Anda di halaman 1dari 118

Info Komoditi Rumput Laut

Info Komoditi
RUMPUT LAUT

i
Info Komoditi Rumput Laut

SANKSI PELANGGARAN

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002


1. Barang siapa dengan segaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

ii
Info Komoditi Rumput Laut

Info Komoditi
RUMPUT LAUT
EDITOR:
Zamroni Salim, Ph.D
Ernawati, Ph.D

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan


Al Mawardi Prima, Jakarta 2015

iii
Info Komoditi Rumput Laut

Judul:
Info Komoditi Rumput Laut
Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati, Ph.D

Copyright © 2015
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved

Diterbitkan oleh
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan
Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya

Diterbitkan pertama: Desember 2015


Desain Cover : Piter Prihutomo
Sumber Cover depan searah jarum jam
1. Dokumentasi Piter Prihutomo;
Sumber cover belakang :
1. Piter Prihutomo;

xii, 118 hlm, 16,5 x 25 cm


ISBN: 978-979-461-890-5

Pengarah: Penanggung Jawab : Redaksi Pelaksana:


Kepala Badan Pengkajian Sekretaris Badan 1. Puspita Dewi, SH, MBA
dan Pengembangan Pengkajian dan 2. Maulida Lestari, SE, ME
Kebijakan Perdagangan Pengembangan 3. Reni K. Arianti, SP, MM
Kebijakan Perdagangan 4. Suler Malau, SH
5. Primakrisna T, SIP, MBA
6. Dwi Yulianto, S.Kom

AMP Press
Imprint Al-Mawardi Prima
Anggota IKAPI JAYA
Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Telp/Fax. (021) 29325630
Email: info@almawardiprima.co.id
Website: www.almawardiprima.co.id

iv
Info Komoditi Rumput Laut

KATA PENGANTAR
Komoditas rumput laut merupakan komoditas penting bagi perekonomian
Indonesia. Arti penting tersebut karena komoditas rumput laut memiliki nilai
ekonomi tinggi dan besarnya potensi pengembangan budidaya rumput laut di
Indonesia. Berbagai produk olahan turunan yang berasal dari rumput laut juga
menunjukkan bahwa komoditas rumput laut mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi bila bisa diolah di dalam negeri, sehingga nilai tambah yang tercipta lebih
banyak bisa dinikmati oleh petani dan produsen pengolah di Indonesia.
Kondisi budidaya dan pengolahan rumput laut di Indonesia masih menyimpan
berbagai kendala dan tantangan, terutama menyangkut masalah produktivitas
budidaya rumput laut di Indonesia yang masih rendah. Masalah lain adalah masih
rendahnya pengolahan rumput laut menjadi agar dan karaginan di Indonesia.
Dengan melihat berbagai kondisi yang ada dalam budidaya, pengolahan dan
perdagangan rumput laut, adanya tulisan yang lengkap yang membahas
permasalahan tersebut tentu sangat diperlukan.
Buku Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut ini menyajikan berbagai aspek
kegiatan budidaya dan perdagangan rumput laut di Indonesia, termasuk aspek
kebijakan yang terkait dengan produksi, pengolahan dan juga perdagangan. Buku
ini tersusun dari tujuh bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan
arti penting rumput laut bagi perekonomian Indonesia dan menjelaskan
permasalahan dasar mengenai rendahnya produktivitas rumput laut.
Dalam Bab II diuraikan mengenai aspek produksi rumput laut, yang dimulai
dari sejarah rumput laut di Indonesia. Bab ini juga menjelaskan daerah-daerah
produsen rumput laut di Indonesia dan total produksi yang dihasilkannya dalam
bentuk rumput laut basah dan kering. Bahasan budidaya rumput laut dengan
berbagai metode dan perbandingannya termasuk metode budidaya yang
paling banyak dilakukan di Indonesia juga ditampilkan dalam bab ini. Berbagai
permasalahan menyangkut rendahnya produktivitas rumput laut juga diuraikan
dengan jelas. Di bagian akhir Bab II diuraikan mengenai perhitungan nilai
investasi yang diperlukan untuk budidaya rumput laut.
Aspek konsumsi dan pengolahan rumput laut diuraikan dalam Bab III. Dalam
bab ini dijelaskan bagimana proses pengolahan rumput laut (kering) menjadi
karaginan, agar dan alginat lalu kemudian diolah menjadi produk lanjutan
baik untuk produk sebagai bahan baku industri lain maupun produk yang siap
dikonsumsi. Setidaknya ada tiga jenis produk olahan rumput laut yaitu Pharmacy
Grade, Industrial Grade, dan Food Grade. Usaha pengolahan rumput laut di

v
Info Komoditi
Bunga Rampai Rumput
Info Komoditi
Laut Rumput Laut

berbagai provinsi di Indonesia juga diuraikan termasuk tingkatan (grade) yang


dihasilkannya dan jenis makanan olahan yang bisa diproduksinya.
Selanjutnya dalam Bab IV dijelaskan mengenai aspek perdagangan dalam
negeri. Diuraikan dalam bab ini tentang struktur pasar dan serapan rumput laut
di pasar dalam negeri, termasuk struktur pasar yang tercipta karena terbatasnya
jumlah perusahaan pengolah rumput laut di Indonesia. Diuraikan juga hal-hal
terkait dengan pola distribusi dan pemasaran di sejumlah daerah produsen
rumput laut. Lebih lanjut, dalam bab ini juga bisa dilihat besaran biaya dan margin
pemasaran rumput laut yang diterima oleh berbagai pihak yang terlibat dalam
rantai produksi dan distribusi di sejumlah daerah di Indonesia.
Bab V menjelaskan aspek perdagangan luar negeri rumput laut. Aspek
perdagangan luar negeri ini juga menarik untuk disimak, karena menjelaskan
bagaimana peta perdagangan rumput laut Indonesia di pasar dunia. Sebagai
komoditas pertanian, harga rumput laut cenderung fluktuatif dan dinamis.
Perkembangan ekspor dan negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia baik dari
sisi volume dan nilai diuraikan dalam bab ini, termasuk komoditas yang lebih rinci
dalam HS 10 digit. Selain itu juga dijelaskan mengenai impor produk rumput laut
yang masuk ke pasar dalam negeri. Bagaimana sebenarnya daya saing rumput
laut Indonesia di pasar dunia? Bab V ini juga menyajikan posisi daya saing rumput
laut dan permasalahan dalam peningkatan daya saing rumput laut di Indonesia.
Bab VI menjelaskan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia
dalam upaya mengembangkan produksi melalui budidaya yang lebih baik dan
juga tantangan menyangkut pengolahan dan perdagangan. Bab ini menguraikan
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai
tantangan yang ada untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan nilai tambah
di dalam negeri dan upaya menangani permasalahan rumput laut melalui
kebijakan perdagangan luar negeri.
Dengan berbagai pokok bahasan yang diuraikan di atas, kiranya Buku Bunga
Rampai Info Komoditi Rumput Laut bisa memberikan tambahan informasi,
analisis permasalahan dan dinamika pengembangan dan perdagangan rumput
laut Indonesia. Meski demikian, dengan adanya keterbatasan yang ada dalam
penyusunan buku bunga rampai ini, kritik dan saran untuk perbaikan dalam edisi
berikutnya dari pembaca dan pengguna buku ini sangat dinantikan.

Jakarta, Desember 2015


Editor

vi
Info Komoditi
KataRumput Laut
Pengantar

DAFTAR ISI

Pengantar Editor............................................................................................v
Daftar Isi ...................................................................................................... vii
Daftar Gambar............................................................................................. viii
Daftar Tabel................................................................................................... x

BAB I RUMPUT LAUT, KOMODITAS POTENSIAL YANG BELUM


TERMANFAATKAN
Ernawati Munadi............................................................................................ 1

BAB II PRODUKSI RUMPUT LAUT INDONESIA


Muhammad Fawaiq....................................................................................... 7

BAB III KONSUMSI DAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT


Ratna A. Carolina........................................................................................ 25

BAB IV PERDAGANGAN DALAM NEGERI RUMPUT LAUT


Yati Nuryati.................................................................................................. 43

BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI RUMPUT LAUT


Hasni.......................................................................................................... 63

BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN RUMPUT LAUT DI


INDONESIA
Rino Adi Nugroho........................................................................................ 85

BAB VII PERBAIKAN PRODUKSI DAN PENGOLAHAN,


KUNCI RUMPUT LAUT INDONESIA AGAR BERDAYA SAING
Zamroni Salim............................................................................................. 99

Indeks....................................................................................................... 104

Biografi Penulis....................................................................................... 105

vii
Info Komoditi Rumput Laut

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Produksi Rumput Laut Dunia....................................................................... 9


Gambar 2.2 Ilustrasi Konstruksi Budidaya Rumput Laut dengan Metode
Lepas Dasar............................................................................................... 13
Gambar 2.3 Ilustrasi Konstruksi Budidaya Rumput Laut dengan Metode
Rakit Apung................................................................................................ 14
Gambar 2.4 Ilustrasi Konstruksi Budidaya Rumput Laut dengan Metode
Tali Gantung............................................................................................... 15
Gambar 2.5 Produktivitas Penanaman Rumput Laut di Indonesia dan Dunia............... 16
Gambar 2.6 Proses Produksi Rumput Laut Kering........................................................ 17
Gambar 3.1 Pohon Industri Hasil Pengolahan Rumput Laut......................................... 30
Gambar 3.2 Bagan Proses Pengolahan Rumput Laut menjadi Karaginan.................... 32
Gambar 3.3 Bagan Proses Pengolahan Rumput Laut menjadi Agar–Agar................... 33
Gambar 4.1 Serapan Rumput Laut Kering di Indonesia................................................ 46
Gambar 4.2 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Sulawesi Tengah .................................. 48
Gambar 4.3 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Sulawesi Selatan.................................. 49
Gambar 4.4 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Maluku.................................................. 50
Gambar 4.5 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Nusa Tenggara Barat (NTB) ................ 51
Gambar 4.6 Perkembangan Harga Rumput Laut (E. cottonii) ...................................... 57
Gambar 5.1 Perkembangan Harga Beberapa Jenis Rumput Laut Internasional........... 64
Gambar 5.2 Negara Utama Penghasil Gracilaria, 2013 ................................................ 70
Gambar 5.3 Negara Utama Penghasil Eucheuma cottonii, 2013 .................................. 71
Gambar 5.4 Pemasok Rumput Laut (HS 121221) di Pasar Dunia (ton) ....................... 75

viii
Info Komoditi Rumput Laut

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Negara Pertanian Rumput Laut Untuk Karaginan


Utama Dunia, 2000-2010 ........................................................... 11
Tabel 2.2 Produksi Rumput Laut Basah Indonesia, 2011-2013 ................ 12
Tabel 2.3 Nilai Investasi untuk Metode Lepas Dasar ................................ 20
Tabel 2.4 Nilai Investasi untuk Metode Long Line ..................................... 21
Tabel 2.5 Nilai Investasi untuk Metode Rakit Apung ................................. 21
Tabel 3.1 Produksi, Serapan dan Ekspor Produk Olahan
Rumput Laut Nasional.............................................................. 27
Tabel 3.2 Hasil Olahan Rumput Laut ......................................................... 31
Tabel 3.3 Belanja Modal Pada Industri Pengolahan Rumput Laut dan
Peningkatan Tenaga Kerja di Sektor Pengolahan
Rumput Laut di Indonesia......................................................... 36
Tabel 3.4 Kebutuhan Rumput Laut Global Penghasil Karaginan dan
Agar-Agar (ton kering) .............................................................. 36
Tabel 3.5 Kebutuhan Investasi Usaha Karaginan Kapasitas 40 ton/hari... 37
Tabel 3.6 Kebutuhan Investasi Usaha Agar–Agar Kapasitas 12,5 ton/hari...38
Tabel 3.7 Analisa Kelayakan Usaha Karaginan Kapasitas 40 ton/hari...... 38
Tabel 3.8 Analisa Kelayakan Usaha Agar–Agar Kapasitas 12,5 ton/hari... 39
Tabel 4.1 Pangsa Pasar Perusahaan Pada Industri Agar-Agar, 2014 ...... 44
Tabel 4.2 Pangsa Pasar Perusahaan Pada Industri Karaginan, 2014 ...... 45
Tabel 4.3 Fungsi-Fungsi Pemasaran dalam Komoditi Rumput Laut ......... 52
Tabel 4.4 Biaya Pemasaran Rumput Laut menurut Jenis
Pola Pemasaran ........................................................................ 54
Tabel 4.5 Margin Pemasaran Rumput Laut Berdasarkan Pemasaran
Dalam Negeri dan Ekspor ......................................................... 54
Tabel 4.6 Biaya Logistik Rumput Laut ....................................................... 57
Tabel 4.7 Harga Rumput Laut Kering di Dalam Negeri ............................. 58
Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor Rumput Laut
Indonesia ................................................................................... 65
Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia
HS 10 digit (ribu ton) .................................................................. 66
Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia
Berdasarkan Negara Tujuan (ribu ton) ...................................... 67

ix
Info Komoditi Rumput Laut

Tabel 5.4 Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut (HS 1212209000),


2010-2014 .................................................................................. 67
Tabel 5.5 Perkembangan Volume Impor Rumput Laut Indonesia
HS 10 digit (ton) ......................................................................... 68
Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Rumput Laut Indonesia
Berdasarkan Negara Asal (ton) ................................................. 69
Tabel 5.7 Negara Asal Impor Karaginan (HS 1302391000), 2010-2014.... 70
Tabel 5.8 Perkembangan Impor Rumput Laut Dunia (ton) ........................ 72
Tabel 5.9 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121220) Dunia (ton) ................. 72
Tabel 5.10 Pemasok Rumput Laut (HS 121220) di Pasar Dunia (ton) ........ 73
Tabel 5.11 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121221) di Pasar Dunia (ton).... 74
Tabel 5.12 Pemasok Rumput Laut (HS 121229) di Pasar Dunia (ton)........ 75
Tabel 5.13 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121229) Dunia (ton) ................. 77
Tabel 5.14 Pemasok Agar-Agar (HS 130231) di Pasar Dunia (ton) ............ 75
Tabel 5.15 Pasar Impor Agar-Agar (HS 130231) Dunia (ton) ...................... 77
Tabel 5.16 Pemasok Karaginan (HS 130239) di Pasar Dunia (ton) ............ 78
Tabel 5.17 Pasar Impor Karaginan (HS 130239) Dunia (ton)....................... 79
Tabel 5.18 Skor Trade Intensity Index (TII) Indonesia untuk Ekspor
Rumput Laut (HS 121221), 2013 ............................................... 79
Tabel 6.1 Estimasi Produksi Olahan Rumput Laut Indonesia (ton) ........... 86
Tabel 6.2 Estimasi Produksi Rumput Laut Global Berdasarkan
Jenis (ton)................................................................................... 88
Tabel 6.3 Prediksi Kebutuhan Rumput Laut Global Penghasil Karaginan
dan Agar - Agar (ton kering) ..................................................... 88

x
Rumput Laut, Komoditas Potensial Yang Belum Termanfaatkan

BAB I
RUMPUT LAUT, KOMODITAS POTENSIAL YANG
BELUM TERMANFAATKAN
Ernawati Munadi
Rumput laut (seaweed) merupakan tumbuhan laut yang tergolong
dalam ganggang (alga) multiseluler divisi thallophyta. Tidak seperti
tanaman sempurna pada umumnya, rumput laut tidak memiliki akar,
batang dan daun. Rumput laut hidup di dasar samudera yang dapat
tertembus cahaya matahari sehingga memiliki beragam warna yang
kemudian digunakan untuk menggolongkan rumput laut1. Secara
umum, rumput laut yang dapat dimakan adalah jenis ganggang biru
(cyanophyceae), ganggang hijau (chlorophyceae), ganggang merah
(rodophyceae) dan ganggang coklat (phaeophyceae) (Atmadja, 2012).
Namun demikian, istilah rumput laut lebih sering digunakan untuk
alga merah dan alga coklat. Alga coklat yang merupakan sumber
alginat banyak hidup di wilayah perairan dingin (temperate regions).
Beberapa jenis alga coklat yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah
Sargasum dan Laminaria. Alga merah memiliki nilai ekonomi lebih
tinggi dibanding alga coklat. Alga merah umumnya lebih cocok hidup
pada iklim subtropis sehingga jenis alga merah ini tidak terdapat dalam
jumlah banyak di daerah-daerah yang memiliki iklim tropis termasuk
Indonesia. Beberapa jenis alga merah yang memiliki nilai komersial
adalah Phorphyra yang merupakan bahan baku makanan khas Jepang
nori/laver, Gelidium dan Gracilaria (menghasilkan agar-agar), dan
Eucheuma (menghasilkan karaginan). Namun, alga merah sebagai
sumber karaginan, agar-agar, dan fulcelaran banyak hidup di wilayah
perairan tropis (Dahuri, 2011).
Di banyak negara termasuk Indonesia, rumput laut saat ini
merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi
tinggi mengingat perannya yang sangat penting dalam berbagai
produk yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Dari
segi ekonomis, rumput laut merupakan komoditas potensial untuk
dikembangkan mengingat nilai gizi yang dikandungnya. Selain
itu, rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan makanan seperti
agar-agar, sayuran, kue dan menghasilkan bahan algin, karaginan
dan fulcelaran yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik,

1
Rumput laut merupakan jenis tumbuhan, maka rumput laut juga memiliki klorofil atau pigmen warna yang lain.

1
Ernawati Munadi

dan tekstil. Menurut Valderrama, et al., (2013), rumput laut juga


merupakan sumber makanan yang bisa dikonsumsi secara langsung,
sebagai makanan ternak, bahan baku pupuk, dan berbagai peran
penting sebagai bahan bahan baku dalam industri biofuel, kosmetik,
dan obat-obatan.

1.1 Beberapa Alasan Mengapa Rumput Laut merupakan Komoditas


Potensial bagi Ekspor Indonesia
Tingginya potensi Rumput Laut Indonesia untuk dikembangkan
tersebut, tidak hanya disebabkan karena rumput laut secara ekonomis
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, namun yang lebih penting lagi
Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi area penanaman
yang belum termanfaatkan yang mencapai hampir 50%. Total potensi
lahan rumput laut yang masih tersedia adalah sebesar 769,5 ribu Ha.
Saat ini lahan yang termanfaatkan hanya 384,7 ribu Ha (KKP, 2013).
Rumput laut sebagai komoditas, potensial untuk dikembangkan
juga karena teknik produksi budidaya rumput laut relatif mudah dan
murah dengan resiko gagal panen sangat rendah, produktivitas tinggi,
dan panen bisa dilakukan setiap 45-60 hari sekali atau sekitar 4 kali
panen dalam setahun. Harga jual rumput laut yang cukup tinggi juga
merupakan salah satu faktor pendorong untuk budidaya rumput laut2.
Usaha budidaya rumput laut juga dapat menyerap banyak tenaga
kerja dan menciptakan multiplier effects ekonomi yang besar dan luas
(Dahuri, 2011).
Kondisi ini didukung juga oleh kenyataan bahwa rumput laut Indonesia
mempunyai daya saing yang relatif cukup tinggi di kancah perdagangan
internasional. Hasil perhitungan terhadap nilai Trade Intensity Index (TII)
produk rumput laut Indonesia dibeberapa negara yang dibahas dalam
Bab V buku ini menunjukkan bahwa rumput laut Indonesia mempunyai
daya saing yang cukup tinggi, terutama di Spanyol.
Rumput laut umumnya diperdagangkan dalam bentuk: (1) rumput
laut kering, (2) produk yang dapat langsung dikonsumsi, dan (3)
produk hidrokoloid (karaginan, agar-agar, dan alginat). Dari seluruh
produksi rumput laut dunia, 65% merupakan jenis yang dapat langsung
dikonsumsi; 15% bahan hidrokoloid; dan 20% sebagai bahan pupuk,
kertas, biofuel (Dahuri, 2011).
Selama periode 2012-2014, rata-rata impor rumput laut dunia
mencapai 514,1 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya
2
Harga rumput laut bisa berkisar antara Rp 5.000–15.000/kg rumput laut kering (raw materials) di lokasi budi
daya (on farm), serta cenderung semakin mahal.

2
Rumput Laut, Komoditas Potensial Yang Belum Termanfaatkan

mencapai 2,93% per tahun. Kebutuhan rumput laut dunia juga diperkirakan
cenderung meningkat. Sebagai contoh selama periode 2012-2015,
kebutuhan rumput laut dunia terus meningkat dengan pertumbuhan
sebesar 39,6%, yaitu meningkat dari 86,4 juta ton kering pada tahun 2012
menjadi 120,6 juta ton kering pada tahun 2015 (KKP, 2013).
Selama periode tersebut (2010-2014), baik dari segi nilai
maupun volume ekspor, rumput laut Indonesia juga terus mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan nilai ekspor yang mencapai 14,04%
per tahun. Sementara pertumbuhan volume ekspor rumput laut
Indonesia mencapai 11,7% per tahun (BPS, 2015). Namun demikian,
tingginya potensi rumput laut tersebut ternyata belum sepenuhnya
diimbangi dengan usaha yang mampu memanfaatkan potensi tersebut
sehingga memberikan manfaat ekonomi yang maksimal bagi semua
stakeholders yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam industri budidaya rumput laut.

1.2 Produktivitas Rumput Laut di Indonesia yang Masih Relatif


Rendah
Dalam periode tahun 2000-2010, produksi rumput laut dunia
masih didominasi oleh lima negara penghasil utama dengan kontribusi
total yang mencapai 99,9% pada tahun 2000 dan sedikit menurun
kontribusinya menjadi 99,6% pada tahun 2010. Tahun 2000, kelima
negara penghasil rumput laut di dunia tersebut adalah Filipina,
Indonesia, Republik Tanzania, Kiribati dan Fiji dengan kontribusi
masing-masing sebesar 71,9%, 20,9%, 5,4%, 1,2% dan 0,6% (ITC,
2015). Namun tahun 2010 Indonesia berhasil menggeser posisi
Filipina dengan kontribusi sebesar 60,5% dan menempatkan Filipina
di urutan ke dua dengan kontribusi sebesar 31,9%. Malaysia, Republik
Tanzania, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) masing-masing berada
pada posisi ke 3, 4, dan 5 dengan kontribusi masing-masing sebesar
3,7%, 2,3% dan 1,1%.
Di Indonesia sendiri, produksi rumput laut meningkat cukup
signifikan dengan peningkatan mencapai 78,4% dari 5,2 juta ton basah
rumput laut pada tahun 2011 menjadi 9,2 juta ton pada tahun 2013.
Produksi rumput laut di Indonesia didominasi oleh kepulauan Sulawesi
dengan kontribusi mencapai 52,3% dari total produksi rumput laut
basah tahun 2013 mencapai 9,2 juta ton. Kontribusi ke dua berasal
dari Nusa Tenggara dan Bali mencapai 28,1% dari produksi rumput
kering basah nasional (KKP, 2014).

3
Ernawati Munadi

Meskipun merupakan produsen utama rumput laut di dunia,


ternyata rumput laut Indonesia belum diproduksi dalam kondisi yang
maksimal yang ditunjukkan oleh produktivitas yang masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Rendahnya produktivitas
rumput laut ini juga merupakan permasalahan utama produksi rumput
laut di Indonesia. Menurut Valderrama et al. (2013), produktivitas
rumput laut kering di Indonesia hanya sebesar 1,14 ton/km yang
merupakan angka terendah dibanding produktivitas di negara lain
yang bisa mencapai 4,55 ton/km di kepulauan Solomon. Sementara
itu Tanzania, India, dan Filipina mencapai masing-masing 2,35 ton/km,
1,665 ton/km dan Filipina 1,61 ton/km. Beberapa faktor yang diduga
berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas ini adalah kurangnya
pengetahuan dan keterampilan pelaku usaha di bidang rumput laut
serta rendahnya dukungan pemerintah terkait dengan infrastruktur dan
kebijakan (Wahyudin, 2013).

1.3 Industri Rumput Laut yang Kurang Berkembang


Menurut Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)
(2014), produksi rumput laut di Indonesia sebagian besar masih
diekspor yaitu sekitar 64,31% dari total produksi, sementara sisanya
35,69% dari total produksi diserap oleh industri rumput laut dalam
negeri. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya
serapan industri rumput laut dalam negeri antara lain adalah harga
rumput laut produksi dalam negeri yang lebih tinggi sehingga industri
pengolahan rumput laut kesulitan mendapatkan bahan baku dengan
harga yang murah.
Terbatasnya jumlah rumput laut produksi dalam negeri terjadi
karena produsen rumput laut menilai bahwa ekspor rumput laut
ke RRT lebih menguntungkan. Kebijakan Pemerintah RRT yang
memberi stimulus berupa pengembalian fiskal sebesar 15-35%
membuat industri rumput laut dalam negeri otomatis kalah bersaing
dalam mendapatkan bahan baku. Pemberian stimulus fiskal ini secara
tidak langsung juga menyebabkan importir RRT mampu membeli
dengan harga yang 15-35% lebih mahal sehingga produsen rumput
laut Indonesia lebih memilih menjual produk mentah ke RRT karena
ekspor rumput laut bebas. Dengan kata lain, pemberian insentif fiskal
itu, telah menyebabkan harga rumput laut lebih tinggi (jika diekspor
ke RRT) dibandingkan dijual di pasar dalam negeri. Kondisi ini
membuat pelaku industri rumput laut lokal harus membeli sesuai harga

4
Rumput Laut, Komoditas Potensial Yang Belum Termanfaatkan

pembelian yang secara tidak langsung ditentukan oleh RRT, dimana


pelaku usaha harus membayar 15-35% lebih tinggi dari harga rumput
laut sesungguhnya. Hal lain yang juga merupakan faktor rendahnya
serapan industri dalam negeri adalah industri rumput laut di Indonesia
yang masih relatif kurang berkembang sehingga produksi turunan
rumput laut kurang bervariasi (ASTRULI, 2014).
Data BPS (2015) menunjukkan bahwa selama periode 2008-
2010 sekitar 67% produksi rumput laut Indonesia di ekspor ke RRT.
Negara lain yang juga merupakan negara tujuan ekspor utama rumput
laut Indonesia adalah Filipina dengan pangsa 9,17%, Chili (4,31%),
Korea Selatan (4,16%), dan Vietnam (3,74%). Hong Kong, Perancis,
Denmark, Amerika Serikat, dan Inggris juga merupakan negara tujuan
ekspor Indonesia untuk rumput laut dengan pangsa yang lebih kecil
antara 0,52% hingga 1,87%.
Rendahnya produktivitas dan kurang berkembangnya industri
rumput laut tersebut mengindikasikan bahwa meskipun rumput
laut merupakan komoditas potensial, sektor ini belum berkembang
secara maksimal sejalan dengan potensinya. Belum lagi dengan
permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan kebijakan
pemerintah di dalam sektor rumput laut yang dianggap masih kurang
mendukung sektor ini dan belum komprehensif. Fakta-fakta tersebut
merupakan beberapa poin penting terkait rumput laut yang mungkin
belum banyak diketahui oleh pembaca secara umum. Berbagai
informasi penting tersebut selanjutnya dikupas secara lebih mendalam
dalam Info Komoditi Rumput Laut ini. Semoga informasi-informasi
tersebut dapat menjadi informasi yang bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya serta memberikan wawasan tentang Rumput Laut
khususnya.

DAFTAR PUSTAKA
ASTRULI. (2014). Roadmap Industri Rumput Laut Indonesia. Bahan
Presentasi Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)
tanggal 25 November 2014.
Atmadja, W., S. (2012). Apa Rumput Laut itu sebenarnya?. Diunduh pada
tanggal 12 Juli 2015 dari http://www.coremap.or.id/print/article.
php?id=264.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Statistik Ekspor Impor Indonesia 2015.
Dahuri (2011). Mengembangkan Industri Rumput Laut Secara Terpadu.
Samudra, Edisi 93 Januari 2011.

5
Ernawati Munadi

International Trade Center (ITC). (2015). Data Ekspor Impor Rumput Laut
Dunia HS 121220, HS 121221, HS 121229, HS 130231, HS 130239
Periode 2010-2014.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2013). Buku Saku: Informasi
Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Profile of Business
and Investment Oppotunities on Seaweed in Indonesia 4th Edition.
Direktorat Bisnis dan Investasi, Direktorat Jenderal Pemasaran dan
Pengolahan Produk Perikanan, kementerian Perdagangan.
Valderrama, D., J.Cai., N. Hishamunda., and N. Ridler. (2013). Social and
economic dimensions of carrageenan seaweed farming. Fisheries
and Aquaculture Technical Paper No. 580. Rome, FAO.
Wahyudin, Y. (2013). Nilai Sosial Ekonomi Rumput Laut: Studi Kasus
Kecamatan Tanimbar Selatan dan Selaru, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Majalah Ilmiah Globe Vol. 15 (1),
pp. 77-85.

