Info Komoditi
RUMPUT LAUT
i
Info Komoditi Rumput Laut
SANKSI PELANGGARAN
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
ii
Info Komoditi Rumput Laut
Info Komoditi
RUMPUT LAUT
EDITOR:
Zamroni Salim, Ph.D
Ernawati, Ph.D
iii
Info Komoditi Rumput Laut
Judul:
Info Komoditi Rumput Laut
Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati, Ph.D
Copyright © 2015
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved
Diterbitkan oleh
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan
Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya
AMP Press
Imprint Al-Mawardi Prima
Anggota IKAPI JAYA
Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Telp/Fax. (021) 29325630
Email: info@almawardiprima.co.id
Website: www.almawardiprima.co.id
iv
Info Komoditi Rumput Laut
KATA PENGANTAR
Komoditas rumput laut merupakan komoditas penting bagi perekonomian
Indonesia. Arti penting tersebut karena komoditas rumput laut memiliki nilai
ekonomi tinggi dan besarnya potensi pengembangan budidaya rumput laut di
Indonesia. Berbagai produk olahan turunan yang berasal dari rumput laut juga
menunjukkan bahwa komoditas rumput laut mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi bila bisa diolah di dalam negeri, sehingga nilai tambah yang tercipta lebih
banyak bisa dinikmati oleh petani dan produsen pengolah di Indonesia.
Kondisi budidaya dan pengolahan rumput laut di Indonesia masih menyimpan
berbagai kendala dan tantangan, terutama menyangkut masalah produktivitas
budidaya rumput laut di Indonesia yang masih rendah. Masalah lain adalah masih
rendahnya pengolahan rumput laut menjadi agar dan karaginan di Indonesia.
Dengan melihat berbagai kondisi yang ada dalam budidaya, pengolahan dan
perdagangan rumput laut, adanya tulisan yang lengkap yang membahas
permasalahan tersebut tentu sangat diperlukan.
Buku Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut ini menyajikan berbagai aspek
kegiatan budidaya dan perdagangan rumput laut di Indonesia, termasuk aspek
kebijakan yang terkait dengan produksi, pengolahan dan juga perdagangan. Buku
ini tersusun dari tujuh bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan
arti penting rumput laut bagi perekonomian Indonesia dan menjelaskan
permasalahan dasar mengenai rendahnya produktivitas rumput laut.
Dalam Bab II diuraikan mengenai aspek produksi rumput laut, yang dimulai
dari sejarah rumput laut di Indonesia. Bab ini juga menjelaskan daerah-daerah
produsen rumput laut di Indonesia dan total produksi yang dihasilkannya dalam
bentuk rumput laut basah dan kering. Bahasan budidaya rumput laut dengan
berbagai metode dan perbandingannya termasuk metode budidaya yang
paling banyak dilakukan di Indonesia juga ditampilkan dalam bab ini. Berbagai
permasalahan menyangkut rendahnya produktivitas rumput laut juga diuraikan
dengan jelas. Di bagian akhir Bab II diuraikan mengenai perhitungan nilai
investasi yang diperlukan untuk budidaya rumput laut.
Aspek konsumsi dan pengolahan rumput laut diuraikan dalam Bab III. Dalam
bab ini dijelaskan bagimana proses pengolahan rumput laut (kering) menjadi
karaginan, agar dan alginat lalu kemudian diolah menjadi produk lanjutan
baik untuk produk sebagai bahan baku industri lain maupun produk yang siap
dikonsumsi. Setidaknya ada tiga jenis produk olahan rumput laut yaitu Pharmacy
Grade, Industrial Grade, dan Food Grade. Usaha pengolahan rumput laut di
v
Info Komoditi
Bunga Rampai Rumput
Info Komoditi
Laut Rumput Laut
vi
Info Komoditi
KataRumput Laut
Pengantar
DAFTAR ISI
Pengantar Editor............................................................................................v
Daftar Isi ...................................................................................................... vii
Daftar Gambar............................................................................................. viii
Daftar Tabel................................................................................................... x
Indeks....................................................................................................... 104
vii
Info Komoditi Rumput Laut
DAFTAR GAMBAR
viii
Info Komoditi Rumput Laut
DAFTAR TABEL
ix
Info Komoditi Rumput Laut
x
Rumput Laut, Komoditas Potensial Yang Belum Termanfaatkan
BAB I
RUMPUT LAUT, KOMODITAS POTENSIAL YANG
BELUM TERMANFAATKAN
Ernawati Munadi
Rumput laut (seaweed) merupakan tumbuhan laut yang tergolong
dalam ganggang (alga) multiseluler divisi thallophyta. Tidak seperti
tanaman sempurna pada umumnya, rumput laut tidak memiliki akar,
batang dan daun. Rumput laut hidup di dasar samudera yang dapat
tertembus cahaya matahari sehingga memiliki beragam warna yang
kemudian digunakan untuk menggolongkan rumput laut1. Secara
umum, rumput laut yang dapat dimakan adalah jenis ganggang biru
(cyanophyceae), ganggang hijau (chlorophyceae), ganggang merah
(rodophyceae) dan ganggang coklat (phaeophyceae) (Atmadja, 2012).
Namun demikian, istilah rumput laut lebih sering digunakan untuk
alga merah dan alga coklat. Alga coklat yang merupakan sumber
alginat banyak hidup di wilayah perairan dingin (temperate regions).
Beberapa jenis alga coklat yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah
Sargasum dan Laminaria. Alga merah memiliki nilai ekonomi lebih
tinggi dibanding alga coklat. Alga merah umumnya lebih cocok hidup
pada iklim subtropis sehingga jenis alga merah ini tidak terdapat dalam
jumlah banyak di daerah-daerah yang memiliki iklim tropis termasuk
Indonesia. Beberapa jenis alga merah yang memiliki nilai komersial
adalah Phorphyra yang merupakan bahan baku makanan khas Jepang
nori/laver, Gelidium dan Gracilaria (menghasilkan agar-agar), dan
Eucheuma (menghasilkan karaginan). Namun, alga merah sebagai
sumber karaginan, agar-agar, dan fulcelaran banyak hidup di wilayah
perairan tropis (Dahuri, 2011).
Di banyak negara termasuk Indonesia, rumput laut saat ini
merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi
tinggi mengingat perannya yang sangat penting dalam berbagai
produk yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Dari
segi ekonomis, rumput laut merupakan komoditas potensial untuk
dikembangkan mengingat nilai gizi yang dikandungnya. Selain
itu, rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan makanan seperti
agar-agar, sayuran, kue dan menghasilkan bahan algin, karaginan
dan fulcelaran yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik,
1
Rumput laut merupakan jenis tumbuhan, maka rumput laut juga memiliki klorofil atau pigmen warna yang lain.
1
Ernawati Munadi
2
Rumput Laut, Komoditas Potensial Yang Belum Termanfaatkan
mencapai 2,93% per tahun. Kebutuhan rumput laut dunia juga diperkirakan
cenderung meningkat. Sebagai contoh selama periode 2012-2015,
kebutuhan rumput laut dunia terus meningkat dengan pertumbuhan
sebesar 39,6%, yaitu meningkat dari 86,4 juta ton kering pada tahun 2012
menjadi 120,6 juta ton kering pada tahun 2015 (KKP, 2013).
Selama periode tersebut (2010-2014), baik dari segi nilai
maupun volume ekspor, rumput laut Indonesia juga terus mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan nilai ekspor yang mencapai 14,04%
per tahun. Sementara pertumbuhan volume ekspor rumput laut
Indonesia mencapai 11,7% per tahun (BPS, 2015). Namun demikian,
tingginya potensi rumput laut tersebut ternyata belum sepenuhnya
diimbangi dengan usaha yang mampu memanfaatkan potensi tersebut
sehingga memberikan manfaat ekonomi yang maksimal bagi semua
stakeholders yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam industri budidaya rumput laut.
3
Ernawati Munadi
4
Rumput Laut, Komoditas Potensial Yang Belum Termanfaatkan
DAFTAR PUSTAKA
ASTRULI. (2014). Roadmap Industri Rumput Laut Indonesia. Bahan
Presentasi Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI)
tanggal 25 November 2014.
Atmadja, W., S. (2012). Apa Rumput Laut itu sebenarnya?. Diunduh pada
tanggal 12 Juli 2015 dari http://www.coremap.or.id/print/article.
php?id=264.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Statistik Ekspor Impor Indonesia 2015.
Dahuri (2011). Mengembangkan Industri Rumput Laut Secara Terpadu.
