari http://industri.bisnis.
com/read/20150528/257/438264/pembatasan-impor-garam-bakal-
ganggu-kinerja-industri.
BPPP Tegal (2016).Masalah dan Kendala Produksi Garam Rakyat.Diunduh
tanggal 16 Februari 2016 dari http://www.bppp-tegal.com/web/index.
php/artikel/98-artikel/artikel-pegaraman/188-masalah-dan-kendala-
produksi-garam-rakyat.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015).Perkembangan Ekspor dan Impor Garam
Indonesia. Sistem Informasi Statistik Ekspor Impor, Pusat Data dan
Informasi Perdagangan, Kementerian Perdagangan.
Detik Finance.. (2015a, Oktober 7). RI Punya Garis Pantai Panjang Tapi
Impor Garam, Ini Penyebabnya. Diunduh tanggal 15 Februari 2016
dari http://finance.detik.com/read/2015/10/07/142628/3038290/4/ri-
punya-garis-pantai-panjang-tapi-impor-garam-ini-penyebabnya.

105
Aditya P. Alhayat

Detik Finance. (2015b, Oktober 7). Faisal Basri Kritik BUMN Garam. Diunduh
tanggal 29Januari 2016 dari http://finance.detik.com/read/2015/10/0
7/210546/3038896/1036/faisal-basri-kritik-bumn-garam.
DPR. (2016). Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan
Petambak Garam.Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari http://www.dpr.
go.id/doksileg/proses2/RJ2-20150921-113245-8931.pdf.
Gatra. (2015, April 20). Hingga Akhir 2015, Kebutuhan Garam Nasional 2,6
Juta Ton. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari http://www.gatra.
com/ekonomi/industri/143400-hingga-akhir-2015,-kebutuhan-
garam-nasional-2,6-juta-ton.
Heriansah dan Fathuddin. (2014). Analisis Tata Niaga Garam untuk
Pengembangan Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pangkep.
Jurnal Balik Diwa, Vol. 5 (2): pp. 1-9.
his. (2013, September). Chemical Economics Handbook: Sodium Chloride.
Diunduh tanggal 28 Maret 2016 dari https://www.ihs.com/products/
sodium-chloride-chemical-economics-handbook.html.
Kabar Bisnis. (2013, Januari 8).KKP Kecewa Berat dengan Produktivitas PT
Garam.Diunduh tanggal 16 Februari 2016 dari http://www.kabarbisnis.
com/read/2835760/kkp-kecewa-berat-dengan-produktivitas-pt-
garam.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015a). Neraca Garam
Nasional Tahun 2011 – 2014. Tidak dipublikasikan.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015b). Luas Tambak Garam
Rakyat Berdasarkan Kabupaten/Kota PUGAR Tahun 2011 - 2014.
Tidak dipublikasikan.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015c). Laporan Kinerja
Kementerian Kelatuan dan Perikanan Tahun 2014.Diunduh tanggal
17 Februari 2016 darihttp://kkp.go.id/assets/uploads/2015/03/LAKIP-
KKP-2014.pdf.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP).(2015d). Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/PERMEN-
KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015-2019.Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari
http://infohukum.kkp.go.id.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2016a). Peningkatan Kualitas
Garam Menuju Swasembada Garam Nasional.Tidak dipublikasikan.
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP).(2016b). Buku Laporan Kinerja
Satu Tahun KKP pada Tahun 2015.Diunduh tanggal 3 Maret 2016
dari http://roren.kkp.go.id/arsip/file/123/buku-laporan-kinerja-
kkp-27112015.pdf/.