6
Produksi Rumput Laut Indonesia

BAB II
PRODUKSI RUMPUT LAUT INDONESIA
Muhammad Fawaiq

2.1 Pendahuluan
Rumput laut (Seaweed) merupakan komoditi yang sangat penting
dewasa ini. Hal ini terlihat dari berbagai produk yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari yang menggunakan rumput laut
sebagai bahan bakunya. Rumput laut merupakan produk serbaguna
yang dapat digunakan langsung untuk dikonsumsi atau diolah menjadi
makanan tambahan, makanan ternak, pupuk, biofuel, kosmetik, obat-
obatan dan sebagainya (Valderrama, et. al., 2013). Berkembangnya
teknologi telah mendorong penggunaan produk ini menjadi lebih luas
sehingga mendorong permintaan dan produksi di berbagai negara.
Banyak negara menjadi produsen rumput laut dunia terutama
negara-negara yang memiki pesisir. Rumput laut berasal dari alam dan
hasil budidaya (aquaculture). Beberapa jenis rumput laut yang berasal
dari alam, yaitu Chondrus crispus yang diproduksi di Kanada, Irlandia,
Portugal, Spanyol dan Perancis, dan Gigartina yang diproduksi di
Amerika Selatan dan Eropa bagian selatan. Adapun rumput laut hasil
budidaya, terutama adalah K. alvarezii (secara komersial disebut
dengan cottonii) dan E. denticulatum yang dibudidayakan di negara-
negara tropis seperti Filipina, Indonesia, Malaysia dan Republik
Tanzania (Valderrama, 2013).
Rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia diklasifikasikan
berdasarkan warna yaitu: (1) rumput laut merah (Rhodophyceae),
rumput laut yang paling banyak ditemukan jenisnya di perairan
Indonesia yaitu sekitar 452 jenis; (2) rumput laut hijau (chlorophyceae),
ditemukan sekitar 196 jenis di perairan Indonesia; (3) rumput laut
coklat (Phaeophyceae) sekitar 134 jenis; dan (4) rumput laut pirang
(Chrysophyceae) (Suparmi, 2009).
Jenis rumput laut yang biasa dijadikan bahan makanan adalah alga
merah dan alga coklat. Alga merah merupakan jenis rumput laut yang
dikonsumsi sebagai makanan segar oleh masyarakat di Hawaii dan
digunakan sebagai salad, sup dan makanan diet rendah kalori (Kilinc,
et. al., 2013). Alga merah juga dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.
Rumput laut coklat kaya akan olysaccharides fucoidans sehingga
digunakan sebagai bahan baku industri. Produk utama yang dihasilkan

7
Muhammad Fawaiq

oleh rumput laut coklat ini adalah agar-agar, agaroses, algins, dan
carrageenans (Kilinc, et. al., 2013). Produk tersebut dijadikan bahan
baku pada berbagai Industri seperti farmasi, makanan dan produk
konsumen lainnya.
Beragamnya jenis rumput laut di Indonesia menunjukan besarnya
potensi pemanfaatannya secara ekonomi. Hal ini juga didukung oleh
luasnya daerah potensial untuk pembudidayaan rumput laut. Dengan
demikian, rumput laut dapat menjadi sumber mata pencaharian terutama
untuk masyarakat pesisir Indonesia karena menurut Valderrama et. al.
(2013) pembudidayaan rumput laut tidak membutuhkan modal yang
besar dan teknologi tinggi. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia.
Budidaya dan industri rumput laut menjadi penggerak utama
pembangunan ekonomi Indonesia (The Economist, 2013).
Namun demikian, pada praktiknya terdapat berbagai permasalahan
dalam produksi rumput laut (rumput laut kering). Permasalahan-
permasalahan tersebut seperti kurangnya informasi dan distorsi
harga, pendanaan dan produktivitas. Untuk itu, bab ini fokus pada
aspek produksi rumput laut kering (bahan baku) yang dibagi menjadi
beberapa subbab yaitu Peran Budidaya Dalam Produksi Rumput Laut
Dunia; Peran dan Produksi Indonesia; Budidaya dan Produktivitas;
Proses Produksi Rumput Laut Kering; Permasalahan dan Alternatif
Kebijakan dalam Produksi Rumput Laut Kering; Kebutuhan Investasi
Rumput Laut; dan Penutup.

2.2 Peran Budidaya dalam Produksi Rumput Laut Dunia


Velderrama, et al. (2013) menerangkan bahwa berdasarkan data
FAO tahun 2010, produksi rumput laut global meningkat dari hampir
4 juta ton basah tahun 1980 menjadi 20 juta ton basah tahun 2010.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa produksi rumput laut global tidak hanya
meningkat tetapi juga berubah sumbernya. Sumber produksi rumput
laut yang sebelumnya adalah pengumpulan dari alam berubah ke
budidaya3. Velderrama, et al. (2013) menerangkan bahwa terjadi
penurunan share dari rumput laut alam dari sebesar 28% tahun 1980
menjadi 4,8% tahun 2010. Produksi rumput laut dunia berdasarkan
jenis dan sumber ditunjukkan pada Gambar 2.1.

3
Pengertian budidaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah usaha yg bermanfaat dan memberi hasil.
Budidaya rumput laut pertama kali dilakukan oleh Marine Colloids Inc. dan University of Hawaii di Provinsi of Tawi-Tawi,
Filipina.

8
Produksi Rumput Laut Indonesia

20
All
18
Ciltivated, red
16
Cultivated, miscellaneous
14 Cultivated, brown
(Million wet tonnes)

12 Wild
10
8
6
4
2
0
1980

1985

1990

1995

2000

2005

2010
Gambar 2.1 Produksi Rumput Laut Dunia.
Sumber: Velderrama, et al. (2013)

Gambar 2.1 menjelaskan bahwa produksi rumput laut alam relatif


tidak mengalami peningkatan dari tahun 1980-2010, yaitu berada
pada kisaran kurang dari 2 juta ton basah. Hal ini berbeda dengan
rumput laut yang dibudidayakan (rumput laut jenis merah, coklat dan
lainnya) selalu mengalami tren meningkat dari tahun ke tahun (1980-
2010). Peningkatan produksi rumput laut merah budidaya dari tahun
1980 ke 2010 sebesar 1.400%. Produksi rumput laut merah sebesar
0,6 juta ton basah tahun 1980 menjadi 9 juta ton basah tahun 2010.
Untuk rumput jenis lainnya mengalami peningkatan sebesar 1.450%
(1980-2010). Produksi rumput laut lainnya ini sebesar 0,2 juta ton
basah tahun 1980 menjadi 3,1 juta ton pada tahun 2010. Untuk jenis
rumput laut coklat juga mengalami peningkatan produksi dari sebesar
2 juta ton basah tahun 1980 menjadi 6,8 ton basah tahun 2010 atau
mengalami peningkatan sebesar 240%.

2.3 Peran dan Produksi Indonesia


2.3.1 Sejarah Rumput Laut Indonesia
Rumput laut di Indonesia telah diidentifikasi oleh Max Weeber
sejak tahun 1899 melalui ekspedisi yang dikenal dengan Ekspedisi
Sibolga. Kemudian tahun 1928 Max Weeber dan Van Bose melakukan
klasifikasi spesies rumput laut (KKP, 2014). Pada tahun 1940 telah
dimulai pemasaran tipe cottonii dan spinosum dari Makasar dan
kemudian proses pengidentifikasian rumput laut juga dilakukan oleh

9
Muhammad Fawaiq

Zaneveld dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1968


dengan rumput laut yang teridentifikasi yaitu Eucheuma, Gracilaria,
Gelidium, Hypnea dan Sargassum (KKP, 2014a).
Selanjutnya tahun 1967, dilakukan simposium pertama mengenai
rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia di Pulau Pari (Wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu) oleh Prof. Soerjodinoto dan Hariadi
Adnan. Kemudian, sampai tahun 1974, rumput laut tipe cottonii yang
berasal dari Filipina dibudidayakan di Indonesia. Satu tahun kemudian,
LIPI memulai suatu proyek budidaya spinosum di Samaringga dan
Pulau Rio (Sulawesi), tetapi proyek tersebut gagal dan dihentikan.
Eksperimen dalam budidaya cottonii dilakukan di Bali pada tahun
1985 dengan hasil yang cukup bagus dan pada akhir tahun 1986,
Hans Porse memperkenalkan spesies rumput laut Eucheuma cottoni
dan E. spinosum pada simposium internasional yang dilaksanakan di
Brazil. Tahun 1994 Indonesian Seaweed Industry Association (APBIRI)
melaksanakan simposium rumput laut di Bali (Hans Poerse dalam
KKP, 2014a).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada era Presiden
Jokowi (2014-2019) menjadikan budidaya rumput laut sebagai salah
satu program untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat pesisir
Indonesia. Implementasi program tersebut yaitu pembagian zonasi
kawasan minapolitan rumput laut yang dibagi menjadi tiga zona
yang saling membutuhkan dan menguntungkan satu sama lain (KKP,
2014b). Zona satu adalah zona produsen yang menghasilkan bibit
rumput laut untuk dibudidayakan sampai siap panen. Zona dua adalah
zona kelembagaan ekonomi, dimana zona ini membuat kerjasama
dengan zona satu tentang pembelian hasil produksi rumput laut dan
menyediakan sarana produksi, sekaligus melakukan kontrol dan
pembinaan terhadap cara budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya
di zona satu. Zona tiga adalah zona industri pengolahan, membeli
rumput laut yang dikumpulkan dari zona dua sesuai standar yang
telah disepakati.

2.3.2 Kontribusi Rumput laut Indonesia di Pasar Dunia


Berdasarkan data FAO tahun 2014, kontribusi rumput laut budidaya
di dunia sudah sebesar 96% (Rebours, et al., 2014). Lebih lanjut
Rebours menjelaskan bahwa sebagian besar (99,05% dari kuantitas
dan 99,36% dari nilai) produksi rumput laut dunia berasal dari Asia.
Lima negara penghasil rumput laut dunia yaitu Indonesia, Filipina,

10
Produksi Rumput Laut Indonesia

Malaysia, Tanzania dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Kontribusi


kelima negara tersebut sebesar 99,6% tahun 2000 dan 99,9% tahun
2010. Kontribusi pertanian rumput laut untuk karaginan utama dunia
disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Negara Pertanian Rumput Laut Untuk Karaginan Utama


Dunia, 2000-2010
Tahun 2000 Tahun 2010
Kuantitas Kuantitas
5 Produsen Tertinggi (ribu ton Andil 5 Produsen Tertinggi (ribu ton Andil
basah) (%) basah) (%)

Dunia 944 100 Dunia 5 623 100


Filipina 679 71,9 Indonesia 3 399 60,5
Indonesia 197 20,9 Filipina 1 795 20,9
Republik Tanzania 51 5,4 Malaysia 208 3,7
Kiribati 11 1,2 Republik Tanzania 132 2,3
Fiji 5 0,6 RRT 64 1,1
Total 5 Tertinggi 943 99,9 Total 5 Tertinggi 5 599 99,6

Sumber: FAO FishStat (2010) dalam Velderrama, et. al. (2013)

Keterangan:
Rumput laut untuk karaginan yang sedang dibudidayakan termasuk Kappaphycus dan Eucheuma.

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa tahun 2000 posisi produksi rumput


laut Indonesia untuk karaginan masih berada dibawah Filipina,kemudian
Indonesia berubah menjadi penghasil utama dunia tahun 2010.
Kontribusi produksi rumput laut Indonesia berubah dari 20,9% pada
tahun 2000 menjadi 60,5% tahun 2010 karena peningkatan produksi
rumput laut yang signifikan di Indonesia pada rentang waktu tersebut.
Produksi rumput laut Indonesia sebesar 197 ribu ton tahun 2000
meningkat menjadi 3,39 juta ton tahun 2010 atau meningkat sebesar
1.625%. Hal ini tidak lepas dari semakin intensifnya pembudidayaan
rumput laut di Indonesia.

2.3.3 Produksi Indonesia


Total produksi rumput laut Indonesia terus mengalami peningkatan
dari 5,17 juta ton basah tahun 2011 menjadi 9,99 juta ton basah
tahun 2013 dengan peningkatan rata-rata (2011-2013) sebesar 34%.
Provinsi yang mengalami peningkatan produksi rumput laut tertinggi
adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan peningkatan
sebesar 121%, kemudian Provinsi Kalimantan Timur sebesar 73% dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 44%. Peningkatan ini
dapat disebabkan oleh program minapolitan yang dilaksanakan oleh

11
Muhammad Fawaiq

KKP (KKP, 2014b). Hal ini bertolak belakang dengan Provinsi Maluku
yang mengalami penurunan produksi rata-rata sebesar 2%. Turunnya
produksi rumput laut di Provinsi Maluku disebabkan oleh adanya
penyakit rumput laut (Puska Dagri, 2013). Data Produksi rumput laut
basah Indonesia disajikan pada Tabel 2.2 sebagai berikut.
Tabel 2.2 Produksi Rumput Laut Basah Indonesia, 2011-2013
Produksi (Ton Basah) Tren
No. Provinsi
2011 2012 2013 2011-2013 (%)
1 Bali 106.398 144.168 145.597 17
2 NTB 290.700 477.037 599.100 44
3 NTT 377.200 398.736 1.846.334 121
4 Kalimantan Timur 83.093 585.941 249.412 73
5 Sulawesi Utara 98.838 159.909 164.021 29
6 Gorontalo 89.149 95.442 103.924 8
7 Sulawesi Tengah 758.910 991.590 1.233.058 27
8 Sulawesi Selatan 1.506.264 2.104.446 2.422.154 27
9 Sulawesi Tenggara 586.965 639.192 917.363 25
10 Maluku 610.365 474.167 583.351 (2)
11 Lainnya 662.949 915.683 960.392 20
Total 5.170.831 6.986.311 9.224.706 34
Sumber: KKP (2014a)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Umum Asosiasi


Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI), angka produksi rumput
laut basah pada Tabel 2.2 tersebut dianggap terlalu besar. Dalam
hal angka produksi nasional, ASTRULI menggunakan data dari
Anggadiredja (2011). Menurut data yang digunakan ASTRULI tersebut,
produksi total rumput laut kering pada tahun 2009 sebesar 190.110
ton, tahun 2010 turun menjadi 172.700 ton dan pada tahun 2011 naik
menjadi 184.800 ton. Dijelaskan juga oleh Ketua Umum ASTRULI
bahwa perbandingan nilai produksi antara data Tabel 2.24 dengan
Anggadiredja (2011) terlalu besar selisihnya. Lebih lanjut diungkapkan
bahwa terdapat perbedaan data dalam hal produksi rumput laut antara
pemerintah (KKP) dengan Asosiasi (ASTRULI) sehingga diperlukan
penyeragaman data untuk masa yang akan datang.

2.4 Budidaya dan Produktivitas


2.4.1 Metode Budidaya
Budidaya rumput laut di Indonesia dibagi ke dalam beberapa
metode yaitu metode lepas dasar, tali gantung dan rakit apung.
Penerapan metode-metode tersebut disesuaikan dengan masing-
4
Jika dikonversi menjadi rumput laut kering dengan konversi menurut ASTRULI yaitu 1:8 maka total produksi rumput laut kering
berdasarkan Tabel 2.2 menjadi 646.353, 88 ton (2011), 838.288,88 ton (2012) dan 1.153.088 ton (2013).

12
Produksi Rumput Laut Indonesia

masing karakteristik topografi pesisir setiap wilayah. Penjelasan setiap


metode tersebut adalah sebagai berikut (WWF, 2014):

a. Metode Lepas Dasar


Dengan metode lepas dasar ini, bibit diikatkan di batu-batu karang
yang kemudian disebarkan pada dasar perairan. Beberapa persyaratan
daerah penanaman untuk menggunakan metode ini yaitu dasar
perairan yang rata, tidak ditumbuhi karang dan tidak berpasir. Metode
ini tergolong mudah untuk diterapkan serta dan tidak memerlukan
peralatan yang rumit. Oleh karena beberapa persyaratan topografi
daerah seperti areal yang terbuka terhadap ombak dan arus dimana
terdapat potongan-potongan batu karang yang kedudukannya sebagai
substrant yang kokoh dan tidak terbawa oleh arus, maka metode ini
jarang diterapkan (Bisnis Rumput Laut, 2014). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa kelemahan lain dari metode ini adalah mudahnya bibit terbawa
ombak, metode ini tidak bisa diterapkan di perairan berpasir dan
banyak mendapat gangguan/serangan dari bulu babi. Daerah-daerah
di Indonesia yang menerapkan metode ini adalah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Bali (Valderrama, et. al., 2015). Konstruksi
sarana budidaya dalam metode lepas dasar ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Ilustrasi Konstruksi Budidaya Rumput Laut dengan


Metode Lepas Dasar.
Sumber: WWF (2014)

b. Metode Rakit Apung


Rakit apung yang digunakan dalam metode ini terbuat dari bambu
berukuran antara (2,5x 2,5) meter persegi sampai (7 x 7) meter persegi.
Untuk memperkuat posisi rakit, digunakan jangkar sebagai penahanan
atau diikat pada patok kayu yang ditancapkan di dasar laut. Ombak,

13
Muhammad Fawaiq

arus serta pasang surut air laut merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan dalam metode ini. Seperti halnya metode budidaya
lainnya, metode ini juga dipengaruhi oleh topografi daerah penanaman
yaitu daerah perairan dengan kedalaman 60 cm. Daerah-daerah di
Indonesia yang menerapkan metode ini adalah Sulawesi Selatan,
NTT dan beberapa daerah lainnya. Konstruksi sarana budidaya dalam
metode rakit apung adalah sebagai berikut.

Gambar 2.3 Ilustrasi Konstruksi Budidaya Rumput Laut dengan


Metode Rakit Apung.
Sumber: WWF (2014)

c. Metode Tali Gantung (long line).


Pada penanaman dengan metode tali gantung, tanaman yang
sebelumnya diikatkan pada tali ris kemudan diikatkan ke tali ris utama
dengan simpul tertentu yang mudah dibuka kembali. Tali ris utama
yang terbuat dari bahan polyetilen berdiameter 8 mm direntangkan
pada patok kayu. Jarak tiap tali ris pada tali ris utama 20 cm. Patok
t kayu ini berdiameter 5 cm sepanjang 2 m dan runcing pada salah
satu ujungnya. Untuk menancapkan patok di dasar perairan diperlukan
linggis atau palu besi. Jarak tiap patok untuk merentangkan tali
ris utama 2,5 m. Dengan demikian pada petakan budidaya dengan
metode ini, misalnya seluas satu are (100 m2) dibutuhkan 55 batang
patok, 60 m tali ris utama dan 600 m tali ris dan 1 kg tali rafia. Untuk
satu unit budidaya rumput laut sistem tali gantung ukuran 10 x 10 m2
diperlukan bibit sebanyak 240 kg (WWF, 2014). Daerah di Indonesia
yang menerapkan metode ini adalah di Provinsi Sulawesi Tenggara

14
Produksi Rumput Laut Indonesia

(Rujiman, Aslan & Sabilu,2013). Konstruksi sarana budidaya dalam


metode tali gantung adalah sebagai berikut (WWF, 2014):

Gambar 2.4 Ilustrasi Konstruksi Budidaya Rumput Laut dengan


Metode Tali Gantung.
Sumber: WWF (2014)

2.4.2 Perbandingan Metode Budidaya dengan Negara Lainnya


Terdapat dua metode budidaya rumput laut yang sering digunakan
oleh petani di negara-negara penghasil rumput laut yaitu metode lepas
dasar dan metode rakit apung (Valderrama, et. al., 2015). Lebih lanjut
Valderrama, et. al. mendeskripsikan perbandingan metode budidaya
yang digunakan oleh masing-masing negara sebagai berikut:
a. Indonesia
Budidaya rumput laut di Indonesia menggunakan tiga metode
yaitu lepas dasar, rakit apung dan metode tali gantung.
b. Filipina
Metode yang diterapkan di Filipina adalah metode multi raft long
line farm (MRLL) dengan area seluas 10 x 50 m (sekitar 2 km dari
garis penanaman). Metode ini merupakan metode yang inovatif
yang dapat diterapkan pada wilayah dengan kedalaman air kurang
dari 5 m.
c. Tanzania
Terdapat dua metode yang digunakan di Tanzania yaitu 30 x 10-m
off-bottom dan 27 x 12-m tali apung.

15
Muhammad Fawaiq

d. India
Metode rakit apung dengan ukuran 3 x 3 m. Siklus produksi yaitu
45 hari dengan total produksi 270 hari produksi per tahun.
Berdasarkan metode yang digunakan dibanyak negara tersebut,
negara dengan biaya termurah sampai tertinggi secara berurutan
adalah Meksiko, Indonesia, Kepulauan Solomon, Filipina, India dan
Tanzania (Valderrama et al.,2015).

2.4.3 Perbandingan Produktivitas Rumput Laut Indonesia dan


Negara Lainnya
Valderrama et al. (2013) melakukan studi kasus pada beberapa
daerah di Indonesia dan negara penghasil rumput laut lainnya.
Produktivitas rumput laut pada studi kasus dihitung berdasarkan jumlah
ton rumput laut kering dibandingkan dengan panjang penanaman
dalam km.

Gambar 2.5 Produktivitas Penanaman Rumput Laut di Indonesia


dan Dunia.
Sumber: Valderrama et. al. (2013)

Rata-rata produktivitas rumput laut kering di Indonesia berdasarkan


Gambar 2.5 adalah 1,14 ton/km. Angka ini merupakan angka terendah
jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas negara penghasil
lainnya di dunia. Negara dengan produktivitas tertinggi adalah
Kepulauan Solomon (4,55 ton/km), disusul Tanzania sebesar 2,35
ton/km, India sebesar 1,66 ton/km dan Filipina dengan produktivitas

16
Produksi Rumput Laut Indonesia

sebesar 1,61 ton/km. Rendahnya produktivitas budidaya rumput laut


dapat disebabkan beberapa faktor diluar faktor lingkungan seperti faktor
pengetahuan, keterampilan dan budaya usaha pelakunya, disamping
perlunya dukungan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dan
kebijakan (Wahyudin, 2013).
Metode lepas dasar (off-bottom) memiliki produktivitas tertinggi ke
tiga diterapkan di Kepulauan Solomon. Produktivitas budidaya rumput
laut di Kepulauan Solomon dengan menggunakan metode ini adalah
5,43 ton/km. Tingginya produktivitas metode lepas dasar di Kepulaan
Solomon disebabkan kesesuaian jenis pantai di negara ini. Metode
lepas dasar ini juga memberikan produktivitas tertinggi dibandingkan
dengan metode budidaya lainnya ketika diterapkan di Indonesia (Bali).

2.5 Proses Produksi Rumput Laut Kering


Untuk menghasilkan rumput laut kering dengan metode-metode
penanaman yang telah dideskripsikan sebelumnya, terdapat beberapa
proses seperti pendanaan, produksi dan penjualan yang menunjukkan
hubungan antara tengkulak (peminjam uang) dengan petani. Zamroni
dan Yamao (2012) menggambarkan proses tersebut berdasarkan hasil
studi lapangan di Teluk Laikang.

Middlemen (punggawa)

45 days
Lending Direct Planting
money Harvesting Dried
application The
Seaweed Seaweed

Seaweed farmers (sawi)

Lending process Production Selling process

Gambar 2.6 Proses Produksi Rumput Laut Kering.


Sumber: Zamroni dan Yamao (2012

Gambar 2.6 menunjukkan bahwa sebelum melakukan penanaman


rumput laut, petani meminjam dana dari punggawa. Setelah
mendapatkan dana dimulailah proses produksi yang terdiri dari
penanaman rumput laut kemudian dipanen dan menghasilkan rumput
laut (setelah proses pengeringan) dengan waktu panen selama 45
hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan ASTRULI, panen rumput
laut tidak selalu 45 hari, tetapi tergantung pada daerah dan musim
sehingga lama panen rumput laut ini berkisar antara 45-60 hari.

17
Muhammad Fawaiq

Rumput laut yang baru dipanen tersebut tidak boleh diletakkan pada
tempat gelap tetapi harus langsung kemudian dikeringkan dengan cara
dijemur karena akan mempengaruhi warna akhir rumput laut (KPAD
Nunukan, 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa waktu terbaik untuk
menjemur rumput laut yang baru dipanen dilakukan antara pukul 6.30
pagi sampai 5 sore.
Setelah mendapatkan rumput laut kering, petani akan
mengembalikan uang kepada tengkulak dan juga menjual hasil
panennya ke tengkulak. Zamroni dan Yamao (2012) menerangkan
bahwa tengkulak memegang peranan penting terutama dalam
menyediakan kebutuhan dana yang dibutuhkan oleh petani secara
cepat serta mengumpulkan dan membeli rumput laut kering dari petani.

2.6 Kebijakan dalam Produksi Rumput Laut Kering


Valderrama, et. al (2015) mengidentifikasi beberapa permasalahan
dalam produksi rumput laut kering di Indonesia. Permasalahan-
permasalahan tersebut antara lain kurangnya informasi mengenai
harga dan rendahnya produktivitas. Data penelitian Valderrama, et.
al (2013) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 menunjukkan
rendahnya produktivitas rumput laut Indonesia. Permasalahan lainnya
terkait dengan aspek pendanaan ditemukan oleh Zamroni dan Yamao
(2012). Permasalahan tersebut adanya ketergantungan petani pada
tengkulak.
Kurangnya informasi mengenai harga berdampak pada fluktuasi
harga di pasar. Fluktuasi harga tertinggi pernah terjadi tahun 2008 yang
ditandai dengan terjadinya seaweed price bubble dengan kenaikan
harga rumput laut kering sebesar tiga kali lipat di Indonesia. Kondisi
ini disebabkan melonjaknya permintaan dari RRT diluar harga pada
umumnya dan kemudian harga menurun beberapa bulan kemudian.
Hal ini menyebabkan petani di Indonesia memanen rumput lautnya
sebelum masa panen.
Dalam hal informasi dan mengantisipasi distorsi harga, maka
Kementerian Perdagangan telah melaksanakan program resi gudang
(Kemendag, 2013). Perkembangan program resi gudang rumput laut,
khususnya di Sulawesi Selatan belum terlaksana dengan baik dengan
rendahnya pemanfaatannya yang hanya 420 ton, sedangkan ekspor
daerah ini sampai dengan Oktober 2014 mencapai 95.462 ton (CNN
Indonesia, 2014). Lebih lanjut menurut Kemendag (2013), kurang
optimalnya pelaksanaan resi gudang ini disebabkan karena terbatasnya

18
Produksi Rumput Laut Indonesia

pemahaman terhadap Sistem Resi Gudang (SRG), infrastruktur


fasilitas gudang masih terbatas, kurangnya peran Pemerintah Daerah,
serta fasilitas pembiayaan yang masih terbatas untuk mendukung
implementasi SRG. Selain itu, tren harga rumput laut umumnya tidak
menunjukkan pola yang jelas sehingga apabila komoditas tersebut
diresigudangkan penuh dengan resiko bagi pemilik komoditas.
Untuk meningkatkan produktivitas budidaya rumput laut,
Wahyudin (2013) mengusulkan beberapa hal yang berhubungan
dengan dukungan pemerintah, yaitu: (1) pemerintah diharapkan
dapat membuat peraturan tentang standar kualitas perairan laut
untuk budidaya; (2) pemerintah diharapkan menyediakan kebun bibit
sebagai antisipasi atas maraknya penyakit “aisais” yang disinyalir
merupakan dampak penggunaan berulang dari bibit yang diusahakan;
(3) harga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas produksi
rumput laut, bahkan bilamana diperlukan dapat dibuatkan pabrik
pengolahan rumput laut untuk mengantisipasi ketidakpastian jalur
distribusi/transportasi kapal ferry; (4) pelatihan perlu dilakukan untuk
meningkatkan kapasitas pengetahuan dan kapabilitas kinerja para
pembudidaya rumput laut; (5) efisiensi kerja dapat ditingkatkan dengan
memberikan dana pinjaman lunak untuk transportasi lokal sehingga
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan profit usaha.
Kebijakan-kebijakan tersebut juga dilakukan di Malaysia.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dalam budidaya rumput
laut di negaranya, Pemerintah Malaysia telah melakukan program
peningkatan kapasitas (Hussin, et.al., 2015). Pengembangan
kapasitas tersebut dilakukan dalam bentuk membangun sistem
mini estate dan sistem cluster, penggunaan pupuk, penggunaan
mesin pemanen, penggunaan pengering bertenaga surya serta
teknik pembenihan. Pengembangan kapasitas ini telah berhasil
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman petani di Sabah,
Malaysia Timur. Adapun kebijakan yang telah dilakukan di Indonesia
adalah program zonasi minapolitan yang dilaksanakan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Aspek pendanaan juga penting dalam hal ini karena para petani
sangat tergantung pada tengkulak untuk mendapatkan pendanaan.
Tengkulak juga yang membeli rumput laut kering dari petani. Hal ini
disebabkan karena rendahnya pendidikan dan pengetahuan petani
(Zamroni dan Yamao, 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa peran dari
tengkulak ini akan terus berlangsung selama belum ada kebijakan dari

19
Muhammad Fawaiq

pemerintah pusat terkait dengan implementasi dari rantai pasar yang


efektif di tingkat lokal (Zamroni dan Yamao, 2012).

2.7 Kebutuhan Investasi Rumput Laut


Valderrama, et al (2015) membandingkan biaya investasi
dalam penanaman rumput laut dalam berbagai metode penanaman
dibeberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Tanzania, India,
Kepulauan Solomon dan Meksiko. Dari hasil penelitian Valderrama,
et al tersebut ditemukan bahwa nilai investasi untuk setiap meter
penanaman rumput laut di Indonesia, Tanzania dan India sekitar USD
0,27 per meter. Untuk Filipina, nilai investasinya mencapai USD 1
per meter. Lebih lanjut dijelaskan bahwa biaya penanaman termurah
adalah di Tanzania dan biaya penanaman tertinggi adalah di Meksiko
dan Kepulauan Solomon dengan nilai investasi mencapai USD 1,4 per
meter.
Neish (2013), seperti yang dikutip oleh Valderrama, et al (2015)
menghitung nilai investasi penanaman rumput laut di Indonesia. Nilai
Investasi setiap metode budidaya rumput laut di Indonesia adalah
berbeda-beda. Adapun nilai investasi setiap metode tersebut adalah
sebagai berikut.

Tabel 2.3 Nilai Investasi untuk Metode Lepas Dasar


Jumlah Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

Patok kayu (unit) 80 2.000 160.000


Pelampung botol mineral (buah) 200 500 100.000
Tali PE No.2 (gulung) 6 55.000 330.000
Tali PE No.4 (gulung) 5 90.000 450.000
Tali PE No.6 (1 kg) 1 75.000 75.000
Perahu (unit) 1 500.000 500.000
Peralatan Kerja (paket) 1 250./000 250.000
Para-para 6 x 4 m (unit) 1 1.500.000 1.500.000
Total biaya tetap 3.365.000
Biaya tidak tetap
Bibit (kg) 500 5.000 2.500.000
Biaya pengikatan bibit
Biaya perawatan 100.000
Biaya panen, jemur dan packing 100.000
Total biaya tidak tetap 2.800.000
Total Biaya Produksi 2.800.000
Total Pengeluaran 3.070.625
Pendapatan
Panen (kg kering) 438 10.000 4.380.000
Keuntungan 1.580.000

Sumber: WWF (2014)

Catatan: Bibit yang digunakan adalah bibit sascol dengan harga yang berlaku di Alor, NTT.

20
Produksi Rumput Laut Indonesia

Tabel 2.4 Nilai Investasi untuk Metode Long Line


Jumlah Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
Biaya Tetap
1. Jangka dan pemberat (unit) 20 150.000 3.000.000
2. Tali PE 12 mm (kg) 40 35.000 1.400.000
3. Tali PE 8 mm (kg) 30 35.000 1.050.000
4. Tali PE 1 mm (kg) 10 35.000 350.000
5. Pelampung botol 500 300 150.000
6. Pelampung bola/jerigen 10 100.000 1.000.000
7. Perahu 1 1.000.000 1.000.000
8. Peralatan Kerja (paket) 1 1.000.000 1.000.000
9. Para-para 6 x 4 (unit) 1 1.500.000 1.500.000
Sub Total 10.450.000
Biaya Tidak Tetap
10. Beli bibit (kg) 2.000 2.500 5.000.000
11. Biaya pengikatan bibit 300.000
12. Biaya panen, jemur dan packing 500.000
13. Biaya lain-lain 1 siklus 1.000.000
Sub Total 6.800.000
TOTAL 17.250.000
Pendapatan
Penjualan Kotoni kering (kg) 2.000 11.000 22.000.000
Panen basah 16 Ton = 2 Ton kering
Keuntungan 4.750.000

Sumber: WWF (2014)


Catatan: Bibit yang digunakan adalah bibit Cottonii dengan harga yang berlaku di Makassar.