Samudra, Edisi 93 Januari 2011.
5
Ernawati Munadi
International Trade Center (ITC). (2015). Data Ekspor Impor Rumput Laut
Dunia HS 121220, HS 121221, HS 121229, HS 130231, HS 130239
Periode 2010-2014.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2013). Buku Saku: Informasi
Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Profile of Business
and Investment Oppotunities on Seaweed in Indonesia 4th Edition.
Direktorat Bisnis dan Investasi, Direktorat Jenderal Pemasaran dan
Pengolahan Produk Perikanan, kementerian Perdagangan.
Valderrama, D., J.Cai., N. Hishamunda., and N. Ridler. (2013). Social and
economic dimensions of carrageenan seaweed farming. Fisheries
and Aquaculture Technical Paper No. 580. Rome, FAO.
Wahyudin, Y. (2013). Nilai Sosial Ekonomi Rumput Laut: Studi Kasus
Kecamatan Tanimbar Selatan dan Selaru, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Majalah Ilmiah Globe Vol. 15 (1),
pp. 77-85.
6
Produksi Rumput Laut Indonesia
BAB II
PRODUKSI RUMPUT LAUT INDONESIA
Muhammad Fawaiq
2.1 Pendahuluan
Rumput laut (Seaweed) merupakan komoditi yang sangat penting
dewasa ini. Hal ini terlihat dari berbagai produk yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari yang menggunakan rumput laut
sebagai bahan bakunya. Rumput laut merupakan produk serbaguna
yang dapat digunakan langsung untuk dikonsumsi atau diolah menjadi
makanan tambahan, makanan ternak, pupuk, biofuel, kosmetik, obat-
obatan dan sebagainya (Valderrama, et. al., 2013). Berkembangnya
teknologi telah mendorong penggunaan produk ini menjadi lebih luas
sehingga mendorong permintaan dan produksi di berbagai negara.
Banyak negara menjadi produsen rumput laut dunia terutama
negara-negara yang memiki pesisir. Rumput laut berasal dari alam dan
hasil budidaya (aquaculture). Beberapa jenis rumput laut yang berasal
dari alam, yaitu Chondrus crispus yang diproduksi di Kanada, Irlandia,
Portugal, Spanyol dan Perancis, dan Gigartina yang diproduksi di
Amerika Selatan dan Eropa bagian selatan. Adapun rumput laut hasil
budidaya, terutama adalah K. alvarezii (secara komersial disebut
dengan cottonii) dan E. denticulatum yang dibudidayakan di negara-
negara tropis seperti Filipina, Indonesia, Malaysia dan Republik
Tanzania (Valderrama, 2013).
Rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia diklasifikasikan
berdasarkan warna yaitu: (1) rumput laut merah (Rhodophyceae),
rumput laut yang paling banyak ditemukan jenisnya di perairan
Indonesia yaitu sekitar 452 jenis; (2) rumput laut hijau (chlorophyceae),
ditemukan sekitar 196 jenis di perairan Indonesia; (3) rumput laut
coklat (Phaeophyceae) sekitar 134 jenis; dan (4) rumput laut pirang
(Chrysophyceae) (Suparmi, 2009).
Jenis rumput laut yang biasa dijadikan bahan makanan adalah alga
merah dan alga coklat. Alga merah merupakan jenis rumput laut yang
dikonsumsi sebagai makanan segar oleh masyarakat di Hawaii dan
digunakan sebagai salad, sup dan makanan diet rendah kalori (Kilinc,
et. al., 2013). Alga merah juga dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.
Rumput laut coklat kaya akan olysaccharides fucoidans sehingga
digunakan sebagai bahan baku industri. Produk utama yang dihasilkan
7
Muhammad Fawaiq
oleh rumput laut coklat ini adalah agar-agar, agaroses, algins, dan
carrageenans (Kilinc, et. al., 2013). Produk tersebut dijadikan bahan
baku pada berbagai Industri seperti farmasi, makanan dan produk
konsumen lainnya.
Beragamnya jenis rumput laut di Indonesia menunjukan besarnya
potensi pemanfaatannya secara ekonomi. Hal ini juga didukung oleh
luasnya daerah potensial untuk pembudidayaan rumput laut. Dengan
demikian, rumput laut dapat menjadi sumber mata pencaharian terutama
untuk masyarakat pesisir Indonesia karena menurut Valderrama et. al.
(2013) pembudidayaan rumput laut tidak membutuhkan modal yang
besar dan teknologi tinggi. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia.
Budidaya dan industri rumput laut menjadi penggerak utama
pembangunan ekonomi Indonesia (The Economist, 2013).
Namun demikian, pada praktiknya terdapat berbagai permasalahan
dalam produksi rumput laut (rumput laut kering). Permasalahan-
permasalahan tersebut seperti kurangnya informasi dan distorsi
harga, pendanaan dan produktivitas. Untuk itu, bab ini fokus pada
aspek produksi rumput laut kering (bahan baku) yang dibagi menjadi
beberapa subbab yaitu Peran Budidaya Dalam Produksi Rumput Laut
Dunia; Peran dan Produksi Indonesia; Budidaya dan Produktivitas;
Proses Produksi Rumput Laut Kering; Permasalahan dan Alternatif
Kebijakan dalam Produksi Rumput Laut Kering; Kebutuhan Investasi
Rumput Laut; dan Penutup.
3
Pengertian budidaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah usaha yg bermanfaat dan memberi hasil.
Budidaya rumput laut pertama kali dilakukan oleh Marine Colloids Inc. dan University of Hawaii di Provinsi of Tawi-Tawi,
Filipina.
8
Produksi Rumput Laut Indonesia
20
All
18
Ciltivated, red
16
Cultivated, miscellaneous
14 Cultivated, brown
(Million wet tonnes)
12 Wild
10
8
6
4
2
0
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Gambar 2.1 Produksi Rumput Laut Dunia.
Sumber: Velderrama, et al. (2013)
9
Muhammad Fawaiq
10
Produksi Rumput Laut Indonesia
Keterangan:
Rumput laut untuk karaginan yang sedang dibudidayakan termasuk Kappaphycus dan Eucheuma.
11
Muhammad Fawaiq
KKP (KKP, 2014b). Hal ini bertolak belakang dengan Provinsi Maluku
yang mengalami penurunan produksi rata-rata sebesar 2%. Turunnya
produksi rumput laut di Provinsi Maluku disebabkan oleh adanya
penyakit rumput laut (Puska Dagri, 2013). Data Produksi rumput laut
basah Indonesia disajikan pada Tabel 2.2 sebagai berikut.
Tabel 2.2 Produksi Rumput Laut Basah Indonesia, 2011-2013
Produksi (Ton Basah) Tren
No. Provinsi
2011 2012 2013 2011-2013 (%)
1 Bali 106.398 144.168 145.597 17
2 NTB 290.700 477.037 599.100 44
3 NTT 377.200 398.736 1.846.334 121
4 Kalimantan Timur 83.093 585.941 249.412 73
5 Sulawesi Utara 98.838 159.909 164.021 29
6 Gorontalo 89.149 95.442 103.924 8
7 Sulawesi Tengah 758.910 991.590 1.233.058 27
8 Sulawesi Selatan 1.506.264 2.104.446 2.422.154 27
9 Sulawesi Tenggara 586.965 639.192 917.363 25
10 Maluku 610.365 474.167 583.351 (2)
11 Lainnya 662.949 915.683 960.392 20
Total 5.170.831 6.986.311 9.224.706 34
Sumber: KKP (2014a)
12
Produksi Rumput Laut Indonesia
13
Muhammad Fawaiq
arus serta pasang surut air laut merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan dalam metode ini. Seperti halnya metode budidaya
lainnya, metode ini juga dipengaruhi oleh topografi daerah penanaman
yaitu daerah perairan dengan kedalaman 60 cm. Daerah-daerah di
Indonesia yang menerapkan metode ini adalah Sulawesi Selatan,
NTT dan beberapa daerah lainnya. Konstruksi sarana budidaya dalam
metode rakit apung adalah sebagai berikut.
14
Produksi Rumput Laut Indonesia
15
Muhammad Fawaiq
d. India
Metode rakit apung dengan ukuran 3 x 3 m. Siklus produksi yaitu
45 hari dengan total produksi 270 hari produksi per tahun.
Berdasarkan metode yang digunakan dibanyak negara tersebut,
negara dengan biaya termurah sampai tertinggi secara berurutan
adalah Meksiko, Indonesia, Kepulauan Solomon, Filipina, India dan
Tanzania (Valderrama et al.,2015).