106
Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di Indonesia

Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2015). Rencana Strategis


Kementerian Perindustrian 2015-2019.Diunduh tanggal 2 Maret
2016 dari http://www.kemenperin.go.id/download/8436/rencana-
strategis-kemenperin.
Kontan (2015a, Desember 17). Kebutuhan Garam Industri 2016 Naik 2,3 Juta
ton. Diunduh tanggal 11 Februari 2016 dari http://industri.kontan.
co.id/news/kebutuhan-garam-industri-2016-naik-23-juta-ton.
Kontan (2015b, Juli 27). PT Garam kejar produksi 350.000 ton. Diunduh
tanggal 15 Februari 2016 dari http://industri.kontan.co.id/news/pt-
garam-kejar-produksi-350000-ton.
Kontan (2015c, Desember 22). Investasi Cheetham Terganjal Lahan Garam.
Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari http://industri.kontan.co.id/news/
investasi-cheetham-terganjal-lahan-garam.
Koran Kabar (2015, Juni 13).KKP Ubah Pola Bantuan Pugar.Diunduh tanggal
4 Maret 2016 dari http://korankabar.com/kkp-ubah-pola-bantuan-
pugar/.
Kumala, A. R. (2012). Analisis Pengaruh Curah Hujan terhadap Produktivitas
Garam (Studi Kasus: Pegaraman I Sumenep, PT.Garam (Persero)).
Skripsi: Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Kurniawan, B. A., Suryono, A. dan Saleh, C. (2014). Implementasi Program
Dana Bantuan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR)
Dalam Rangka Pengembangan Wirausaha Garam Rakyat (Studi
Pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep). Wacana,
Vol 17 (3): pp. 136-148.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM ITB) (2016).
Peningkatan Kualitas dan Produksi Industri Garam Rakyat. Diunduh
tanggal 12 Februari 2016 dari http://www.lppm.itb.ac.id/pengabdian/
laporanpengabdian/peningkatan-kualitas-dan-produksi-industri-
garam-rakyat.
Manadiyanto. (2010). Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah dalam
Menuju Swasembada Garam. Policy Brief, Vol. 1 (3). Balai Besar
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Medan Bisnis. (2015, Desember 17). Faisal Basri: Data Produksi dan Konsumsi
Garam Tak Jelas. Diunduh tanggal 4 Maret 2016 dari http://www.
medanbisnisdaily.com/news/read/2015/12/17/205324/faisal-basri-
data-produksi-dan-konsumsi-garam-tak-jelas/#.VtjpPea8nIU.

107
Aditya P. Alhayat

Nofiyenti, E. (2011). Analisis Kalium Iodat dalam Garam Dapur.Skripsi.


ProgramEkstensi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara. Medan.
PR Newswire. (2014, Desember).World Salt Market.Diunduh tanggal 28
Maret 2016 dari http://www.prnewswire.com/news-releases/world-
salt-market-300011876.html.
Pratama, R. (2012). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di
Masyarakat. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Binawan, Jakarta.
Rohman, T. (2014).Analisis Usaha Tani Garam Rakyat dan Kinerja
Kelembagaan KUGAR (Kelompok Usaha Garam Rakyat) di
Kabupaten Sampang. Skripsi: Program Studi Agribisnis, Fakultas
Pertanian, Universitas Jember.
Rositawari, A. L., Taslim, C. M. dan Soetrisnanto, D. (2013). Rekristalisasi
Garam Rakyat dari Daerah Demak untuk Mencapai SNI Garam
Industri. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2 (4), pp. 217-225.
Sindo News. (2015, November 20). Industri Minta Pemerintah Tidak Menutup
Impor Garam. Diunduh tanggal 11 Februari 2016 dari http://ekbis.
sindonews.com/read/1063026/34/industri-minta-pemerintah-tidak-
menutup-impor-garam-1447945046.
Tempo. (2015, Oktober 7). Sewa Lahan Naik, Petani Protes PT Garam.
Diunduh tanggal 17 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/
read/news/2015/10/07/058707134/sewa-lahan-naik-petani-protes-
pt-garam.
Transparency Market Research. (2015). Sodium Chloride Market -
Global Industri Analysis, Size, Share, Trends and Forecast
2015 – 2023. Diunduh tanggal 1 April 2016 dari http://www.
transparencymarketresearch.com/sodium-chloride-market.html.
WikiDPR. (2016). UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,
Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Diunduh tanggal 25 Mei
2016 dari http://wikidpr.org/ruu/uu-perlindungan-dan-pemberdayaan-
nelayan-pembudidaya-ikan-dan-petambak-garam.