Tabel 2.5 Nilai Investasi untuk Metode Rakit Apung


Jumlah Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
Biaya Tetap
1. Jangka / pemberat (unit) 12 150.000 1.800.000
2. Tali PE 12 mm tali jangkar (kg) 10 35.000 350.000
3. Tali PE 8 mm tali bentangan (kg) 30 35.000 1.050.000
4. Tali PE 1 tali coban mm (kg) 10 35.000 350.000
5. Pelampung botol 500 300 150.000
6. Bambu rakit panjang 25 m (batang) 40 35.000 1.400.000
7. Perahu 1 1.000.000 1.000.000
8. Peralatan Kerja (paket) 1 1.000.000 1.000.000
9. Para-para 6 x 4 (unit) 1 1.500.000 1.500.000
Sub Total
Biaya Tidak Tetap
10. Beli bibit (kg) 2.000 2.500 5.000.000
11. Biaya pengikatan bibit 300.000
12. Biaya panen, jemur dan packing 500.000
13. Biaya lain-lain 1 siklus 1.000.000
Sub Total 6.800.000
TOTAL 15.400.000
Pendapatan (4 unit rakit)
Penjualan Kotoni kering (kg) 2.000 11.000 22.000.000
Keuntungan 6.600.000

Sumber: WWF (2014)


Catatan: Bibit yang digunakan adalah bibit Cottonii dengan harga yang berlaku di Makassar.

21
Muhammad Fawaiq

2.8 Penutup
Kontribusi Indonesia pada perdagangan internasional rumput
laut kering sudah mencapai 60,5% tahun 2010. Kontribusi tersebut
diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan perhatian
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dengan program minapolitannya. Program ini telah berhasil
meningkatkan produksi rumput laut di NTT secara signifikan.
Dalam perkembangan budidaya rumput laut di Indonesia, terdapat
beberapa permasalahan penting seperti kurangnya informasi dan
distorsi harga, rendahnya produktivitas Indonesia dibandingkan
negara-negara penghasil rumput laut lainnya, dan akses petani ke
sumber pendanaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat
lakukan kegiatan-kegiatan seperti resi gudang, capacity building, dan
penguatan peran pemerintah pada pendanaan usaha mikro.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadireja. (2011). Kajian Strategi Pengembangan Industri Rumput


Laut dan Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan. BPPT.
Bisnis Rumput Laut. (2015). 3 Macam Metode Budidaya Rumput Laut.
Diunduh 4 Juni 2015 dari http://www.bisnisrumputlaut.com/.
CNN Indonesia. (2014). Sistem Resi Gudang Rumput Laut Tidak Laku.
Diunduh 29 September 2015http://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20141226170442-92-20649/sistem-resi-gudang-
rumput-laut-tidak-laku/.
FAO.(2010). Cultured aquatic species information programme.
Eucheuma spp.Cultured Aquatic Species Information
Programme. FAO Fisheries and Aquaculture Department.
Rome. Updated 13 January 2005.
Hussin, R., Suhaimi., Yasir., V. Kunjuraman dan A. Hossin. (2015).
Enhancing Capacity Building in Seaweed Cultivation System
among the Poor Fishermen: A Case Study in Sabah, East
Malaysia. Asian Social Science; Vol. 11 (18).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014a). Profile of
Business and Investment Oppotunities on Seaweed in
Indonesia 4th Edition. Direktorat Bisnis dan Investasi, Direktorat
Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Produk Perikanan, KKP.

22
Produksi Rumput Laut Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014b). Komoditas


Rumput Laut Kian Strategis. Pusat Data Statistik dan Informasi.
KKP.
Kementerian Perdagangan (Kemendag). (2013). Memo Kebijakan:
Upaya Peningkatan Efektivitas Sistem Resi Gudang Rumput
Laut di Daerah Tertinggal. Diundu pada tanggal 11 Agustus
2015 dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/01/07/
memo-kebijakan-rumput-laut-id0-1357539890.pdf.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2012). Master Plan
Program Kawasan Budidaya Laut, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. KKP.
Kılınc, B., Semra C., Gamze T., Hatice T., and Edis K. (2013). Seaweeds
for Food and Industrial Applications. Diunduh 10 Agustus 2015
dari http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/41694.pdf.
KPAD Nunukan. (2012). Penanganan Pasca Panen Rumput Laut.
Diundu pada tanggal 29 September 2015 dari http://kpad.
nunukankab.go.id/php/index. php/pembinaan-dokumen/105-
artikel/208-penanganan-pasca-panen-rumput-laut.
Neish, I.C. (2013) Social and economic dimensions of carrageenan
seaweed farming in Indonesia. In D. Valderrama, J. Cai,
N. Hishamunda, & N. Reidler (Eds.), Social and Economic
Dimensions of Carrageenan Seaweed Farming (pp. 61–89).
Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 580. FAO,
Rome, Italy.
Puska Dagri. (2013). Kajian Rumput Laut di Indonesia. Pusat kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan.
Jakarta.
Rebours, C., E.M. Soriano, J.A.Z. González, L. Hayashi, J.A. Vásquez,
P. Kradolfer, G. Soriano, R. Ugarte, M.H. Abreu, I.B. Larsen,
G. Hovelsrud, R. Rødven, and D. Robledo. (2014). Seaweeds:
an Opportunity for Wealth and Sustainable Livelihood for
Coastal Communities. Springerlink.
Rujiman, L.O.M., L.O.N. Aslan, dan K. Sabilu. (2013). Pengaruh
Jarak Tali Gantung dan Jarak Tanam yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Strain
Hijau Melalui Seleksi Klon Dengan Menggunakan Metode
Vertikultur (Periode I - III). Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 3
(12), pp: 22-35.

23
Muhammad Fawaiq

Suparmi, dan Achmad Sahri. (2009). Mengenal Potensi Rumput Laut:


Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut dari Aspek
Industri dan Kesehatan. Jurnal Sultan Agung Vol. 154 (118):
95 – 116.
The Economist. (2013). Farming the Alor islands: One man’s weed.
The Economist.Diundu pada tanggal 11 Agustus 2015 dari
http://www.economist.com/blogs/banyan/2013/12/farming-
alor-islands.
Valderrama, D., J.Cai., N. Hishamunda., and N.Ridler. (2013). Social
and economic dimensions of carrageenan seaweed farming.
Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 580. Rome,
FAO.
Valderrama, D., J. Cai, Hishamunda, N. Ridler, C. Neish, A.Q. Hurtado,
F.E. Msuya, M. Krishnan, R. Narayanakumar, M. Kronen, D.
Robledo, E. Gasca-Leyva and J. Fraga. (2015). Aquaculture
Economics & Management, 19 :251–277.
Wahyudin, Y. (2013). Nilai Sosial Ekonomi Rumput Laut: Studi Kasus
Kecamatan Tanimbar Selatan dan Selaru, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Majalah Ilmiah Globe Vol. 15
(1), pp. 77-85.
Warta Ekspor. (2013). Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan.
WWF. (2014). Better Management Practices Seri Panduan Perikanan
Skala Kecil Budidaya Rumput Laut - Kotoni (Kappaphycus
alvarezii), Sacol (Kappaphycus striatum) dan Spinosum
(Eucheuma denticulatum). WWF-Indonesia.
Zamroni, A., and M. Yamao. (2012). An assessment of farm-to-market
link of Indonesian dried seaweeds: Contribution of middlemen
toward sustainable livelihood of small-scale fishermen in
Laikang Bay. African Journal of Agricultural Research Vol.
7(30), pp.4198-4208.

24
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

BAB III
KONSUMSI DAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT

Ratna A. Carolina

3.1 Pendahuluan
Rumput laut merupakan tanaman laut yang banyak tumbuh di
perairan Indonesia. Berdasarkan pigmen yang terkandung didalamnya,
rumput laut dapat dibedakan menjadi 4 kelas, yakni rumput laut merah
(Rhodophyceae), rumput laut hijau (Chlorophyceae), rumput laut coklat
(Phaeophyceae)dan rumput laut pirang (Chrysophyceae) (Suparmi
dan Sahri, 2009).
Jika diklasifikasikan berdasarkan kandungan koloid didalamnya,
maka rumput laut terbagi atas 3 jenis yakni: (1) Agarophyte, jenis
rumput laut yang menjadi bahan baku agar, seperti Gracilaria, Gelidium
dan Gelidiella; (2) Carrageenophyte, merupakan jenis rumput laut
yang banyak mengandung Carrageenan polysaccharides, diantaranya
adalah Eucheuma; dan (3) Alginophyte, merupakan bagian dari jenis
rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang menghasilkan alginate
(Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP, 2014).
Ketiga jenis rumput laut tersebut telah dibudidayakan dan
diperdagangkan secara luas di Indonesia, dan merupakan bahan baku
dari berbagai industri karena merupakan sumber karaginan (tepung
rumput laut), agar–agar dan alginat, yang cocok digunakan untuk
bahan baku industri makanan, pelembut rasa, pencegah kristalisasi
es krim dan obat–obatan. Selain itu, rumput laut di Indonesia juga
dapat digunakan sebagai bahan baku benang jahit operasi (sea cut-
gut), dekorasi porselen (pengikat warna dan plasticizer), industri kain
(pengikat warna), industri kertas (lackuer dan penguat serta pelican
kertas), industri fotografi (pengganti gelatin), bahan campuran obat
(obat penyakit: gondok/basedow, rheumatic, kanker, bronchitis kronis/
emphysema, scrofula, gangguan empedu/kandung kemih, ginjal,
tukak lambung/saluran cerna, reduksi kolesterol darah, anti hipertensi,
menurunkan berat badan, anti oksidan), sebagai bahan bakar biofuel
dan lain sebagainya (Warta Ekspor, 2013).
Rumput laut Indonesia diyakini memiliki kualitas yang lebih baik
dibandingkan dengan rumput laut yang berasal dari negara–negara
produsen lainnya. Selain karena pembudidayaannya dilakukan
dengan cara yang baik dan benar, iklim geografis Indonesia, termasuk

25
Ratna A. Carolina

diantaranya sinar matahari, arus, tekanan dan kualitas air serta kadar
garam, sesuai dengan kebutuhan biologis dan pertumbuhan rumput
laut (Warta Ekspor, 2013). Dengan kondisi iklim yang dimiliki ini, rumput
laut mampu menyerap sinar matahari dan nutrisi air laut secara optimal
dan menghasilkan rumput laut yang kaya akan polysaccharide (agar–
agar dan lemak), phaeophyceae (alginat), chlorophyceae (kanji dan
lemak). Hal ini ditunjukkan dengan adanya kontrak pembelian rumput
laut kering sebesar USD 58 juta yang berasal dari Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) dan Singapura pada Agustus 2015. Kementerian
Perdagangan menyebutkan bahwa Indonesia merupakan supplier
utama untuk rumput laut kering dengan pangsa sebesar 26,5%, disusul
dengan Chili (16,7%), Korea Selatan (16,1%), RRT (7,9%), dan Filipina
(5,8%) (Kompas.com, 2015).
Rumput laut juga merupakan salah satu sumber serat pangan yang
berasal dari tanaman air. Serat merupakan salah satu hal penting dalam
pangan yang berfungsi untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan
fungsi pencernaan. Saat ini konsumsi serat pangan di Indonesia masih
didominasi oleh sumber serat yang berasal dari tanaman darat seperti
umbi-umbian, buah, serealia dan kacang-kacangan, karena relatif
lebih mudah diperoleh dengan harga yang lebih murah. Sementara
itu, penggunaan sumber serat yang berasal dari tanaman air masih
terbatas. Rumput laut, memiliki kandungan polisakarida yang cukup
besar dan merupakan bahan yang potensial sebagai sumber serat
pangan. Jika dibandingkan dengan bahan pangan yang berasal dari
tumbuhan darat, kandungan serat total rumput laut relatif lebih tinggi
(Dwiyitno, 2011).
Rumput laut dapat dikonsumsi secara langsung maupun diolah
menjadi produk olahan lainnya. Di beberapa daerah di Indonesia,
beberapa jenis rumput laut telah dimanfaatkan secara turun-temurun
oleh masyarakat pesisir, baik untuk dikonsumsi secara langsung dalam
bentuk sayuran mentah dan olahan, maupun sebagai bahan manisan
dan minuman seperti pada jenis Sargassum sp., Gelidium sp., dan
Eucheuma sp. Produk hasil olahan rumput laut yang cukup popular
dikonsumsi umumnya dalam bentuk pudding, kue, dan sebagai zat
aditif makanan (Dwiyitno, 2011).
Selain dikonsumsi secara langsung, rumput laut umumnya diolah
kembali menjadi bahan baku untuk industri makanan, farmasi dan lain
sebagainya. Jika melihat pada data serapan rumput laut oleh industri
pengolahan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa konsumsi
rumput laut di Indonesia masih relatif rendah. Dari total produksi rumput

26
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

laut nasional, sekitar 64% diekspor dalam bentuk rumput laut kering,
sedangkan sisanya sekitar 36% diserap oleh industri rumput laut di
dalam negeri (Kementerian Perindustrian, 2015). Produksi rumput
laut dalam negeri secara umum dapat dibagi kedalam dua jenis hasil
olahan rumput laut kering, yakni agar dan karaginan. Dari kedua jenis
hasil olahan rumput laut tersebut, karaginan lebih banyak diproduksi di
dalam negeri dan di ekspor dibandingkan dengan agar. Berdasarkan
data Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) (2014),
produksi karaginan pada tahun 2013 mencapai 12,5 juta ton. dari total
produksi karaginan pada tahun 2013, sebanyak 84,22% diekspor dan
sisanya sebesar 15,78% diserap oleh industri dalam negeri. Sementara
itu, untuk produk agar, dari total produksi dalam negeri pada tahun
2013 yang mencapai 3,7 juta ton, sebanyak 62,64% diserap oleh
industri dalam negeri, sementara sisanya sebanyak 37,36% diekspor
(Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Produksi, Serapan dan Ekspor Produk Olahan Rumput
Laut Nasional
Serapan Ekspor
Jenis Produk Produksi 2013 (MT) Industri Dalam (%)
Negeri (%)
Agar 3.681 62,64 % 37,36 %
Karaginan 12.500 15,78 % 84,22 %
a. Refined Carrageenan (RC) 1.720 29 % 71 %
b. Semi-refined Carrageenan 8.769 9 % 91 %
(SRC)
c. Alkaly Treated Carrageenan 2.011 10 % 90 %
Chips (ATCC)
Sumber: ASTRULI (2014) dan dari berbagai sumber

Indonesia merupakan salah satu produsen utama rumput laut


dunia jenis Eucheuma, separuh dari kebutuhan rumput laut dunia
dipenuhi oleh rumput laut dari Indonesia. Kebutuhan dunia untuk
rumput laut jenis Eucheuma adalah sebesar 236.000 ton kering per
tahun dan sekitar 145.000 ton dipenuhi oleh Indonesia. Sementara
itu, kebutuhan untuk rumput laut jenis Gracilaria, sebagai bahan baku
pembuatan agar–agar, adalah sebesar 96.000 ton per tahun. Namun,
produksi Indonesia hanya sebesar 48.500 ton, atau sekitar separuh
dari kebutuhan dunia (Antaranews, 2015).

3.2 Pengolahan Rumput Laut


Beberapa jenis rumput laut yang paling sering digunakan sebagai
bahan baku industri adalah jenis rumput laut mengandung karaginan, agar
dan alginat seperti Gracilaria sp, Eucheuma sp, dan Sargasum sp. Rumput

27
Ratna A. Carolina

laut dapat diolah dengan cara yang sangat beragam, baik dengan
proses pengolahan sederhana maupun dengan proses pengolahan
yang lebih kompleks untuk menjadi barang setengah jadi, kemudian
akan diproses kembali untuk menjadi barang yang siap dikonsumsi.
Rumput laut terlebih dahulu diekstraksi dalam bentuk karaginan, agar
dan alginat lalu kemudian diolah menjadi berbagai produk yang siap
dikonsumsi, baik untuk dikonsumsi secara langsung seperti agar–agar,
susu, roti, selai, manisan, maupun sebagai bahan baku untuk industri
atau farmasi, seperti yang ditunjukkan pada bagan pohon industri
(Kementerian Perindustrian, 2015).
Secara umum, pemanfaatan rumput laut di dunia dibagi menjadi
beberapa jenis, yakni (Warta Ekspor, 2013):

a. Makanan
Rumput laut telah lama dikonsumsi sebagai bahan makanan di
beberapa negara seperti Jepang, sebagai salah satu komponen
dalam sushi. Selain itu, di Eropa, masyarakat yang berada di daerah
pesisir juga telah mengkonsumsi rumput laut,termasuk diantaranya
budaya Welsh di Kepulauan Inggris, Irlandia, Skotlandia, serta budaya
Skandinavia seperti Norwegia dan Islandia.

b. Pupuk
Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tumbuhan di
daratan. Masyarakat petani di daerah pesisir telah lama mengumpulkan
rumput laut untuk dijadikan pupuk. Rumput laut dianggap sebagai
alternatif pupuk organik yang layak bagi masyarakat pesisir. Dalam
perkembangan saat ini rumput laut bisa diekstraksi ke dalam pupuk
kimia untuk penyimpanan lebih mudah.

c. Bahan Tambahan Makanan


Rumput laut juga telah dimanfaatkan sebagai bahan tambahan
makanan, seperti digunakan untuk menyimpan es krim halus dan
lembut dengan mencegah kristal es dari pembentukan saat pembekuan.
Rumput laut digunakan untuk memperlambat kecepatan mencairnya
es krim. Selain itu, rumput laut juga digunakan dalam bir untuk
membuat busa bir lebih stabil dan abadi, juga dalam minuman anggur
untuk membantu mempertegas warna, dan untuk mengentalkan dan
menstabilkan segala sesuatu seperti saus, mayones, salad dressing
dan yoghurt.

28
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

d. Pengendali Pencemaran (Pollution Control)


Rumput laut ditemukan dapat membersihkan polutan mineral yang
cukup efektif. Rumput laut dapat mengurangi fosfor dan nitrogen konten
(seperti amonium) dari pembuangan limbah perawatan dan pertanian.
Rumput laut juga efektif dalam menyerap logam. Hasil penelitian
terbaru di Eropa menunjukkan bahwa rumput laut dapat menghapus
kandungan logam hingga 95% dari logam dalam air yang dibuang dari
tambang.

e. Bahan Kecantikan dan Pengobatan


Rumput laut telah dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik dan
obat–obatan. Hasil penelitian modern telah menemukan bahwa
rumput laut kaya akan antioksidan seperti betakaroten, vitamin B1
(tiamin), berfungsi menjaga saraf dan otot jaringan sehat, vitamin
B2 (riboflavin), berfungsi membantu tubuh untuk menyerap zat besi,
serta vitamin B12. Selain itu, rumput laut juga mengandung kromium,
mempengaruhi cara berperilaku insulin dalam tubuh, dan seng yang
membantu proses penyembuhan. Saat ini, telah banyak dihasilkan
produk kosmetik berbasis rumput laut serta bentuk terapi menggunakan
rumput laut yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit rematik dan
radang sendi.
Gambar 3.1 menunjukkan pohon industri hasil pengolahan rumput
laut yang terbagi kedalam tiga level pengolahan, yakni: (1) Level 1,
pengolahan rumput laut menjadi rumput laut kering yang terdiri dari
beberapa jenis rumput laut yang paling sering digunakan dalam
industri rumput laut yaitu Gracilaria sp., Eucheuma sp., Sargasum sp.;
(2) Level 2, pengolahan rumput laut kering menjadi barang setengah
jadi yang merupakan bahan baku untuk industri makanan, kimia, dan
farmasi; (3) Level 3, pengolahan ekstraksi rumput laut mejadi barang
jadi yang siap dikonsumsi.
Hasil akhir dari pengolahan rumput laut dapat dibagi kedalam
3 kelompok barang jadi yang siap dikonsumsi yakni: (1) Pharmacy
Grade, rumput laut digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi
kebutuhan farmasi seperti bahan gigi buatan, shampo, dan lain
sebagainya; (2) Industrial Grade, rumput laut digunakan sebagai
bahan baku industri; (3) Food Grade, rumput laut digunakan sebagai
bahan baku untuk memproduksi bahan makanan.

29
Ratna A. Carolina

Pharmacy Grade

Bahan gigi buatan;


Shampo; Pasta gigi;
Sabun; Farmasi;
dll

Industrial Grade
Gracillaria sp. Agar - agar
Pakan ternak ikan;
Eucheuma sp. Karaginan Pengeboran; Cat;
tekstil printing; Kertas;
Keramik;
Sargasum sp. Alginat dll

Food Grade

Soft drink; Ice cream;


Susu coklat; Roti; Selai;
dll

Level 1 Level 2 Level 3

Gambar 3.1 Pohon Industri Hasil Pengolahan Rumput Laut.


Sumber: Dari berbagai sumber (2015), diolah

Kondisi industri pengolahan rumput laut di Indonesia saat ini


sebagian besar masih berada dalam level 2, tahap pengolahan rumput
laut kering menjadi bahan baku industri. Beberapa hasil industri
pengolahan rumput laut telah merambah ke level 3, namun hanya untuk
produk makanan dan minuman, sedang untuk hasil industri lainnya,
Indonesia masih dalam tahap riset dan pengembangan. Berdasarkan
data Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2014, jumlah produksi
olahan rumput laut baru mencapai 15.638 ton per tahun. Jumlah tersebut
diperoleh dari 18 unit usaha yang terdiri dari lima (5) unit usaha industri
agar–agar, dua (2) unit usaha industry Refine Carageenan (RC) dan
11 unit usaha industry Semi Refined Carageenan (SRC) (Kementerian
Perindustrian, 2015).

30
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

Tabel 3.2 Hasil Olahan Rumput Laut


Produk Hasil Olahan Rumput Laut Agar Carrageenan Alginates
Makanan dan Susu
- Es krim, yoghurt, wafer krim v v v
- Susu cokelat, Puding Instant v v
Minuman
- Soft drinks, jus buah, bir v v
Roti v v v
Permen v v
Daging, Ikan, di dalam kaleng v v v
Saus, Saus Salad
- Saus, Saus Salad v v
Makanan Diet
- Jelly, selai, sirup, custard v v
Makanan lainnya
- Makanan Bayi v v
Non Makanan
- Makanan Binatang Peliharaan v v v
- Makanan Ikan
- Lukisan, Keramik v v
- Tekstil, Kertas, Kaca v v
Farmasi dan Kosmetik
- Pasta gigi, Shampo, Tablet v v
- Bahan cetak gigi, Obat salap v
Sumber: Anggadireja (2012)

Agar–agar, karaginan dan alginat merupakan senyawa hasil


ekstraksi rumput laut kering yang memiliki fungsi dan khasiat yang
berbeda. Ketiga hasil ekstraksi tersebut paling sering digunakan
sebagai bahan baku untuk memproduksi barang jadi siap konsumsi,
baik dalam bentuk makanan maupun dalam bentuk. Tabel 3.2
menunjukkan hasil pengolahan industri rumput laut di dunia, baik
dalam bentuk makanan maupun non-makanan.
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang diekstraksi dari
rumput laut merah jenis Eucheuma cottonii. Karaginan bermanfaat
untuk meningkatkan kestabilan bahan pangan baik berbentuk
suspense (disperse padatan dalam cairan), maupun emulsi (disperse
gas dalam cairan). Karaginan biasa digunakan dalam industri makanan
sebagai bahan pengental, pengemulsi dan stabilisator suhu.Selain itu
karaginan juga digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan tekstil
(karaindo.com, 2015).
Terdapat tiga jenis karaginan yang dibedakan berdasarkan bentuk
gel yang dihasilkan (karaindo.com, 2015), yakni (i) iota carrageenan

31
Ratna A. Carolina

atau dikenal juga tipe spinosum, yang menghasilkan gel yang lembut
dan fleksibel atau mudah dibentuk; (ii) kappa carrageenan atau dikenal
juga tipe cottoni, menghasilkan gel yang kaku, rapuh dan keras; dan
(iii) lambda carrageenan, yang tidak mampu membentuk gel namun
berbentuk cairan kental.

Alkali Treated Cottoni


Rumput Laut Kering (ATC)

Semi-refined Refined
Carrageenan (SRC) Carrageenan (RC)

Gambar 3.2 Bagan Proses Pengolahan Rumput Laut menjadi


Karaginan.
Sumber: KKP (2014), diolah

Di Indonesia, rumput laut jenis Eucheuma cottonii dapat diolah


menjadi menjadi tiga jenis hasil olahan yakni Alkali Treated Cottonii
(ATC), Semi-Refined Carrageenan (SRC), dan Refined Carrageenan
(RC). Pengolahan rumput laut menjadi ATC melalui proses yang
cukup sederhana. Rumput laut kering direbus dalam larutan KOH 8%
pada suhu 80 – 850C selama 2 jam, kemudian dinetralkan dengan
pencucian berulang – ulang. Setelah itu, rumput laut dipotong dan
dikeringkan hingga diperoleh ATC berbentuk chips. ATC selain dapat
digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan karaginan murni,
juga dapat diproses lebih lanjut sebagai bahan pengikat dan penstabil
dalam industri non pangan terutama makanan ternak (KKP, 2014).
Selain diolah menjadi ATC, rumput laut jenis Eucheuma cottonii juga
dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung Karaginan atau Semi-Refined
Carrageenan (SRC) dan Refined Carrageenan (RC). SRC merupakan
tepung rumput laut yang harus diekstrak untuk memperoleh kembali
karaginan murni (RC) sehingga dapat menghemat penggunaan
karaginan murni.
Refined Carrageenan atau karaginan murni diproduksi dari proses
ekstraksi karaginan dari rumput laut. Terdapat dua metode proses
produksi RC yakni metode alkohol dan metode tekan. Metode alkohol
dapat digunakan untuk memproduksi karaginan dari Eucheuma
spinosum yang menghasilkan iota karaginan, dan Eucheuma cottonii
menghasilkan kappa-karaginan. Sementara itu, metode tekan hanya
digunakan untuk produksi kappa-karaginan dengan bahan baku
Eucheuma cottonii.

32
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

Rumput Laut Pencucian dan Peredaman dan


Kering Pembersihan Pemucatan

Pemasakan Pelembutan

Pengepresan dan Penyaringan dan


Pencetakan Penggilingan

Pendinginan

Pengeringan

Pengepakan

Agar-Agar dalam Bentuk Agar-Agar dalam Bentuk


Batangan atau Lembaran Tepung

Gambar 3.3 Bagan Proses Pengolahan Rumput Laut Menjadi


Agar–Agar.
Sumber: Bisnisukm.com (2015), diolah

Selain diekstraksi dalam bentuk karaginan, rumput laut juga dapat


diekstraksi menjadi bentuk agar–agar yang kemudian menjadi bahan
baku produk tepung agar. Produk agar–agar dapat diperoleh dari hasil
ekstraksi satu jenis rumput laut saja maupun campuran dari berbagai
macam rumput laut. Agar–agar dapat berupa tepung, batangan atau
lembaran (Bisnisukm, 2015).
Pengolahan rumput laut menjadi agar–agar melalui beberapa
tahapan pengolahan (Gambar 3.3). Proses pengolahan diawali
dengan pencucian rumput laut dengan air tawar yang bertujuan untuk
membersihkan rumput laut dari berbagai kotoran yang berasal dari

33
Ratna A. Carolina

laut. Setelah dibersihkan, rumput laut direndam agar menjadi lunak


dan mudah diesktraksi untuk kemudian dilakukan pemucatan dengan
merendam rumput laut dalam larutan kaporit. Rumput laut yang telah
bersih dan pucat kemudian dikeringkan dan apabila rumput laut tidak
segera diolah maka sebaiknya disimpan terlebih dahulu. Proses
selanjutnya adalah pelembutan rumput laut untuk memudahkan
ekstraksi, kemudian rumput laut dimasak dalam air hingga mendidih
dan ditambahkan asam cuka untuk memperoleh rumput laut dengan
pH yang diinginkan (umumnya 6–7).
Setelah proses pemasakan, selanjutnya rumput laut dibentuk
sesuai dengan bentuk akhir yang diinginkan. Untuk menghasilkan
agar–agar dalam bentuk batangan atau lembaran, dilakukan proses
pengepresan dan pencetakan hingga menghasilkan cairan yang
kemudian dicetak dan didinginkan hingga terjadi pemadatan yang
sempurna. Selanjutnya, agar–agar yang telah dibekukan, dapat
dipotong sesuai dengan bentuk yang diinginkan (lembaran atau
batangan), kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Setelah
kering, agar–agar dapat dikemas sesuai dengan ukuran dan bentuk
yang diinginkan. Sementara itu, untuk menghasilkan agar–agar
dalam bentuk tepung, agar–agar yang telah masak kemudian disaring
dan didinginkan. Setelah beku, agar–agar kemudian dihancurkan
dan dipres hingga menghasilkan lembaran–lembaran kering yang
kemudian dimasukkan ke alat penggiling untuk mengasilkan agar–
agar dalam bentuk tepung (Bisnisukm, 2015).
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2013), lokasi pabrik pengolahan rumput laut di Indonesia tersebar di
beberapa pulau di Indonesia terutama di beberapa daerah pesisir di
Indonesia seperti di Sumatera (Belitung), beberapa wilayah di Jawa
Barat dan Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, serta beberapa wilayah
di bagian Utara dan Selatan Sulawesi. Selain itu, beberapa daerah
lainnya juga dinilai berpotensi untuk menjadi lokasi pengembangan
industri karaginan dan agar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Asosiasi Industri Rumput
Laut Indonesia (ASTRULI), secara umum jika ditinjau dari modal
dan tenaga kerja yang dibutuhkan, industri pengolahan rumput laut
rata–rata menyerap sekitar 3000 tenaga kerja dengan belanja modal
sebesar 114 hingga USD 130 juta.

34
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

Tabel 3.3 Belanja Modal Pada Industri Pengolahan Rumput Laut


dan Peningkatan Tenaga Kerja di Sektor Pengolahan
Rumput Laut di Indonesia

Belanja Modal Jumlah Tenaga Kerja


Tahun
(dalam juta USD (Orang)

2010 114 2860


2011 114 2860
2012 120 2960
2013 130 3100
2014 130 3100
Sumber: Wawancara dengan Wakil Sekjen Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) (2015)

Rata–rata belanja modal yang dibutuhkan oleh perusahaan


pengolah rumput laut adalah sebesar USD 5 juta. Industri ini menyerap
tenaga kerja sebanyak 2.860 orang pada tahun 2010 dan sebanyak
3.100 orang tahun 2014. Peningkatan jumlah tenaga kerja terjadi
seiring dengan peningkatan belanja modal. Namun, peningkatan ini
tidak signifkan jika dibandingkan dengan pertambahan jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan pada sektor lainnya seperti sektor konstruksi.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan bahwa
dari setiap investasi pada sektor konstruksi senilai USD 1 juta, dapat
menyerap sebanyak 22.000 tenaga kerja (Antaranews, 2015).