16
Produksi Rumput Laut Indonesia
Middlemen (punggawa)
45 days
Lending Direct Planting
money Harvesting Dried
application The
Seaweed Seaweed
17
Muhammad Fawaiq
Rumput laut yang baru dipanen tersebut tidak boleh diletakkan pada
tempat gelap tetapi harus langsung kemudian dikeringkan dengan cara
dijemur karena akan mempengaruhi warna akhir rumput laut (KPAD
Nunukan, 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa waktu terbaik untuk
menjemur rumput laut yang baru dipanen dilakukan antara pukul 6.30
pagi sampai 5 sore.
Setelah mendapatkan rumput laut kering, petani akan
mengembalikan uang kepada tengkulak dan juga menjual hasil
panennya ke tengkulak. Zamroni dan Yamao (2012) menerangkan
bahwa tengkulak memegang peranan penting terutama dalam
menyediakan kebutuhan dana yang dibutuhkan oleh petani secara
cepat serta mengumpulkan dan membeli rumput laut kering dari petani.
18
Produksi Rumput Laut Indonesia
19
Muhammad Fawaiq
Catatan: Bibit yang digunakan adalah bibit sascol dengan harga yang berlaku di Alor, NTT.
20
Produksi Rumput Laut Indonesia
21
Muhammad Fawaiq
2.8 Penutup
Kontribusi Indonesia pada perdagangan internasional rumput
laut kering sudah mencapai 60,5% tahun 2010. Kontribusi tersebut
diharapkan akan semakin meningkat seiring dengan perhatian
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dengan program minapolitannya. Program ini telah berhasil
meningkatkan produksi rumput laut di NTT secara signifikan.
Dalam perkembangan budidaya rumput laut di Indonesia, terdapat
beberapa permasalahan penting seperti kurangnya informasi dan
distorsi harga, rendahnya produktivitas Indonesia dibandingkan
negara-negara penghasil rumput laut lainnya, dan akses petani ke
sumber pendanaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat
lakukan kegiatan-kegiatan seperti resi gudang, capacity building, dan
penguatan peran pemerintah pada pendanaan usaha mikro.
DAFTAR PUSTAKA
22
Produksi Rumput Laut Indonesia
23
Muhammad Fawaiq
24
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
BAB III
KONSUMSI DAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT
Ratna A. Carolina
3.1 Pendahuluan
Rumput laut merupakan tanaman laut yang banyak tumbuh di
perairan Indonesia. Berdasarkan pigmen yang terkandung didalamnya,
rumput laut dapat dibedakan menjadi 4 kelas, yakni rumput laut merah
(Rhodophyceae), rumput laut hijau (Chlorophyceae), rumput laut coklat
(Phaeophyceae)dan rumput laut pirang (Chrysophyceae) (Suparmi
dan Sahri, 2009).
Jika diklasifikasikan berdasarkan kandungan koloid didalamnya,
maka rumput laut terbagi atas 3 jenis yakni: (1) Agarophyte, jenis
rumput laut yang menjadi bahan baku agar, seperti Gracilaria, Gelidium
dan Gelidiella; (2) Carrageenophyte, merupakan jenis rumput laut
yang banyak mengandung Carrageenan polysaccharides, diantaranya
adalah Eucheuma; dan (3) Alginophyte, merupakan bagian dari jenis
rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang menghasilkan alginate
(Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP, 2014).
Ketiga jenis rumput laut tersebut telah dibudidayakan dan
diperdagangkan secara luas di Indonesia, dan merupakan bahan baku
dari berbagai industri karena merupakan sumber karaginan (tepung
rumput laut), agar–agar dan alginat, yang cocok digunakan untuk
bahan baku industri makanan, pelembut rasa, pencegah kristalisasi
es krim dan obat–obatan. Selain itu, rumput laut di Indonesia juga
dapat digunakan sebagai bahan baku benang jahit operasi (sea cut-
gut), dekorasi porselen (pengikat warna dan plasticizer), industri kain
(pengikat warna), industri kertas (lackuer dan penguat serta pelican
kertas), industri fotografi (pengganti gelatin), bahan campuran obat
(obat penyakit: gondok/basedow, rheumatic, kanker, bronchitis kronis/
emphysema, scrofula, gangguan empedu/kandung kemih, ginjal,
tukak lambung/saluran cerna, reduksi kolesterol darah, anti hipertensi,
menurunkan berat badan, anti oksidan), sebagai bahan bakar biofuel
dan lain sebagainya (Warta Ekspor, 2013).
Rumput laut Indonesia diyakini memiliki kualitas yang lebih baik
dibandingkan dengan rumput laut yang berasal dari negara–negara
produsen lainnya. Selain karena pembudidayaannya dilakukan
dengan cara yang baik dan benar, iklim geografis Indonesia, termasuk
25
Ratna A. Carolina
diantaranya sinar matahari, arus, tekanan dan kualitas air serta kadar
garam, sesuai dengan kebutuhan biologis dan pertumbuhan rumput
laut (Warta Ekspor, 2013). Dengan kondisi iklim yang dimiliki ini, rumput
laut mampu menyerap sinar matahari dan nutrisi air laut secara optimal
dan menghasilkan rumput laut yang kaya akan polysaccharide (agar–
agar dan lemak), phaeophyceae (alginat), chlorophyceae (kanji dan
lemak). Hal ini ditunjukkan dengan adanya kontrak pembelian rumput
laut kering sebesar USD 58 juta yang berasal dari Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) dan Singapura pada Agustus 2015. Kementerian
Perdagangan menyebutkan bahwa Indonesia merupakan supplier
utama untuk rumput laut kering dengan pangsa sebesar 26,5%, disusul
dengan Chili (16,7%), Korea Selatan (16,1%), RRT (7,9%), dan Filipina
(5,8%) (Kompas.com, 2015).
Rumput laut juga merupakan salah satu sumber serat pangan yang
berasal dari tanaman air. Serat merupakan salah satu hal penting dalam
pangan yang berfungsi untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan
fungsi pencernaan. Saat ini konsumsi serat pangan di Indonesia masih
didominasi oleh sumber serat yang berasal dari tanaman darat seperti
umbi-umbian, buah, serealia dan kacang-kacangan, karena relatif
lebih mudah diperoleh dengan harga yang lebih murah. Sementara
itu, penggunaan sumber serat yang berasal dari tanaman air masih
terbatas. Rumput laut, memiliki kandungan polisakarida yang cukup
besar dan merupakan bahan yang potensial sebagai sumber serat
pangan. Jika dibandingkan dengan bahan pangan yang berasal dari
tumbuhan darat, kandungan serat total rumput laut relatif lebih tinggi
(Dwiyitno, 2011).
Rumput laut dapat dikonsumsi secara langsung maupun diolah
menjadi produk olahan lainnya. Di beberapa daerah di Indonesia,
beberapa jenis rumput laut telah dimanfaatkan secara turun-temurun
oleh masyarakat pesisir, baik untuk dikonsumsi secara langsung dalam
bentuk sayuran mentah dan olahan, maupun sebagai bahan manisan
dan minuman seperti pada jenis Sargassum sp., Gelidium sp., dan
Eucheuma sp. Produk hasil olahan rumput laut yang cukup popular
dikonsumsi umumnya dalam bentuk pudding, kue, dan sebagai zat
aditif makanan (Dwiyitno, 2011).
Selain dikonsumsi secara langsung, rumput laut umumnya diolah
kembali menjadi bahan baku untuk industri makanan, farmasi dan lain
sebagainya. Jika melihat pada data serapan rumput laut oleh industri
pengolahan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa konsumsi
rumput laut di Indonesia masih relatif rendah. Dari total produksi rumput
26
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
laut nasional, sekitar 64% diekspor dalam bentuk rumput laut kering,
sedangkan sisanya sekitar 36% diserap oleh industri rumput laut di
dalam negeri (Kementerian Perindustrian, 2015). Produksi rumput
laut dalam negeri secara umum dapat dibagi kedalam dua jenis hasil
olahan rumput laut kering, yakni agar dan karaginan. Dari kedua jenis
hasil olahan rumput laut tersebut, karaginan lebih banyak diproduksi di
dalam negeri dan di ekspor dibandingkan dengan agar. Berdasarkan
data Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) (2014),
produksi karaginan pada tahun 2013 mencapai 12,5 juta ton. dari total
produksi karaginan pada tahun 2013, sebanyak 84,22% diekspor dan
sisanya sebesar 15,78% diserap oleh industri dalam negeri. Sementara
itu, untuk produk agar, dari total produksi dalam negeri pada tahun
2013 yang mencapai 3,7 juta ton, sebanyak 62,64% diserap oleh
industri dalam negeri, sementara sisanya sebanyak 37,36% diekspor
(Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Produksi, Serapan dan Ekspor Produk Olahan Rumput
Laut Nasional
Serapan Ekspor
Jenis Produk Produksi 2013 (MT) Industri Dalam (%)
Negeri (%)
Agar 3.681 62,64 % 37,36 %
Karaginan 12.500 15,78 % 84,22 %
a. Refined Carrageenan (RC) 1.720 29 % 71 %
b. Semi-refined Carrageenan 8.769 9 % 91 %
(SRC)
c. Alkaly Treated Carrageenan 2.011 10 % 90 %
Chips (ATCC)
Sumber: ASTRULI (2014) dan dari berbagai sumber
27
Ratna A. Carolina
laut dapat diolah dengan cara yang sangat beragam, baik dengan
proses pengolahan sederhana maupun dengan proses pengolahan
yang lebih kompleks untuk menjadi barang setengah jadi, kemudian
akan diproses kembali untuk menjadi barang yang siap dikonsumsi.