108
Tata Niaga dan “Manisnya” Garam di Indonesia

BAB VII
TATA NIAGA DAN "MANISNYA" GARAM DI
INDONESIA
Zamroni Salim

7.1 Pendahuluan
Indonesia masih bergantung pada garam impor untuk memenuhi
kebutuhan dalam negerinya, khususnya kebutuhan untuk industri. Produksi
garam Indonesia masih rendah dan sebagian besar masih tergantung pada
impor (Manadiyanto, 2010; Sucofindo, 2011; Setywati, 2014; Republika,
2015). Dari data statistik terlihat bahwa impor garam mencapai sekitar 69,70%
(impor sebesar 2,3 ton dari total kebutuhan yang mencapai 3,75 ton tahun
2015) (KKP, 2016). Ketergantungan yang tinggi tersebut tidak terlepas dari
permasalahan yang ada dalam industri dan perdagangan garam di Indonesia.
Bab VII merupakan benang merah dari sejumlah bab yang sudah ditulis
sebelumnya. Seperti telah diuraikan dalam beberapa bab sebelumnya,
produksi garam nasional, dari sisi jumlah, belum mampu memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Dari sisi kualitas komoditas garam juga belum
mampu memenuhi kualitas sesuai yang dinginkan oleh pasar (khususnya
industri) yang menjadikan garam sebagai salah satu bahan bakunya.
Beberapa permasalahan terkait dengan kinerja produksi garam, kualitas
garam dan usaha petani garam dalam menghasilkan garam telah diulas di Bab
II - Bagian Produksi. Isu menonjol yang disajikan dalam Bab II tersebut adalah
masalah rendahnya produksi dan produktivitas, serta kualitas garam yang
dihasilkan oleh petani. Permasalahan tersebut tentu saja tidak terlepas dari
teknik produksi dan tingkat teknologi yang digunakan (yang pada umumnya
masih sederhana) (Setywati, 2014).
Dalam Bab III secara garis besar membahas isu penting dalam aspek
konsumsi garam. Dalam bab ini, isu menarik yang dikaji adalah masalah
kualitas garam rakyat yang dinilai belum mampu memenuhi standar yang
dipersyaratkan oleh dunia industri, meskipun pihak petani melalui koperasi
mengatakan bahwa mereka mampu meningkatkan kualitas asalkan pihak
industri menentukan spesifikasi secara jelas3. Pemenuhan kebutuhan garam
industri yang berasal dari impor, dengan alasan (stigma) kualitas garam
rakyat yang rendah, akan cenderung menyebabkan garam rakyat yang
tidak akan pernah diminati oleh industri pengguna, termasuk industri yang
melakukan pengolahan garam rakyat. Dalam kenyataanya, ada sejumlah
perusahaan domestik yang mampu mengolah garam rakyat menjadi garam
3
Focus Group Discussion, BPPP, Kementerian Perdagangan, 18 Mei 2016.

109
Zamroni Salim

dengan kualitas yang lebih baik4. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
garam rakyat bisa diproses lebih lanjut menjadi garam yang lebih baik dengan
teknologi tertentu.
Bab IV membahas aspek perdagangan garam di dalam negeri. Salah
satu isu mendasar yang diulas adalah masalah yang terkait dengan struktur
pasar yang berbentuk oligopoli (bila dilihat dari sisi supply garam, khususnya
garam industri yang berasal dari impor). Sementara itu, bila dilihat dari
supply garam rakyat, struktur pasar yang ada lebih berbentuk oligopsoni
dimana hanya ada sejumlah kecil pembeli (perusahaan swasta termasuk PT
Garam) yang menyerap garam rakyat. Kondisi struktur pasar yang berbentuk
oligopsoni dan oligopoli ini tentu saja tidak menguntungkan bagi masyarakat
secara umum, baik itu petani maupun pengguna garam (industri) - dalam hal
ini adalah industri pemakai yang salah satunya adalah industri makanan dan
minuman.
Bab V mengkaji perdagangan luar negeri. Dalam bab ini dijelaskan
bagimana posisi Indonesia di dalam perdagangan dunia, baik sebagai
importir maupun eksportir. Sebagai eksportir, Indonesia bisa dikatakan
hanya pemain kecil yang dalam posisi tawar-menawar harga bisa diabaikan
(bukan penentu harga di pasar internasional). Sebagai importir, Indonesia
mampu menyerap sekitar 3% garam dunia tahun 2014 (Trade Map, 2016).
Sementara itu, Bab VI menguraikan peluang yang bisa dimiliki dan tantangan
yang akan dihadapi di Indonesia terkait dengan industri garam nasional, tidak
hanya dari sisi produksi, tetapi juga distribusi, konsumsi dan perdagangan.
Terkait dengan prospek yang ada dalam industri garam nasional, Bab VI telah
menjelaskan bahwa peluang investasi terbuka lebar termasuk bagi investor
asing, mengingat Indonesia mempunyai daerah pantai yang luas. Kendala
yang dihadapi petani garam selama ini, khususnya masalah teknologi dan
ketergantungan musim, tentu bisa diatasi dengan kehadiran pengusaha
swasta (baik nasional maupun asing).