3.3 Pemanfaatan Rumput Laut di Indonesia


Pemanfaatan rumput laut di Indonesia masih tertinggal
dibandingkan dengan pemanfaatan rumput laut di negara lainnya
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014). Beberapa negara di
dunia seperti RRT, Jepang, dan Korea sudah lebih dulu memanfaatkan
rumput laut. Rumput laut tidak hanya dimanfaatkan sebagai makanan
sehari–hari, tetapi juga dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan
lainnya seperti obat–obatan, zat aditif pada makanan, kosmetika,
pupuk organik, hingga pakan ternak. Namun, di Indonesia, rumput
laut masih belum dimanfaatkan secara optimal di dunia industri.
Rumput laut masih lebih sering digunakan secara langsung sebagai
bahan makanan terutama bagi warga yang tinggal di daerah pesisir
(Suparmi, 2009).
Seiring dengan perkembangan teknologi, rumput laut telah
dimanfaatkan untuk diolah menjadi bubur kertas atau bahan pembuat

35
Ratna A. Carolina

kertas. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir penggunaan kayu sebagai


bahan baku kertas, mengingat jumlah kayu yang semakin terbatas.
Di Indonesia, uji coba pengolahan rumput laut merah untuk dijadikan
kertas, telah dilakukan di Lembongan, Bali, Gerupuk, Lombok, Manado,
Sulawesi Utara dan Tablolong, Nusa Tenggara Timur (Kementerian
Kelautan dan Perikanan, 2014).
Rumput laut sebagai sumber hidrokarbon juga telah dikembangkan
sebagai bahan baku biofuel. Beberapa lembaga penelitian, baik di
dalam maupun di luar negeri telah bekerjasama mengembangkan
program ini. Rumput laut yang memiliki periode tanam yang relatif
pendek dan mudah untuk tumbuh di perairan Indonesia diharapkan
dapat menjadi barang substitusi minyak mentah sebagai sumber energi
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013). Walaupun demikian,
potensi rumput laut sebagai bahan baku biofuel masih membutuhkan
kajian lebih mendalam karena menurut ASTRULI (2015) untuk menjadi
bahan baku biofuel dibutuhkan rumput laut dalam jumlah yang sangat
besar sehingga sulit terwujud.

3.4 Kebutuhan Karaginan dan Agar-Agar Dunia


Mengingat pentingnya peran rumput laut sebagai bahan baku
industri, kebutuhan agar dan karaginan di dunia diprediksi terus
mengalami peningkatan. Dari tahun 2012 hingga 2015, kebutuhan agar
dan karaginan meningkat dengan tren peningkatan masing–masing
sebesar 11,4% (agar) dan 10,8% (karaginan) dengan kebutuhan
terbesar pada jenis Eucheuma sp. sebagai penghasil karaginan, dan
Gracilaria sp. sebagai penghasil agar. Tabel 3.3 menunjukkan prediksi
kebutuhan rumput laut dunia.
Tabel 3.4 Kebutuhan Rumput Laut Global Penghasil Karaginan
dan Agar-Agar (ton kering)
Produk/Tahun 2012 2013 2014 2015
Refined Carrageenan (RC) 36,400 39,130 42,070 45,220
Semi-refined Carrageenan (SRC)-f 40,170 46,195 53,125 61,094
Semi-refined Carrageenan (SRC)-nf 9,040 9,490 9,970 10,465
Euchema sp. 343,910 380,280 421,000 466,740
Carrageenophytes lainnya 25,890 28,620 31,760 35,130
TOTAL 541,020 598,505 663,090 735,428

Agar - agar 9,600 11,490 12,400 13,400


Gracillaria sp. 65,280 85,000 91,760 99,160
Agarophytes lainnya 11,520 6920 7,440 8,040
TOTAL 86,400 103,410 111,600 120,600
Sumber: Komisi Rumput Laut Indonesia, KKP (2013)

36
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

3.5 Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Karaginan dan


Agar–Agar
Usaha pengolahan rumput laut kering menjadi karaginan dan
agar–agar, cukup menarik dan layak untuk dikembangkan, mengingat
kebutuhan rumput laut yang cukup besar bagi industri, terutama dalam
bentuk karaginan dan agar–agar. Tabel 3.5 menunjukkan perkiraan
biaya yang dibutuhkan untuk memulai investasi usaha pengolahan
rumput laut menjadi karaginan dengan kapasitas5 405 ton/hari.

Tabel 3.5 Kebutuhan Investasi Usaha Karaginan Kapasitas 40


ton/hari
No. Kebutuhan Investasi Jumlah (Rp)
1 Lahan (15000 m2) 9,000,000,000
2 Bangunan 8000 m2 (2 buah) 3,800,000,000
3 Mesin Potong (cutting) (2 buah) 450,000,000
4 Mesin Pemasak (2 buah) 820,000,000
5 Pasang sistem pipa air (2 set) 300,000,000
6 Genset (8 buah) 360, 000,000
7 Tangki Bahan Kimia (2 set) 556, 000,000
8 Sumur Dalam (2 buah) 60, 000,000
9 Pasang Instalasi Listrik (2 set) 30, 000,000
10 Mesing Penggiling 350, 000,000
11 Dryer (2 buah) 700, 000,000
12 Alat Penyaring (2 set) 370, 000,000
13 Reservoir (4 buah) 300, 000,000
14 Boiler (2 buah) 3,000, 000,000
15 Pasang instalasi pipa uap (2 set) 470, 000,000
16 Tangki Bahan Bakar (4 buah) 180, 000,000
17 Timbangan (4 buah) 10, 000,000
18 Peralatan laboratorium (1 set) 150, 000,000
19 Ijin Usaha (SIUP, TDP, SKU, dll) 24, 000,000
20 Peralatan Kantor 75, 000,000
Total Biaya Investasi (RP) 21,075,000,000
Sumber: KKP (2013)

Sementara itu, Tabel 3.6 menunjukkan perkiraan biaya yang


dibutuhkan untuk memulai investasi usaha pengolahan rumput laut
kering menjadi agar–agar dengan kapasitas 12,5 ton/hari. Jumlah biaya
ini relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan
untuk usaha pengolahan rumput laut menjadi karaginan.

5
Kapasitas produksi dalam pembahasan ini hanya menggambarkan perkiraan kapasitas produksi per hari.

37
Ratna A. Carolina

Tabel 3.6 Kebutuhan Investasi Usaha Agar – Agar Kapasitas 12,5


ton/hari
No. Kebutuhan Investasi Jumlah (Rp)
1 Lahan (10.000 m2) 6,000,000,000
2 Bangunan 7000 m2 (1 buah) 2,250,000,000
3 Mesin Potong (cutting) (1 buah) 225,000,000
4 Unit Pemasakan/Steam (1 set) 410,000,000
5 Pasang sistem pipa air (1 set) 150,000,000
6 Genset (6 buah) 270,000,000
7 Tangki Bahan Kimia (1 set) 350,000,000
8 Sumur Dalam (2 buah) 60,000,000
9 Pasang Instalasi Listrik (1 set) 20,000,000
10 Mesin Press (1 buah) 185,000,000
11 Mesin Giling (cupping) (1 buah) 215,000,000
12 Alat Penyaring (1 set) 185,000,000
13 Mesin Press Mesh Size 650,000,000
14 Mesin Pendingin (cooler) (1 buah) 450,000,000
15 Reservoir (3 buah) 225,000,000
16 Boiler (2 buah) 3,000,000,000
17 Pasang Instalasi Pipa Uap (1 set) 235,000,000
18 Tangki Bahan Bakar (3 buah) 135,000,000
19 Timbangan (3 buah) 7,500,000
20 Peralatan Laboratorium (1 set) 125,000,000
21 Ijin Usaha (SIUP, TDP, SKU, dll) 24,000,000
22 Peralatan Kantor 72,000,000
Total Biaya Investasi (RP) 15,243,500,000
Sumber: KKP (2013)

Berdasarkan nilai investasi tersebut dan dengan


mempertimbangkan harga penjualan serta biaya lainnya, maka
didapatkan hasil analisis kelayakan usaha seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 3.7 dan 3.8.

Tabel 3.7 Analisis Kelayakan Usaha Karaginan Kapasitas 40 ton/hari


No. Uraian Satuan Jumlah (Rp)
1 Biaya Investasi Rp 21,075,000,000
2 Biaya Tetap Rp 6,056,566,667
3 Biaya Variabel Rp 756,665,250,000
4 Total Biaya Operasional Rp 762,721,816,667
5 Jumlah Produksi Kg 12,000,000
6 Harga Rp/Kg 64,500
7 Penerimaan Rp 774,000,000,000
8 Keuntungan Rp 11,278,183,333
9 BEP-nilai Rp 270,415,194,269
10 BEP-unit Kg 4,191,395
11 PP Tahun 1,87
12 R/C 1,01
13 Return on Investment (ROI) % 53,51
Sumber: KKP (2013)

38
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

Tabel 3.8 Analisis Kelayakan Usaha Agar – Agar Kapasitas 12,5


ton/hari
No. Uraian Satuan Jumlah (Rp)
1 Biaya Investasi Rp 15,243,500,000
2 Biaya Tetap Rp 5,730,616,667
3 Biaya Variabel Rp 725,176,950,000
4 Total Biaya Operasional Rp 730,907,566,667
5 Jumlah Produksi Kg 7,500,000
6 Harga Rp/Kg 99,000
7 Penerimaan Rp 742,500,000,000
- Agar ukuran 2 cm (pack 500 gr, 200pics) Pack 495,000,000,000
- Agar Lembaran (pack, 500 gr) Pack 247,500,000,000
8 Keuntungan Rp 11,592,433,333
9 BEP-nilai Rp 245,625,503,303
10 BEP-unit Kg 2,481,066
11 HPP Rp 97,454
12 PP Tahun 1,31
13 R/C 1,02
13 Return on Investment (ROI) % 76

Sumber: KKP (2013)

Berdasarkan perhitungan Tabel 3.7 dan 3.8, dengan asumsi harga


yang berlaku, maka diperkirakan nilai pengembalian investasi untuk
memproduksi karaginan dengan kapasitas 40 ton/hari adalah sebesar
53,5% dalam jangka waktu kurang lebih 1 tahun 9 bulan. Sementara
itu nilai pengembalian investasi untuk agar dengan kapasitas 12,5
ton/hari adalah sebesar 76% dengan jangka waktu pengembalian
investasi kurang lebih selama 1 tahun 3 bulan. Hal ini menunjukkan
bahwa investasi rumput laut cukup layak dilakukan karena memberi
keuntungan yang cukup besar.

3.6 Penutup
Rumput laut yang berada di perairan Indonesia memiliki kualitas
yang sangat baik. Selain karena didukung oleh kondisi geografis
Indonesia, pembudidayaan rumput laut juga dilakukan dengan cara
yang baik dan benar, sehingga rumput laut Indonesia juga banyak
diminati oleh konsumen dari luar negeri. Sebagian besar dari produksi
rumput laut Indonesia diekspor ke berbagai negara dan hanya
sebagian kecil yang dikonsumsi oleh Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi rumput laut di Indonesia masih relatif kecil, baik yang
dikonsumsi secara langsung maupun digunakan sebagai bahan baku
industri. Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku industri juga

39
Ratna A. Carolina

masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara–negara lain


seperti RRT dan Jepang yang telah memanfaatkan rumput laut sejak
dulu. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap rendahnya
pemanfaatan rumput laut di Indonesia adalah tingginya permintaan
dari luar negeri untuk rumput laut Indonesia sehingga rumput laut
Indonesia lebih banyak yang diekspor dibandingkan dengan yang
terserap oleh industri dalam negeri, sehingga pemanfaatan rumput
laut di dalam negeri masih minim.

DAFTAR PUSTAKA
Anggadireja. (2012). Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Antaranews. (2015). Kebanggaan Semu Menjadi Eskportir Rumput
Laut.http://www.antaranews.com/berita/491173/kebanggaan-
semu-menjadi-eksportir-rumput-laut-mentah.
Bisnisukm. (2015). Pengolahan Rumput Laut Menjadi Agar – agar.
http://bisnisukm.com/pengolahan-rumput-laut-menjadi-agar-
agar.html.
Dwiyitno. (2011). Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Pangan
Nasional. Squalen Vol. 6 (1): 9 – 17. Jakarta.
Jahari, A. B. Dan Sumarno, I. (2002). Status Gizi Penduduk Indonesia.
Majalah Pangan Vol. 38 (11): 20 – 29.
Karaindo.com.Carrageenan/Karaginan. (2015) .http://www.karaindo.
com/id/carrageenan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2013). Buku Saku Informasi
Rumput Laut.Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2014). Profile of Business and
Investment Opportunities on Seaweed in Indonesia. Jakarta.
Kementerian Perindustrian. (2015). Potensi Indonesia pada
Pengolahan Rumput Laut. http://agro.kemenperin.go.id/1986-
Potensi-Indonesia-Pada-Olahan-Rumput-Laut.
Kementerian Perindustrian. (2015). Kebijakan Pengembangan
Hilirisasi Industri Pengolahan Rumput Laut 2015 – 2019
(RoadMap Industri Rumput Laut Indonesia). Bahan Presentasi
Kementerian Perindustrian.
Kompas.com. (2015). Tiongkok dan Singapura Borong Rumput Laut
Indonesia Rp 782,71 miliar.http://bisniskeuangan.kompas.
com/read/2015/08/02/150823026 /Tiongkok.dan.Singapura.
Borong.Rumput.Laut.Indonesia.Rp.782.71.Miliar.

40
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut

Suparmi, dan Achmad Sahri. (2009). Mengenal Potensi Rumput Laut:


Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut dari Aspek
Industri dan Kesehatan.Jurnal Sultan Agung Vol. 154 (118):
95 – 116.
Warta Ekspor. (2013). Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan.
2013. Vol. 004. Jakarta.
Wisten, A. dan Messner, T. (2005). Fruit and Fibre (Pajala Porridge) in
the Prevention of Constipation. Scand J. Caring Sci. Vol. 19:
71 – 76.

41
Ratna A. Carolina

42
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

BAB IV
PERDAGANGAN DALAM NEGERI RUMPUT LAUT

Yati Nuryati

4.1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara bahari memiliki sumber daya laut
yang sangat kaya, salah satunya yaitu rumput laut. Rumput laut juga
merupakan salah satu komoditi di sektor perikanan dimana saat ini
tengah menjadi fokus pemerintah untuk dilakukan pengembangan
pada aspek produksi. Indonesia mempunyai banyak jenis rumput
laut yang dapat dibudidayakan namun baru tiga jenis rumput yang
dikembangkan yaitu Gracilaria, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma
spinosum (Tempo, 2013). Selanjutnya dengan adanya pembinaan dan
penyuluhan dalam hal teknik budidaya, sudah ada empat jenis rumput
laut yang banyak dibudidayakan yaitu Eucheuma cottonii, Eucheuma
spinosum, Glacillaria, dan Sargassum yang kemudian dipasarkan
dalam bentuk rumput laut kering. Pemasaran rumput laut kering sudah
cukup meluas tidak hanya pasar dalam negeri tetapi juga pasar luar
negeri (ekspor) (KKP, 2014).
Komoditi ini mulai menunjukkan perkembangannya baik dari
sisi produksi maupun industri pengolahan seiring dengan adanya
dukungan pemerintah berkaitan dengan pengembangan industri. Hal
ini ditunjukkan oleh pemanfaatannya yang semakin meningkat tidak
hanya untuk bahan makanan, tetapi juga industri pengolahan pangan
maupun non pangan6.
Potensi produksi dan pengembangan rumput laut di Indonesia
cukup besar. Tahun 2014 produksi tercatat sebanyak 10,2 juta ton
(basah) mengalahkan jumlah produksi komoditas lainnya seperti
udang, kerapu, kakap, bandeng, ikan mas, nila, patin dan gurame dan
ditargetkan Indonesia dapat memproduksi rumput laut kering sebanyak
1 juta ton setiap tahun (KKP, 2014). Dengan potensinya tersebut,
rumput laut bisa dijadikan sebagai komoditi unggulan bagi Indonesia.
Jumlah produksi yang sangat besar tetapi penyerapan rumput laut di
dalam negeri masih relatif kecil sementara pengembangan industri
rumput laut sudah mulai tumbuh di dalam negeri, terutama industri agar
dan karaginan. Industri pengolahan rumput laut merasa kekurangan
6
Menurut jenis kategori sistem budidaya, rumput laut jenis Glacilaria digunakan sebagai bahan baku agar. Jenis Cottonii yang
umumnya digunakan sebagai bahan baku produk karaginan dan akan digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan
non pangan. Sementara rumput laut jenis Sargasum dan Spinosum hanya digunakan untuk tambahan atau campuran dari
rumput laut jenis Cottonii dan Sargasum namun masih jarang dibudidaya (KKP, 2014).

43
Yati Nuryati

untuk bahan baku, karena rumput laut kering hampir 64,31% ditujukan
untuk ekspor. Kecilnya penyerapan rumput laut di dalam negeri,
dikarenakan (1) harga ekspor lebih menguntungkan, khususnya
ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) serta (2) masih tingginya biaya
logistik. Kondisi ini telah mendorong harga rumput laut (kering) di
dalam negeri menjadi mahal. Disamping itu, kebijakan rumput laut di
dalam negeri yang belum sepenuhnya komprehensif dan operasional
sehingga penyerapan rumput laut kering di dalam negeri masih relatif
kecil yaitu hanya 35,69% (ASTRULI dan KKP, 2014).

4.2 Struktur dan Serapan Pasar Dalam Negeri


Berdasarkan data Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia
(ASTRULI) (2014), rumput laut kering di Indonesia lebih banyak
digunakan untuk industri agar-agar dan karaginan. Dari total kebutuhan
rumput laut kering, serapan untuk industri agar-agar sebesar 52,3%
dan karaginan sebesar 47,7%. Perkembangan industri pengolahan
rumput laut di Indonesia sebagai bahan pangan khususnya agar-
agar dimulai sejak tahun 1930. Tahun 1989 dikembangkan industri
karaginan dan selanjutnya pada 1993 berkembang industri alginate
(berbahan baku rumput laut jenis Sargassum). Sampai dengan tahun
2014, jumlah industri agar-agar sebanyak 14 perusahaan dan industri
karaginan sebanyak 16 perusahaan. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa
terdapat 3 (tiga) perusahaan terbesar yang bergerak dalam industri
agar-agar dengan pangsa pasar mencapai 54,4%, yaitu PT. Agarindo
Bogatama, PT. Agar Swallow, dan PT. Java Bio-Colloid.
Tabel 4.1 Pangsa Pasar Perusahaan Pada Industri Agar-agar, 2014
Kapasitas
Nama Perusahaan Produksi/tahun Pangsa
(Ton) Pasar (%)
Industri Agar-Agar 5,400 100
PT. Agarindo Bogatama 1.200 22,2
PT. Agar Swallow 1.200 22,2
PT. Java Bio-Collaid 540 10,0
PT. Surya IndoAlgas 480 8,9
CV. Agar Sari Jaya 480 8,9
PT. Srigunting 200 3,7
PT. Indoflora Cipta Mandiri 100 1,9
PT. Agar Sehat Makmur Lestari n.a n.a
PT. Gracindo Nusantara n.a n.a
PT. Indoking Aneka Agar-agar n.a n.a
CV. Sinar Kentjana n.a n.a
PT. Satelit Sriti n.a n.a
PT. The Nine n.a n.a
PT. Pantai Samudra n.a n.a
Sumber: ASTRULI (2014)

44
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Tabel 4.2 menunjukkan empat perusahaan besar dalam industri


karaginan dengan pangsa pasar mencapai 56,4%. Perusahaan
tersebut yaitu PT. Indonusa Algaemas Prima, PT Galic Artha Bahari,
PT. Indo Seaweed dan PT. Gumindo Perkasa Industri. Dengan melihat
industri berbahan baku rumput laut, menunjukkan bahwa struktur
pasar rumput laut lebih mendekati pasar oligopsoni, dengan ditandai
hanya ada beberapa perusahaan yang membeli rumput laut sebagai
bahan baku industri. Meski beberapa industri pengolahan rumput laut
di dalam negeri sudah banyak yang berkembang, namun kebijakan
pengembangan industri belum disertai dengan penyediaan teknologi
yang memadai sehingga pengembangan industri di dalam negeri
belum dapat dilakukan secara optimal.

Tabel 4.2 Pangsa Pasar Perusahaan Pada Industri Karaginan,


2014

Nama Perusahaan Produksi 2013 Pangsa


(MT) Pasar (%)

Industri Karaginan 12.500 100


PT. Indonusa Algaemas Prima 2.000 16,1
PT. Galie Artha Bahari 2.000 16,1
PT. Indo Seaweed 1.800 14,5
PT. Gumindo Perkasa Industri 1.200 9,7
PT. Algalindo Perdana 1.000 8,0
PT. Cahaya Cemerlang 1.000 8,0
PT. Wahyu Putra Bimasakti 1.000 8,0
PT. Amarta Carrageenan Indonesia 1.000 8,0
PT. Hydrocolloid Indonesia 7,20 5,8
PT. Centram 650 5,2
PT. Kappa Carrageenan Nusantara 60, 0,5
PT. Giwang Citra Laut 70 0,6
PT. Algae Sumba Timur n.a n.a
PT. Batimurung Indah n.a n.a
PT. Karaginan Indo Mandiri n.a n.a
PT. Phoenix Mas n.a n.a
Sumber: ASTRULI (2014)

Dari sisi bahan baku, meski ada empat jenis rumput laut yang
dibudidayakan di Indonesia, untuk pasar dalam negeri, rumput laut
yang banyak dimanfaatkan adalah jenis Eucheuma cottonii dan
Gracilaria. Pemanfaatan ini digunakan untuk bahan baku pembuatan
agar dan karaginan. Produksi rumput laut kering di Indonesia hampir
35,69% terserap oleh industri (agar dan karaginan) dan 64,31%

45
Yati Nuryati

digunakan untuk pasar ekspor (ASTRULI dalam Antaranews, April


2015). Persentase serapan industri rumput laut di dalam negeri
disajikan pada Gambar 4.1.

18% Industri Agar

17% Industri Karaginan

64% Pasar Ekspor 1% Lainnya

Gambar 4.1 Serapan Rumput Laut Kering di Indonesia.


Sumber: ASTRULI (2014), diolah

Kecilnya serapan pasar dalam negeri untuk rumput laut kering


dikarenakan harga yang masih relatif mahal7 dibandingkan rumput
laut impor terutama yang berasal dari RRT. Mahalnya harga di dalam
negeri juga dikarenakan masih adanya kendala dalam hal infrastruktur
serta logistik (biaya distribusi). Industri pengolahan rumput laut di
Indonesia umumnya untuk pembuatan agar-agar dan karaginan.
Untuk karaginan, bahan baku yang masih impor yaitu Semi Refined
Carrageenan (SRC) karena produksi di dalam negeri masih terbatas
dan harga yang relatif mahal dibandingkan impor dari RRT. Masih
terbatasnya produk turunan rumput laut di Indonesia dibandingkan
negara lain seperti RRT dan Eropa dikarenakan (i) bahan baku yang
mahal serta (ii) teknologi melalui penelitian dan pengembangan masih
relatif terbatas. Kondisi ini menyebabkan produk hasil industri rumput
laut Indonesia menjadi kurang bersaing dengan produk hasil industri
dari RRT. Industri rumput laut Indonesia masih bersaing kuat dengan
produk RRT karena pengembangan industri rumput laut di Indonesia
masih memiliki beberapa hambatan yang menyebabkan harga kurang
bersaing serta kualitas.
7
Harga rumput laut dalam negeri mengikuti harga ekspor sehingga menjadi lebih mahal. Kisaran harga rumput laut di tingkat
eksportir antara Rp 15.000 – Rp 19.000/kg.

46
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Tahun 2014 produksi rumput laut Indonesia ditargetkan dapat


mencapai 10 juta ton rumput laut basah atau sekitar satu juta ton
rumput laut kering. Data KKP (2015) capaian target produksi tahun
2014 melebihi dari yang sudah ditargetkan, yaitu 10,2 juta ton.
Capaian produksi ini merupakan berkat upaya pemerintah dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mendukung peningkatan
produksi melalui pembinaan secara berkala kepada masyarakat
dalam hal berbudidaya rumput laut. Pada tahun 2015, produksi rumput
laut ditargetkan mencapai 10,6 juta ton atau hampir 59,2% dari total
produksi budidaya perikanan yang ditargetkan di tahun 2015 sebesar
17,9 juta (Ditjen Perikanan dan Budidaya-KKP, 2015).

4.3 Pola Pemasaran dan Distribusi


Secara umum pemasaran komoditas rumput laut dalam tulisan
ini adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan
barang/komoditi (rumput laut) dari tangan produsen ke tangan
konsumen (eksportir atau pabrik pengolahan). Pemasaran rumput
laut merupakan pemasaran yang terdiri dari petani dengan beberapa
pembeli. Dalam prakteknya, struktur pasar yang terbentuk pada
pemasaran komoditas rumput laut adalah struktur pasar bersaing
tidak sempurna yang mendekati bentuk oligopsoni, dengan ditandai
hanya ada beberapa pembeli.
Ada pihak yang berperan dalam proses pembentukan harga,
dalam hal ini adalah pelaku pemasaran yang berperan sebagai
pembeli. Setiap pelaku pemasaran yang terlibat memiliki perilaku
yang berbeda-beda dalam sistem pemasaran. Keterlibatan pelaku
pemasaran akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen
dan yang dibayarkan konsumen jauh berbeda.
Pada tulisan ini pola pemasaran dan distribusi rumput laut
dibedakan berdasarkan empat wilayah sentra produksi di Indonesia
yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Nusa Tenggara
barat (NTB). Pemilihan keempat wilayah ini karena memiliki pangsa
produksi yang cukup besar. Dengan pola pemasaran di setiap wilayah
sentra produksi akan diketahui karakteristik dari masing-masing pola
pemasaran.

Sulawesi Tengah
Pola pemasaran rumput laut di Sulawesi Tengah mulai dari
petani sampai ke eksportir dan pabrik pengolahan dilakukan dengan

47
Yati Nuryati

tiga pola pemasaran. Pola pertama, Petani rumput laut menjual ke


pedagang pengumpul (desa) kemudian dijual lagi ke pedagang besar
(kabupaten) dan dari pedagang besar di kabupaten dijual untuk ekspor
(ke Surabaya). Pola kedua, petani rumput laut menjual ke pedagang
besar yang eksportir dan pola ketiga, petani menjual ke pedagang
pengumpul (desa) dengan konsumen akhir yaitu pabrik pengolahan.
Dari ketiga saluran pola pemasaran ini, sekitar 90% petani memilih
pola pemasaran pertama karena dengan pedagang desa sebagai
perpanjangan tangan petani ke pedagang besar di Kabupaten.
Namun, tidak sering petani langsung menjual ke pedagang besar
untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi dengan memotong
pedagang pengumpul di desa.

Petani
(Rumput Laut)

Pedagang Pedagang
Pengumpul Besar
(Desa) (Kabupaten)

Pabrik Ekspor
Pengolahan

Gambar 4.2 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Sulawesi Tengah.


Sumber: Hasil Survei Puska Dagri (2012)

Sulawesi Selatan
Pola pemasaran rumput laut di Sulawesi Selatan sedikit berbeda
dengan di Sulawesi Tengah. Saluran pemasaran rumput laut yang
ada di Sulawesi Selatan umumnya melalui beberapa lembaga dalam
memasarkan rumput laut dari petani ke eksportir dan pabrik olahan
(Survei Puska Dagri, 2012). Pelaku yang berperan dalam pemasaran
tersebut diantaranya petani/produsen rumput laut, pedagang
pengumpul, pedagang besar, eksportir dan pabrik pengolahan.

48
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Pola pemasaran rumput laut dari petani sampai eksportir dan atau
pabrik dilakukan melalui empat pola. Pola pertama, petani rumput
laut menjual ke pedagang pengumpul desa yang kemudian melalui
pengumpul desa rumput laut langsung di ekspor. Pola kedua, petani
rumput laut menjual rumput laut ke pedagang pengumpul desa yang
kemudian langsung menjual ke pabrik pengolahan. Pola ketiga, petani
menjual rumput laut ke pedagang pengumpul (kecamatan) kemudian
ke pedagang pengumpul desa dari pedagang pengumpul desa
kemudian langsung ekspor. Dan pola keempat, petani rumput laut
menjual ke pedagang pengumpul (kecamatan) kemudian ke pedagang
pengumpul (desa) terus ke pabrik pengolahan. Secara umum, rumput
laut yang berasal dari Sulawesi Selatan hampir 50% untuk tujuan
ekspor. Adapun saluran distribusi atau penyaluran rumput laut
dapat dilihat pada Gambar 4.3

Petani
(Rumput Laut)

Pedagang Pedagang
Pengumpul Pengumpul
(Desa) (Kec. Petani)

Ekspor Pabrik
Pengolahan

Gambar 4.3 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Sulawesi Selatan.


Sumber: Hasil Survei Puska Dagri (2012)

Maluku
Pemasaran rumput laut di Maluku lebih banyak dipasarkan untuk
pasokan antar pulau dan ekspor. Industri pengolahan yang berbahan
baku rumput laut di daerah Maluku masih relatif kecil sehingga
produksi rumput laut lebih sering diperjualbelikan ke luar wilayah. Pola
pemasaran rumput laut dari petani sampai pedagang antar pulau dan
atau eksportir dilakukan melalui dua pola. Pola pertama, petani rumput
laut menjual ke pedagang pengumpul desa. Rumput laut sampai di

49
Yati Nuryati

pedagang pada perdagangan antar pulau dilakukan melalui pedagang


pengumpul (kecamatan). Pola kedua, petani rumput laut menjual
hingga ke eksportir (yang berasal dari Surabaya) melalui pedagang
pengumpul (kecamatan) yang terlebih dahulu dijual ke pedagang
pengumpul (desa). Adapun saluran distribusi atau penyaluran rumput
laut di Maluku dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Petani
(Rumput Laut)

Pedagang Pedagang
Pengumpul Pengumpul
(Desa) (Kec)

Perdagangan
Ekspor
Antar Pulau

Gambar 4.4 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Maluku.