Rumput laut terlebih dahulu diekstraksi dalam bentuk karaginan, agar
dan alginat lalu kemudian diolah menjadi berbagai produk yang siap
dikonsumsi, baik untuk dikonsumsi secara langsung seperti agar–agar,
susu, roti, selai, manisan, maupun sebagai bahan baku untuk industri
atau farmasi, seperti yang ditunjukkan pada bagan pohon industri
(Kementerian Perindustrian, 2015).
Secara umum, pemanfaatan rumput laut di dunia dibagi menjadi
beberapa jenis, yakni (Warta Ekspor, 2013):
a. Makanan
Rumput laut telah lama dikonsumsi sebagai bahan makanan di
beberapa negara seperti Jepang, sebagai salah satu komponen
dalam sushi. Selain itu, di Eropa, masyarakat yang berada di daerah
pesisir juga telah mengkonsumsi rumput laut,termasuk diantaranya
budaya Welsh di Kepulauan Inggris, Irlandia, Skotlandia, serta budaya
Skandinavia seperti Norwegia dan Islandia.
b. Pupuk
Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tumbuhan di
daratan. Masyarakat petani di daerah pesisir telah lama mengumpulkan
rumput laut untuk dijadikan pupuk. Rumput laut dianggap sebagai
alternatif pupuk organik yang layak bagi masyarakat pesisir. Dalam
perkembangan saat ini rumput laut bisa diekstraksi ke dalam pupuk
kimia untuk penyimpanan lebih mudah.
28
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
29
Ratna A. Carolina
Pharmacy Grade
Industrial Grade
Gracillaria sp. Agar - agar
Pakan ternak ikan;
Eucheuma sp. Karaginan Pengeboran; Cat;
tekstil printing; Kertas;
Keramik;
Sargasum sp. Alginat dll
Food Grade
30
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
31
Ratna A. Carolina
atau dikenal juga tipe spinosum, yang menghasilkan gel yang lembut
dan fleksibel atau mudah dibentuk; (ii) kappa carrageenan atau dikenal
juga tipe cottoni, menghasilkan gel yang kaku, rapuh dan keras; dan
(iii) lambda carrageenan, yang tidak mampu membentuk gel namun
berbentuk cairan kental.
Semi-refined Refined
Carrageenan (SRC) Carrageenan (RC)
32
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
Pemasakan Pelembutan
Pendinginan
Pengeringan
Pengepakan
33
Ratna A. Carolina
34
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
35
Ratna A. Carolina
36
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
5
Kapasitas produksi dalam pembahasan ini hanya menggambarkan perkiraan kapasitas produksi per hari.
37
Ratna A. Carolina
38
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
3.6 Penutup
Rumput laut yang berada di perairan Indonesia memiliki kualitas
yang sangat baik. Selain karena didukung oleh kondisi geografis
Indonesia, pembudidayaan rumput laut juga dilakukan dengan cara
yang baik dan benar, sehingga rumput laut Indonesia juga banyak
diminati oleh konsumen dari luar negeri. Sebagian besar dari produksi
rumput laut Indonesia diekspor ke berbagai negara dan hanya
sebagian kecil yang dikonsumsi oleh Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi rumput laut di Indonesia masih relatif kecil, baik yang
dikonsumsi secara langsung maupun digunakan sebagai bahan baku
industri. Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku industri juga
39
Ratna A. Carolina
DAFTAR PUSTAKA
Anggadireja. (2012). Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Antaranews. (2015). Kebanggaan Semu Menjadi Eskportir Rumput
Laut.http://www.antaranews.com/berita/491173/kebanggaan-
semu-menjadi-eksportir-rumput-laut-mentah.
Bisnisukm. (2015). Pengolahan Rumput Laut Menjadi Agar – agar.
http://bisnisukm.com/pengolahan-rumput-laut-menjadi-agar-
agar.html.
Dwiyitno. (2011). Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Pangan
Nasional. Squalen Vol. 6 (1): 9 – 17. Jakarta.
Jahari, A. B. Dan Sumarno, I. (2002). Status Gizi Penduduk Indonesia.
Majalah Pangan Vol. 38 (11): 20 – 29.
Karaindo.com.Carrageenan/Karaginan. (2015) .http://www.karaindo.
com/id/carrageenan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2013). Buku Saku Informasi
Rumput Laut.Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2014). Profile of Business and
Investment Opportunities on Seaweed in Indonesia. Jakarta.
Kementerian Perindustrian. (2015). Potensi Indonesia pada
Pengolahan Rumput Laut. http://agro.kemenperin.go.id/1986-
Potensi-Indonesia-Pada-Olahan-Rumput-Laut.
Kementerian Perindustrian. (2015). Kebijakan Pengembangan
Hilirisasi Industri Pengolahan Rumput Laut 2015 – 2019
(RoadMap Industri Rumput Laut Indonesia). Bahan Presentasi
Kementerian Perindustrian.
Kompas.com. (2015). Tiongkok dan Singapura Borong Rumput Laut
Indonesia Rp 782,71 miliar.http://bisniskeuangan.kompas.
com/read/2015/08/02/150823026 /Tiongkok.dan.Singapura.
Borong.Rumput.Laut.Indonesia.Rp.782.71.Miliar.
40
Konsumsi dan Pengolahan Rumput Laut
41
Ratna A. Carolina
42
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
BAB IV
PERDAGANGAN DALAM NEGERI RUMPUT LAUT
Yati Nuryati
4.1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara bahari memiliki sumber daya laut
yang sangat kaya, salah satunya yaitu rumput laut. Rumput laut juga
merupakan salah satu komoditi di sektor perikanan dimana saat ini
tengah menjadi fokus pemerintah untuk dilakukan pengembangan
pada aspek produksi. Indonesia mempunyai banyak jenis rumput
laut yang dapat dibudidayakan namun baru tiga jenis rumput yang
dikembangkan yaitu Gracilaria, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma
spinosum (Tempo, 2013). Selanjutnya dengan adanya pembinaan dan
penyuluhan dalam hal teknik budidaya, sudah ada empat jenis rumput
laut yang banyak dibudidayakan yaitu Eucheuma cottonii, Eucheuma
spinosum, Glacillaria, dan Sargassum yang kemudian dipasarkan
dalam bentuk rumput laut kering. Pemasaran rumput laut kering sudah
cukup meluas tidak hanya pasar dalam negeri tetapi juga pasar luar
negeri (ekspor) (KKP, 2014).
Komoditi ini mulai menunjukkan perkembangannya baik dari
sisi produksi maupun industri pengolahan seiring dengan adanya
dukungan pemerintah berkaitan dengan pengembangan industri. Hal
ini ditunjukkan oleh pemanfaatannya yang semakin meningkat tidak
hanya untuk bahan makanan, tetapi juga industri pengolahan pangan
maupun non pangan6.
Potensi produksi dan pengembangan rumput laut di Indonesia
cukup besar. Tahun 2014 produksi tercatat sebanyak 10,2 juta ton
(basah) mengalahkan jumlah produksi komoditas lainnya seperti
udang, kerapu, kakap, bandeng, ikan mas, nila, patin dan gurame dan
ditargetkan Indonesia dapat memproduksi rumput laut kering sebanyak
1 juta ton setiap tahun (KKP, 2014). Dengan potensinya tersebut,
rumput laut bisa dijadikan sebagai komoditi unggulan bagi Indonesia.
