OLEH
BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Pendahuluan.................................................................................................... 1
1.2 Tujuan.............................................................................................................. 3
BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................................... 4
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumput laut atau alga telah lama menjadi salah satu produk yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Bangsa-bangsa di Asia Timur (Jepang dan China)
dan Kekaisaran Romawi telah menggunakan tumbuhan laut ini sebagai bahan pangan
dan obat-obatan sejak ribuan tahun yang lalu. Sementara di Britania Raya, rumput laut
telah dikenal paling tidak sejak tahun 1200 M (Rose, 2016). Di Indonesia sendiri,
rumput laut telah lama dikonsumsi oleh masyarakat, terutama di daerah pesisir
(Waryono, 2001). Pada umumnya, pemanfaatan rumput laut pada masa itu adalah
untuk dimakan atau dikonsumsi langsung.
Saat ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan rumput
laut sudah sangat beragam, baik itu untuk produk pangan maupun non pangan. Secara
garis besar, produk turunan rumput laut dapat dikelompokkan menjadi 5P, yaitu
Pangan, Pakan, Pupuk, Produk Kosmetik, dan Produk Farmasi (KKP, 2016). Sejumlah
penelitian juga menyebutkan bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai bahan dasar
dalam pembuatan bahan bakar atau biofuel (Wiratmaja et al, 2011).
Indonesia, dengan 6.400.000 km2 luas lautan dan 110.000 km panjang garis
pantai, serta didukung iklim tropis, merupakan wilayah yang sesuai untuk
pertumbuhan berbagai jenis rumput laut. Tercatat 555 jenis rumput laut dari sekitar
8000 jenis yang ada di dunia, dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia
(Merdekawati & Susanto, 2009). Walaupun demikian, budidaya rumput laut di
Indonesia ternyata baru mulai dikembangkan sejak tahun 1967, dan mulai
berkembang pada dasawarsa 1980-an (ARLI, 2019).
1
Saat ini, Indonesia telah menjadi salah satu produsen utama rumput laut dunia
dengan produksi rumput laut basah mencapai 11,6 juta ton pada tahun 2016
sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Produksi tersebut sebagian
besar untuk jenis Euchema spp. dan Gracilaria spp. Sebagai perbandingan, pada tahun
2016, produksi rumput laut dunia adalah sekitar 30 juta ton sehingga Indonesia
berkontribusi hampir 40% dari total produksi rumput laut dunia (FAO, 2018).
Dari kondisi di atas, Indonesia perlu untuk mengembangkan produk rumput laut
bernilai tambah tinggi. Salah satu produk turunan rumput laut yang nilainya tinggi
adalah hidrokoloid, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam produk
pangan maupun non pangan. Hidrokoloid merupakan komponen polimer yang berasal
dari sayuran, hewan, mikroba atau komponen sintetik yang dapat larut dalam air,
mampu membentuk koloid, dan dapat mengentalkan atau membentuk gel dari suatu
larutan. Dengan karakteristik tersebut, hidrokoloid dapat dimanfaatkan dalam
berbagai industri seperti makanan minuman, tekstil, farmasi, cat sebagai campuran
dalam pembentukan gel, pengental, emulsifier, perekat, penstabil, dan pembentuk
lapisan film (Herawati, 2018).
2
Produk hidrokoloid dari rumput laut dapat dikelompokkan menjadi karaginan,
agar, dan alginat. Ketiga jenis hidrokoloid tersebut dihasilkan dari jenis rumput laut
yang berbeda seperti Eucheuma spp. sebagai penghasil karagenan (karaginofit),
Gracilaria spp. sebagai penghasil agar (agarofit), dan Sargassum spp. sebagai
penghasil alginat (alginofit). Di Indonesia, dengan melimpahnya produksi Eucheuma
spp. dan Gracilaria spp, dua jenis hidrokoloid yang sudah cukup berkembang adalah
karaginan dan agar.
Sebagaimana dikutip dari Perpres No. 33 Tahun 2019 tentang Peta Panduan
(Roadmap) Pengembangan Industri Rumput laut Nasional Tahun 2018 – 2021,
menurut Kementerian Perindustrian terdapat 23 perusahaan pengolah karaginan
dengan kemampuan produksi 25.992 ton/ tahun dan 14 perusahaan pengolah agar
dengan kemampuan produksi 7.658 ton/ tahun. Namun demikian, utilisasi industri-
industri tersebut masih belum menunjukkan performa yang baik. Pada tahun 2017,
produksi karaginan Indonesia sebesar 13.116 ton atau utilisasinya baru sekitar 50%.