Sumber: Hasil Survei Puska Dagri (2012)

Nusa Tenggara Barat (NTB)


Pemasaran rumput laut di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB)
terbagi dalam tiga jenis pola pemasaran dengan tujuan konsumen akhir
yaitu eksportir dan industri pengolahan di dalam negeri. Masing-masing
pola pemasaran mempunyai karakteristik sendiri. Pola pertama, petani
rumput laut menjual ke pedagang pengumpul (desa) ke pedagang
besar (provinsi) ke eksportir (dari Surabaya). Pola kedua, petani-
pedagang pengumpul (desa)-pedagang pengumpul provinsi-pabrik
pengolahan (Mataram). Pola ketiga, petani-pedagang pengumpul
(desa)-pabrik pengolahan (Mataram). Dari ketiga saluran pemasaran
yang paling umum digunakan adalah saluran pertama, yaitu 80%
rumput laut didistribusikan melalui pola pemasaran tersebut. Pola
pemasaran pertama dipilih karena volume rumput laut yang diserap
lebih banyak dan pembayaran dilakukan secara tunai. Berbeda dengan
saluran pemasaran yang menjual ke pabrik pengolahan, umumnya

50
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

pembayaran dilakukan dengan tempo dan penentuan kualitas yang


cenderung tidak transparan (Hasil Survei Puska Dagri, 2012). Adapun
saluran distribusi atau penyaluran rumput laut dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
Namun demikian, untuk kasus di wilayah lain pembelian
dari eksportir tidak sepenuhnya juga dibayar secara tunai. Jika
pembayaran tidak dilakukan secara tunai maka peran asosiasi
penting untuk membantu petani, khususnya dalam pembelian. Disisi
lain, industri pengolahan di dalam negeri sebenarnya memiliki peran
dalam menyelamatkan berlebihnya rumput laut di dalam negeri karena
industri masih dapat membeli rumput laut dengan harga yang tinggi
dikala harga di tingkat petani turun.

Petani
(Rumput Laut)

Pedagang Pedagang
Pengumpul Pengumpul
(Desa) (Kec)

Perdagangan Perdagangan
Ekspor
Antar Pulau Antar Pulau

Gambar 4.5 Jalur Pemasaran Rumput Laut di Nusa Tenggara


Barat (NTB).
Sumber: Hasil Survei Puska Dagri (2012)

Pola pemasaran akan berjalan efisien bilamana tiap-tiap


pelaku pemasaran memiliki fungsi-fungsi pemasaran dalam rangka
menyampaikan komoditi rumput laut dari petani/produsen hingga ke
konsumen. Fungsi-fungsi pemasaran yang umumnya dilakukan oleh
setiap pelaku pemasaran dari gambaran empat pola pemasaran di
empat wilayah sentra produksi rumput laut, sebagai berikut:

51
Yati Nuryati

Tabel 4.3 Fungsi-Fungsi Pemasaran dalam Komoditi Rumput


Laut
Pelaku Pemasaran
Fungsi Dalam Pemasaran Pedagang Pabrik
Petani Pedagang
Eksportir Pengolahan
Pengumpul Besar

A. Fungsi Pertukaran
1. Pembelian v v v v
2. Penjualan v v v v
B. Fungsi Penyedia Fisik
1. Pengumpulan v v v
2. Pengemasan v v v v
3. Penyimpanan v v v v
4. Pemilihan (Sortasi) V V V
5. Pengangkutan v v v
C. Fungsi Penyedia Fasilitas
1. Informasi Harga/Pasar v v v v v
2. Penyedia Dana v
Sumber: Hasil Survei Puska Dagri (2012) dan sumber lainnya

Secara teori, saluran pemasaran dapat dibedakan menurut jumlah


tingkatannya. Kotler (1997) menjelaskan bentuk-bentuk saluran
pemasaran yang umum digunakan, antara lain: (i) saluran nol tingkat
(saluran pemasaran langsung), yang terdiri dari seorang produsen
yang langsung menjual ke konsumen akhir; (ii) saluran satu tingkat
terdiri dari satu perantara penjualan; (iii) saluran dua tingkat, terdiri dari
dua perantara, biasanya adalah pedagang besar dan pedagang
eceran; dan (iv) saluran tiga tingkat, terdiri dari tiga perantara, yaitu
pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang eceran.
Saluran pemasaran dengan tingkat yang lebih tinggi juga dapat
ditemukan tetapi jarang terjadi. Setiap saluran pemasaran memiliki
peran yang jelas sehingga pemasaran berjalan efektif. Banyaknya
tingkat pada saluran pemasaran akan menentukan besarnya biaya
pemasaran.Saluran pemasaran yang lebih banyak akan menentukan
biaya pemasaran juga lebih besar karena fungsi pemasaran yang
dikerjakan lebih banyak.
Berdasarkan pengelompokkan jenis saluran pemasaran yang
dijelaskan oleh Kotler (1997), pola pemasaran di Sulawesi tengah
termasuk saluran satu tingkat untuk memasarkan rumput laut dari
produsen sampai ke pabrik pengolahan. Namun, untuk pola pemasaran
dari petani sampai ke eksportir merupakan dua tingkat yang terdiri dari
pedagang pengumpul (desa) dan pedagang besar. Pola pemasaran
dari petani sampai ke eksportir dan pabrik olahan di Sulawesi Selatan
dilakukan dengan satu dan dua tingkat saluran pemasaran.

52
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Sementara pola pemasaran di Maluku menggunakan dua tingkat


saluran pemasaran dari petani dengan dua perantara penjual untuk
sampai ke eksportir dan perdagangan antar pulau. Saluran pemasaran
di NTB terdapat dua jalur yaitu saluran satu tingkat (dari petani dengan
satu perantara hingga ke perdagangan antara pulau) dan saluran dua
tingkat untuk memasarkan rumput laut dari petani hingga ke eksportir
dan perdagangan antara pulau. Lebih lanjut Mahatama dan Farid
(2013) menyatakan bahwa saluran pemasaran yang paling efisien baik
secara teknis maupun ekonomis yaitu saluran pemasaran rumput laut
dari petani ke pedagang pengumpul kemudian ke eksportir.

4.4 Biaya dan Margin Pemasaran Rumput Laut


Pola pemasaran rumput laut yang berbeda-beda di setiap sentra
produksi menyebabkan margin pemasaran yang diterima untuk
setiap lembaga pemasaran juga akan berbeda. Secara teori, margin
pemasaran dapat diartikan sebagai selisih antara harga yang
dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen
(Maharany, 2007). Besaran margin ini terkait dengan tingkat
efisiensi pemasaran. Pada umumnya semakin besar margin yang
diperoleh lembaga pemasaran, semakin tidak efisien pemasaran
komoditas tersebut. Adapun sifat umum dari margin pemasaran
adalah: (i) margin pemasaran berbeda-beda antara satu komoditas
dengan komoditas lainnya dan (ii) margin pemasaran produk pertanian
termasuk komoditas perikanan dan kelautan cenderung akan naik
dalam jangka panjang dengan menurunnya bagian harga yang diterima
petani.
Semakin besar margin pemasaran akan menyebabkan harga
yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin
mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien
(Tomek and Robinson, 1990). Pada rumput laut, besarnya margin
pemasaran sangat ditentukan oleh banyaknya lembaga pemasaran
yang terlibat dalam setiap pola atau saluran pemasaran, mengingat
saluran pemasaran komoditi rumput laut memiliki pola yang berbeda
pada setiap wilayahsehingga biaya pemasaran yang akan dikeluarkan
oleh setiap saluran pemasaran juga berbeda. Biaya pemasaran rumput
laut untuk pola pemasaran satu tingkat (dari produsen-pedagang
besar-eksportir/pabrik pengolahan) dan pola pemasaran dua tingkat
(dari produsen-pedagang pengumpul-pedagang besar-eksportir/
pabrik pengolahan) rumput laut kering sebagai berikut:

53
Yati Nuryati

Tabel 4.4 Biaya Pemasaran Rumput Laut menurut Jenis Pola


Pemasaran
Pola/Saluran Pemasaran (Rp/Kg)
Pelaku Pemasaran
I II III IV
1. Pedagang Pengumpul 575 550 575 550
2. Pedagang Besar 525 525
3. Eksportir 450 450
4. Pabrik Pengolahan 41.150 42.575
Total Biaya Pemasaran 1.025 41.700 1.550 43.125
Sumber: Diskusi dengan KKP (2015) dan Hasil Survei Puska Dagri (2012)

Ket: biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan selama pemasaran meliputi biaya pengumpulan, muat, angkut, bongkar,
menjemur, pembersihan dan pemrosesan untuk industri pengolahan

Pada Tabel 4.4 biaya pemasaran rumput laut untuk pola I dan III
relatif kecil karena pada pola ini rumput laut di ekspor pada kondisi bahan
mentah. Sedangkan biaya pemasaran pada pola II dan IV cukup tinggi
karena biaya dalam proses produksi di industri pengolahan cukup tinggi
terutama untuk bahan kimia (KCL dan KOH) yang umumnya masih
diperoleh dari impor. Bahan kimia dalam proses industri pengolahan
rumput laut mencapai 30-40% dari biaya produksi. Pada pedagang
pengumpul dan pedagang besar biaya pemasaran hanya mencakup
biaya pengumpulan, muat-bongkat-angkut, penjemuran. Peran pada
setiap pelaku pemasaran penting agar harga/biaya yang terjadi benar-
benar mencerminkan dari hasil aktivitasnya.
Hasil diskusi dengan KKP (2015) dan pelaku usaha sekaligus
eksportir rumput laut diperoleh angka estimasi margin pemasaran
rumput laut (secara umum). Margin pemasaran dari petani ke pedagang
pengumpul berkisar antara Rp 200-Rp 500/kg, margin dari pedagang
pengumpul ke pedagang besar berkisar antara Rp 300-Rp 500/kg
dan margin dari pedagang besar ke pabrik pengolahan di dalam
negeri sebesar Rp 500/kg sedangkan ke eksportir berkisar antara
USD 35–40/ton. Dengan asumsi harga rumput laut di tingkat petani
sebesar Rp 12.000/kg, margin dari petani ke pedagang pengumpul
rata-rata sebesar Rp 300/kg dengan susut sebesar 2% maka harga
jual rumput laut di tingkat pedagang pengumpul sebesar Rp 12.540/kg.
Secara rinci estimasi margin pemasaran rumput laut dari petani hingga
ke konsumen (pabrik pengolahan dalam negeri dan eksportir disajikan
pada Tabel 4.5

54
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Tabel 4.5 Margin Pemasaran Rumput Laut Berdasarkan


Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor

Dalam Negeri Ekspor


Uraian
Jumlah
Jumlah (Rp/Kg) (Rp/Kg)
Harga Jual (Rp/kg)
Petani
susut 2% 12.000 12.000
margin (per kg) 240 240
Pedagang Pengumpul 12.540 12.540
susut 15% 1.881 1.881
biaya angkut (per kg) 350 350
margin (per kg) 400 400
Perdagangan Besar 15.171 15.171
Margin (per kg) 500 540
Pabrik pengolahan 15.671
Eksportir 15.711

Sumber: Diskusi dengan KKP (2015) dan Koperasi Agro Niaga Makassar (2015), diolah

Secara umum, pemasaran dalam komoditi rumput laut cukup


memberikan penerimaan pada sisi petani yang besar. Hasil survey
Puska Dagri (2012) menggambarkan bahwa petani mendapat
penerimaan dari perdagangan dalam negeri rumput laut sekitar 63-
65% di tingkat pabrik/industri pengolahan dan 70-71% ditingkat
eksportir. Penerimaan petani ini merupakan perhitungan rasio antara
harga ditingkat petani dengan harga ditingkat eksportir dan antara
rasio harga ditingkat petani dengan harga di tingkat pabrik/industri
pengolahan. Tingginya penerimaan petani dalam penjualan rumput
laut di tingkat eksportir dikarenakan volume rumput laut yang diserap
cenderung lebih banyak serta pembayaran dilakukan secara tunai.
Sementara penerimaan ditingkat industri pengolahan dikarenakan
masih rendahnya posisi tawar petani dengan pedagang pengumpul
sebagai penyedia fasilitas yaitu penyedia dana sehingga ada ikatan
modal dalam bentuk sarana produksi maupun kebutuhan sembako
serta informasi harga yang kurang sempurna di terima petani antara
dari pedagang pengumpul dengan pabrik pengolahan.

4.5 Biaya Distribusi


Biaya distribusi dalam pemasaran rumput laut umumnya
merupakan salah satu isu yang masih dihadapi oleh sejumlah industri

55
Yati Nuryati

pengolahan di dalam negeri. Hal ini salah satunya yang menyebabkan


biaya produksi tinggi sehingga harga jual mereka menjadi lebih mahal.
Salah satu industri yang mengalami hambatan yaitu industri penghasil
produk karaginan. Hal ini karena bahan baku masih impor dari RRT
untuk bahan Semi Refined Carrageenan dimana kesediaan bahan
baku tersebut didalam negeri masih terbatas serta pertimbangan
kualitas. Untuk bahan baku rumput laut kering, permasalahan yang
dihadapi industri adalah tingginya biaya logistik di dalam negeri dari
sentra produksi yang umumnya diambil dari Makassar. Selain biaya
logistik, mahalnya harga rumput laut dikarenakan mengacu pada
harga ekspor. Mahalnya rumput laut kering di dalam negeri karena
biaya logistik dapat dijelaskan pada Tabel 4.6. Biaya logistik rumput
laut kering dari Makassar-Merak mencapai Rp 11 juta per kontainer
ukuran 20 feet. Biaya logistik Makassar-RRT sebesar USD 35-40/ton,
dan Makassar-Surabaya sebesar Rp 6,7 juta. Mahalnya biaya logistik
akan berdampak pada harga jual produk akhir di industri pengolahan.

Tabel 4.6 Biaya Logistik Rumput Laut

No Rute Pelayanan Biaya Logistik Muatan Ket


1 Makassar - Merak Rp. 11 juta 20 feet Door to door

2 Makassar - RRT USD 35-40 /ton 20 feet Fort to Fort

3 Makassar - Surabaya Rp 6,7 Juta 20 feet Door to door


Sumber: Diskusi dengan Astruli (2015) dan KKP (2015)

Ket: Rumput laut jenis Cottonii dan Gracilaria;


Pelabuhan di RRT yaitu pelabuhan Xiamen

Menurut penjelasan ASTRULI (2015) selain faktor biaya distibusi


(logistik), salah satu faktor yang masih menjadi hambatan dalam
pengembangan industri rumput laut didalam negeri yaitu kebijakan
insentif ekspor ke RRT, bahan kimia (30-40% dari biaya produksi),
serta bunga bank. Permasalahan rumput laut ini juga tertuang dalam
Roadmap Rumput Laut 2015-2019 dalam pengembangan hilirisasi
industri pengolahan rumput laut di dalam negeri salah satunya yaitu
mahalnya biaya logistik, baik untuk bahan baku maupun produk
olahannya serta masih terbatasnya jumlah infrastruktur pendukung
seperti jalan dan pelabuhan.

56
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

4.6 Perkembangan Harga Rumput Laut


Berbeda dengan komoditi lainnya, rumput laut belum dikenai penetapan
Harga Patokan Petani (HPP) sehingga harga masih sangat ditentukan
oleh musim dan daerah. Produksi rumput laut yang cukup besar di
Indonesia, namun harga rumput laut kering di tingkat petani masih
dinilai cukup murah, sementara harga hasil olahan relatif tinggi. Harga
rumput laut jenis Glacilaria berkisar antara Rp 6.000–Rp 8.000/kg dan
Cottonii, berkisar antara Rp 10.000–Rp 11.000/kg. Harga rumput laut
kering pernah mencapai harga tertinggi yaitu Rp 10.000–Rp 12.000/kg
untuk Gracilaria dan Rp 14.000–Rp 16.000/kg untuk jenis E. cottonii.

Harga Rumput Laut E. cottonii

Gambar 4.6 Perkembangan Harga Rumput Laut (E. cottonii)


Sumber: Jaringan Sumberdaya Informasi & Teknologi Rumput Laut Indonesia, (2015).

Menurut data Jaringan Sumberdaya Informasi & Teknologi Rumput


Laut Indonesia (Jasuda.net, 2015), harga rumput laut relatif fluktuatif
baik ditingkat petani, pedagang pengumpul maupun harga ditingkat
eksportir. Harga rumput laut jenis cottonii, mencapai puncak harga
tertinggi terjadi tahun 2014 terutama bulan Januari s.d Juli dengan harga
mencapai kisaran Rp 13.000/kg-Rp 17.000/kg (harga ditingkat petani),
Rp 13.500-Rp 18.000/kg (harga di tingkat pedagang pengumpul) dan
Rp 15.000/kg-Rp19.000/kg (harga di tingkat eksportir) (Gambar 4.6).
Sejak bulan Agustus 2014 harga turun, hal ini dikarenakan adanya
komplain dari RRT yang menyebabkan 40 kontainer ekspor ditolak
sehingga RRT berhenti membeli. Kondisi ini menyebabkan pasokan

57
Yati Nuryati

berlimpah dan menyebabkan harga turun. Selain produksi yang


berlimbah, harga turun karena kualitas seperti rumput laut yang dijual
adalah rumput laut yang sudah dicampur/dioplos (Bedah Naskah,
2015).Selain kualitas juga kebersihan, tingkat kekeringan rumput
laut yang dijual ke para pembeli juga tidak sepenuhnya sempurna.
Kandungan air dari rumput lautmasih cukup banyak, yang juga
mempengaruhi harga jual dari rumput laut yang dihasilkan para petani.
Selain itu, stabilitas harga rumput laut di dalam negeri juga dipengaruhi
oleh pangsa pasar rumput laut Indonesia yang mulai menurun. Hal
ini diperkuat dengan dihentikannya impor yang dilakukan Filipina
terhadap rumput laut Indonesia (Bappebti, 2015). Namun demikian,
berdasarkan Gambar 4.6, harga rata-rata rumput jenis E. cottonii (di
wilayah Makassar, Maluku, NTB, Kupang, Surabaya dan Nunukan)
selama tahun 2015 terlihat ada peningkatan, meski ada keluhan bahwa
harga rumput laut di tingkat petani di Nunukan menurun terutama di
bulan Mei 2015.
Harga rumput laut di tingkat petani yang murah menunjukkan
bahwa produksi yang berlimpah. Akan tetapi harga hasil olahan
rumput laut seperti ATC, Semi Refined Carrageenan, Refined
Carrageenan (RC) dan tepung agar cukup tinggi di pasar dalam
negeri. Produk hasil olahan tersebut berbahan baku rumput laut jenis
Cottonii dan Glacillaria. Pada Tabel 4.7 juga terlihat harga alginat di
dalam negeri sangat mahal yaitu Rp 640.000/kg. Mahalnya harga
produk ini dikarenakan ketersediaannya terbatas, mengingat bahan
bakunya masih kurang sehingga industri alginat di Indonesia kurang
berkembang mengakibatkan Indonesia mengimpor alginat dalam
jumlah yang cukup besar.
Tabel 4.7 Harga Rumput Laut Kering di Dalam Negeri
Harga (Rp/kg)
Rumput Laut
Bahan Mentah Produk diolah
Euchema 12.000
ATC (chip) 65.000 - 71.500
Semi Refined Carrageenan (SRC) 91.000 - 104.000
Refined Carrageenan (RC) 130.000 - 143.000
Gracillaria 12.000
Tepung Agar-agar 190.000
Sargassium 9.500
Alginat 640.000
Sumber: Diskusi dengan KKP (2015)

Ket: Harga ATC berkisar USD 5-5,5; SRC: USD 7-8 dan RC : USD10-11
Perhitungan di Tabel dengan asumsi Rp/USD sebesar Rp 13.000

58
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Fluktuasi harga rumput laut menjadi perhatian pemerintah. Hal ini


tercermindalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem
Resi Gudang (SRG). Peraturan yang secara eksplisit menerangkan
mengenai perlindungan stabilitas harga komoditi salah satunya rumput
laut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan
di Gudang yang kemudian memasukan rumput laut sebagai salah
satu komoditi yang dapat diresi gudangkan selain Gabah, Beras, Kopi,
Kakao, Lada, Karet, dan Jagung. Kemudian terbit Permendag Nomor
66/M-DAG/PER/12/2009 tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi
Gudang, serta berbagai Peraturan Kepala Bappebti sebagai juklaknya.
Namun demikian, pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa
kebijakan resi gudang, di semua sentra produksi rumput laut, belum
diimplementasikan. Satu sentra produksi yang telah menerapkan
Sistem Resi Gudang (SRG) yaitu Sulawesi Selatan. Selain disebabkan
aspek teknis dan ekonomis, aspek regulasi juga menjadi salah satu
penyebab belum dapat terimplementasinya Sistem Resi Gudang untuk
komoditas rumput laut. Hal ini terlihat dari peraturan-peraturan yang
mengatur berjalannya SRG dinilai belum dapat dilaksanakan secara
efektif pada komoditas rumput laut, terutama dalam hal pemanfaatan
fasilitas pembiayaan dalam SRG. Implementasi SRG belum efektif
dikarenakan fasilitas pembiayaan dalam SRG belum dapat terintegrasi
dengan skema-skema kredit yang sudah ada, seperti Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dan Kredit Pembiayaan Pangan dan Energi (KPPE).

4.7 Penutup
Pemasaran rumput laut di dalam negeri masih cukup beragam
sangat tergantung pada wilayah sentra produksi. Hal ini juga
berdampak pada harga rumput laut di tingkat petani dan pengumpul
yang beragam sesuai dengan wilayah sentra produksi. Pola
pemasaran rumput laut dari petani hingga ke konsumen (eksportir
dan pabrik pengolahan) dilakukan melalui satu dan atau dua tingkat
pola pemasaran. Perbedaan pola/saluran pemasaran ini membedakan
margin dan bagian harga yang diterima oleh petani rumput laut.
Permasalahan rumput laut dalam perdagangan dalam negeri
adalah harga. Kualitas rumput laut juga mempengaruhi harga, seperti
kebersihan dan tingkat kekeringan. Selama ini harga yang diterima
petani masih rendah yang disebabkan karena seperti (i) adanya lag
informasi harga serta serapan industri antara petani dengan pasar

59
Yati Nuryati

dan (ii) komitmen antara petani dengan pembeli yang masih lemah
sehingga pasar ekspor menjadi lebih menarik. Harga rumput laut
tergantung pada jenis dan musim panen.Mengingat permintaan rumput
laut tidakhanya memenuhi kebutuhan industri pengolahan tetapi juga
untuk tujuan ekspor maka harga menjadi indikator.
Pasar industri pengolahan rumput laut di dalam negeri yang cukup
berkembang yaitu agar-agar dan karaginan. Industri karaginan di dalam
negeri masih menghadapi masalah yaitu bahan baku Semi Refined
Carrageenan (SRC), bahan kimia (untuk proses produksi pengolahan)
serta masih tingginya biaya logistik yang menyebabkan harga jual
menjadi kurang bersaing dengan produk serupa yang berasal dari RRT.
Selain industri agar-agar dan karaginan, Indonesia terdapat industri
alginat namun tidak berkembang. Kedepan perlu kebijakan yang lebih
implementatif dan komprehensif dalam meningkatkan penerimaan
petani dan kebijakan untuk pengembangan industri pengolahan
rumput laut di dalam negeri. Dengan potensi produksi serta pasar
dalam negeri yang cukup prospektif, maka industri rumput laut di dalam
negeri dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
Upaya-upaya ini dapat ditingkatkan melalui kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalkan hambatan-hambatan, seperti perbaikan
infrastruktur (jalan dan pelabuhan) untuk mengurangi tingginya biaya
logistik serta inovasi teknologi di industri pengolahan. Dalam jangka
panjang, pemerintah harus bisa mengambil keuntungan dari besarnya
jumlah produksi rumput laut di dalam negeri dengan cara menciptakan
inovasi pada perdagangan rumput laut sehingga menghasilkan rumput
laut yang bernilai tambah tinggi (valueable) dan mendorong investasi
di dalam negeri yang dapat meningkatan penyerapan rumput laut di
dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Antaranews. (2015). Kebanggaan semu menjadi eksportir rumput


lautmentah.http://www.antaranews.com/berita/491173/
kebanggaan-semu-menjadi-eksportir-rumput-laut-mentah
kamis 16 April 2015, di unduh tanggal 9 Juni 2015.
ASTRULI. (2014). Roadmap Industri Rumput Laut Indonesia. Bahan
Presentasi Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)
tanggal 25 November 2014.

60
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut

Bappebti. (2015). Analisis Bulanan Rumput Laut. http://www.bappebti.


go.id/media/docs/info-komoditi_2015-06-30_10-11-34_
Analisis_Bulanan_Rumput_Laut-Mei.pdf.
Direktorat Jenderal Perikanan & Budidaya, Kementerian Kelautan
Dan Perikanan. (2015). Target Produksi Budidaya Perikanan
17,9 juta ton. Diunduh pada http://www.beritasatu.com/
ekonomi/287881-target-produksi-budidaya-perikanan-179-
juta-ton.html.
Jaringan Sumberdaya Informasi & Teknologi Rumput Laut Indonesia.
(2015). Informasi Pasar. www.Jasuda.net/31 Agustus 2015.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Profil Peluang
Usaha dan Investasi Rumput Laut Edisi ke-4.
Kotler, P. (1997). Manajement Pemasaran. Edisi millennium. Prentice
Hall Indonesia, Jakarta.
Maharany, D. (2007). Analisis Usaha Tani Dan Tataniaga Jamur Tiram
Putih. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Mahatama, E dan M. Farid. (2013). Daya Saing dan Saluran Pemasaran
Rumput Laut: Kasus Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan vol.7 no.1, Juli 2013.
Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Puska Dagri. (2012). Kajian Rumput Laut di Indonesia. Pusat kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan.
Jakarta.
Roadmap Industri Rumput Laut Indonesia. (2015). Kebijakan
Pengembangan Hilirisasi Industri Pengolahan Rumput Laut
2015-2019. Kementerian Perindustrian, Jakarta.
Tempo. (2013). Indonesia Hanya Bisa Budidaya Tiga Rumput Laut.
Edisi 13 April 2013.
Tomek and Robinson. (1990). Agricultural Product Prices. Third
edition. Cornell University Press. London.
Varia. (2015).Potensi rumput laut terhadang teknologi dan logistik.http://
www.varia.id/2015/04/08/potensi-rumput-laut-terhadang-
teknologi-dan-logistik/.

61
Yati Nuryati

62
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

BAB V
PERDAGANGAN LUAR NEGERI RUMPUT LAUT

Hasni

5.1 Pendahuluan
Rumput laut (Seaweed) merupakan salah satu komoditi andalan
ekspor Indonesia dari sektor perikanan dan kelautan. Akhir-akhir ini
kebutuhan rumput laut dunia semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat
dari tren volume impor rumput laut dunia sepanjang periode 2010-2014
yang meningkat sebesar 8,15% per tahun (ITC, 2015). Permintaan
dunia yang terus meningkat merupakan peluang besar bagi Indonesia
untuk memaksimalkan potensi produksi rumput laut, baik sebagai
bahan baku maupun produk olahannya. Hasil olahan rumput laut yang
paling banyak diproduksi secara global adalah karaginan, dimana
karaginan merupakan produk olahan dari rumput laut jenis Eucheuma
cottonii.
Demikian juga halnya dengan produksi olahan rumput laut dalam
negeri diperkirakan juga mengalami peningkatan yang signifikan,
mengingat potensi rumput laut di kawasan timur Indonesia masih
banyak yang belum digarap. Tidak berbeda dengan produksi rumput
laut global, produksi rumput laut Indonesia juga didominasi oleh
jenis Eucheuma cottonii yang mengandung karaginan. Karaginan
terbagi dalam 3 jenis yaitu Refined Carrageenan (RC), Semi Refined
Carrageenan (SRC), dan Alkali Treated Chips (ATC). Dari ketiga jenis
olahan karaginan tersebut, pangsa produksi SRC yang terbesar,
sedangkan agar-agar merupakan hasil olahan rumput laut jenis agarofit
(KKP, 2014).

5.2 Dinamika Harga Rumput Laut di Pasar Dunia


Seiring dengan kebutuhan rumput laut dunia yang semakin tinggi,
harganya juga terus mengalami peningkatan. Dengan membandingkan
harga beberapa jenis rumput laut di pasar internasional, terlihat
bahwa rumput laut jenis Gigartina Radula B/L memiliki harga yang
tertinggi (Gambar 5.1). Harga ekspor rumput laut ditentukan melalui
kesepakatan perjanjian antara pengusaha dalam negeri dengan pihak
pembeli dari luar negeri (buyer).

63
Hasni

Gambar 5.1 Perkembangan Harga Beberapa Jenis Rumput Laut


Internasional.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014)

Harga Eucheuma cottonii tahun 2014 Gambar 5.1 jika dikonversi


ke mata uang Rupiah menjadi sekitar Rp 17.000/kg, sementara harga
normal Eucheuma cottonii di dalam negeri hanya berkisar Rp 10.000/
kg–Rp 12.000/kg. Perbedaan harga yang sangat signifikan tersebut
menyebabkan pengusaha rumput laut lebih memilih untuk menjual
produknya ke luar negeri daripada menjual ke industri dalam negeri.

5.3 Perkembangan Ekspor-Impor (Nilai dan Volume, Rumput Laut


dan Olahannya)
Pengembangan industri rumput laut sejak dari hulu hingga hilir
memiliki nilai strategis, dimulai dari usaha budidaya rumput laut,
industri pengolahan sampai kegiatan penelitian dan pengembangan
produk yang menggunakan rumput laut (Ya’la, 2008). Ekspor-impor
produk rumput laut Indonesia sendiri terdiri dari bahan baku dan
produk setengah jadi. Bahan baku yang dimaksud adalah rumput laut
kering yang dikeringkan oleh produsen/petani, sedangkan produk
setengah jadi merupakan produk olahan rumput laut yang dihasilkan
oleh industri pengolahan rumput laut dan telah menggunakan mesin
pengolah.

64
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor Rumput


Laut Indonesia
Tren 2010-2014
NILAI (USD JUTA) 2010 2011 2012 2013 2014 (%)

EKSPOR 155,4 182,3 177,9 209,5 279,5 14,04


IMPOR 13,3 14,3 5,8 7,8 7,3 (-16,42)
NERACA 142,1 168,0 172,1 201,7 272,2 15,94
Tren 2010-2014
VOLUME (RIBUAN TON) 2010 2011 2012 2013 2014
(%)

EKSPOR 125,7 162,2 174,0 181,9 206,5 11,70


IMPOR 2,8 2,9 1,2 0,9 0,8
(-30,35)
NERACA 122,9 159,3 172,8 181,0 205,6 12,26

Tren 2010-2014
NILAI SATUAN (USD/kg) 2010 2011 2012 2013 2014
(%)

EKSPOR 1,2 1,1 1,0 1,2 1,4 2,09


IMPOR 4,8 4,9 4,9 8,3 9,1 20,01
Sumber: BPS (2015), diolah

Jika dilihat dari sisi nilai, selama periode 2010-2014 terjadi


peningkatan ekspor rumput laut Indonesia sebesar 14,0% setiap
tahunnya, tidak jauh berbeda dengan volumenya yang juga mengalami
peningkatan 11,7% per tahun. Sementara dari sisi nilai impor, kinerja
impor rumput laut Indonesia pada periode yang sama telah terjadi
penurunan 16,4%, sedangkan dari sisi volume impor mengalami
penurunan rata-rata 30,4% per tahun. Dari sisi neraca, pertumbuhan
neraca nilai lebih baik dibandingkan neraca volume, dimana surplus
nilai perdagangan rumput laut rata-rata tumbuh 16% per tahun,
sedangkan surplus volume tumbuh 12% per tahun. Namun, jika dilihat
dari nilai satuan yang diperoleh dari nilai ekspor atau impor dibagi
dengan volume ekspor atau impor, ternyata nilai satuan ekspor masih
dibawah nilai satuan impor. Hal ini mengindikasikan bahwa harga
komoditi impor rumput laut masih lebih tinggi dibanding harga ekspor
komoditi rumput laut yang diekspor (Tabel 5.1).