Jumlah produksi yang sangat besar tetapi penyerapan rumput laut di
dalam negeri masih relatif kecil sementara pengembangan industri
rumput laut sudah mulai tumbuh di dalam negeri, terutama industri agar
dan karaginan. Industri pengolahan rumput laut merasa kekurangan
6
Menurut jenis kategori sistem budidaya, rumput laut jenis Glacilaria digunakan sebagai bahan baku agar. Jenis Cottonii yang
umumnya digunakan sebagai bahan baku produk karaginan dan akan digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan
non pangan. Sementara rumput laut jenis Sargasum dan Spinosum hanya digunakan untuk tambahan atau campuran dari
rumput laut jenis Cottonii dan Sargasum namun masih jarang dibudidaya (KKP, 2014).
43
Yati Nuryati
untuk bahan baku, karena rumput laut kering hampir 64,31% ditujukan
untuk ekspor. Kecilnya penyerapan rumput laut di dalam negeri,
dikarenakan (1) harga ekspor lebih menguntungkan, khususnya
ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) serta (2) masih tingginya biaya
logistik. Kondisi ini telah mendorong harga rumput laut (kering) di
dalam negeri menjadi mahal. Disamping itu, kebijakan rumput laut di
dalam negeri yang belum sepenuhnya komprehensif dan operasional
sehingga penyerapan rumput laut kering di dalam negeri masih relatif
kecil yaitu hanya 35,69% (ASTRULI dan KKP, 2014).
44
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
Dari sisi bahan baku, meski ada empat jenis rumput laut yang
dibudidayakan di Indonesia, untuk pasar dalam negeri, rumput laut
yang banyak dimanfaatkan adalah jenis Eucheuma cottonii dan
Gracilaria. Pemanfaatan ini digunakan untuk bahan baku pembuatan
agar dan karaginan. Produksi rumput laut kering di Indonesia hampir
35,69% terserap oleh industri (agar dan karaginan) dan 64,31%
45
Yati Nuryati
46
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
Sulawesi Tengah
Pola pemasaran rumput laut di Sulawesi Tengah mulai dari
petani sampai ke eksportir dan pabrik pengolahan dilakukan dengan
47
Yati Nuryati
Petani
(Rumput Laut)
Pedagang Pedagang
Pengumpul Besar
(Desa) (Kabupaten)
Pabrik Ekspor
Pengolahan
Sulawesi Selatan
Pola pemasaran rumput laut di Sulawesi Selatan sedikit berbeda
dengan di Sulawesi Tengah. Saluran pemasaran rumput laut yang
ada di Sulawesi Selatan umumnya melalui beberapa lembaga dalam
memasarkan rumput laut dari petani ke eksportir dan pabrik olahan
(Survei Puska Dagri, 2012). Pelaku yang berperan dalam pemasaran
tersebut diantaranya petani/produsen rumput laut, pedagang
pengumpul, pedagang besar, eksportir dan pabrik pengolahan.
48
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
Pola pemasaran rumput laut dari petani sampai eksportir dan atau
pabrik dilakukan melalui empat pola. Pola pertama, petani rumput
laut menjual ke pedagang pengumpul desa yang kemudian melalui
pengumpul desa rumput laut langsung di ekspor. Pola kedua, petani
rumput laut menjual rumput laut ke pedagang pengumpul desa yang
kemudian langsung menjual ke pabrik pengolahan. Pola ketiga, petani
menjual rumput laut ke pedagang pengumpul (kecamatan) kemudian
ke pedagang pengumpul desa dari pedagang pengumpul desa
kemudian langsung ekspor. Dan pola keempat, petani rumput laut
menjual ke pedagang pengumpul (kecamatan) kemudian ke pedagang
pengumpul (desa) terus ke pabrik pengolahan. Secara umum, rumput
laut yang berasal dari Sulawesi Selatan hampir 50% untuk tujuan
ekspor. Adapun saluran distribusi atau penyaluran rumput laut
dapat dilihat pada Gambar 4.3
Petani
(Rumput Laut)
Pedagang Pedagang
Pengumpul Pengumpul
(Desa) (Kec. Petani)
Ekspor Pabrik
Pengolahan
Maluku
Pemasaran rumput laut di Maluku lebih banyak dipasarkan untuk
pasokan antar pulau dan ekspor. Industri pengolahan yang berbahan
baku rumput laut di daerah Maluku masih relatif kecil sehingga
produksi rumput laut lebih sering diperjualbelikan ke luar wilayah. Pola
pemasaran rumput laut dari petani sampai pedagang antar pulau dan
atau eksportir dilakukan melalui dua pola. Pola pertama, petani rumput
laut menjual ke pedagang pengumpul desa. Rumput laut sampai di
49
Yati Nuryati
Petani
(Rumput Laut)
Pedagang Pedagang
Pengumpul Pengumpul
(Desa) (Kec)
Perdagangan
Ekspor
Antar Pulau
50
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
Petani
(Rumput Laut)
Pedagang Pedagang
Pengumpul Pengumpul
(Desa) (Kec)
Perdagangan Perdagangan
Ekspor
Antar Pulau Antar Pulau
51
Yati Nuryati
A. Fungsi Pertukaran
1. Pembelian v v v v
2. Penjualan v v v v
B. Fungsi Penyedia Fisik
1. Pengumpulan v v v
2. Pengemasan v v v v
3. Penyimpanan v v v v
4. Pemilihan (Sortasi) V V V
5. Pengangkutan v v v
C. Fungsi Penyedia Fasilitas
1. Informasi Harga/Pasar v v v v v
2. Penyedia Dana v
Sumber: Hasil Survei Puska Dagri (2012) dan sumber lainnya
52
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
53
Yati Nuryati
Ket: biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan selama pemasaran meliputi biaya pengumpulan, muat, angkut, bongkar,
menjemur, pembersihan dan pemrosesan untuk industri pengolahan
Pada Tabel 4.4 biaya pemasaran rumput laut untuk pola I dan III
relatif kecil karena pada pola ini rumput laut di ekspor pada kondisi bahan
mentah. Sedangkan biaya pemasaran pada pola II dan IV cukup tinggi
karena biaya dalam proses produksi di industri pengolahan cukup tinggi
terutama untuk bahan kimia (KCL dan KOH) yang umumnya masih
diperoleh dari impor. Bahan kimia dalam proses industri pengolahan
rumput laut mencapai 30-40% dari biaya produksi. Pada pedagang
pengumpul dan pedagang besar biaya pemasaran hanya mencakup
biaya pengumpulan, muat-bongkat-angkut, penjemuran. Peran pada
setiap pelaku pemasaran penting agar harga/biaya yang terjadi benar-
benar mencerminkan dari hasil aktivitasnya.
Hasil diskusi dengan KKP (2015) dan pelaku usaha sekaligus
eksportir rumput laut diperoleh angka estimasi margin pemasaran
rumput laut (secara umum). Margin pemasaran dari petani ke pedagang
pengumpul berkisar antara Rp 200-Rp 500/kg, margin dari pedagang
pengumpul ke pedagang besar berkisar antara Rp 300-Rp 500/kg
dan margin dari pedagang besar ke pabrik pengolahan di dalam
negeri sebesar Rp 500/kg sedangkan ke eksportir berkisar antara
USD 35–40/ton. Dengan asumsi harga rumput laut di tingkat petani
sebesar Rp 12.000/kg, margin dari petani ke pedagang pengumpul
rata-rata sebesar Rp 300/kg dengan susut sebesar 2% maka harga
jual rumput laut di tingkat pedagang pengumpul sebesar Rp 12.540/kg.
Secara rinci estimasi margin pemasaran rumput laut dari petani hingga
ke konsumen (pabrik pengolahan dalam negeri dan eksportir disajikan
pada Tabel 4.5
54
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
Sumber: Diskusi dengan KKP (2015) dan Koperasi Agro Niaga Makassar (2015), diolah
55
Yati Nuryati
56
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
57
Yati Nuryati
Ket: Harga ATC berkisar USD 5-5,5; SRC: USD 7-8 dan RC : USD10-11
Perhitungan di Tabel dengan asumsi Rp/USD sebesar Rp 13.000
58
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
4.7 Penutup
Pemasaran rumput laut di dalam negeri masih cukup beragam
sangat tergantung pada wilayah sentra produksi. Hal ini juga
berdampak pada harga rumput laut di tingkat petani dan pengumpul
yang beragam sesuai dengan wilayah sentra produksi. Pola
pemasaran rumput laut dari petani hingga ke konsumen (eksportir
dan pabrik pengolahan) dilakukan melalui satu dan atau dua tingkat
pola pemasaran. Perbedaan pola/saluran pemasaran ini membedakan
margin dan bagian harga yang diterima oleh petani rumput laut.