Sementara produksi agar pada tahun yang sama mencapai 4.140 ton atau utilisasinya
54%.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk memenuhi mutu yang dipersyaratkan untuk kegiatan ekspor sehingga dapat
memiliki nilai yang tinggi maka produsen perlu meningkatakan kualitas produksi untuk
memenuhi tingkatan mutu tertentu.
Bibit hendaknya dipilih dan diambil dari stek ujung tanaman rumput laut
yang unggul yang masih muda, segar dan berasal dari tanaman rumput laut yang
sudah dibudidayakan.
Untuk metode lepas dasar, luas tiap petak rakit budidaya 100 m2
memerlukan bibit 240 kg.
4
2.1.2 Pemilihan Jenis Rumput Laut
Agar tidak rancu mengenai rumput laut, rumput laut yang dimaksud dalam
usaha ini adalah phaecophcease dan rhodophycease. Walaupun sebenarnya ada
puluhan jenis rumput yang tumbuh di perairan Indonesia. Ada beberapa jenis
yang sudah dikenal atau diperdagangkan di luar maupun dalam negeri, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang telah dibudidayakan, diantaranya adalah
jenis eucheuma, glacilaria dan geldrium dengan beberapa speciesnya.
5
• Mempunyai gerakan air (arus) yang cukup (20-30 cm/detik)
• Dasar peraiaran agak keras yang terdiri dari pasir dan karang serta bebas dari
lumpur
• PH air antara 7 - 9
• Bahan pendukung murah dan mudah diperoleh (bambu, benih dan lain-lain)
Penanganan pasca panen rumput laut oleh petani hanya sampai pada tingkat
pengeringan. Rumput laut kering ini merupakan bahan baku bagi industri rumput
laut olahan selanjutnya. Pengolahan rumput laut akan menghasilkan agar,
karagenan atau algin tergantung kandungan yang terdapat di dalam rumput laut.
Pengolahan ini kebanyakan dilakukan oleh pabrik walaupun sebenarnya dapat
juga oleh petani.
Petani rumput laut menjual hasil produksinya dalam bentuk rumput laut
kreing. Agar harga jual rumput laut tersebut tinggi dan dapat dijual ke luar negeri
maka rumput laut harus memenuhi standar mutu rumput laut kering untuk jenis
eucheuma gelidium. Gracilaria, dan hypnear seperti pada tabel berikut:
6
Kadar Air
Maksimal (%)
Benda Asing
Maksimal *) 5 5 5 5
%
Spesifik Spesifik rumput Spesifik rumput Spesifik rumput
Bau rumput laut laut laut laut
Rumput laut pada waktu ini menjadi salah satu komoditas pertanian penting yang
makin banyak dibudidayakan karena permintaan terhadapnya makin meningkat.
Disamping karena kandungan agarnya juga ada kandungan karagenan (Carrageenan)
yang penggunaannya makin meluas. Rumput laut dengan kandungan bahan untuk agar
terutama didapatkan dari spesies Gracilaria dan Gelidium, sedangkan untuk kandungan
karagenan banyak dibudidayakan spesies Eucheuma, ialah Eucheuma Cottoni dan
Eucheuma Spinosum.
Sebagai karagenan, rumput laut kering diolah menjadi bentuk tepung untuk
diekspor dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan pasar lokal
mencapai 22.000 ton per tahun (Ekon. Neraca 2 Juni 1999). Karagenan merupakan
bahan yang unik untuk berbagai industri makanan seperti kemampuan dengan
konsentrasi rendah mengikat cokelat ke dalam susu cokelat. Sari karegenan juga
dipergunakan untuk pembuatan “dessertgel” semacam agar untuk hidangan penutup
makan. Karagenan memiliki derajat panas pencairan yang tinggi, sehingga mudah
dipasarkan di daerah tropis atau di tempat yang tidak tersedia lemari pendingin
(Refrigerator). Agar karagenan juga banyak dipergunakan sebagai bahan penambah
(additive) pada berbagai makanan Eropa.
7
Perkembangan industri pengolahan rumput laut di Indonesia juga terlihat makin
pesat. Diantara industri agar yang ada kemudian sekarang juga memproduksi
karagenan, serta adanya industri baru yang sengaja dikembangkan untuk produksi
karegenan di beberapa kota seperti Surabaya, Ujung Pandang, Jakarta dan Bali.