65
Hasni

Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia


HS 10 digit (ribu ton)

Kode HS Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014 Tren '10-14 (%) Pangsa 2014 (%)
1212201100 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 8,5 9,9 1,6 1,5 0,9 (47,67) 0,43
dikeringkan jenis yang digunakan dalam farmasi

1212201900 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 34,3 49,5 51,8 55,1 60,2 13,11 30,01
dikeringkan jenis yang digunakan dalam
pencelupan, penyamakan dan wewangian
1212202000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 9,6 6,1 13,3 9,1 7,7 (0,42) 3,86
dikeringkan, bukan untuk konsumsi manusia

1212209000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 70,7 93,6 101,6 110,5 131,9 15,19 65,70
dikeringkan, terutama untuk konsumsi manusia

1302310000 Agar-agar 1,7 1,9 1,3 1,1 0,9 (16,44) 0,45

1302391000 Carageenan 0,9 1,2 4,4 4,8 4,8 59,07 2,33

Sumber: BPS (2015), diolah

Jika dilihat dari Tabel 5.2, Harmonized System (HS) 1212201100,


HS 1212201900, HS 1212202000 dan HS 1212209000 merupakan
rumput laut yang masih dalam bentuk bahan baku, sedangkan HS
1302310000 dan HS 1302391000 berupa Agar-agar dan Carageenan
yang sudah dalam bentuk olahan rumput laut. Rumput laut dengan
kode HS 1212209000 mendominasi dengan pangsa ekspor mencapai
65,7%. Dari sisi pertumbuhan, Carageenan (HS 1302391000)
yang paling tinggi dengan rata-rata pertumbuhan 59,1% per tahun.
Sementara itu dari sisi negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia,
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mendominasi dengan pangsa ekspor
tahun 2014 mencapai 75%, sementara Filipina dan Vietnam berada
di posisi kedua dan ketiga sebagai negara tujuan ekspor rumput laut
dengan pangsa masing-masing 4,5% dan 3,6%. Sepuluh negara tujuan
ekspor rumput laut memberikan kontribusi lebih dari 97% terhadap
total ekspor rumput laut nasional tahun 2014 (Tabel 5.3).

66
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia


Berdasarkan Negara Tujuan (ribu ton)
VOLUME: RIBU TON Tren '10- Pangsa
NO NEGARA
2010 2011 2012 2013 2014 14 (%) 2014 (%)

1 RRT 72 101 123 144 151 20,01 75,16


2 FILIPINA 13 10 11 8 9 (-8,72) 4,55
3 KOREA SELATAN 3 8 6 3 7 9,44 3,64
4 CHILI 3 4 6 6 7 23,40 3,42
5 VIETNAM 15 14 6 2 6 (-32,37) 3,03
6 HONGKONG 5 6 4 4 6 (-1,60) 2,98
7 AMERIKA SERIKAT 2 2 3 2 3 12,96 1,69
8 PERANCIS 2 3 1 2 3 (-1,66) 1,29
9 KANADA 0 0 0 0 1 138,60 0,72
10 SPANYOL 1 1 1 0 1 6,72 0,71
SUBTOTAL 116 151 163 172 195 12,44 97,17
LAINNYA 7 8 6 5 6 (-10,41) 2,83
Sumber: BPS (2015), diolah

Apabila dilihat dari pangsa dan tren selama periode 2010-2014,


rumput laut dengan kode HS 1212209000 yang mendominasi ekspor
rumput laut Indonesia. Pangsa rumput laut jenis ini mencapai 65%
lebih dengan pertumbuhan rata-rata 15% per tahun selama periode
2010-2014. Negara tujuan utama ekspor untuk rumput laut ini adalah
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut (HS 1212209000),


2010-2014
VOLUME: RIBU TON Tren '10- Pangsa
NO NEGARA
2010 2011 2012 2013 2014 14 (%) 2014 (%)

1 RRT 48,23 66,17 78,49 92,46 101,37 19,97 76,87


2 CHILI 1,54 1,15 5,08 5,20 6,12 53,33 4,64
3 FILIPINA 4,25 3,16 6,35 3,83 5,17 6,04 3,92
4 KOREA SELATAN 1,30 4,06 1,37 1,17 2,86 3,32 2,17
5 VIETNAM 7,71 8,87 4,17 1,50 4,79 (23,87) 3,63
SUBTOTAL 63,0 83,4 95,5 104,2 120,3 16,36 91,24
LAINNYA 7,6 10,2 6,1 6,4 11,6 3,61 8,76
Sumber: BPS (2015), diolah

67
Hasni

Negara tujuan ekspor utama rumput laut lain dan ganggang


segar yang didinginkan atau dikeringkan, untuk konsumsi manusia
(HS 1212209000) adalah RRT dengan pangsa tahun 2014 lebih
dari 76%. Sementara pertumbuhan ekspor rumput laut tersebut ke
RRT mengalami peningkatan lebih dari 19% per tahun pada periode
2010-2014. Chili berada di urutan kedua dengan pangsa 4,6% dan
pertumbuhan yang signifikan sebesar 53% per tahun. Di posisi ketiga
terdapat Filipina dengan pangsa ekspor tahun 2014 sebesar 3,9%,
dan pertumbuhan rata-rata per tahun 6,0% selama periode 2010-2014
(Tabel 5.4).
Sementara dari sisi impor menurut HS, rumput laut yang paling
banyak diimpor oleh Indonesia adalah Carageenan (HS 1302391000).
Tahun 2014 pangsa volume impor Carageenan 50,1% terhadap total
impor rumput laut. Disusul oleh rumput laut HS 1212209000 dengan
pangsa 27,8%. Sementara jika dilihat dari tren, rata-rata volume impor
mengalami pertumbuhan yang negatif selama periode 2010-2014.
Agar-agar dan karaginan masing-masing mengalami penurunan rata-
rata per tahun sebesar 32,4 % dan 30,5 % pada periode 2010-2014
(Tabel 5.5).

Tabel 5.5 Perkembangan Volume Impor Rumput Laut Indonesia


HS 10 digit (ton)
Kode HS Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014 Tren '10-14 (%) Pangsa 2014 (%)
1212201100 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 1,9 5,1 0,0 - - - -
dikeringkan jenis yang digunakan dalam farmasi

1212201900 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 454,0 111,5 32,2 3,0 - - -
dikeringkan jenis yang digunakan dalam
pencelupan, penyamakan dan wewangian
1212202000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 151,2 73,4 41,1 39,7 15,0 (40,79) 1,86
dikeringkan, bukan untuk konsumsi manusia

1212209000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 171,7 491,9 137,6 173,2 224,6 (4,94) 27,85
dikeringkan, terutama untuk konsumsi manusia

1302310000 Agar-agar 750,2 903,9 714,0 381,9 163,1 (32,39) 20,22

1302391000 Carageenan 1257,5 1320,8 242,8 334,4 403,8 (30,50) 50,07

Sumber: BPS (2015), diolah

68
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Berdasarkan negara asal impor rumput laut Indonesia, ternyata


RRT juga mendominasi dengan pangsa impor tahun 2014 mencapai
36,9%, sedangkan Malaysia dan Filipina menduduki urutan kedua dan
ketiga sebagai negara asal impor rumput laut dengan pangsa masing-
masing 16,9% dan 11,4%. Jika dilihat dari sepuluh negara asal impor,
Taiwan dan Irlandia yang mengalami peningkatan paling tinggi yaitu
rata-rata 53,3% dan 48,5% per tahun. Sepuluh negara asal impor
rumput laut memberikan kontribusi lebih dari 84,7% terhadap total
impor rumput laut tahun 2014 (Tabel 5.6).

Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Rumput Laut Indonesia


Berdasarkan Negara Asal (ton)
VOLUME: TON Tren '10- Pangsa
NO NEGARA
2010 2011 2012 2013 2014 14 (%) 2014 (%)

1 RRT 924 1,111 624 352 297 (-28.95) 36,86


2 MALAYSIA 101 206 191 186 136 5.15 16,89
3 FILIPINA 80 69 42 8 92 (-17.01) 11,40
4 TAIWAN 10 20 34 71 45 53.28 5,58
5 KOREA SELATAN 161 156 113 82 31 (-32,68) 3,81
6 DENMARK 85 84 46 136 31 (-14.46) 3,78
7 KANADA 169 65 39 39 29 (-33,21) 3,60
8 THAILAND 44 4 19 19 16 (-3,37) 2,02
9 IRLANDIA 1 3 4 4 5 48.48 0,62
10 AMERIKA SERIKAT 611 344 21 2 1 (-82,88) 0,14
SUBTOTAL 2,185 2,061 1,133 899 683 (-27,06) 84,69
LAINNYA 601 845 34 33 123 (-47,27) 15,31
Sumber: BPS (2015), diolah

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rumput laut yang paling banyak


diimpor adalah karaginan. Adapun negara utama asal impor
karaginan adalah RRT dengan pangsa 67,8%tahun 2014. Namun
pertumbuhan impor karaginan dari RRT mengalami penurunan 7,8%
per tahun pada periode 2010-2014. Filipina merupakan negara asal
impor karaginan terbesar kedua dengan pangsa 22,8% tahun 2014.
Denmark merupakan negara asal impor karaginan terbesar ketiga
dengan pangsa 7,6%. Namun, dari sisi tren di periode 2010-2014
ketiga negara tersebut mengalami pertumbuhan yang negatif (Tabel
5.7). Menurut KKP, disinyalir terdapat perdagangan rumput laut dari
daerah perbatasan ke luar negeri yang tidak dicatat (unreported).

69
Hasni

Tentu saja jika transaksi tersebut dicatat akan meningkatkan kinerja


ekspor rumput laut nasional.
Tabel 5.7 Negara Asal Impor Karaginan (HS 1302391000), 2010-
2014
VOLUME: TON Tren '10- Pangsa
NO NEGARA
2010 2011 2012 2013 2014 14 (%) 2014 (%)

1 RRT 291,08 339,91 106,02 170,00 274,00 (7,82) 67,85


2 FILIPINA 79,70 69,00 41,82 8,07 91,90 (16,98) 22,76
3 DENMARK 84,82 83,90 45,58 136,00 30,51 (14,46) 7,56
4 SINGAPURA - 4,00 4,99 1,56 0,10 - 0,02
5 AS 597,53 343,12 19,28 1,08 - - -
SUBTOTAL 1053,1 839,9 217,7 316,7 396,5 16,36 8,24
LAINNYA 204,4 480,9 25,1 17,7 7,3 3,61 0,15
Sumber: BPS (2015), diolah

5.4 Peta Perdagangan Internasional


Data tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan
produsen utama dunia untuk rumput laut jenis Gracilaria. Tahun 2013
lebih dari 65% dari total produksi Gracilaria yang dipasok dunia berasal
dari Indonesia. Rumput laut jenis Gracilaria pada umumnya tumbuh
di daerah payau. Gracilaria merupakan bahan utama untuk membuat
tepung agar-agar. Di bawah posisi Indonesia, terdapat RRT sebagai
negara pemasok Gracilaria terbesar kedua dengan pangsa 17% tahun
2013 (Gambar 5.2).

Jepang Korea

Chili 2% 2%

14%

RRT
17% Indonesia
65%

Gambar 5.2 Negara Utama Penghasil Gracilaria, 2013.


Sumber: Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) (2014), diolah

70
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Sama halnya dengan Gracilaria, rumput laut jenis Eucheuma


cottonii dunia juga paling banyak dipasok dari Indonesia. Eucheuma
cottoni merupakan bahan dasar untuk membuat produk olahan
karaginan. Tahun 2013 Indonesia memasok sekitar 58% kebutuhan
Eucheuma cottonii dunia, disusul oleh Filipina yang memasok 26%
Eucheuma cottonii dunia (Gambar 5.3). Menurut pengamat rumput
laut dunia, posisi Indonesia yang berada di kawasan coral triangel
menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama Eucheuma cottonii
kering dunia yang tidak akan dapat dikalahkan negara manapun.
Produksi Eucheuma cottonii Indonesia saat ini masih dapat ditingkatkan
karena potensi kawasan timur Indonesia yang sangat tinggi dan belum
dikembangkan secara optimal (KKP, 2014). Sebelumnya di tahun 2005
produksi Eucheuma cottonii Indonesia masih mencapai 80.000 ton,
sedangkan Filipina sudah menghasilkan 110.000 ton (McHugh, 2006).

Vietnam,
Malaysia,
Tanzania
16%

Filipina
26% Indonesia
58%

Gambar 5.3 Negara Utama Penghasil Eucheuma cottonii, 2013.


Sumber: ASTRULI (2014), diolah

Jika dilihat dari perkembangan impor rumput laut dunia, jenis


rumput laut olahan yaitu karaginan (HS 130239) yang memiliki pangsa
dan pertumbuhan volume impor paling tinggi, artinya kebutuhan dunia
terhadap karaginan masih sangat tinggi di masa yang akan datang.
Pada tahun 2014 karaginan memberikan kontribusi lebih dari 58%
terhadap total impor rumput laut dunia, sedangkan peningkatan
impornya pada periode 2012-2014 rata-rata 4,4% per tahun.Sementara
itu, agar-agar (HS 130231) dan rumput laut untuk konsumsi manusia
(HS 121221) juga terus meningkat permintaannya, terlihat dari impor
dunia untuk kedua rumput laut ini rata-rata naik 15,2% dan 16,7% per
tahun pada periode 2012-2014. Pangsa keduanya masing-masing

71
Hasni

sebesar 13,8% dan 13,7% per tahun terhadap total impor rumput laut
dunia pada tahun 2014 (Tabel 5.8).
Tabel 5.8 Perkembangan Impor Rumput Laut Dunia (ton)
Tren 12-14 Pangsa '14
HS Deskripsi 2012 2013 2014
(%) (%)

121220 Rumput laut dan alga lain, segar atau dikeringkan 30.822 10.572 10.030 (-42,95) 1,48
121221 Rumput laut dan alga lain : Layak untuk konsumsi manusia 189.522 225.686 258.002 16,68 38,13
121229 Rumput laut dan alga lain : Tidak layak untuk konsumsi manusia 252.078 296.425 255.078 0,59 37,69
130231 Agar-agar 11.809 13.806 12.486 2,83 1,85
130239 Karaginan 135.728 14.944 141.125 1,97 20,85
Total 619.959 561.433 676.721 4,48 100,00
Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data Intenational Trade


Center (ITC), pasar impor rumput laut dunia (HS 121220) tahun 2013
tersebar ke banyak negara dimana konsentrasi pasar terjadi pada 10
negara yang menyerap 99% dari total impor dunia. Filipina menjadi
negara pengimpor terbesar dengan pangsa tahun 2013 mencapai 79%
lebih dan pertumbuhan rata-rata per tahun naik 4% selama periode
2010-2013. Indonesia sendiri menduduki urutan ke-49 sebagai negara
yang mengimpor rumput laut HS 121220. Namun sejak tahun 2012,
permintaan Indonesia terhadap impor rumput laut HS 121220 sudah
tidak ada. Demikian juga dengan pertumbuhan impor rumput laut
dunia HS 121220 juga mengalami penurunan, dimana selama periode
2010 hingga 2013 turun 73,7% per tahun (Tabel 5.9).

Tabel 5.9 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121220) Dunia (ton)
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014* Tren 10-13 (%) Pangsa '13 (%)
Dunia 370.531 474.546 30.762 10.802 8.313 (73,66) 100,0
1 Filipina 9.698 5.445 11.681 8.563 8.313 3,98 79,27
2 Ukraina 704 814 503 995 5,72 9,21
3 Maroko 38 74 448 778 196,19 7,20
4 Vietnam - - - 217 - 2,01
5 Hong Kong 1.089 1.291 - 125 - 1,16
6 Kirgizstan 1 2 14 34 249,91 0,31
7 Venezuela 96 2 39 28 (7,00) 0,26
8 Korea Selatan - 4 499 22 - 0,20
9 Aruba 12 8 10 11 (0,38) 0,10
10 Jamaika 7 10 26 10 22,45 0,09
Subtotal 11.645 7.650 13.220 10.783 8.313 3,21 99,82
49 Indonesia 779 682 - - - -
Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

72
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Dari sisi negara pemasok rumput laut HS 121220 di pasar dunia,


ternyata selain sebagai pengimpor utama, Filipina juga merupakan
negara pemasok utama HS rumput laut yang sama dengan pangsa
mencapai 89,5% tahun 2013. Posisi ini disusul Maroko di urutan
kedua dengan pangsa ekspor sebesar 10,4%. Sementara Indonesia
sejak tahun 2012 sudah tidak mengekspor rumput laut jenis tersebut.
Tren ekspor dunia untuk rumput laut jenis ini turun 57,8% per tahun
selama tahun 2010 hingga 2013. Sedangkan ekspor Filipina, Maroko
dan Senegal masih mengalami peningkatan masing-masing sebesar
24,9%, 1,6% dan 20,2% per tahun di periode yang sama (Tabel 5.10).

Tabel 5.10 Pemasok Rumput Laut (HS 121220) di Pasar Dunia


(ton)
No Eksportir 2010 2011 2012 2013 2014* Tren 10-13 (%) Pangsa '13 (%)

Dunia 344.920 409.469 41.976 41.432 18.493 (57,83) 100,00


1 Filipina 17.404 27.141 26.053 37.063 18.493 24,94 89,46
2 Maroko 4.769 2.333 3.692 4.309 1,56 10,40
3 Senegal 26 19 45 36 20,18 0,09
4 Vietnam - - - 10 - 0,02
5 Mesir 56 81 - 7 - 0,02
6 Ukraina 5 2 1 7 3,21 0,02
7 Tanzania 12.182 14.773 9.815 - - -
8 India - 733 1.129 - - -
9 Malaysia 857 1.321 502 - - -
10 Tonga - 107 323 - -
Subtotal 22.260 29.576 29.791 41.432 18.493 20,58 100,00
56 Indonesia 123 159 - - - -
Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

Impor rumput laut dunia (HS 121221) tahun 2013 sebagian besar
(90%) terkonsentrasi pada 10 pasar negara-negara maju seperti RRT,
Jepang, Irlandia, Perancis, Korea Selatan, Amerika Serikat, Norwegia,
Chili, Rusia dan Thailand. Indonesia sebagai negara importir rumput
laut (HS 12122) menduduki urutan ke-33. Secara total impor dunia
terhadap rumput laut jenis ini meningkat 14,7% per tahun selama
periode 2012-2014. RRT sebagai pengimpor utama rumput laut jenis
ini dengan pangsa pasar hampir 50% dari total impor dunia. Dari
sepuluh negara pengimpor utama, RRT juga mengalami pertumbuhan

73
Hasni

rata-rata impor tertinggi yakni 37,4% per tahun. Sementara itu, Jepang
sebagai negara pengimpor rumput laut HS 121221 terbesar kedua
dengan pangsa 14% di tahun 2013, mengalami tren pertumbuhan
impor yang menurun pada periode 2012-2014 yaitu sebesar 7,24%
per tahun (Tabel 5.11).

Tabel 5.11 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121221) di Pasar Dunia
(ton)

No Importir 2010 2011 2012 2013 2014* Tren 12-14 (%) Pangsa '13 (%)

Dunia 188.425 228.122 247.787 14,68 100,00


1 RRT 0 0 68.810 113.651 129.909 37,40 49,82
2 Jepang 0 0 38.245 31.999 32.910 (7,24) 14,03
3 Irlandia 0 0 13.706 13.706 - - 6,01
4 Perancis 0 0 16.055 13.066 11.013 (17,18) 5,73
5 Korea Selatan 0 0 17.625 12.665 14.325 (9,85) 5,55
6 Amerika Serikat 0 0 7.711 6.439 7.187 (3,46) 2,82
7 Norwegia 0 0 7.693 6.318 6.402 (8,78) 2,77
8 Chili 0 0 2.710 3.510 4.484 28,63 1,54
9 Rusia 0 0 2.835 2.978 4.383 24,34 1,31
10 Thailand 0 0 2.121 2.759 3.408 26,76 1,21
Subtotal - - 177.511 207.091 214.021 9,80 90,78
33 Indonesia 0 0 130 172 - 0,08
Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

Data ITC menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pemasok


utama dunia untuk rumput laut (kode HS 121221), dengan pangsa
pasar Indonesia di dunia mencapai sekitar 41% atau volumenya
mencapai 101 ribu ton tahun 2013. Pasokan rumput laut (HS 121221)
di pasar dunia masih didominasi oleh Indonesia dan Madagaskar.
Sepuluh negara eksportir utama memasok hampir 97% dari total
permintaan dunia pada tahun 2013. Madagaskar menguasai lebih dari
34% pangsa pasar dunia, dengan tren pertumbuhan selama 2012-
2014 tumbuh 21% per tahun. Amerika Serikat dan Inggris di periode
yang sama juga mengalami pertumbuhan cukup baik dimana ekspor
rumput laut kedua negara tersebut masing-masing tumbuh 15% dan
12% (Gambar 5.4).

74
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

30.00
Madagaskar

20.00
AS
Inggris
10.00
Jepang
Tren ekspor ‘12-14(%)
Indonesia
0.00 Tanzania
Perancis Korea
-10.00
Chili
-20,00
RRT
-30.00

-40.00
(20,000) - 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000
Nilai Ekspor Tahun 2013 (USD Juta)

Gambar 5.4 Pemasok Rumput Laut (HS 121221) di Pasar Dunia


(ton).
Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

Chili merupakan pemasok Rumput Laut (HS 121229) terbesar


di dunia selama kurun waktu 2012-2014. Negara ini memasok lebih
dari 27% bahan rumput laut (HS 121229) dunia tahun 2013. Posisi
Indonesia sebagai salah satu negara pemasok bahan rumput laut (HS
121229)di pasar dunia berada pada urutan ke dua, dengan pangsa
sekitar 27%. Sementara itu, Madagaskar mengalami peningkatan
ekspor yang tinggi dimana selama 2012-2014 tumbuh rata-rata 82%
per tahun. Sedangkan ekspor Islandia pada periode yang sama
tumbuh 53% per tahun (Tabel 5.12).
Tabel 5.12 Pemasok Rumput Laut (HS 121229) di Pasar Dunia
(ton)

Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

75
Hasni

Pasar impor rumput laut (HS 121229) dunia tumbuh fluktuatif, untuk
data tahun 2010 dan 2011 tidak tersedia, sementara data tahun 2014
belum tersedia secara lengkap, sehingga dari perhitungan sementara
rumput laut (HS 121229) turun 1,8% per tahun, terkonsentrasi pada 10
negara yang menyerap lebih dari 94% dari total impor dunia. Indonesia
sebagai negara importir rumput laut (HS 121229) menempati urutan
ke-42. RRT sebagai importir utama mengalami penurunan permintaan
impor rata-rata 9,7% per tahun periode 2012-2014. Tahun 2013, RRT
menyerap lebih dari 50% rumput laut (HS 121229) dunia. Sementara
itu permintaan Inggris untuk rumput laut jenis tersebut meningkat
tajam dengan tren pertumbuhan 138% per tahun di periode 2012-2014
(Tabel 5.13).
Tabel 5.13 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121229) Dunia (ton)
Tren 12- Pangsa
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014*
14 (%) '13 (%)
Dunia - - 252.076 332.902 243.211 (1,77) 100,00
1 RRT - - 151.155 168.411 123.368 (9,66) 50,59
2 Chili - - 4.382 37.338 6.095 17,94 11,22
3 Inggris - - 849 23.845 4.807 137,95 7,16
4 Amerika Serikat - - 19.539 23.652 18.030 (3,94) 7,10
5 Irlandia - - 21.505 21.505 34.140 26,00 6,46
6 Jepang - - 15.114 14.548 15.138 0,08 4,37
7 Australia - - 8.527 6.900 7.848 (4,06) 2,07
8 Denmark - - 6.897 6.828 5.525 (10,50) 2,05
9 Arab Saudi - - 1.902 6.600 - - 1,98
10 Spanyol - - 5.897 5.656 6.312 3,46 1,70
Subtotal - - 235.767 315.283 221.263 (3,1) 94,71
42 Indonesia - - 81 44 - 0,01
Sumber: ITC (2015), diolah

Keterangan: *) data tahun 2014 masih banyak yang belum tersedia

Dari sisi pemasok agar-agar (HS 130231) di pasar dunia, RRT


ternyata pemasok utama agar-agar dunia dengan pangsa mencapai
40% lebih. Chili berada di urutan kedua negara pemasok utama
agar-agar dengan pangsa mencapai 13% tahun 2014. Disusul oleh
Spanyol di urutan ketiga dengan pangsa ekspor hampir mencapai
10%. Sementara Indonesia menempati peringkat keempat sebagai
pemasok agar-agar dunia dengan pangsa 7%, namun trennya
mengalami penurunan 16,4% per tahun pada periode 2010-2014. Tren
ekspor dunia untuk agar-agar meningkat 0,4% per tahun selama tahun
2010 hingga 2014 (Tabel 5.14).

76
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Tabel 5.14 Pemasok Agar-Agar (HS 130231) di Pasar Dunia (ton)


Tren 10- Pangsa
No Eksportir 2010 2011 2012 2013 2014
14 (%) '14 (%)
Dunia 12.770 12.777 11.494 12.223 13.317 0,40 100,00
1 RRT 3.980 3.714 4.146 4.488 5.465 8,58 41,04
2 Chili 2.170 2.057 1.925 1.771 1.78 (5,31) 13,37
3 Spanyol 1.060 933 1.044 1.153 1.309 6,54 9,83
4 Indonesia 1.721 1.873 1.292 1.056 933 (16,45) 7,01
5 Maroko 1.005 842 937 1.066 925 0,70 6,95
6 Jerman 862 634 410 525 609 (8,46) 4,57
7 Korea Selatan 348 386 380 478 465 8,26 3,49
8 Taipei 26 39 66 114 201 67,58 1,51
9 Amerika Serikat 264 279 213 270 197 (6,00) 1,48
10 Perancis 141 158 151 188 170 5,63 1,28
Subtotal 11.577 10.915 10.564 11.109 12.054 0,99 90,52
Sumber: ITC (2015), diolah

Secara total, impor agar-agar dunia (HS 130231) meningkat


sekitar 5% per tahun selama periode 2010-2014. Jepang sebagai
negara pengimpor utama agar-agar dengan pangsa pasar hampir
15% dari total impor dunia. Sementara itu, Amerika Serikat sebagai
negara pengimpor agar-agar terbesar kedua dengan pangsa 11% di
tahun 2014, dan Jerman sebagai pengimpor terbesar ketiga dengan
pangsa 7%, mengalami tren pertumbuhan impor yang menurun pada
periode 2010-2014 yaitu turun sebesar 8,8% per tahun. Indonesia
sebagai negara importir agar-agar (HS 130231) menempati peringkat
ke-17 dengan pangsa 1,3%. Dari sepuluh negara pengimpor utama
agar-agar, RRT mengalami pertumbuhan rata-rata tertinggi yaitu 48%
per tahun (Tabel 5.15).
Tabel 5.15 Pasar Impor Agar-Agar (HS 130231) Dunia (Ton)
Tren 10-14 Pangsa
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014
(%) '14 (%)
Dunia 10.858 11.259 11.993 14.498 12.360 5,25 100,00
1 Jepang 1.546 1.535 1.706 1.785 1.850 5,23 14,97
2 Amerika Serikat 1.312 1.368 1.429 1.420 1.413 1,87 11,43
3 Jerman 1.181 942 618 697 867 (8,78) 7,01
4 Thailand 730 616 724 695 818 3,54 6,62
5 Spanyol 585 346 446 1.859 780 25,32 6,31
6 Malaysia 622 680 765 869 680 4,33 5,50
7 Rusia 469 494 269 273 577 (1,77) 4,67
8 Perancis 373 557 1.106 370 393 (3,00) 3,18
9 RRT 89 134 227 348 392 47,99 3,17
10 Inggris 210 222 184 580 357 22,40 2,89
Subtotal 7.117 6.894 7.474 8.896 8.127 5,34 65,75
17 Indonesia 750 904 714 382 163 (32,4) 1,32
Sumber: ITC (2015), diolah

77
Hasni

Dari sisi negara pemasok karaginan (HS 130239) di pasar


dunia, ternyata selain sebagai pemasok agar-agar terbesar, RRT
juga sebagai pemasok karaginan terbesar di dunia dengan pangsa
mencapai 30,4% tahun 2014. Disusul oleh Filipina di peringkat kedua
dengan pangsa ekspor sebesar 16,6%. Sementara Indonesia berada
di posisi ke sembilan dengan pangsa mencapai 3% tahun 2014. Tren
ekspor dunia untuk karaginan meningkat 9,7% per tahun pada periode
2010-2014. Dari sepuluh negara pemasok karaginan dunia, Perancis
yang mengalami tren pertumbuhan paling rendah yaitu turun 4,6%
per tahun selama 2010-2014. Sedangkan ekspor karaginan Indonesia
mengalami peningkatan 47%per tahun di periode yang sama (Tabel
5.16).

Tabel 5.16 Pemasok Karaginan (HS 130239) di Pasar Dunia (ton)

Sumber: ITC (2015), diolah

Tabel 5.17 Pasar Impor Karaginan (HS 130239) Dunia (Ton)


Tren 10- Pangsa
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014
14 (%) '14 (%)
Dunia 114.968 119.423 135.302 148.530 139.644 6,26 100,00
1 Jerman 13.325 13.918 18.217 23.200 19.797 13,91 14,18
2 Amerika Serikat 10.912 11.353 12.046 10.152 11.453 (0,15) 8,20
3 Perancis 5.677 6.314 5.454 6.629 6.810 4,21 4,88
4 Meksiko 4.716 4.681 5.596 5.555 5.693 5,63 4,08
5 Belgia 6.085 5.299 7.741 7.152 5.557 1,19 3,98
6 Inggris 5.202 5.434 4.851 5.122 5.380 0,08 3,85
7 Spanyol 4.907 3.799 4.169 4.510 4.908 1,73 3,51
8 Italia 4.069 3.765 5.234 5.170 4.745 6,44 3,40
9 Denmark 3.876 4.139 4.648 5.311 4.722 6,65 3,38
10 Bangladesh 911.000 772.000 3.926 4.031 4.338 61,19 3,11
Subtotal 59.680 59.474 71.882 76.832 73.403 6,93 52,56
20 Indonesia 1.955 2.396 1.725 1.735 2.055 (2,2) 1,47
Sumber: ITC (2015), diolah

78
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Pasar impor karaginan dunia (HS 130239) tahun 2014 tersebar


ke banyak negara dimana impor 10 negara hanya menyerap 53%
dari total impor dunia. Jerman merupakan negara pengimpor utama
dengan pangsa tahun 2014 mencapai 14% lebih dan pertumbuhan
rata-rata per tahun naik 13,9% selama periode 2010-2014. Indonesia
menempati posisi ke-20 sebagai negara pengimpor karaginan dengan
pangsa 1,5% tahun 2014 dan tren yang mengalami penurunan 2,2%
per tahun selama 2010-2014. Dari sepuluh negara pengimpor utama
karaginan, Bangladesh mengalami tren pertumbuhan paling tinggi
yakni mencapai sebesar 61% per tahun selama 2010-2014. Sementara
pertumbuhan impor karaginan dunia mengalami peningkatan 6,3% per
tahun di periode yang sama (Tabel 5.17).