7.2 ‘Manisnya’ Garam Impor


Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh tim
penulis, terlontar dari salah seorang narasumber yang menyebutkan bahwa
“Garam itu manis, bukan asin”. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam industri
garam nasional ada “pemain” yang ingin memperoleh manisnya garam,
terutama garam impor. Adanya sejumlah “pemain” ini tentu akan mempersulit
upaya pemerintah untuk memperbaiki dan membangun industri garam menjadi
industri nasional yang kuat yang memberikan keuntungan ekonomi secara
nasional, sekaligus memberikan keuntungan bagi petani garam itu sendiri.
4
Sebagai contoh adalah PT. Susanti Megah yang memperoleh bahan baku dari garam rakyat.

110
Tata Niaga dan “Manisnya” Garam di Indonesia

Berbagai langkah sudah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki


sektor garam nasional (yang secara detil bisa dilihat di beberapa bab
sebelumnya), namun demikian, industri garam masih carut marut. Beberapa
pelaku dalam sektor garam nasional, baik petani, maupun pengguna
mengeluhkan permasalahan garam di Indonesia. Petani (melalui koperasi)
merasa bahwa stok garam mereka belum bisa terserap oleh pasar, termasuk
oleh PT. Garam, yang menurut mereka memperoleh dana dari pemerintah
untuk melakukan pembelian garam rakyat (Tempo, 2016).
Sementara itu, pengguna garam (khususnya industri makanan dan
minuman) tidak mempermasalahkan ada pengaturan perdagangan garam,
asalkan mereka tetap bisa memperoleh garam dengan kualitas yang
memenuhi standar produksi makanan dan minuman. Lebih lanjut, pihak
pengguna menjelaskan bahwa dalam penataan industri garam nasional,
untuk melindungi satu pihak dengan menghancurkan pihak lainnya.
Struktur pasar garam nasional, khususnya sisi supply (dari impor) - pada
usaha non-produksi (non-petani) yang bergerak di jalur distribusi, pemasaran
dan impor yang berbentuk oligopoli, memang dekat dengan kolusi. Secara
teoritis, struktur pasar oligopoli memungkinkan pelaku di dalamnya bisa
melakukan kolusi, baik kolusi dalam bentuk pengaturan harga, pengontrolan
distribusi (pengeluaran garam dari gudang penampungan), maupun arus
garam yang melalui jalur impor. Impor garam, selama ini hanya bisa dilakukan
oleh sepuluh perusahan importir garam, salah satunya adalah PT. Garam.
Sebagai negara dengan konsumen yang besar, pasar Indonesia juga
menarik bagi investor baik domestik atau asing untuk masuk ke industri
garam. Penjelasan lebih lengkap ada dalam Bab VI. Daerah yang menarik
bagi investor (asing) adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) (Tempo, 2015).
Perusahaan swasta yang masuk ke hulu industri garam harus mampu
menghasilkan garam dengan kualitas yang bisa memenui persyaratan industri
pengguna, yang selama ini memang menjadi penyerap utama garam industri.

7.3 Produksi, Perdagangan dan Posisi Tawar Garam Rakyat


Target peningkatan produksi garam nasional adalah sebesar 3,3 juta ton
(2015) meningkat menjadi 4,5 juta ton di tahun 2019 (KKP, 2015). Target tersebut
salah satunya akan dicapai dengan melakukan program Pemberdayaan Usaha
Garam Rakyat (PUGAR) yang dilakukan oleh Kementerian Perikanan dan
Kelautan (KKP). Namun demikian, program tersebut tidak akan memberikan
dampak perbaikan pada industri garam nasional, khususnya petani garam
apabila sistm distribusi dan perdagangannya tidak segera diperbaiki atau
kondisinya masih seperti sekarang ini.