Permasalahan rumput laut dalam perdagangan dalam negeri
adalah harga. Kualitas rumput laut juga mempengaruhi harga, seperti
kebersihan dan tingkat kekeringan. Selama ini harga yang diterima
petani masih rendah yang disebabkan karena seperti (i) adanya lag
informasi harga serta serapan industri antara petani dengan pasar
59
Yati Nuryati
dan (ii) komitmen antara petani dengan pembeli yang masih lemah
sehingga pasar ekspor menjadi lebih menarik. Harga rumput laut
tergantung pada jenis dan musim panen.Mengingat permintaan rumput
laut tidakhanya memenuhi kebutuhan industri pengolahan tetapi juga
untuk tujuan ekspor maka harga menjadi indikator.
Pasar industri pengolahan rumput laut di dalam negeri yang cukup
berkembang yaitu agar-agar dan karaginan. Industri karaginan di dalam
negeri masih menghadapi masalah yaitu bahan baku Semi Refined
Carrageenan (SRC), bahan kimia (untuk proses produksi pengolahan)
serta masih tingginya biaya logistik yang menyebabkan harga jual
menjadi kurang bersaing dengan produk serupa yang berasal dari RRT.
Selain industri agar-agar dan karaginan, Indonesia terdapat industri
alginat namun tidak berkembang. Kedepan perlu kebijakan yang lebih
implementatif dan komprehensif dalam meningkatkan penerimaan
petani dan kebijakan untuk pengembangan industri pengolahan
rumput laut di dalam negeri. Dengan potensi produksi serta pasar
dalam negeri yang cukup prospektif, maka industri rumput laut di dalam
negeri dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
Upaya-upaya ini dapat ditingkatkan melalui kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalkan hambatan-hambatan, seperti perbaikan
infrastruktur (jalan dan pelabuhan) untuk mengurangi tingginya biaya
logistik serta inovasi teknologi di industri pengolahan. Dalam jangka
panjang, pemerintah harus bisa mengambil keuntungan dari besarnya
jumlah produksi rumput laut di dalam negeri dengan cara menciptakan
inovasi pada perdagangan rumput laut sehingga menghasilkan rumput
laut yang bernilai tambah tinggi (valueable) dan mendorong investasi
di dalam negeri yang dapat meningkatan penyerapan rumput laut di
dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
60
Perdagangan Dalam Negeri Rumput Laut
61
Yati Nuryati
62
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
BAB V
PERDAGANGAN LUAR NEGERI RUMPUT LAUT
Hasni
5.1 Pendahuluan
Rumput laut (Seaweed) merupakan salah satu komoditi andalan
ekspor Indonesia dari sektor perikanan dan kelautan. Akhir-akhir ini
kebutuhan rumput laut dunia semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat
dari tren volume impor rumput laut dunia sepanjang periode 2010-2014
yang meningkat sebesar 8,15% per tahun (ITC, 2015). Permintaan
dunia yang terus meningkat merupakan peluang besar bagi Indonesia
untuk memaksimalkan potensi produksi rumput laut, baik sebagai
bahan baku maupun produk olahannya. Hasil olahan rumput laut yang
paling banyak diproduksi secara global adalah karaginan, dimana
karaginan merupakan produk olahan dari rumput laut jenis Eucheuma
cottonii.
Demikian juga halnya dengan produksi olahan rumput laut dalam
negeri diperkirakan juga mengalami peningkatan yang signifikan,
mengingat potensi rumput laut di kawasan timur Indonesia masih
banyak yang belum digarap. Tidak berbeda dengan produksi rumput
laut global, produksi rumput laut Indonesia juga didominasi oleh
jenis Eucheuma cottonii yang mengandung karaginan. Karaginan
terbagi dalam 3 jenis yaitu Refined Carrageenan (RC), Semi Refined
Carrageenan (SRC), dan Alkali Treated Chips (ATC). Dari ketiga jenis
olahan karaginan tersebut, pangsa produksi SRC yang terbesar,
sedangkan agar-agar merupakan hasil olahan rumput laut jenis agarofit
(KKP, 2014).
63
Hasni
64
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
Tren 2010-2014
NILAI SATUAN (USD/kg) 2010 2011 2012 2013 2014
(%)
65
Hasni
Kode HS Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014 Tren '10-14 (%) Pangsa 2014 (%)
1212201100 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 8,5 9,9 1,6 1,5 0,9 (47,67) 0,43
dikeringkan jenis yang digunakan dalam farmasi
1212201900 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 34,3 49,5 51,8 55,1 60,2 13,11 30,01
dikeringkan jenis yang digunakan dalam
pencelupan, penyamakan dan wewangian
1212202000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 9,6 6,1 13,3 9,1 7,7 (0,42) 3,86
dikeringkan, bukan untuk konsumsi manusia
1212209000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 70,7 93,6 101,6 110,5 131,9 15,19 65,70
dikeringkan, terutama untuk konsumsi manusia
66
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
67
Hasni
1212201900 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 454,0 111,5 32,2 3,0 - - -
dikeringkan jenis yang digunakan dalam
pencelupan, penyamakan dan wewangian
1212202000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 151,2 73,4 41,1 39,7 15,0 (40,79) 1,86
dikeringkan, bukan untuk konsumsi manusia
1212209000 Rumput laut & alga lainnya, segar, didinginkan atau 171,7 491,9 137,6 173,2 224,6 (4,94) 27,85
dikeringkan, terutama untuk konsumsi manusia
68
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
69
Hasni
Jepang Korea
Chili 2% 2%
14%
RRT
17% Indonesia
65%
70
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
Vietnam,
Malaysia,
Tanzania
16%
Filipina
26% Indonesia
58%
71
Hasni
sebesar 13,8% dan 13,7% per tahun terhadap total impor rumput laut
dunia pada tahun 2014 (Tabel 5.8).
Tabel 5.8 Perkembangan Impor Rumput Laut Dunia (ton)
Tren 12-14 Pangsa '14
HS Deskripsi 2012 2013 2014
(%) (%)
121220 Rumput laut dan alga lain, segar atau dikeringkan 30.822 10.572 10.030 (-42,95) 1,48
121221 Rumput laut dan alga lain : Layak untuk konsumsi manusia 189.522 225.686 258.002 16,68 38,13
121229 Rumput laut dan alga lain : Tidak layak untuk konsumsi manusia 252.078 296.425 255.078 0,59 37,69
130231 Agar-agar 11.809 13.806 12.486 2,83 1,85
130239 Karaginan 135.728 14.944 141.125 1,97 20,85
Total 619.959 561.433 676.721 4,48 100,00
Sumber: ITC (2015), diolah
Tabel 5.9 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121220) Dunia (ton)
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014* Tren 10-13 (%) Pangsa '13 (%)
Dunia 370.531 474.546 30.762 10.802 8.313 (73,66) 100,0
1 Filipina 9.698 5.445 11.681 8.563 8.313 3,98 79,27
2 Ukraina 704 814 503 995 5,72 9,21
3 Maroko 38 74 448 778 196,19 7,20
4 Vietnam - - - 217 - 2,01
5 Hong Kong 1.089 1.291 - 125 - 1,16
6 Kirgizstan 1 2 14 34 249,91 0,31
7 Venezuela 96 2 39 28 (7,00) 0,26
8 Korea Selatan - 4 499 22 - 0,20
9 Aruba 12 8 10 11 (0,38) 0,10
10 Jamaika 7 10 26 10 22,45 0,09
Subtotal 11.645 7.650 13.220 10.783 8.313 3,21 99,82
49 Indonesia 779 682 - - - -
Sumber: ITC (2015), diolah
72
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
Impor rumput laut dunia (HS 121221) tahun 2013 sebagian besar
(90%) terkonsentrasi pada 10 pasar negara-negara maju seperti RRT,
Jepang, Irlandia, Perancis, Korea Selatan, Amerika Serikat, Norwegia,
Chili, Rusia dan Thailand. Indonesia sebagai negara importir rumput
laut (HS 12122) menduduki urutan ke-33. Secara total impor dunia
terhadap rumput laut jenis ini meningkat 14,7% per tahun selama
periode 2012-2014. RRT sebagai pengimpor utama rumput laut jenis
ini dengan pangsa pasar hampir 50% dari total impor dunia. Dari
sepuluh negara pengimpor utama, RRT juga mengalami pertumbuhan
73
Hasni
rata-rata impor tertinggi yakni 37,4% per tahun. Sementara itu, Jepang
sebagai negara pengimpor rumput laut HS 121221 terbesar kedua
dengan pangsa 14% di tahun 2013, mengalami tren pertumbuhan
impor yang menurun pada periode 2012-2014 yaitu sebesar 7,24%
per tahun (Tabel 5.11).