5.5 Daya Saing Rumput Laut Indonesia


Daya saing ekspor rumput laut Indonesia di luar negeri sangat baik
dibandingkan dengan negara lain, ditambah lagi Indonesia merupakan
salah satu produsen utama rumput laut di dunia. Bahkan menurut Porse
dan Bixler, dua orang pakar rumput laut dunia, produksi Eucheuma
cottonii kering Indonesia tidak akan dapat dikalahkan oleh negara lain
(KKP, 2014). Seperti yang terlihat pada Gambar 5.2 dan Gambar 5.3
sebelumnya, Indonesia masih menjadi produsen utama rumput laut
dunia jenis Gracilaria dan Eucheuma cottonii. Selain itu daya saing
rumput laut Indonesia juga dapat dilihat dari skor Trade Intensity Index
(TII) pada Tabel 5.18 berikut.
Tabel 5.18 Skor Trade Intensity Index (TII) Indonesia untuk Ekspor
Rumput Laut (HS 121221), 2013

Sumber: Hasil Analisis


Keterangan:
xijk: Nilai ekspor rumput laut Indonesia ke negara tujuan ekspor
Xik: Nilai total ekspor rumput laut Indonesia
xwjk: Nilai ekspor rumput laut dunia ke negara tujuan ekspor
Xwk: Nilai total ekspor rumput laut dunia
Skor TII diatas 100 menunjukkan produk ekspor tersebut memiliki daya saing yang tinggi di negara tujuan ekspor8

8
TII dihitung dengan menggunakan rumus:

79
Hasni

Skor Trade Intensity Index (TII) produk rumput laut Indonesia


HS 121221 di Spanyol sangat tinggi.Hal ini menunjukkan daya saing
ekspor rumput laut Indonesia di Spanyol sangat baik. Demikian juga
dengan ekspor rumput laut ke negara Chili, RRT dan Vietnam cukup
baik, yakni dengan indeks TII melebihi 100. Sementara ekspor rumput
laut Indonesia ke Korea Selatan masih mengalami daya saing yang
cukup rendah (Tabel 5.18).

5.6 Permasalahan Terkait Daya Saing Ekspor Rumput Laut


Indonesia
Dalam upaya peningkatan ekspor rumput laut olahan, pemerintah
berupaya menggiatkan program hilirisasi rumput laut. Selain bahan baku
yang banyak diekspor, salah satu kendala utama dalam pengolahan
produk rumput laut adalah mesin pengolah yang masih diimpor, namun
pemerintah siap memberikan dukungan bagi para investor yang
berminat pada industri pengolahan rumput laut dengan membebaskan
pajak impor mesin pengolahan rumput laut (Luwuraya, 2011). Disisi
lain, rencana penerapan tarif Bea Keluar (BK) terhadap rumput laut
kering dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap
ekspor produk rumput laut diduga akan mengganggu kinerja ekspor
rumput laut, meskipun tujuannya adalah untuk mendorong hilirisasi di
sektor industri rumput laut dalam negeri. Hingga tahun 2015 rencana
tentang kedua kebijakan rumput laut tersebut masih ditunda.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, salah satu importir
rumput laut dari RRT menghentikan pembelian rumput laut dari
Indonesia karena adanya rencana pengenaan tarif BK terhadap produk
rumput laut. Hal ini berimbas pada terjadinya penimbunan pasokan dan
berpengaruh pada penurunan harga rumput laut petani sebesar 50%.
Disisi lain, penerapan BK dikhawatirkan akan menambah masalah jika
pelaku usaha membebankannya kepada petani rumput laut. Apabila
hal ini terus berlanjut bukan tidak mungkin negara importir beralih ke
negara pemasok lain seperti India, Brasil, dan beberapa negara Afrika
yang telah menetapkan tarif Bea Keluar rumput laut (Aprilia, 2011).
Adanya rencana penetapan SNI rumput laut diduga akan
menambah biaya produksi rumput laut, sehingga dapat menurunkan
daya saing ekspor produk rumput laut. Selain itu, menurut ketua
Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), permintaan rumput laut dari
negara pengimpor membutuhkan kadar kekeringan rumput laut yang
berbeda-beda, demikian juga dengan kadar kekotorannya yang belum

80
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

terlalu ketat (Avisena, 2015). Sementara dalam penelitian Mahatama


dan Farid (2013) disebutkan bahwa tidak ada kebijakan input dari
pemerintah yang dapat memacu peningkatan produksi petani budidaya
rumput laut. Sedangkan menurut Setyaningsih (2011) strategi yang
dapat dilakukan untuk pengembangan usaha rumput laut adalah
pemberdayaan anggota dan kelompok usaha untuk meningkatkan
usahanya, memperluas lahan usaha budidaya, dan meningkatkan
keterampilan teknis budidaya rumput laut untuk meningkatkan mutu
produk rumput laut.

5.7 Penutup
Indonesia merupakan produsen utama rumput laut dunia,
khususnya jenis Gracilaria dan Eucheuma cottonii. Berdasarkan
data dari (ITC), tahun 2013 Indonesia merupakan pemasok utama
untuk rumput laut HS 121221 (Rumput laut dan alga lain: layak untuk
konsumsi manusia), dan juga sebagai importir urutan ke-33 dunia
untuk produk yang sama. Sementara itu, untuk HS 121229 (Rumput
laut dan alga lain: tidak layak untuk konsumsi manusia), Indonesia
menjadi eksportir terbesar kedua dunia, dan importir ke-42 di tahun
2013. Berbeda dengan kedua HS rumput laut sebelumnya, dimana
Indonesia menjadi eksportir terbesar pertama dan kedua, untuk HS
121220 (Rumput laut dan alga lain, segar atau dikeringkan) Indonesia
hanya menjadi eksportir ke-56 dunia dan importir ke-49 dunia tahun
2013. Namun sayangnya, rumput laut dalam bentuk bahan baku
masih lebih banyak yang diekspor dibanding yang diolah oleh industri
dalam negeri.
Di sisi lain, pelaku industri dalam negeri mengaku masih kekurangan
bahan baku karena produsen lebih memilih untuk mengekspor daripada
menjual kepada industri pengolahan dalam negeri.Asosiasi Industri
Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) menyatakan bahwa data produksi
rumput laut kering mencapai 350 ribu ton per tahun, sedangkan data lain
menyebutkan produksi rumput laut mencapai 930 ribu ton per tahun.
Adanya perbedaan data produksi rumput laut menyebabkan ASTRULI
meminta pemerintah untuk melakukan verifikasi data produksi rumput
laut nasional (Jati, 2015).

81
Hasni

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, E.U. (2011). Pengusaha Tolak Larangan Ekspor Rumput Laut.


(7 September 2011). Diunduh dari http://bisnis.tempo.co/
read/news/2011/09/07/090355011/pengusaha-tolak-larangan-
ekspor-rumput-laut tanggal 23 April 2015.
ASTRULI. (2014). Roadmap Industri Rumput Laut Indonesia. Bahan
Presentasi Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)
tanggal 25 November 2014.
Avisena, Muhammad. (2015). Industri Bisnis. Rumput Laut, Penerapan
SNI Dinilai Hambat Pemasaran. (8 April 2015). Diunduh dari
http://industri.bisnis.com/read/20150408/12/420539/rumput-
laut-penerapan-sni-dinilai-hambat-pemasaran tanggal 23 April
2015.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Statistik Ekspor Impor Indonesia
2015.
International Trade Center (ITC). (2015). Data Ekspor Impor Rumput
Laut Dunia HS 121220, HS 121221, HS 121229, HS 130231,
HS 130239 Periode 2010-2014.
Jati, Gentur Putro. CNN Indonesia. Asosiasi Rumput Laut:
Bea Keluar Naik Tunggu Harmonisasi Data. (26 Maret
2015). Diunduh dari http://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20150326144726-92-42091/asosiasi-rumput-laut-
bea-keluar-naik-tunggu-harmonisasi-data/ tanggal 13 Mei
2015.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Profil Peluang
Usaha dan Investasi Rumput Laut Edisi ke-4.
Luwuraya. (6 Juli 2011). Pelarangan Ekspor Rumput Laut Dukung Unit
Pengolahan. Diunduh dari http://www.luwuraya.net/2011/07/
pelarangan-ekspor-rumput-laut-dukung-unit-pengolahan/
tanggal 13 Agustus 2015.
Mahatama, E. dan Farid, M. (2013). Daya Saing dan Saluran
Pemasaran Rumput Laut: Kasus Kabupaten Jeneponto,
Sulawesi Selatan. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vol.7
No.1, Juli 2013 pp 55-72.
McHugh, D. J. (2006). The Seaweed Industry In The Pacific Islands.
Australian Centre for International Agricultural Research.
ACIAR Working Paper No. 61 pp 1-55.

82
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut

Setyaningsih, Heryati. (2011). Kelayakan Usaha Budi Daya Rumput


Laut Kappaphycus Alvarezii dengan Metode Longline dan
Strategi Pengembangannya Di Perairan Karimunjawa. Tesis.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ya’la, Z. R. (2008). Prospek Pengembangan Rumput Laut Di Kabupaten
Morowali. Jurnal Agroland 15 (2), Juni 2008 pp 144 – 148.

83
Hasni

84
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

BAB VI
PELUANG DAN TANTANGAN RUMPUT LAUT
DI INDONESIA
Rino Adi Nugroho

6.1 Pendahuluan
Rumput laut merupakan salah satu produk hasil laut yang
sangat potensial bagi Indonesia. Berbagai faktor seperti luasnya
lahan potensial, masa panen yang dapat mencapai empat kali dalam
setahun,dan besarnya potensi pasar baik di dalam maupun di luar
negeri menjadikan rumput laut sebagai salah satu produk unggulan
ekonomi nasional.
Besarnya potensi nilai ekonomis yang dimiliki komoditas rumput
laut selama ini sayangnya belum dapat dimanfaatkan secara maksimal
oleh masyarakat Indonesia. Beberapa permasalahan utama seperti
masih rendahnya produktivitas rumput laut di lingkungan petani,
rendahnya tingkat penyerapan komoditas rumput laut untuk produksi
di dalam negeri, dan masih minimnya nilai tambah produk rumput laut
Indonesia dalam perdagangan menjadi tantangan serius dalam upaya
pengembangan komoditi rumput laut nasional.
Bab ini akan membahas tentang peluang dan tantangan komoditi
rumput laut Indonesia, yang meliputi permasalahan yang dihadapi
dalam perdagangan di dalam dan luar negeri serta kebijakan apa saja
yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah dalam strategi untuk
mengembangkan komoditas rumput laut sebagai salah satu komoditas
potensial ekspor nasional.

6.2 Dinamika Produksi dan Perdagangan Rumput Laut Indonesia


Indonesia merupakan salah satu negara penghasil rumput laut
terbesar di dunia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP) tahun
2015, total produksi rumput laut Indonesia secara keseluruhan pada
tahun 2013 mencapai 9,3 juta ton dan meningkat menjadi 10,2 juta ton
pada tahun 2014 dalam bentuk basah.
Produksi rumput laut Indonesia ke depan diperkirakan akan terus
meningkat, mengingat masih besarnya potensi rumput laut di kawasan
timur Indonesia yang belum banyak tergarap. Sebagai negara maritim,
Indonesia memiliki luas indikatif efektif kawasan potensial budidaya

85
Rino Adi Nugroho

rumput laut mencapai 769.452 ha. Dari jumlah tersebut, baru 384.733
ha atau sekitar 50% saja yang telah dimanfaatkan secara efektif (Warta
Ekspor, 2013).
Secara garis besar produksi rumput laut Indonesia didominasi
oleh jenis karaginan dan agar-agar. Rumput laut jenis karaginan
mempunyai produk turunan berupa Refined Carrageenan (RC), Semi
Refined Carrageenan (SRC), dan Alkali Treated Chips (ATC).

Tabel 6.1 Estimasi Produksi Olahan Rumput Laut Indonesia (ton)

Sumber: ASTRULI (2014)

Catatan: Asumsi tren produksi olahan rumput laut Indonesia 5% per tahun

Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)


memproyeksikan pada tahun 2019 total produksi rumput laut Indonesia
jenis karaginan mencapai 16.751 ton dan jenis agar-agar menjadi
4.933 ton, dengan asumsi tingkat pertumbuhan produksi 5% per tahun
seperti yang ditunjukan oleh Tabel 6.1.
Meskipun Indonesia adalah negara penghasil rumput laut terbesar
di dunia, dalam hal produktivitas rumput laut di kalangan petani
Indonesia masih rendah. Beberapa faktor seperti kurangnya bibit
unggul, masih minimnya pengetahuan teknik budidaya, harga rumput
laut yang fluktuatif, serta lemahnya kemampuan dan akses pendanaan
di kalangan petani rumput laut diyakini menjadi penyebab utama
rendahnya produktivitas petani.
Fluktuasi harga rumput laut yang masih tinggi membuat produksi
rumput laut menjadi tidak menentu. Seperti kasus yang terjadi di Nusa
Penida Bali, di mana banyak petani yang beralih profesi menjadi
pramuwisata dan tukang parkir kapal karena mengeluh dengan hasil
pendapatan mereka dari rumput laut. Hal ini berimbas pada penurunan
produksi rumput laut di daerah tersebut sekitar 70% yang semula
mencapai 145.597 ton pada 2013 menjadi 84.336 ton pada tahun 2014
(Berita Satu, 2015).

86
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

Kemampuan dan akses pendanaan pembudidaya rumput laut


dilingkungan petani yang masih lemah menjadi salah satu faktor
rendahnya produktivitas rumput laut nasional. Sulitnya petani dalam
memperoleh akses permodalan dari lembaga keuangan formal
membuat petani harus memiliki ikatan modal dengan para pedagang,
baik berupa sarana produksi maupun finansial.
Besarnya tingkat produksi rumput laut nasional tidak otomatis
membuat para pelaku industri rumput laut dalam negeri mudah
dalam memperoleh bahan baku. Industri dalam negeri harus bersaing
dengan pembeli dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena RRT
sebagai target ekspor utama Indonesia berani mematok harga beli
yang lebih tinggi kepada petani Indonesia sehingga membuat para
petani lebih memilih untuk menjual hasil produksinya ke pembeli asal
RRT. Rendahnya penyerapan produk rumput laut di dalam negeri
disebabkan oleh banyaknya rumput laut yang di ekspor, yakni sekitar
64,31% dari total produksi nasional. Adapun kemampuan pengusaha
asal RRT dalam membeli rumput laut dengan harga yang lebih tinggi
disebabkan oleh stimulus sekaligus insentif yang diberikan oleh negara
mereka sebesar 15% hingga 35% (Republika Online, 2015b).
Rumput laut apabila ditinjau dari aspek konsumsi merupakan
produk yang mempunyai banyak manfaat dan nilai tambah karena
dapat digunakan sebagai bahan dasar makanan dan minuman,
kosmetik, pupuk pertanian, keramik, kertas, farmasi, dan biofuel.
Namun, keterbatasan teknologi di dalam negeri membuat produk
rumput laut Indonesia memiliki nilai tambah yang rendah (Republika
Online, 2015a). Saat ini total produksi rumput laut kering Indonesia
menurut ASTRULI mencapai 350 ribu ton per tahun dan kebutuhan
industri sebesar 120 ribu ton per tahun. Sementara bahan baku rumput
laut kering yang diekspor mencapai 160 ribu ton sampai 170 ribu ton
per tahun. Hal ini menunjukan masih besarnya potensi produksi yang
belum dimaksimalkan di dalam negeri.

6.3 Dinamika Produksi dan Perdagangan Rumput Laut di Dunia


Internasional
Saat ini produksi rumput laut kering dunia berjumlah sekitar 1,2
juta ton dengan komposisi produksi sekitar 50% berasal dari Indonesia,
35% dari Filipina, dan 15% sisanya dari negara-negara lainnya di
seluruh dunia. Adapun hasil olahan rumput laut yang paling banyak
diproduksi secara global adalah jenis karaginan, dimana karaginan

87
Rino Adi Nugroho

merupakan produk olahan dari rumput laut Eucheuma cottonii. Tabel


6.2 menunjukkan estimasi produksi rumput laut secara global yang
dihitung oleh ASTRULI.
Tabel 6.2 Estimasi Produksi Rumput Laut Global Berdasarkan
Jenis (t on)

Sumber: ASTRULI (2014)

Catatan: Asumsi tren produksi karaginan 5% per tahun


Asumsi tren produksi agar-agar, alginat 4% per tahun

Pada Tabel 6.2 ASTRULI memproyeksi pada tahun 2019 total


produksi rumput laut global jenis karaginan sebesar 100.507 ton,
produksi agar-agar 13.824 ton, dan produksi alginat 28.105 ton,
dengan asumsi tren pertumbuhan produksi 5% per tahun untuk jenis
karaginan, dan 4% per tahun untuk jenis agar-agar dan alginat.

Prediksi Kebutuhan Karaginan dan Agar-Agar Dunia


Seiring dengan semakin meningkatnya kegunaan rumput laut
sebagai bahan baku industri di dunia, khususnya jenis karaginan dan
agar-agar, Komisi Rumput Laut Indonesia memprediksi kebutuhan
dunia untuk rumput laut dari tahun 2012 hingga 2018 akan meningkat
dengan tren peningkatan 10,8% untuk jenis karaginan dan 11,4%
untuk jenis agar, dengan kebutuhan terbesar pada Eucheuma sp.
sebagai penghasil karaginan, dan Gracilaria sp. sebagai penghasil
agar. Prediksi kebutuhan rumput laut dunia dapat dilihat pada
Tabel 6.3.
Tabel 6.3. Prediksi Kebutuhan Rumput Laut Global Penghasil
Karaginan dan Agar-Agar (ton kering)

Sumber: Estimasi Komisi Rumput Laut Indonesia (2012), diolah

88
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

Adapun saat ini kebutuhan global rumput laut jenis Eucheuma


mencapai 236 ribu ton kering per tahun dan baru dapat dipenuhi
145 ribu ton. Untuk jenis Gracilaria, bahan pembuatan agar-agar,
kebutuhannya mencapai 96 ribu ton, dan baru dapat diproduksi
48,5 ribu ton kering per tahun.

6.4 Kebijakan Pemerintah
6.4.1 Konsep Kawasan Minapolitan
Dalam upaya meningkatkan produksi komoditas-komoditas
unggulan pada sektor kelautan dan perikanan seperti rumput laut,
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2010 telah
membuat suatu konsep yaitu kawasan minapolitan. Definisi minapolitan
berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia No.12 tahun 2010 adalah suatu pembangunan ekonomi dan
perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi,
efisiensi, berkualitas dan percepatan. Kawasan minapolitan adalah
suatu bagian wilayah yang memiliki fungsi utama ekonomi yang terdiri
dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan,
pelayanan jasa, dan kegiatan pendukung lainnya.
Konsep minapolitan pada umumnya membagi suatu kawasan
menjadi tiga zonasi seperti zona produksi, zona kelembagaan
ekonomi dan penyangga, dan zona industri pengolahan yang saling
melengkapi dan saling menguntungkan satu sama lain. Zona satu atau
zona produksi pada kawasan minapolitan adalah zona yang bertugas
menghasilkan rumput laut untuk kemudian dibudidayakan hingga siap
panen, sedangkan zona dua atau zona kelembagaan ekonomi adalah
zona yang bertugas membuat kerjasama dengan zona satu tentang
pembelian hasil produksi rumput laut dan menyediakan sarana
produksi, sekaligus melakukan kontrol dan pembinaan terhadap
cara budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya di zona satu, dan
zona tiga atau zona industri pengolahan adalah zona yang bertugas
membeli rumput laut yang dikumpulkan oleh zona dua sesuai dengan
standar yang telah disepakati dan juga bertugas mengolah rumput
laut. Dengan sinergi dan koordinasi yang baik diantara ketiga zona
tersebut diharapkan akan menghasilkan hasil produksi yang baik dan
maksimal.
Salah satu contoh daerah yang sukses menerapkan konsep
minapolitan dan patut ditiru oleh daerah lain di Indonesia dalam
pengembangan komoditi rumput laut adalah Kabupaten Sumba
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Semenjak ditetapkan sebagai

89
Rino Adi Nugroho

kawasan minapolitan oleh pemerintah pada tahun 2010, Kabupaten


Sumba Timur berhasil meningkatkan produksi rumput lautnya secara
signifikan. Sebagai contoh di Kecamatan Pohuga Lodu, kawasan
minapolitan utama di Kabupaten Sumba Timur, pada tahun 2010
produksi rumput lautnya hanya sebesar 439,9 ton dan kemudian
pada tahun 2014 berhasil meningkat secara pesat sebesar 1.560,4
ton. Adapun Kabupaten Sumba Timur secara keseluruhan pada tahun
2014 berhasil mencapai total produksi sebesar 2.400 ton. Selain
itu, keberhasilan Kabupaten Sumba Timur dalam mengintegrasikan
sistem usaha dari hulu ke hilir yang meliputi produksi, pengolahan dan
pemasaran dengan didukung sarana prasarana yang memadai seperti
transportasi dan sarana produksi menjadikan Kabupaten ini meraih
kategori “A” kawasan minapolitan (KKP, 2015).

6.4.2 Kegiatan Foreign Buyer Mission


Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan nilai
tambah produksi rumput laut nasional antara lain dengan mengundang
pelaku usaha atau investor dari luar negeri untuk menanamkan
investasinya di Indonesia melalui kegiatan Foreign Buyer Mission
yang diselenggarakan oleh KKP. Kegiatan yang juga bertujuan untuk
transfer pengetahuan dan teknologi, pengolahan, dan tren pasar,
serta mempertemukan eksportir Indonesia dengan importir eropa ini
pertama kali dilaksanakan pada tanggal 27-30 Mei 2014 bekerjasama
dengan – The Swiss Import Promotion Programme (SIPPO).
Program Foreign Buyer Mission ini berlaku untuk produk non
bahan baku yang sudah memiliki nilai tambah. Hal ini dilakukan
sejalan dengan kebijakan KKP agar perusahaan Indonesia di bidang
karaginan dan agar dapat meningkatkan nilai tambah produk mereka
dengan mengekspor produk semi-refined (SWA, 2014).

6.4.3 Bea Keluar Rumput Laut


Dalam upaya untuk mengurangi ekspor rumput laut guna memenuhi
kebutuhan bahan baku industri rumput laut di dalam negeri, dan agar
industri rumput laut nasional dapat meningkatkan nilai tambah produk
yang semula berupa bahan baku menjadi produk jadi, Pemerintah
Indonesia telah mempunyai wacana untuk menetapkan bea keluar
rumput laut. Terdapat usulan untuk rumput laut jenis E. cottonii yang
akan dikenakan tarif sebesar 21%, Gracilaria 44%, dan Spinosum12%.
Kenaikan bea keluar ini akan berdampak pada naiknya harga rumput

90
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

laut nasional sehingga kurang kompetitif di pasar internasional (Koran


Jakarta, 2015).
Penetapan bea keluar rumput laut adalah salah satu insentif
pemerintah untuk mendorong industri pengolahan dalam negeri agar
tidak kalah bersaing dengan industri kompetitor di negara lain. Hal
yang sama juga pernah diterapkan oleh pemerintah RRT dan Chili.
Pemerintah RRT memberikan insentif dalam bentuk penerapan rebate
13% sampai 17% kepada eksportir karaginan (semi refined dan refined
carrageenan), dan pemerintah Chili menerapkan pembatasan ekspor
rumput laut sebesar 20% dari total produksi.
Meskipun baru sekedar wacana dan belum diimplementasikan
secara nyata, rencana penetapan bea keluar rumput laut sudah menuai
pro dan kontra. Sebagian meminta pemerintah melakukan verifikasi
ulang terlebih dahulu atas data produksi rumput laut kering Indonesia
sebelum menetapkan kebijakan bea keluar. Terdapat perbedaan
data produksi rumput laut kering nasional dimana sebagian pihak
menyebutkan total produksi rumput laut kering Indonesia sebanyak
930 ribu ton per tahun, dan sebagian pihak yang lain menyebutkan
produksi rumput laut kering Indonesia hanya 350 ribu ton per tahun
(Liputan 6, 2015).
Menurut data pertama yang dirilis oleh Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun
2013 produksi rumput laut kering nasional mencapai 930 ribu ton per
tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 176 ribu ton diekspor dengan
nilai total USD 162,4 juta, sedangkan yang mampu diserap industri
nasional hanya 120 ribu ton. Dan sisanya sebanyak 640 ribu ton
belum dioptimalkan. Sementara menurut data kedua yang dikeluarkan
Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) sebanyak 350 ribu ton per
tahun. Dari 30 perusahaan pengguna rumput laut yang tergabung
dalam ASTRULI, hanya 50% nya saja atau setara 120 ribu produksi
nasional yang baru dapat mereka serap (CNN Indonesia, 2015a).

6.4.4 Wacana Pelarangan Ekspor Rumput Laut Mentah


Selain rencana penetapan Bea Keluar (BK) ekspor, pemerintah
melalui Presiden Joko Widodo juga berencana melakukan pelarangan
terhadap pelaku industri rumput laut untuk mengekspor rumput laut
dalam bentuk mentah. Wacana yang rencananya akan ditetapkan
dua hingga tiga tahun yang akan mendatang ini dikemukakan oleh
Presiden Joko Widodo pada saat melakukan kunjungan ke salah satu

91
Rino Adi Nugroho

pabrik pengolahan rumput laut di Banten pada bulan April 2015 yang
lalu (CNN Indonesia, 2015b).

6.4.5 Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI)


Demi meningkatkan daya saing produksi rumput laut nasional
pemerintah telah membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk
komoditi rumput laut. SNI ini dibuat sebagai bahan acuan bagi
produsen rumput laut untuk meningkatkan kualitas dan mutu rumput
laut yang dihasilkan. Dengan penerapan SNI ke depan pemerintah
berharap rumput laut Indonesia dapat semakin diminati oleh para
pelaku industri rumput laut internasional.Terdapat 6 rancangan SNI
yang telah ditetapkan dan 6 Rancangan SNI (RSNI) produk rumput
laut yang telah disusun oleh KKP. enam SNI produk rumput laut
yang telah ditetapkan oleh KKP yaitu agar-agar tepung, rumput laut
kering, agar-agar kertas, semi-refined carrageenan, dodol rumput
laut, dan penentuan rendemen (yield) karaginan. Sedangkan 6 RSNI
produk rumput laut yang telah disusun oleh KKP yaitu Alkali Treated
Seaweed Chips (ATSC), revisi rumput laut kering, revisi agar-agar
tepung, penentuan impurities pada rumput laut, penentuan kadar air
dan penentuan Clean Anhydrous Weed (CAW) pada rumput laut (KKP,
2014).

6.4.6 Surat Kesepakatan Bersama 5 Kementerian


Untuk memberikan perlindungan kepada petani dan mengatasi
fluktuasi harga komoditi rumput laut, serta mengembangkan
perekonomian di daerah tertinggal, pemerintah telah diterbitkan Surat
Kesepakatan Bersama (SKB) No. 262/M-DAG/MOU/2/2011 antara
lima Kementerian (yaitu Kementerian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi
dan UKM) dan satu Badan (Badan Koordinasi Penanaman Modal)
mengenai “sinergitas kegiatan pengembangan rumput laut dalam
rangka percepatan pembangunan ekonomi masyarakat daerah
tertinggal di tujuh provinsi”.
Adapun tujuh provinsi yang dimaksud dalam Pasal 2 SKB tersebut
yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku,
Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang menjadi lokasi kegiatan di bidang kelautan dan perikanan,
bidang perdagangan, bidang perindustrian, bidang koperasi dan

92
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

usaha kecil dan menengah dan investasi dalam rangka percepatan


pembangunan ekonomi masyarakat. Perhatian utama Kementerian
Perdagangan dalam hal bidang perdagangan adalah pada aspek
pemasaran rumput laut.

6.4.7 Roadmap Rumput Laut Indonesia


Dalam rangka mengembangkan industri rumput laut secara
bersinergi dan lebih terarah, pemerintah bersama asosiasi telah
membentuk suatu roadmap industri rumput laut Indonesia. Dalam
roadmap tersebut dituangkan beberapa kebijakan terkait yang harus
dilakukan dalam mengembangankan industri rumput laut di dalam
negeri agar dapat terus berkembang. Beberapa rencana kebijakan
bagi industri rumput laut yang ada dalam roadmap tersebut antara lain,
yaitu (i) Tax Holiday untuk Industri baru, (ii) Allowance untuk Industri
yang sudah ada, (iii) Penerapan Bea Keluar (BK) untuk rumput laut
mentah, (iv) Penyediaan kredit lunak untuk industri, (v) Penyediaan
Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas, serta (vi) Koordinasi
dengan instansi terkait untuk meningkatkan penyediaan bahan baku
yang berkualitas serta koordinasi dengan instansi terkait mengenai
pembangunan infrastruktur di daerah penghasil rumput laut.

6.4.8 Sistem Resi Gudang


Untuk menjaga stabilitas harga dan melindungi petani rumput laut
pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2006
tentang Sistem Resi Gudang (SRG). Turunan dari Undang-undang
tentang Sistem Resi Gudang tersebut adalah Peraturan Pemerintah
RI Nomor 36 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang dan Permendag
Nomor 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan
di Gudang (Gabah, Beras, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput laut
dan Jagung), Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 66/M-DAG/
PER/12/2009 tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang,
serta berbagai Peraturan Kepala Bappebti sebagai juklaknya.
Dalam Kebijakan SRG ada empat peraturan penting, yaitu
Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang SRG yang kemudian
mengalami beberapa perubahan melalui Undang-Undang No. 9 Tahun
2011, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
SRG, Peraturan Menteri Keuangan No. 171 Tahun 2009 tentang
Skema Subsidi Resi Gudang dan Peraturan Menteri Perdagangan

93
Rino Adi Nugroho

No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan


Di Gudang Dalam Penyelengaraan SRG yang kemudian diubah
dengan memasukan rumput laut sebagai salah satu barang yang
dapat diresigudangkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.
26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan Di
Gudang Dalam Penyelengaraan SRG.
Sayangnya dalam pelaksanaan di lapangan, kebijakan resi gudang
di semua sentra produksi rumput laut, belum diimplementasikan. Satu
sentra produksi yang telah menerapkan sistem resi gudang (SRG)
yaitu Sulawesi Selatan. Selain disebabkan aspek teknis dan ekonomis,
aspek regulasi juga menjadi salah satu penyebab belum dapat
terimplementasinya Sistem Resi Gudang untuk komoditas rumput laut.
Hal ini terlihat dari peraturan-peraturan yang mengatur berjalannya
SRG dinilai belum dapat dilaksanakan secara efektif pada komoditas
rumput laut, terutama dalam hal pemanfaatan fasilitas pembiayaan
dalam SRG. Implementasi SRG belum efektif dikarenakan fasilitas
pembiayaan dalam SRG belum dapat terintegrasi dengan skema-
skema kredit yang sudah ada, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan
Kredit Pembiayaan Pangan dan Energi (KPPE).