111
Zamroni Salim

Produksi garam Indonesia, merupakan produksi yang dilakukan oleh


petani garam, meski sebagian diantaranya di produksi oleh perusahaan seperti
PT. Garam (meskipun pada dasarnya juga dilakukan oleh petani garam).
Kondisi ini tentu bisa berakibat pada masalah rendahnya produktivitas, total
produksi yang rendah dan juga kualitas garam yang kurang bisa memenuhi
persyaratan yang diminta oleh industri (Efendy, et al., 2016). Sebagai
dampaknya, kebutuhan garam untuk industri hanya bisa dipenuhi oleh impor.
Garam rakyat dengan kualitas relatif rendah ini juga dipaksa bersaing
dengan garam impor di pasar dalam negeri, yang mengakibatkan posisi tawar
petani garam yang rendah. Harga yang tidak fair ini berdampak, salah satunya,
pada menurunnya minat petani garam untuk berproduksi dan meningkatkan
kualitas garam (Kompas, 2016). Padahal, seperti diuraikan dalam Bab VI,
bahwa industri garam merupakan industri rakyat yang menyerap banyak
tenaga kerja buruh tambak produksi, kuli pengangkut, serta pengepul
(KKP, 2015). Menurunnya minat mereka, berarti pula meningkatnya jumlah
pengangguran di Indonesia.
Struktur pasar garam nasional yang cenderung bersifat oligopsoni bila
dilihat dari sisi supply garam rakyat, juga memperlemah posisi tawar petani.
Seperti diuraikan dalam Bab VI, struktur oligopsoni akan merugikan petani
terutama saat musim panen tiba. Pada sisi impor, struktur pasar yang ada
adalah oligopoli, karena hanya beberapa perusahaan yang bisa melakukan
impor dan hanya mereka yang bisa memasok garam untuk kebutuhan industri
pengguna.
Posisi tawar petani garam dalam rantai produksi dan pemasaran adalah
lemah. Dari sisi produksi, banyak petani garam yang tidak memiliki lahan
sendiri. Mereka menyewa lahan (di tambak) yang pada musim tertentu
(musim kemarau) tidak untuk budidaya ikan, biasanya pada musim panas
sekitar bulan Juli – Oktober. Sewa lahan tambak tidak dilakukan dengan
sistem pembayaran uang tunai, tetapi mereka melakukan dalam bentuk bagi
hasil. Bagi hasil ini bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Dari sisi pemasaran, petani garam juga lemah, karena adanya kebutuhan
yang mendesak sehinga mereka cenderung langsung menjual garamnya
saat panen, dan cenderung tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam
menentukan harga (karena besarnya tuntutan untuk memperoleh uang pada
saat panen untuk memenuhi kebutuhan mereka).

7.4 Tata Niaga Garam, Perlukah?


Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan beberapa kebijakan
untuk meningkatkan daya tawar petani garam. Beberapa diantaranya adalah

112
Tata Niaga dan “Manisnya” Garam di Indonesia

tata niaga yang mengatur pelarangan impor satu bulan sebelum panen
raya, semasa panen raya dan dua bulan setelahnya, termasuk tata niaga
yang menyangkut harga garam dengan kualitas tertentu (BAB V), sesuai
dengan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/
DAGLU/PER/5/2011, yang diperbaharui dengan Permendag No.58/M-DAG/
PER/9/2012 tanggal 4 September 2012 dan revisi kembali melalui Permendag
No. 125 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015 Tentang Ketentuan Impor
Garam.
Untuk mendorong produksi dan produktivitas sekaligus melindungi usaha
garam rakyat, pemerintah sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan.
Beberapa diantaranya adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan (Menperindag) No. 360/MPP/Kep/5/2004, diperbarui dengan
Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 yang mengatur tata niaga garam
impor. Tidak efektifnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
adalah karena masalah penegakan hukum (law enforcement) dan pengawasan
yang lemah di lapangan. Salah satu indikator dari kelemahan penegakan
hukum tersebut adalah masih carut marutnya industri garam nasional, indikasi
kartel dalam tata niaganya dan juga masih belum berpihaknya industri garam
bagi kesejahteraan petani garam dan juga.
Diskursus mengenai perlunya pengaturan tata niaga dengan penentuan
harga dasar (floor price) maupun harga atas/plafon (ceiling price) masih
terus mengemuka. Satu sisi tata niaga seperti ini bisa menjamin harga yang
lebih baik bagi petani, namun disisi lain, kebijakan ini juga bisa menciptakan
distorsi pasar yang menyebabkan terganggunya arus distribusi garam yang
bisa berdampak pada membanjirnya atau langkanya garam di pasar dalam
negeri. Kebijakan harga minimal garam pada titik pengumpul memberikan
tekanan pada posisi tawar petani garam terhadap pengumpul. Petani garam
cenderung tidak bisa memperoleh harga yang layak mendekati harga yang
ditetapkan oleh pemerintah. Sementara itu, bila tata niaga garam dilepas,
dan tidak mengenal kuota (impor), pada satu sisi akan menciptakan efisiensi
ekonomi secara nasional; namun di sisi lain, bisa mengganggu atau bahkan
mematikan petani garam, terutama bila jumlah garam impor tidak terkendali.
Tata niaga masih diperlukan untuk mengatur industri garam di Indonesia
dengan sejumlah perbaikan dan adanya keberpihakan pemerintah yang nyata.
Diperlukan keberpihakan pemerintah untuk meningkatkan minat produksi
petani garam. Kebijakan bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang
ada selama ini baik menyangkut produksi, kualitas hasil produksi maupun
pemasaran/tata niaga. Ketidakpastian harga menjadi salah satu masalah
utama. Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengeluarkan

113
Zamroni Salim

kebijakan tata niaga dengan penentuan harga pada level pengumpul. Harga
yang lebih fair, dan stabil harus bisa diberikan kepada petani garam.
Kebijakan pemerintah yang bisa mengontrol impor garam pada masa-
masa panen juga harus tetap dilakukan. Selama ini memang sudah ada
kebijakan impor, kapan harus impor, tetapi dalam pelaksanaannya impor
datang justru di saat panen raya, yang cenderung membuat harga garam
pada tingkat petani menjadi lebih rendah.
Langkah bijak yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah mewajibkan
importir melakukan impor sesuai kuota dengan sistem lelang terbuka,
wajib menyerap garam rakyat, menambah jumlah perusahaan yang bisa
melakukan impor sehingga perebutan impor kuota lebih kompetitif. Selain
itu juga diperlukan adanya kewajiban transparansi publik bagi para importir
terkait dengan jumlah kuota yang mereka perolehnya dan besarnya serapan
garam rakyat yang bisa dilakukan oleh mereka.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggerakkan industri
pengolah garam rakyat (sekarang ini jumlahnya masih sangat terbatas)
yang mampu mengolah garam rakyat menjadi garam yang bisa memenuhi
persyaratan minimum yang ditetapkan oleh dunia industri. Dengan adanya
industri pengolah ini tentu akan memberikan jaminan pasar dan harga yang
lebih baik bagi petani garam. Selain itu untuk melengkapi kebijakan yang
terkait dengan perdagangan, pemerintah perlu memperhatikan jalur distribusi
fisik garam yang sering bermasalah termasuk sarana dan prasarana/
infrastruktur di daerah penghasil garam. Perbaikan infrastruktur ini akan
memberikan manfaat terhadap kelancaran distribusi garam dari areal tambak
garam ke jalur distribusi berikutnya. Perbaikan ini juga bermanfaat secara
luas bagi masyarakat di daerah penghasil garam secara umum.

DAFTAR PUSTAKA
Efendy, M., Heryanto, A., Sidik, R. F., & Muhsoni, F. F. (2016). Perencanaan
Usaha Korporatisasi Usaha Garam Rakyat. Jakarta: Sekretariat
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
BPPP, Kementerian Perdagangan. (2016). Focus Group Discussion (18 Mei
2016).
Kementerian Kelatuan dan Perikanan (KKP). (2015). Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/PERMEN-
KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015-2019. Diunduh tanggal 3 Maret 2016 dari
http://infohukum.kkp.go.id.

114
Tata Niaga dan “Manisnya” Garam di Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2016). Peningkatan Kualitas Garam