Industri-industri ini menyerap produksi rumput laut yang dibudidayakan oleh para
nelayan di berbagai perairan pantai/kepulauan melalui para perantara yang berfungsi
sebagai pengumput. Untuk mendapatkan rumput laut yang berkualitas bagi produksi
karagenan, sekarang ini mulai berkembang langkah-langkah pendekatan yang
dilakukan oleh para pengusaha pengolahan rumput laut, untuk memberikan pembinaan
fasilitas budidaya dan melakukan pembelian produksi rumput laut dari petani/nelayan
yang bersangkutan.
Pada tahun 1994 sudah ada sebanyak 11 pabrik agar yang tersebar di Jawa,
Sumatera dan Sulawesi. Setiap pabrik memperkerjakan sekitar 70 orang dengan
kapasitas produksi antara 100 s/d 180 ton per tahun
Data mengenai ekspor rumput laut dari Indonesia yang tercatat pada Biro Pusat
Statistik menunjukkan keadaan semenjak tahun 1990 seperti pada tabel 2. Terlihat
bahwa permintaan luar negeri, terhadap rumput laut Indonesia pada tahun 1990 sebesar
10.779 ton dengan total nilai (FOB) US $ 7,16 juta yang terus meningkat hingga pernah
mencapai 28.104 ton pada tahun 1995 dengan total nilai (FOB) US $ 21,30 juta. Jumlah
ekspor ini tercatat turun kembali pada tahun 1996 dan berikutnya yang mungkin
diakibatkan adanya perubahan pola perdagangan rumput laut di Indonesia dimana
rumput laut kemudian diolah dan diekspor dalam bentuk tepung karagenan. Ekspor
karagenan pada waktu ini menurut sejumlah produsen di Indonesia akan dapat terus
meningkat mengingat makin, meluasnya kegunaan dan permintaan dana
Hasil panen budidaya oleh para petani/nelayan, dijual dalam bentuk rumput laut
kering, setelah dijemur selama 3 sampai 4 hari. Rumput Laut Kering dimasukkan ke
dalam karung-karung plastik untuk dijual kepada para pedagang pengumpul atau
kepada Koperasi yang kemudian menjualnya kepada pengusaha/pabrik pengolahan
rumput laut di beberapa kota.
Para pengumpul membeli rumput laut kering dari nelayan dengan harga sekitar
Rp. 3.500 – Rp. 5.000 per kilogram, tergantung pada jenis rumput laut ataupun jarak
lokasi budidaya ke perusahaan pengelola. Pemasaran seperti ini bagi petani nelayan
8
memang tidak bisa menentu dari segi harga tergantung pada sikap para pengumpul.
Melalui penjualan kepada Koperasi, sebenarnya akan bisa diatur lebih menguntung bagi
para petani nelayan, akan tetapi masih juga tergantung bagaimana peran yang dilakukan
oleh Manager Koperasi. Dalam model kelayakan ini harga jual rumput laut kering
diperhitungkan Rp. 4.000 per kg.
Karena pada umumnya para petani nelayan memulai usaha budidaya rumput laut
ini kekurangan modal, dalam prakteknya para petani nelayan ini banyak kemudian yang
terikat kepada pedagang pengumpul yang bersedia memberikan modal dan keperluan
keluarga sehari-hari sebelum panen. Hal ini bisa berakibat menjadi lemahnya posisi
tawar bagi para petani nelayan, yang bisa merugikannya.
9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdsarkan uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal berikut terikait memasarkan
Rumput Laut ke luar negeri.
1. Kendala dalam penusaha rumput laut tradisional adalah harga yang sangat rendah
yang ditentukan oleh pengepul. Harga yang ditetapkan per kilo gram nya hanya
sekitar Rp. 3.000 sampai Rp. 5.000 sehingga dalam rangka memasarkan Rumput
Laut dengan harga yang lebih tinggi, maka produsen dapat menjualnya langsung ke
luar negeri.
2. Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam memasarkan produk ini keluar
negeri adalah dengan langsung melakukan ekspor rumput laut ini tanpa banyak
perantara atau Melalui Pola Kemitraan Terpadu, pemasaran produksi rumput laut
nelayan dilakukan dengan langsung menjualnya kepada perusahaan mitra melalui
Koperasi para petani/nelayan lainnya. Harga beli rumput laut ini oleh Perusahaan
Mitra bisa ditetapkan sesuai dengan harga yang terbesar memberi keuntungan bagi
para petani/nelayan menurut kesepakatan dengan ketentuan apabila harga jual
rumput laut yang terjadi di pasar setempat lebih tinggi, akan menggunakan harga
tersebut.
10