6.5 Strategi Mengatasi Hambatan dan Meraih Peluang


Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar dalam
meningkatkan produksi rumput laut. Beberapa alasan mendasar
seperti masih luasnya lahan potensial budidaya rumput laut dan
masih rendahnya produktivitas petani rumput laut karena minimnya
pengetahuan teknik budidaya dan akses pembiayaan menjadi
tantangan bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi
rumput laut nasional. Agar potensi lahan budidaya dapat tergarap
secara maksimal, pemerintah perlu menyusun peta kesesuaian lahan
berdasarkan parameter-parameter ilmiah seperti salinitas, tingkat
pH, DO, turbidity, suhu, nutrisi (nitrat, kalium, phospate), khlorofil-a,
substrat, rus, dan indikator spesies agar dapat diketahui tingkat
kemampuan produksi rumput laut yang ada di suatu daerah. Hal ini
menjadi sangat penting juga dalam koordinasi penyusunan tata ruang
di daerah berdasarkan nilai ekonomis, mengingat tidak semua pantai
digunakan sebagai lahan budidaya tetapi digunakan juga untuk hal
lain seperti pariwisata, perhubungan, cagar alam, sosial budaya dan
keagamaan. Sedangkan untuk meningkatkan produktivitas petani,
pemerintah perlu memberikan kegiatan sosialisasi metode dan teknik

94
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

budidaya yang benar mulai dari pemilihan bibit unggul, penerapan


metode dan teknik penanaman yang sesuai dengan kondisi lahan,
cara pemeliharaan, usia tanam yang baik, serta teknik panen yang
benar (ASTRULI, 2015).
Untuk mengatasi masalah pendanaan dalam produksi rumput laut
dikalangan petani pemerintah perlu proaktif dalam menjembatani petani
dengan lembaga keuangan,seperti yang belum lama ini dilakukan
oleh Kamar Dagang Indonesia (KADIN) melalui kerjasama dengan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan bahwa mereka
telah berkomitmen untuk memberikan bantuan dalam bentuk mediasi
dengan lembaga perbankan untuk mendapatkan fasilitas kredit atau
pembiayaan (Antaranews, 2015).
Sebagai salah satu negara produsen rumput laut terbesar di
dunia yang mengekspor kurang lebih 50% dari total ekspor rumput
laut dunia, Indonesia mendapat permintaan rumput laut yang terus
meningkat di pasar global, terutama dari RRT dengan pangsa ekspor
72,06%, Filipina dengan pangsa ekspor 5,82%, Chili dengan pangsa
ekspor 4,89%, Korea Selatan dengan pangsa ekspor 4,39%, dan
Vietnam dengan pangsa ekspor 2,05%. Sepanjang tahun 2015,RRT
dan Singapura telah memborong rumput laut Indonesia dengan total
nilai kontrak sebesar USD 63 juta atau setara dengan Rp 850,9 miliar.
Rumput laut Indonesia banyak diminati karena kualitasnya yang diakui
dunia internasional. Berdasarkan total ekspor rumput laut dunia,
Indonesia menjadi pemasok utama dunia dengan menguasai pangsa
pasar sebesar 26,50% dari total USD 2,09 miliar permintaan rumput
laut dunia. Kemudian disusul Chili 16,50%, RRT 7,98%, dan Filipina
5,77%. Dengan permintaan produk tertinggi berupa produk rumput laut
kering (Kontan, 2015).
Dibanding negara produsen rumput laut dunia lainnya seperti
Filipina dan Chili,Indonesia mempunyai keunggulan dalam letak
geografis yang membuat produksi rumput lautnya relatif aman dari
gangguan faktor alam seperti badai Taifun atau El Nino yang seringkali
menyebabkan produksi rumput laut di kedua negara tersebut
terganggu dan menyebabkan gagal panen. Seringnya terjadi badai
Taifun di Filipina dan El Nino di Chili juga berdampak pada fluktuasi
harga rumput laut dunia.
Meskipun Indonesia merupakan produsen rumput laut kering
terbesar di dunia, dalam hal ekspor produk olahan rumput laut
Indonesia hanya menduduki peringkat ke-7 dunia. Indonesia masih

95
Rino Adi Nugroho

kalah bersaing dengan RRT sebagai produsen rumput laut olahan


terbesar di dunia yang mana sebagian besar bahan bakunya diperoleh
dari Indonesia sendiri. Sebagai produsen rumput laut Indonesia justru
mengimpor rumput laut dalam bentuk olahan sebesar 170 ribu ton
karaginan dari RRT dan impor agar-agar masing-masing sebesar
186,2 ribu ton dari Malaysia dan 139,8 ribu ton dari RRT pada tahun
2013 (Puska Daglu, 2013). Untuk mengatasi minimnya nilai tambah
produk rumput laut Indonesia pemerintah perlu melakukan kegiatan
transfer pengetahuan dan teknologi pengolahan dengan negara
maju dengan cara mengundang investor luar untuk menanamkan
modalnya di dalam negeri, seperti yang pernah dilakukan oleh KKP
dalam kegiatan Foreign Buyer Mission pada tahun 2014. Harapannya
ke depan kegiatan ini dapat dijadikan agenda rutin pemerintah dalam
upaya meningkatkan nilai tambah produk rumput laut.
Untuk menjadikan produk rumput laut sebagai produk unggulan
nasional maka perlu dilakukan pengelolaan yang baik dari hulu ke
hilir demi menjamin keberlanjutan dan peningkatan daya saing produk
rumput laut. Atas dasar tersebut maka pemerintah bersama ASTRULI
telah membuat suatu roadmap industri rumput laut nasional untuk
beberapa tahun ke depan. Roadmap industri rumput laut Indonesia
mempunyai peran yang penting sebagai kerangka acuan dalam
rangka pengembangan industri rumput laut nasional agar menjadi
lebih selaras dan terarah.

6.6 Penutup
Beberapa permasalahan utama dalam produksi rumput laut yang
dihadapi Indonesia seperti produktivitas yang rendah dikarenakan
kurangnya pembinaan dikalangan petani dan sulitnya akses
pendanaan, minimnya teknologi pengolahan di dalam negeri, serta
rendahnya nilai tambah dari produk yang dihasilkan harus segera dapat
diatasi melalui berbagai strategi yang tepat. Berbagai upaya seperti
penerapan kawasan minapolitan dan pembinaan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan, kerjasama dengan produsen utama rumput
laut di luar negeri dalam bentuk penanaman modal asing untuk
membangun pabrik produksi industri rumput laut di Indonesia,serta
menjalin hubungan kerjasama dengan negara produsen dalam
rangka koordinasi dan peningkatan rantai nilai dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut.

96
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia

Selain itu kerjasama dan koordinasi yang baik diantara seluruh


stakeholder dari hulu ke hilir sangat dibutuhkan dalam mengatasi
hambatan dalam pengembangan rumput laut sebagai komoditas
unggulan produk kelautan dan perikanan Indonesia. Dengan sinergi
yang baik diantara pemerintah, industri, dan produsen rumput laut
diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi dan nilai tambah
produk rumput laut Indonesia sehingga mampu memiliki daya saing di
pasar internasional.
Indonesia juga perlu memiliki roadmap yang jelas mengenai arah
pengembangan rumput laut nasional ke depan. Persamaan konsep
dan pandangan, serta data-data yang ada terkait dengan produksi
dan konsumsi rumput laut haruslah jelas, sehingga tidak menimbulkan
perbedaaan langkah dari seluruh pihak yang terlibat, baik pemerintah,
produsen, dan industri rumput laut nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Antaranews. (2015). Diunduh 21Juli 2015, dari:http://www.antaranews.


com/berita/491173/kebangaan-semu-menjadi-eksportir-
rumput-laut-mentah.
ASTRULI. (2014). Roadmap Industri Rumput Laut Indonesia. Bahan
Presentasi Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)
tanggal 25 November 2014.
Berita Satu. (2015). Diunduh 21Juli 2015, dari:http://www.beritasatu.
com/ekonomi/282387-produksi-rumput-laut-di-nusa-penida-
turun-70.html.
CNN Indonesia. (2015a). Diunduh 22Agustus 2015, dari:http://www.
cnnindonesia.com/ekonomi/20150326144726-92-42091/
asosiasi-rumput-laut-bea-keluar-naik-tunggu-harmonisasi-
data/.
CNN Indonesia. (2015b). Diunduh 22Agustus 2015, dari:http://www.
cnnindonesia.com/ekonomi/20150414085734-92-46428/
jokowi-larang-ekspor-rumput-laut-mentah-mulai-2018/.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2015). Diunduh 17 Agustus
2015, dari:http://kkp.go.id/index.php/pers/komoditas-rumput-
laut-kian-strategis/?print=pdf.

97
Rino Adi Nugroho

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2014). Diunduh 15 Oktober


2015, dari:
http://www.p2hp.kkp.go.id/artikel-867-industri-rumput-laut-wajib-
terapkan--sni-untuk-setiap-produknya-.html
Kontan. (2015). Diunduh 23 Agustus 2015, dari:http://nasional.
kontan.co.id/news/singapura-dan-china-borong-rumput-laut-
indonesia.
Koran Jakarta. (2015). Diunduh 20 Agustus 2015, dari:http://www.
koran-jakarta.com/?28575-bea%20keluar%20rumput%20
laut20%
Liputan 6. (2015). Diunduh 21 Juli 2015, dari:http://bisnis.liputan6.com/
read/2228705/larangan-ekspor-rumput-laut-bisa-lenyapkan-
devisa.
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. (2014). Kajian Usulan
Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput (Raw
Material). Jakarta : Kementerian Perdagangan.
Radar Pena. (2014). Diunduh 21Juli 2015, dari:http://radarpena.com/
read/2014/09/16/11729/1/1/Indonesia-Filipina-Kerja-Sama-
Industri-Rumput-Laut.
Republika Online. (2015a). Diunduh 21 Juli 2015, dari:http://www.
republika.co.id/berita/koran/industri/15/05/05/nnv9cy27-
pabrik-pengolahan-rumput-laut-akan-dibangun.
Republika Online. (2015b). Diunduh 21 Juli 2015, dari:http://www.
republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/05/04/nntks9-kalah-
bersaing-dengan-cina-rumput-laut-harus-diolah-di-dalam-
negeri.
SWA. (2014). Diunduh 15 Agustus 2015, dari:http://www.swa.co.id/
business-strategy/rumput-laut-indonesia-rambah-eropa.
Warta Ekspor. (2013). Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan.

98
Perbaikan Produksi dan Pengolahan,
Kunci Rumput Laut Indonesia Agar Berdaya Saing

BAB VII
PERBAIKAN PRODUKSI DAN PENGOLAHAN,
KUNCI RUMPUT LAUT INDONESIA AGAR
BERDAYA SAING

Zamroni Salim

Bab-bab sebelumnya telah menguraikan tentang produksi dan


budidaya rumput laut Indonesia, termasuk perdagangan dalam negeri
dan luar negeri, sekaligus uraian mengenai peluang dan tantangan
yang ada. Bab ini merupakan bab yang merangkai (sebagai benang
merah) isi/uraian yang ada di bab-bab sebelumnya. Bab ini diharapkan
bisa menunjukkan kondisi riil permasalahan yang ada dalam industri
rumput laut di Indonesia dan upaya untuk menjadikan rumput laut
Indonesia bisa menguasai pasar dalam negeri dan global.
Banyaknya jenis rumput laut yang bisa dibudidayakan di Indonesia
menunjukkan besarnya potensi pemanfaatannya secara ekonomi,
baik dari penambahan skala produksi maupun penciptaan nilai tambah
di dalam negeri. Bila dilihat dari tingkat teknologi yang digunakan,
budidaya dan pengolahan rumput laut sebenarnya tidak menuntut
pengggunaan teknologi tinggi, tetapi lebih pada teknologi tepat
guna. Pada dasarnya pembudidayaan rumput laut tidak memerlukan
modal yang besar dan dukungan teknologi tinggi (Valderrama et al.,
2013). Kehadiran teknologi dalam budidaya rumput laut ini bisa lebih
meningkatkan produktivitas rumput laut di Indonesia.
Sebagai negara dengan panjang pantai yang mencapai lebih dari
99.000 KM secara alamiah Indonesia merupakan negara penghasil
rumput laut dunia (Antaranews, 2015). Namun demikian, meski
Indonesia menempati posisi sebagai produsen utama rumput laut
untuk berbagai jenis rumput laut yang dipasarkan di dunia, namun
produktivitas rumput laut Indonesia masih kalah dibandingkan dengan
rumput laut di negara lainnya (seperti telah diuraikan dalam Bab II).
Banyak negara yang menjadi produsen (competitors) rumput
laut dunia terutama negara-negara yang memiki wilayah pantai yang
cukup luas. Sebagian besar dari produksi rumput laut negara pesaing
Indonesia merupakan hasil dari budidaya (aquaculture). Pesaing
utama Indonesia di pasar rumput laut dunia adalah Filipina, Malaysia,
Tanzania dan RRT (ITC, 2015). Indonesia bisa terus meningkatkan
produksi rumput laut sekaligus menciptakan nilai tambah yang lebih

99
Zamroni Salim

di pasar dalam negeri mengingat area penanaman rumput laut di


Indonesia yang dimanfaatkan baru sekitar setengah dari total potensi
lahan rumput laut yang sudah digunakan (under utilization) (Warta
Ekspor, 2013).
Rumput laut merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan
hasil kelautan Indonesia. Namun demikian, sebagai primadona eksor,
rumput laut belum bisa memberikan kontribusi yang besar bagi ekspor
non-migas Indonesia. Hal ini terkait dengan permasalahan yang ada
dalam budidaya dan pengembangan rumput laut, serta penambahan
nilai tambah dalam jaringan produksi dan perdagangan, baik domestik
maupun luar negeri.

7.1 Kompleknya Permasalahan dalam Produksi dan Pengolahan


Rumput laut
Industri rumput laut di Indonesia masih menghadapi berbagai
permasalahan, meski saat ini bisa dikatakan Indonesia merupakan
eksportir utama rumput laut di pasar dunia. Dari uraian di dalam Bab
I sampai Bab VI, bisa dilihat bahwa berbagai permasalahan yang
masih dihadapi oleh industri rumput laut di Indonesia adalah masalah
rendahnya produktivitas, minimnya standar mutu rumput laut di tingkat
petani, rendahnya daya tawar petani, biaya transportasi yang mahal,
rendahnya tingkat teknologi pengolahan dan masalah penciptaan nilai
tambah di dalam negeri.
Beberapa hal yang menjadi penyebab relatif rendahnya
produktivitas rumput laut Indonesia yaitu masalah Sumber Daya
Manusia (SDM), masalah skala usaha dan faktor alam. Tentu saja
kita tidak bisa menyalahkan alam sebagai penyebab utama. Kita
tidak menampik bahwa faktor alam turut mempengaruhi produktivitas
rumput laut seperti masalah kualitas air laut, kandungan garam,
besarnya arus dan gelombang, termasuk bencana alam yang terjadi
di lautan. Masalah SDM memang menjadi faktor penentu yang juga
harus diperhatikan (Kemenperind, 2015) dalam rangka membangun
industri rumput laut yang diharapkan bisa menjadi komoditas unggulan
di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Masalah masih rendahnya produktivitas dan juga penciptaan nilai
tambah terkait dengan skala usaha produksi rumput laut yang kecil,
yang dikelola dengan cara sendiri-sendiri. Selain itu, skala produksi
yang kecil menyebabkan rendahnya tawar petani rumput laut dengan
pengumpul/pedagang dalam penentuan harga. Rendahnya daya

100
Perbaikan Produksi dan Pengolahan,
Kunci Rumput Laut Indonesia Agar Berdaya Saing

tawar petani rumput laut menyebabkan harga pasar rumput laut yang
tidak stabil dan cenderung merugikan petani. Di sisi lain, pasokan dan
distribusi yang sepenuhnya di bawah kontrol pengumpul/pedagang
menyebabkan adanya distorsi dalam distribusi rumput laut. Terbatasnya
pasokan untuk kebutuhan industri dalam negeri disebabkan salah
satunya, karena margin keuntungan di pasar luar negeri lebih tinggi
meskipun tanpa adanya nilai tambah yang tercipta.
Selain itu, seperti diuraiakan dalam Bab IV, rendahnya penyerapan
rumput laut di pasar pasar dalam negeri dikarenakan harga yang masih
relatif mahal dibandingkan rumput laut impor terutama yang berasal
dari RRT. Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) menilai rendahnya
penggunaan/konsumsi rumput laut lokal oleh industri nasional masih
sangat rendah karena adanya kendala pasokan di pasar dalam negeri
(Direktorat Jendral Industri Agro, Kementerian Perindustrian, 2015).
Selain itu, penyebab lainnya adalah adanya pengusaha/pedagang
rumput laut yang cenderung lebih memilih pasar ekspor dibanding
mengolahnya menjadi produk bernilai tambah di pasar dalam negeri
(CNN Indonesia, 2015a). Hal ini secara makro ekonomi, tentu merugikan
perekonomian Indonesia. Produsen pengolah rumput laut dihadapkan
pada terbatasnya dan relatif mahalnya rumput laut produksi dalam
negeri. Di sisi lain, ekspor rumput laut mentah kita pada kesempatan
lain akan kita impor kembali dalam bentuk semi olahan (karaginan)
dan produk jadi yang lainnya.
Produksi rumput laut yang besar (sekitar 3.3 juta ton di tahun 2013
mengalahkan komoditas hasil perikanan) belum diimbangi dengan
penyerapan rumput laut di dalam negeri. Sebagian besar rumput laut
kering masih dijual untuk memenuhi pasar ekspor (seperti diuraikan
dalam Bab IV). Sebenarnya, penyerapan produksi rumut laut di dalam
negeri bisa dilakukan dengan salah satunya pengembangan industri
pengolahan rumput laut, terutama industri karaginan dan agar.
Jumlah industri pengolahan rumput laut di Indonesia sebanyak
tujuh perusahaan (industri agar) dan industri karaginan 12 perusahaan
di tahun 2014 (dalam Bab IV). Dari jumlah perusahaan dalam industri
agar, tiga perusahaan terbesar dalam industri agar mempunyai total
pangsa pasar (market share)sebesar 54,4%. Sementara itu, untuk
industri karaginan ada empat perusahaan terbesar dengan total pangsa
pasar mencapai 56,3%. Hal ini menunjukkan masih besarnya peluang
bagi perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri pengolahan
rumput laut ini.

101
Zamroni Salim

7.2 Perlunya Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Budidaya


dan Pengolahan Rumput Laut
Dengan melihat berbagai permasalahan dalam produksi dan
pengolahan rumput laut di dalam negeri, maka diperlukan kebijakan
pemerintah yang mendorong tumbuh kembangnya budidaya rumput
laut dan industri pengolahan rumput laut. Seperti diuraikan dalam Bab
II dan V, berbagai kebijakan bisa dikeluarkan oleh pemerintah dalam
upaya mendorong tumbuh kembangnya budidaya dan pengolahan
rumput laut. Dalam hal harga, ada hal penting yang bisa dijembatani
oleh pemerintah. Di sini pemerintah bisa berperan dalam menyediakan
informasi harga kepada semua stakeholders yang terlibat dalam
industri rumput laut, khususnya petani yang selama ini mempunyai
daya tawar yang paling rendah. Kurangnya informasi mengenai
harga rumput laut pada tingkat petani bisa berdampak pada fluktuasi
harga di pasar. Selain itu, dalam hal transparansi harga dan upaya
untuk mengurangi distorsi harga rumput laut, sistem resi gudang bisa
diterapkan (Kemendag, 2013).
Terkait dengan upaya untuk meningkatkan kualitas rumput
laut Indonesia, seperti diuraikan dalam Bab II, kebijakan yang bisa
dilakukan adalah dengan menerapkan standar kualitas perairan laut
untuk budidaya dan penyediaan bibit yang berkualitas. Selain itu,
pelatihan juga bisa dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan,
kemampuan budidaya yang mengarah pada peningkatan produktivitas
rumput laut. Sementara itu, dalam aspek perdagangan penerapan Bea
Keluar (BK) untuk rumput laut mentah bisa dilakukan dalam upaya
untuk penciptaan nilai tambah yang lebih besar di dalam negeri.
Pemerintah sendiri berencana untuk melarang ekspor rumput laut
mentah yang akan diberlakukan mulai tahun 2018, sebagaimana yang
diwacanakan oleh Presiden Joko Widodo (CNN Indonesia, 2015b)
dalam upaya untuk mengembangkan industri pengolahan rumput laut
di dalam negeri. Kebijakan ini tentu saja harus dibarengi dengan upaya
pemerintah untuk mendorong tumbuhkembangnya industri pengolahan
di dalam negeri dengan berbagai insentif yang diberikan kepada
perusahaan baru yang mengolah rumput laut di Indonesia. Dengan
adanya upaya tersebut yang didukung oleh kebijakan pemerintah yang
kondusif, diharapkan industri rumput laut di Indonesia bisa berkembang
yang ditandai dengan meningkatnya nilai tambah di dalam negeri yang
mampu memenuhi pasar dalam negeri sekaligus pasar ekspor.

102
Perbaikan Produksi dan Pengolahan,
Kunci Rumput Laut Indonesia Agar Berdaya Saing

DAFTAR PUSTAKA

Antaranews. (2015). Garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia.


Diakses tanggal 3 Agustus 2015, dari http://www.antaranews.
com/berita/487732/garis-pantai-indonesia-terpanjang-kedua-
di-dunia.
CNN Indonesia. (2015a). Asosiasi Industri Minta Pemerintah
Patok Harga Rumput Laut. Diakses tanggal 2 Agustus
2015, dari sumber: http://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20150116134209-92-25141/asosiasi-industri-minta-
pemerintah-patok-harga-rumput-laut/.
CNN Indonesia. (2015b). Jokowi Larang Ekspor Rumput
Laut Mentah Mulai 2018. Diakses tanggal 9 Agustus
2015 dari sumber: http://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20150414085734-92-46428/jokowi-larang-ekspor-
rumput-laut-mentah-mulai-2018/.
Direktorat Jendral Industri Agro, Kementerian Perindustrian. (2015).
Asosiasi berharap Ekspor Rumput Laut Ditingkatkan. Diakses
tanggal 6 Agustus 2015, dari sumber: http://agro.kemenperin.
go.id/2471-Asosiasi-Berharap-Ekspor-Rumput-Laut-
Ditingkatkan
International Trade Center (ITC). 2015. Data Ekspor Impor Rumput
Laut Dunia HS 121220, HS 121221, HS 121229, HS 130231,
HS 130239 Periode 2010-2014.
Kementerian Perdagangan (Kemendag). (2013). Memo Kebijakan:
Upaya Peningkatan Efektivitas Sistem Resi Gudang Rumput
Laut di Daerah Tertinggal. Diunduh pada tanggal 11 Agustus
2015 dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/01/07/
memo-kebijakan-rumput-laut-id0-1357539890.pdf.
Kementerian Perindustrian. (2015). Kadin: Benahi Industri Hulu
Rumput Laut. Diakses tanggal 6 Agustus 2015, dari sumber:
http://www.kemenperin.go.id/artikel/11318/Kadin:-Benahi-
Industri-Hulu-Rumput-Laut.
Valderrama, D., J.Cai., N. Hishamunda., and N.Ridler. (2013). Social
and economic dimensions of carrageenan seaweed farming.
Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 580. Rome,
FAO.
Warta Ekspor. (2013). Rumput Laut Indonesia. Kementerian
Perdagangan, Ditjen PEN/MJL/004/9/2013 September.

103
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut

INDEKS

A K
Agarophyte, 25 kappa carrageenan, 32
Agaroses, 8 K. alvarezii, 7
aisais, 19
alga, 1, 83, 84 L
Algins, 8 lambda carrageenan, 32
Alginophyte, 26 Laminaria, 1
Alkali Treated Chips (ATC), 32, 63, 88
Alkali Treated Seaweed Chips, (ATSC), 92 M
Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia minapolitan, 10, 89, 90
(ASTRULI), 4,5,12,17, 27, 34,45, 56,60,
81, 86, 87, 89, 95 O
Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), 91, oligopsoni, 45, 47
101 olysaccharides fucoidans, 7

C P
Carrageenan, 8, 66, 68 phaeophyceae, 1, 7, 26
Carrageenophyte, 26 phorphyra, 1
Chlorophyceae, 1, 7, 26 polysaccharides, 26
Chondrus crispus, 7 Pharmacy Grade, 29, 30
Clean Anhydrous Weed (CAW), 92
cyanophyceae, 1 R
Refine Carageenan (RC), 30, 32, 63, 88
E Roadmap, 5, 56, 61, 93, 96, 97
E. cottonii, 54, 55, 57, 58, 70, 81, 83, 88, 91 Rodophyceae, 1
E. denticulatum, 7
Euchema 1, 18, 27 S
Sargasum, 1, 29, 30
F Seaweed, 1, 7, 62, 85, 92
Fulcelaran, 1, 2 seaweed price bubble, 18
Food Grade, 29, 30 Semi Refined Carageenan (SRC), 30, 32,
Foreign Buyer Mission, 90,96 56, 63, 88
Sistem Resi Gudang (SRG), 19, 59, 94
G Spinosum, 9, 10, 43, 91
Gelidium, 1, 9, 26, 27 Standar Nasional Indonesia (SNI), 92
Gelidiella, 26 Surat Kesepakatan Bersama (SKB), 92
Gigartina, 7, 62
Gracilaria, 1, 43, 69, 81, 83, 89, 90, 91 T
Tax Holiday, 93
H thallophyta, 1
Harga Patokan Petani (HPP), 57 Trade Intensity Index (TII), 2, 79, 80

I
Indonesian Seaweed Industry Association
(APBIRI), 10
Industrial Grade, 29, 30
iota carrageenan, 31

104
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS


Zamroni Salim
Zamroni Salim adalah peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1998. Zamroni memperoleh gelar
S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas
Airlangga, Surabaya; Gelar S2 diperoleh dari Massey University, New
Zealand untuk bidang perdagangan internasional, tahun 2003; dan Gelar
PhD diperoleh dari the Graduate School of International Development
(GSID), Nagoya University, Jepang tahun 2009 dalam bidang international
economic and development. Area penelitian yang menjadi bidang kajian
adalah regionalism, economic integration and development, ASEAN and East
Asian Studies. Aktif sebagai anggota Dewan Editor di beberapa jurnal ilmiah
seperti: Indonesia Economic and Business Studies (RIEBS), dan Buletin
Ilmiah Litbang Perdagangan (BILP)-Kementerian Perdagangan. Zamroni
Salim juga merupakan peneliti senior pada the Habibie Center (THC) sejak
2009. Selain melakukan penelitian, yang bersangkutan juga menjadi tenaga
pengajar di Department of International Relations, President University,
Cikarang Indonesia.

Ernawati Munadi
Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman
lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai Konsultan,
Dosen dan Peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai Konsultan
sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan
Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID, sebagai ahli di bidang Ekonomi
Perdagangan. Pada bulan Oktober 2008, dipromosikan sebagai Trade
Economist/Senior Team Leader dalam proyek yang sama. Sejak itu penulis
bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek yang dibiayai oleh organisasi
internasional seperti Bank Dunia, AusAid, USAID, dan Uni Eropa. Hingga
kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya Kusuma. Keahliannya
adalah dampak liberalisasi perdagangan pada permintaan ekspor Indonesia
hingga model analisis transmisi siklus bisnis dari Indonesia dan Amerika
Serikat. Dalam 5 tahun terakhir Ernawati mengembangkan keahlian di bidang
perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff
measures). Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian
baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang
Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master

105
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut

di bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Indonesia pada


tahun 1997; dan gelar Ph.D di bidang Ekonomi Internasional dari Universitas
Putra Malaysia pada tahun 2004.

Muhammad Fawaiq
Muhammad Fawaiq adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun
2010. Fawaiq memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dari Jurusan Geografi
Fisik dan Lingkungan,pada tahun 2007 dan gelar Master of Economics of
Development (M.Ec.Dev) pada tahun 2009 dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta. Saat ini Fawaiq menekuni bidang penelitian ekonomi
terapan terutama yang berkaitan dengan perdagangan internasional di sektor
jasa.

Ratna Anita Carolina


Ratna Anita Carolina adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan
Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun 2009. Ratna
memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (UI) pada tahun 2008, Exchange Programme in Development
Economics dari University of Goettingen tahun 2013, dan S2 dari Institut
Pertanian Bogor untuk bidang Ilmu Ekonomi tahun 2015. Saat ini Ratna
menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan dalam negeri di
bidang standardisasi dan perlindungan konsumen. Bidang lain yang menjadi
minat penelitiannya adalah Integrasi Pasar dan Transmisi Harga.

Yati Nuryati
Yati Nuryati adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2006. Yati memperoleh gelar S1
Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2000, dan gelar S2 dari Institut
Pertanian Bogor untuk bidang Ilmu Ekonomi Pertanian tahun 2004. Saat ini
Yati menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan Dalam Negeri
khususnya Investasi, Inflasi dan Stabilitas Harga. Bidang lain yang menjadi
minat penelitiannya adalah Persaingan Usaha dan perdagangan internasional

106
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut

Hasni
Hasni adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2008. Hasni memperoleh gelar S1
Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006, dan gelar S2 dari
Institut Teknologi Bandung untuk bidang Teknik dan Manajemen Industri tahun
2013. Saat ini Hasni menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan
internasional. Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah Daya
Saing Perdagangan dan Ekspor Produk Industri dan Pertambangan.

Rino Adi Nugroho


Rino Adi Nugroho adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun
2014. Rino memperoleh gelar S1 Jurusan Manajemen dari Fakultas
Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang pada
tahun 2011. Sebelum meniti karir sebagai peneliti Rino sempat menempuh
karir profesional dibidang pasar modal. Saat ini Rino menekuni area
penelitian dibidang kebijakan kerjasama perdagangan internasional
khususnya di bidang kerjasama regional.

107
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut

108

Anda mungkin juga menyukai