Menuju Swasembada Garam Nasional. Bahan Paparan Kementerian
Kelautan Dan Perikanan.
Kompas (27 Januari 2016) Harga Garam Masih Anjlok diunduh dari http://
print.kompas.com/baca/2016/01/27/Harga-Garam-Masih-Anjlok.
Manadiyanto. (2010). Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah dalam
Menuju Swasembada Garam. Policy Brief, Vol. 1 (3). Balai Besar
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Republika. (2015, 21 Desember). Kualitas Rendah, Penyebab Ribuan Ton
Garam Petani tak Laku. Diakses 23 April 2016 dari http://www.
republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/21/nzpncn282-kualitas-
rendah-penyebab-ribuan-ton-garam-petani-tak-laku.
Setywati, Endang. (2014). Integrating and Strengthening of National Salt
Industry Policy through Value Chain Management Upgrading. The
Journal of African & Asian Local Government Studies, Vol. 3, No. 2
(2014).
Sucofindo. (2011). Produksi Garam Lokal Rendah. Diakses tanggal 11 Maret
2016 dari http://www.sucofindo.co.id/berita-terkini/972/produksi-
garam-lokal-rendah.html.
Tempo. (2015, 7 Juni). Lima Daerah di NTT Akan Produksi Garam
Industri. Diakses 3 Mei 2016 dari https://m.tempo.co/read/
news/2015/06/07/090672821/lima-daerah-di-ntt-akan-produksi-
garam-industri.
Tempo. (2016, 29 Maret). PT Garam akan ‘Borong’ Garam Rakyat Rp 202
Miliar. Diakses tanggal 5 Mei 2016 dari https://m.tempo.co/read/
news/2016/03/29/090757995/pt-garam-akan-borong-garam-rakyat-
rp-202-miliar.
Trade Map. (2016). Data Ekspor dan Impor Data Dunia.

115
Bunga Rampai Info Komoditi Garam

INDEKS
L
A law enforcement, 82, 138
anionic surfactants, 49
anti-caking, 90, 101 M
ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature Marjin Perdagangan dan Pengangkutan
(AHTN), 12, 38 (MPP), 73, 74
atas dasar basis kering (adbk), 13, 46 mean sea level (msl), 16
mismatch, 119
B multiplier effect, 5
Buku Tarif Kepabeanan Indonesia
(BTKI), 90 N
Brine, 109 natrium klorida (NaCl), 52, 92, 94, 101

C O
Caustic Soda, 48, 49, 58 Oligopsoni, 123, 134, 137
Centrifuge, 16 Oligopoli, 65, 123, 134, 136
Chlor Alkali Plan (CAP), 2, 119
collecting point, 81 P
Compound Annual Growth Rate (CAGR), Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
110 (PUGAR), 31, 83, 124, 125, 131, 136
Crushing, 16, 28 Pengembangan Usaha Garam Rakyat
crystallization column, 17 (PUGAR), 85, 125, 127, 129

D R
Demand, 12 Refinery, 88, 89
Drying, 16, 28 Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), 124
E Revealed Comparative Advantage (RCA), 99
Elektrodialisa, 17 Rock salt, 12, 109
Roadmap, 43, 110
F
free-flowing, 90, 101 S
Focus Group Discussion (FGD), 37, 135 Salt Lake, 11, 17
Saponification, 49
G Sea Water, 12
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium Sleving, 17
(GAKY), 40, 131 Standar Nasional Indonesia (SNI), 52, 79
Geomembrane, 33, 125 Supply, 7, 12, 86, 123, 134, 136, 137

H T
High Density Polyetylene (HDPE), 33 table salt, 12

I U
Impurities, 14 Universal Salt Iodization (USI), 55
Importir Produsen (IP), 63, 102
Importir Terdaftar (IT), 64 W
Iodine Deficiency Disorder (IDD), 79 washing plant, 16
water treatment, 1, 14, 15, 44
K water softening, 96
Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan World Custom Organization (WCO), 12
(KUKP) World Health Organization (WHO), 55, 57

116
Bunga Rampai Info Komoditi Garam

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS


Zamroni Salim
Zamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1998. Zamroni memperoleh gelar
S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas
Airlangga, Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University, New
Zealand untuk bidang perdagangan internasional, tahun 2003; dan Gelar
PhD diperoleh dari the Graduate School of International Development
(GSID), Nagoya University, Jepang tahun 2009 dalam bidang international
economic and development. Area penelitian yang menjadi bidang kajian
adalah regionalism, economic integration and development, ASEAN and East
Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa jurnal ilmiah
seperti: Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS), dan Buletin
Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP)-Kementerian Perdagangan. Zamroni
Salim juga merupakan peneliti senior pada the Habibie Center (THC) sejak
2009. Selain melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga
pengajar di Department of International Relations, President University,
Cikarang Indonesia.