Tabel 5.11 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121221) di Pasar Dunia
(ton)
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014* Tren 12-14 (%) Pangsa '13 (%)
74
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
30.00
Madagaskar
20.00
AS
Inggris
10.00
Jepang
Tren ekspor ‘12-14(%)
Indonesia
0.00 Tanzania
Perancis Korea
-10.00
Chili
-20,00
RRT
-30.00
-40.00
(20,000) - 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000
Nilai Ekspor Tahun 2013 (USD Juta)
75
Hasni
Pasar impor rumput laut (HS 121229) dunia tumbuh fluktuatif, untuk
data tahun 2010 dan 2011 tidak tersedia, sementara data tahun 2014
belum tersedia secara lengkap, sehingga dari perhitungan sementara
rumput laut (HS 121229) turun 1,8% per tahun, terkonsentrasi pada 10
negara yang menyerap lebih dari 94% dari total impor dunia. Indonesia
sebagai negara importir rumput laut (HS 121229) menempati urutan
ke-42. RRT sebagai importir utama mengalami penurunan permintaan
impor rata-rata 9,7% per tahun periode 2012-2014. Tahun 2013, RRT
menyerap lebih dari 50% rumput laut (HS 121229) dunia. Sementara
itu permintaan Inggris untuk rumput laut jenis tersebut meningkat
tajam dengan tren pertumbuhan 138% per tahun di periode 2012-2014
(Tabel 5.13).
Tabel 5.13 Pasar Impor Rumput Laut (HS 121229) Dunia (ton)
Tren 12- Pangsa
No Importir 2010 2011 2012 2013 2014*
14 (%) '13 (%)
Dunia - - 252.076 332.902 243.211 (1,77) 100,00
1 RRT - - 151.155 168.411 123.368 (9,66) 50,59
2 Chili - - 4.382 37.338 6.095 17,94 11,22
3 Inggris - - 849 23.845 4.807 137,95 7,16
4 Amerika Serikat - - 19.539 23.652 18.030 (3,94) 7,10
5 Irlandia - - 21.505 21.505 34.140 26,00 6,46
6 Jepang - - 15.114 14.548 15.138 0,08 4,37
7 Australia - - 8.527 6.900 7.848 (4,06) 2,07
8 Denmark - - 6.897 6.828 5.525 (10,50) 2,05
9 Arab Saudi - - 1.902 6.600 - - 1,98
10 Spanyol - - 5.897 5.656 6.312 3,46 1,70
Subtotal - - 235.767 315.283 221.263 (3,1) 94,71
42 Indonesia - - 81 44 - 0,01
Sumber: ITC (2015), diolah
76
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
77
Hasni
78
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
8
TII dihitung dengan menggunakan rumus:
79
Hasni
80
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
5.7 Penutup
Indonesia merupakan produsen utama rumput laut dunia,
khususnya jenis Gracilaria dan Eucheuma cottonii. Berdasarkan
data dari (ITC), tahun 2013 Indonesia merupakan pemasok utama
untuk rumput laut HS 121221 (Rumput laut dan alga lain: layak untuk
konsumsi manusia), dan juga sebagai importir urutan ke-33 dunia
untuk produk yang sama. Sementara itu, untuk HS 121229 (Rumput
laut dan alga lain: tidak layak untuk konsumsi manusia), Indonesia
menjadi eksportir terbesar kedua dunia, dan importir ke-42 di tahun
2013. Berbeda dengan kedua HS rumput laut sebelumnya, dimana
Indonesia menjadi eksportir terbesar pertama dan kedua, untuk HS
121220 (Rumput laut dan alga lain, segar atau dikeringkan) Indonesia
hanya menjadi eksportir ke-56 dunia dan importir ke-49 dunia tahun
2013. Namun sayangnya, rumput laut dalam bentuk bahan baku
masih lebih banyak yang diekspor dibanding yang diolah oleh industri
dalam negeri.
Di sisi lain, pelaku industri dalam negeri mengaku masih kekurangan
bahan baku karena produsen lebih memilih untuk mengekspor daripada
menjual kepada industri pengolahan dalam negeri.Asosiasi Industri
Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) menyatakan bahwa data produksi
rumput laut kering mencapai 350 ribu ton per tahun, sedangkan data lain
menyebutkan produksi rumput laut mencapai 930 ribu ton per tahun.
Adanya perbedaan data produksi rumput laut menyebabkan ASTRULI
meminta pemerintah untuk melakukan verifikasi data produksi rumput
laut nasional (Jati, 2015).
81
Hasni
DAFTAR PUSTAKA
82
Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut
83
Hasni
84
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
BAB VI
PELUANG DAN TANTANGAN RUMPUT LAUT
DI INDONESIA
Rino Adi Nugroho
6.1 Pendahuluan
Rumput laut merupakan salah satu produk hasil laut yang
sangat potensial bagi Indonesia. Berbagai faktor seperti luasnya
lahan potensial, masa panen yang dapat mencapai empat kali dalam
setahun,dan besarnya potensi pasar baik di dalam maupun di luar
negeri menjadikan rumput laut sebagai salah satu produk unggulan
ekonomi nasional.
Besarnya potensi nilai ekonomis yang dimiliki komoditas rumput
laut selama ini sayangnya belum dapat dimanfaatkan secara maksimal
oleh masyarakat Indonesia. Beberapa permasalahan utama seperti
masih rendahnya produktivitas rumput laut di lingkungan petani,
rendahnya tingkat penyerapan komoditas rumput laut untuk produksi
di dalam negeri, dan masih minimnya nilai tambah produk rumput laut
Indonesia dalam perdagangan menjadi tantangan serius dalam upaya
pengembangan komoditi rumput laut nasional.
Bab ini akan membahas tentang peluang dan tantangan komoditi
rumput laut Indonesia, yang meliputi permasalahan yang dihadapi
dalam perdagangan di dalam dan luar negeri serta kebijakan apa saja
yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah dalam strategi untuk
mengembangkan komoditas rumput laut sebagai salah satu komoditas
potensial ekspor nasional.
85
Rino Adi Nugroho
rumput laut mencapai 769.452 ha. Dari jumlah tersebut, baru 384.733
ha atau sekitar 50% saja yang telah dimanfaatkan secara efektif (Warta
Ekspor, 2013).
Secara garis besar produksi rumput laut Indonesia didominasi
oleh jenis karaginan dan agar-agar. Rumput laut jenis karaginan
mempunyai produk turunan berupa Refined Carrageenan (RC), Semi
Refined Carrageenan (SRC), dan Alkali Treated Chips (ATC).
Catatan: Asumsi tren produksi olahan rumput laut Indonesia 5% per tahun
86
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
87
Rino Adi Nugroho
88
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
89
Rino Adi Nugroho
90
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
91
Rino Adi Nugroho
pabrik pengolahan rumput laut di Banten pada bulan April 2015 yang
lalu (CNN Indonesia, 2015b).
92
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
93
Rino Adi Nugroho
94
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
95
Rino Adi Nugroho
6.6 Penutup
Beberapa permasalahan utama dalam produksi rumput laut yang
dihadapi Indonesia seperti produktivitas yang rendah dikarenakan
kurangnya pembinaan dikalangan petani dan sulitnya akses
pendanaan, minimnya teknologi pengolahan di dalam negeri, serta
rendahnya nilai tambah dari produk yang dihasilkan harus segera dapat
diatasi melalui berbagai strategi yang tepat. Berbagai upaya seperti
penerapan kawasan minapolitan dan pembinaan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan, kerjasama dengan produsen utama rumput
laut di luar negeri dalam bentuk penanaman modal asing untuk
membangun pabrik produksi industri rumput laut di Indonesia,serta
menjalin hubungan kerjasama dengan negara produsen dalam
rangka koordinasi dan peningkatan rantai nilai dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
96
Peluang Dan Tantangan Rumput Laut Di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
97
Rino Adi Nugroho
98
Perbaikan Produksi dan Pengolahan,
Kunci Rumput Laut Indonesia Agar Berdaya Saing
BAB VII
PERBAIKAN PRODUKSI DAN PENGOLAHAN,
KUNCI RUMPUT LAUT INDONESIA AGAR
BERDAYA SAING
Zamroni Salim
99
Zamroni Salim
100
Perbaikan Produksi dan Pengolahan,
Kunci Rumput Laut Indonesia Agar Berdaya Saing
tawar petani rumput laut menyebabkan harga pasar rumput laut yang
tidak stabil dan cenderung merugikan petani. Di sisi lain, pasokan dan
distribusi yang sepenuhnya di bawah kontrol pengumpul/pedagang
menyebabkan adanya distorsi dalam distribusi rumput laut. Terbatasnya
pasokan untuk kebutuhan industri dalam negeri disebabkan salah
satunya, karena margin keuntungan di pasar luar negeri lebih tinggi
meskipun tanpa adanya nilai tambah yang tercipta.