Ernawati Munadi
Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman
lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai Konsultan,
Dosen dan Peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai Konsultan
sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan
Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID, sebagai ahli di bidang Ekonomi
Perdagangan. Pada bulan Oktober 2008, dipromosikan sebagai Trade
Economist/Senior Team Leader dalam proyek yang sama. Sejak itu penulis
bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek yang dibiayai oleh organisasi
internasional seperti Bank Dunia, AusAid, USAID, dan Uni Eropa. Hingga
kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya Kusuma. Keahliannya
adalah dampak liberalisasi perdagangan pada permintaan ekspor Indonesia
hingga model analisis transmisi siklus bisnis dari Indonesia dan Amerika
Serikat. Dalam 5 tahun terakhir Ernawati mengembangkan keahlian di bidang
perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff
measures). Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian
baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang
Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master

117
Bunga Rampai Info Komoditi Garam

di bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada


tahun 1997; dan gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas
Putra Malaysia pada tahun 2004.

Septika Tri Ardiyanti


Septika Tri Ardiyanti adalah statistisi pada Pusat Pengkajian Perdagangan
Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2011. Septika memperoleh gelar S1
Jurusan Statistika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun
2010 dan gelar S2 Master of Applied Economics dari Nanyang Technological
University (NTU), Singapura tahun 2013. Penulis juga banyak mengikuti
berbagai pelatihan yang diselenggarakan di dalam dan luar negeri terkait
metode pengolahan data dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian
di bidang perdagangan. Penulis saat ini aktif dalam kegiatan penelitian baik
yang diselenggarakan oleh BPPP maupun pada proyek penelitian kerjasama
antara Kementerian Perdagangan dengan lembaga internasional seperti
European Indonesia Trade Cooperation Facility (EU-TCF) dan World Bank.
Beberapa tulisannya di bidang Ekonomi Perdagangan (Economics of Trade)
juga telah diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional yaitu pada Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian Perdagangan.

Steven Raja Ingot


Steven Raja Ingot adalah calon peneliti pada Pusat Pengkajian Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Steven
memperoleh gelar S1 Jurusan Manajemen dari Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya Jakarta pada tahun 2010. Saat ini Steven menekuni area penelitian
bidang multilateral, kerjasama perdagangan Internasional.

Titis Kusuma Lestari


Titis Kusuma Lestari adalah statistisi pada Pusat Pengkajian Perdagangan
Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2014. Titis memperoleh gelar S1
Jurusan Statistika dari Universitas Brawijaya pada tahun 2010. Selain
menekuni bidang pengolahan data, Titis juga tertarik dengan dunia penelitian,
khususnya yang berhubungan dengan kebijakan ekspor impor.

118
Bunga Rampai Info Komoditi Garam

Nugroho Ari Subekti


Nugroho Ari Subekti adalah calon peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan
Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2009. Ari memperoleh gelar S1
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Study Pembangunan (IESP), Fakultas Ekonomi,
Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2004. Gelar Master of Science
in Applied Economics didapatkan dari program double degree antara Institut
Pertanian Bogor dan University of Adelaide, Australia. Saat ini Ari menekuni
analisis di bidang barang pokok dan barang penting serta logistik.

Aziza Rahmaniar Salam


Aziza Rahmaniar Salam adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan (BPPP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2006. Aziza
memperoleh gelar S1 Jurusan Tehnik Industri dari Universitas Pembangunan
Nasional ‘Veteran’ Jawa Timur pada tahun 2001 dan gelar S2 Magister
Manajemen dari Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2006. Area
penelitian yang ditekuni adalah perdagangan luar negeri dan kerjasama
perdagangan internasional, baik yang dilaksanakan oleh Badan Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) maupun kerjasama dengan Dikti
dan Ristek. Tulisannya banyak diterbitkan dalam berbagai jurnal nasional
diantaranya Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP) Kementerian
Perdagangan, Jurnal Standardisasi BSN dan Jurnal Administrator Borneo.
Aziza juga aktif dalam organisasi profesi peneliti HIMPENINDO.

Aditya Paramita Alhayat


Aditya Paramita Alhayat adalah peneliti pada Pusat Pengkajian Perdagangan
Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2009. Aditya mendapatkan gelar
S1 Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta pada tahun 2006 dan gelar S2 Master of Science in International
Economics and Business dari University of Groningen, Belanda pada tahun
2013 melalui beasiswa StuNed. Saat ini Aditya menekuni area penelitian
bidang perdagangan luar negeri. Area lain yang menjadi minat penelitiannya
adalah trade remedies (anti-dumping, anti-subsidi, dan safeguards) serta
kebijakan non-tarif.

119
Bunga Rampai Info Komoditi Garam

120

Anda mungkin juga menyukai