Selain itu, seperti diuraiakan dalam Bab IV, rendahnya penyerapan
rumput laut di pasar pasar dalam negeri dikarenakan harga yang masih
relatif mahal dibandingkan rumput laut impor terutama yang berasal
dari RRT. Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) menilai rendahnya
penggunaan/konsumsi rumput laut lokal oleh industri nasional masih
sangat rendah karena adanya kendala pasokan di pasar dalam negeri
(Direktorat Jendral Industri Agro, Kementerian Perindustrian, 2015).
Selain itu, penyebab lainnya adalah adanya pengusaha/pedagang
rumput laut yang cenderung lebih memilih pasar ekspor dibanding
mengolahnya menjadi produk bernilai tambah di pasar dalam negeri
(CNN Indonesia, 2015a). Hal ini secara makro ekonomi, tentu merugikan
perekonomian Indonesia. Produsen pengolah rumput laut dihadapkan
pada terbatasnya dan relatif mahalnya rumput laut produksi dalam
negeri. Di sisi lain, ekspor rumput laut mentah kita pada kesempatan
lain akan kita impor kembali dalam bentuk semi olahan (karaginan)
dan produk jadi yang lainnya.
Produksi rumput laut yang besar (sekitar 3.3 juta ton di tahun 2013
mengalahkan komoditas hasil perikanan) belum diimbangi dengan
penyerapan rumput laut di dalam negeri. Sebagian besar rumput laut
kering masih dijual untuk memenuhi pasar ekspor (seperti diuraikan
dalam Bab IV). Sebenarnya, penyerapan produksi rumut laut di dalam
negeri bisa dilakukan dengan salah satunya pengembangan industri
pengolahan rumput laut, terutama industri karaginan dan agar.
Jumlah industri pengolahan rumput laut di Indonesia sebanyak
tujuh perusahaan (industri agar) dan industri karaginan 12 perusahaan
di tahun 2014 (dalam Bab IV). Dari jumlah perusahaan dalam industri
agar, tiga perusahaan terbesar dalam industri agar mempunyai total
pangsa pasar (market share)sebesar 54,4%. Sementara itu, untuk
industri karaginan ada empat perusahaan terbesar dengan total pangsa
pasar mencapai 56,3%. Hal ini menunjukkan masih besarnya peluang
bagi perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri pengolahan
rumput laut ini.
101
Zamroni Salim
102
Perbaikan Produksi dan Pengolahan,
Kunci Rumput Laut Indonesia Agar Berdaya Saing
DAFTAR PUSTAKA
103
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut
INDEKS
A K
Agarophyte, 25 kappa carrageenan, 32
Agaroses, 8 K. alvarezii, 7
aisais, 19
alga, 1, 83, 84 L
Algins, 8 lambda carrageenan, 32
Alginophyte, 26 Laminaria, 1
Alkali Treated Chips (ATC), 32, 63, 88
Alkali Treated Seaweed Chips, (ATSC), 92 M
Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia minapolitan, 10, 89, 90
(ASTRULI), 4,5,12,17, 27, 34,45, 56,60,
81, 86, 87, 89, 95 O
Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), 91, oligopsoni, 45, 47
101 olysaccharides fucoidans, 7
C P
Carrageenan, 8, 66, 68 phaeophyceae, 1, 7, 26
Carrageenophyte, 26 phorphyra, 1
Chlorophyceae, 1, 7, 26 polysaccharides, 26
Chondrus crispus, 7 Pharmacy Grade, 29, 30
Clean Anhydrous Weed (CAW), 92
cyanophyceae, 1 R
Refine Carageenan (RC), 30, 32, 63, 88
E Roadmap, 5, 56, 61, 93, 96, 97
E. cottonii, 54, 55, 57, 58, 70, 81, 83, 88, 91 Rodophyceae, 1
E. denticulatum, 7
Euchema 1, 18, 27 S
Sargasum, 1, 29, 30
F Seaweed, 1, 7, 62, 85, 92
Fulcelaran, 1, 2 seaweed price bubble, 18
Food Grade, 29, 30 Semi Refined Carageenan (SRC), 30, 32,
Foreign Buyer Mission, 90,96 56, 63, 88
Sistem Resi Gudang (SRG), 19, 59, 94
G Spinosum, 9, 10, 43, 91
Gelidium, 1, 9, 26, 27 Standar Nasional Indonesia (SNI), 92
Gelidiella, 26 Surat Kesepakatan Bersama (SKB), 92
Gigartina, 7, 62
Gracilaria, 1, 43, 69, 81, 83, 89, 90, 91 T
Tax Holiday, 93
H thallophyta, 1
Harga Patokan Petani (HPP), 57 Trade Intensity Index (TII), 2, 79, 80
I
Indonesian Seaweed Industry Association
(APBIRI), 10
Industrial Grade, 29, 30
iota carrageenan, 31
104
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut
Ernawati Munadi
Ernawati Munadi adalah ahli ekonomi internasional dengan pengalaman
lebih dari 10 tahun baik di tingkat lokal, maupun nasional sebagai Konsultan,
Dosen dan Peneliti. Ernawati memulai karir profesionalnya sebagai Konsultan
sejak tahun 2006, ketika bergabung dengan Proyek Bantuan Perdagangan
Indonesia (ITAP) di bawah naungan USAID, sebagai ahli di bidang Ekonomi
Perdagangan. Pada bulan Oktober 2008, dipromosikan sebagai Trade
Economist/Senior Team Leader dalam proyek yang sama. Sejak itu penulis
bekerja sebagai konsultan di berbagai proyek yang dibiayai oleh organisasi
internasional seperti Bank Dunia, AusAid, USAID, dan Uni Eropa. Hingga
kini masih aktif menjadi dosen di Universitas Wijaya Kusuma. Keahliannya
adalah dampak liberalisasi perdagangan pada permintaan ekspor Indonesia
hingga model analisis transmisi siklus bisnis dari Indonesia dan Amerika
Serikat. Dalam 5 tahun terakhir Ernawati mengembangkan keahlian di bidang
perijinan perdagangan (trade license) dan kebijakan bukan tarif (non-tariff
measures). Tulisannya telah banyak diterbitkan diberbagai jurnal penelitian
baik nasional maupun internasional. Ernawati memperoleh gelar S1 di bidang
Agronomi Pertanian dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya; gelar Master
105
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut
Muhammad Fawaiq
Muhammad Fawaiq adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan (BP2KP), Kementerian Perdagangan sejak tahun
2010. Fawaiq memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dari Jurusan Geografi
Fisik dan Lingkungan,pada tahun 2007 dan gelar Master of Economics of
Development (M.Ec.Dev) pada tahun 2009 dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta. Saat ini Fawaiq menekuni bidang penelitian ekonomi
terapan terutama yang berkaitan dengan perdagangan internasional di sektor
jasa.
Yati Nuryati
Yati Nuryati adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2006. Yati memperoleh gelar S1
Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2000, dan gelar S2 dari Institut
Pertanian Bogor untuk bidang Ilmu Ekonomi Pertanian tahun 2004. Saat ini
Yati menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan Dalam Negeri
khususnya Investasi, Inflasi dan Stabilitas Harga. Bidang lain yang menjadi
minat penelitiannya adalah Persaingan Usaha dan perdagangan internasional
106
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut
Hasni
Hasni adalah peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP),
Kementerian Perdagangan sejak tahun 2008. Hasni memperoleh gelar S1
Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006, dan gelar S2 dari
Institut Teknologi Bandung untuk bidang Teknik dan Manajemen Industri tahun
2013. Saat ini Hasni menekuni area penelitian bidang kebijakan perdagangan
internasional. Bidang lain yang menjadi minat penelitiannya adalah Daya
Saing Perdagangan dan Ekspor Produk Industri dan Pertambangan.
107
Bunga Rampai Info Komoditi Rumput Laut
108